SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 60
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN
PENDIDIKAN
(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis)

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi, Psikologi, dan Sosiologi
dari Kepemimpinan Pendidikan

DOSEN :
PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK
PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd

Oleh :
ASEP WAHYU
NIM. 4103810413003
DENNY KODRAT
NIM. 4103810413007
SLAMET
NIM. 4103810413018

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2014
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena keunikannya,
lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga atau organisasi
lainnya. Keunikannya terletak dari misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia
yang memiliki kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup
sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu pulalah, lembaga
pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh lembaga dan orang-orang yang
berkompeten.
Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah maupun
komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan yang handal dalam hal
penyusunan dan pengembangan kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana,
pengadaan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan
berbagai hal yang menjadi standar nasional pendidikan. Hal ini penting, sehingga
penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.
Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen sekolah) memiliki
peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis depan (front office line) yang
bertanggungjawab menyelenggarakan proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya,
proses pembelajaran dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah
sejatinya proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan
budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan terjadi dengan
memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya, pemahaman pengelola pendidikan
terhadap tujuan dan fungsi pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga
pendidikan yang dikelolanya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

2
Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi besar terhadap
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Kewenangan penyelenggaraan pendidikan
dasar dan menengah (kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007
didelegasikan

kewenangan

penyelenggaraannya

kepada

pemerintah

daerah

kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah yang berada pada perbatasan kabupaten/kota berada dalam
kewenangan pemerintah provinsi. Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam
menetapkan standar penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi
lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, serta standar
proses di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di Kabupaten/kota
dilaksanakan oleh dinas pendidikan, meski pada kenyataannya, dinas pengelola
pendidikan ini diberi pula tanggung jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda,
olah raga, kebudayaan, bahkan pariwisata. Oleh karenanya, dalam penyelenggaran
pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi penyelenggara pendidikan yang
kompeten. Penempatan personil, mulai dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola
pendidikan di satuan-satuan pendidikan, harus benar-benar memperhatikan aspek
kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place perlu secara
konsisten diimplementasikan.
Pimpinan dinas yang menyelenggarakan

pendidikan di kabupaten/kota dan

pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). Tead, Terry,
Hoyt (dalam Kartono, 2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni
mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan
orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

3
diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa dalam diri seorang pemimpin harus memiliki
kelebihan dibandingkan pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya
untuk mengarahkan

agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai dengan

tujuan-tujuan organisasi.
Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, kepemimpinan
menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan permasalahan, terutama bila
dipandang dari 2 (dua) hal, pertama adanya kenyataan bahwa penggantian pemimpin
(suksesi kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau organisasi;
kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan menjadi salah satu faktor
internal yang mempengaruhi keberhasilan organisasi, namun pada kenyataannya
dipandang

tidak

penting.

Sehingga

yang

terjadi

adalah

organisasi

memiliki

pemimpin/kepala namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil
penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti kebijakan”,
bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang kantor, ganti kursi, atau ganti warna
dinding, bukan sistem yang bekerja.
Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa setiap orang adalah
pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri, hal ini sebagaimana tertuang dalam
sebuah hadits :

Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw “Setiap kalian adalah
pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian… al-hadits”
(HR.Mutafaq `alaih).
Namun, terkadang
pemimpin

dan

terkadang

manusia lupa tentang
dia

tidak

tahu

pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.

peranan dia sebagai seorang

bahwa

kelak

dia

akan

dimintai

Adapula manusia yang ditakdirkan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

4
menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuat sebagai seorang
pemimpin. Disinilah diperlukan pengetahuan dan keilmuan tentang kepemimpinan,
sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap dan bingung dengan
jabatannya sehingga dapat menunaikan amanahnya.
Sekurang-kurangnya

terdapat

tiga

masalah

mendasar

yang

menandai

kekurangan ini. Pertama, adanya krisis komitmen. Kebanyakan orang tidak merasa
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memikirkan dan mencari pemecahan
masalah kemaslahatan bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah
kemajuan dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari
pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan kredibilitas tanggung jawab.
Kredibilitas itu dapat diukur misalnya dengan kemampuan untuk menegakkan etika,
memikul amanah, setia pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur
dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, kuat iman dalam
menolak godaan dan peluang untuk menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan
rumit.
Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau
keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar, banyak membaca, dan memiliki
pengetahuan mutakhir serta pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut
kepentingan orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki kredibilitas
dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai macam kondisi yang cepat
berubah, serta melanjutkan misi kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan
tersebut, pemimpin tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun
sejarah di kelak kemudian hari.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

5
Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah dalam proses
pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul dalam pengambilan keputusan
menjadi persoalan yang tidak mudah bagi seorang pemimpin. Persoalan ego,
kepentingan, kondisi bawahan, materi keputusan menjadi faktor-faktor yang
mempengaruhi seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Pemimpin harus berani
mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan mekanisme dan
ketentuan yang ada.
Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan kepada
pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari keputusan tetap berada di
level pemimpin. Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan sebagai proses
pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah
tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan sebagai usaha sadar
untuk menentukan satu alternatif dari berbagai alternatif untuk memecahkan masalah.
Beberapa peluang masalah dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini
disebabkan beberapa aspek, diantaranya: pertama, pembuat keputusan (pemimpin)
merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya. Kedua, pembuat keputusan
dalam organisasi pendidikan berhadapan dengan manusia, mengurusi urusan manusia,
bukan berhubungan dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga,
pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang hidup dalam
organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil proses pengambilan keputusan itu
sejatinya bukanlah hal yang sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah
kehadiran leadership itu diperlukan.
Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan Keputusan dalam
Kepemimpinan Pendidikan Kajian dari Presfektif

Agama, Filosofis, Psikologis,dan

Sosiologis”.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan masalah sebagai
berikut ini.
1. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau
dari perspektif agama?
2. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau
dari perspektif filsafat?
3. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau
dalam perspektif psikologis?
4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau
dalam perspektif sosiologi?

C. Tujuan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dari
perspektif agama.
2. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dari
perspektif filsafat .
3. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau
dalam perspektif psikologis.
4. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau
dalam perspektif sosiologi.
Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup messo dan mikro
pendidikan menurut perspektif agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

7
2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi, psikologi dan
sosiologi dari kepemimpinan pendidikan.

5. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu manajemen
khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Selain itu, makalah
ini menelaah berbagai macam teori pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
ditinjau dari perspektif agama, filosofis, psikologis dan sosiologi.
Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya dalam
meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal pengambilan keputusan
sebagai pengelola maupun sebagai penyelenggara organisasi pendidikan.

6. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui metode studi
kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau pada online yang membahas
mengenai kepemimpinan, pengambilan keputusan, serta landasan-landasan dalam
pengambilan keputusan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

8
BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

A. Kepemimpinan Pendidikan
Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam teori dan pendapat
berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe kepemimpinan,
kepemimpinan partisipatif dari aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.

1. Pengertian Kepemimpinan
Pengertian kepemimpinan sangat beragam. Setiap ahli mengemukakan
pengertiannya berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel & Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan
kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga
mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias.
James. M Black dalam bukunya Management, A guide to Executive Command menulis
bahwa “Leadership is capatibilty of persuading others to work together undertheir
direction as a team to accomplish certain designated objectives” (kepemimpinan adalah
kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai
suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu).
Demikian pula, Kartono (2005:187) mendefinisikan kepemimpinan sebagai satu
bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu
mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan
bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana dikemukakan oleh
Kambey

(2003:125)

mendefinisikan

kepemimpinan

manajerial

sebagai

proses

mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

9
kelompok. Sementara itu, Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan
sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut
atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan
bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya
Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu
upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang
mencapai tujuan tertentu.
Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat bahwa
kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau
bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing
orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut Young
(dalam Kartono, 2003) kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas
kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat
sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus
yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya sebagai akibat
pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang
membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction
theorists) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan
pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai
dengan keinginan pemimpin.
Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua pemimpin akan
dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan
secara efektif dan efisien, sebab orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1)

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

10
Ada kemampuan pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada
sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang mempengaruhi
jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada pemimpin tersebut".
Dengan demikian, untuk mampu mempengaruhi atau menggerakkan orang lain
agar dengan penuh kesadaran dan senang hati bersedia melakukan dan mengikuti
kehendak pemimpin, maka pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat
khusus. Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold Koontz dan
Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:
a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya.
b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh.
c. Mantap dalam kelancaran berbicara.
d. Mantap berpikir dan emosi.
e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin
f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, menggerakkan
dan mengarahkan orang lain agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati
bersedia mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.

2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa teori tentang kepemimpinan dapat
dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan
pendekatan situasional (Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295;
Gomes-Mejia & Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13).

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

11
a. Pendekatan Sifat.
Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para pemimpin itu
sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori pembawaan. Dalam teori ini
disebutkan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan
ia dapat memimpin para pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971)
seperti yang dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai
sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3) kecerdasan, (4)
ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.
Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang mempunyai
pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi, yaitu : (1) kecerdasan, (2)
kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi,
dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi.
b. Pendekatan Perilaku.
Pendekatan

perilaku mencoba

mengoreksi

pendekatan

sifat. Menurut

pendekatan perilaku, pendekatan sifat tidak dapat menjelaskan apa yang menyebabkan
kepemimpinan itu efektif. Oleh karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan
pada sifat seorang pemimpin melainkan mencoba menentukan apa yang dilakukan oleh
pemimpin efektif, seperti bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka
berkomunikasi dan memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas
dan sebagainya.
Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang dilakukan
pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan efektif, seseorang harus
melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1) fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas
(task-related) atau pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok
(Group-maintenance) atau sosial.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

12
Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi, dan
pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok
berjalan lebih lancar, memperoleh persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan
pendapat dan sebagainya.
Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya pemimpin dalam
hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi gaya kepemimpinan yakni:
(1) gaya orientasi tugas (task oriented);
(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).
Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan berusaha
mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai dengan keinginannya. Jadi
pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara
manusiawi, sehingga mereka akan selalu memberikan motivasi, melibatkan karyawan
dalam pengambilan keputusan, menciptakan persahabatan dan saling menghormati.

c. Pendekatan Situasional.
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan
yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai kondisi. Oleh karenanya, lahirlah
pendekatan situasional. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa para
pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan
keputusan, dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu.
Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan sangat
bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variabelvariabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al, (1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz,
O’Donnel & Wehirich (1990:158-259) mengatakan bahwa faktor-faktor situasi yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

13
mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang ditangani, lingkungan
organisasi, dan karakteristik orang yang mereka hadapi. Sedangkan Fiedler (1974)
mengemukakan ada tiga

dimensi utama dalam

situasi kepemimpinan yang

mempengaruhi gaya pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas
dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko (2001:289) mencatat
bahwa

penemuan

Fiedler

menunjukkan

bahwa

dalam

situasi

yang

sangat

menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada
tugas atau pekerjaan adalah sangat efektif. Akan tetapi bila situasi yang menguntungkan
atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin hubungan manusiawi akan sangat
efektif.
Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori Hersey-Blanchard.
Menurut Siagian (2003:139) pada intinya teori ini menekankan bahwa efektivitas
kepemimpinan seseorang tergantung pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan
yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan)
yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini ialah perilaku
seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasbawahan atau patron – client. Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat
hubungan atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul dapat
mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual, mengajak bawahan
berperan serta dan pendelegasian.
3. Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya kepemimpinan
(Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh
karenanya banyak penelitian tentang gaya kepemimpinan seseorang.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

14
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap
pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin bisa mempunyai gaya
kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti suatu
gaya kepemimpinan yang satu lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan
yang lainya.
Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan Universitas
Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan Schmidt seperti dikutip oleh
Wahjosumidjo (2001:40) semuanya berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif.
Berkaitan dengan masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi
tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan Otokratis, Demokratis,
Laissez faire.
a. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin sebagai sumber
kebijakan. Pemimpin merupakan segala-galanya. Bawahan dipandang sebagai orang yang
melaksanakan perintah. Oleh karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi
saja dan tidak diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat.
Dalam posisi demikian anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal keorganisasian.
Pada tipe kepemimpinan ini segala sesuatunya ditentukan oleh pemimpin sehingga
keberhasilan organisasi terletak pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi
dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat apatis,
atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.
b. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada
semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif dalam organisasi. Anggota diberi
kesempatan untuk memberikan usul serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

15
Gaya kepemimpinan ini memandang bawahan sebagai bagian dari keseluruhan
organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk
mengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi serta mengkoordinasi.
Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi bawahan atau
pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan
demokratis kerap disebut dengan gaya kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti
ini kerap menjalankan kepemimpinan dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan
wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan pengarahan
tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai pendapat dan pemikiran dari
pada bawahanya mengenai keputusan yang akan diambil. Ia akan secara serius
mendengarkan dan menilai pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan
pikiran mereka . Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekkan .
Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan mengambil
keputusan dari bawahannya sehingga pikiran-pikiran mereka akan selalu meningkat dan
makin matang. Para bawahannya juga didorong agar meningkatkan kemampuan
mengendalikan diri dan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan
lebih “supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi bersikap
diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam pengambilan keputusan
terletak pada pimpinan.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-angotanya
agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan
usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya,
dan memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

16
c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire
Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan mutlak kepada
para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan diserahkan
sepenuhnya kepada bawahan. Dalam hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak
memberikan contoh-contoh kepemimpinan (Purwanto,1992:48)
Pemimpin mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada para
bawahannya dengan agak lengkap. Pada prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah
pekerjaan yang harus saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau
mengerjakannya, asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini
pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan tersebut kepada
para bawahannya. Dalam konteks pimpinan menginginkan agar para bawahannya bisa
mengendalikan diri mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan
tidak akan membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut dan
hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian yang tinggi.
Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai tingkat efektivitas
yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang mempengaruhi perilaku pemimpin.
Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh
faktor, baik yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal dari luar
individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin adalah kepemimpinan yang demokratis atau kepemimpinan partisipatif.
Pemimpin demokratis akan mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu.
Jangan ditafsirkan bahwa kepemimpinan demokratis selalu meminta pertimbangan
bawahan untuk semua hal.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

17
4. Kepemimpinan Partisipatif
Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa teori
kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang kepemimpinan. Di
antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori ini menganalisa pengaruh
(dampak) kepemimpinan (terutama perilaku pemimpin) terhadap motivasi bawahan,
kepuasan, dan pelaksanaan kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya
pokok perilaku pemimpin yaitu kepemimpinan direktif, kepemimpinan suportif,
kepemimpinan partisipatif, dan kepemimpinan orientasi-prestasi (Lunenburg & Ornstein,
1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko, 2001:289-290). Menurut teori ini
kepemimpinan partisipatif adalah pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran
bawahan, tetapi masih membuat keputusan. Kebanyakan studi dalam organisasi
menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan lebih puas di bawah
pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang non partisipatif.
Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-usaha oleh seorang manajer untuk
mendorong dan memudahkan partisipasi orang lain dalam pengambilan keputusan yang
jika tidak akan dibuat tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan
ini mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung kekuasaan,
pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi yang timbal-balik. Sedangkan
yang menyangkut aspek-aspek perilaku kepemimpinan seperti prosedur-prosedur
spesifik yang digunakan untuk berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh
gagasan dan saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses
pengambilan keputusan dan pendelegasian kekuasaan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

18
B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis
1. Landasan Agama
Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila pemimpin akan
mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin dengan lemah lembut, bersiap untuk
memaafkan, bermusyawarah dan apabila keputusan telah diambil maka terhadap
keputusan itu harus patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di
bawah ini.

"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah- lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali-Imran: 159)
Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok, bangsa atau persoalan apapun
yang perlu segera dicarikan jalan keluar sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah
maka orang-orang yang ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan
keputusan. Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi
dalam pengambilan keputusan.
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi
kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

19
dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an
dan Hadist yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan petunjuk
senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233.

Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua
tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa
atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

Sesungguhnya makna ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya relasi suamiistri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak
dilakukan. Di dalam menyapih anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus
mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan tanpa ada
musyawarah. Seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan
berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas,
al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan
rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan
salah satu alat yang mampu mempersatukan sekelompok orang atau umat di samping
sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan
baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an
maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara khusus. Oleh karena itu sistem
permusyawaratan yang akan dipakai sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan
cara yang mereka anggap baik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

20
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari
permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal
keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu
khusus dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan
persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah Rasulullah, beliau Saw
tidak pernah memberikan contoh memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah
jelas haram. Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis
penyergapan musuh dalam perang Badar.
Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang sudah jelas
hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa melakukan musyawarah untuk
mengubah status hukum tersebut, misalnya dari status hukum halal berubah menjadi
halal, dan sebalik. Namun musyawarah dilakukan untuk persoalan-persoalan dalam
domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh karenanya,
dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum mereka mengeluarkan pendapat
kepada beliau Saw selalu bertanya dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan
wahyu atau pendapat pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila
pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa atha’na. Namun,
bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat banyak memberikan pendapat
kepada Nabi Muhammad Saw.

2. Landasan Filosofis
Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan
atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang mendalam hingga diperhitungkan benarbenar sisi negatif dan positifnya. Bila dikaitkan dengan pengambilan keputusan, maka

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

21
pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara berpikir yang benar,
hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang keliru.
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” yang
terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti suka, cinta, mencintai dan shophia
yang berarti kebijaksanaan, hikmah, atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta
kepada kebijaksanaan” atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal
dari kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu. Berfilsafat
berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan sungguh-sungguh sampai keakarakarnya terhadap suatu kebenaran. Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari
kebenaran atas sesuatu.
Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi semua ilmu yang
ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan sejarahnya diwarnai oleh berbagai
aliran filsafat yang satu sama lain saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan.
Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh terhadap ilmu
pendidikan, yakni

filsafat

progresivisme, esensiaisme, idealisme,

perenialisme,

progresivisme,rekontruksionisme, realisme, materialisme, dan eksistensialisme.

a. Aliran Filsafat pendidikan Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme
dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan
hidup. Progresivisme kerap disebut sebagai instrumentalisme, eksperimentalisme, dan
enviomentalisme.
instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi
manusia

sebagai

alat

untuk

hidup,

untuk

kesejahteraan

dan

untuk

mengembangkan kepribadiaan manusia.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

22
eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori.
environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
mempengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James,
John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan Georges Santayana.
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun
cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam
dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu,
filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi.
Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian
dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah
dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi
dengan lingkungan sekitar, karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Oleh
karenanya, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan
lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program
pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang
menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi
pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.
Dengan kata lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

23
Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan
pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilainilai (transfer of value) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara
fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus
dihilangkan.

b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul
pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar
pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang
mempunyai tata yang jelas. Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya
mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada Aku. Menurut esensialisme,
pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar
untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut
Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan
unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan
dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan
ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi
benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang
dan waktu.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

24
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai
substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang
ahli sosiologi dan filosof, menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia
pada umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur oleh alam sosial.
Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial
angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan
berikutnya.

c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang. Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran
yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena
itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arah tujuan yang
jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi,
karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi,
dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan
pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang
akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan problema yang perlu
diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

25
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang
menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah
pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah
dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan
kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan,
mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan.
Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam nidang
akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan
mengajarkan.

d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak
modern.
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme,
yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985:
340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman
yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan
kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan
dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali
manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang,

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

26
sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran
ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang
diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh
golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti
diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna
kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Socrates. Aliran
idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya,
cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara
gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide. Aliran ini
memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri
selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak
tidak dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi
gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan
sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami
oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi,
ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran yang utuh di
dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian
kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

27
f.

Aliran Filsafat Pendidikan Realisme
Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan hakikat

yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme menjadi dua :
1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata dan berada di luar
pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme klasik dan realisme religi.
2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi
akal manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan substansialitas,sebab
akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari dunia itu
sendiri. Selain realisme rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain
mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neo-realisme adalah
pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya
harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu.
Sedangkan realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang
mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan rasionalisme, skeptimisme
dan absolutisme, serta eudaemonisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi yang berdasar
pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia, termasuk tindakan, pikiran dan
perasaan, dapat dianggap sebagai perilaku.
h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam
James, John Dewey, Heracleitos. Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir,
diantaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (18421910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran.
Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang relativis,

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

28
melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya
kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan
ekonomi.
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done.
Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat
bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan
kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena kriteria
kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan
politik Amerika.
i.

Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia

individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis
sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi
filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu
dihadirkan

lewat

kebebasan.

Pertanyaan

utama

yang

berhubungan

dengan

eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung
jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau
kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi
dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

29
3. Landasan Psikologis
Agar memperoleh pemahaman yang utuh, maka akan dibahas berbagai aliran dan bentuk
dalam psikologi yang berhubungan dengan pendidikan.
a. Aliran Psikologi
Aliran psikolgi terbagi dalam 2 (dua) aliran besar, yakni aliran psikologi
tingkahlaku dan aliran psikologi kognitif.
1) Aliran psikologi tingkah laku
Aliran psikologi tingkah laku menekankan pada perilaku manusia sebagai
objeknya. Aliran ini terdiri dari teori pengaitan, penguatan dan hirarki belajar.
a) Teori Pengaitan.
Teori pengaitan dipelopori oleh Edward L. Thorndike dengan percobaannya yang
menggunakan beberapa jenis hewan., ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal
dengan teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan belajar pada
hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung menurut prinsip yang sam taitu, belajar
merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut (Orton,
1991:39; Resnick dan Ford, 1981:13).
Selanjutnya

Thorndike

(dalam

Orton,

1991:39-40;

Resnick

dan

Ford,

1981:13;Hudojo,1991:15-16) mengemukakan bahwa, terjadinya asosiasi antara stimulus
dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut. (1) Hukum Kesiapan (law of readiness),
(2) Hukum Latihan (law of exercise), (3) hukum Akibat (law of effect).
b) Teori Penguatan B.F. Skinner
Skinner mengembangkan tori belajarnya juga dari hasil percobaan dengan
menggunakan hewan. Dari percobaannya, Skinner menyimpulkan bahwa kita dapat
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

30
membentuk tingkah laku manusia melalui pengaturan kondisi lingkungan (operant
conditioning) dan penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan
penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila penyajiannya mengiringi
suatu tingkah laku siswa yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan
tingkah laku itu, dalam hal ini berarti tingkah laku tersebut diperkuat.

Sedangkan

penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan Karena cenderung
menguatkan tingkah laku.
c) Teori Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne
Menurut Orton (1990:39), Gagne merupakan tokoh Behaviorism gaya baru
(modern neobehaviourist). Dalam mengembangkan teorinya, Gagne memperhatikan
objek-objek dalam mempelajari matematika yang terdiri dari objek langsung dan tidak
langsung. Objek langsung adalah: fakta, keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan
objek tak langsung adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan
memecahkan masalah, disiplin diri, dan bersikap positif terhadap matematika.
Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang
kegiatan belajarnya mengikuti suatu hirarki kemampuan yang dapat diobservasi dan
diukur. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne dikenal dengan “ teori
hirarki belajar” Gagne membagi belajar dalam delapan tipe secara berurtan, yaitu: belajar
sinyal (isyarat), stimulus-respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, memperbedakan,
pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Gagne berpendapat bahwa proses
belajar pada setiap tipe belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan
yaitu tahap: pemahaman, penguasaan, ingatan, dan pengungkapan kembali.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

31
Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne ini pada pembelajaran matematika
perlu diterjemahkan secara operasional yaitu: (1) untuk mengajarkan suatu topic
matematika guru perlu: (a) memperhatikan kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk
mempelajari topic tersebut, (b) menyusun dan mendaftar langkah-langkah kegiatan
belajar serta membedakan karakteristik belajar yang tersusun secara hirarkis yang dapat
didemonstrasikan oleh peserta didik sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya.
(2) guru dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai untuk belajar topic
matematika yang akan diajarkan.
Perkembangan

kemampuan

belajar

menurut

Gagne

(McNeil,1977)

Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf
b dan d.
Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup,
hurup mati, dsb.
Belajar Prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
2) Aliran psikologi kognitif
a) Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget
Piaget adalah ahli psikologi Swiss yang latar belakang pendidikan formalnya
adalah falsafah dan biologi. Piaget mengemukakan Teori Perkembangan Intelektual
(kognitif) Menurut Piaget ada empat tingkat perkembangan Intelektual. (Mulyani
1988, Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983):
1) Periode Sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun
2) Periode Praoperasional pada umur 2 – 7 tahun
3) Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun
4) Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

32
b) Teori Belajar dari Jerome Bruner
Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti Soekamto, 1994) ada tiga
tahap, yaitu:
1) Tahap Enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
memahami lingkungan
2) Tahap Ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan
visualisasi verbal.
3) Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak
dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya mengenai kegiatan belajarmengajar matematika Bruner merumuskan empat teori umum tentang belajar
matematika yaitu:
1) Teorema penyusunan (contruction theorem)
2) Teorema pelambangan (notation theorem)
3) Teorema pembedaan dan keaneka ragaman (contrast and variation theorem)
4) Teorema pengaitan (connectivity theorem)
Teori-teori Psikologi telah banyak membantu membentuk Landasan
Pendidikan didalamnya anak dapat belajar dengan efektif.

Landasan psikologis

sangat penting karena manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, sehinggap
membutuhkan teori yang berbeda-beda untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus
pendidikan. Mengingat dekatnya hubungan teori-teori tersebut dengan pendidikan,
maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan mengaplikasikannya dalam kelas.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

33
b. Bentuk psikologis pendidikan
Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk psikologi pendidikan yang penting untuk diketahui,
yakni psikologi perkembangan, psikologi belajar,dan psikologi sosial.
1) Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatanpendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih, 1989).
a) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapantahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda
dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.
b) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini dipandang individu-individu itu
memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu
orang-orang membuat kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki
kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan
jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan
sebagainya.
c) Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap
individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat
perkembangan seseorang secara individual.
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan
pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang
bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai
faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan, sedangkan
yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun
tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

34
Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak
atas empat tahap yaitu :
a) Masa bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar merupakan perkembangan
fisik.
b) Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru
seperti hidup manusia primitif.
c) Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan
pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
d) Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol,
sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.
2) Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku yang relatif
permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau
kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu
mengomunikasikannya kepada orang lain.
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang
dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar
dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua
makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu
yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua, perubahan tingkah laku yang
terjadi harus secara sadar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai
perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar, sedangkan perubahan
tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar pada
hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

35
Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola

tingkah laku

manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar
ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar.
a) Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk
menghapal perkalian dan melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa
dipakai dalam pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
b) Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku
nyata, seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya.
c) Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit
yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan untuk
mengembangkan ide (Pidarta, 2007:218).
3) Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari
psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan
ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar
individu (Pidarta, 2007:219).
4. Landasan Sosiologis
Kegiatan pendidikan sesunggnya rekayasa sosial yang memungkinkan terjadinya
interaksi antara orang yang dewasa dengan orang yang belum dewasa sehingga orang
yang belum dewasa itu menjadi dewasa. Proses rekayasa sosial itu disusun secara
terencana dan sistematis melalui tahapan-tahapan tertentu, sehingga dapat diukur
tingkat kedewasaannya. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah
yang dengan sengaja dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

36
Perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan semakin intensif. Dengan
meningkatkan perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah
cabang sosiologi pendidikan. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun
dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi normanorma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masingmasing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh
pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik.
a. Faham Individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup
merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masingmasing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme
menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas
kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai
pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling
berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat selalu menang dalam
bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
b. Faham

Kolektivisme

merupakan

faham

yang berlawanan

dengan faham

individualisasi. Faham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada
masyarakat dan individu secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi
masyarakatnya. Faham ini dianut oleh negara-negara sosialis yang umumnya
merupakan negara totaliter.
c. Faham Integralistik merupakan faham yang merupakan paduan dari faham
individualistic dan faham kolektivisme. Dalam masyarakat yang menganut Faham
integralistik, masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama
lain secara organis dan membentuk masyarakat. Pengakuan secara seimbang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

37
terhadap hak-hak individu dan hak-hak masyarakat. Negara Indonesia merupakan
negara yang dibentuk beradasarkan faham integralistik.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik
yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong
royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama
menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, (4)
selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga
kualitas struktur masyarakatnya.
C. Pengambilan Keputusan
1. Pengertian Pengambilan Keputusan
Stoner (2003:205) memandang

pengambilan keputusan sebagai proses

pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah
tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan sebagai usaha sadar
untuk menentukan satu alternatif dari berbagai alternatif untuk memecahkan masalah.
Salusu (1996:47) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai proses memilih suatu
alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi untuk menemukan
dan menyelesaikan masalah organisasi. Handoko (2001:129) melihat pengambilan
keputusan sebagai proses di mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian
suatu masalah tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang pengambilan keputusan yang dikemukakan
oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses
pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif untuk pemecahan masalah.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

38
2. Dasar-dasar Pengambilan Keputusan
Menurut George Terry (dalam Hasan, 2002:12-13) dasar-dasar pengambilan
keputusan adalah :
a. Intuisi. Keputusan berdasarkan perasaan subjektif dari pengambil keputusan.
Sehingga sangat dipengaruhi oleh sugesti dan faktor kejiwaan.
b. Rasional. Pengambilan keputusan bersifat objektif, logis, transparan dan konsisten
karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan seseorang.
c. Fakta. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada kenyataan objektif yang terjadi
sehingga keputusan yang dimabil dapat lebih sehat, solid dan baik.
d. Wewenang. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada wewenang dari manajer
yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari bawahannya.
e. Pengalaman. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada pengalaman seorang
manajer.
3. Teknik Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan
Ada beberapa teknik peran serta sebagai bentuk partisipasi dalam pengambilan
keputusan yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah bersama dengan guru dan staf
sekolah. Menurut Lunenburg & Ornstein (1991:178-182) dan Salusu (1996:235-260),
teknik partispasi antara lain, yaitu : Brainstorming, teknik delphi,kelompok mutu, konsep
zone of acceptance.
Brainstorming adalah teknik sumbang saran dari semua anggota organisasi.
Teknik ini mengutamakan demokrasi dalam menyampaikan pendapat melalui
persidangan yang relatif kecil. Teknik delphi dikembangkan oleh Dalkey dan Helmer
(1963). Teknik ini menghindari tatap muka antara peserta dalam proses pengambilan
keputusan. Selain itu juga mencegah adanya pembicara vokal yang sering menguasai
waktu lebih banyak daripada peserta lainnya. Teknik ini biasanya dipakai pada
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

39
manajemen puncak yang biasanya tidak mempunyai cukup waktu untuk bertemu satu
dengan yang lain. Teknik ini menghindari perdebatan akan tetapi tetap ada komunikasi
dan pertukaran gagasan dan informasi. Teknik kelompok mutu biasa dipakai pada sektor
implementasi. Teknik ini biasanya merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri atas
pengawas dengan sejumlah karyawan yang bekerja di bagian tertentu. Kelompok mini
adalah kelompok sukarela. Mereka bertemu secara reguler untuk membicarakan
berbagai masalah dan pengambilan keputusan. Teknik zone of acceptance adalah teknik
dimana terjadi suatu situasi seseorang dapat menerima suatu keputusan secara otomatis.
Konsep ini mencoba menjawab pertanyaan: ”Dalam kondisi apa bawahan harus
diikutsertakan dalam pengambilan keputusan ?”. Jadi bisa saja bawahan tidak terlibat
dalam proses pengambilan keputusan.
4. Jenis-jenis Pengambilan Keputusan
Secara umum jenis pengambilan keputusan dapat dikategorikan dalam dua
bentuk, yakni keputusan terprogram dan keputusan tidak terprogram (Siagian,1987:2526; Salusu, 1996:63).
a. Keputusan Terprogram
Keputusan terprogram adalah tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung
berulang kali dan diambil secara rutin dalam organisasi. Keputusan terprogram biasanya
menyangkut pemecahan masalah-masalah yang sifatnya teknis serta tidak memerlukan
pengarahan dari tingkat manajemen yang lebih tinggi.
b. Keputusan tidak terprogram
Keputusan tidak terprogram muncul sebagai akibat dari suatu situasi di mana ada
suatu kemendesakan untuk segera mengambil tindakan dan memecahkan masalah yang
timbul. Biasanya keputusan ini bersifat repetitif, tidak terstruktur dan sukar mengenali
bentuk, hakekat dan dampaknya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

40
5. Langkah-Langkah Pengambilan keputusan
Simon (1957) mengemukakan proses pengambilan keputusan pada dasarnya
terdiri atas tiga langkah (Reksohadiprodjo & Handoko, 2001:144-145; Hasan,2002:24),
yaitu: (1) Kegiatan Intelejen, menyangkut pencarian berbagai kondisi lingkungan yang
diperlukan bagi keputusan; (2) Kegiatan desain, merupakan pembuatan, pengembangan
dan penganalisaan berbagai rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan; (3) Kegiatan
pemilihan, yakni memilih serangkain kegiatan tertentu dari alternatif-alternatif yang
tersedia. Proses pengambilan keputusan secara rasional dan ilmiah pada dasarnya
meliputi tahapan sebagai berikut (Handoko, 2001:134-138): (1) pemahaman dan
perumusan masalah, (2) pengumpulan dan analisa data yang relevan, (3) pengembangan
alternatif-alternatif, (4) evaluasi alternatif-alternatif, (5) pemilihan alternatif terbaik, (6)
implementasi keputusan, (7) evaluasi hasil-hasil keputusan.
Pengambilan keputusan antara lain juga diartikan sebagai suatu tehnik
memecahkan suatu masalah dengan mempergunakan tehnik-tehnik ilmiah. Secara
singkat menurut Siagian (1973) dapat dikatakan bahwa ada 7 langkah yang perlu diambil
dalam usaha memecahkan masalah dengan mempergunakan teknik-teknik ilmiah.
a. Mengetahui hakekat dari pada masalah yang dihadapi, dengan perkataan lain
mendefinisikan masalah yang dihadapi itu dengan setepat-tepatnya;
b. Mengumpulkan fakta dan data yang relevan;
c. Mengolah fakta dan data tersebut;
d. Menentukan beberapa alternatif yang mungkin ditempuh;
e. Memilih cara pemecahan dari alternatif-alternatif yang telah diolah dengan
matang;
f.

Memutuskan tindakan apa yang hendak dilakukan;

g. Menilai hasil-hasil yang diperoleh sebagai akibat daripada keputusan yang telah
diambil.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

41
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Agama
Dalam Islam, pengambilan keputusan secara musyawarah telah menjadi wacana
yang sangat menarik. Karena musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang
tersurat dan dapat menjadi ajaran normatif dalam kepemimpinan pendidikan khususnya,
dan dalam kehidupan pada umumnya.
Al-Qur’an Surat Al-Imron ayat 159 sebagaimana dikutip pada bab II, telah
memberikan pelajaran kepada manusia (termasuk pemimpin) bahwa dalam mengadapi
persoalan yang pelik dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sebaiknya diambil
keputusan melalui jalan musyawarah.Meskipun keputusan yang diambil adalah sesuatu
yang keliru.
Dari kandungan ayat itu tegas ditunjukkan 4 (empat) sikap ideal ketika dan
setelah melakukan musyawarah, yakni :
(1) Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus
menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
(2) Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta
musyawarah, sebab musyawarah tidak akan berjalan baik, bila peserta masih diliputi
kekeruhan hati apalagi dendam.
(3) Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan, itulah sebabnya yang harus
melatarbelakangi msyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi.
(4) Setelah selesai bermusyawarah harus berserah diri dengan bertawaqal kepada-Nya.
Selain itu, musyawarah memiliki beberapa sikap positif, yakni :

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

42
(1) Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain dan karenanya
menghilangkan anggapan paternalistik bahwa orang lain itu rendah.
(2) Meskipun Nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia ia memiliki
kemampuan yang terbatas. Oleh karenanya, beliau menganjurkan bahwa tidak ada satu
kaum pun yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kea rah penyeleseaian terbaik dalam
perkaranya.
(3) Mengkilangkan buruk sangka, karena dengan musyawarah prasangka kepada orang lain
akan tereleminasi.
(4) Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan mayoritas dari hasil musyawarah
menjadi tanggung jawab bersama dan lebih bdapat diteloransi daripada keputusan
individu. Hal-hal positif muncul karena musyawarah menghasilkan masyurah : pendapat,
nasihat, dan pertimbangan.
Walaupun sangat dianjurkan dalam agama, praktik bermusyawarah kerap digunakan dalam
bidang-bidang lain.Bahkan adakalanya praktik musyawarah suka digunakan untuk kepentingan
penguasa untuk kejayaan dan kelestarian kekuasaannya. Musyawarah seperti ini sesungguhnya
telah menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai, yakni kebenaran dan kebaikan bersama. Itu
berarti bahwa harus dihindari musyawarah dijadikan panggung legislasi demi kepentingan yang
tidak bernilai kebaikan.
Kewajiban untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan semua persoalan sebenarnya
berimplikasi pada keharusan adanya pelembagaan musyawarah. Ini telah ditunjukkan dalam
sejarah, baik pada masa Rosululloh maupun Khulafaurrasyidin. Meskiputun tidak disebutkan
secara resmi lembaga apa, namun dari keberadaan tokoh sahabat yang mendampingi Rosululloh
dan para khalifah sebagai mitra yang selalu dimintai pendapatnya, menunjukkan pelembagaan
sistem musyawarah dalam sistem politik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

43
B. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Filsafat Pendidikan
Pengambilan keputusan partisipatif penting dilakukan oleh pemimpin pendidikan, karena
secara filosofi tugas seorang pemimpin adalah mengarahkan pengikut untuk mencapai tujuan
organisasi secara bersama-sama. Bangunan kerja sama ini akan semakin kokoh apabila pemimpin
mamu melibatkan bawahan dalam setiap kegiatan organisasi, termasuk dalam pengambilan
keputusan. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan akan semakin baik, sehingga mampu
menjaga stabilitas dan kondusifitas organisasi.
Dalam kaitannya dengan pendidikan dewasa ini, pemimpin pendidikan harus mampu
mengambil keputusan strategic (mungkin melalui penyusunan kurikulum) agar arah pendidikan
dikembalikan pada arah yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini, implementasi rekontruksionisme
patut untuk dipertimbangkan. Keberanian untuk merestorasi pendidikan ini dipandang akan
mampu menyelamatkan generasi muda dari ancaman materialistik.
Filsafat rekontruksionisme memandang bahwa pendidikan perlu mengubah tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru untuk mencapai tujuan
bersama. Pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia
melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula, demi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Diterapkannya faham rekontruksionisme dewasa ini seiring sejalan dengan iklim politik
pemerintah yang menuju pada demokratisasi. Dalam hubungannya dengan pemerintahan,
filsafat rekontruksionisme mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu
dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasi oleh
kelompok tertentu. Nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya bukan hanya teori, melainkan mesti
menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi,
mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran,serta keamanan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

44
masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme, agama, dan masyarakat
bersangkutan.
Rekontruksionisme sejalan dengan pemikiran Alvin Toffler dengan karyanya Future Shock.
Dalam artikelnya Toffler dalam (Gandhi,2011:192) menyatakan bahwa “Apa sebenarnya yang
dilakukan pendidikan hari ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan” Pendidikan berjalan
hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industry,
sedangkan situasi sosial telah memasuki fase super insudtri. Akibatnya dapat ditebak. Sekolahsekolah kita limbung. Sekolah lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani
masyarakat baru yang sedang tumbuh. Energi besarnya digunakan untuk mencetak manusia
industry, yakni manusia yang disiapkan untuk dapat hidup dalam sistem yang akan mati sbelum
mereka eksis. Untuk mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, harus diwujudkan
sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan
dan metode di masa datang, bukan justru masa lalu (Toffler,1970:353).
Walaupun dalam hal optimisme Toffler dan penganut rekontruksionisme agak berbeda,
namun intinya roh pendidikan harus dilakukan perubahan yang nyata. Filsafat rekontruksionis
berkeyakinan bahwa perubahan dapat dimulai dari pendidikan.
Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek
matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang
dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu sendiri. Isi
kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan
ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham progresivisme.
Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu
siswa mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga siswa memiliki

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

45
kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa untuk dapat berpikir
alternatif dalam memecahkan masalah tersebut.
Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek
matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang
dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu sendiri. Isi
kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan
ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham
progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapi
manusia, membantu siswa mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga
siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa untuk
dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut.
Lebih jauh guru harus membantu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara
serempak. Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di
masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan “rekayasa sosial”, dengan tujuan mengubah
secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan datang. Sekolah
memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Apabila tidak demikian, setiap
individu dan kelompok nantinya akan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secaara
sendiri-sendiri sebagai pengaruh dan progresivisme.
C. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Psikologi
Sangat sulit untuk menyangkal, bahwa terdapat relevansi antara pengambilan keputusan
dengan psikologi. Pengambilan keputusan berhubungan dengan perilaku pemimpin, sedangkan
kepatuhan melaksanakan keputusan berhubungan dengan perilaku pengikut. Perilaku pengikut
dan perilaku pemimpin merupakan perilaku manusia, yang merupakan kajian dari psikologi.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

46
Perilaku pemimpin tercermin dari gaya kepemimpinan yang dijalankan. Gaya itu
dilatarbelakangi oleh sifat atau watak dari pemimpin. Perilaku dan watak sangat berkaitan
dengan psikologis pemimpin. Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan, gaya
kepemimpinan yang baik adalah gaya yang mampu memecahkan berbagai persoalan dengan
tepat. Dalam hal ini gaya kepemimpinan yang otokratis dan demokratis atau partisipatif
merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan, namun akan cocok bergantung pada
siatuasi yang ada.
Dalam situasi normal, pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan
sebanyak mungkin orang lain. Pengikut sebagai unsur yang akan menjalankan keputusan
sebaiknya terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Keterlibatan pengikut dalam
pengambilan keputusan, secara psikologis akan melahirkan partisifasi pengikut dalam proses
pembuatan dan implementasi keputusan. Untuk itu, dari sudut pandang psikologi maka
pengambilan keputusan partisipatif dipandang sebagai pengambilan keputusan yang lebih baik
dari yang lainnya. Likert (1976) dalam studi tentang pola dan gaya kepemimpinan dan manajer
selama tiga dasawarsa berkesimpulan bahwa kepemimpinan partisipatiflah yang paling efektif
dalam organisasi dan manajemen.
Likert memandang manajer yang efektif adalah manajer yang berorientasi pada bawahan
yang bergantung pada komunikasi untuk tetap menjaga agar semua orang bekerja sebagai suatu
unit. Semua anggota kelompok, termasuk manajer atau pemimpin, menerapkan hubungan
suportif di mana mereka saling berbagi kebutuhan, nilai-nilai aspirasi, tujuan, dan harapan
bersama. Pendekatan ini sebagai cara yang paling efektif dalam memimpin kelompok (Kootz, O
‘Donnell & Weihrich, 1990:152). Gibson, Ivancevioch & Donnely (1990:135) juga mengemukakan
bahwa banyak ahli riset dan manajer yang percaya bahwa sebagian besar anggota organisasi
ingin memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan
keputusan. Mereka yakin bahwa semakin besarnya partisipsi dalam proses tersebut akan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

47
meningkatkan keikatan kepada organisasi, kepuasan kerja, pertumbuhan dan perkembangan
pribadi serta sikap menerima perubahan.Perkembangan dewasa ini memandang bahwa
pendidikan dan lembaga sekolah sebagai suatu sistem organisasi yang membutuhkan manajemen
yang andal.
Aspek penting dalam organisasi dan manajemen pendidikan adalah soal kepemimpinan
pendidikan. Dari aspek perilaku organisasi pendidikan, pengambilan keputusan partisipatif
menjadi suatu model yang dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan proses pendidikan di
sekolah. Keterlibatan dan partisipasi segenap komponen sekolah menjadi unsur yang
menentukan kinerja dan keberhasilan penyelenggaraan sekolah sebagai lembaga pendidikan.
D. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Sosiologi
Pengambilan keputusan secara partisipatif mensyaratkan keterlibatan bawahan dan
pimpinan secara aktif sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam
prespektif sosiologis, pimpinan dan bawahan hendaknya menganggap satu keluarga besar,
dengan pimpinan sebagai kepala keluarganya. Asas yang digunakan adalah kekeluargaan dan
gotong royong sesuai dengan faham integralistik. Tipe kepemimpinan yang membentuk
bangunan kekeluargaan adalah kepemimpinan demokratik atau partisipatif.
1) Pengambilan Keputusan Partisipatif
Kebanyakan dari para teoretikus mengemukakan empat prosedur pengambilan
keputusan,

yakni:

keputusan

otokratik,

konsultasi,

keputusan

bersama

dan

pendelegasian. Keempat prosedur pengambilan keputusan tersebut merupakan suatu
kontinum.
a) Keputusan otokratik : Manajer membuat keputusan sendiri tanpa menanyakan
opini atau saran dari orang lain, dan orang-orang tersebut tidak mempunyai
pengaruh langsung terhadap keputusan tersebut, tidak ada partisipasi.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

48
b) Konsultasi. Manajer menanyakan opini dan gagasan, kemudian mengambil
keputusannya sendiri setelah mempertimbangkan secara serius saran-saran dan
perhatian mereka. Kepemimpinan ini memiliki tiga varietas:
Pemimpin membuat keputusan tanpa konsultasi terlebih dahulu, namun
kemudian bersedia memodifikasi karena adanya keberatan atau keprihatinan
pengikutnya;
Pemimpin memberi usulan sementara dan secara aktif mendorong orang
untuk menyarankan cara-cara memperbaikinya;
Pemimpin menggunakan sebuah masalah dan meminta orang lain untuk
berpartisipasi dalam mendiagnosis dan mengembangkan bermacam-macam
pemecahan umum, namun kemudian membuat keputusan sendiri;
c) Keputusan bersama. Manajer bertemu dengan orang lain untuk mendiskusikan
masalah keputusan tersebut dan mengambil keputusan bersama; manajer tidak
mempunyai pengaruh lagi terhadap keputusan terakhir seperti peserta lainnya.
d) Pendelegasian. Manajer memberi kepada seorang individu atau kelompok,
kekuasaan serta tanggung jawab untuk membuat keputusan; manajer tersebut
biasanya memberi spesifikasi mengenai batas-batas dalam mana pilihan terakhir
harus berada, dan persetujuan terlebih dahulu mungkin atau mungkin tidak perlu
diminta sebelum keputusan tersebut dilaksanakan.
Dari empat prosedur pengambilan keputusan di atas, yang pertama yakni tipe
otokratik bukan menjadi karakteristik pengambilan keputusan partisipatif. Karena
pengambilan keputusan berada pada kewenangan pemimpin tanpa memberikan
peluang kepada anggota untuk berpartisipasi.
Prosedur pengambilan keputusan dengan konsultasi, keputusan bersama, dan
pendelegasian merupakan karakteristik pengambilan keputusan partisipatif yang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

49
dijakankan oeh kepemimpinan partisipatif. Tiga ciri ini memiliki intensitas yang
berbeda. Kalau pada karakteristik konsultasi seorang pemimpin sudah memberikan
peluang kepada bawahannya untuk memberikan masukan. Walaupun keputusan
tetap berada pada dirinya. Intensistas pembuatan dan penetapan keputusan tetap
masih berada pada pimpinan. Pada karakteristik keputusan bersama, baik pemimpin
dan anggota memiliki intensitas yang sama. Keputusan yang dibuat berasal dari
sejumlah pemikiran dan gagasan baik oleh pemimpin dan bawahan. Pengambilan
keputusan tidak bisa dibuat tanpa keterlibatan yang penuh dari pimpinan dan
anggota. Sedangkan pada pendelegasian peran dari pemimpin intensitasnya semakin
rendah. Anggota organisasi memiliki kewenangan penuh untuk membuat dan
menjalankan keputusan.
2) Kelebihan Pengambilan Keputusan Partisipatif
Ada beberapa keuntungan potensial pengambilan keputusan partisipatif. Yukl, (1998:
134-135) mengemukakan bahwa secara umum keuntungan pengambilan keputusan
partisipatif adalah meningkatkan kualitas sebuah keputusan bila peserta mempunyai
informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai pemimpin tersebut dan bersedia bekerja
sama

dalam mencari suatu pemecahan yang baik untuk suatu masalah keputusan. Di

samping itu dapat meningkatkan komitmen dan rasa tanggung-jawab bersama pada sebuah
keputusan.
Keuntungan dari gaya kepemimpinan partisipatif (Rohmat,2010:59) adalah
a) Konsultasi ke bawah , dapat digunakan dalam rangka meningkatkan kualitas keputusan
dengan menarik keahlian yang dimiliki para pengikut, sehingga para pengikut akan dapat
menerima semua putusan yang diambil dan menjalankannya.
b) Konsultasi lateral, pemimpin melibatkan peran serta orang-orang dalam berbagai sub
unit untuk mengatasi keterbatasan kemampuan yang dimiliki pemimpin. Konsultasi
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

50
lateral memudahkan koordinasi dan kerja sama di antara para pemimpin dari berbagai
sub untuk organisasi.
c) Konsultasi ke atas, memungkinkan seorang pemimpin untuk menaruh keahlian seseorang
atasan yang berkemampuan lebih besar daripada manajer.
d) Konsultasi dengan pihak luar,memungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka dipahami dan dimengerti, mengetahui kebutuhan-kebutuhan
serta preferensi-preferensi mereka, serta akan .memperkuat jaringan kerja eksternal.
3) Efektivitas Pengambilan Keputusan Partisipatif
Benarkan

pengambilan keputusan

partisipatif efektif dijalankan

dalam

kepemimpinan pendidikan? Menurut Vroom & Yetton (1973) dan Maeir & Verser (1982)
efektivitas keseluruhan dari sebuah keputusan tergantung pada dua variabel intervensi
yakni penerimaan keputusan dan kualitas keputusan (Yukl 1998:137-138, Ubben,Hughes
dan Norris 2004:47). Berbagai penjelasan dan penelitian telah diajukan mengenai
efektivitas kepemimpinan partisipatif dalam pembuatan dan penerimaan keputusan
(Anthony, 1978; Maier, 1963; Michael, 1973; Strauss, 1963).
Efektivitas partisipasi dalam pengambilan keputusan dan penerimaan keputusan
antara lain:
a) Orang-orang yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan
keputusan cenderung untuk mengidentifikasikan dirinya dengan hal tersebut dan
merasakannya sebagai keputusannya, yang akan lebih meningkatkan motivasi
mereka untuk melaksanakan keputusan tersebut dengan berhasil.
b) Partisipasi juga memberi suatu pengertian yang lebih baik mengenai sifat masalah
keputusan dan alasan mengapa suatu alternatif tertentu diterima dan yang lainnya
ditolak. Para peserta memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai bagaimana
mereka akan dipengaruhi oleh sebuah keputusan yang kemungkinan besar akan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

51
mengurangi rasa takut apa saja yang tidak beralasan dan ketegangan-ketegangan
mengenai hal tersebut.
c) Partisipasi juga memungkinkan orang memperoleh peluang untuk melindungi
kepentingan mereka jika benar-benar terancam, dengan mengemukakan rasa
prihatin mereka dan membantu untuk mencari suatu pemecahan yang menanggapi
rasa keprihatinan tersebut.
d) Sebuah keputusan yang telah dibuat oleh sebuah proses kelompok yang dianggap
sah, memungkinkan para anggota menggunakan tekanan sosial terhadap anggota
yang lain agar menjalankan keputusan itu dalam implementasinya.
Sedangkan efek dari partisipasi terhadap kualitas keputusan (Yukl, 1998 :
138):
a) Partisipasi akan menghasilkan keputusan yang lebih baik bila para bawahan
mempunyai informasi yang relevan dan bersedia untuk bekerja-sama dengan
pemimpin tersebut dalam membuat keputusan yang baik.
b) Apabila di antara para bawahan terjadi perbedaan pandangan dan sulit diambil
keputusan bersama, maka konsultasi memungkinkan menghasilkan keputusan yang
memiliki kualitas lebih tinggi, karena pemimpin (manajer) akan mempertahankan
kontrol terhadap pilihan terakhir.
4) Keterbatasan Pengambilan Keputusan Partisipatif
Pengambilan keputusan partisipatif memiliki keterbatasan (Yukl, 1998:140),
yakni :
1) Bentuk partisipasi efektif pada situasi-situasi tertentu namun tidak pada situasi
lainnya (Vrom & Jago, 1988). Karena partisipasi memakan waktu, kadang berteletele.
Dalam keadaan darurat untuk berkonsultasi dan berdiskusi tidak efektif. Seorang

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

52
pemimpin harus cepat dan tanggap dalam membuat keputusan dan mengambil
kebijakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan manajemen dan organisasi.
2) Kecenderungan terjadinya partisipasi semu (pseudoparticipation), di mana manajer
mencoba untuk melibatkan bawahan dalam tugas tetapi bukan dalam proses
pengambilan keputusan. Kebanyakan para manajer mencoba berkonsultasi dengan
bawahannya akan tetapi masukan dan gagasan dari para bawahan tidak diakomodir
dalam pembuatan keputusan dan pengambilan kebijakan.

E. Pengambilan Keputusan Partisipatif dalam Kepemimpinan Pendidikan
Berbicara mengenai implementasi pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
partisipatif dalam kepemimpinan pendidikan terkait erat dengan perilaku birokrasi
pendidikan (pusat dan daerah), kepala sekolah dan guru sebagai anggota organisasi
pendidikan dalam pengambilan keputusan. Peran serta ketiga pemimpin pendidikan dalam
pengambilan keputusan ditegaskan oleh French (1960) dalam Salusu (1996:233) menegaskan
bahwa peran serta menunjukkan suatu proses antara dua atau lebih pihak yang
mempengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijaksanaan dan
keputusan.
Pentingnya peran serta dalam proses pengambilan keputusan diakui juga oleh Alutto
dan Belasco (1972) yang mengatakan bahwa dengan adanya peran serta ada jaminan bahwa
pemeran serta tetap mempunyai kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil (Salusu,
1996:234). Mengingat lingkungannya yang unik, maka dalam makalah ini akan dibahas peran
serta (partisipasi) kepala sekolah dan guru termasuk staf sekolah dalam pengambilan
keputusan di sekolah.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

53
1. Peran Pemimpin Pendidikan dalam Pengambilan Keputusan Partisipatif
Dilihat dari fungsi birokrasi pendidikan dan kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan, maka ia harus mampu mengambil keputusan secara tepat. Dalam kaitannya
dengan pengambilan keputusan, pemimpin pendidikan hendaknya memberi kesempatan
kepada anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Dasar teori yang dapat dikaji dalam pengambilan keputusan pendidikan dan
partisipasi anggota organisasi adalah teori kepemimpinan kontinum yang dikembangkan
oleh Tannenbaum dan Schmidt (Rawis, 2000:30). Dalam pandangan kedua ahli ini ada dua
bidang pengaruh yang ekstrim.
Pertama, bidang pengaruh pemimpin di mana pemimpin menggunakan otoritasnya
dalam gaya kepemimpinannya. Kedua, bidang pengaruh kebebasan bawahan di mana
pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipergunakan
dalam hubungannnya dengan perilaku pemimpin melakukan aktivitas pengambilan
keputusan. Menurut dua ahli tersebut ada enam model gaya pengambilan keputusan yang
dapat dilakukan oleh pemimpin, yakni :
1) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya.
Model ini terlihat bahwa otoritas yang dipergunakan atasan terlalu dominan, sedangkan
daerah kebebasan bawahan sempit sekali.
2) Pemimpin menjual keputusan. Pada gaya ini pemimpin masih dominan. Bawahan belum
banyak dilibatkan.
3) Pemimpin menyampaikan ide-ide dan mengundang pertanyaan. Dalam model ini
pemimpin sudah menunjukkan kemajuan. Otoritas mulai berkurang dan bawahan diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan mulai dilibatkan dalam
pengambilan keputusan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

54
4) Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang kemungkinan dapat dirubah.
Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pengambilan keputusan. Otoritas
pelan-pelan mulai berkurang.
5) Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan mengambil keputusan. Pada
gaya ini otoritas yang dipergunakan sedikit. Sedangkan kebebasan bawahan dalam
berpartisipasi mengambil keputusan sudah lebih banyak dipergunakan. Pemimpin
merumuskan batas-batasnya dan meminta kelompok bawahan untuk mengambil
keputusan. Partisipasi bawahan sudah lebih dominan.
6) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang
telah dirumuskan oleh pemimpin.
Dalam analisis tentang pola kepemimpinan dapat didasarkan pula pada tingkat
kematangan (kedewasaan) bawahan. Ada empat model kepemimpinan yang muncul
berdasarkan pada kematangan bawahan (Siagian, 2003:142-143), yakni :
1) Semakin tinggi tingkat kematangan yang telah dicapai oleh bawahan, pimpinan
memberikan respons tidak saja dalam bentuk pengurangan pengawasan atas berbagai
kegiatan yang dilaksanakan oleh para bawahannya, akan tetapi juga mengurangi
intensitas hubugannya dengan para bawahan tersebut.
2) Pada tingkat kematangan yang masih rendah. Bawahan tidak berkemampuan dan tidak
berkemauan, para bawahan memerlukan pengarahan yang jelas dan tegas serta spesifik
sehingga tidak terdapat kekaburan dalam pelaksanaan tugas para bawahan yang
bersangkutan.
3) Pada tingkat kematangan bawahan yang tinggi. Bawahan berkemampuan tetapi tidak
berkemauan. Yang diperlukan adalah perilaku pimpinan yang berorientasi tugas yang
tinggi dan tingkat hubungan yang intensif antara atasan dengan bawahannya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

55
4) Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi lagi. Bawahan tidak berkemampuan tetapi
berkemauan. Masalah-masalah psikologis dapat timbul dan hanya dapat dipecahkan
dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang bersifat mendukung tugas para bawahan
dan dengan demikian berarti tidak terlalu banyak memberikan pengarahan. Yang
dotonjolkan adalah gaya partisipatif.
5) Pada tingkat kematangan yang sudah tinggi. Bawahan berkemampuan dan berkemauan.
Seorang pimpinan tidak perlu lagi berbuat banyak karena para bawahannya seudah
mampu dan rela memikul tanggung-jawab sehingga tugas-tugas yang dipercayakan
kepada mereka sesuai dengan harapan pimpinan yang bersangkutan.
2. Peran Bawahan dalam Pengambilan Keputusan
Sehubungan dengan peran bawahan dalam pengambilan keputusan dalam
kepemimpinan pendidikan, ada dua konsep yang perlu dikaji, yakni persepsi dan aspirasi
(Rawis, 2000:35). Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996: 241) mengartikan persepsi sebagai
proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian
dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Sedangkan Robbins
(2003: 169) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang digunakan individu dalam
mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada
lingkungan mereka.
Dalam konteks teori ini peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan adalah
bagaimana mereka mempersepsikan pandangan, penghayatan, perasaan mereka sebagai
sesuatu yang bermakna dan dapat disumbangkan bagi kemajuan pendidikan.
Aspirasi dalam bahasa Inggris aspiration yang berarti cita-cita, keinginan (Nasution,
1990:14). Jadi aspirasi guru dan staf adalah keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan
yang dirasakan oleh bawahan untuk dipenuhi guna peningkatan kesejahteraan kerja dalam
rangka mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

56
Aspirasi bawahan pada umumnya ada yang tinggi dan ada yang rendah. Menurut
Thurnburg (Prayitno, 1989, dalam Rawis, 2000:40) ada faktor-faktor yang menimbulkan
tinggi-rendahnya tingkat aspirasi. Faktor yang menyebabkan aspirasi tinggi adalah: (1)
pengalaman sukses, (2) tugas-tugas yang sukar menuntut kerja keras, (3) merasa terkontrol
oleh diri sendiri, (4) tugas-tugas yang relevan dengan kebutuhan akademis maupun jabatan
yang diharapkan, (5) infromasi yang berguna, (6) kelompok orang yang homogen, (7) tujuan
yang realistik untuk dicapai. Sedangkan faktor yang menyebabkan aspirasi rendah adalah: (1)
pengalaman gagal, (2) tugas-tugas yang mudah sehingga dengan usaha yang sedikit dapat
menyelesaikannya, (3) tergantung oleh kontrol orang lain, (4) tugas-tugas yang dirasakan
relevan dengan kebutuhan akademik maupun jabatan yang diharapkan, (5) informasi
dirasakan tidak berguna, (6) kelompok yang heterogen, (7) tujuan yang tidak realistik.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

57
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang sangat menentukan dalam suatu
organisasi. Pengambilan keputusan merupakan esensi/inti dari kepemimpinan.
Seorang pemimpin disebut pemimpin apabila dapat dan mampu mengambil
keputusan. Dalam kepemimpinan dikenal gaya-gaya kepemimpinan. Salah satu di
antaranya

adalah

kepemimpinan

partisipatif.

Kepemimpinan

partisipatif

mengandaikan adanya kondisi pemimpin memberikan ruang yang luas pada
keterlibatan yang utuh dan mendalam dari seluruh pimpinan dan anggota organisasi
untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan.
2. Pengambilan keputusan dapat dipandang dan dilandasi oleh agama, filsafat, psikologi
dan sosiologi. Berbasarkan landasan agama, dianjurkan akan dalam pengambilan
keputusan, seorang pemimpin menempuh jalan musyawarah. Dalam kepemimpinan
pendidikan tentu saja musyawarah melibatkan berbagai stakeholder, terutama guru.
Secara psikologis, pelibatan stakeholder dalam musyawarah akan meningkatkan
motivasi, gairah, dan tanggung jawab untuk turut serta melaksanakan keputusan
secara bersama-sama.
B. Saran
1. Pengambilan keputusan merupakan inti dari kepemimpinan pendidikan. Oleh karena
itu, pemimpin pendidikan dalam pengambilan keputusan disarankan dilakukan secara
musyawarah dengan melibatkan bawahan atau para stakeholder yang
berkepentingan.
2. Kepemimpinan pendidikan sangat ideal apabila menjalankan gaya kepemimpinan
partisipatif agar seiring sejalan dengan hakikat musyawarah dalam pengambilan
keputusan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

58
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Pengambilan keputusan pp
Pengambilan keputusan ppPengambilan keputusan pp
Pengambilan keputusan ppDenny Kodrat
 
Pendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisisPendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisissafutri nurhidayah
 
Kepemimpinan Efektif
Kepemimpinan EfektifKepemimpinan Efektif
Kepemimpinan Efektifdefiranita
 
Power point kepemimpinan
Power point kepemimpinanPower point kepemimpinan
Power point kepemimpinanEmelia Ginting
 
Pengambilan keputusan dalam organisasi
Pengambilan keputusan dalam organisasiPengambilan keputusan dalam organisasi
Pengambilan keputusan dalam organisasiyudharushendrawan
 
Ppt ttm3 kelompok 2 materi tqm
Ppt ttm3 kelompok 2 materi tqmPpt ttm3 kelompok 2 materi tqm
Ppt ttm3 kelompok 2 materi tqmRizky Akbar
 
Model pengambilan keputusan
Model pengambilan keputusanModel pengambilan keputusan
Model pengambilan keputusanhasril ariel
 
30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli
30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli
30 Definisi Manajemen Menurut Para AhliChristian Lokas
 
Manajemen Perubahan dan Inovasi
Manajemen Perubahan dan InovasiManajemen Perubahan dan Inovasi
Manajemen Perubahan dan InovasiPT Lion Air
 
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang Efektif
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang EfektifTeori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang Efektif
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang EfektifUniversitas Pendidikan Indonesia
 
Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi Joel mabes
 
Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)
Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)
Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)Tri Widodo W. UTOMO
 
Makalah pengambilan kepeutusan dalam organisasi
Makalah pengambilan kepeutusan dalam organisasiMakalah pengambilan kepeutusan dalam organisasi
Makalah pengambilan kepeutusan dalam organisasiMarobo United
 
Pendekatan Efektivitas Organisasi
Pendekatan Efektivitas OrganisasiPendekatan Efektivitas Organisasi
Pendekatan Efektivitas OrganisasiSiti Sahati
 

Was ist angesagt? (20)

Pengambilan keputusan pp
Pengambilan keputusan ppPengambilan keputusan pp
Pengambilan keputusan pp
 
Pendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisisPendekatan konseling psikoanalisis
Pendekatan konseling psikoanalisis
 
Kepemimpinan Efektif
Kepemimpinan EfektifKepemimpinan Efektif
Kepemimpinan Efektif
 
Power point kepemimpinan
Power point kepemimpinanPower point kepemimpinan
Power point kepemimpinan
 
kepemimpinan leadership
kepemimpinan leadershipkepemimpinan leadership
kepemimpinan leadership
 
Pengambilan keputusan dalam organisasi
Pengambilan keputusan dalam organisasiPengambilan keputusan dalam organisasi
Pengambilan keputusan dalam organisasi
 
Teori Kepemimpinan Syaf
Teori Kepemimpinan SyafTeori Kepemimpinan Syaf
Teori Kepemimpinan Syaf
 
Ppt ttm3 kelompok 2 materi tqm
Ppt ttm3 kelompok 2 materi tqmPpt ttm3 kelompok 2 materi tqm
Ppt ttm3 kelompok 2 materi tqm
 
Model pengambilan keputusan
Model pengambilan keputusanModel pengambilan keputusan
Model pengambilan keputusan
 
30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli
30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli
30 Definisi Manajemen Menurut Para Ahli
 
Manajemen Perubahan dan Inovasi
Manajemen Perubahan dan InovasiManajemen Perubahan dan Inovasi
Manajemen Perubahan dan Inovasi
 
Konsep dan variabel
Konsep dan variabelKonsep dan variabel
Konsep dan variabel
 
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang Efektif
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang EfektifTeori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang Efektif
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Pemimpin yang Efektif
 
Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi
 
Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)
Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)
Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)
 
Makalah pengambilan kepeutusan dalam organisasi
Makalah pengambilan kepeutusan dalam organisasiMakalah pengambilan kepeutusan dalam organisasi
Makalah pengambilan kepeutusan dalam organisasi
 
Orientasi dan Penempatan
Orientasi dan PenempatanOrientasi dan Penempatan
Orientasi dan Penempatan
 
Leading / Kepemimpinan
Leading / KepemimpinanLeading / Kepemimpinan
Leading / Kepemimpinan
 
Pendekatan Efektivitas Organisasi
Pendekatan Efektivitas OrganisasiPendekatan Efektivitas Organisasi
Pendekatan Efektivitas Organisasi
 
Keputusan politik
Keputusan politikKeputusan politik
Keputusan politik
 

Ähnlich wie Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

kepemimpinan dalam pendidikan
kepemimpinan dalam pendidikankepemimpinan dalam pendidikan
kepemimpinan dalam pendidikanHafidzotul Millah
 
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOH
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOHKEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOH
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOHsitimasyriqoh
 
Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2
Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2
Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2dpyulianti
 
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAMKEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAMDoryRamadhan
 
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdfUEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdfsultansahrir1
 
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdfUEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdfsultansahrir1
 
MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docx
MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docxMAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docx
MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docxMhdTaajuddin
 
Etika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negara
Etika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negaraEtika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negara
Etika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negaraSyaifOer
 
Bahagian b
Bahagian bBahagian b
Bahagian bCik BaCo
 
Kepemimpinan pend islam
Kepemimpinan pend islamKepemimpinan pend islam
Kepemimpinan pend islamerny masytoh
 
Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)
Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)
Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)Muhammad Rozi
 
Kelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya KepemimpinanKelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya KepemimpinanVonny Effendi
 
Manajemen strategi kepemimpinan
Manajemen strategi kepemimpinanManajemen strategi kepemimpinan
Manajemen strategi kepemimpinanvitalfrans
 
Makalah perilaku organisasi
Makalah perilaku organisasiMakalah perilaku organisasi
Makalah perilaku organisasimirakomalsari
 
Kepemimpinan pendidikan
Kepemimpinan pendidikanKepemimpinan pendidikan
Kepemimpinan pendidikanNaya Ti
 

Ähnlich wie Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan (20)

kepemimpinan dalam pendidikan
kepemimpinan dalam pendidikankepemimpinan dalam pendidikan
kepemimpinan dalam pendidikan
 
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOH
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOHKEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOH
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SITI MASYRIQOH
 
Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2
Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2
Makalah kepemimpinan kepala sekolah kelompok 2
 
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAMKEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
KEPEMIMPINAAN KEPALA SEKOLAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
 
kepimpinan
kepimpinankepimpinan
kepimpinan
 
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdfUEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
 
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdfUEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
UEU-Course-17306-MODUL 1-14 PSD 471 KEP PENDIDIKAN.Image.Marked.pdf
 
MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docx
MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docxMAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docx
MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM.docx
 
SQRIPSI Q
SQRIPSI QSQRIPSI Q
SQRIPSI Q
 
Etika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negara
Etika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negaraEtika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negara
Etika kepemimpinan yang bisa melayani publik dalam administrasi negara
 
Bahagian b
Bahagian bBahagian b
Bahagian b
 
2. BAB I.pdf
2. BAB I.pdf2. BAB I.pdf
2. BAB I.pdf
 
Kepemimpinan pend islam
Kepemimpinan pend islamKepemimpinan pend islam
Kepemimpinan pend islam
 
3. BAB II.pdf
3. BAB II.pdf3. BAB II.pdf
3. BAB II.pdf
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)
Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)
Ohio Leadership style (Kepemimpinan Kepala Sekolah)
 
Kelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya KepemimpinanKelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
 
Manajemen strategi kepemimpinan
Manajemen strategi kepemimpinanManajemen strategi kepemimpinan
Manajemen strategi kepemimpinan
 
Makalah perilaku organisasi
Makalah perilaku organisasiMakalah perilaku organisasi
Makalah perilaku organisasi
 
Kepemimpinan pendidikan
Kepemimpinan pendidikanKepemimpinan pendidikan
Kepemimpinan pendidikan
 

Mehr von Denny Kodrat

Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlinePembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlineDenny Kodrat
 
Sekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian NasionalSekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian NasionalDenny Kodrat
 
Curiculum development t_ime_complexity
Curiculum development t_ime_complexityCuriculum development t_ime_complexity
Curiculum development t_ime_complexityDenny Kodrat
 
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutuSIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutuDenny Kodrat
 
Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)Denny Kodrat
 
SIM dan pengelolaan fasilitas
SIM dan pengelolaan fasilitasSIM dan pengelolaan fasilitas
SIM dan pengelolaan fasilitasDenny Kodrat
 
Quo vadis pendidikan call for paper
Quo vadis pendidikan call for paperQuo vadis pendidikan call for paper
Quo vadis pendidikan call for paperDenny Kodrat
 
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutuSIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutuDenny Kodrat
 
Perspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor Pendukung
Perspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor PendukungPerspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor Pendukung
Perspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor PendukungDenny Kodrat
 
Quo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesiaQuo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesiaDenny Kodrat
 
Quo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesiaQuo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesiaDenny Kodrat
 
Mbs implikasi manajemenkurikulum_sistem
Mbs implikasi manajemenkurikulum_sistemMbs implikasi manajemenkurikulum_sistem
Mbs implikasi manajemenkurikulum_sistemDenny Kodrat
 
Pendidikan Naturalisme
Pendidikan NaturalismePendidikan Naturalisme
Pendidikan NaturalismeDenny Kodrat
 
What is language_linguisticspresentation
What is language_linguisticspresentationWhat is language_linguisticspresentation
What is language_linguisticspresentationDenny Kodrat
 
Presentasi metodologi penelitian new dennykodrat
Presentasi metodologi penelitian new dennykodratPresentasi metodologi penelitian new dennykodrat
Presentasi metodologi penelitian new dennykodratDenny Kodrat
 

Mehr von Denny Kodrat (16)

Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlinePembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
 
Sekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian NasionalSekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian Nasional
 
Curiculum development t_ime_complexity
Curiculum development t_ime_complexityCuriculum development t_ime_complexity
Curiculum development t_ime_complexity
 
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutuSIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
 
Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
 
SIM dan pengelolaan fasilitas
SIM dan pengelolaan fasilitasSIM dan pengelolaan fasilitas
SIM dan pengelolaan fasilitas
 
Quo vadis pendidikan call for paper
Quo vadis pendidikan call for paperQuo vadis pendidikan call for paper
Quo vadis pendidikan call for paper
 
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutuSIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
SIstem input-proses-output-outcome pendidikan bermutu
 
Perspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor Pendukung
Perspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor PendukungPerspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor Pendukung
Perspektif Sistem Pendidikan menurut Faktor Pendukung
 
Quo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesiaQuo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesia
 
Quo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesiaQuo vadis pendidikan indonesia
Quo vadis pendidikan indonesia
 
Mbs implikasi manajemenkurikulum_sistem
Mbs implikasi manajemenkurikulum_sistemMbs implikasi manajemenkurikulum_sistem
Mbs implikasi manajemenkurikulum_sistem
 
CDA on Mesuji
CDA on MesujiCDA on Mesuji
CDA on Mesuji
 
Pendidikan Naturalisme
Pendidikan NaturalismePendidikan Naturalisme
Pendidikan Naturalisme
 
What is language_linguisticspresentation
What is language_linguisticspresentationWhat is language_linguisticspresentation
What is language_linguisticspresentation
 
Presentasi metodologi penelitian new dennykodrat
Presentasi metodologi penelitian new dennykodratPresentasi metodologi penelitian new dennykodrat
Presentasi metodologi penelitian new dennykodrat
 

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

  • 1. PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN (Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis) MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi, Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan DOSEN : PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd Oleh : ASEP WAHYU NIM. 4103810413003 DENNY KODRAT NIM. 4103810413007 SLAMET NIM. 4103810413018 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA 2014 Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 1
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh lembaga dan orang-orang yang berkompeten. Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang menjadi standar nasional pendidikan. Hal ini penting, sehingga penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas. Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya, pemahaman pengelola pendidikan terhadap tujuan dan fungsi pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang dikelolanya. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 2
  • 3. Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi besar terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah (kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan kewenangan penyelenggaraannya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan kabupaten/kota berada dalam kewenangan pemerintah provinsi. Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas pendidikan, meski pada kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga, kebudayaan, bahkan pariwisata. Oleh karenanya, dalam penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di satuan-satuan pendidikan, harus benar-benar memperhatikan aspek kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place perlu secara konsisten diimplementasikan. Pimpinan dinas yang menyelenggarakan pendidikan di kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 3
  • 4. diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk mengarahkan agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan-tujuan organisasi. Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama adanya kenyataan bahwa penggantian pemimpin (suksesi kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan organisasi, namun pada kenyataannya dipandang tidak penting. Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang bekerja. Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri, hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits : Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih). Namun, terkadang pemimpin dan terkadang manusia lupa tentang dia tidak tahu pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. peranan dia sebagai seorang bahwa kelak dia akan dimintai Adapula manusia yang ditakdirkan Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 4
  • 5. menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah diperlukan pengetahuan dan keilmuan tentang kepemimpinan, sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap dan bingung dengan jabatannya sehingga dapat menunaikan amanahnya. Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang menandai kekurangan ini. Pertama, adanya krisis komitmen. Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya dengan kemampuan untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit. Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar, banyak membaca, dan memiliki pengetahuan mutakhir serta pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki kredibilitas dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai macam kondisi yang cepat berubah, serta melanjutkan misi kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, pemimpin tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun sejarah di kelak kemudian hari. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 5
  • 6. Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang tidak mudah bagi seorang pemimpin. Persoalan ego, kepentingan, kondisi bawahan, materi keputusan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Pemimpin harus berani mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada. Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan kepada pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari keputusan tetap berada di level pemimpin. Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai alternatif untuk memecahkan masalah. Beberapa peluang masalah dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini disebabkan beberapa aspek, diantaranya: pertama, pembuat keputusan (pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya. Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi pendidikan berhadapan dengan manusia, mengurusi urusan manusia, bukan berhubungan dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga, pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang hidup dalam organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil proses pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah kehadiran leadership itu diperlukan. Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan Kajian dari Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 6
  • 7. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan masalah sebagai berikut ini. 1. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dari perspektif agama? 2. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat? 3. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis? 4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi? C. Tujuan Secara umum makalah ini bertujuan untuk 1. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dari perspektif agama. 2. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat . 3. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis. 4. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi. Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk 1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama, filosofis, psikologis dan sosiologis. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 7
  • 8. 2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi, psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan pendidikan. 5. Manfaat Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif agama, filosofis, psikologis dan sosiologi. Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal pengambilan keputusan sebagai pengelola maupun sebagai penyelenggara organisasi pendidikan. 6. Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau pada online yang membahas mengenai kepemimpinan, pengambilan keputusan, serta landasan-landasan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 8
  • 9. BAB II PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN A. Kepemimpinan Pendidikan Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis. 1. Pengertian Kepemimpinan Pengertian kepemimpinan sangat beragam. Setiap ahli mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel & Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias. James. M Black dalam bukunya Management, A guide to Executive Command menulis bahwa “Leadership is capatibilty of persuading others to work together undertheir direction as a team to accomplish certain designated objectives” (kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu). Demikian pula, Kartono (2005:187) mendefinisikan kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 9
  • 10. kelompok. Sementara itu, Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu. Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus. Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin. Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan secara efektif dan efisien, sebab orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 10
  • 11. Ada kemampuan pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada pemimpin tersebut". Dengan demikian, untuk mampu mempengaruhi atau menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus. Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu: a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya. b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh. c. Mantap dalam kelancaran berbicara. d. Mantap berpikir dan emosi. e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin f. Memahami kepentingan tentang kerjasama. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. 2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan Secara singkat dapat dikemukakan bahwa teori tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional (Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia & Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13). Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 11
  • 12. a. Pendekatan Sifat. Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3) kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif. Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi, yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi. b. Pendekatan Perilaku. Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat. Menurut pendekatan perilaku, pendekatan sifat tidak dapat menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat seorang pemimpin melainkan mencoba menentukan apa yang dilakukan oleh pemimpin efektif, seperti bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dan memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan sebagainya. Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1) fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (Group-maintenance) atau sosial. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 12
  • 13. Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, memperoleh persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan sebagainya. Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi gaya kepemimpinan yakni: (1) gaya orientasi tugas (task oriented); (2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented). Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara manusiawi, sehingga mereka akan selalu memberikan motivasi, melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan persahabatan dan saling menghormati. c. Pendekatan Situasional. Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan situasional. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan keputusan, dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu. Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan sangat bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variabelvariabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al, (1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich (1990:158-259) mengatakan bahwa faktor-faktor situasi yang Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 13
  • 14. mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi utama dalam situasi kepemimpinan yang mempengaruhi gaya pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko (2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau pekerjaan adalah sangat efektif. Akan tetapi bila situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin hubungan manusiawi akan sangat efektif. Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori Hersey-Blanchard. Menurut Siagian (2003:139) pada intinya teori ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan) yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasbawahan atau patron – client. Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat hubungan atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual, mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian. 3. Gaya Kepemimpinan Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian tentang gaya kepemimpinan seseorang. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 14
  • 15. Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya. Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan Schmidt seperti dikutip oleh Wahjosumidjo (2001:40) semuanya berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan Otokratis, Demokratis, Laissez faire. a. Gaya Kepemimpinan Otokratis Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin sebagai sumber kebijakan. Pemimpin merupakan segala-galanya. Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat. Dalam posisi demikian anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal keorganisasian. Pada tipe kepemimpinan ini segala sesuatunya ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya. b. Gaya Kepemimpinan Demokratis Gaya kepemimpinan ini memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 15
  • 16. Gaya kepemimpinan ini memandang bawahan sebagai bagian dari keseluruhan organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi serta mengkoordinasi. Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan kepemimpinan dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran mereka . Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekkan . Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan mengambil keputusan dari bawahannya sehingga pikiran-pikiran mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih “supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam pengambilan keputusan terletak pada pimpinan. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 16
  • 17. c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Dalam hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak memberikan contoh-contoh kepemimpinan (Purwanto,1992:48) Pemimpin mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang harus saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya, asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan tersebut kepada para bawahannya. Dalam konteks pimpinan menginginkan agar para bawahannya bisa mengendalikan diri mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian yang tinggi. Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang mempengaruhi perilaku pemimpin. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal dari luar individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang demokratis atau kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan ditafsirkan bahwa kepemimpinan demokratis selalu meminta pertimbangan bawahan untuk semua hal. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 17
  • 18. 4. Kepemimpinan Partisipatif Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku pemimpin yaitu kepemimpinan direktif, kepemimpinan suportif, kepemimpinan partisipatif, dan kepemimpinan orientasi-prestasi (Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko, 2001:289-290). Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi masih membuat keputusan. Kebanyakan studi dalam organisasi menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang non partisipatif. Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-usaha oleh seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan ini mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan keputusan dan pendelegasian kekuasaan. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 18
  • 19. B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis 1. Landasan Agama Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin dengan lemah lembut, bersiap untuk memaafkan, bermusyawarah dan apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah ini. "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah- lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali-Imran: 159) Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok, bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi dalam pengambilan keputusan. Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 19
  • 20. dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an dan Hadist yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi. Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233. Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233) Sesungguhnya makna ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya relasi suamiistri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam menyapih anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah. Seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri. Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 20
  • 21. Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah Rasulullah, beliau Saw tidak pernah memberikan contoh memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram. Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis penyergapan musuh dalam perang Badar. Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut, misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik. Namun musyawarah dilakukan untuk persoalan-persoalan dalam domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw. 2. Landasan Filosofis Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang mendalam hingga diperhitungkan benarbenar sisi negatif dan positifnya. Bila dikaitkan dengan pengambilan keputusan, maka Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 21
  • 22. pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara berpikir yang benar, hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang keliru. Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti suka, cinta, mencintai dan shophia yang berarti kebijaksanaan, hikmah, atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan” atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu. Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan sungguh-sungguh sampai keakarakarnya terhadap suatu kebenaran. Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari kebenaran atas sesuatu. Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran filsafat yang satu sama lain saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan. Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat progresivisme, esensiaisme, idealisme, perenialisme, progresivisme,rekontruksionisme, realisme, materialisme, dan eksistensialisme. a. Aliran Filsafat pendidikan Progresivisme Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Progresivisme kerap disebut sebagai instrumentalisme, eksperimentalisme, dan enviomentalisme. instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 22
  • 23. eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadiaan. Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan Georges Santayana. Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 23
  • 24. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilainilai (transfer of value) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan. b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada Aku. Menurut esensialisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 24
  • 25. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya. c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan. Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 25
  • 26. Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan. d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 26
  • 27. sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan. e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 27
  • 28. f. Aliran Filsafat Pendidikan Realisme Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme menjadi dua : 1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme klasik dan realisme religi. 2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat. g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia, termasuk tindakan, pikiran dan perasaan, dapat dianggap sebagai perilaku. h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (18421910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang relativis, Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 28
  • 29. melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika. i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 29
  • 30. 3. Landasan Psikologis Agar memperoleh pemahaman yang utuh, maka akan dibahas berbagai aliran dan bentuk dalam psikologi yang berhubungan dengan pendidikan. a. Aliran Psikologi Aliran psikolgi terbagi dalam 2 (dua) aliran besar, yakni aliran psikologi tingkahlaku dan aliran psikologi kognitif. 1) Aliran psikologi tingkah laku Aliran psikologi tingkah laku menekankan pada perilaku manusia sebagai objeknya. Aliran ini terdiri dari teori pengaitan, penguatan dan hirarki belajar. a) Teori Pengaitan. Teori pengaitan dipelopori oleh Edward L. Thorndike dengan percobaannya yang menggunakan beberapa jenis hewan., ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan belajar pada hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung menurut prinsip yang sam taitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut (Orton, 1991:39; Resnick dan Ford, 1981:13). Selanjutnya Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick dan Ford, 1981:13;Hudojo,1991:15-16) mengemukakan bahwa, terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut. (1) Hukum Kesiapan (law of readiness), (2) Hukum Latihan (law of exercise), (3) hukum Akibat (law of effect). b) Teori Penguatan B.F. Skinner Skinner mengembangkan tori belajarnya juga dari hasil percobaan dengan menggunakan hewan. Dari percobaannya, Skinner menyimpulkan bahwa kita dapat Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 30
  • 31. membentuk tingkah laku manusia melalui pengaturan kondisi lingkungan (operant conditioning) dan penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila penyajiannya mengiringi suatu tingkah laku siswa yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu, dalam hal ini berarti tingkah laku tersebut diperkuat. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan Karena cenderung menguatkan tingkah laku. c) Teori Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne Menurut Orton (1990:39), Gagne merupakan tokoh Behaviorism gaya baru (modern neobehaviourist). Dalam mengembangkan teorinya, Gagne memperhatikan objek-objek dalam mempelajari matematika yang terdiri dari objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung adalah: fakta, keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan objek tak langsung adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin diri, dan bersikap positif terhadap matematika. Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang kegiatan belajarnya mengikuti suatu hirarki kemampuan yang dapat diobservasi dan diukur. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne dikenal dengan “ teori hirarki belajar” Gagne membagi belajar dalam delapan tipe secara berurtan, yaitu: belajar sinyal (isyarat), stimulus-respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Gagne berpendapat bahwa proses belajar pada setiap tipe belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan yaitu tahap: pemahaman, penguasaan, ingatan, dan pengungkapan kembali. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 31
  • 32. Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne ini pada pembelajaran matematika perlu diterjemahkan secara operasional yaitu: (1) untuk mengajarkan suatu topic matematika guru perlu: (a) memperhatikan kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari topic tersebut, (b) menyusun dan mendaftar langkah-langkah kegiatan belajar serta membedakan karakteristik belajar yang tersusun secara hirarkis yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya. (2) guru dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai untuk belajar topic matematika yang akan diajarkan. Perkembangan kemampuan belajar menurut Gagne (McNeil,1977) Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dan d. Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, hurup mati, dsb. Belajar Prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep. 2) Aliran psikologi kognitif a) Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget Piaget adalah ahli psikologi Swiss yang latar belakang pendidikan formalnya adalah falsafah dan biologi. Piaget mengemukakan Teori Perkembangan Intelektual (kognitif) Menurut Piaget ada empat tingkat perkembangan Intelektual. (Mulyani 1988, Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983): 1) Periode Sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun 2) Periode Praoperasional pada umur 2 – 7 tahun 3) Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun 4) Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 32
  • 33. b) Teori Belajar dari Jerome Bruner Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti Soekamto, 1994) ada tiga tahap, yaitu: 1) Tahap Enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan 2) Tahap Ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal. 3) Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika. Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya mengenai kegiatan belajarmengajar matematika Bruner merumuskan empat teori umum tentang belajar matematika yaitu: 1) Teorema penyusunan (contruction theorem) 2) Teorema pelambangan (notation theorem) 3) Teorema pembedaan dan keaneka ragaman (contrast and variation theorem) 4) Teorema pengaitan (connectivity theorem) Teori-teori Psikologi telah banyak membantu membentuk Landasan Pendidikan didalamnya anak dapat belajar dengan efektif. Landasan psikologis sangat penting karena manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, sehinggap membutuhkan teori yang berbeda-beda untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus pendidikan. Mengingat dekatnya hubungan teori-teori tersebut dengan pendidikan, maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan mengaplikasikannya dalam kelas. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 33
  • 34. b. Bentuk psikologis pendidikan Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk psikologi pendidikan yang penting untuk diketahui, yakni psikologi perkembangan, psikologi belajar,dan psikologi sosial. 1) Psikologis Perkembangan Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatanpendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih, 1989). a) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapantahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain. b) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini dipandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. c) Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual. Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan, sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 34
  • 35. Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu : a) Masa bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar merupakan perkembangan fisik. b) Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif. c) Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang. d) Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya. 2) Psikologi Belajar Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikannya kepada orang lain. Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 35
  • 36. Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar. a) Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup. b) Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya. c) Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta, 2007:218). 3) Psikologi Sosial Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar individu (Pidarta, 2007:219). 4. Landasan Sosiologis Kegiatan pendidikan sesunggnya rekayasa sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi antara orang yang dewasa dengan orang yang belum dewasa sehingga orang yang belum dewasa itu menjadi dewasa. Proses rekayasa sosial itu disusun secara terencana dan sistematis melalui tahapan-tahapan tertentu, sehingga dapat diukur tingkat kedewasaannya. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 36
  • 37. Perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatkan perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi normanorma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masingmasing anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. a. Faham Individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masingmasing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis. b. Faham Kolektivisme merupakan faham yang berlawanan dengan faham individualisasi. Faham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan individu secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Faham ini dianut oleh negara-negara sosialis yang umumnya merupakan negara totaliter. c. Faham Integralistik merupakan faham yang merupakan paduan dari faham individualistic dan faham kolektivisme. Dalam masyarakat yang menganut Faham integralistik, masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis dan membentuk masyarakat. Pengakuan secara seimbang Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 37
  • 38. terhadap hak-hak individu dan hak-hak masyarakat. Negara Indonesia merupakan negara yang dibentuk beradasarkan faham integralistik. Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya. C. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Pengambilan Keputusan Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai alternatif untuk memecahkan masalah. Salusu (1996:47) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Handoko (2001:129) melihat pengambilan keputusan sebagai proses di mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. Dari beberapa pengertian tentang pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif untuk pemecahan masalah. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 38
  • 39. 2. Dasar-dasar Pengambilan Keputusan Menurut George Terry (dalam Hasan, 2002:12-13) dasar-dasar pengambilan keputusan adalah : a. Intuisi. Keputusan berdasarkan perasaan subjektif dari pengambil keputusan. Sehingga sangat dipengaruhi oleh sugesti dan faktor kejiwaan. b. Rasional. Pengambilan keputusan bersifat objektif, logis, transparan dan konsisten karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan seseorang. c. Fakta. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada kenyataan objektif yang terjadi sehingga keputusan yang dimabil dapat lebih sehat, solid dan baik. d. Wewenang. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada wewenang dari manajer yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari bawahannya. e. Pengalaman. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada pengalaman seorang manajer. 3. Teknik Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan Ada beberapa teknik peran serta sebagai bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah bersama dengan guru dan staf sekolah. Menurut Lunenburg & Ornstein (1991:178-182) dan Salusu (1996:235-260), teknik partispasi antara lain, yaitu : Brainstorming, teknik delphi,kelompok mutu, konsep zone of acceptance. Brainstorming adalah teknik sumbang saran dari semua anggota organisasi. Teknik ini mengutamakan demokrasi dalam menyampaikan pendapat melalui persidangan yang relatif kecil. Teknik delphi dikembangkan oleh Dalkey dan Helmer (1963). Teknik ini menghindari tatap muka antara peserta dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu juga mencegah adanya pembicara vokal yang sering menguasai waktu lebih banyak daripada peserta lainnya. Teknik ini biasanya dipakai pada Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 39
  • 40. manajemen puncak yang biasanya tidak mempunyai cukup waktu untuk bertemu satu dengan yang lain. Teknik ini menghindari perdebatan akan tetapi tetap ada komunikasi dan pertukaran gagasan dan informasi. Teknik kelompok mutu biasa dipakai pada sektor implementasi. Teknik ini biasanya merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri atas pengawas dengan sejumlah karyawan yang bekerja di bagian tertentu. Kelompok mini adalah kelompok sukarela. Mereka bertemu secara reguler untuk membicarakan berbagai masalah dan pengambilan keputusan. Teknik zone of acceptance adalah teknik dimana terjadi suatu situasi seseorang dapat menerima suatu keputusan secara otomatis. Konsep ini mencoba menjawab pertanyaan: ”Dalam kondisi apa bawahan harus diikutsertakan dalam pengambilan keputusan ?”. Jadi bisa saja bawahan tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. 4. Jenis-jenis Pengambilan Keputusan Secara umum jenis pengambilan keputusan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yakni keputusan terprogram dan keputusan tidak terprogram (Siagian,1987:2526; Salusu, 1996:63). a. Keputusan Terprogram Keputusan terprogram adalah tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali dan diambil secara rutin dalam organisasi. Keputusan terprogram biasanya menyangkut pemecahan masalah-masalah yang sifatnya teknis serta tidak memerlukan pengarahan dari tingkat manajemen yang lebih tinggi. b. Keputusan tidak terprogram Keputusan tidak terprogram muncul sebagai akibat dari suatu situasi di mana ada suatu kemendesakan untuk segera mengambil tindakan dan memecahkan masalah yang timbul. Biasanya keputusan ini bersifat repetitif, tidak terstruktur dan sukar mengenali bentuk, hakekat dan dampaknya. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 40
  • 41. 5. Langkah-Langkah Pengambilan keputusan Simon (1957) mengemukakan proses pengambilan keputusan pada dasarnya terdiri atas tiga langkah (Reksohadiprodjo & Handoko, 2001:144-145; Hasan,2002:24), yaitu: (1) Kegiatan Intelejen, menyangkut pencarian berbagai kondisi lingkungan yang diperlukan bagi keputusan; (2) Kegiatan desain, merupakan pembuatan, pengembangan dan penganalisaan berbagai rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan; (3) Kegiatan pemilihan, yakni memilih serangkain kegiatan tertentu dari alternatif-alternatif yang tersedia. Proses pengambilan keputusan secara rasional dan ilmiah pada dasarnya meliputi tahapan sebagai berikut (Handoko, 2001:134-138): (1) pemahaman dan perumusan masalah, (2) pengumpulan dan analisa data yang relevan, (3) pengembangan alternatif-alternatif, (4) evaluasi alternatif-alternatif, (5) pemilihan alternatif terbaik, (6) implementasi keputusan, (7) evaluasi hasil-hasil keputusan. Pengambilan keputusan antara lain juga diartikan sebagai suatu tehnik memecahkan suatu masalah dengan mempergunakan tehnik-tehnik ilmiah. Secara singkat menurut Siagian (1973) dapat dikatakan bahwa ada 7 langkah yang perlu diambil dalam usaha memecahkan masalah dengan mempergunakan teknik-teknik ilmiah. a. Mengetahui hakekat dari pada masalah yang dihadapi, dengan perkataan lain mendefinisikan masalah yang dihadapi itu dengan setepat-tepatnya; b. Mengumpulkan fakta dan data yang relevan; c. Mengolah fakta dan data tersebut; d. Menentukan beberapa alternatif yang mungkin ditempuh; e. Memilih cara pemecahan dari alternatif-alternatif yang telah diolah dengan matang; f. Memutuskan tindakan apa yang hendak dilakukan; g. Menilai hasil-hasil yang diperoleh sebagai akibat daripada keputusan yang telah diambil. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 41
  • 42. BAB III PEMBAHASAN A. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Agama Dalam Islam, pengambilan keputusan secara musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Karena musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan dapat menjadi ajaran normatif dalam kepemimpinan pendidikan khususnya, dan dalam kehidupan pada umumnya. Al-Qur’an Surat Al-Imron ayat 159 sebagaimana dikutip pada bab II, telah memberikan pelajaran kepada manusia (termasuk pemimpin) bahwa dalam mengadapi persoalan yang pelik dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sebaiknya diambil keputusan melalui jalan musyawarah.Meskipun keputusan yang diambil adalah sesuatu yang keliru. Dari kandungan ayat itu tegas ditunjukkan 4 (empat) sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah, yakni : (1) Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala. (2) Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab musyawarah tidak akan berjalan baik, bila peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam. (3) Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan, itulah sebabnya yang harus melatarbelakangi msyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi. (4) Setelah selesai bermusyawarah harus berserah diri dengan bertawaqal kepada-Nya. Selain itu, musyawarah memiliki beberapa sikap positif, yakni : Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 42
  • 43. (1) Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik bahwa orang lain itu rendah. (2) Meskipun Nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia ia memiliki kemampuan yang terbatas. Oleh karenanya, beliau menganjurkan bahwa tidak ada satu kaum pun yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kea rah penyeleseaian terbaik dalam perkaranya. (3) Mengkilangkan buruk sangka, karena dengan musyawarah prasangka kepada orang lain akan tereleminasi. (4) Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan mayoritas dari hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih bdapat diteloransi daripada keputusan individu. Hal-hal positif muncul karena musyawarah menghasilkan masyurah : pendapat, nasihat, dan pertimbangan. Walaupun sangat dianjurkan dalam agama, praktik bermusyawarah kerap digunakan dalam bidang-bidang lain.Bahkan adakalanya praktik musyawarah suka digunakan untuk kepentingan penguasa untuk kejayaan dan kelestarian kekuasaannya. Musyawarah seperti ini sesungguhnya telah menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai, yakni kebenaran dan kebaikan bersama. Itu berarti bahwa harus dihindari musyawarah dijadikan panggung legislasi demi kepentingan yang tidak bernilai kebaikan. Kewajiban untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan semua persoalan sebenarnya berimplikasi pada keharusan adanya pelembagaan musyawarah. Ini telah ditunjukkan dalam sejarah, baik pada masa Rosululloh maupun Khulafaurrasyidin. Meskiputun tidak disebutkan secara resmi lembaga apa, namun dari keberadaan tokoh sahabat yang mendampingi Rosululloh dan para khalifah sebagai mitra yang selalu dimintai pendapatnya, menunjukkan pelembagaan sistem musyawarah dalam sistem politik. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 43
  • 44. B. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Filsafat Pendidikan Pengambilan keputusan partisipatif penting dilakukan oleh pemimpin pendidikan, karena secara filosofi tugas seorang pemimpin adalah mengarahkan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi secara bersama-sama. Bangunan kerja sama ini akan semakin kokoh apabila pemimpin mamu melibatkan bawahan dalam setiap kegiatan organisasi, termasuk dalam pengambilan keputusan. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan akan semakin baik, sehingga mampu menjaga stabilitas dan kondusifitas organisasi. Dalam kaitannya dengan pendidikan dewasa ini, pemimpin pendidikan harus mampu mengambil keputusan strategic (mungkin melalui penyusunan kurikulum) agar arah pendidikan dikembalikan pada arah yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini, implementasi rekontruksionisme patut untuk dipertimbangkan. Keberanian untuk merestorasi pendidikan ini dipandang akan mampu menyelamatkan generasi muda dari ancaman materialistik. Filsafat rekontruksionisme memandang bahwa pendidikan perlu mengubah tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru untuk mencapai tujuan bersama. Pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula, demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Diterapkannya faham rekontruksionisme dewasa ini seiring sejalan dengan iklim politik pemerintah yang menuju pada demokratisasi. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, filsafat rekontruksionisme mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasi oleh kelompok tertentu. Nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya bukan hanya teori, melainkan mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran,serta keamanan Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 44
  • 45. masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme, agama, dan masyarakat bersangkutan. Rekontruksionisme sejalan dengan pemikiran Alvin Toffler dengan karyanya Future Shock. Dalam artikelnya Toffler dalam (Gandhi,2011:192) menyatakan bahwa “Apa sebenarnya yang dilakukan pendidikan hari ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan” Pendidikan berjalan hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industry, sedangkan situasi sosial telah memasuki fase super insudtri. Akibatnya dapat ditebak. Sekolahsekolah kita limbung. Sekolah lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh. Energi besarnya digunakan untuk mencetak manusia industry, yakni manusia yang disiapkan untuk dapat hidup dalam sistem yang akan mati sbelum mereka eksis. Untuk mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, harus diwujudkan sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan dan metode di masa datang, bukan justru masa lalu (Toffler,1970:353). Walaupun dalam hal optimisme Toffler dan penganut rekontruksionisme agak berbeda, namun intinya roh pendidikan harus dilakukan perubahan yang nyata. Filsafat rekontruksionis berkeyakinan bahwa perubahan dapat dimulai dari pendidikan. Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu siswa mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga siswa memiliki Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 45
  • 46. kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu siswa mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Lebih jauh guru harus membantu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak. Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan “rekayasa sosial”, dengan tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan datang. Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Apabila tidak demikian, setiap individu dan kelompok nantinya akan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secaara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dan progresivisme. C. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Psikologi Sangat sulit untuk menyangkal, bahwa terdapat relevansi antara pengambilan keputusan dengan psikologi. Pengambilan keputusan berhubungan dengan perilaku pemimpin, sedangkan kepatuhan melaksanakan keputusan berhubungan dengan perilaku pengikut. Perilaku pengikut dan perilaku pemimpin merupakan perilaku manusia, yang merupakan kajian dari psikologi. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 46
  • 47. Perilaku pemimpin tercermin dari gaya kepemimpinan yang dijalankan. Gaya itu dilatarbelakangi oleh sifat atau watak dari pemimpin. Perilaku dan watak sangat berkaitan dengan psikologis pemimpin. Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan yang baik adalah gaya yang mampu memecahkan berbagai persoalan dengan tepat. Dalam hal ini gaya kepemimpinan yang otokratis dan demokratis atau partisipatif merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan, namun akan cocok bergantung pada siatuasi yang ada. Dalam situasi normal, pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang lain. Pengikut sebagai unsur yang akan menjalankan keputusan sebaiknya terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Keterlibatan pengikut dalam pengambilan keputusan, secara psikologis akan melahirkan partisifasi pengikut dalam proses pembuatan dan implementasi keputusan. Untuk itu, dari sudut pandang psikologi maka pengambilan keputusan partisipatif dipandang sebagai pengambilan keputusan yang lebih baik dari yang lainnya. Likert (1976) dalam studi tentang pola dan gaya kepemimpinan dan manajer selama tiga dasawarsa berkesimpulan bahwa kepemimpinan partisipatiflah yang paling efektif dalam organisasi dan manajemen. Likert memandang manajer yang efektif adalah manajer yang berorientasi pada bawahan yang bergantung pada komunikasi untuk tetap menjaga agar semua orang bekerja sebagai suatu unit. Semua anggota kelompok, termasuk manajer atau pemimpin, menerapkan hubungan suportif di mana mereka saling berbagi kebutuhan, nilai-nilai aspirasi, tujuan, dan harapan bersama. Pendekatan ini sebagai cara yang paling efektif dalam memimpin kelompok (Kootz, O ‘Donnell & Weihrich, 1990:152). Gibson, Ivancevioch & Donnely (1990:135) juga mengemukakan bahwa banyak ahli riset dan manajer yang percaya bahwa sebagian besar anggota organisasi ingin memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan. Mereka yakin bahwa semakin besarnya partisipsi dalam proses tersebut akan Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 47
  • 48. meningkatkan keikatan kepada organisasi, kepuasan kerja, pertumbuhan dan perkembangan pribadi serta sikap menerima perubahan.Perkembangan dewasa ini memandang bahwa pendidikan dan lembaga sekolah sebagai suatu sistem organisasi yang membutuhkan manajemen yang andal. Aspek penting dalam organisasi dan manajemen pendidikan adalah soal kepemimpinan pendidikan. Dari aspek perilaku organisasi pendidikan, pengambilan keputusan partisipatif menjadi suatu model yang dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah. Keterlibatan dan partisipasi segenap komponen sekolah menjadi unsur yang menentukan kinerja dan keberhasilan penyelenggaraan sekolah sebagai lembaga pendidikan. D. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Sosiologi Pengambilan keputusan secara partisipatif mensyaratkan keterlibatan bawahan dan pimpinan secara aktif sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam prespektif sosiologis, pimpinan dan bawahan hendaknya menganggap satu keluarga besar, dengan pimpinan sebagai kepala keluarganya. Asas yang digunakan adalah kekeluargaan dan gotong royong sesuai dengan faham integralistik. Tipe kepemimpinan yang membentuk bangunan kekeluargaan adalah kepemimpinan demokratik atau partisipatif. 1) Pengambilan Keputusan Partisipatif Kebanyakan dari para teoretikus mengemukakan empat prosedur pengambilan keputusan, yakni: keputusan otokratik, konsultasi, keputusan bersama dan pendelegasian. Keempat prosedur pengambilan keputusan tersebut merupakan suatu kontinum. a) Keputusan otokratik : Manajer membuat keputusan sendiri tanpa menanyakan opini atau saran dari orang lain, dan orang-orang tersebut tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap keputusan tersebut, tidak ada partisipasi. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 48
  • 49. b) Konsultasi. Manajer menanyakan opini dan gagasan, kemudian mengambil keputusannya sendiri setelah mempertimbangkan secara serius saran-saran dan perhatian mereka. Kepemimpinan ini memiliki tiga varietas: Pemimpin membuat keputusan tanpa konsultasi terlebih dahulu, namun kemudian bersedia memodifikasi karena adanya keberatan atau keprihatinan pengikutnya; Pemimpin memberi usulan sementara dan secara aktif mendorong orang untuk menyarankan cara-cara memperbaikinya; Pemimpin menggunakan sebuah masalah dan meminta orang lain untuk berpartisipasi dalam mendiagnosis dan mengembangkan bermacam-macam pemecahan umum, namun kemudian membuat keputusan sendiri; c) Keputusan bersama. Manajer bertemu dengan orang lain untuk mendiskusikan masalah keputusan tersebut dan mengambil keputusan bersama; manajer tidak mempunyai pengaruh lagi terhadap keputusan terakhir seperti peserta lainnya. d) Pendelegasian. Manajer memberi kepada seorang individu atau kelompok, kekuasaan serta tanggung jawab untuk membuat keputusan; manajer tersebut biasanya memberi spesifikasi mengenai batas-batas dalam mana pilihan terakhir harus berada, dan persetujuan terlebih dahulu mungkin atau mungkin tidak perlu diminta sebelum keputusan tersebut dilaksanakan. Dari empat prosedur pengambilan keputusan di atas, yang pertama yakni tipe otokratik bukan menjadi karakteristik pengambilan keputusan partisipatif. Karena pengambilan keputusan berada pada kewenangan pemimpin tanpa memberikan peluang kepada anggota untuk berpartisipasi. Prosedur pengambilan keputusan dengan konsultasi, keputusan bersama, dan pendelegasian merupakan karakteristik pengambilan keputusan partisipatif yang Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 49
  • 50. dijakankan oeh kepemimpinan partisipatif. Tiga ciri ini memiliki intensitas yang berbeda. Kalau pada karakteristik konsultasi seorang pemimpin sudah memberikan peluang kepada bawahannya untuk memberikan masukan. Walaupun keputusan tetap berada pada dirinya. Intensistas pembuatan dan penetapan keputusan tetap masih berada pada pimpinan. Pada karakteristik keputusan bersama, baik pemimpin dan anggota memiliki intensitas yang sama. Keputusan yang dibuat berasal dari sejumlah pemikiran dan gagasan baik oleh pemimpin dan bawahan. Pengambilan keputusan tidak bisa dibuat tanpa keterlibatan yang penuh dari pimpinan dan anggota. Sedangkan pada pendelegasian peran dari pemimpin intensitasnya semakin rendah. Anggota organisasi memiliki kewenangan penuh untuk membuat dan menjalankan keputusan. 2) Kelebihan Pengambilan Keputusan Partisipatif Ada beberapa keuntungan potensial pengambilan keputusan partisipatif. Yukl, (1998: 134-135) mengemukakan bahwa secara umum keuntungan pengambilan keputusan partisipatif adalah meningkatkan kualitas sebuah keputusan bila peserta mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai pemimpin tersebut dan bersedia bekerja sama dalam mencari suatu pemecahan yang baik untuk suatu masalah keputusan. Di samping itu dapat meningkatkan komitmen dan rasa tanggung-jawab bersama pada sebuah keputusan. Keuntungan dari gaya kepemimpinan partisipatif (Rohmat,2010:59) adalah a) Konsultasi ke bawah , dapat digunakan dalam rangka meningkatkan kualitas keputusan dengan menarik keahlian yang dimiliki para pengikut, sehingga para pengikut akan dapat menerima semua putusan yang diambil dan menjalankannya. b) Konsultasi lateral, pemimpin melibatkan peran serta orang-orang dalam berbagai sub unit untuk mengatasi keterbatasan kemampuan yang dimiliki pemimpin. Konsultasi Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 50
  • 51. lateral memudahkan koordinasi dan kerja sama di antara para pemimpin dari berbagai sub untuk organisasi. c) Konsultasi ke atas, memungkinkan seorang pemimpin untuk menaruh keahlian seseorang atasan yang berkemampuan lebih besar daripada manajer. d) Konsultasi dengan pihak luar,memungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka dipahami dan dimengerti, mengetahui kebutuhan-kebutuhan serta preferensi-preferensi mereka, serta akan .memperkuat jaringan kerja eksternal. 3) Efektivitas Pengambilan Keputusan Partisipatif Benarkan pengambilan keputusan partisipatif efektif dijalankan dalam kepemimpinan pendidikan? Menurut Vroom & Yetton (1973) dan Maeir & Verser (1982) efektivitas keseluruhan dari sebuah keputusan tergantung pada dua variabel intervensi yakni penerimaan keputusan dan kualitas keputusan (Yukl 1998:137-138, Ubben,Hughes dan Norris 2004:47). Berbagai penjelasan dan penelitian telah diajukan mengenai efektivitas kepemimpinan partisipatif dalam pembuatan dan penerimaan keputusan (Anthony, 1978; Maier, 1963; Michael, 1973; Strauss, 1963). Efektivitas partisipasi dalam pengambilan keputusan dan penerimaan keputusan antara lain: a) Orang-orang yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan keputusan cenderung untuk mengidentifikasikan dirinya dengan hal tersebut dan merasakannya sebagai keputusannya, yang akan lebih meningkatkan motivasi mereka untuk melaksanakan keputusan tersebut dengan berhasil. b) Partisipasi juga memberi suatu pengertian yang lebih baik mengenai sifat masalah keputusan dan alasan mengapa suatu alternatif tertentu diterima dan yang lainnya ditolak. Para peserta memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai bagaimana mereka akan dipengaruhi oleh sebuah keputusan yang kemungkinan besar akan Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 51
  • 52. mengurangi rasa takut apa saja yang tidak beralasan dan ketegangan-ketegangan mengenai hal tersebut. c) Partisipasi juga memungkinkan orang memperoleh peluang untuk melindungi kepentingan mereka jika benar-benar terancam, dengan mengemukakan rasa prihatin mereka dan membantu untuk mencari suatu pemecahan yang menanggapi rasa keprihatinan tersebut. d) Sebuah keputusan yang telah dibuat oleh sebuah proses kelompok yang dianggap sah, memungkinkan para anggota menggunakan tekanan sosial terhadap anggota yang lain agar menjalankan keputusan itu dalam implementasinya. Sedangkan efek dari partisipasi terhadap kualitas keputusan (Yukl, 1998 : 138): a) Partisipasi akan menghasilkan keputusan yang lebih baik bila para bawahan mempunyai informasi yang relevan dan bersedia untuk bekerja-sama dengan pemimpin tersebut dalam membuat keputusan yang baik. b) Apabila di antara para bawahan terjadi perbedaan pandangan dan sulit diambil keputusan bersama, maka konsultasi memungkinkan menghasilkan keputusan yang memiliki kualitas lebih tinggi, karena pemimpin (manajer) akan mempertahankan kontrol terhadap pilihan terakhir. 4) Keterbatasan Pengambilan Keputusan Partisipatif Pengambilan keputusan partisipatif memiliki keterbatasan (Yukl, 1998:140), yakni : 1) Bentuk partisipasi efektif pada situasi-situasi tertentu namun tidak pada situasi lainnya (Vrom & Jago, 1988). Karena partisipasi memakan waktu, kadang berteletele. Dalam keadaan darurat untuk berkonsultasi dan berdiskusi tidak efektif. Seorang Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 52
  • 53. pemimpin harus cepat dan tanggap dalam membuat keputusan dan mengambil kebijakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan manajemen dan organisasi. 2) Kecenderungan terjadinya partisipasi semu (pseudoparticipation), di mana manajer mencoba untuk melibatkan bawahan dalam tugas tetapi bukan dalam proses pengambilan keputusan. Kebanyakan para manajer mencoba berkonsultasi dengan bawahannya akan tetapi masukan dan gagasan dari para bawahan tidak diakomodir dalam pembuatan keputusan dan pengambilan kebijakan. E. Pengambilan Keputusan Partisipatif dalam Kepemimpinan Pendidikan Berbicara mengenai implementasi pengambilan keputusan dalam kepemimpinan partisipatif dalam kepemimpinan pendidikan terkait erat dengan perilaku birokrasi pendidikan (pusat dan daerah), kepala sekolah dan guru sebagai anggota organisasi pendidikan dalam pengambilan keputusan. Peran serta ketiga pemimpin pendidikan dalam pengambilan keputusan ditegaskan oleh French (1960) dalam Salusu (1996:233) menegaskan bahwa peran serta menunjukkan suatu proses antara dua atau lebih pihak yang mempengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijaksanaan dan keputusan. Pentingnya peran serta dalam proses pengambilan keputusan diakui juga oleh Alutto dan Belasco (1972) yang mengatakan bahwa dengan adanya peran serta ada jaminan bahwa pemeran serta tetap mempunyai kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil (Salusu, 1996:234). Mengingat lingkungannya yang unik, maka dalam makalah ini akan dibahas peran serta (partisipasi) kepala sekolah dan guru termasuk staf sekolah dalam pengambilan keputusan di sekolah. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 53
  • 54. 1. Peran Pemimpin Pendidikan dalam Pengambilan Keputusan Partisipatif Dilihat dari fungsi birokrasi pendidikan dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, maka ia harus mampu mengambil keputusan secara tepat. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, pemimpin pendidikan hendaknya memberi kesempatan kepada anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dasar teori yang dapat dikaji dalam pengambilan keputusan pendidikan dan partisipasi anggota organisasi adalah teori kepemimpinan kontinum yang dikembangkan oleh Tannenbaum dan Schmidt (Rawis, 2000:30). Dalam pandangan kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim. Pertama, bidang pengaruh pemimpin di mana pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya. Kedua, bidang pengaruh kebebasan bawahan di mana pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipergunakan dalam hubungannnya dengan perilaku pemimpin melakukan aktivitas pengambilan keputusan. Menurut dua ahli tersebut ada enam model gaya pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh pemimpin, yakni : 1) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang dipergunakan atasan terlalu dominan, sedangkan daerah kebebasan bawahan sempit sekali. 2) Pemimpin menjual keputusan. Pada gaya ini pemimpin masih dominan. Bawahan belum banyak dilibatkan. 3) Pemimpin menyampaikan ide-ide dan mengundang pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjukkan kemajuan. Otoritas mulai berkurang dan bawahan diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 54
  • 55. 4) Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang kemungkinan dapat dirubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pengambilan keputusan. Otoritas pelan-pelan mulai berkurang. 5) Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan mengambil keputusan. Pada gaya ini otoritas yang dipergunakan sedikit. Sedangkan kebebasan bawahan dalam berpartisipasi mengambil keputusan sudah lebih banyak dipergunakan. Pemimpin merumuskan batas-batasnya dan meminta kelompok bawahan untuk mengambil keputusan. Partisipasi bawahan sudah lebih dominan. 6) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin. Dalam analisis tentang pola kepemimpinan dapat didasarkan pula pada tingkat kematangan (kedewasaan) bawahan. Ada empat model kepemimpinan yang muncul berdasarkan pada kematangan bawahan (Siagian, 2003:142-143), yakni : 1) Semakin tinggi tingkat kematangan yang telah dicapai oleh bawahan, pimpinan memberikan respons tidak saja dalam bentuk pengurangan pengawasan atas berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh para bawahannya, akan tetapi juga mengurangi intensitas hubugannya dengan para bawahan tersebut. 2) Pada tingkat kematangan yang masih rendah. Bawahan tidak berkemampuan dan tidak berkemauan, para bawahan memerlukan pengarahan yang jelas dan tegas serta spesifik sehingga tidak terdapat kekaburan dalam pelaksanaan tugas para bawahan yang bersangkutan. 3) Pada tingkat kematangan bawahan yang tinggi. Bawahan berkemampuan tetapi tidak berkemauan. Yang diperlukan adalah perilaku pimpinan yang berorientasi tugas yang tinggi dan tingkat hubungan yang intensif antara atasan dengan bawahannya. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 55
  • 56. 4) Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi lagi. Bawahan tidak berkemampuan tetapi berkemauan. Masalah-masalah psikologis dapat timbul dan hanya dapat dipecahkan dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang bersifat mendukung tugas para bawahan dan dengan demikian berarti tidak terlalu banyak memberikan pengarahan. Yang dotonjolkan adalah gaya partisipatif. 5) Pada tingkat kematangan yang sudah tinggi. Bawahan berkemampuan dan berkemauan. Seorang pimpinan tidak perlu lagi berbuat banyak karena para bawahannya seudah mampu dan rela memikul tanggung-jawab sehingga tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka sesuai dengan harapan pimpinan yang bersangkutan. 2. Peran Bawahan dalam Pengambilan Keputusan Sehubungan dengan peran bawahan dalam pengambilan keputusan dalam kepemimpinan pendidikan, ada dua konsep yang perlu dikaji, yakni persepsi dan aspirasi (Rawis, 2000:35). Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996: 241) mengartikan persepsi sebagai proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Sedangkan Robbins (2003: 169) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang digunakan individu dalam mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Dalam konteks teori ini peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan adalah bagaimana mereka mempersepsikan pandangan, penghayatan, perasaan mereka sebagai sesuatu yang bermakna dan dapat disumbangkan bagi kemajuan pendidikan. Aspirasi dalam bahasa Inggris aspiration yang berarti cita-cita, keinginan (Nasution, 1990:14). Jadi aspirasi guru dan staf adalah keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh bawahan untuk dipenuhi guna peningkatan kesejahteraan kerja dalam rangka mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 56
  • 57. Aspirasi bawahan pada umumnya ada yang tinggi dan ada yang rendah. Menurut Thurnburg (Prayitno, 1989, dalam Rawis, 2000:40) ada faktor-faktor yang menimbulkan tinggi-rendahnya tingkat aspirasi. Faktor yang menyebabkan aspirasi tinggi adalah: (1) pengalaman sukses, (2) tugas-tugas yang sukar menuntut kerja keras, (3) merasa terkontrol oleh diri sendiri, (4) tugas-tugas yang relevan dengan kebutuhan akademis maupun jabatan yang diharapkan, (5) infromasi yang berguna, (6) kelompok orang yang homogen, (7) tujuan yang realistik untuk dicapai. Sedangkan faktor yang menyebabkan aspirasi rendah adalah: (1) pengalaman gagal, (2) tugas-tugas yang mudah sehingga dengan usaha yang sedikit dapat menyelesaikannya, (3) tergantung oleh kontrol orang lain, (4) tugas-tugas yang dirasakan relevan dengan kebutuhan akademik maupun jabatan yang diharapkan, (5) informasi dirasakan tidak berguna, (6) kelompok yang heterogen, (7) tujuan yang tidak realistik. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 57
  • 58. BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang sangat menentukan dalam suatu organisasi. Pengambilan keputusan merupakan esensi/inti dari kepemimpinan. Seorang pemimpin disebut pemimpin apabila dapat dan mampu mengambil keputusan. Dalam kepemimpinan dikenal gaya-gaya kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan partisipatif mengandaikan adanya kondisi pemimpin memberikan ruang yang luas pada keterlibatan yang utuh dan mendalam dari seluruh pimpinan dan anggota organisasi untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. 2. Pengambilan keputusan dapat dipandang dan dilandasi oleh agama, filsafat, psikologi dan sosiologi. Berbasarkan landasan agama, dianjurkan akan dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin menempuh jalan musyawarah. Dalam kepemimpinan pendidikan tentu saja musyawarah melibatkan berbagai stakeholder, terutama guru. Secara psikologis, pelibatan stakeholder dalam musyawarah akan meningkatkan motivasi, gairah, dan tanggung jawab untuk turut serta melaksanakan keputusan secara bersama-sama. B. Saran 1. Pengambilan keputusan merupakan inti dari kepemimpinan pendidikan. Oleh karena itu, pemimpin pendidikan dalam pengambilan keputusan disarankan dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan bawahan atau para stakeholder yang berkepentingan. 2. Kepemimpinan pendidikan sangat ideal apabila menjalankan gaya kepemimpinan partisipatif agar seiring sejalan dengan hakikat musyawarah dalam pengambilan keputusan. Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan 58