UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
Dasar.Administrasi.Pendidikan
1. Universitas Pendidikan Indonesia
Sekolah Pasca Sarjana
Program Studi Administrasi Pendidikan
Ujian Akhir Semester:
Dasar Administrasi Pendidikan (AP701)
Dosen: Prof.Dr.H. Djam’an Satori, MA.
Mahasiswa: Djadja Sardjana - 0907904
11 Januari 2010
2. Soal-1:
Kinerja sistem pendidikan ditunjukkan dalam (1) daya saing, (2) pencitraan publik, dan (3)
akuntabilitas (Renstra Depdiknas, 2004-2009). Dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut,
strategi bagaimana yang dapat dilakukan oleh Administrator Sekolah. Jawaban Anda
hendaknya tersusun sebagai berikut:
a. Jelaskan masing-masing konsep (1) daya saing, (2) pencitraan publik, dan (3) akuntabilitas
dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Bagaimana keterkaitan ketiga hal tersebut (dalam butir a) dengan konsep mutu
pendidikan.
c. Jelaskan strategi yang harus dilakukan Administrator Sekolah untuk mewujudkan ketiga
aspek kinerja tersebut (butir a).
Jawab Soal-1:
a. Konsep :
• Daya saing:
Pada umumnya terdapat beragam perbedaan pendapat/pandangan
mendominasi perdebatan akademis tentang daya saing. Terlepas dari perdebatan
hangat yang terus berlangsung, berikut adalah beberapa definisi yang terkait dengan
daya saing daerah/negara. Krugman (1994) misalnya berargumen bahwa daya saing tak
dapat diterapkan manakala berbicara soal ekonomi keseluruhan (ia menyatakan:
competitiveness is a meaningless word when applied to national economies . . . And the
obsession with competitiveness is not only wrong but dangerous . . .). Krugman lebih
jauh mengungkapkan beberapa bukti empiris tentang tidak signifikannya kinerja
perdagangan sebagai “penentu” bagi standar hidup (yang diinterpretasikan dengan
ukuran “produktivitas”) di Amerika Serikat, dan menegaskan hal serupa bagi
Masyarakat Ekonomi Eropa (kini Uni Eropa) dan Jepang.
OECD mendefinisikan daya saing sebagai tingkatan di mana suatu negara, dalam
kondisi pasar yang bebas dan adil, dapat menghasilkan barang dan jasa yang berhasil
dalam pasar internasional, yang secara simultan juga mampu memelihara dan
memperluas pendapatan riil masyarakatnya untuk periode jangka panjang. Pernyataan
dari Ketua Council of Economic Advisors – Amerika Serikat (Laura D’Andrea Tyson, lihat
World Bank, 2001) yang juga dikutip oleh Krugman (1994) dalam kritiknya
mengungkapkan bahwa “daya saing merupakan kemampuan kita menghasilkan barang
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 2
3. dan jasa yang berhasil dalam persaingan internasional, dan dalam waktu bersamaan
warga negara juga menikmati suatu standar hidup yang meningkat dan berkelanjutan
(sustainable).”
Pemerintah Inggris, dalam dokumen The Government’s Competitiveness White
Paper (lihat UK DTI. 1998) menyebutkan bahwa daya saing pada dasarnya menyangkut
penciptaan keterampilan yang tinggi, produktivitas yang tinggi, dan karenanya upah
ekonomi yang tinggi, di mana negara dapat tumbuh-berkembang dan kita dapat
mencari peluang (ketimbang ancaman) di tengah perubahan yang tidak mungkin
dihindari.
Washington Technology Center (2001) lebih menekankan pentingnya teknologi
dengan menyatakan bahwa daya saing berkaitan dengan menarik dan mempertahankan
industri yang berbasis teknologi (attracting and keeping technology-based industries).
Sedangkan Porter (1990, 2002b, 2003), dan Porter dan Ketels (2003) menekankan
bahwa untuk memahami daya saing, titik awalnya adalah sumber dari
kesejahteraan/kemakmuran bangsa. Standar hidup suatu bangsa ditentukan oleh
produktivitas ekonominya, yang diukur dengan nilai (value) barang dan jasa yang
dihasilkan per satuan manusia, modal (capital) dan sumber daya alamnya. Produktivitas
bergantung baik pada nilai barang dan jasa suatu bangsa, yang diukur dengan harga
yang dapat dikendalikan dalam suatu pasar yang terbuka (open market), maupun pada
efisiensi di mana barang dan jasa tersebut diproduksi. Oleh karena itu dalam kaitan ini,
pengertian (dan sekaligus juga ukuran) yang sebenarnya tentang daya saing adalah
produktivitas yang memungkinkan suatu negara menopang tingkat upah yang tinggi,
nilai tukar yang kuat dan pengembalian modal (returns to capital) yang menarik, dan
bersama ini semua juga standar hidup yang tinggi.
Menggunakan kerangka pikir Porter, Lanza (2002) mendefinisikan daya saing
sebagai pertumbuhan produktivitas secara berkelanjutan yang membawa kepada
peningkatan standar hidup, yang didorong oleh kualitas dari strategi dan pengoperasian
bisnis, kualitas lingkungan bisnis, dan lingkungan ekonomi makro.
Sementara itu, Institute for Management Development (IMD) (Garelli, 2003)
menggunakan “definisi bisnis” sebagai “definisi “praktis” tentang daya saing sebagai
“bagaimana suatu bangsa/negara menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang
dapat mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya.”
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 3
4. Berikut adalah beberapa definisi daya saing yang dikutip dari IMD (diambil dari
The US National Competitiveness Council) dan beberapa sumber internet:
1. Daya saing adalah kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuan PDB per
kapita yang tinggi terus-menerus (World Economic Forum, Global Competitiveness
Report, 1996).
2. Daya saing nasional merupakan kemampuan suatu negara menciptakan,
memproduksi dan/atau melayanai produk dalam perdagangan internasional,
sementara dalam saat yang sama tetap dapat memperoleh imbalan yang meningkat
pada sumber dayanya (Scott, B. R. and Lodge, G. C., “US Competitiveness in the
World Economy”, 1985).
3. Daya saing menyangkut arti elemen produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi
daya saing bukan suatu akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai
peningkatan standar hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial. – suatu alat
untuk mencapai sasaran. Secara global, dengan peningkatan produktivitas dan
efisiensi dalam konteks spesialisasi internasional, daya saing memberikan basis bagi
peningkatan penghasilan masyarakat secara “non-inflasioner.” Competitiveness
Advisory Group, (Ciampi Group) : “Enhancing European Competitiveness”. First
report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of
State, June 1995.
4. Daya saing harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk meningkatkan standar
hidup, menyediakan kesempatan kerja bagi yang menganggur dan menurunkan
kemiskinan. Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group): “Enhancing European
Competitiveness”. Second report to the President of the Commission, the Prime
Ministers and the Heads of State, December 1995.
5. Daya saing berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan
(Thailand Competitiveness Initiative/TCI – Thailand. http://www.kiasia.com/).
Terdapat perbedaan antara IMD dengan Porter (WEF) dalam mengelaborasi
pengertian daya saing. Dalam kerangka IMD misalnya, daya saing tidaklah sekedar
kinerja ekonomi dan tidak dapat direduksi semata kepada produktivitas atau
keuntungan (Garelli, 2003). Bagi Garelli, daya saing mencakup konsekuensi ekonomi
dari isu-isu non-ekonomi seperti pendidikan sains, stabilitas politik atau sistem nilai.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 4
5. Apakah negara bersaing satu dengan lainnya? Garelli termasuk yang
berpendapat bahwa negara memang bersaing. Ini karena pasar dunia yang terbuka (dan
semakin terbuka). Tidak demikian halnya dengan Krugman. Menurutnya, pandangan
“persaingan antar negara” akan menghambat hubungan salking menguntungkan seperti
misalnya melalui perdagangan.
Bagi sebagian ahli, konteks pengertian daya saing pada level ini berkaitan
dengan daya tarik bagi investasi (seperti misalnya stabilitas, pemerintahan yang baik
dan peluang bagi investasi yang menguntungkan). Porter (2001) misalnya menyatakan
bahwa negara ataupun daerah pada dasarnya bersaing dalam menawarkan lingkungan
yang paling produktif bagi bisnis. Untuk sebagian lagi, “keberatan” yang diajukan terkait
dengan negara tidak bersaing dalam konteks perdagangan (jika ya, tentu tidak akan
terjadi perdagangan antar negara, bilateral maupun multilateral) dan kelemahan dasar
teori yang melandasinya, termasuk misalnya bagaimana metode yang digunakan oleh
WEF atau IMD dalam menyusun indeks daya saing negara. Terlepas dari itu, banyak
pihak setuju bahwa kerangka daya saing dan pengukurannya merupakan tool yang
berguna dalam konteks pengembangan sektor swasta.
IMD yang menganggap “definisi “praktis” daya saing sebagai “bagaimana suatu
bangsa/negara menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang yang dapat
mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya,” menilai empat faktor utama
penentu daya saing, sebagaimana terdapat dalam gambar berikut:
Sumber: www.imd.ch
Gambar 1-1. IMD Competitiveness Factors
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 5
6. Menurut Michael Porter terdapat dua tipe dasar dari keunggulan kompetitif,
yaitu: cost advantage dan differentiation advantage. Suatu keunggulan kompetitif
muncul ketika sebuah perusahaan dapat menghasilkan produk yang sama dengan yang
dihasilkan pesaingnya dengan biaya yang lebih rendah (cost advantage), atau
menghasilkan produk/jasa yang berbeda dan lebih baik dari yang dihasilkan pesaingnya
(differentiation advantage). Keunggulan kompetitif akan memungkinkan perusahaan
untuk menciptakan nilai lebih untuk pelanggannya dan perusahaan dapat memperoleh
keuntungan yang lebih tinggi.
“Cost Advantage” dan “Differentiation Advantage” dikenal sebagai “Positional
Advantage” karena dapat menjelaskan posisi perusahaan dalam industri sebagai
pemimpin dalam hal biaya (cost) ataupun dalam keunikannya (differentiation). Selain
itu, ada pandangan yang melihat keunggulan kompetitif dari sudut pandang Kapabilitas
(Capabilities) dan Sumberdaya (Resources) yang dimilikinya. Pandangan ini dikenal
sebagai “Resource-based View”.
Gabungan dari pengelolaan yang baik atas “Resources” dan “Capabilities”, serta
pemilihan untuk menjalankan “Cost/Differentiation Advantage” akan menghasilkan
keunggulan kompetitif bagi perusahaan dalam menghadapi para pesaingnya. Gambar
berikut menggabungkan pandangan “Resource-based and Positioning” dalam
menggambarkan keunggulan kompetitif perusahaan:
Sumber: diadopsi dari www.quickmba.com
Gambar 1.2. A Model of Competitive Advantage
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 6
7. Peranan daya saing ini dirasakan penting pula oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Pada tahun 2005, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7
tentang RPJMN Tahun 2004–2009 yang mengamanatkan tiga misi pembangunan
nasional, yaitu (1) mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai; (2)
mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis; dan (3) mewujudkan bangsa
Indonesia yang sejahtera. Untuk mewujudkannya, bangsa kita harus menjadi bangsa
yang berkualitas, sehingga setiap warga negara mampu meningkatkan kualitas hidup,
produktivitas dan daya saing terhadap bangsa lain di era global.
Saat ini pembangunan pendidikan nasional belum mencapai hasil sesuai yang
diharapkan. Depdiknas selaku pemegang amanah pelaksanaan sistem pendidikan
nasional memiliki kewajiban untuk mewujudkan misi pembangunan tersebut. Manusia
seperti apa yang ingin dibangun? Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya
ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral,
sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya.
Untuk itulah Renstra Depdiknas disusun dengan mengacu pada amanat UUD
1945, amandemen ke–4 Pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan; Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas); UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun
2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
• Pencitraan publik:
Dalam dunia pendidikan, terbentuk berbagai ‘pembangunan pendidikan’.
Pengembangan, pemanfaatan, diseminasi, ataupun transformasi ilmu pengetahuan,
teknologi sampai ke seni merupakan contoh kongkrit dari hal ini. Dalam pemberjalanan
prosesnya semua yang dilakukan dalam pembangunan pendidikan ini harus sampai dan
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 7
8. diterima oleh masyarakat khususnya mereka yang menjadi pengguna. Sampai sejauh
mana hasil dari pembangunan ini sampai kepada pengguna dan sekaligus dapat
dirasakan manfaatnya merupakan ideal goal yang ingin dicapai bagi pengelola
pendidikan.
Oleh karena itulah publik atau masyarakat yang merupakan sasaran sekaligus
pengguna (user) memiliki kepentingan terkait, yaitu:
a. Berwenang mengkritisi pengelolaan pendidikan.
b. Perlu diberi akses untuk memperoleh informasi mengenai hasil-hasil pembangunan
pendidikan.
c. Perlu didorong untuk memberi masukan dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan.
Untuk itulah konsep Pencitraan Publik menjadi penting. Pencitraan adalah suatu
cara untuk membangun image kepada publik. Image atau gambaran dalam benak
publik, yang tentu saja diarahkan kepada sesuatu yang positif. Dalam rangka
menbentuk citra positif public terhadap pembangunan dunia pendidikan, lembaga
pendidikan seharusnya memperhatikan beberapa hal dibawah ini:
Meningkatkan kinerja:
• Pengawasan fungsional/melekat
• Monitoring dan evaluasi.
Merespon pengaduan masyarakat dengan tindakan nyata dengan cara:
• Memperluas dan mempermudah akses pengaduan masyarakat.
• Mengambil tindakan atas pelanggaran yang dilaporkan masyarakat.
Mempublikasikan kebijakan, program, kegiatan dan hasil hasil pembangunan
melalui berbagai saluran/media.
• Akuntabilitas:
Istilah akuntabilitas berarti memiliki tanggung jawab atas atau melaporkan
kepada orang lain tentang sesuatu, biasanya dana, material, atau personil digunakan
dalam sebuah organisasi (Goetz, 1988). Definisi ini mengandung arti bahwa setiap orang
mengelola organisasi harus bertanggung jawab dan siap untuk memberikan secara
berkala tentang sistem pelaporan yang efektif dan efisien telah dilakukan selama jangka
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 8
9. waktu tertentu. Secara khusus, akuntabilitas dalam pendidikan adalah berkaitan dengan
catatan yang menentukan apa yang harus dijaga, bagaimana catatan tersebut akan
dipertahankan dalam hal prosedur, metodologi dan bentuk yang akan digunakan,
klasifikasi dan merekam kegiatan summarization peristiwa, menganalisis dan
menafsirkan data yang disimpan , menyiapkan dan menerbitkan laporan dan
pernyataan yang mencerminkan kondisi pada waktu tertentu (Adams et al., 1967;
Candoli et al, 1978).
Tidak diragukan lagi, audit dan pelaporan telah dikaitkan dengan usaha
pendidikan formal sejak awal. Dalam beberapa kali penggabungan konsep akuntabilitas,
tugas-tugas ini telah diperluas dan sekarang digunakan untuk menyediakan data yang
diperlukan untuk menentukan biaya dan manfaat keuangan lembaga-lembaga
pendidikan. Manajer pendidikan sekarang menggunakan konsep itu untuk
menggambarkan (a) sumber pendapatan dan jumlah input, (b) pendapatan berbagai
program dan (c) pengeluaran dalam program ini. Data-data ini kemudian berkaitan
dengan output pendidikan atau manfaat pendidikan sehingga masyarakat dapat
memahami implikasi keuangan dari keputusan-keputusan pendidikan dan program
implikasi dari keputusan keuangan. Dengan demikian, pengambil keputusan pendidikan
bertanggung jawab kepada publik dan publik yang memiliki informasi untuk
melaksanakan kekuasaan pengambilan keputusan di bidang kebijakan keuangan.
Akibatnya, untuk membantu proses akuntabilitas di bidang pendidikan, para
administrator dari sistem harus:
(i) mengidentifikasi sasaran dan tujuan sistem;
(ii) menentukan validitas dan relevansi tujuan dan sasaran tersebut
(iii) menilai secara berkala bagaimana seperti itu sepenuhnya tujuan dan sasaran
yang telah dicapai;
(iv) mengidentifikasi faktor-faktor yang membantu atau menghambat
pencapaian tujuan dalam sistem dan
(v) desain strategi untuk meningkatkan kinerja.
Kebijakan dalam rangka peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan
publik pendidikan di Indonesia secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Peningkatan sistem pengendalian internal berkoordinasi dengan BPKP dan BPK;
untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang bersih efektif, efisien, produktif
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 9
10. dan akuntabel. Sistem pengendalian internal sangat penting dikembangkan guna
mendeteksi penyimpangan secara dini dan menumbuhkan tanggung jawab melalui
proses evaluasi diri. Sistem ini tidak hanya dikembangkan dalam pengelolaan
pendidikan di tingkat pusat, tetapi hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pembangunan pendidikan juga
ditingkatkan.
2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat Inspektorat Jenderal; pada tahapan
ini, menetapkan program pengembangan aparat pengawas, menjadi fokus utama di
samping pengembangan sistem pengawasan Inspektorat Jenderal Depdiknas.
Standar kompetensi auditor telah disusun dan direncanakan digunakan sebagai
standar untuk mengukur kompetensi auditor dan mendisain pengembangan
kompetensi melalui pendidikan formal atau nonformal. Pengembangan sistem
pengawasan dilakukan melalui pengembangan teknik pengawasan dan pendekatan
pengawasan. Audit kinerja sebagai suatu teknik pengawasan dan kemitraan sebagai
suatu pendekatan audit yang dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas
pengawasan yang lebih baik. Pada saat ini audit kinerja dilaksanakan pada
pengawasan perguruan tinggi.
3. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran;
kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam perencanaan,
pengelolaan, dan penyelenggaraan pelayanan pendidikan berbasis kinerja, melalui:
(a) perbaikan kapasitas untuk merancang dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan
program-program Renstra Diknas 2005-2009; (b) pengembangan strategi
manajemen kurikulum, bahan ajar dan manajemen pembelajaran untuk identifikasi,
advokasi, dan penyebarluasan praktek-praktek terbaik (best practices) dalam
pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota dan/atau satuan pendidikan; dan
(c) mengembangkan sistem kerja sama untuk perencanaan, pengelolaan, dan
monitoring kinerja sistem pendidikan secara menyeluruh. Program pengembangan
kapasitas pusat/provinsi bertujuan untuk memberikan bantuan teknis, monitoring
kinerja, dan manajemen strategis kepada kabupaten/kota dan satuan pendidikan.
4. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat; untuk meningkatkan
akuntabilitas pengelolaan pendidikan perlu dilakukan pengembangan kapasitas
aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan kapasitas
para pengelola pendidikan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengembangan
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 10
11. kapasitas pengelola pendidikan pada tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan
kabupaten/kota) dan pengelola pelayanan pada tingkat satuan pendidikan.
Pengembangan kapasitas pengelola dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan pengelola dalam pelayanan pendidikan yang efektif, inovatif, efisien,
dan akuntabel.
5. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan; beberapa kegiatan
untuk mendorong dan mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan
kedisiplinan, kinerja, dan akuntabilitas seluruh aparat pengelola pendidikan, melalui
peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
6. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan dan penegakkan hukum di bidang
pendidikan; menjawab berbagai permasalahan dan tantangan masa depan
pendidikan, instrumen peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman,
standar, dan aturan pelaksanaan teknis lainnya menjadi prioritas yang tidak kalah
penting untuk terus disempurnakan dan dikembangkan serta penegakkan hukum di
bidang pendidikan ditingkatkan.
7. Peningkatan citra publik; di samping terus melakukan dan memantau program,
kebijakan, dan kegiatan pembangunan nasional, Depdiknas juga perlu melakukan
sosialisasi kepada publik tentang apa yang direncanakan, yang telah dilakukan, dan
bagaimana melakukan perbaikan. Selain untuk melakukan sosialisasi, paparan
kepada publik juga dapat menjadi sarana peningkatan citra Depdiknas dan Sisdiknas
itu sendiri. Melalui paparan tersebut, diharapkan ada masukan dari seluruh
masyarakat, khususnya pemerhati pendidikan nasional.
8. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan; pada era
desentralisasi pendidikan ada gejala penurunan kualitas dan kompetensi pengelola
pendidikan baik yang berada di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan
pendidikan. Untuk ini, berbagai bentuk dan model pendidikan dan pelatihan untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut akan dikembangkan.
9. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN; sebagai
wujud pelaksanaan Inpres Nomor 5, maka Departemen Pendidikan Nasional telah
menyusun Tim Rencana Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan
Surat Mendiknas Nomor 027/P/2005. Rencana aksi ini dilakukan dengan melibatkan
secara aktif unit utama Departemen untuk secara dini merencanakan aktifitas
kegiatan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Selanjutnya diikuti dengan
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 11
12. kegiatan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan, atas pelaksanaan
rencana aksi yang telah ditetapkan.
10. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Inspektorat Jenderal; kegiatan ini
dilakukan melalui pengawasan dini yaitu pengawasan oleh Inspektorat Jenderal
untuk memeriksa program dan kegiatan yang akan berjalan dari unit kerja di
lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, dan bertujuan untuk mendeteksi
program yang telah disusun, apakah dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan,
dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
11. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan BPK; kegiatan
intensifikasi pengawasan dilakukan dengan meninggalkan konsep pengawasan
internal tradisional, dimana akuntansi dipandang sebagai perhatian utama
pengawasan internal, menuju konsep pengawasan modern, dimana pengawasan
merupakan bagian dari manajemen yang menuntut peran yang lebih daripada
sebagai kontrol tetapi juga sebagai supervisor. Penggunaan dan pengembangan
teknik pengawasan juga menjadi prioritas dalam program pengawasan Inpektorat
Jenderal. Pengawasan kinerja menjadi tekanan pengawasan sesuai dengan basis
pengelolaan keuangan negara yang berdasarkan kinerja. Kegiatan ekstensifikasi
dilakukan melalui peningkatan jumlah aparat pengawasan (auditor pendidikan),
perluasan jumlah sasaran pengawasan, dan lama hari pengawasan.
12. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK;
pengawasan tidak akan ada maknanya apabila pemeriksaan tidak ditindaklanjuti.
Untuk itu diperlukan pemantauan terhadap tindak lanjut yang telah dilakukan oleh
obyek pemeriksaan, untuk mengetahui apakah tindak lanjut yang dilaksanakan telah
sesuai dengan rekomendasi pemeriksa. Selanjutnya ditentukan pencapaian jumlah
dan kualitas atas tindak lanjut/penyelesaian temuan tersebut.
13. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (keuangan, aset, kepegawaian, dan
data lainnya); sangat disadari bahwa data-data (keuangan, program, aset, SDM, dan
sebagainya) yang ada saat ini seolah-olah saling terpisah. Padahal seyogyanya data
itu merupakan bagian yang terintegrasi dan tidak terpisahkan satu dengan yang
lainnya. Membangun sistem yang dapat mengintegrasikan semua data yang
dibutuhkan dalam mengelola Departemen menjadi hal yang sangat mendesak untuk
dilakukan. Selain untuk memperkecil terjadinya kesalahan manusia (human error),
sistem tersebut dapat mengurangi pengulangan kegiatan pencatatan.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 12
13. b. Keterkaitan ketiga hal tersebut (dalam butir a) dengan konsep mutu pendidikan.
Keterkaitan (1) daya saing, (2) pencitraan publik, dan (3) akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pendidikan penting bagi Indonesia. Hal ini tertuang dalam Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, dimana pendidikan dimaksudkan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945); dan pendidikan merupakan hak asasi manusia
dan hak setiap warga negara (Pasal 12). Oleh karenanya negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari Anggapan Pembangunan dan Belanja Negara.
Juga dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan, dituliskan bahwa Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai agama
dan persatuan bangsa.
Agar Indonesia memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan
mampu memanfaatkan peluang yang datang seperti yang digambarkan di atas berlandaskan
keterkaitan (1) daya saing, (2) pencitraan publik, dan (3) akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Tahun 2005—2025 Pemerintah mencanangkan untuk meningkatkan kemampuan manusia
bangsa ini, sehingga memiliki daya saing yang seimbang dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selaku badan yang melakukan
perencanaan nasional sudah menuangkan program-program Depdiknas ke dalam 15 program
(lihat Tabel 1.1). Sementara itu, Depdiknas selaku bagian dari pemerintah yang mendapat
amanat untuk melakukan pengembangan manusia dari sisi pendidikan pun telah membuat
39 kegiatan pokok (lihat Tabel 1.1) yang pada intinya mengacu pada tiga misi pembangunan
nasional. Ke-39 kegiatan pokok dari Depdiknas ini dapat dikelompokkan pada 15 program dari
Bappenas sesuai Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Program Penguatan Kebijakan Depdiknas dengan RPJM Bappenas
Program Bappenas Kegiatan Pokok Depdiknas
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 13
14. 1. Pendidikan Anak Usia Dini 8. Perluasan akses PAUD
(PAUD) – TK, RA, KB, TPQ
2. Wajib Belajar Pendidikan 1. Pendanaan biaya operasional Wajar Dikdas 9 tahun
Dasar 9 Tahun – SD, MI, SMP, 2. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan wajar
MTs 3. Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan
4. Perluasan akses pendidikan wajar pada jalur nonformal
6. Perluasan akses SLB dan sekolah inklusif
7. Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah
terpencil, berpenduduk jarang dan terpencar, bencana, konflik,
serta anak jalanan.
3. Pendidikan Menengah 10. Perluasan akses SMA/SMK dan SM terpadu
21. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap
kab/kota
22. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi
dan/atau kabupaten/kota
4. Pendidikan Tinggi 11. Perluasan akses PT
23. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia
dan 500 besar dunia
24. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi
25. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI
25. b. Peningktan reativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan
mahasiswa
5. Pendidikan Nonformal 5. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15
thn.
9. Pendidikan kecakapan Hidup
20. Perluasan pendidikan kecakapan hidup
6. Peningkatan Mutu Pendidik 17. a. Pengembangan guru sebagai profesi
dan Tenaga Kependidikan 17. b. Peningkatan kesejahteraan pendidik nonformal
18. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
7. Penelitian dan 13. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses
Pengembangan Pendidikan SMA/SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT
14. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran BSNP
15. a. Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan
mengacu pada SNP
15. b. Survei Bencmarking Mutu Pendidikan terhadap standar
internasional
16. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF,
dan BAN-PT
8. Manajemen Pelayanan 19. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana
Pendidikan 28. Peningkatan kapasitas dan kompetensi parat pengelola pendidikan
32. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan
Program-program lainnya 12. Pemanfaatan TIK sebagai sarana/media pembelajaran jarak jauh
26. Pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan
9. Pengembangan Budaya Baca 27. Peningkatan SPI berkoordinasi dengan BPKP dan BPK
dan Pembinaan Perpustakaan 29. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan
10. Program Penelitian dan penganggaran
Pengembangan Iptek 30. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat
11. Program Penguatan 31. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan
Kelembagaan Pengarus- 33. Peningkatan citra publik
utamaan Gender dan Anak 34. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan
12. Peningkatan Pengawasan dan 35. Pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan
Akuntabilitas Aparatur Negara pemberantasan KKN
13. Program Penyelenggaraan 36. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Itjen
Pimpinan Kenegaraan dan 37. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan
Kepemerintahan BPK
14. Program Pengelolaan 38. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen,
Sumberdaya Manusia Aparatur BPKP, dan BPK
15. Program Peningkatan Sarana 39. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (Keuangan, Aset,
dan Prasarana Aparatur Kepegawaian, dan data lainnya)
Negara
Sumber: Bappenas, 2004 & Program Kebijakan Depdiknas, 2004
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, namun masalah besar pendidikan di
Indonesia dewasa ini masih terlihat di tiga hal yaitu masalah yang berkaitan dengan (a).
peningkatan dan perluasan akses pendidikan, (b). peningkatan kualitas, relevansi dan
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 14
15. rendahnya daya saing pendidikan, dan (c). Penguatan manajemen, akuntabilitas kinerja dan
citra publik.Beberapa strategi untuk mencapai kemampuan berkompetisi yang telah
dibahas di makalah ini adalah (a). Meningkatkan program yang berkualitas dan mempunyai
relevansi dengan kebutuhan lapangan kerja (Enhanced Program Excellence and Relevance),
(b). Meningkatkan efisiensi dan kualitas manajemen (Enhanced Efficiency and Quality
Management), (c). Menjamin kelangsungan tersedianya anggaran (Ensured Financial
Viability), (d). Meningkatkan kerjasama (Strengthen Networking), dan (e). Memperluas
’pasar’ dari program dan produk yang dihasilkan (Increased Access to Market the Programs
and Output).
Kalau kita simak hasil laporan lembaga internasional mengenai masalah pendidikan,
pembangunan manusia, dan daya saing Indonesia, maka kita patut prihatin. Indeks
pendidikan kita berada di urutan 7, indeks pembangunan manusia berada di urutan 6 dan
indeks daya saing (competitiveness index) kita berada di ranking 5 dari 10 negara ASEAN.
Terlepas setuju atau tidak dengan ukuran yang dipakai, itulah penilaian lembaga
internasional ternama seperti United Nations Development Program (UNDP). Saya
berharap data ini dapat dipakai untuk memacu pembangunan pendidikan pada masa
mendatang.Salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai untuk memperbaiki tiga
macam indeks pengukuran di atas adalah dengan memajukan pendidikan. Banyak ahli
berpendapat bahwa variabel pendidikan inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai
pemicu (trigger) dalam menggerakkan pembangunan suatu bangsa. Instrumen kebijakan
yang dapat ditawarkan untuk memicu pembangunan pendidikan, dengan tanpa berangkat
dari nol, adalah dengan cara melakukan ‘revitalisasi sumber daya pendidikan’. Revitallisasi
pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, memberi makna bahwa peran
pendidikan itu diyakini sangat penting dan strategis, namun karena pengelolaan sumber
dayanya tidak atau kurang baik, maka keunggulan kompetitif pendidikan di Indonesia
menjadi rendah. Karena itu solusinya adalah bagaimana melakukan revitalisasi sumber daya
pendidikan tersebut agar kemampuan kompetisi (competitiveness) menjadi tinggi.Untuk
mengetahui sampai seberapa besar tingkat kompetisi pendidikan di Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara tetangga ASEAN, maka berikut ini disajikan secara singkat beberapa
indikator pembangunan sumber daya manusia (yang erat kaitannya dengan kualitas
pendidikan) dan pembangunan di sektor pendidikan sebagai berikut:
1. Pembangunan SDM dan Pendidikan di Indonesia
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 15
16. Ada tiga sumber data yang dipakai untuk menjelaskan kemajuan pembangunan
manusia dan di sektor pendidikan, yaitu data yang bersumber dari United Nations
Development Program (UNDP, 2004) yang membandingkan kemajuan pendidikan
Indonesia dengan negara ASEAN lainnya; data evaluasi pendidikan Indonesia dari BPS,
Bappenas, UNDP (2004), dan data dari Program Pembangunan Nasional (Propenas)
Departemen Pendidikan.
a. Human Development Index (HDI):
Human Development Index (HDI) adalah parameter yang menunjukkan
tingkatan ‘kualitas’ sumber daya manusia yang cara perhitungannya bukan saja
menggunakan variabel pendidikan, tetapi juga variabel ekonomi dan kesehatan.
Data di bidang pendidikan yang digunakan juga sebagian saja dari sekian banyak
data pendidikan yang tersedia. Data pendidikan yang digunakan untuk
menghitung HDI adalah data melek huruf orang dewasa (usia >15 th) dan data
Gross enrolment ratio (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Lanjutan Pertama dan
Atas, dan Perguruan Tinggi). Begitu juga variabel kesehatan, hanya dipakai data
usia harapan hidup (life expectancy); sedangkan untuk variabel ekonomi, datanya
hanya diambil angka Gross Domestik Product (GDP) per kapita. Kemudian dari tiga
variabel tersebut dihitung HDI. Untuk tahun 2002, HDI Indonesia adalah 0,692.
Walaupun angka HDI ini kelihatan rendah (dibandingkan dengan ASEAN), namun
untuk setiap tahunnya angka HDI Indonesia mengalami kenaikan yang
meyakinkan.
Kalau data Human Development Index (HDI) Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN, maka Indonesia menempati urutan (ranking)
keenam setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Walaupun ukuran yang ditetapkan oleh UNDP ini memperoleh banyak kritik dari
berbagai pihak, namun karena kurang atau tidak ada lembaga lain yang
melakukan pengukuran HDI, maka hasil HDI yang dihasilkan oleh UNDP ini banyak
dipergunakan oleh para ahli, baik para ahli Indonesia maupun ahli asing. Juga
angka HDI karya UNDP ini justru banyak dipakai sebagai landasan membuat
keputusan untuk menjelaskan dan membanding kemajuan pembangunan,
khususnya pembangunan sumber daya manusia, dari suatu negara.
Walaupun variabel yang dipakai untuk mengukur Human Development
Index (HDI) ini banyak memperoleh kritikan, namun hasil akhir dari angka-angka
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 16
17. HDI di negara-negara ASEAN adalah cukup realistik. Penempatan angka HDI untuk
Indonesia di urutan 6 adalah logis karena ‘kemajuan’ Indonesia dibandingkan
dengan enam negara lainnya memang di sekitar enam tersebut, setelah Brunei
Darussalam, Singapore, Malaysia dan Thailand.Juga walaupun angka HDI
Indonesia berada di urutan ke-6 di ASEAN, namun kalau dilihat dari
perkembangannya sejak tahun 1975 adalah mengalami kenaikan yang signifikan.
Kalau tahun 1975 angka HDI sebesar 0,47, maka pada tahun 2002, angka HDI
Indonesia sebesar 6,9% per tahun.
b. Indeks Pendidikan:
Data yang dipakai untuk mengukur indeks pendidikan juga terbatas pada data
melek huruf dan gross enrolment ratio dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan
Perguruan Tinggi (SD, SM dan PT). Terlepas dari setuju atau tidak dengan cara
yang dipakai oleh UNDP tersebut, maka terlihat di Tabel 3 bahwa indeks
pendidikan Indonesia berada di bawah Vietnam, yaitu di urutan 7, sementara
Vietnam berada di urutan 6.
2. Upaya yang Telah dan Akan Dilakukan:
Berbagai upaya memang telah dilakukan untuk membangun manusia Indonesia dan
membangun sektor pendidikan di Indonesia. Bahkan amanat Undang-Undang Dasar
1945 Bab XIII Pasal 31 tentang ‘Pendidikan’, menjelaskan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur
dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 2 Tahun 1989, Bab VIII Pasal 33 tentang ‘Sumber Daya Pendidikan’
dituliskan bahwa pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan
oleh Pemerintah, masyarakat dan/atau keluarga peserta didik. Selanjutnya menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dituliskan bahwa
pengelolaan perguruan tinggi (satuan pendidikan tinggi) dilaksanakan berdasarkan
prinsip otonomi, akutabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan (Bab XIV,
Pasal 51). Ini artinya perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa mempersiapkan
dirinya untuk tetap berkualitas seperti yang diharapkan dan mampu bersaing dengan
lembaga pendidikan lainnya guna tetap menjaga agar perguruan tinggi tersebut tetap
mempunyai akuntabilitas yang handal.Pemerintah kini terus meningkatkan
pembangunan pendidikan di Indonesia. Prioritas pertama yang dikerjakan adalah
menetapkan dan melaksanakan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Karena
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 17
18. itulah pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan dan
memperbaiki sistem pendidikan untuk : (a). Meningkatkan pemerataan dan akses
terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan
dan (c). Meningkatkan tata kelola, akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap
penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik.Prof Satryo S. Brodjonegoro
(2004), Dirjen Dikti Depdiknas, dalam artikelnya berjudul ‘Higher Education Reform in
Indonesia’ menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing pendidikan khususnya
pendidikan tinggi di Indonesia telah dirumuskan dan dilaksanakan melalui kebijakan
baru yang dinamakan lima pilar pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu:
(a). Mendorong penyelenggara pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, (b). Memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi, (c).
Meminta kepada penyelenggara pendidikan tinggi untuk memperhatikan aspek
akuntabilitas, (d). Melaksanakan akreditasi kepada semua penyelenggara pendidikan
tinggi, dan (e). Melakukan evaluasi secara rutin agar penyelenggaraan pendidikan
berjalan seperti yang diharapkan.Untuk lancarnya pelaksanaan ke lima pilar tersebut,
maka pemerintah melaksanakan strategi yang dianggap cukup baik dalam pengelolaan
sumber daya pendidikan yang efisien di Perguruan Tinggi (khususnya dalam hal
pendanaan) adalah menggunakan cara yang dikenal dengan nama Planning,
Programming and Budgeting System (PPBS) atau lebih dikenal dengan nama Sistem
Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pendidikan atau disingkat dengan
nama SP4 (Anonim, 2004). PPBS ini telah banyak dicoba dan dipraktekkan di berbagai
Perguruan Tinggi di luar negeri dan hasilnya cukup menggembirakan.
3. Masalah Besar Pendidikan Indonesia yang Harus Direspon:
Masalah besar pendidikan di Indonesia seperti dituliskan di atas adalah bagaimana (a).
Meningkatkan pemerataan dan akses terhadap pendidikan, (b). Meningkatkan
kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan dan (c). Meningkatkan tata kelola,
akuntabilitas kinerja, dan citra publik terhadap penyelenggaraan pendidikan ke arah
yang lebih baik.Ketimpangan pemerataan pendidikan bukan saja terjadi di antar
wilayah Indonesia kawasan barat dan timur, atau di Jawa dan luar Jawa, tetapi juga
terjadi di kawasan perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan pemerataan juga terjadi di
antar tingkat pendapatan penduduk dan bahkan juga terjadi di antar gender.
Sedangkan kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Menurut
dokumen Propenas tahun 2000-2004, dituliskan bahwa berdasarkan hasil studi
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 18
19. International Education Achievement diketahui bahwa kemampuan membaca murid
Sekolah Dasar Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti.
Sementara itu kemampuan Matematika murid Sekolah Lanjutan Menengah Pertama
(SLTP) berada di urutan ke-39 dari 42 negara yang diteliti, dan untuk kemampuan Ilmu
Pengetahuan Alam, murid SLTP di Indonesia berada di urutan 40 dari 42 negara yang
diteliti. Sementara itu lemahnya manajemen pendidikan lebih banyak disebabkan oleh
kebijakan bidang pendidikan masa lalu dimana manajemen pendidikan nasional secara
keseluruhan masih banyak yang bersifat sentralistik, sehingga kurang mendorong
terjadinya demokratisasi dan sentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan yang
cenderung sentralistik ini juga menciptakan adanya kebijakan yang seragam untuk
seluruh Indonesia, padahal kebijakan yang demikian hampir dapat dipastikan tidak
dapat mengakomodasi perbedaan keragaman dan kepentingan di daerah, di sekolah,
dan bahkan di masing-masing peserta didik. Kebijakan yang sentralistik juga cenderung
dapat mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong
terjadinya pemborosan dan ketidak-efisienan pengelolaan sumber daya
pendidikan.Bahkan laporan dari ’World Competitiveness Yearbook’ menempatkan
kemampuan pendidikan di Indonesia untuk berkompetisi terus menurun. Pada tahun
1977 saat awal masa krisis ekonomi, urutan atau ranking pendidikan di Indonesia
berada di urutan 39 kemudian pada tahun 1999 urutan tersebut menurun menjadi
urutan 46 dari 47 negara. Pada tahun 2002 ranking kemampuan berkompetisi dari
pendidikan di Indonesia menurun lagi ke urutan 47 dari 49 negara yang ada di daftar
buku tersebut (Hamid, 2003). Untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional
seperti yang diuraikan di atas, masing-masing penyelenggara pendidikan dituntut
untuk melakukan upaya-upaya pengelolaan sumber daya pendidikan secara efektif
dan efisien. Maksudnya agar lembaga pendidikan tersebut mampu bertahan dan
berkembang ke arah yang lebih maju dan seterusnya mampu bertahan dan bersaing
dengan penyelenggara pendidikan yang lain yang jumlahnya yang semakin banyak dan
mutunya yang semakin baik.
c. Strategi yang harus dilakukan Administrator Sekolah untuk mewujudkan ketiga aspek
kinerja tersebut (butir a).
Variabel pembentuk daya saing pendidikan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Sumber daya pendidikan yang dipunyai dan pemanfaatannya
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 19
20. Mustahil kalau suatu lembaga ingin mempunyai daya saing yang tinggi kalau tidak
mempunyai sumber daya (resources) yang memadai. Di perguruan tinggi, sumber
daya ini dapat berupa sumber daya yang ‘dapat dilihat’ (tangible) dan yang
sumber daya yang tidak dapat dilihat (in-tangible). Sumber daya yang tangible,
antara lain: manusia (dosen, pegawai) dan sumber daya pendukung lainnya atau
sarana dan prasarana seperti laboratorium, gedung administrasi, ruang rapat,
ruang kerja dosen dan karyawan, ruang perpustakaan, ruang perkuliahan,
teknologi audio dan video, komputer dan internet, dana, IPR (intellect property
rights), hak monopoli dan hak exclusive licenses. Sementara itu yang in-tangible
adalah sistem/program pendidikan, kurikulum, organisasi dan kepemimpinan,
strong brands, serta kemampuan bekerjasama.
2. Kualitas produk lembaga pendidikan
Ada beberapa produk lembaga pendidikan yang dapat dipakai sebagai
parameter ’kemampuan bersaing’, yaitu produk yang tidak dapat dihasilkan oleh
lembaga lain, produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain, dan produk yang relatif
mudah disaingi oleh lembaga lain.
Produk yang tidak dapat dihasilkan oleh lembaga lain
Lembaga pendidikan tinggi yang mendapat ’exclusive licenses’ akan
menghasilkan produk yang tidak dapat disangi oleh lembaga pendidikan tinggi
yang lain. Misalnya, Akademi Kepolisian yang lisensinya dari Markas Besar
Kepolisian, Akademi ABRI atau Akabri yang lisensinya dari Markas Besar ABRI,
dan masih banyak contoh yang lain.
Produk yang sulit disaingi oleh lembaga lain Lembaga pendidikan sering
banyak diminati oleh mahasiswa dan keberadaannya sangat disegani oleh
pesaingnya yang disebabkan karena dipunyai parameter daya saing yang
relatif sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya. Parameter daya saing yang
sulit disaingi oleh lembaga tinggi lainnya, antara lain:
o Lembaga pendidikan tinggi yang sudah mempunyai ’Strong Brands’
yang kuat. Misalnya, Universitas Indonesia (UI), di samping universitas
yang banyak pengalaman, juga alumninya banyak yang mejabat
jabatan tinggi seperti Menteri, Dirjen, Duta Besar, dan sebagainya. Hal
yang sama dengan IPB, ITB, dan sebagainya.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 20
21. o Lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai sumber daya pendidikan
atau produk yang khas dan berbeda (distinctive). Misalnya, Universitas
Pelita Harapan dan Bina Nusantara Jakarta yang distinctive-nya berada
pada fasilitas teknologi informasi yang dipunyai dan yang diajarkan ke
mahasiswa. Parameter yang ’distinctive’ dapat bermacam-macam dan
keunggulan di parameter inilah sebenarnya yang dapat dipakai sebagai
’trigger’ (pemicu) untuk menarik mahasiswa baru untuk memilih
lembaga pendidikan tersebut. Parameter ’distinctive’ ini bisa
berbentuk: (a). teknologi informasi, (b). lulusannya dibantu
memperoleh pekerjaan (disalurkan penempatannya, walaupun hanya
beberapa bulan sambil yang bersangkutan memperoleh pekerjaan
tetap), (c). fasilitas pendidikan lainnya lengkap, (d). dan sebagainya.
o Lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh kepemimpinan
(leadership)-nya kuat, teamwork-nya juga kompak apalagi kalau
lembaga pendidikan tersebut dibina atau dipimpin oleh orang yang
dikenal komitmennya membangun pendidikan, mempunyai prestasi
akademis yang handal, mempunyai track records pengabdian kepada
masyarakat yang tinggi. Misalnya di IBI ada Dr. Kwiek Kian Gie,
Universitas Mercubuana ada Probosutedjo, Universitas Pancasila ada
Dr. Siswono, Universitas Indonesia Esa Unggul ada Dr. Abdul Gafur, dan
sebagainya.
o Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal reputasinya sebagai lembaga
ilmiah yang dicirikan hasil penelitiannya yang banyak mempengaruhi
kebijakan, banyak buku-buku yang ditulis oleh dosen, penghargaan
akademis khusus yang banyak diterima, dan sebagainya.
o Lembaga pendidikan tinggi yang dikenal mempunyai networks dan
partnerships yang kuat dan luas juga umumnya banyak diminati
mahasiswa.
o Lembaga pendidikan tinggi yang khas (unique) dan menawarkan
program serta keterampilan tertentu yang tidak banyak ditawarkan
oleh lembaga pendidikan tinggi yang lain.
3. Produk yang relatif mudah disaingi oleh lembaga lain
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 21
22. Bila saja lembaga pendidikan berada di posisi ini, maka dapat dipastikan
akan menghadapi banyak pesaing, dan bila saja tidak ’full fight’ (bersungguh-
sungguh) mengelolanya, maka bisa jadi sedikit saja atau bahkan tidak ada
mahasiswa yang akan mendaftar. Selanjutnya, untuk menghasilkan produk yang
mampu bersaing tentu diperlukan kemampuan (capability) dalam
memproduksinya. Karena itu diperlukan penetapan terhadap produk-produk apa
yang diinginkan, sumber daya dan kemampuan apa yang harus disiapkan atau
bahkan dimiliki. Bila suatu lembaga pendidikan sudah mempunyai kemampuan
berkompetisi dengan lembaga yang lain, maka tugas lebih lanjut adalah (a).
Mempertahankan kemampuan berkompetisi yang telah dimilikinya (dalam jangka
waktu yang relatif lama), dan (b). Meningkatkan dan mencari macam kompetisi
baru lainnya.Kemampuan berkompetisi sebaiknya berjangka panjang, walaupun
diakui bahwa hal ini sulit. Mengapa? Sebab lingkungan pendidikan (education
environment) berubah, kebutuhan atau keinginan pengguna produk pendidikan
(users) juga berubah, ekspetasi atau harapan, baik ekspetasi penyelenggara
pendidikan (perguruan tinggi) maupun pengguna lulusan juga berubah. Belum lagi
pengaruh globalisasi terhadap produk perguruan tinggi menyebabkan pengelolaan
perguruan tinggi harus lebih profesional. Mempertahankan kemampuan
berkompetisi dalam waktu yang relatif lama disebut dengan istilah ’sustainable
competitive advantage’.
Sementara itu upaya untuk meningkatkan dan mencari macam kompetisi
baru juga perlu terus diusahakan. Karena itu kemampuan menyesuaikan diri dan
kemampuan mengantisipasi perubahan global termasuk perubahan terhadap
permintaan produk perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
Beberapa Alternatif Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing
(’Competitiveness’):
i. Menetapkan ’Core Competency’ Apakah yang disebut dengan ’core
competency’ dan apa relevansinya dengan peningkatan kemampuan
melakukan kompetisi di perguruan tinggi? Menurut Anonymous (2005), ’core
competency’ is ...the one thing that do better than its competitors. A core
competency can be anything from product development to employee
dedication. If a core competency yields a long term advantage to the
organization, it is said to be a sustainable competitive advantage’.Menurut
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 22
23. Hamel dan Prahalad (1990), ada tiga komponen yang mencirikan ‘core
competencies’, yaitu: (a). Mempunyai potensi akses yang luas. Misalnya,
lulusan perguruan tinggi diperlukan dan karenanya cepat memperoleh
pekerjaan, hasil penelitiannya berbobot sehingga mempengaruhi
pengambilan keputusan di lembaga lain yang lebih tinggi tingkatannya, dan
sebagainya. (b). Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan manfaat yang
lebih kepada pengguna produk perguruan tinggi tersebut, dan (c). Kualitas
produknya sulit untuk disaingi oleh perguruan tinggi lainnya.Berdasarkan
definisi dan ciri dari ’core competencies’ tersebut, maka tiap pimpinan
pendidikan tinggi dapat menentukan produk-produk apa yang dihasilkan dan
mempunyai karakter seperti yang dituliskan di definisi dan ciri-ciri ’core
competencies’ di atas. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk memproduksi
produk perguruan tinggi yang mampu berkompetisi. Misalnya, memberikan
nilai tambah kepada lulusannya dengan memberikan ekstrakurikuler
ketrampilan tertentu misalnya kemampuan menggunakan komputer,
kemampuan berbahasa Inggris atau ketrampilan lainnya. Nilai tambah yang
diberikan dapat beragam tergantung dari kebutuhan, namun sudah bukan
menjadi rahasia umum kalau lulusan S-1 yang baru lulus, di mana bila saja
mereka tidak mempunyai nilai tambah ’kemampuan menggunakan komputer,
kemampuan berbahasa Inggris, dan ketrampilan tertentu, maka sulit bagi
mereka untuk berkompetisi mencari pekerjaan.Untuk memperoleh
kemampuan berkompetisi secara jangka panjang yang berkelanjutan
(sustainable competitive advantage), maka produk perguruan tinggi dituntut
untuk memenuhi dua macam produk yang dicirikan oleh hal sebagai berikut:
Kualitas produk perguruan tinggi yang tidak dapat atau sulit ditiru oleh
perguruan tinggi lainnya (distinctive capability), baik yang bersifat
’tangible’ maupun ’intangible’. Sifat tangible ini misalnya mempunyai hak
patent, mempunyai lisensi-lisensi tertentu, dan mempunyai hak monopoli
untuk kegiatan tertentu. Sedangkan yang intangible, misalnya produk
perguruan tingginya yang sudah dikenal, kepemimpinan yang efektif di
perguruan tinggi yang bersangkutan, team work yang dikenal hebat,
pimpinan perguruan tingginya yang dikenal cakap/berwibawa,
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 23
24. mempunyai ’organizational culture’ yang hebat, mempunyai kerjasama,
dalam dan luar negeri yang kuat, dan sebagainya.
Kualitas produk perguruan tinggi yang dapat ditiru oleh perguruan tinggi
lainnya. Misalnya, kemampuan teknis dosen atau karyawan, kemampuan
finansial, kemampuan promosi.
4. Evaluasi Diri untuk Penyusunan Strategi Menuju ’Competitiveness’
Banyak cara atau strategi yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah
melakukan evaluasi diri untuk memotret bagaimana posisi pendidikan sekarang dan
bagaimana posisi itu dipakai untuk merespon lingkungan pendidikan yang ada dan
yang akan datang. Tiap pimpinan perguruan mempunyai cara (styles) sendiri-sendiri
karena pada hakekatnya memmimpin perguruan tinggi diperlukan ’art’ (seni)
tersendiri yang satu sama lainnya berbeda. Bagaimana kualitas ’art’ pimpinan
perguruan tinggi ini dalam memimpin sangat tergantung dari ’jam terbangnya’ atau
pengalaman dalam memimpin. Namun satu hal yang perlu diingat dalam hal
menciptakan, mempertahankan, dan membuat kemampuan berkompetisi, yaitu
kejelian dalam mengantisipasi dan merespon perubahan global.
Strategi dalam merespon Era GlobalEra globalisasi sekarang ini ternyata
menimbulkan apa yang disebut dengan ’hypercompetition’. Dalam artikelnya yang
berjudul ’The Potential Competitive Advantage of Innovative For-Profit/Non-Profit
Partnerships in Higher Education’, Profesor Goldstein (2004) menjelaskan bahwa
yang dimaksudkan dengan ’hyper-competition’ adalah ’...a key feature in global era
in which new costumers (users) want it quicker, cheaper, and they want it in their
way…’. Dengan prinsip seperti itu, maka lambat atau cepat akan terjadi perubahan
dalam organisasi lembaga pendidikan (perguruan tinggi) dalam merespon ciri
’hyper-competition’ tersebut.Beberapa saran tentang bagaimana membuat strategi
dalam rangka antisipasi globalisasi, antara lain melalui kebijakan sebagai berikut:
memperkuat jaringan kerjasama (networks) yang ada,
meningkatkan dan memperkuat kerjasama (partnerships),
memperkuat kemampuan atau penguasaan terhadap teknologi informasi,
memperkuat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya melalui
sinergitas berbagai kegiatan.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 24
25. Dalam kaitannya dengan memperkuat “networks and partnerships”, Prof.
Goldstein memberikan saran tentang strategi apa yang perlu dibuat (prioritas
utama) untuk mengantisipasi kompetisi tersebut, antara lain:
Memperkuat partnerships (kerjasama) baik dengan lembaga di dalam negeri
maupun dengan lembaga luar. Sebab kerjasama yang kuat (syukur kalau
dengan lembaga yang lebih tinggi statusnya) dalam setiap kegiatan yang
mendukung proses belajar-mengajar dan penelitian, maka dampaknya akan
lebih berbobot.
Memperkuat ’networks’ (jaringan) yang kuat baik dengan lembaga di dalam
negeri maupun lembaga luar negeri, ’personal networks’ (khususnya dengan
pembuat keputusan).
Prof. Soekartawi (1999, 2001, and team, 2000, and Flor, 2001), baik sendiri
maupun bekerja secara tim, telah mengembangkan dan mengevaluasi kekuatan
networking ini dalam meningkatkan kopetensi di perguruan tinggi. Pengalaman
Soekartawi (2001) soal bagaimana membangun network dan mengaplikasikannya dalam
SEARCA’s University Consortium seperti yang dituangkan dalam tulisannya yang
berjudul ’Seven Ways in Successful Academic Networking’ barangkali baik untuk
referensi untuk menyusun strategi meningkatkan kompetisi melalui pendekatan
networks dan partnerships. Sementara itu, dalam kaitannya dengan meningkatkan
penguasaan dan aplikasi teknologi informasi, telah pula dibahas oleh para ahli.
Misalnya, Prof. Sweeney dan Daly (2002) dalam artikelnya yang berjudul ’The Higher
Education Competitive Advantage: Accelerated Learning and Artificial Intelligence’ lebih
cenderung menyarankan untuk memperkuat kemampuan teknologi informasi. Sebab
saat jaman global seperti sekarang ini kebutuhan akan kemampuan menguasai dan
menggunakan teknologi informasi adalah sangat besar.Selanjutnya, upaya
meningkatkan competitiveness juga dapat dilakukan melalui meningkatkan
pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara efisien dengan memperhatkan aspek
’sinergitas’. Gallon, Stillman and Coates (Anonymous, 2005) membedakan kompetensi
yang harus dicapai di kegiatan bisnis dan di kegiatan akademis. Karena itu mereka
mendefinisikan kompetensi di lembaga seperti perguruan tinggi, yaitu ’....core
competencies are aggregates of capabilities, where synergy is created that has
sustainable value and broad applicability...’. Jadi kata ‘synergy’ menjadi kata kunci yang
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 25
26. maksudnya adalah pemanfaatan sumber daya pendidikan efisien agar hasilnya sesuai
dengan diharapkan. Misalnya bagaimana ‘team building’ dibentuk agar kegiatan yang
sinergi bisa diciptakan. Di sini kombinasi yang sinergis antara pengetahuan (knowledge)
dan ketrampilan (skills) harus saling melengkapi dan saling mendukung agar
memperoleh hasil seperti yang optimal seperti yang diinginkan. Departemen Pendidikan
Nasional atau Depdiknas sebagai suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap
pembangunan pendidikan di Indonesia, menyarankan bahwa dalam membangun suatu
lembaga pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif, tidak bisa dilakukan secara
parsial, namun harus dilakukan secara komprehensif dan holistik (menyeluruh).
Depdiknas dan juga lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri menerapkan konsep
pembangunan pendidikan untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui cara
’Planning, Programming, and Budgeting System’ (PPBS) atau dalam bahasa
Indonesianya dikenal dengan nama Sistem Perencanaan, Penyusunan Program dan
Penganggaran’ atau SP4 (Anonim, 2003). Uraian berikut ini khusus membahas PPBS
atau SP4 karena bagaimanapun cara ini masih diakui oleh Depdiknas sebagai salah cara
ampuh untuk meningkat kemampuan perguruan tinggi untuk berkompetisi secara sehat
dengan lembaga pendidikan yang lain.Salah satu cara yang kini dipakai oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Depdiknas adalah menggunakan cara atau strategi yang dinamakan
PPBS atau Planning, Programming, Budgeting System. Wikipedia (2005) mendefinisikan
PPBS ....is an effect on integrating of number of techniques in a planning and budgeting
process for identifying, costing and assigning a complexity of resources for establishing
priorities and strategies in a major program and for forecasting costs, expenditure and
achievements within the immediate financial year or over a longer period.Berdasarkan
laporan yang ditulis oleh Wikipedia tersebut, dikemukakan bahwa PPBS lahir tahun
1962 yang justru dipakai oleh departemen Pertahanan Amerika Serikat, pada saat
Menteri Pertahannya dijabat oleh Robert McNamara. Dengan pengalaman di
Departemen Pertahanan tersebut, maka teknik PPBS ini diyakini mampu untuk:
Mengidenfikasi tujuan perencanaan dalam jangka panjang berdasarkan
sumberdaya yang dipunyai sekarang dan yang akan datang.
Menganalisa secara cermat terhadap manfaat dan biaya dari program atau
program alternatifnya untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai.
Menjelaskan keterkaitan antara program dan anggaran yang diperlukan serta
perubahan-perubahannya bila ada penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 26
27. Karena itulah maka para ahli dan praktisi banyak yang menggunakan PPBS ini
dan berkomentar, antara lain (Anonymous, 2005) yang mengomentari bahwa
keunggulan PPBS sebagai berikut: ‘PPBS imposed financial discipline, integrated the
information necessary to develop effective programs to address existing and emerging
needs, and established a disciplined review and approval process’.
Langkah-Langkah Praktis Meningkatkan Daya Saing Seperti dijelaskan
sebelumnya sumber daya pendidikan di perguruan tinggi meliputi sumber daya yang
tangible dan in-tangible. Untuk mencapai pengelolaan sumber daya pendidikan secara
efisien, maka prinsip-prinsip dari fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian kerja perlu diikuti dan
dilaksanakan secara baik. Hal ini penting karena keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan di perguruan tinggi hanya dapat tercapai secara optimal apabila ada
keterpaduan dari setiap aspek fungsi manajemen tersebut. Karena itulah maka berbagai
cara telah dicoba untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna pengelolaan
pendidikan. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka pemikiran yang memanfaatkan
sumber daya pendidikan tinggi untuk mampu berkompetisi adalah sebagai berikut:
1. Enhanced Program Excellence and Relevance:
Semua program yang akan dilaksanakan diusahakan sedapat-dapatnya merupakan
program yang terbaik dan ada relevansinya dengan kebutuhan. Teknisnya dapat
dilakukan hal-hal sebagai berikut:a. mendefinisikan apa programnya dan tetapkan
apa parameternya,b. membuat LogFrame (Logical Framework),c. menetapkan
secara jelas pengelolanya (Who you are?), dan d. menetapkan apa yang dicita-
citakan (what ought to be?).
2. Enhance Efficiency and Quality Management:
Prinsip-prinsip manajerial yang efektif dan efisien serta yang berkualitas perlu
dipahami oleh semua pengelola, termasuk dosen dan karyawan lembaga pendidikan
tersebut. Maksudnya agar terjadi kesamaan pengertian antara apa yang
dimaksudkan pimpinan adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh dosen dan
karyawan.
3. Ensured Financial Viability:
Ada dua hal yang perlu diperhatikan manakala membahas dana, yaitu:
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 27
28. o Dana yang cukup dan memadai serta tersedia bila sewaktu-waktu diperlukan.
Pimpinan lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk mampu menggalang dana.
Untuk perguruan tinggi, sumber dana dapat berasal dari: (i). SPP mahasiswa, (ii).
Bantuan/partisipasi masyarakat (sumbangan sukarela), (iii). Usaha sendiri yang
dilakukan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan melalui penelitian dan
berbagai macam kerjasama, (iv). Donor dari luar negeri.
o Efisiensi pemanfaatan dana.
Pimpinan perguruan tinggi dituntut untuk mampu melakukan efisiensi
penggunaan dana tanpa harus mengurangi cita-cita (goals) yang diiinginkan.
Prinsip-prinsip seperti yang ada di dokumen SP4 (Sistem Perencanaan,
Penyusunan program dan Penganggaran) yang kini dianjurkan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, barangkali bisa dipakai
sebagai acuan.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 28
29. Soal-2:
Rumuskan pemahaman Anda tentang Konsep Administrasi Pendidikan. Identifikasi kata-kata
kunci yang tercakup di dalam rumusan tersebut. Selanjutnya Jelaskan masing-masing kata kunci
tersebut.
Jawab Soal-2:
Menurut Husaini (2006:7) pengertian administrasi pendidikan adalah seni atau ilmu
mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaa, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Administrasi pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola
sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber daya
pendidikan adalah sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang
meliputi enam hal; (1) administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik;
(3)administrasi keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi hubungan
sekolah dengan masyarakat; dan (6) administrasi layanan khusus.
Salah satu fungsi manajemen adalah pengerahan atau pelaksanaan. Setelah
melaksanakan perencaan dan pengorganisian yang terpenting adalah implementasi dari
perencaaan yaitu pelaksaan. Pelasanaan dalam program organisasi sangat terggantung dari dua
aspek, yaitu: Kepemimpinan, dan motivasi kerja anggota organisasi. Antar pemimpin dan
pelaksana mempunyai tugas dan bertanggung jawab masing masing atas tugasnya. Program
tidak akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila tidak didukung oleh kepemimpinan
yang kuat dan motivasi kerja para anggota organisasi.
Minat besar dalam Administrasi Pendidikan atau sering juga disebut Manajemen
Pendidikan di mulai awal abad 21. Hal ini karena kualitas kepemimpinan dipercaya secara luas
membuat perbedaan yang signifikan kepada sekolah dan siswa. Di banyak bagian dunia, ada
pengakuan bahwa sekolah membutuhkan pemimpin dan manajer yang efektif jika mereka ingin
memberikan pendidikan yang terbaik kepada pelajar mereka. Ketika ekonomi global mengalami
resesi, pemerintah lebih menyadari bahwa aset utama mereka adalah orang-orang yang
kompetitif dan semakin tergantung pada sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga
kerja terampil. Hal ini memerlukan guru-guru yang terlatih dan berkomitmen, dan pada
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 29
30. gilirannya, memerlukan kepemimpinan kepala sekolah yang sangat efektif dan dukungan lain
manajer senior dan menengah (Bush, in press).
Bidang manajemen pendidikan adalah pluralis, dengan banyaknya kekurangan
perspektif dan kesepakatan yang tak terelakkan mengenai definisinya. Salah satu kunci
perdebatan apakah manajemen pendidikan telah menjadi bidang yang berbeda atau hanya
sebuah cabang studi yang lebih luas dari manajemen. Sementara pendidikan dapat belajar dari
manajemen lain, manajemen pendidikan harus terpusat pada tujuan pendidikan. Tujuan atau
tujuan ini memberikan arti penting arah untuk mendukung manajemen sekolah. Kecuali
keterkaitan antara tujuan dan manajemen pendidikan yang jelas dan dekat, ada bahaya
'Managerialism', "Penekanan pada prosedur dengan mengorbankan tujuan pendidikan serta
nilai-nilai " (Bush, 1999:240).
1. Konsep Manajemen
Dari segi bahasa manajemen berasal dari kata manage (to manage) yang berarti “to
conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary), dalam
Kamus Inggeris Indonesia kata Manage diartikan “Mengurus, mengatur, melaksanakan,
mengelola”(John M. Echols, Hasan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia) , Oxford Advanced
Learner’s Dictionary mengartikan ‘to Manage’ sebagai “to succed in doing something especially
something difficult….. Management the act of running and controlling business or similar
organization” sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘Manajemen’ diartikan
sebagai “Proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran”(Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Adapun dari segi Istilah telah banyak para ahli telah memberikan pengertian
manajemen, dengan formulasi yang berbeda-beda, berikut ini akan dikemukakan beberapa
pengertian manajemen guna memperoleh pemahaman yang lebih jelas.
Tabel 1.1 Pendapat Pakar tentang Manajemen
No Pengertian manajemen Pendapat
1. The most comporehensive definition views manajemen as an (Lester Robert Bittel
integrating process by which authorized individual create, (Ed), 1978 : 640)
maintain, and operate an organization in the selection an
accomplishment of it’s aims
2. Manajemen itu adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada (Prajudi
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 30
31. No Pengertian manajemen Pendapat
semua faktor dan sumberdaya, yang menurut suatu Atmosudirdjo,1982 :
perencanaan (planning), diperlukan untuk mencapai atau 124)
menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu
3. Manajemen is the use of people and other resources to ( Boone& Kurtz. 1984
accomplish objective : 4)
4. .. manajemen-the function of getting things done through (Harold Koontz, Cyril
people O’Donnel:3)
5. Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri (George R. Terry,
dari tindsakan-tindakan : Perencanaan, pengorganisasian, 1986:4)
menggerakan, dan poengawasan, yang dilakukan untuk
menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia serta
sumber-sumber lain
6. Manajemen dapat didefinisikan sebagai ‘kemampuan atau (Sondang P. Siagian.
ketrampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka 1997 : 5)
pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain’.
Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa manajemen
merupakan alat pelaksana utama administrasi
7. Manajemen is the process of efficiently achieving the objectives De Cenzo&Robbin
of the organization with and through people 1999:5
Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas nampak jelas bahwa perbedaan
formulasi hanya dikarenakan titik tekan yang berbeda namun prinsip dasarnya sama, yakni
bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan adalah dalam rangka mencapai suatu tujuan dengan
memanfaatkan seluruh sumberdaya yang ada, sementara itu definisi nomor empat yang
dikemukakan oleh G.R Terry menambahkan dengan proses kegiatannya, sedangkan definisi
nomor lima dari Sondang P Siagian menambah penegasan tentang posisi manajemen
hubungannya dengan administrasi. Terlepas dari perbedaan tersebut, terdapat beberapa
prinsip yang nampaknya menjadi benang merah tentang pengertian manajemen yakni :
1. Manajemen merupakan suatu kegiatan
2. Manajemen menggunakan atau memanfaatkan pihak-pihak lain
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 31
32. 3. Kegiatan manajemen diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu
Setelah melihat pengertian manajemen, maka nampak jelas bahwa setiap organisasi
termasuk organisasi pendidikan seperti Sekolah akan sangat memerlukan manajemen untuk
mengatur/mengelola kerjasama yang terjadi agar dapat berjalan dengan baik dalam
pencapaian tujuan, untuk itu pengelolaannya mesti berjalan secara sistematis melalui tahapan-
tahapan dengan diawali oleh suatu rencana sampai tahapan berikutnya dengan menunjukan
suatu keterpaduan dalam prosesnya, dengan mengingat hal itu, maka makna pentingnya
manajemen semakin jelas bagi kehidupan manusia termasuk bidang pendidikan.
2. Konsep Manajemen Pendidikan
Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman
tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip serta fungsi-
fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan terlihat dalam substansi yang
dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan.
Oteng Sutisna (1989:382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga
bidang perhatian dan kepentingan yaitu : (1) setting Administrasi pendidikan (geografi,
demograpi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan pembangunan); (2) pendidikan (bidang
garapan Administrasi); dan (3) substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya,
asas-asasnya, dan prilaku administrasi), hal ini makin memperkuat bahwa manajemen
pendidikan mempunyai bidang dengan cakupan luas yang saling berkaitan, sehingga
pemahaman tentangnya memerlukan wawasan yang luas serta antisipatif terhadap berbagai
perubahan yang terjadi di masyarakat disamping pendalaman dari segi perkembangan teori
dalam hal manajemen.
Dalam kaitannya dengan makna manajemen Pendidikan berikut ini akan dikemukakan
beberapa pengertian manajemen pendidikan yang dikemukakan para ahli. Dalam hubungan ini
penulis mengambil pendapat yang mempersamakan antara Manajemen dan Administrasi
terlepas dari kontroversi tentangnya, sehingga dalam tulisan ini kedua istilah itu dapat
dipertukarkan dengan makna yang sama.
Tabel 2.1 Pendapat Pakar tentang manajemen Pendidikan
No Pengertian manajemen Pendidikan Pendapat
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 32
33. No Pengertian manajemen Pendidikan Pendapat
1. Administrasi pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan Djam’an Satori, (1980:
proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber 4)
personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan
efisien…
2. Dalam pendidikan, manajemen itu dapat diartikan sebagai Made Pidarta, (1988:4)
aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar
terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan sebelumnya
3. Manajemen pendidikan ialah proses perencanaan, peng- Biro Perencanaan
organisasian, memimpin, mengendalikan tenaga Depdikbud, (1993:4)
pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa,
mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap, mandiri, serta bertanggung
jawab kemasyarakat dan kebangsaan
4. educational administration is a social process that take place Castetter. (1996:198)
within the context of social system
5. Manajemen pendidikan dapat didefinisikan sebagi proses Soebagio Atmodiwirio.
perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan (2000:23)
tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan…
6. Manajemen pendidikan ialah suatu ilmu yang mempelajari Engkoswara (2001:2)
bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana
menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta
di dalam mencapai tujuan yang disepakati bersama
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 33
34. dengan memperhatikan pengertian di atas nampak bahwa manajemen pendidikan pada
prinsipnya merupakan suatu bentuk penerapan manajemen atau administrasi dalam
mengelola, mengatur dan mengalokasikan sumber daya yang terdapat dalam dunia pendidikan,
fungsi administrasi pendidikan merupakan alat untuk mengintegrasikan peranan seluruh
sumberdaya guna tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu konteks sosial tertentu, ini
berarti bahwa bidang-bidang yang dikelola mempunyai kekhususan yang berbeda dari
manajemen dalam bidang lain.
Menurut Engkoswara (2001:2) wilayah kerja manajemen pendidikan dapat digambarkan secara
skematik sebagai berikut :
Perorangan
Garapan SDM SB SFD
Fungsi
Perencanaan TPP
Pelaksanaan
Pengawasan
Kelembagaan
Tabel 2.2 Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
gambar di atas menunjukan suatu kombinasi antara fungsi manajemen dengan bidang garapan
yakni sumber Daya manusia (SDM), Sumber Belajar (SB), dan Sumber Fasilitas dan Dana (SFD),
sehingga tergambar apa yang sedang dikerjakan dalam konteks manajemen pendidikan dalam
upaya untuk mencapai Tujuan Pendidikan secara Produktif (TPP) baik untuk perorangan
maupun kelembagaan Lembaga pendidikan seperti organisasi sekolah merupakan kerangka
kelembagaan dimana administrasi pendidikan dapat berperan dalam mengelola organisasi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dilihat dari tingkatan-tingkatan suatu organisasi
dalam hal ini sekolah, administrasi pendidikan dapat dilihat dalam tiga tingkatan yaitu tingkatan
institusi (Institutional level), tingkatan manajerial (managerial level), dan tingkatan teknis
(technical level) (Murphy dan Louis, 1999). Tingkatan institusi berkaitan dengan hubungan
antara lembaga pendidikan (sekolah) dengan lingkungan eksternal, tingkatan manajerial
berkaitan dengan kepemimpinan, dan organisasi lembaga (sekolah), dan tingkatan teknis
berkaitan dengan proses pembelajaran. Dengan demikian manajemen pendidikan dalam
konteks kelembagaan pendidikan mempunyai cakupan yang luas, disamping itu bidang-bidang
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 34
35. yang harus ditanganinya juga cukup banyak dan kompleks dari mulai sumberdaya fisik,
keuangan, dan manusia yang terlibat dalam kegiatan proses pendidikan di sekolah
Menurut Consortium on Renewing Education (Murphy dan Louis, ed. 1999:515) Sekolah
(lembaga pendidikan) mempunyai lima bentuk modal yang perlu dikelola untuk keberhasilan
pendidikan yaitu :
1. Integrative capital (modal integrative)
2. Human capital (modal manusia)
3. Financial capital (modal keuangan)
4. Social capital (modal social)
5. Political capital (modal politik)
Modal integratif adalah modal yang berkaitan dengan pengintegrasian empat modal
lainnya untuk dapat dimanfaatkan bagi pencapaian program/tujuan pendidikan. Modal
manusia adalah sumberdaya manusia yang kemampuan untuk menggunakan pengetahuan
bagi kepentingan proses pendidikan/pembelajaran. Modal keuangan adalah dana yang
diperlukan untuk menjalankan dan memperbaiki proses pendidikan. Modal sosial adalah ikatan
kepercayaan dan kebiasaan yang menggambarkan sekolah sebagai komunitas. Modal politik
adalah dasar otoritas legal yang dimiliki untuk melakukan proses pendidikan/pembelajaran.
Dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas, nampak bahwa salah satu
fungsi penting dari manajemen pendidikan adalah berkaitan dengan proses pembelajaran, hal
ini mencakup dari mulai aspek persiapan sampai dengan evaluasi untuk melihat kualitas dari
suatu proses tersebut, dalam hubungan ini Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang
melakukan kegiatan/proses pembelajaran jelas perlu mengelola kegiatan tersebut dengan baik
karena proses belajar mengajar ini merupakan kegiatan utama dari suatu sekolah (Hoy dan
Miskel 2001). Dengan demikian nampak bahwa Guru sebagai tenaga pendidik merupakan
faktor penting dalam manajemen pendidikan, sebab inti dari proses pendidikan di sekolah pada
dasarnya adalah guru, karena keterlibatannya yang langsung pada kegiatan pembelajaran di
kelas. Oleh karena itu Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidik dalam suatu lembaga
pendidikan akan menentukan bagaimana kontribusinya bagi pencapaian tujuan, dan kinerja
guru merupakan sesuatu yang harus mendapat perhatian dari fihak manajemen pendidikan di
sekolah agar dapat terus berkembang dan meningkat kompetensinya dan dengan peningkatan
tersebut kinerja merekapun akan meningkat, sehingga akan memberikan berpengaruh pada
peningkatan kualitas pendidikan sejalan dengan tuntutan perkembangan global dewasa ini.
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 35
36. 3. Perkembangan Manajemen Pendidikan
(1) Teori Manajemen Kuno;
Sampai dengan tingkat tertentu, manajemen telah dipraktekkan oleh masyarakat kuno.
Sebagai contoh, bangsa Mesir bisa membuat piramida. Bangunan yang cukup kompleks yang
hanya bisa diselesaikan dengan koordinasi yang baik. Kekaisaran Romawi mengembangkan
struktur organisasi yang jelas, dan sangat membantu komunikasi dan pengendalian.
Meskipun manajemen telah dipraktekkan dan dibicarakan di jaman kuno, tetapi kejadian
semacam itu relatif sporadis, dan tidak ada upaya yang sistematis untuk mempelajari
manajemen. Karena itu manajemen selama beberapa abad kemudian “terlupakan”.
Pada akhir abad 19-an, perkembangan baru membutuhkan studi manajemen yang lebih serius.
Pada waktu industrialisasi berkembang pesat, dan perusahaan-perusahaan berkembang
menjadi perusahaan raksasa.
(2) Teori Manajemen Klasik;
a) Teori Manajemen Klasik
• Robert Owen (1771-1858)
Owen berkesimpulan bahwa manajer harus menjadi pembaharu (reformer). Beliau melihat
peranan pekerja sebagai yang cukup penting sebagai aset perusahaan. Pekerja bukan saja
merupakan input, tetapi merupakan sumber daya perusahaan yang signifikan. Ia juga
memperbaiki kondisi pekerjanya, dengan mendirikan perumahan (tempat tinggal) yang lebih
baik. Beliau juga mendirikan toko, yang mana pekerjanya tidak kesusahan dan dapat membeli
kebutuhan dengan harga murah. Ia juga mengurangi jam kerja dari 15 jam menjadi 10,5 jam,
dan menolah pekerja dibawah umur 10 tahun.
Owen berpendapat dengan memperbaiki kondisi kerja atau invertasi pada sumber daya
manusia, perusahaan dapat meningkatkan output dan juga keuntungan. Disamping itu Owen
juga memperkenalkan sistem penilaian terbuka dan dilakukan setiap hari. Dengan cara seperti
itu manajer diharapkan bisa melokalisir masalah yang ada dengan cepat.
• Charles Babbage (1792-1871)
Babbage merupakan profesor matematika di Inggris. Dengan metode kuantitatifnya beliau
percaya:
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 36
37. 1. Bahwa prinsip-prinsip ilmiah dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi
produksi, produksi naik biaya operasi turun.
2. Pembagian Kerja (division of labor); dengan ini kerja/operasi pabriknya bisa
dianalisis secara terpisah. Dengan cara semacam ini pula training bisa dilakukan
dengan lebih mudah.
3. Dengan melakukan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang, maka pekerja akan
semakin terampil dan berarti semakin efisien.
b) Teori Manajemen Ilmiah
• Federick Winslow Taylor (1856-1915)
Federick Taylor disebut sebagai bapak manajemen ilmiah. Taylor memfokuskan perhatiannya
pada studi waktu untuk setiap pekerjaan (time and motion study); dari sini ia mengembangkan
analisis kerja. Taylor kemudian memperkenalkan sistem pembayaran differential (differential
rate).
Manajemen Taylor didasarkan pada langkah atau prinsip sebagai berikut :
1. Mengambangkan Ilmu untuk setiap elemen pekerjaan, untuk menggantikan pikiran
yang didasari tanpa ilmu.
2. Memilih karyawan secara ilmiah, dan melatih mereka untuk melakukan pekerjaan
seperti yang ditentukan pada langkah-1.
3. Mengawasi karyawan secara ilmiah, untuk memastikan mereka mengikuti metode
yang telah ditentukan.
4. Kerjasama antara manajemen dengan pekerja ditingkatkan. Persahabatan antara
keduanya juga ditingkatkan
• Frank B. Gilberth (1868-1924) dan Lillian Gilberth (1887-1972)
Keduanya adalah suami istri yang mempunyai minat yangsama terhadap manajemen.
Menurut Frank pergerakan yang dapat dihilangkan akan mengurangi kelelahan. Semangat kerja
akan naik karena bermanfaat secara fisik pada karyawan. Sedang Lilian memberikan kontribusi
pada lapangan psikologi industri dan manajemen personalia. Beliau percaya bahwa tujuan akhir
manajemen ilmiah adalah membantu pekerja mencapai potensi penuhnya sebagai seorang
manusia. Keduanya mengembangkan rencana promosi tiga tahap, yaitu :
a) Menyiapkan Promosi
b) Melatih Calon Pengganti
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 37
38. c) Melakukan Pekerjaan
Menurut metode tersebut, seorang pekerja akan bekerja seperti biasa, sambil menyiapkan
promosi karir, dan melatih calon penggantinya. Dengan demikian pekerja akan menjadi
pelaksana, pelajar yaitu menyiapkan karir yang lebih tinggi, dan pengajar dalam arti mengajari
dalon pengganti.
• Henry L. Gantt (1861-1919)
Gantt melakukan perbaikan metode sistem penggajian Taylor (differential system) karena
menurutnya metode tersebut kurang memotivasi kerja. Sistem Pengawasan (supervisor)
diterapkannya sebagai upaya untuk memacu semangat kerja karyawan. Disamping itu Gantt
juga memperkenalkan sistem penilaian terbuka yang awalnya merupakan ide Owen. Gantt
chart (bagan Gantt) kemudian populer dan gigunakan untuk perencanaan, yaitu mencatat
scedul (jadwal) pekerja tertentu.
c) Teori Manajemen Organisasi
• Henry Fayol (1841-1925)
Henry Fayol merupakan industrialis Prancis, ia sering disebut sebagai bapak aliran
manajemen klasik karena upaya “mensistematisir” studi manajerial. Menurut Fayol, praktek
manajemen dapat dikelompokkan ke dalam beberapa pola yang dapat diidentifikasi dan
dianalisis. Dan selanjutnya analisis tersebut dapat dipelajari oleh manajer lain atau calon
manajer.
Fayol adalah orang yang pertama mengelompokkan kegiatan menajerial dalam 4 fungsi
manajemen, yaitu : (1) Perencanaan, (2) Pengorganisasian, (3) Pengarahan, dan (4)
Pengendalian. Fayol percaya bahwa manajer bukan dilahirkan tetapi diajarkan. Manajemen
bisa dipelajari dan dipraktekkan secara efektif apabila prinsip-prinsip dasarnya dipahami.
• Max Weber (1864-1920)
Max Weber adalah seorang ahli sosiologi Jerman yang mengembangkan teori birokrasi.
Menurutnya, suatu organisasi yang terdiri dari ribuan anggota membutuhkan aturan jelas
untuk anggota organisasi tersebut. Organisasi yang ideal adalah birokrasi dimana aktivitas dan
tujuan diturunkan secara rasional dan pembagian kerja disebut dengan jelas. Birokrasi
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 38
39. didasarkan pada aturan yang rasional yang dapat dipakai untuk mendesain struktur organisasi
yang jelas.
Konsep birokrasi Weber berlainan dengan pengertian birokrasi populer, dimana orang
cnderung mengartikan kata birokrasi dengan konotasi negatif, yaitu organisasi yang lamban,
tidak reponsif terhadap perubahan.
• Mary Parker Follet (1868-1933)
Mary Parker Follet agak berbeda sedikit dengan pendahulunya karena memasukkan elemen
manusia dan struktur organisasi kedalam analisisnya. Elemen tersebut kemudian muncul dalam
teori perilaku dan hubungan manusia. Follet percaya bahwa seseorang akan menjadi manusia
sepenuhnya apabila manusia menjadi anggota suatu kelompok. Konsekuensinya, Follet percaya
bahwa manajemen dan pekerja mempunyai kepentingan yang sama, karena menjadi anggota
organisasi yang sama.
Selanjutnya Follet mengembangkan model perilaku pengendalian organisasi dimana
seseorang dikendalikan oleh tiga hal, yaitu :
1. Pengendalian diri (dari orang tersebut);
2. Pengendalian kelompok (dari kelompok);
3. Pengendalian bersama (dari orang tersebut dan dari kelompok).
• Chester I Barnard (1886-1961)
Bernard mengambangkan teori organisasi, menurutnya orang yang datang keorganisasi
formal (seperti perusahaan) karena ingin mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai sendiri.
Pada waktu mereka berusaha mencapai tujuan organisasi, mereka juga akan berusaha
mencapai tujuannya sendiri. Organisasi bisa berjalan dengan efektif apabila keseimbangan
tujuan organisasi dengan tujuan anggotanya dapat terjaga.
Bernard percaya bahwa keseimbangan antara tujuan organisasi dengan individu dapat dijaga
apabila manajer mengerti konsep wilayah penerimaan (zone of acceptance), dimana pekerja
akan menerima instruksi atasannya tanpa mempertanyakan otoritas manajemen.
(3) Teori Manajemen Kontemporer.
Beberapa pendekatan sudah dibicarakan dimuka, dimana pendekatan-pendekatan
tersebut mengalami perkembangan. Ada beberapa perkembangan yang cenderung
mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sebelumnya, menjadikan batas-batas pendekatan
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 39
40. yang telah dibicarakan menjadi tidak jelas. Namun demikian ada pendekatan yang tetap
berakar pada pendekatan-pendekatan tertentu. Bagian berikut ini akan membicarakan
pendekatan baru dalam manajemen :
1) Pendekatan Sistem
Sistem dapat diartikan sebagai gabungan sub-sub sistem yang saling berkaitan. Organisasi
sebagai suatu sistem akan dipandang secara keseluruhan, terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan (sub-sistem), dan sistem/organisasi tersebut akan berinteraksi dengan lingkungan.
Model pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai berikut[10] :
Pada proses selanjutnya pendekatan inilah yang selama ini digunakan dalam sistem
manajemen pendidikan di indonesia. Sebelum munculnya sistem pendekatan-pendekatan yang
baru.
2) Pendekatan Situasional (Contingency)
Pendekatan ini menganggap bahwa efektivitas manajemen tergantung pada situasi yang
melatarbelakanginya. Prinsip manajemen yang sukses pada situasi tertentu, belum tentu efektif
Ujian Akhir Semester: Mata Kuliah Dasar Administrasi Pendidikan (AP701) Hal 40