2. Melisankan niat
Niat adalah ruh dari setiap tindakan. Baik dan buruknya tindakan tergantung
pada niat. Rasulullah SAW bersabda:
“Segala tindakan semata-mata berdasar niatnya. Dan bagi setiap seorang apa
yang dia niatkan.”
Demikian juga dalam ibadah shalat. Niat merupakan Rukun yang pertama. Dan
oleh karena niat terletak dalam hati, maka disunnatkan melisankan
(mengucapkan secara lisan) niat tersebut demi menuntun hati, menghindarkan
rasa was-was dan demi mengakomodasi pendapat ulama yang mewajibkan
melisankannya.[2]
Rasulullah SAW dalam beberapa kesempatan juga melisankan niat.
Diriwayatkan dari Anas bahwa dia mendengar Rasulullah membaca:
“Aku penuhi panggilan-Mu, melaksanakan umrah dan haji”
Hadits di atas memang berkenaan dengan ibadah haji. Tetapi tentu saja dapat
diqiaskan pada ibadah-ibadah lain, seperti berwudlu, shalat, puasa, zakat dan
lain sebagainya. Karena itu membaca ….. hukumnya sunnat. Dan oleh
karena hanya sunnat, maka bagi yang tidak membacanya niat tetap sah
asalkan hati telah membersitkannya.
3. BACAAN IFTITAH
-
“Ya Allah, jauhkan antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau
menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dan kesalahan-
kesalahanku, sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku
dari kesalahan-kesa-lahanku dengan salju, air dan air es”.[1]
Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha
Tinggi kekayaan dan kebe-saranMu, tiada Ilah yang berhak disem-bah selain
Engkau.[2]
[1] HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419.
[2] HR. Empat penyusun kitab Sunan, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 1/77 dan Shahih Ibnu Majah 1/135.
4. -
-. “Akumenghadap kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi, dengan me-megang agama yang lurus dan aku tidak
tergolong orang-orang yang mus-yrik. Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku adalah untuk Allah.
Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena itu, aku diperintah dan aku termasuk orang-orang
muslim.
Ya Allah, Engkau adalah Raja, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku ada-
lah hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku (yang telah kula-kukan). Oleh karena itu ampunilah
selu-ruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang mengampuni dosa-dosa, ke-cuali Engkau. Tunjukkan aku pada
akhlak yang terbaik, tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang jahat, tidak
akan ada yang bisa menjauhkan aku daripada-nya, kecuali Engkau. Aku penuhi pang-gilanMu dengan kegembiraan,
seluruh kebaikan di kedua tanganMu, kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan pertolongan dan
rahmatMu, dan kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku minta ampun dan bertaubat
kepadaMu”.[1]
-
. “Ya Allah,
Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang
ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuh-kan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang kristen dan
yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang diper-tentangkan dengan seizin dariMu. Se-
sungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Eng-kau kehendaki”.[2]
[1] HR. Muslim 1/534
[2] HR. Muslim 1/534.
5. -
“AllahMaha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak,
segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci
Allah di waktu pagi dan sore”. (Diucap-kan tiga kali). “Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan
setan”.[1]
-
n
32. Apabila Nabi n shalat Tahajud di waktu malam, beliau membaca: “Ya, Allah! BagiMu segala puji, Engkau ca-
haya langit dan bumi serta seisinya. Ba-giMu segala puji, Engkau yang meng-urusi langit dan bumi serta seisinya.
BagiMu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji dan bagi-
Mu kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. BagiMu segala puji, Engkau benar, janjiMu benar, firmanMu benar,
bertemu denganMu benar, Surga adalah benar (ada), Neraka adalah benar (ada), (ter-utusnya) para nabi adalah
benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dariMu), kejadian hari Kiamat adalah benar. Ya Allah, kepadaMu
aku menye-rah, kepadaMu aku bertawakal, kepada-Mu aku beriman, kepadaMu aku kemba-li (bertaubat), dengan
pertolonganMu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepadaMu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan
hukum. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lewat dan yang akan datang. Engkaulah yang
mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku,
tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”.[ 2]
[1] HR. Abu Dawud 1/203, Ibnu Majah 1/265 dan Ahmad 4/85. Muslim juga meriwayatkan hadits senada dari Ibnu Umar, dan di dalamnya terdapat kisah 1/420.
[2] HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 3/3, 11/116, 13/371, 423, 465 dan Muslim meriwayatkannya dengan ringkas 1/532.
13. Kesahihan Dalil Basmalah
• Al-Imam Abu Syamah al-Maqdisi berkata:
“Ketahuilah bahwa hadits-hadits yang
menerangkan mengeraskan bacaan basmalah
dalam shalat banyak sekali, riwayatnya
mencapai 21 orang sahabat Nabi Mereka
.
meriwayatkannya dari Nabi sebagian dapat
,
difahami dari redaksi periwayatannya. Tidak ada
riwayat dari Nabi yang menegaskan membaca
basmalah dengan pelan, kecuali dua riwayat.
Pertama, riwayat dha’if dari Ibn Mughaffal, dan
kedua riwayat dari Anas yang mengandung illat
dan tidak dapat dijadikan hujjah.
15. Kesahihan Dalil Basmalah
• Adapun hadits-hadits yang menerangkan
mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat,
maka hujjah dari hadits-hadits tersebut
menjadi keharusan karena kesahihannya,
yaitu hadits yang diriwayatkan dari enam
orang sahabat, yaitu Abu Hurarirah, Ummu
Salamah, Ibn Abbas, Anas, Ali bin Abi Thalib
dan Samurah bin Jundub
18. ORANG PERTAMA YANG MEMBACA BASMALAH
DENGAN PELAN
• Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: “Amr bin Sa’id bin
al-’Ash, penguasa dari Bani Umayah, yang
dijuluki Lathim al-Syaithan (yang ditempeleng
syetan), adalah orang pertama yang membaca
basmalah dengan pelan, karena bermaksud
menyelisihi sahabat Abdullah bin al-Zubair
yang membaca keras. Hal ini diriwayat-kan
oleh al-Syafi’i dan lainnya dengan sanad yang
shahih”.
20. Qunut
“Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik Beliau berkata, “Rasulullah
.
senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat.”
(Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III, hal. 162 [12679], Sunan al-Daraquthni,
juz II, hal. 39 [9]).
Sanad hadits ini shahih sehingga dapat dijadikan pedoman. Imam Nawawi di
dalam kitab al-Majmu’ menegaskan:
“Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh banyak ahli hadits dan
mereka kemudian menyatakan kesahihannya. Di antara orang yang
menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-
Balkhi serta al-Hakim Abu Abdillah di dalam beberapa tempat di dalam kitab
al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari berbagai jalur sanad
yang shahih.” (Al-Majmu’, juz III, hal. 504).
21. QUNUT SHUBUH
• Dan dari Al Awwam bin Hamzah:
•
• “Aku bertanya pada Abu Utsman tentang
masalah qunut dalam shalat Shubuh. Dia
menjawab, “Setelah ruku’”. Aku bertanya lgi,
“Dari siapa?” Dia menjawab, “Dari Abu BAkar,
Umar dan Utsman”.
22. Doa Qunut
Doa qunut ada tiga macam
Pertama, doa Qunut Nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada
rakaat terakhir shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak
disunatkan bersujud sahwi). Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa
(mushibah) yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung dan lainnya
Qunut Nazilah ini mencontoh Rasulullah SAW Yang memanjatkan doa Qunut
Nazilah selama satu bulan atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat
Nabi SAW yang hafal al Qur’an) di sumur Ma’unah. Juga diriwayatkan dari
Abi Hurairah ra. bahwa “Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk
kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa
qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori dan Ahmad).
23. Kedua, qunut shalat witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah)
qunut witir dilakukan dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat
sunnah. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir
dilakukan setelah ruku’. Menurut Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir
dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan
Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak
disunnahkan.
Ketiga, doa qunut pada raka’at kedua shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak
disunnahkan karena hadits Nabi SAW bahwa ia pernah melakukan doa qunut
pada saat shalat Fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’
sebagaiman diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut
selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih
hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya.” (HR. Muslim)
24. Mengacungkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahhud
Ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa ketika duduk membaca
Tasyahhud dalam shalat, sunnat hukumnya meletakkan kedua telapak tangan
di atas kedua paha serta menggenggam seluruh jari tangan kanan kecuali jari
telunjuk. Mereka juga berpendapat sunnat hukumnya mengangkat jari
telunjuk tersebut dengan tanpa mengerak-gerakkannya ketika sampai pada
bacaan . Praktek tersebut adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits
yang diriwayatkan dari Ali bin Abdurrahman Al Mu’awiy yang mengatakan:
“Rasulullah SAW ketika duduk dalam shalat, meletakkan telapak tangan
kanan di atas paha kanan, menggenggam semua jari-jari dan member
isyarat dengan jari telunjuk yang di sebelah jempol serta meletakkan telapak
tangan kanan di atas paha kanan”
Sedangkan hikmah di balik praktek demikian ini adalah sebagai symbol
penegasan dalam mengesakan Allah SWT. [2]
25. TAMBAHAN KALIMAT SAYYIDINA
Menyertakan kalimat “SAYYIDINA” dalam sighat shalawat atas Nabi ketika shalat tidak
membatalkan shalat bahkan sebaliknya mayoritas ulama seperti Ibn Dhahirah, Ibn Hajar,
al-Kurdi, az-Zayadi, al-Halibiy dan lainnya menyatakan bahwa menyertakannya dalam
sighat shalawat lebih utama daripada meniadakannya. Adapun hadits Rasulullah SAW
dalam tataca…ra bershalawat berikut :
Dari Abi Sa’id alkhudri berkata :” kami berkata kepada Rasulullah :” wahai Rasulullah, ini
adalah salam untukmu, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu ?”, maka
Rasulullah berkata :” ucapkanlah :
Jika kita melihat hadits di atas, kita ketahui bahwa Rasulullah memerintahkan bacaan
shalawat dengan tanpa menyertakan kalimat “SAYYIDINA”. Hal ini akan memberikan
kesan bahwa para ulama’ yang berpendapat lebih utama bershalawat dengan
menyertakan kalimat “SAYYIDINA” itu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah SAW. Mereka berpendapat demikian mendasarkan pada “sulukul adab
khoirun min imtitsalil amri” (adab kepada Rasulullah (dengan memanggil yang lebih
mulia) adalah lebih utama daripada melaksanakan perintah beliau).
26. sebagian ulama’ lainnya seperti alhabib Abdullah bin
Alawi Al-Haddad mendasarkan pada “imtitsalul amri
khoirun min sulukil adab” (melaksanakan perintah
Rasulullah lebih utama daripada memperhatikan adab),
sehingga mereka menyatakan bershalawat dengan tanpa
menyertakan kalimat “SAYYIDINA” itu lebih utama
daripada dengan menyertakannya.
Dan Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan
Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, ia berkata : “Pada prinsipnya
pembacaan shalawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah
dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan
perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunnah).
27. Adapun riwayat hadits yang dijadikan hujjah larangan mengucapkan
kalimat “SAYYID” kepada Rasulullah oleh sebagian golongan adalah tidak
benar dan batil. Hadits yang mereka maksudkan adalah :
}
janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku”
Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa
termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Nabi
sebagai paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini
dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ – yang
seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka
dengan redaksi “ dan bukanlah dengan “ Oleh
karena itu, pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan
memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.
28. Dan sahabat Ibnu Mas’ud mengemukakan sebuah hadits yang bunyinya :
“Perbaguslah shalawat kepada Nabimu.”
Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar sepakat, bahwa penambahan lafaz “sayyidina”
dalam shalawat atas Nabi SAW, baik dalam shalat maupun di luar shalat, hukumnya
sunnah.
Dan ketika Imam Suyuthi ditanya orang tentang hadits yang artinya : “Janganlah
kamu men-sayyid-kanaku dalam shalat !”, beliau menjawab : “Sebenarnya
Rasulullah tidak menambahkan kata ‘sayyidina’ ketika mengajarkan shalawat
kepada para sahabatnya, disebabkan oleh ketidaksukaan beliau pada kemegahan.
Karena itulah dalam salah satu hadits, beliau mengatakan : ‘Aku adalah sayyid
(penghulu) manusia, dan tidak angkuh.’
“Tetapi kita, sebagai ummatnya, wajib menghormati dan mengagungkan beliau. Hal
itu telah diajarkan Allah kepada kita dalam firman-Nya, yang melarang kita
menyebut Rasulullah SAW dengan nama saja, yakni :
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian
kamu kepada sebagian (yang lain).” (Q.S. An-Nuur: 63)
29. Mengusap Wajah Seusai Shalat
Setiap kali usai berdo’a Rasulullah SAW mengusap wajah. Dalam hadits yang
diriwayatkan dari As Sa’ib bin Yazid dari ayahnya disebutkan:
“Bahwa ketika berdoa Rasulllah SAW mengangka kedua tangan dan mengusap wajah
dengan kedua tangan”
Demikian juga bagi orang yang telah usai melaksanakan shalat disunnatkan mengusap
wajahnya dengan kedua tangan, sebab secara bahasa kata shalat mempunyai arti berdo’a
karena memuat do’a-do’a. Maka orang yang melaksanakan shalat otomatis memanjatkan
do’a. Dan oleh karena itu disunnatkan baginya mengusap wajah setiap kali usai
melaksanakan shalat.
Praktek demikian juga didukung oleh hadits yang diriwayatkan dari Anas dalam Kitab
Ibnu As Sunniy:
Ketika selesaishalat Rasulullah SAW mengusap kening beliau dengan tangan kanan,
keudian membaca: Asyhadu An Lailaha illa Allah Ar Rahman Ar Rahim, Allahumma
Adzhib „Anni Al Hamm wa Al Hazan”
30.
“Dari Abi Juhaifah ia berkata, “Pada sebuah perjalanan, Rasulullah
melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar dua rakaat, sedangkan di
depannya terdapat tongkat dan ada seorang perempuan yang
berjalan di belakangnya. (setelah shalat) orang-orang berdiri
memegang tangan Rasulullah dan menyentuhkannya ke wajah
mereka. Akupun berdiri dan memegang tangan beliau dan
menyentuhkannya ke wajahku. Maka aku merasakan tangan beliau
lebih sejuk dari salju dan lebih harum dibandingkan minyak misik.”
31. Bersalaman setelah shalat
“Dianjurkan berjabat tangan dan hukumnya sunnah
untuk dilakukan setiap selesai shalat dan tiap kali
bertemu” (Hasyiyah al-Thahawi ‘Ala Maraaqi al-Falah, juz
1, hal 345)