Sales promotion developing the sales promotion plan
6694845 2-agustus-26(1)
1. Hasil Audit GACA
Garuda Bebas Terbangi Arab Saudi
Nograhany Widhi K - detikcom
Jakarta - Hasil audit tim ahli dari General Authority of Civil Aviation (GACA) Arab
Saudi menyimpulkan tidak ada hambatan penerbangan Garuda untuk terbang ke Arab
Saudi, terutama untuk urusan haji.
Hal ini disampaikan Menteri Perhubungan Jusman Syafei Djamal di Departemen
Perhubungan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (2/8/2007).
"Tidak akan ada restriksi penerbangan Garuda untuk terbang ke Arab Saudi, terutama
untuk haji," kata Jusman.
Menurut dia, Garuda tetap bisa melakukan penerbangan seperti biasa untuk urusan haji.
"Memang ada beberapa protokol yang perlu ditindaklanjuti tetapi tidak menghalangi
penerbangan Garuda ke Arab Saudi. Jadi tidak ada halangan terbang di wilayah Arab
Saudi," ujarnya.
Vice President for Safety and Economic Regulation GACA Mohammed R Berenji
menilai sudah ada peningkatan dan pengembangan status dan regulasi Garuda.
"Saya optimistis Garuda menjadi lebih baik," kata Berenji.
Pemerintah Arab Saudi sebelumnya diberitakan hendak mengikuti kebijakan Uni Eropa
yang melarang maskapai Indonesia menerbangi wilayahnya.
Indonesia lantas mengundang GACA untuk mengaudit maskapai dalam negeri untuk
mengetahui kemajuan tingkat keselamatan penerbangan nasional. Tim GACA tiba di
Jakarta akhir Juli lalu. (aan/nrl)
Jakarta - Mengejutkan! Lebih dari 30 ribu balita di Indonesia pertahun tewas akibat
penyakit campak. Depkes pun akan menggalakkan vaksinasi mulai 10 Agustus 2007
nanti. Imunisasi campak ini ditargetkan di 12 provinsi.
"Mulai 10 Agustus nanti hingga satu bulan, Depkes akan melakukan kampanye imunisasi
campak dengan target 12 provinsi," kata Menkes Siti Fadilah Supari dalam jumpa pers di
Depkes, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (2/8/2007).
Menurut Siti, imunisasi campak ini dilakukan minimal dua kali, yakni pada anak-anak
usia 6-56 bulan dan usia 6-12 tahun.
Siti menyesalkan banyaknya ibu-ibu yang takut mengimunisasikan anak-anaknya
lantaran takut ada kandungan minyak babi dalam cairan yang disuntikkan.
2. "Jangan percara tentang imunisasi yang menganduk minyak babi. Karena itu hanya
dipakai sebagai katalisator. Tidak disuntikkan ke anak," tegas Menkes.
Akibat isu tidak benar tersebut, lanjut Siti, sejak tahun 2005 ada sekitar 700 ribu anak
tidak diimunisasi.
"Padahal kita sudah dapat lisensi dari MUI," pungkasnya. (anw/sss)
Baca juga:
Air Bercampur Tinja dan Asam Bongkrek Picu Penyakit Misterius
Amelia Altiara Abera - detikcom
Jakarta - Penyebab penyakit misterius yang menyerang warga Dusun Beran, Desa
Kanigoro, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diduga dipicu dua
hal.
"Ada dua kemungkinan, yakni adanya logam berat yang berasal dari air yang tercampur
oleh tinja akibat sanitasi lingkungan tidak bagus, dan asam bongkrek yang terdapat dalam
tempe gembus," ujar Menkes Siti Fadilah Supari.
Hal tersebut ia sampaikan dalam jumpa pers di kantor Depkes, Jalan HR Rasuna Said,
Jakarta, Kamis (2/8/2007).
Dari kedua kemungkinan tersebut, Siti lebih menuduh asam bongkrek sebagai penyebab
penyakit misterius ini.
"Dugaan kami mengerucut pada tempe gembus," kata Siti.
Siti menambahkan, saat ini bagian Litbang Depkes sedang meneliti asam bongkrek
tersebut. "Hasilnya baru diketahui satu minggu lagi," kata dia.
Saat ditanya apakah penyakit misterius ini juga disebabkan oleh cacing mikroba, Menkes
tidak menampiknya.
"Cacing mikroba terdapat dalam air yang sanitasinya tidak bagus, ini juga kita teliti,
hasilnya minggu depan," pungkasnya. (anw/sss)
Baca juga: 01/08/2007 13:23 WIB
Korban Penyakit Misterius Tidak Makan Tempe Gembus
Bagus Kurniawan - detikcom
Magelang - Tempe gembus sebagai penyebab penyakit misterius di Desa Kanigoro,
Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, diragukan warga. Sebab, para korban tidak
mengonsumsi tempe gembus sebelum jatuh sakit. Mereka hanya mengonsumi nasi dan
sayuran biasa.
3. "Kami tidak makan tempe gembus sebelum kejadian, tapi kalau sayur kacang panjang
dan daun kol serta tempe atau tahu memang iya dan itu menu sehari-hari," kata Asmuni
di rumahnya, di Dusun Beran Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak Kabupaten,
Magelang, Rabu (1/8/2007).
Menurut dia, warga tidak terbiasa mengonsumsi makanan seperti tempe gembus yang
berasal dari ampas tahu itu. Sebab untuk membelinya, warga harus pergi ke pasar Grabag
atau Pasar Ngablak yang berjarak sekitar 6-8 km. Kalaupun harus ke pasar, mereka pergi
ke pasar terdekat di dusun sebelah, namun tidak dilakukan setiap hari.
"Paling-paling seminggu atau tiga hari sekali ke pasar kalau memang ada kebutuhan yang
harus dibeli di sana. Kami tiap hari makan dengan lauk dan sayuran seadanya," kata
Asmuni yang juga ditinggal istrinya, Aslamiyah (37), akibat penyakit misterius itu.
Sementara itu Kepala Desa Gadang Rintoko di Posko Kesehatan Dusun Beran
mengatakan warga yang meninggal maupun yang dirawat d rumah sakit tidak makan
tempe gembus. Namun bila ada yang makan tempe gembus, maka jumlah korban yang
sakit maupun meninggal saat kejadian pertama pada hari Minggu 22 Juli lalu akan
bertambah banyak.
"Kalau pun ada warga yang makan gembus, mengapa mereka tidak sakit atau meninggal.
Ini sangat berbeda dengan kondisi di lapangan. Kami juga belum tahu data atau hasil
sepenuhnya dari Depkes," kata dia. (bgs/asy
Menkes: Tempe Gembus Penyebab Kuat Penyakit Misterius
Gagah Wijoseno - detikcom
Jakarta - Keracunan tempe gembus. Itulah dugaan sementara yang menewaskan 10 orang
warga Magelang, Jawa Tengah. Keracunan itu akibat bakteri pseudomonas cocovenenans
yang berkembang biak di tempe gembus.
"Menurut informasi, mereka makan tempe gembus makanya yang banyak kena itu ibu-
ibu. Bapaknya sedang kerja. Kemungkinan besar keracunan itu disebabkan tempe
gembus," kata Menkes Siti Fadilah Supari.
Hal ini disampaikan Menkes di Departemen Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (31/7/2007).
Selain tempe gembus, kata Menkes, ada beberapa dugaan yang menyebabkan kematian
warga Magelang yakni keracunan logam seperti arsen, cadmium, cromium serta
keracunan bahan biologis.
"Dugaan keracunan logam masih perlu pemeriksaan lebih lanjut," ujarnya.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) I Nyoman Kandun
menambahkan keracunan disebabkan bakteri pseudomonas cocovenenans.
4. "Bakteri itu tidak hanya hidup di tempe bongkrek, tetapi juga di tempat lain seperti di
tempe gembus. Kasus ini baru kali ini. Tetapi ini belum difinitif, masih pemeriksaan lebih
lanjut tentang logam berat dan insektisida," terang Kandun. (aa
LSI: 73% Penduduk Indonesia Dukung Amandemen UUD 1945
Iqbal Fadil - detikcom
Jakarta - 73 Persen penduduk Indonesia mendukung amandemen UUD yang berkaitan
dengan peningkatan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal itu agar DPD
lebih mampu memperjuangkan kepentingan daerah yang diwakilinya.
Demikian hasil survei nasional yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
sepanjang bulan Juli 2007. Survei melibatkan 1.300 responden yang diambil dengan
metode multistate random sampling. Tingkat kepercayaan mencapai 95 sedangkan
margin of error lebih kurang 2,8 %.
"Umumnya warga mendukung amandemen UUD 1945 untuk memperkuat wewenang
DPD," kata Direktur LSI Saiful Mujani dalam diskusi publik dan pemaparan hasil survei
LSI tersebut di Hotel Sari Pan Pacific, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (2/8/2007).
Saiful menjelaskan, dukungan publik terhadap amandemen tersebut berdasarkan
wewenang DPD yang selama ini dianggap lemah. Amandemen untuk memperkuat DPD
tidak bisa dihindari agar representasi kepentingan daerah dapat terwakili.
"Hampir semua warga mengharapkan agar DPD punya peran legislasi yang lebih jelas
dan lebih kuat. Yakni, ikut memutuskan undang-undang yang berkaitan dengan daerah
bersama-sama anggota DPR," ujarnya.
Menurut Saiful, hasil survei ini membuktikan bahwa asumsi atau pendapat sebagian
orang yang menyatakan usulan amandemen hanya berasal dari elit politik adalah salah.
Meski warga tidak mengetahui bahwa DPD tidak punya fungsi legislasi, mereka
mengharapkan fungsi legislasi DPD diperkuat dan tidak dibubarkan. (irw/nrl)
Baca juga: 02/08/2007 12:41 WIB
PAN Tarik Dukungan, Amandemen UUD Terancam Gagal
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Akibat penarikan dukungan oleh PAN, amandemen UUD 1945 terutama pasal
22D tentang kewenangan DPD terancam gagal. Namun PAN berjanji untuk mengusulkan
tambahan kewenangan DPD dalam revisi UU Susduk.
"Kalau kurang, tentu pimpinan MPR tidak melanjutkan ke sidang majelis, karena tidak
memenuhi syarat," ujar Wakil Ketua MPR asal PAN AM Fatwa di Gedung MPR,
Senayan, Jakarta, Kamis (2/8/2007).
5. Menurut Fatwa, meski usulan DPD kali ini banyak tantangan, namun ia apresiatif dengan
upaya DPD untuk mengenalkan lembaga tersebut secara kontinu kepada masyarakat.
"DPD sudah sangat berjasa untuk mengenalkan lembaga ini ke masyarakat luas. Karena
semua itu butuh proses," kata Wakil Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) PAN ini.
Saat ditanya alasan PAN menarik dukungan tesebut, menurut Fatwa, keputusan itu adalah
hasil rapat DPP. Namun kompensasinya, PAN akan mendorong dalam revisi UU Susduk
untuk memberi kewenangan DPD yang lebih luas, bukan melalui amandemen.
"Saya sudah diberi tahu itu hasil rapat DPP PAN. Komitmen PAN akan mengajak fraksi-
fraksi lain untuk meningkatkan kewenangan DPD melalui revisi UU Susduk," tandasnya.
Syarat minimal untuk melajutkan usulan DPD untuk mengamandemen pasal 22D UUD
1945 bisa ditindaklanjuti jika didukung oleh minimal 1/3 anggota MPR, yaitu 226 orang.
(anw/sss)
02/08/2007 12:28 WIB
Kasus Narkoba Turun di Kwartal I/2007
Andi Saputra - detikcom
Jakarta - Kasus penyalahgunaan narkoba pada kwartal pertama 2007 mengalami
penurunan dibanding tahun lalu, yakni dari 8.286 menjadi 7.027 kasus.
"Untuk jumlah tersangka pun ikut menurun. Dari 16.040 menjadi 12.475," kata
Kabareskrim Polri Komjen Pol Bambang Hendarso yang diwakili oleh Wakil Direktur
IV/TP Narkoba dan KT Kombes Pol Badaruzzaman.
Badaruzzaman menyampaikan hal itu di kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Jl MT
Haryono, Jakarta Timur, Kamis (2/8/2007).
Untuk bulan terakhir kwartal pertama 2007 ini (15 Mei-15 Juni), BNN pusat telah bekerja
sama dengan 13 Polda dalam menangani penyalahgunaan narkoba.
Hasilnya, total seluruh kasus adalah 1.127 dengan jumlah tersangka 1.581 orang. Adapun
untuk nilai barang yang disita mencapai Rp 88 miliar.
"Dari total semua yang tertangkap dapat diselamatkan dari pecandu sejumlah
232.620.143 orang," ujar Badaruzzaman.
Badaruzzaman melanjutkan, pada kwartal pertama ini ada 18 kasus baru yang berhasil
diungkap. Yakni, dari penemuan ladang ganja di Aceh sampai pabrik psikotropika.
"Tadi malam sebetulnya kita juga telah menangkap jaringan. Tapi, karena masih dalam
pengembangan belum bisa diberitahukan ke publik," pungkasnya.
PAN Tak Persoalkan Amien Rais Dituduh Inkonsisten
6. Irwan Nugroho - detikcom
Jakarta - Wakil Ketua DPD Laode Ida menuduh mantan ketua PAN Amien Rais tidak
konsisten dengan dukungannya terhadap amandemen UUD 1945. PAN menanggapinya
ringan.
"Biasalah, Pak Laode," kata anggota FPAN DPR Putra Jaya Husin kepada detikcom,
Kamis (2/8/2007).
Menurut Husin, wajar jika sebelum mengambil keputusan DPP PAN meminta
pertimbangan Amien Rais selaku Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) partai
berlambang matahari terbit itu. Namun, keputusan sepenuhnya berada di tangan DPP.
Husin mengatakan, sejak awal, sebenarnya PAN tidak mendukung amandemen UUD
1945. Dari 53 anggota FPAN, hanya 5 yang menandatangani dukungan.
"Ini kan UUD, tidak harus 5 tahun dikoreksi. Harusnya 15 tahun baru bisa. Kan
dipraktekkan dulu, ada enggak dampaknya bagi masyarakat," ujar Husin.
Apalagi, lanjut Husin, usul amandemen UUD 1945 kali ini hanya menyangkut
kedudukan suatu lembaga negara, yakni DPD. Amandemen seperti itu sama sekali tidak
menyentuh kepentingan masyarakat.
"Jadi buat saya, DPD segera saja menguatkan diri. Menjadi komunikator antara bupati
dan gubernur dengan DPR," pungkas Husin.
Seperti diberitakan, PAN menarik dukungannya terhadap usul amandemen UUD 1945.
Amis Rais disebut-sebut memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan itu. (irw/
nrl)
PAN Cabut Dukungan Amandemen UUD Karena Tak Efektif
Arifin Asydhad - detikcom
Jakarta - Partai Amanat Nasional (PAN) resmi mencabut dukungan terhadap amandemen
UUD 45. Para anggota Fraksi PAN yang telah meneken dukungan diminta mencabut
kembali. Sekjen DPP PAN Zulkifli Hasan membenarkan hal ini. Menurut dia, PAN
menarik dukungan karena sudah tidak efektif lagi.
Namun, pengakuan Zulkifli Hasan agak berbeda dengan dua dokumen surat yang
didapatkan detikcom. Di dua surat itu, PAN sudah memutuskan mencabutkan dukungan
berdasarkan rapat harian DPP PAN 25 Juli 2007. Namun, menurut Zulkifli, kepastian
PAN mencabut dukungan akan diputuskan dua hari lagi.
"Dalam dua hari ini akan diputuskan. Kemungkinan besar, kita akan cabut," kata Zulkifli
saat dihubungi detikcom, Kamis (2/8/2007).
7. Saat ditanya apa alasan PAN mencabut dukungan, menurut Zulkifli, karena pendukung
usulan itu sudah tidak signifikan. "Sudah tidak efektif lagi. Rapat-rapat pun sudah tidak
ada. Golkar, PDIP, Demokrat sudah tidak mendukung. Kan ini sudah tidak efektif," ujar
dia.
Menurut Zulkifli, dengan tidak ada dukungan dari partai-partai dan fraksi-fraksi besar itu,
maka pendukung usulan amandemen UUD 45 akan tidak mencapai
kuorum. "Kuorumnya ditetapkan 2/3 dari jumlah anggota MPR. Kalau fraksi-fraksi besar
sudah tidak mendukung, ya mungkin tidak kuorum. Tidak artinya, kalau PAN
mendukung," ujar dia.
Hingga saat ini, kata Zulkifli, ada sekitar 10 orang anggota FPAN yang menorehkan
tanda tangannya mendukung amandemen UUD 45 itu. Bila PAN telah memutuskan
mencabut dukungan, maka semua anggota FPAN yang terlanjur menandatangani
dukungan, harus mencabutnya kembali.
Pimpinan MPR sebelumnya sudah menentukan batas 7 Agustus 2007 bagi masing-
masing fraksi untuk menentukan sikap. Bila sampai 7 Agustus 2007, dukungan usulan
amandemen UUD 45 ini tidak memenuhi syarat, maka usulan yang dimotori Dewan
Perwakikan Daerah (DPD) ini tidak bisa dilaksanakan. (asy/nrl)
02/08/2007 07:47 WIB
Amien Rais di Belakang PAN Cabut Dukungan Amandemen UUD
Arifin Asydhad - detikcom
Jakarta - Mantan Ketua MPR yang juga mantan Ketua Umum DPP PAN Amien Rais
memiliki peran penting dalam keputusan DPP PAN mencabut dukungan terhadap usulan
amandemen UUD 45. Ada memo Amien sebelum DPP PAN memutuskan mencabut
dukungan.
Memo Amien Rais ini ditulis pada 22 Juli 2007 dengan tulisan tangan dan ditujukan
kepada Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Memo ini sebenarnya bukan sesuatu
yang sangat istimewa, karena Amien juga masih menjadi bagian PAN, sebagai Ketua
Majelis Pertimbangan Partai (MPP) DPP PAN.
Berikut dokumen memo yang ditulis Amien Rais yang didapatkan detikcom, Kamis
(2/8/2007): "Dear Mas SB: Setelah pertimbangan matang, sebaiknya PAN tidak ikut
amandemen UUD 45. Bisa membuat kegaduhan politik. Wassalam. Tanda tangan Amien
Rais mengakhiri memo tersebut.
Memo inilah yang kemudian menjadi bahasan rapat harian DPP PAN 25 Juli 2007 lalu.
Hasil rapat, DPP PAN memutuskan untuk mencabut dukungan terhadap usulan
amandemen itu dan meminta semua anggota FPAN mencabut kembali dukungannya.
Pencabutan PAN ini semakin memperpanjang daftar parpol yang menolak usulan
amandemen UUD 45 yang digagas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu. PDIP, Golkar,
8. PPP, dan PD telah menolak usulan mengamandemen pasal 22 D tentang kewenangan
DPD itu lebih dulu.
Parpol-parpol ini memiliki alasan yang beragam. Ada yang menilai usulan
mengamandemen pasal kewenangan DPD ini bukanlah datang dari massa akar rumput,
tapi datang dari elit. Ada juga partai yang menilai pembahasan mengenai hal ini belum
bersifat mendesak, karena masih banyak hal yang terkait masyarakat banyak yang lebih
penting untuk dibahas.
Pimpinan MPR sebelumnya sudah menentukan batas 7 Agustus 2007 bagi masing-
masing fraksi untuk menentukan sikap. Bila sampai 7 Agustus 2007, dukungan usulan
amandemen UUD 45 ini tidak memenuhi syarat, maka usulan ini tidak bisa dilaksanakan.
(asy/asy)
Baca juga:
04/06/2007 15:36 WIB
Gubernur se-Indonesia Teken Dukungan Amandemen UUD 1945
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - 22 UU Sektoral bertabrakan dengan UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Satu
per satu gubernur dari Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pun
membubuhkan tanda tangan mendukung amandemen UUD 1945.
Tanda tangan itu dibubuhkan oleh 29 gubernur yang tergabung dalam APPSI saat
bertemu dengan DPD di Gedung Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2007).
"Dukungan itu dalam rangka memperkuat peran DPD agar dapat mengawal pelaksanaan
otonomi daerah dengan sebaik-baiknya," kata Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.
Dalam poin 4, menurut dia, APPSI mendukung perubahan pasal 22 d UUD 1945 untuk
memperkuat fungsi legislasi DPD RI secara penuh menyangkut bidang otonomi daerah.
Ketua DPD Ginandjar Kartasasminta menyambut baik dukungan APPSI.
"Ini bukti tidak ada alasan lagi amandemen hanya wacana elit di Senayan karena
gubernur se-Indonesia sudah mendukung. Padahal rakyat diwakili oleh pemimpinnya di
daerah," kata Ginandjar. (aan/nrl)
Usul Amandemen UUD 45 Diputus 7 Agustus
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Setelah rapat cukup alot selama 3 jam akhirnya pimpinan MPR dan pimpinan
fraksi-fraksi MPR sepakat memberikan waktu selama 90 hari untuk memutuskan usul
amandemen UUD 45.
"Kita sepakat untuk memberikan waktu selama 3 bulan sejak 9 Mei hingga 7 Agustus
untuk mengkaji usul amandemen pasal 22 D tentang kewenangan DPD," ujar Ketua MPR
9. Hidayat Nurwahid dalam jumpa pers di Gedung GBHN Nusantara V DPR, Senayan,
Jakarta, Selasa (22/5/2007).
Hidayat mengharapkan, waktu yang diberikan selama 3 bulan itu dapat digunakan oleh
fraksi-fraksi MPR untuk mengkaji dukungan yang sudah dibubuhkan dalam bentuk tanda
tangan.
"Setelah 3 bulan, tidak boleh ada lagi yang menarik dukungan. Karena itu batas maksimal
yang diatur dalam UU," imbuh mantan Presiden PKS ini.
Hidayat menambahkan, syarat minimal dukungan untuk amandemen yaitu sepertiga
jumlah anggota MPR masih konsisten mendukung usulan amandemen.
"Sampai saat ini dukungan minimal masih terpenuhi, yaitu ada 226 anggota yang telah
menandatangani. Kita akan tunggu sampai tanggal 7 Agustus mendatang. Kalau tidak ada
yang menarik dukungan, pasti kita akan gelar sidang majelis," terang Hidayat.
Fraksi-fraksi di MPR yang setuju mengamandemen UUD 45 adalah FKB dan FPBR.
Sementara FPAN, FPPP, FPDS masih mengkaji. Sedangkan FPDIP sejak awal menolak
amandemen. FPG dan FPD mencabut dukungan setelah sebelumnya mendukung.
(nik/sss)
16/05/2007 12:06 WIB
Giliran FPPP Tarik Dukungan Amandemen UUD 45
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Bagai ditusuk belati, DPD terus ditelikung partai-partai politik. Setelah Fraksi
Partai Demokrat (FPD) dan Fraksi Partai Golkar (FPG) menarik dukungannnya. Kali ini
giliran FPPP.
Pimpinan FPP secara resmi menginstruksikan kepada seluruh anggotanya mencabut
tanda tangan yang sudah dibubuhkan untuk mendukung amandemen UUD 45 pasal 22D
terkait penambahan kewenangan DPD.
Pencabutan dukungan FPPP ini disampaikan oleh Sekretaris DPP PPP Irgan Chairul
Mahfiz dalam siaran persnya di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/5/2007).
Keputusan itu diambil dalam rapat harian DPP PPP pada Selasa 14 Mei malam yang
dipimpin langsung Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Alasannya, PPP melihat
persoalan amandemen belum saatnya dilakukan karena hasil amandemen yang pertama
hingga keempat belum dilaksanakan sepenuhnya.
Selain itu, PPP menilai ada agenda politik nasional yang lebih prioritas dalam
pembahasan revisi UU paket politik untuk menghadapi pemilu 2009.
10. Menanggapi perintah DPP PPP tersebut, Ketua FPPP DPR Lukman Hakim Saefuddin
membenarkan adanya perintah tersebut. "Benar ada perintah dari DPP demikian untuk
mengkaji lagi soal amandemen," tuturnya.
Perlu diketahui dari 57 anggota FPPP MPR sebanyak 7 orang telah menandatangani
dukungan amandemen. Dengan instruksi penarikan ini berarti dukungan minimal usulan
amandemen oleh DPD sebanyak 226 tidak terpenuhi.
(mar/umi)
5/05/2007 16:34 WIB
FPG MPR Tarik Dukungan Amandemen UUD 45
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Satu persatu dukungan terhadap amandemen UUD 1945 pasal 22 D berguguran.
Setelah Fraksi Partai Demokrat (FPD) MPR mencabut dukungannya, kini giliran Fraksi
Partai Golkar (FPG). Akibatnya, jumlah suara tidak memenuhi syarat minimal.
Penarikan dukungan dari FPG dilakukan melalui surat DPP Partai Golkar No:
B-387/Golkar/V/2007 tertanggal 14 Mei 2007. Isi surat itu menyerukan kepada anggota
FPG untuk mengkaji ulang dukungan amandemen UUD 1945 terkait pasal kewenangan
DPD itu.
Selain itu, surat itu juga meminta semua kader Golkar untuk mamatuhi dan
menyesuaikan dengan sikap politik partai. Surat itu ditandatangi Ketua DPP Golkar Ali
Wongso dan Sekretaris Jenderal Sumarsono.
"Kami akan meminta pimpinan MPR mengkaji ulang persyaratan usul amandemen
karena sikap Golkar secara resmi akan mengkaji lagi dukungan untuk amandemen," kata
Sekretaris FPG MPR Hajriyanto Tohari.
Hal itu disampaikan dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2007).
Prihatin
Menanggapi pencabutan dukungan itu, Wakil Ketua DPD Laode Ida mengaku prihatin
dan menyayangkan. Sikap politik itu dinilai tidak konsisten.
"Kita turut prihatin dengan sikap penyelenggara negara yang tidak konsisten," ujarnya.
"Kita akan berusaha memenuhi lagi persyaratan minimal," lanjut Laode.
Akibat penarikan dukungan FPG yang berjumlah 12 orang, jumlah dukungan
amandemen menjadi hanya 223. Padahal syarat minimal 226 suara.
11. Menurut informasi yang dikumpulkan detikcom, penarikan dukungan akan terus terjadi
yaitu dari PKB dan PBR. Namun hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari kedua
partai tersebut. (ken/nrl)
Baca juga:
11/05/2007 13:40 WIB
Yusril: Sering Diamandemen, UUD Malah Jadi Kacau-balau
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat, terlalu sering
mengamandemen UUD 45 akan menimbulkan kekacauan baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Karena itu sebaiknya amandemen dilakukan secara sistematis
sesuai kebutuhan.
"Empat kali mengamandemen malah membuat kacau balau. Banyak yang tidak dapat
dipahami di hukum tata negara," ujar Yusril usai diskusi di Gedung DPD, Senayan,
Jakarta, Jumat (11/5/2007).
Mensesneg yang baru dicopot Presiden SBY ini menilai, usulan amandemen UUD 45
oleh DPD merupakan hal yang wajar untuk memperkuat peran DPD dalam sistem
presidensial. Namun terkait waktunya, Yusril meminta DPD tidak terburu-buru.
"Memang banyak yang perlu diamandemen, tapi tidak buru-buru harus sekarang. Harus
ada pengkajian secara mendalam," ujar suami Rika Tolentino Kato ini.
Sementara itu pengamat politik Mohammad Qodari menilai amandemen harus dilakukan
untuk membenahi DPD. Hal ini bertujuan agar sesuai dibentuknya DPD sebagai lembaga
yang mewakili aspirasi daerah.
"Amandemen itu harus. Agar keberadaan DPD dapat difungsikan semestinya," ujar
Qodari.
Mengenai pelaksanaan yang tepat untuk amandemen, baik Yusril dan Qodari sependapat
dilakukan secara bergantian selain membahas revisi UU Parpol. (nik/sss)
KY Genap 2 Tahun
RUU KY Terganjal RUU Politik
Arry Anggadha - detikcom
Jakarta - Komisi Yudisial (KY) mendapatkan kado yang tidak sesuai harapan di hari
jadinya yang kedua. Revisi UU KY tidak dapat diselesaikan DPR pada tahun 2007
sebagaimana diharapkan selama ini.
"Tidak bisa serta merta selesai, kami akan menyelesaikan UU Politik, baru UU KY pada
2008 nanti," ujar anggota Komisi III DPR, Agun Gunandjar, saat menghadiri perayaan
ultah kedua KY di Kantor KY, Jalan Abdul Muis, Jakarta (2/8/2007).
12. Menurut Agun, revisi UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang KY tersebut sudah masuk dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007. Namun pihaknya masih harus
menyelesaikan UU Paket Politik yang sama pentingnya.
Agun menjelaskan, revisi UU KY yang diajukan harus sejalan dengan revisi UU lainnya,
yakni UU MA, UU MK, dan UU Kekuasaan Kehakiman.
"Ini agar fungsi pengawasan KY tidak bertentangan lagi dengan kewenangan MA dan
MK," jelas politisi Golkar ini.
Mendengar pernyataan tersebut, Ketua KY Busyro Muqoddas menjelaskan, pihaknya
menyerahkan sepenuhnya revisi UU KY ini kepada DPR.
Menurutnya, DPR pun tidak bermasalah dengan RUU yang telah masuk dalam Prolegnas
itu.
"Kami mengundang Komisi III ke sini karena ada kepentingan, dan ternyata dia datang.
Itu berarti sinyal revisi UU KY tidak bermasalah," kilah Busyro.
Revisi UU KY diajukan karena kewenangan KY pada UU Nomor 2 Tahun 2004 telah
dipangkas oleh MK. KY pun berkeinginan agar kewenangan untuk memeriksa hakim
dapat diperoleh kembali melalui RUU yang diajukan. (anw/nrl)
SP
"Lembaga pemasyarakatan (LP) sebagai tempat pembinaan
harus mendapat perhatian serius". Iqrak Sulhin, Kriminolog dari UI,
tentang Mengatasi Permasalahan di LP., Pembaruan 1/8/2007.
RUU BHP Abaikan Pancasila
[JAKARTA] Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dinilai
sebagai produk hukum yang mengabaikan konstitusi bangsa. Bahkan RUU tersebut
terkesan mengabaikan nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Kenyataannya, muatan
RUU BHP mengarah kepada privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Anak-anak bangsa
dari strata sosial paling rendah kian sulit untuk memperoleh akses pendidikan yang
bermutu, karena itu, RUU BHP harus ditolak.
Demikian benang merah dalam pemaparan hasil kajian mengenai RUU BHP yang
diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Rabu (1/8). Hadir
dalam acara itu antara lain, pakar pendidikan HAR Tilaar, Pengurus Majelis Luhur
Perguruan Taman Siswa Darmaningtyas, Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat, dan
sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan.
Menurut Tilaar, dalam BHP banyak sekali agenda terselubung yang tidak diketahui
masyarakat. Misalnya, tujuan BHP adalah persaingan yang diserahkan kepada
13. mekanisme pasar. "Persaingan dalam esensi pendidikan nasional sama sekali
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," katanya.
Dia menerangkan, jika akhirnya BHP tetap disahkan, BHP tersebut sangat prematur.
Otonomi yang termaktub dalam jiwa BHP sebenarnya merupakan pembohongan publik.
"Kita ini negara miskin. Human Development Index pada tahun lalu, posisi kita berada
pada urutan 108 dari 177. Ini berarti, kita memang belum mampu. Kalau memang ingin
BHP, lebih baik 20 atau 30 tahun lagi. Itu pun melalui kajian yang mendalam dan
dilandasi dengan roh pendidikan bangsa ini," katanya.
Di Amerika, kata Tilaar, UU Wajib Belajar sudah diterapkan pada pertengahan abad 19.
Pada tahun 2001, Amerika kembali menelurkan kebijakan dengan slogan "No Child Left
Behind." "Artinya, setelah kurun waktu yang begitu panjang, Amerika ternyata sangat
concern dengan pendidikan. Kita masih terlalu dini," ucapnya.
Tilaar menerangkan, pasal-pasal yang termaktub dalam RUU BHP tidak ada yang sesuai
dengan nilai-nilai luhur Pancasila. "Kenyataannya, persaingan menjadi tujuan BHP. Saya
tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib jutaan anak bangsa di strata terendah ingin
mengenyam pendidikan di Tanah Air mereka," katanya.
Karena itu, RUU BHP sebaiknya dibatalkan. "Penyusunan RUU BHP menggunakan
pendekatan pasar bebas sebagai pisau analisisnya yang menganalogikan lembaga
pendidikan sebagai komoditas ekonomi," katanya.
Makin Memiskinkan
Pandangan serupa disampaikan Darmaningtyas. Dia mengatakan, BHP akan
memiskinkan masyarakat miskin. Karena, akses pendidikan bagi masyarakat miskin
sangat sulit. "Lebih baik, orang miskin tidak usah sekolah. Ini berarti ada pembiaran
negara terhadap dunia pendidikan nasional," katanya.
Dijelaskan, acuan BHP sebenarnya dari UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 53. Secara bebas terjemahannya menyebutkan pendidikan akan
mengarah kepada BHP. Ini berarti, ada upaya sistematis liberalisasi pendidikan.
"Kalau pendidikan saja sudah diliberalisasikan dan dikomersialisasikan berarti
pendidikan nasional sudah tidak lagi sejiwa dengan Pancasila," katanya.
Sementara itu, Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan
mengatakan, pemberlakuan BHP akan mempertajam segregasi antarkelas sosial ekonomi.
Penyerahan tanggung jawab pembiayaan kepada publik akan memunculkan konsekuensi
terbentuknya jurang yang makin dalam antarkelompok masyarakat. "Berkualitas atau
tidaknya pelayanan pendidikan akan ditentukan sepenuhnya oleh jumlah dana yang bisa
disediakan oleh peserta didik," katanya.
14. Dikatakan, gejala tersebut sudah mulai terlihat saat ini. Sekolah mulai tingkat SD hingga
SMA diberi bermacam label. Misalnya, sekolah unggulan, standar nasional, percontohan
dan sekolah plus berstandar internasional. "Semakin tinggi kasta sekolah akan semakin
besar dana yang mesti disediakan oleh orangtua siswa. Pada akhirnya, peserta didik yang
berasal dari keluarga miskin akan makin sulit memperoleh akses pendidikan bermutu,"
ujarnya mengingatkan. [W-12]
Banjir di Morowali, 900 Orang Suku Wana Hilang
[
Cegah Produk Impor Berformalin
BPOM Minta Bantuan Asosiasi Peritel
[JAKARTA] Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana
Thamrin Akib (BPOM) mengemukakan, sampai Rabu (1/8), pihaknya sudah menemukan
39 produk manisan dan permen yang positif mengandung formalin, dari 222 contoh yang
diuji dan beredar di pasaran. BPOM akan mempublikasikan temuan itu beberapa hari
mendatang.
"BPOM juga tengah menguji 20 produk kosmetik yang dicurigai mengandung bahan
berbahaya seperti hidroquinon, mercury, dan rodhamin. Diperkirakan hasilnya akan
keluar dalam satu bulan ini. Produk kosmetik yang diuji itu sebagian besar dari
Tiongkok," ujar Husniah.
Husniah, seperti dilansir kantor berita Antara, juga mengemukakan, pihaknya telah
meminta bantuan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) dan Asosiasi Pedagang Pasar
Seluruh Indonesia (APPSI) untuk mengingatkan anggotanya agar tidak menjual produk
yang mengandung bahan berbahaya.
Sebelumnya, BPOM mengumumkan tujuh produk yang mengandung formalin dari 39
contoh yang diambil dari pasar. Husniah mengatakan, produk yang mengandung formalin
itu masuk ke Indonesia secara ilegal, antara lain tidak ada kode ML (Makanan Luar) pada
labelnya.
"Permen merek White Rabbit yang mengandung formalin ternyata bukan produk yang
kami beri izin edar. Sanksi yang diberikan bisa berupa tuntutan hukum," ucapnya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, importir turut
bertanggung jawab terhadap barang yang diimpornya. Namun, karena produk
berformalin itu masuk secara ilegal maka sulit untuk menelusuri importirnya, dan
Departemen Perdagangan (Depdag) tidak akan memperketat impor makanan.
Mari menegaskan, BPOM akan menempatkan petugasnya di pelabuhan untuk membantu
petugas Bea Cukai dalam mengawasi masuknya produk makanan ke Indonesia. Selain
15. itu, Deperindag akan mengintensifkan koordinasi instansi terkait dengan perlindungan
konsumen dari produk makanan yang berbahaya.
Mendag mengajak konsumen agar teliti dalam membeli produk makanan impor dengan
memeriksa ada tidaknya izin beredar pada kemasan, seperti kode ML untuk makanan luar
negeri, MD (Merek Dagang) untuk makanan dalam negeri, dan SP untuk produk industri
rumah tangga. Sedangkan untuk produk kosmetik harus dipastikan ada tanda CL dan CD
pada kemasannya.
Singapura dan Malaysia
Dari Medan dilaporkan, Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) menyita
makanan, minuman, permen, cokelat, buah kaleng, penyedap masakan, dan susu kaleng
asal Singapura, Malaysia, dan Tiongkok, dari sejumlah pusat perbelanjaan di kota ini.
Barang bukti itu akan dikirimkan ke Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM)
Medan untuk diteliti di laboratoium
"Makanan dan minuman produk luar itu diamankan polisi karena kualitasnya
disangsikan, apalagi tidak memiliki izin dari Departemen Kesehatan," ujar Direktur
Reserse Kriminal Polda Sumut Kombes Pol Ronny F Sompie, kepada SP, di Medan,
Rabu (1/8). [AHS/BO/S-26]
TAJUK RENCANA I
LP Bukan Sekolah Kejahatan
embali lembaga pemasyarakatan (LP) mengambil nyawa secara sia-sia. Beberapa
bulan lalu, harian ini sempat memberitakan tingginya angka kematian narapidana
(napi) di berbagai LP dan rumah tahanan (rutan) akibat banyaknya napi yang ketagihan
mengonsumsi narkotika dan obat berbahaya (narkoba) dan tertular HIV/ AIDS. Kini
kembali kita disuguhkan kenyataan napi tewas akibat kerusuhan di LP Cipinang.
Komentar terhadap terjadinya kerusuhan di LP Cipinang itu masih saja seputar
ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola LP. Soal kelebihan kapasitas, rendahnya
dana pembinaan yang dialokasikan bagi LP dan rutan yang pada gilirannya membentuk
komunitas di LP yang tidak terkontrol lagi. LP yang semestinya menjadi "sekolah
kebaikan" justru berubah menjadi "sekolah kejahatan".
Perbaikan infrastruktur di LP yang sering dilupakan juga disebut-sebut sebagai biang
keladi kerusuhan di hotel prodeo itu. Membeludaknya penghuni LP, buruknya
infrastruktur, minimnya dana berakibat fatal. LP berubah menjadi "rimba belantara".
Siapa kuat dia yang menang. Dan hukum pun tak lagi digubris di LP. Bukankah kondisi
itu mencerminkan rendahnya perhatian kita terhadap penghuni dan LP itu sendiri?
Patut kita renungkan untuk apa sesungguhnya LP dibentuk. Bukankah LP dimaksudkan
untuk mengembalikan para napi - yang dinilai telah melanggar norma-norma - ke tengah
16. masyarakat kelak? Boleh jadi, kita semua, khususnya pemerintah termasuk pengelola LP
sudah melupakan fungsi LP. Sejatinya LP bukanlah tempat buangan bagi masyarakat
yang dinilai telah melanggar hukum. LP seharusnya menjadi tempat "berkontemplasi"
bagi para penghuninya agar sadar akan perilaku menyimpang yang dibuatnya dan bisa
kembali bermasyarakat kelak.
Tapi, kenyataannya, LP yang seharusnya menjadi tempat penyadaran itu, justru berubah
menjadi tempat para penjahat mempelajari kejahatan. Bukankah itu berarti kita tidak
memahami fungsi LP yang seharusnya menjadi tempat mengayomi para napi melalui
unsur-unsur pembinaan. Jika LP dibiarkan terus seperti ini, bukankah itu berarti setiap
detik kita sudah melakukan pengabaian hak asasi manusia (HAM)? Dan yang lebih fatal
lagi, negeri ini setiap detik akan mencetak "penjahat-penjahat" baru.
Itu berarti, kita harus mengeluarkan ongkos sosial yang lebih tinggi lagi, lantaran
kejahatan semakin marak di tengah masyarakat. Bukankah lebih baik kita kelola dengan
baik LP kita agar kejahatan semakin berkurang. Jika penghuni LP membeludak karena
kelebihan kapasitas, bukankah itu berarti setiap saat lahir penjahat baru dan yang lama
semakin jahat?
Oleh sebab itu, segera perbaiki sarana dan prasarana LP. Jangan kita puas dengan
memenjarakan orang semata. Sesungguhnya suasana LP harus betul-betul kondusif.
Jangan sebaliknya, LP justru menjadi pusat tumbuh suburnya perilaku menyimpang
seperti pungli, premanisme, dan menjadi pusat peredaran narkoba. Kita tidak boleh
membiarkan LP menjadi "hutan belantara". LP harus kembali ke fungsinya yang hakiki,
yakni menjadi pusat pembinaan dan sekaligus mengayomi.
LP bukan sekolah kejahatan. Cap penjara yang tidak manusiawi itu harus pupus dari LP.
Selain perbaikan fasilitas dan dana pembinaan bagi napi di LP, kita harus mendorong
pemerintah untuk meningkatkan kualitas para petugas LP. Baik dari segi kemampuan
intelektual melalui pendidikan juga soal kesejahteraannya. Semuanya tidak lain untuk
memperkecil kemungkinan adanya petugas LP yang ikut "bermain" dengan para napi
melakukan pelanggaran.
Komitmen Presiden untuk Korban Lumpur
Masalah lumpur panas di Sidoarjo ternyata terus mengiang dalam memori Presiden
Yudhoyono. Hal ini terlihat dari komitmennya yang tak pernah pupus untuk
menyelesaikan ganti rugi korban lumpur panas di Sidoarjo. Bahkan dalam kunjungannya
ke Korea Selatan yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan persoalan lumpur di
Sidoarjo, Presiden Yudhoyono tetap mengingatkan kembali tentang pentingnya
penuntasan pembayaran uang muka bagi korban lumpur panas.
Sebelum bertolak ke Bali dari kunjungan tiga harinya di Korea Selatan Presiden meminta
pembayaran uang muka 20 persen harus selesai sebelum Ramadan. Permintaan ini tentu
didasarkan banyak pertimbangan. Di samping waktunya yang sudah cukup lama bagi
17. warga yang menunggu pembayaran uang muka, juga pada bulan Ramadan tidak boleh
ada kekecewaan warga yang bisa merusak kesucian bulan. Memasuki bulan suci, semua
persoalan warga bisa diselesaikan dengan baik sehingga bisa menjalani ibadah dengan
khusyuk dan tenang.
Namun lebih dari itu, instruksi Presiden terkait jadwal penyelesaian pembayaran uang di
atas membuktikan keseriusan presiden bagi penyelesaian kasus tersebut. Bahkan menurut
Presiden, dia memantau perkembangan penyelesaian masalah para korban luapan lumpur
Lapindo ini setiap tiga hari sekali. Mudah-mudahan langkah Presiden ini menggugah para
aparat terkait lainnya untuk betul-betul memperhatikan dan mempercepat proses
penyelesaian korban lumpur.
Alia Kamila Jamila
Jl RS Fatmawati, Jakarta Selat
Tim Olimpiade Matematika Indonesia Raih Perak
[TANGERANG] Pemerintah akan mengintensifkan pencarian siswa-siswa berbakat
menyusul keberhasilan tim olimpiade matematika Indonesia (TOMI) di ajang olimpiade
internasional matematika (international mathematics olympiad/IMO) di Hanoi, Vietnam,
19 Juli-31 Juli. TOMI meraih 1 medali perak dan Honorable Mention.
"Sudah saatnya kita lebih menggiatkan pencarian siswa-siswa unggul guna mengikuti
ajang bergengsi dunia. Ini menunjukkan kita mampu dan siap berlaga di dunia," kata
Ketua TOMI Ahmad Muchlis, di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin
(31/7) malam.
Disebutkan, medali perak diraih oleh Raymond Christopher Sitorus dari SMAK 1
PENABUR, Jakarta. Sedangkan empat siswa lainnya memperoleh Honorable Mention,
masing-masing Koe Han Beng (SMAK Karunia, Jakarta), Rudi Adha Prihandoko (SMA
4 Denpasar, Bali), Yosafat Aka Prasetya P (SMA 4 Denpasar, Bali), dan Andika Sutanto
(SMA 3 Surakarta). Sementara, Nugroho Seto Saputra (SMA 3 Yogyakarta) tidak
memperoleh medali.
Dikatakan, medali perak yang diraih TOMI merupakan kali kedua dalam ajang yang
sama pada 2002. Olimpiade matematika kali ini, kata Ahmad, diikuti oleh 93 negara
dengan jumlah peserta sebanyak 520 siswa dan memperebutkan 29 medali emas.
"Meski belum memperoleh emas, kita bisa bangga karena negara kita diperhitungkan
dunia," katanya. Sementara itu, Raymond mengatakan, soal yang diujikan dalam
olimpiade ini memang cukup sulit.
"Kita sebenarnya bersyukur bisa meraih medali perak, padahal, kita tidak memasang
target medali," katanya. [W-12]
18. LEMbagaPERKELAHIAN CIPIANG
Krisis Solidaritas Landa Generasi Muda Indonesia
[JAKARTA] Saat ini generasi muda Indonesia dilanda krisis solidaritas, sehingga
terkesan pemuda terkotak-kotakkan atau terpecah-pecah oleh semangat kedaerahan dan
kepentingan lainnya. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia rentan menimbulkan
perpecahan, sehingga pemuda harus bisa menjadi lokomotif pemersatu bangsa.
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, saat Pembukaan Jambore
Pemuda Indonesia (JPI), di Cibubur, Jakarta, Selasa (31/7), mengatakan, untuk menjadi
pemersatu
bangsa, pemuda mesti memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Kegiatan JPI diikuti 1.400 peserta dari 33 provinsi yang berlangsung 30 Juli - 3 Agustus
2007 di Taman Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur. "Jangan mau terpecah hanya karena
perbedaan," seru Adhyaksa.
Meski demikian, mantan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia itu
menyadari kalau saat ini generasi muda menghadapi krisis solidaritas. Untuk itu perlu
dibangun komunikasi dan pertemuan-pertemuan di kalangan generasi muda untuk
mengatasinya.
Dikatakan, untuk menjaga solidaritas pemuda, dia meminta agar para pengurus organisasi
kepemudaan atau tokoh pemuda jangan berpikiran sebagai kader daerah.
"Anda harus berpikir sebagai kader pusat yang ditempatkan di daerah," ujarnya.
Dia meminta agar pemuda mencontoh semangat nasionalisme yang muncul melalui
kegiatan olahraga khususnya Piala Asia.
Kejuaraan sepakbola antarnegara di benua Asia itu berhasil mempersatukan semua
supporter yang selama ini tawuran untuk mendukung tim nasional. [E-7]
Jangan Ajari Rakyat Memfitnah
Entah kapan negeri ini akan menjadi negeri beradab apabila budaya yang dikembangkan
adalah budaya fitnah. Untuk kesekian kalinya di negeri ini berkembang tradisi
memfitnah. Yaitu melemparkan isu yang belum tentu kebenarannya. Lebih parah lagi,
fitnah tersebut terkait dengan pribadi seseorang yang dipercaya menjadi orang nomor
satu di Republik ini, yaitu Presiden Yudhoyono.
Inti persoalannya bukan pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene seorang
presiden, namun lebih pada tradisi yang menyerang pribadi melalui cara-cara yang tidak
terpuji. Inilah yang disebut sebagai character assassination (pembunuhan karakter).
19. Lebih ironis lagi fitnah ini dilontarkan oleh orang yang terlanjur dipercaya rakyat, yaitu
(mantan) anggota dewan yang sering ditempatkan sebagai orang terhormat. Budaya
fitnah ini merupakan trandisi zaman batu di mana aturan main belum ada, masing-masing
mementingkan kepentingannya sendiri, dan logika belum berjalan secara maksimal.
Kini di zaman demokrasi di mana aturan main dibuat oleh anggota dewan secara rasional,
namun tradisi yang dikembangkan justru emosional. Entah kapan di negeri ini tegak
aturan main yang membuat semua rakyat hidup mematuhinya, apabila para elite
politiknya masih berwatak zaman batu.
Tradisi fitnah dilarang bukan hanya karena menjelekkan orang lain tanpa fakta, tapi
karena menyakiti hati dan menumbuhkan dendam. Sebagai orang awam, saya hanya
berharap pada para politisi agar tidak mengajari perilaku politik emosional yang tidak
bermoral, karena itu semua akan menghinakan diri kita semua sebagai bangsa.
Mengapa kita sangat sensitif terhadap kerjasama yang dibangun pemerintah dengan
negara lain dengan tuduhan menjual harga (kedaulatan) diri, apabila kita sendiri
menghinakan diri dengan mengembangkan budaya fitnah.
Kalau kita sepakat membangun negeri ini di atas landasan demokrasi, mari kita semua
mengapresiasinya melalui kepatuhan pada aturan main yang ada. Kita harus
menggunakan rule of law sebagai ajang pertaruhan kita untuk mendapatkan hak-hak dan
menjalankan kewajiban kita, bukan melalui fitnah yang keji.
Habibah Thaibah
Jl Cakung Ray Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara
Kekayaan 3 Raja Rokok Rp 90 Triliun
[JAKARTA] Pertumbuhan pesat industri rokok Tanah Air telah membuat kantong para
pengusahanya semakin tebal. Tren ini akan terus menguat di masa mendatang. Fakta ini
terlihat jelas pada jumlah kekayaan para pengusaha rokok yang mendominasi daftar 150
Orang Terkaya Indonesia, yang dikeluarkan majalah Globe Asia edisi Agustus 2007.
Pemeringkatan yang dilakukan Globe Asia, didasarkan pada kepemilikan saham oleh
masing-masing individu, baik di perusahaan publik (yang tercatat di bursa saham)
maupun yang tidak (nonpublik).
Dari daftar tersebut, kekayaan tiga orang dari industri rokok mencapai US$ 9,9 miliar
(Rp 90,09 triliun) atau sekitar 21,24 persen dari total kekayaan 150 pengusaha yang
masuk daftar tersebut mencapai US$ 46,6 miliar.
Sementara itu, total kekayaan 147 orang terkaya lainnya yang bergerak dalam bisnis
manufaktur, infrastruktur, agroindustri, dan jasa, sebesar US$ 36,7 miliar (Rp 333,9
triliun) atau 78,76 persen.
20. Selain rokok, industri yang mengandalkan sumber alam seperti energi dan minyak sawit
juga menghasilkan pengusaha-pengusaha yang masuk dalam 150 Orang Terkaya
Indonesia versi Globe Asia.
Bos Djarum Kudus, Budi Hartono (66) berada di urutan pertama. Kekaya- an Budi dan
perusahaan- perusahaan yang ada dalam kekuasaannya sebesar US$ 4,2 miliar atau
sekitar Rp 38 triliun.
Di urutan kedua Rachman Halim dari Gudang Garam. Kekayaan Rachman Halim dan
perusahaan-perusahaannya diperkirakan sebesar US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 31,85
triliun.
Mantan pemilik HM Sampoerna, Putera Sampoerna berada di urutan kelima. Kekayaan
Putera Sampoerna dan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya sebesar US$ 2,2 miliar
atau sekitar Rp 20,02 triliun. Meski kini tidak memiliki saham di HM Sampoerna,
kekayaan Putera Sampoerna diyakini berasal dari penjualan sahamnya di HM Sampoerna
kepada PT Phillip Morris Indonesia, Maret 2005 lalu.
Perusahaan barunya saat ini, Sampoerna Strategic bisa berkembang tak lain karena uang
hasil penjualan saham keluarganya di HM Sampoerna kepada Philip Morris senilai Rp
18,5 triliun.
Lewat bendera barunya tersebut, Putera kini merambah bisnis properti di Rusia. Ia juga
membeli dua rumah kasino di London, Ambassadors Casino dan Tha Mansion Casino.
The Mansion Casino merupakan sponsor resmi klub sepakbola Divisi Utama Inggris,
Tottenham Hotspurs.
Berkat bisnis rokoknya saat itu, kini Putera memiliki jet pribadi yang terdaftar di
Bermuda senilai US$ 50 juta (Rp 455 miliar). Ia juga memiliki Cessna XLS dan
helikopter Bell 427 yang diparkir di Halim Perdanakusuma.
Putera kini bermukim di Singapura. Setiap ke Jakarta, ia tinggal di Penthouse Hotel
Grand Hyatt, yang bertarif minimal US$ 3.300 (Rp 30 juta) per malam. Ke mana-mana ia
naik Rolls Royce Phantom yang sehari-hari diparkir di lobi hotel tersebut.
Ironis
Fakta bahwa peringkat orang terkaya di Indonesia kekayaannya didominasi dari industri
rokok, merupakan sebuah ironi di tengah kondisi bangsa yang masih serba amburadul ini,
terutama jika mengacu pada dampak yang ditimbulkan rokok bagi kesehatan.
Apalagi menurut data dari Litbang Depkes 2005, dampak dari merokok te-lah
menghabiskan biaya Rp 1,967 triliun untuk biaya perawatan bagi pasien akibat merokok.
Sementara beban pengeluaran negara pun akibat penyakit yang disebabkan merokok
menurut Litbang Depkes, juga sangat besar, yakni mencapai Rp 43,8 triliun.
21. Ironisnya, lagi, sebagaimana dikemukakan pegiat penanggulangan merokok, Renie
Singgih dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), banyak perokok di
Indonesia yang berasal dari kalangan usia muda. Rata-rata mereka mulai merokok di usia
15 tahun, namun tak jarang yang sudah akrab dengan rokok di usia lima tahun.
Sehubungan dengan itu, Direktur Represif Badan Narkotika Nasional, Brigjen Pol Indradi
Tanos mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan peraturan bahwa anak di bawah usia 18
dilarang merokok. "Baru wacana, tapi ini akan kami usulkan," katanya kepada SP di
Jakarta, Senin (30/7) pagi. [S-24/A-17/M-15]
TAJUK RENCANA II
Pangkas Jumlah Partai
ada 11 Oktober 1998, ketika krisis ekonomi global mencapai puncaknya, Merry Lynch
memasang iklan satu halaman penuh di semua surat kabar di Amerika Serikat. Iklan itu
berbunyi, "Dunia Berusia 10 Tahun." Ia menghitung bahwa sejak tembok Berlin runtuh
pada 1989, era globalisasi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mulai
berkembang pesat.
Usia bangsa ini pun kalau dihitung sejak era reformasi 1998, baru 9 tahun. Tapi hasilnya
berbanding terbalik ketika berbicara soal pertumbuhan ekonomi. Kita menderita secara
ekonomi. Tentu kita tidak ingin situasi ini berlangsung terus. Indonesia harus bangkit.
Baru-baru ini, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan, satu faktor yang
menghambat perekonomian Indonesia adalah sistem partai yang rumit dan kompleks.
"Sistem multipartai membuat kebijakan ekonomi tidak mudah dijalankan," kata Lee.
Kalau objektif, banyaknya partai bukan satu-satunya penyebab hancurnya perekonomian
Indonesia. Ada banyak faktor. Tetapi kita sepakat dengan Lee untuk konteks ini,
mengingat DPR sedang membahas paket RUU Politik. Wacana yang berkembang di
Senayan adalah mempertahankan multipartai untuk meningkatkan derajat representasi
atau menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif.
Ada dua pilihan dan kita sepakat kalau jumlah parpol dikurangi, karena dalam berbagai
studi, sistem presidensial selalu tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Jumlah
partai yang banyak mengurangi derajat govern ability presiden.
Parpol banyak juga akan menyandera presiden dan berpotensi membentuk kartel partai.
Itulah yang terjadi saat ini, dimana parpol yang mengontrol kekuasaan presiden, bukan
DPR sebagai institusi. Akibatnya, presiden dipaksa memberi konsesi yang banyak kepada
partai.
22. Menyederhanakan jumlah parpol bisa dilakukan melalui electoral engineering atau
mengubah aturan main dalam pemilu. Menaikkan electoral threshold adalah salah satu
cara, yang mensyaratkan bahwa partai politik harus memperoleh persentase suara dalam
jumlah tertentu agar diperbolehkan ikut pemilu. Ada juga cara lain, misalnya mengubah
angka district magnitude, mengubah rumus penghitungan suara yang akan ditranslasi
menjadi kursi di parlemen.
Alternatif lain, mengubah sistem representasi proporsional menjadi sistem pluralitas, atau
biasa disebut sistem distrik. Dalam sistem ini, jatah kursi yang diperebutkan di satu
daerah pemilihan hanya satu, karena itu hanya ada satu calon yang menang di daerah
tersebut. Menurut studi empiris, sistem ini cenderung menghasilkan dua hingga tiga
partai yang punya kursi efektif di DPR.
Sama seperti usul menaikkan electoral threshold 5 - 10 persen, perubahan sistem ini akan
mendapat perlawanan dari partai-partai kecil atau yang baru muncul. Mereka
mempersoalkan bahwa perubahan itu mematikan demokrasi.
Tudingan seperti itu tidak selamanya benar, kalau kita jeli melihat bagaimana keputusan
sistem pemilu itu dibuat. Apabila diputuskan melalui voting di DPR, maka tidak ada asas
demokrasi yang dilanggar. Yang mungkin diabaikan adalah asas kebersamaan.
Tetapi apa pun risikonya, kita harus memilih. Tidak ada sistem pemilu yang ideal, yang
menghasilkan pemerintahan yang representatif secara maksimal dan efektif serta efisien
secara maksimal pula. Sistem mana yang dipilih tergantung pada prioritas, termasuk
memilih menuju multipartai sederhana. Namun mengacu pada realitas politik selama ini
kita melihat bahwa multipartai partai sederhana adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini.
Jumlah partai yang terlalu banyak harus dipangkas karena fakta telah menunjukkan
kepada kita bahwa banyak partai yang didirikan hanya sekadar untuk mencari
keuntungan pribadi.
Sesudah Keputusan MK, Pilkada Jalan Terus
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang calon independen ikut
pilkada melebihi wewenangnya. MK hanya bertugas menguji kesesuaian terhadap UUD
bukan menetapkan norma UU baru. Keputusan ini menunjukkan bahwa MK sudah
bertindak lebih dari kewenangannya. Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta
mengatakan hakim jangan mengambil fungsi legislatif yang tugasnya membuat UU.
Akibat keputusan MK ini, terjadi kekosongan UU yang menjadi dasar hukum dalam
proses pilkada, karena UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak dapat
lagi digunakan sebagai acuan dalam pilkada. Padahal, tahun ini saja akan dilangsungkan
14 pilkada di beberapa daerah.
Seorang calon pemimpin daerah selain memiliki kemampuan yang dibutuhkan dan
mendapatkan dukungan rakyat, juga harus mendapat dukungan DPRD. Kita tidak tahu,
23. apakah proses pembangunan bisa berjalan lancar di daerah apabila calon independen
menang pilkada tapi dia tidak mendapat dukungan mayoritas DPRD.
Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk merevisi UU, ujung-ujungnya uang
rakyat kembali dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan/permintaan kelompok
tertentu. Tidak hanya biaya saja, tetapi juga tenaga dan pikiran akan terkuras untuk
membahas. Seharusnya MK memikirkan hal ini sebelum memutuskan, jangan karena
"desakan" kelompok tertentu, sistem yang selama ini sudah berjalan dengan baik menjadi
rusak dan hancur.
Sebagai warga negara yang baik kita harus menghormati keputusan tersebut. Ikutnya
calon independen hendaknya juga diikuti dengan persyaratan-persyaratan, karena jika
tidak keputusan itu hanya akan menimbulkan diskriminasi sekaligus melecehkan parpol.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perppu) atau revisi UU landasan hukum pelaksanaan pilkada.
Yulianto - Jl H Samali Pasar Minggu Jakarta Selatan
TAJUK RENCANA II
Menuju Keluarga Harapan
ualitas sumber daya manusia menjadi penentu masa depan bangsa. Apabila sebuah
bangsa tidak mempunyai sumber daya manusia yang bisa diandalkan, maka celakalah
bangsa itu. Dalam persaingan global yang semakin ketat, bangsa yang tidak memiliki
manusia yang berkualitas dan berintegritas tinggi untuk membangun bangsanya, akan
semakin tertinggal. Oleh karena itulah, untuk menciptakan bangsa yang mampu bersaing
juga harus memperhatikan kualitas warga negaranya.
Hal itulah yang disadari sepenuhnya oleh pemerintah saat ini. Kualitas sumber daya
manusia bisa ditingkatkan bila kesejahteraan keluarga diperhatikan. Kesehatan dan
pendidikan menjadi kunci menuju kesejahteraan sebuah keluarga, dan bila sebagian besar
keluarga di Indonesia sudah mencapai taraf hidup yang memadai, maka pemerintah telah
menjalankan amanat UUD 1945 untuk menyejahterakan warga negaranya.
Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan yang dihadapi
oleh keluarga yang masih tergolong miskin. Di antaranya adalah memberikan subsidi
langsung tunai (SLT) yang ternyata sebagian tidak sampai ke sasaran. Ada keluarga
tergolong sangat miskin tidak menerima SLT, sedangkan keluarga yang sebenarnya tidak
perlu dibantu malah mendapat SLT. Tidak sedikit dana itu yang disunat oleh aparat
pemerintah daerah.
Sekarang, pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai
kelanjutan dari SLT. Namun, PKH lebih menitikberatkan bantuan pada kesehatan ibu
hamil, anak balita dan pendidikan untuk anak-anak. Bantuan ini memang hanya diberikan
kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan ketentuan: Ibu yang sedang hamil,
24. memiliki anak usia 0-6 tahun, atau memiliki anak usia sekolah yaitu umur 7-15 tahun.
Bagi ibu hamil wajib mengikuti pelayanan pemeriksaan kesehatan di puskesmas,
sedangkan anak usia di bawah 6 tahun harus datang ke puskesmas dan mengikuti
pelayanan kesehatan anak, serta untuk anak usia sekolah wajib mengikuti pendidikan
dengan jumlah kehadiran minimal 85 persen.
Program Keluarga Harapan untuk tahun ini ditargetkan bisa dinikmati oleh 500.000
RTSM, sedangkan untuk tahun 2008 ditargetkan 700.000 RTSM atau berkurang dari
target semula 1,5 juta RTSM karena anggaran yang disetujui oleh Panitia Anggaran DPR
hanya Rp 1,1 triliun dari Rp 2,62 triliun yang diajukan. Menurut data Bappenas,
direncanakan bantuan bagi RTSM yang memiliki ibu hamil, anak usia di bawah 6 tahun,
dan anak usia SMP/MTs masing-masing Rp 800.000. Sedangkan untuk anak usia SD/MI
sebesar Rp 400.000.
Kita berharap, program yang ditujukan untuk membantu keluarga sangat miskin dalam
jangka pendek dan sebagai upaya untuk investasi sumber daya manusia agar generasi
selanjutnya bisa keluar dari perangkap kemiskinan, dapat berjalan tepat sasaran. Kita
sangat prihatin bila anggaran yang tidak sedikit jumlahnya tersebut mengikuti jejak
program-program serupa sebelumnya, yaitu menyimpang dari sasaran yang dituju.
Keinginan pemerintah untuk mengubah rumah tangga sangat miskin menjadi keluarga
harapan perlu mendapat dukungan. Namun, kita ingin menggarisbawahi pernyataan
pengamat ekonomi, Faisal Basri, bahwa program tersebut tidak menyentuh rasa keadilan
rakyat jika itu hanya uji coba di tujuh provinsi, tanpa ada kelanjutan program yang jelas.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,7 juta jiwa, dan
mereka juga harus mendapat perhatian. Pemerintah harus bertanggung jawab agar
program tersebut benar-benar memenuhi rasa keadilan bagi rakyat.
Calon Independen Vs Keserakahan Parpol
Novel Ali
alah satu dampak positif reformasi adalah pembangunan cara pandang baru, sekaligus
penegakan semangat politik masyarakat Indonesia, untuk melakukan pembaruan
konstitusi negara, melalui perubahan UUD 1945. Dari sekian banyak perubahan
substansial UUD 1945, adalah presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Di samping tentunya desentralisasi serta penguatan otonomi
daerah.
Secara keseluruhan, perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan empat kali, mengakibatkan
terjadinya perubahan dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara
dan berbangsa. Baik pada tataran kelembagaan (kekuasaan) negara, maupun pada tataran
kelembagaan politik di tengah masyarakat sipil.
Perubahan UUD 1945, memberikan ruang politik dan hukum, guna diterbitkannya
berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik, menuju format politik
25. baru, sebagai prasyarat mutlak konsolidasi demokrasi, yang tumbuh dan berkembang
pesat pascagerakan reformasi (1998). Perubahan UUD 1945, pun mengakibatkan
terjadinya penataan sistem, struktur dan kewenangan lembaga negara, yang telah
memberikan peluang terwujudnya pengawasan dan penyeimbangan (checks and
balances) atas kekuasaan politik. Dampak negatif dari realitas pembaharuan sistem dan
pranata kekuasaan (power) dan politik praktis dimaksud adalah maraknya konflik
kepentingan di antara pemegang kekuasaan, serta pelaku politik, yang telah jauh hari
(sebelumnya) terlibat di dalamnya.
Era reformasi menjanjikan terbukanya ruang untuk mewujudkan sistem hukum nasional.
Hal itu meliputi pembangunan substansi hukum tertulis atau tidak tertulis, melalui
mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik, sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan pembangunan hukum, baik berdasar Undang- Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun sesuai konstitusi
negara kita.
Pada sisi lain, perkembangan demokrasi era reformasi terutama lewat penyelenggaraan
pemilu secara langsung untuk anggota DPR dan DPRD (mekanisme parpol), dan anggota
DPD (perseorangan), pada gilirannya mendesak penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah (pilkada), secara langsung dan demokratis. Realitas itu mendorong tuntutan
dilakukannya perbaikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, antara lain karena beberapa pasal dalam UU Pemerintahan Daerah dinilai
bertentangan dengan UUD 1945. Khususnya, pasal-pasal yang dipandang melanggar hak
konstitusional warga negara. Lebih khusus lagi yang membatasi pencalonan kepala
daerah secara independen, atau tidak melalui partai politik. Di samping karena dinilai
merampas hak konstitusional, serta menutup akses politik untuk memilih calon kepala
daerah independen.
Bukan Membonsai Parpol
Sejumlah warga Indonesia, menggugat uji materi atas beberapa pasal UU Pemerintahan
Daerah, karena mereka nilai bermasalah. Akhirnya 23 Juli 2007, Mahkamah Konstitusi
memutuskan calon independen bisa mengikuti pemilihan kepala daerah. Keputusan MK
yang diambil dalam sidang pleno dipimpin Ketua MK dan dihadiri sembilan hakim
konstitusi itu, memutuskan beberapa pasal dalam UU Pemerintahan Daerah, harus diubah
sebagian, yakni Pasal 56 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 1-3.
Fenomena itu dapat "mengganggu" kepentingan parpol. Pengalaman pemilihan presiden
di Amerika membuktikan, calon independen dapat tampil sebagai pemenang, jika
mekanisme dukungan masyarakat secara langsung, jauh lebih solid dibanding yang dapat
diperankan mesin-mesin politik parpol. Apalagi kalau parpol tidak sepenuhnya
memperoleh simpati dan dukungan masyarakat. Namun, keputusan MK yang memberi
peluang tampilnya calon independen dalam pilkada, tidak ada kaitannya dengan upaya
meminimalisasi kekuasaan dan kekuatan parpol. Keputusan MK dimaksud, sepenuhnya
berada dalam ranah hukum, sehingga tidak boleh dipolitisasi untuk atau atas nama
kepentingan parpol.
26. Karenanya, sangat tidak wajar jika muncul pemikiran pihak tertentu, yang
mengidentifikasi pemberian peluang calon independen ikut dalam pilkada, sebagai
bentuk konkret pembonsaian parpol. Keputusan MK itu merupakan realita yang mau
tidak mau, suka atau tidak, perlu (dan memang harus) diakses, sebagaimana isyarat
langsung atau tidak langsung reformasi hukum di negeri ini.
Persoalannya, yang menyebabkan baik "orang parpol" atau masyarakat awam, bisa
memahami adalah, beberapa hak dan kewenangan yang sebelumnya melekat parpol, kini
tidak dapat dipertahankan lagi. Calon independen yang akan tampil ke arena pilkada, jika
sebelumnya harus patuh dan taat atas "perintah parpol", termasuk mesti memenuhi
seluruh konsekuensi dan ubo rampe-nya (prasyarat tertulis dan tidak tertulis) yang
ditetapkan parpol, kini lebih bebas memilih, mau pakai mekanisme parpol, atau tidak.
Keran demokrasi yang dibuka MK disebut terdahulu, dapat dibaca dalam dua konteks
kepentingan, kendati tidak ada pamrih kepentingan ke arah ini, di balik pengambilan
keputusan MK itu sendiri. Dua konteks dimaksud berada dalam ranah publik (di luar
kepentingan MK), yaitu pendewasaan parpol, khususnya untuk beradu kemampuan
dalam upaya merebut konstituen (pemilih) secara demokratis dan dewasa dengan pihak-
pihak di luar parpol (konteks kepentingan pertama). Di samping, meniadakan atau
minimal mengurangi keserakahan parpol, yang di masa sebelumnya (sebelum calon
independen bisa ikut pilkada), gampang sekali merambah ke berbagai ranah kepentingan
calon independen dan inner group-nya (kepentingan kedua).
Keserakahan parpol yang sering terungkap dalam sinisme publik, bahwa parpol pasang
tarif miliaran rupiah untuk kandidat yang menggunakan parpol tersebut sebagai
kendaraan politik, nyaris tidak bisa lagi dipertahankan. Pola perekrutan calon dalam
proses pilkada yang sarat politik uang dan political cost (biaya politik) untuk parpol yang
bersumber dari kocek kandidat, dengan sendirinya dapat menipis, ketika kebanyakan
orang yang bermaksud maju dalam pilkada lebih memilih mekanisme calon independen
ketimbang mekanisme parpol yang sarat beban.
Kita dapat memaklumi, calon independen dalam pilkada dapat merugikan pihak tertentu.
Tetapi, sudah barang tentu, pihak lain bisa diuntungkan olehnya. Terlepas dari dirugikan,
atau sebaliknya diuntungkan oleh keputusan MK tersebut, seluruh warga Indonesia
memiliki kewajiban yang sama menjaga proses konsolidasi demokrasi, dapat berlangsung
sepenuh waktu (secara berkelanjutan).
Di samping, yang tidak kalah pentingnya diimbangi oleh berlangsungnya sistem dan
proses politik di satu sisi, serta kultur politik di sisi lain, dengan pembangunan hukum
yang berpayung konstitusi negara, sekaligus berkeadilan antara lain yang telah dibuka
arus dan aksesnya, lewat calon independen dalam pilkada.
Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro,
Semarang
27. AJUK RENCANA I
Menimbang Parpol dan Calon Independen
emilihan kepala daerah (pilkada) yang menurut undang-undang harus dicalonkan oleh
partai politik (parpol) memasuki era baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK)
memutuskan calon independen atau perseorangan dapat mengajukan diri menjadi calon
kepala daerah. Keputusan MK tersebut membuka tabir dominasi partai politik selama ini,
sekaligus memunculkan berbagai reaksi dengan sejumlah alasan. Di satu sisi menjadi
tantangan bagi parpol yang mulai kehilangan kepercayaan publik, di sisi lain menjadi
kabar gembira bagi publik yang menilai pintu demokrasi disumbat oleh parpol.
Kredibilitas parpol merosot akibat perilaku parpol itu sendiri. Sebuah peran yang jauh
dari tujuan awal tradisi parpol dimulai. Boleh dikatakan proses transisi demokratisasi di
Indonesia terperangkap oleh kemandekan internal parpol. Lembaga yang seharusnya
menjadi penyalur aspirasi dan pengkaderan pelaku politik justru tidak lebih dari sekadar
"calo" yang mengangkangi demokrasi itu sendiri. Fakta bahwa perilaku parpol yang
bergeser tersebut dapat disaksikan dalam berbagai fenomena pilkada.
Di tengah kemandekan tersebut, alternatif calon independen menjadi jawaban sementara.
Paling tidak untuk mendobrak kebuntuan demokrasi sehingga aspirasi publik dalam
proses politik tidak dikangkangi oleh parpol, memunculkan calon pemimpin yang
kredibel, sekaligus mendorong pembenahan parpol agar kembali pada tugas dan fungsi
utamanya. Bayangkan, figur yang pantas dan berkualitas harus dikalahkan hanya karena
"pintu" demokrasi harus melalui parpol dengan segala subyektivitas dan mekanisme
internal. Siasat untuk menembus subyektivitas dan mekanisme parpol tersebut akhirnya
dibahasakan dengan "biaya politik" yang memunculkan "calo" parpol. Calon parpol yang
dianggap berkualitas pun akhirnya harus terkalahkan hanya karena mekanisme internal
parpol yang rumit dan tidak transparan. Dalam konteks ini, sangat tepat calon independen
muncul sebagai jalan keluar.
Calon independen bukanlah jaminan untuk memunculkan pimpinan politik yang
berkualitas dan mencerminkan aspirasi publik. Sejauh mana dan bagaimana cara yang
paling tepat memunculkan calon perseorangan yang benar-benar menjadi alternatif atas
kebuntuan parpol. Tidak menutup kemungkinan calon perseorangan yang muncul lebih
karena popularitas dan kedekatan emosional yang tidak didasarkan pada pertimbangan
rasional. Bisa juga karena dukungan finansial yang meninabobokkan pemilih pada saat-
saat pilkada hendak berlangsung.
Jangankan calon perseorangan, banyak pemimpin di negeri ini yang populer dan lahir
dari parpol dengan kontrol yang ketat justru menjadi tidak aspiratif setelah memegang
tampuk kekuasaan.
Calon independen ataupun melalui parpol memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya
saling mengisi dan masih dibutuhkan penyempurnaan sistem politik Indonesia menuju
demokratisasi bangsa Indonesia.
28. Parpol, dalam konteks pelembagaan politik sangat dibutuhkan sebagai wadah
menyalurkan aspirasi publik, melatih dan mengkader calon pemimpin. Parpol bukanlah
"sumber uang" bagi para pengurusnya dan bukan pula "calo" memperjuangkan
kepentingan kelompok dalam membagi-bagi kekuasaan. Demikian juga calon independen
bukanlah jalan pintas menjadi pemimpin daerah hanya dengan modal popularitas dan
finansial.
Pada titik tersebut, parpol harus kembali pada perannya dan calon independen pun harus
diatur dengan landasan operasional yang jelas. Baik itu berupa revisi atas berbagai
undang-undang yang terkait, perlunya Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Calon independen hadir untuk
membenahi kehidupan politik yang didominasi oligarki parpol, bukan sebaliknya menjadi
sebuah kerancuan dan kontroversi baru.
Parpol vs Independen
Penantian panjang lahirnya calon pemimpin daerah dan nasional dari kalangan
independen datang juga, setelah MK pada Senin (23/7) membacakan putusan uji materil
terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam putusannya,
MK membolehkan calon independen mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada).
Hal ini menjadi terobosan baru dalam perkembangan demokrasi kita. Seleksi pemimpin
daerah yang selama ini monopoli partai politik, harus segera ditinggalkan. Tak akan ada
lagi perdebatan calon yang harus menyetor "uang tak berjudul" kepada partai politik agar
menjadi calon kepala daerah.
Keputusan MK ini mendapatkan apresiasi luar biasa, yang terekam dari hasil survei LSI
yang dipublikasikan Selasa (24/7), yang menunjukkan masyarakat mendukung calon
independen untuk pilkada, angkanya 82,2 persen untuk dukungan calon independen
gubernur dan 80,4 persen untuk bupati. Sedangkan yang mendukung calon independen
pilpres angkanya mencapai 75 persen.
Memang ada sedikit ganjalan administratif terkait dengan putusan MK ini, karena tak
bisa dengan sendirinya langsung dapat diberlakukan. Ini tak lain karena UU tentang
Pemerintahan Daerah harus di amandemen terlebih dahulu atau nantinya harus dibuat
peraturan pemerintah secara tersendiri. Padahal, hingga Februari 2008, bakal ada 14
Pilkada Gubernur.
Miftahul Khoir,
Komp Inkopad E 12/18 Sasak Panjang, Tanjung Halang, Bogor
Lagi, "Gertak Sambal" DPR
Setelah gagal menghadirkan Presiden terkait interpelasi dukungan Indonesia terhadap
Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB, para politisi Senayan yang mengusung interpelasi
Lapindo juga diambang keterpurukan. Dalam Rapat Bamus DPR Kamis (19/7) gagal
29. mengambil keputusan. Hanya dua fraksi yang tetap bersikukuh agar interpelasi terus
berlanjut, yakni F-PDI-P dan F-PKB. Sedangkan delapan fraksi DPR lainnya, yaitu F-
PG, F-PD, F-PPP, F-PAN, F-PKS, F-PBPD, F-PBR, dan F-PDS sudah mulai mengendor.
Kedelapan fraksi ini menghendaki pengambilan keputusan ditunda setelah masa reses,
yaitu pada 21 Agustus 2007.
Apa makna politik dibalik penundaan interpelasi Lapindo ini? Hemat saya, ada empat
tafsir politik yang bisa dimunculkan. Pertama, penundaan ini menunjukkan betapa
jeleknya lobi DPR dibandingkan dengan kemampuan lobi pemerintah. DPR selalu
menjadi inferior kala berhadapan dengan eksekutif. Kasus yang paling nyata adalah
gagalnya petinggi DPR "membujuk" SBY datang ke Senayan ketika sidang interpelasi
Iran berlangsung.
Kedua, penundaan ini menunjukkan bahwa DPR sebenarnya tidak punya komitmen
sungguh-sungguh untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Mereka
menggunakan hak interpelasi hanya sebagai instrumen bargaining politik. Ketika
eksekutif sudah "menyambangi" mereka, dengan sendirinya sikap kritisnya pun
mengempes.
Ketiga, DPR tetap menyiapkan amunisi interpelasi Lapindo ini sebagai cadangan untuk
"menghajar" pemerintah. Dengan ditundanya keputusan hingga setelah masa reses pada
akhir Agustus mendatang, itu artinya DPR masih punya cadangan senjata ketika harus
berkonflik dengan eksekutif.
Keempat, penundaan ini tentunya "menyakiti" hati masyarakat. DPR ternyata hanya
melakukan "gertak sambal" terhadap pemerintah. Padahal, ada antusiasme warga korban
lumpur Lapindo agar DPR benar-benar membela mereka. Tentu hal ini menambah daftar
panjang record buruknya perilaku politik para wakil partai itu!
M Suud,
Margonda Raya, Depok
TAJUK RENCANA I
Tak Cukup Belajar dari Pengalaman
elum selesai kasus kematian praja Cliff Muntu asal Manado akibat penganiayaan yang
dilakukan oleh para seniornya, kini muncul kasus baru yang melibatkan sejumlah praja
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Sejumlah praja dikabarkan mengeroyok seorang pemuda warga Jatinangor bernama
Wendi Budiman. Akibat pengeroyokan tersebut korban akhirnya meninggal (22/7).
Pengeroyokan itu, menurut hasil pemeriksaan polisi berawal dari perkelahian dalam lift
di Jatinangor Town Square.
30. Sebab-musabab pengeroyokan masih simpang-siuar. Saksi korban mengungkapkan
peristiwa tersebut murni pengeroyokan, sementara pihak IPDN mengakui ada pelecehan
seksual terhadap dua praja putri IPDN. Tindakan pelecehan itu akhirnya memicu
perkelahian mengakibatkan tewasnya Wendi Budiman.
Polisi tengah menangani kasus ini dan menetapkan lima praja sebagai tersangka. Polisi
juga masih memeriksa empat praja yang diduga terlibat dan sejumlah saksi lain.
Sementara itu masyarakat Jatinangor melakukan unjuk rasa di kampus IPDN. Perwakilan
warga menuntut agar memberikan santunan kepada korban, pihak IPDN meminta maaf,
dan menuntut jaminan agar kasus itu diselesaikan sampai tuntas secara hukum. Kemudian
ratusan tukang ojek dan warga mendatangi kampus untuk menuntut IPDN dibubarkan
karena tidak bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Warga yang melakukan unjuk
rasa mengancam menyisir mahasiswa IPDN yang berkeliaran di luar kampus. Rektor
IPDN Johanis Kaloh telah melarang mahasiswa IPDN keluar kampus dalam waktu yang
tidak ditentukan untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.
Sudah banyak terjadi tindak kekerasan di IPDN selama ini dan yang masih segar dalam
ingatan kita adalah kasus tewasnya Cliff Muntu di awal tahun ini. Kasus kematian Muntu
telah membuat citra IPDN jatuh. Dan, kematian Cliff Muntu bukan yang pertama terjadi
di kampus itu. Belum lagi sejumlah kejadian yang mencoreng citra tempat para calon
pemimpin di lingkungan Departemen Dalam Negeri itu dididik. Malah salah seorang
dosen di kampus itu tidak gentar membuka praktik kekerasan di kampus IPDN. Gara-
gara itu, banyak kalangan, termasuk Ketua DPR Agung Laksano meminta pemerintah
untuk menutup IPDN. Akan tetapi, tampaknya semua kejadian yang tak sedap di masa
silam itu belum cukup untuk menjadi pelajaran. Jika selama ini IPDN banyak bergelut
dengan masalah internal, kini berbenturan dengan masyarakat.
Sebagai perguruan tinggi, IPDN adalah tempat untuk mengasah kemampuan intelektual
dengan disiplin yang sangat ketat. Adalah tantangan baginya untuk mengembalikan citra
tersebut. Citra itu sudah tercoreng oleh berbagai tindak kekerasan yang terjadi di kampus
tersebut. Apalagi IPDN menjadi tempat untuk menyiapkan para pamong praja, yakni
pegawai negeri yang akan mengurus pemerintahan negara ini. Bagaimana jadinya negeri
ini kalau calon pamong praja kita demikian keadaannya. Karena itu, IPDN perlu tegas
terhadap para mahasiswa yang terlibat dalam tindak kekerasan, apalagi kalau kemudian
terbukti di pengadilan.
Para praja yang kini belajar di IPDN adalah calon pemimpin, calon birokrat yang akan
duduk dalam pemerintahan. Mereka adalah calon pamong praja, pegawai negeri yang
akan mengurus pemerintahan negara. Kita menggaris bawahi sebutan pamong. Pamong
itu adalah orang yang mengasuh. Krena itu, mereka perlu belajar dari berbagai peristiwa
kekerasan yang terjadi di kampus itu selama ini, bila benar-benar ingin menjadi pamong
bagi masyarakat.
Membaca Saja Kok, Sulit? PR
Oleh DEVINA NATALIA
Mahasiswa Fikom Unpad
31. "BUKU adalah jendela dunia". Ungkapan itu pasti sudah pernah kita dengar. Klise,
memang. Tetapi, arti ungkapan itu belum sepenuhnya disadari. Bagi sebagian besar
warga Indonesia, buku belum menjadi kebutuhan yang patut diprioritaskan. Minat dan
daya baca rakyat Indonesia begitu rendah. Menurut penelitian sebuah lembaga dunia
terhadap daya baca di 41 negara, Indonesia berada di peringkat ke-39. Sedangkan,
menurut laporan Bank Dunia NM 16369-IND dan Studi IEA di Asia Timur, tingkat
membaca anak-anak dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7; di bawah Filipina
(52,6), Thailand (65,1), dan Singapura (74,0)
2).Masalah Buku Teks Pelajaran
Oleh Sudaryanto*
Salah satu alat pendukung terlaksananya kurikulum pendidikan dengan baik adalah
buku ajar. Dengan adanya buku ajar yang baik maka kurikulum tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik.
Mulai tanggal 26 Desember 2005, Depdiknas menetapkan Permendiknas RI No.26
Tahun 2005 tentang penetapan buku teks pelajaran (Buku Ajar) yang memenuhi syarat
kelayakan untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas mencakup tiga mata
pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional yakni Matematika, Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Dalam keputusan itu ditetapkan
sebanyak 294 buku teks pelajaran dari 98 penerbit untuk tingkat SMP/MTs dan sebanyak
250 buku teks pelajaran dari 50 penerbit untuk tingkat SMA/MA.
Keputusan ini sekaligus menjawab pertanyaan, apakah buku-buku ajar yang beredar
di pasaran selama ini sudah baik dan layak dipakai ditinjau dari kesesuaian materi, tujuan
kurikulum, dan metodenya sehingga layak digunakan sebagai pegangan dalam
pembelajaran. Karena buku ajar yang ada sebelumnya berbeda dengan KBK, baik urutan
materi maupun sajian materinya maka buku-buku ajar yang beredar sekarang ini lebih
menekankan kepada keaktifan siswa dan tampilan bukunya lebih menarik.
Buku ajar merupakan alat pengajaran yang paling banyak digunakan diantara
semua alat pembelajaran lainnya. Keuntungan dengan digunakannya buku ajar dalam
32. proses belajar mengajar antara lain: dapat membantu guru melaksanakan kurikulum yang
berlaku, menjadi pegangan dalam menentukan metode pengajaran; memberi kesempatan
pada siswa untuk mengulangi pelajaran dan dapat digunakan pada tahun berikutnya.
Terlebih sudah ada PP No 11/2005 yang mengatur tentang masa pakai buku ajar minimal
selama 5 tahun. Selain itu, buku ajar yang uniform memberi kesamaan mengenai beban
dan standar pengajaran serta memberikan pengetahuan dan metode mengajar lebih
mantap bila guru menggunakan dari tahun ke tahun.
Sebagai salah satu media dan sumber belajar dalam proses pembelajaran, buku ajar
dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik; mengatasi
keterbatasan ruang dan waktu; dapat mengatasi sifat pasif anak didik. Buku ajar harus
mempunyai kualitas yang baik dari segi struktur isinya. Selain itu, buku ajar yang baik
harus memenuhi kriteria CBSA serta sepuluh butir kriteria kelayakan yaitu: menarik
minat; memberi motifasi; memuat ilustrasi yang menarik hati; mempertimbangkan aspek
kognitif; isinya berkaitan dengan mata pelajaran lain (pengetahuan dan kompetensi lintas
kurikulum); dapat menstimulasi/merangsang aktifitas siswa; menghindari konsep-konsep
yang samar dan tidak pasti; mempunyai sudut pandang yang jelas dan tegas; mampu
memberi pemantapan, penekanan pada nilai siswa; dan melibatkan siswa dalam
pembelajaran. Materi pokok dalam buku ajar dipaparkan untuk mencapai standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang ada. Selain digunakan sebagai buku pegangan,
diharapkan dapat membangkitkan keinginan untuk belajar, membentuk karakter yang
baik dan berpikiran cerdas dari seorang siswa, memiliki keahlian, menerapkan teknologi
tepat guna dan menguasai suatu ilmu dalam buku tersebut.
33. Kita menyambut baik keputusan tentang buku yang layak dipakai dalam
pembelajaran di sekolah. Hanya saja, diharapkan tidak ada paksaan dalam penggunaan
buku tersebut mengingat kemampuan keuangan siswa dan memang tak boleh memaksa
siswa membeli buku. Namun akan lebih baik jika pemerintah daerah mengalokasikan
anggarannya untuk membeli buku pelajaran layak pakai itu dan men-drop ke sekolah
sehingga memperingan beban siswa. Tentunya dengan cara ini, peningkatan kualitas
pendidikan melalui pemakaian buku teks pelajaran akan dapat terealisasi dan
pembelajaran akan semakin lancar. Semoga.
• Penulis, Guru BK di SMA N I Bayat, Klaten
Menyoal Buku Pegangan Mata Pelajaran
Oleh Sudaryanto, S.Pd
SALAH satu alat pendukung terlaksananya kurikulum pendidikan dengan baik
adalah buku ajar/pegangan. Dengan adanya buku ajar yang baik maka kurikulum
tersebut, sedikit banyak, dapat dilaksanakan dengan baik. Saat ini, memasuki tahun
ajaran baru ini, kebutuhan akan buku pegangan mata pelajaran telah menjadi sebuah
keharusan. Terlebih bagi para siswa di daerah bencana yang saat ini gedung sekolah dan
fasilitas pembelajaran laiinya (termasuk buku pegangan) hancur diluluhlantakkan
bencana.
Sebenarnya, sejak tahun 2005 yang lalu, Depdiknas telah menetapkan
Permendiknas RI No.26 Tahun 2005 tentang penetapan buku teks pelajaran (Buku Ajar)
yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di
kelas, mencakup tiga mata maupun pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional, yakni
Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk jenjang SMP/MTs dan
SMA/MA.
34. Karena buku ajar yang ada sebelumnya berbeda dengan KBK, baik urutan materi
maupun sajian materinya maka buku-buku ajar yang beredar sekarang ini lebih
menekankan kepada keaktifan siswa dan tampilan bukunya lebih menarik.
Sebenarnya, buku ajar merupakan alat pengajaran yang paling banyak digunakan
diantara semua alat pembelajaran lainnya. Keuntungan dengan digunakannya buku
ajar/buku pegangan dalam proses belajar mengajar antara lain: dapat membantu guru
melaksanakan kurikulum yang berlaku, menjadi pegangan dalam menentukan metode
pengajaran; memberi kesempatan kepada siswa untuk mengulangi pelajaran ketika di
rumah,dan dapat digunakan lagi oleh adik kelasnya pada tahun berikutnya.
Jadi buku pegangan mata pelajaran memang tidak harus ganti setiap tahun. Terlebih
sudah ada PP No.11/2005 yang mengatur tentang masa pakai buku ajar minimal selama 5
tahun. Selain itu, buku ajar yang uniform memberi kesamaan mengenai beban dan standar
pengajaran serta memberikan pengetahuan dan metode mengajar lebih mantap bila guru
menggunakan dari tahun ke tahun.
Sebagai salah satu media dan sumber belajar dalam proses pembelajaran, buku
pegangan dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik;
mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; dapat mengatasi sifat pasif anak didik.
Buku pegangan harus mempunyai kualitas yang baik dari segi struktur isinya.
Selain itu, buku ajar yang baik harus memenuhi kriteria CBSA serta sepuluh butir
kriteria kelayakan yaitu: menarik minat; memberi motifasi; memuat ilustrasi yang
menarik hati; mempertimbangkan aspek kognitif; isinya berkaitan dengan mata pelajaran
lain (pengetahuan dan kompetensi lintas kurikulum); dapat menstimulasi/merangsang
aktifitas siswa; menghindari konsep-konsep yang samar dan tidak pasti; mempunyai
35. sudut pandang yang jelas dan tegas; mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai
siswa; dan melibatkan siswa dalam pembelajaran.
Materi pokok dalam buku ajar harus dipaparkan untuk mencapai standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang ada. Selain digunakan sebagai buku pegangan,
diharapkan dapat membangkitkan keinginan untuk belajar, membentuk karakter yang
baik dan berpikiran cerdas dari seorang siswa, memiliki keahlian, menerapkan teknologi
tepat guna dan menguasai suatu ilmu dalam buku tersebut.
Kita tentunya bisa memahami keputusan tentang buku yang layak dipakai dalam
pembelajaran di sekolah. Hanya saja, diharapkan tidak ada paksaan dalam penggunaan
buku tersebut, mengingat kemampuan keuangan siswa dan memang tak boleh memaksa
siswa membeli buku.
Lebih dari itu, akan semakin baik jika pemerintah daerah mengalokasikan
anggarannya untuk membeli buku pegangan mata pelajaran layak pakai itu dan men-drop
ke sekolah sehingga memperingan beban siswa. Tentunya dengan cara ini, peningkatan
kualitas pendidikan melalui pemakaian buku teks pelajaran akan dapat terealisasi dan
proses pembelajaran akan semakin lancar. Semoga begitu.
Sudaryanto, S.Pd
*Penulis, Guru BK (GTT) di SMA N I Bayat, Klaten
SM
TAJUK RENCANA
Calon Independen Perlu Segera Direalisasi
Seperti diduga sebelumnya, partai politik pada umumnya keberatan dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan peluang kemunculan calon perseorangan
alias calon independen yang berasal dari nonparpol dalam pilkada. Dari suara yang
berkembang di kalangan petinggi parpol terlihat belum ada keikhlasan untuk menerima
keputusan MK tersebut. Hal itu tercermin dari tuntutan syarat dukungan minimal bagi
seorang calon independen sama dengan partai politik sebesar 15 persen. Kalau
36. diperhitungkan untuk Jawa Tengah misalnya berarti berkisar 3,7 juta orang. Sesuatu yang
jelas menyulitkan dan hampir tidak mungkin.
Alasan mereka demi keadilan karena kalau lewat parpol aturannya juga harus
memperoleh dukungan minimal 15 persen kursi di legislatif. Dari sisi normatif
tampaknya hal itu bisa diterima. Tetapi kalau dilihat dari segi pragmatis, maka usulan
seperti itu tidak ada bedanya dengan menolak calon independen. Kalau tak mau
dikatakan menolak setidaknya itu menghalang-halangi atau menghambat. Menurut
pengamat politik, yang masuk akal adalah persyaratan calon independen pada pilkada di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yakni sebesar 3 persen. Itupun sebenarnya bukan
sesuatu yang mudah sehingga calon tersebut perlu bekerja keras.
Pilkada di Aceh bisa dijadikan rujukan karena pertama kali terjadi di negeri ini dan
kebetulan calon independenlah yang menang. Melihat fenomena baru di Serambi Mekah
tersebut banyak kalangan berharap agar keputusan MK segera direalisasikan. Sebaliknya
kalangan partai politik merasa waswas jagonya akan mengalami nasib yang sama seperti
yang terjadi di Aceh. Maklumlah diakui atau tidak pada umumnya partai politik sedang
mengalami krisis kepercayaan. Hal itu disebabkan oleh ulah anggota legislatif yang
dianggap kurang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Yang difikirkan justru
kepentingan mereka sendiri.
Untuk melaksanakan keputusan MK tersebut maka Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 perlu diganti dan itu haruslah melewati proses legislasi di DPR. Itulah sebabnya
sekarang bola ada di tangan DPR. Tetapi sebelum itu presiden bisa mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti Undang Undang (Perpu) agar tidak terjadi kekosongan
hukum serta dapat mempercepat pelaksanaannya. Melihat gelagatnya ada sambutan
positif di masyarakat bahkan gairah baru muncul. Jadi kalau sampai pemerintah dan elite
politik di negeri ini kurang tanggap akan menimbulkan kekecewaan. Banyak daerah yang
sudah menunggu petunjuk teknisnya.
Peluang bagi calon independen sudah menjadi kelaziman dalam demokrasi. Bahkan jika
perlu kelak juga diatur adanya peluang yang sama dalam pemilihan presiden atau calon
legislatif. Bukan berarti kita tidak mengakui keberadaan partai politik. Yang lebih tepat
hal ini dilihat sebagai upaya memberikan alternatif atau pilihan yang lebih banyak. Pintu
masuk lewat parpol terbukti menciptakan iklim kompetisi kurang sehat yakni dengan
maraknya politik uang. Karena akhirnya parpol terutama pimpinannya justru lebih
banyak menjadi semacam tukang ojek atau menyewakan kendaraannya untuk calon yang
mampu membayar sejumlah besar uang.
Inilah saatnya bagi parpol untuk berbenah dan lebih serius memikirkan kaderisasi serta
rekrutmen kepemimpinan. Agar mereka bisa mencalonkan kadernya sendiri atau
membuka kesempatan seluas-luasnya kepada tokoh masyarakat yang kapabel dan
kredibel untuk melamar tanpa dibebani biaya terlampau besar. Kalau perlu mereka ikut
dalam penggalangan dana. Bukankah kemenangan dalam pilkada juga akan memengaruhi
citra dan kehormatan partai. Sebaliknya kekalahan akan menurunkan kredibilitasnya. Jadi
37. kalau itu bisa dillakukan, parpol tak perlu menghambat melainkan justru mempercepat
keluarnya UU yang baru.
Kondisi Bahaya Stabilitas Pendidikan
• Oleh S Hartono
BUKAN tanpa sebab, kalau perjuangan guru (dan dosen) untuk mendapatkan tanda jasa
tidak pernah menampakkan bentuk. Bisa jadi, itu karena pemerintah tidak pernah serius
memperhatikan nasib guru dan dosen, atau sangat mungkin karena guru sendiri tidak
pernah serius memperjuangkan tuntutannya. Bahkan, ada tudingan bahwa guru sendiri
tidak pernah tahu apa bentuk tuntutan dan siapa yang mesti dituntut.
Seperti biasa, menjelang November (Bulan Guru) tensi emosi guru lebih tinggi dari
biasanya. Senin, 9 Juli 2007 yang lalu, serombongan anggota PGRI Jateng "menyatroni"
Jakarta, menyusul PGRI Jawa Timur yang telah mendahului. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Sulistyo, Sekretaris PGRI Jateng, guru merasa dibohongi oleh
pemerintah berkait dengan belum direalisasinya anggaran pendidikan 20 persen dan
tunjangan bagi guru.Akankah perjuangan kali ini membuahkan hasil?
UUGD Deformatif
Lahirnya UUGD (UndangUndang Guru dan Dosen) tidak serta merta membalik kondisi
keterbatasan guru dan dosen; bahkan rawan atas tudingan sebagai teknik meledek guru
dan dosen gaya baru.
UUGD rawan dipelesetkan dengan umpatan "ujung ñ ujungnya gurauan doang".
Sejumlah kondisi menjadi kausalitas persepsi miring tersebut.
Pertama, sejak diundangkan UUGD belum memiliki peraturan pemerintah (PP) sebagai
pedoman teknis implementasi. Kondisi demikian mengesankan bahwa pemerintah tidak
serius dan justru memanfaatkan UUGD sebatas bahasa politis demi meraih simpati
publik. UU 20/2003 tentang Sisdiknas telah menjadi contoh yang nyata.
Kedua, draf rencana peraturan pemerintah (RPP) yang pernah ada tidak bisa menjabarkan
dan bahkan deformatif terhadap semangat yang diusung UUGD. Sejumlah limitasi dalam
draf potensial mengembangkan makna negatif tersebut. Beberapa di antaranya adalah
batasan atas sertifikasi, yaitu usia pengabdian minimal, usia pengabdian maksimal,
golongan kepangkatan, dan batasan pendidikan minimal.
Wulan kita gunakan sebagai model untuk memahami anomali RPP itu. Ia lulus sarjana
pendidikan strata satu (S1) pada usia dua puluh dua tahun. Kemudian ia melamar dan
diterima sebagai guru dengan golongan kepangkatan IIIa. Dengan asumsi tidak memiliki
persoalan sama sekali atas profesinya, pada usia 42 tahun ia baru bisa mengikuti ujian
sertifikasi. Ia lulus dan mendapatkan hak guru bersertifikat pada usia 43 tahun. Ketika
berumur 54 tahun, Wulan mengikuti sertifikasi kali terakhir. Dengan asumsi lulus setiap
38. mengikuti ujian ulang sertifikasi periodik dua tahunan, maka ia harus puas dengan
romantisme UUGD selama 14 tahun.
Dari ilustrasi itu, sangat sulit memahami status Wulan dari nol tahun (usia 23 tahun)
hingga 20 tahun usia pengabdian. Juga sulit untuk menyebut apa profesinya pada saat
usia pengabdian di atas 34 tahun (usia 56 tahun) hingga masa pensiunnya. Sulit
memahami, karena semasa usia pengabdian nol tahun hingga pensiun produk Wulan
tetap, pengabdian pada pendidikan sepenuh hati. Faktor eksternal Wulan potensial
mengurangi masa romantisme sertifikasi. Pasti Wulan tidak bisa diterima langsung
menjadi guru (apalagi PNS), pasti ia menghadapi persoalan administratif dan teknis
seperti harus antre dari sederetan guru dengan maksud yang sama; dan sangat mungkin ia
mengalami kegagalan dalam mengikuti proses ujian.
Jenjang pendidikan harus S1 atau diploma empat (D4), juga menggugat keseriusan
pemerintah dalam memperhatikan nasib Wulan. Keraguan itu beralasan, mengingat RPP
yang mewajibkan pendidikan minimal tersebut tidak disertai dengan elaborasi solutif
andai ia memiliki pendidikan di bawah persyaratan.Jumlah jam minimal per minggu
semakin mempersempit ruang guru untuk mendapatkan sertifikat. Sangat menggelikan,
ketika sebelum UUGD lahir jam minimal mengajar ditetapkan 18, sementara itu setelah
UUGD lahir jam tersebut melambung fantastis menjadi 24. Kesan mengamputasi
kesempatan Wulan untuk mendapatkan sertifikat jelas, karena pada saat persyaratan
minimal 24 jam itu dilambungkan, pemotongan jam dalam KTSP siap untuk mengebiri
kesempatan itu.
Revisi RPP
RPP yang sekarang beredar secepatnya harus ditarik ulang dan direinterpretasi total.
Draf PP tersebut dipenuhi kondisional yang membahayakan stabilitas pendidikan.
RPP potensial menciptakan disharmoni antarguru, karena usia pengabdian maupun
kompleksitas bidang stud. Sengaja atau tidak, pasti akan terjadi pengotakan antara guru
senior dan guru yunior, guru PNS dan non-PNS, dan antara guru dengan dosen.
Kompleksitas muncul karena senioritas yang linear terhadap penghasilan tidak selalu
berbanding lurus dengan profesionalitas, bahkan sangat mungkin berbalik. Dengan
kondisi yang ada, kepala sekolah yang tidak pernah mengajar atau guru yang biasa-biasa
(bahkan malas) sangat mungkin lebih dahulu lulus dan mendapatkan gaji lima kali gaji
Wulan yang rajin, dedikatif, dan disukai anak didik.
RPP juga rawan akan ketidakjujuran proses, antara lain berasal dari testee yang ingin
secepatnya mendapatkan sertifikat, tester yang merasa berhak untuk menentukan
kelulusan testee, dan birokrasi yang merasa berwenang untuk menentukan nasib guru.
Bisa dipastikan bahwa otoritas regulator akan mimikri menjadi senjata antidemokrasi
yang sangat berbahaya.(68)
39. -- S Hartono, direktur Advokasi Pendidikan Indonesia (Andina).
Penyakit Misterius di Magelang
Bakteri Bongkrek dan Gembus Sama
PURWOKERTO-Pakar dari Fakultas Biologi Unsoed, Prof Rubiyanto Misman, terkejut
mendengar penyebab kematian 10 warga Desa Kanigoro, Magelang akibat keracunan
tempe gembus. ''Tempe gembus dan bongkrek memiliki kesamaan, yaitu terbuat dari
limbah atau ampas proses pembuatan minyak kelapa,'' ujarnya, kemarin.
Kedua makanan itu sering ditumbuhi bakteri Pseudomonas Cocovenenans yang
menyukai ampas kelapa.
Rubi yang menyelenggarakan seminar nasional soal tempe bongkrek pada tahun 1975
menyebutkan penyebab kematian bukan bakterinya, melainkan asam bongkrek yang
dihasilkan bakteri. ''Selain asam bongkrek yang bersifat racun dan tidak berwarna, ada
toxoplasma yang berwarna kuning,'' tambahnya.
Toxoplasma mudah dikenali karena warna kuningnya biasa kelihatan di permukaan
tempe gembus atau di Banyumas dikenal sebagai dage. Asam bongkrek sulit dikenali
karena tidak berwarna. ''Setahu saya asam bongkrek sudah lama tidak muncul karena pola
makanan masyarakat sudah berubah,'' jelasnya.
Baik tempe gembus maupun tempe bongkrek merupakan makanan klangenan atau
kegemaran. Rasanya enak bagi yang menyukai. Proses fermentasi tempe gembus dan
bongkrek sama. Perbedaan terletak pada kandungan lemaknya. Tempe gembus yang
terbuat dari bungkil minyak kelapa kandungan lemaknya rendah, yakni 3%-4%, karena
proses pembuatannya menggunakan mesin pres.
Menurut mantan rektor Unsoed itu, bakteri Pseudomonas Cocovenenans tidak tumbuh di
media yang kadar lemaknya rendah. Tetapi tumbuh di tempe bongkrek yang kadar
lemaknya 10%-12%. Kadar lemak yang tinggi disebabkan proses pembuatan minyak
kelapa tradisional menggunakan tangan. Asam bongkrek yang masuk tubuh manusia
merusak susunan gula darah sehingga tidak bisa mengikat oksigen. Akibatnya, penderita
keracunannya seperti sesak napas. ''Disusul tekanan darah yang tiba-tiba tinggi dan
akhirnya drop sampai korban meninggal,'' ungkapnya.
Ia terkejut kemunculan kembali bakteri Pseudomonas Cocovenenans yang sudah lama
menghilang.
Diragukan Warga
40. Sementara itu warga Dusun Beran, Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak, Kabupaten
Magelang meragukan hasil penyelidikan dari Departemen Kesehatan bahwa penyebab 10
warga yang meninggal dunia karena keracunan tempe gembus atau tempe bongkrek.
Sebagian besar warga mengaku mengonsumsi tempe gembus, tapi sebelum musibah itu
hampir semua korban tak mengonsumsinya.
Penyakit misterius yang terjadi Minggu (22/7) itu menjangkiti 31 orang, 21 korban
dirawat di rumah sakit dengan gejala mual, muntah, dan pusing hampir sama dengan
korban tewas. Kemarin masih ada empat korban yang dirawat di RSU Tidar Kota
Magelang.
Kepala Desa, Gadang Rintoko, mengatakan masih meragukan hasil penyelidikan Depkes
bahwa musibah yang menimpa warganya akibat keracunan tempe gembus. Dia mengaku
sebagian warganya memang hidup dalam kemiskinan dan seringkali mengonsumsi tempe
gembus, tetapi sebelum kejadian hampir dipastikan tak ada korban yang mengonsumsi
makanan itu.
"Saya sendiri juga sering makan tempe gembus. Jika itu penyebabnya mengapa yang
mengonsumsi makanan itu tak semua terjangkiti penyakit,"katanya, kemarin.
Dia juga mempertanyakan hasil uji laboratorium di Semarang yang menyatakan,
penyebabnya keracunan dari bahan kimia juga negatif, tapi setelah diteliti di Jakarta
terdeteksi ada kandungan bakteri pseudomonas cocovenenans. "Kami masih kurang puas
dan meragukan hasil penelitian itu. Saya berharap ada penelitian lagi yang hasilnya lebih
meyakinkan agar warga tak resah dihantui penyakit misterius itu,"katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Asmuni (40), yang kehilangan istrinya Aslamiyah (35)
dalam musibah itu. Dia menceritakan, sebelum peristiwa itu tak mengonsumsi tempe
gembus. Seingat dia, mengonsumsi tempe dan tahu. Jika penyebabnya dari media
makanan, mengapa hanya istrinya yang terjangkiti, sedangkan dia dan anak-anaknya
tidak. "Logikanya kalau penyebab kematiannya dari media makanan seharusnya satu
keluarga terkena semua,"katanya.
Keinginan Warga
Hasil uji laboratorium yang dikeluarkan Depkes itu juga mengundang protes warga.
Bahkan mereka meminta Menkes datang ke lokasi untuk menjelaskan penyebab penyakit
misterius itu. Kepala Dusun Beran, Yanto (28), mengatakan perlu dilakukan uji ulang
laboratorium. Menurutnya, warga tak puas dengan hasil itu karena sebelum kejadian
hampir semua korban tak memakan tempe gembus. "Saya juga minta kepada Menkes
untuk menjelaskan kepada warga secara langsung. Kami butuh kepastian terhadap
penyakit yang telah merasahkan warga selama sepekan terakhir ini,"katanya.
Dia berharap ada penjelasan yang lain yang dapat mengungkap penyakit itu, tak hanya
dari hasil uji laborarorium satu sampel makanan. "Kalau ini dijelaskan secara gamblang
minimal dapat menjawab keresahan warga dan melakukan antisipasi agar tak terjangkiti
41. penyakit seperti itu lagi. Saya kurang puas dengan upaya Depkes itu,"katanya.
(P16,H33-,27,41)
Pernah Renggut 34 Jiwa
TAHUN 1988 pernah terjadi peristiwa keracunan tempe bongkrek terbesar dengan
korban tewas 34 orang di Kecamatan Lumbir, Banyumas. Sejak saat itu Banyumas
memberlakukan perda larangan memproduksi, mengonsumsi, dan menjual tempe
bongkrek.
Larangan itu ditindaklanjuti dengan pemasangan papan peringatan di pasar-pasar seluruh
pelosok Banyumas.
Para perajin tempe bongkrek yang bikin petaka beralih usaha menjadi petani jamur yang
didirikan di Ajibarang.
Gubernur Jateng saat itu, HM Ismail, menjadikan Banyumas sebagai daerah bebas tempe
bongkrek. Tempe bongkrek dihapus dari menu warga Banyumas.
Sebelumnya, tempe bongkrek memang menjadi makanan kesukaan warga lembah Sungai
Serayu. Keracunan demi keracunan terjadi sepanjang hampir dua abad dengan korban
ribuan orang.
Bagian Teknologi Gizi dan Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) mencatat peristiwa
keracunan tempe bongkrek di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya.
Berdasarkan catatan itu peristiwa keracunan tempe bongkrek sudah terjadi sejak 1895
dan 1901. Saat itu tercatat 200 orang tewas dari 340 korban keracunan.
Kasus keracunan yang rutin terjadi itu mendorong ahli biologi dari Belanda melakukan
penelitian, yakni Viderman, Van Veen dan Mertens. Mereka menemukan rumus senyawa
asam bongkrek.
Sejauh ini belum ditemukan obat yang bisa menawarkan keganasan asam bongkrek.
Dalam seminar disarankan penderita keracunan minum air rebusan daun calincing atau
infus zat gula.
Ada yang menyebut keracunan tempe bongkrek akrab dengan kemiskinan karena
biasanya menimpa orang-orang tidak mampu.
Pada beberapa peristiwa keracunan berawal dari tempe mondol (tempe yang gagal), tetapi
tetap dikonsumsi karena merasa sayang kalau dibuang.
Sejak diberlakukan larangan, hampir tidak pernah terjadi peristiwa keracunan tempe
bongkrek. Hanya tahun 2003 terjadi keracunan di Desa Sirau dan Kramat, Kecamatan
Karangmoncol Purbalingga. Lima nyawa melayang dalam kasus itu.