Dokumen ini membahas beberapa konsep linguistik seperti hiponimi dan hipernimi, polisemi, ambiguitas, dan redundansi. Hiponimi dan hipernimi menjelaskan hubungan antara kata yang lebih spesifik dengan kata yang lebih umum. Polisemi mengacu pada satuan bahasa yang memiliki lebih dari satu makna. Ambiguitas terjadi ketika satuan gramatikal memiliki dua arti karena penafsiran struktur yang berbeda. Redundansi adal
1. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa
Yunani kono, yaitu onoma berarti
‘Nama’dan hypo ‘dibawah’. Secara
harfiah berarti ‘Nama yang termasuk
dibawah nama lain’.
2. Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap
ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk
dalam makna kata ikan. Kalau diskemakan
menjadi:
IKAN
tongkol
Bandeng
Tenggiri
Teri
Mujair
Cakalang
3. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol
(Atau jenis ikan lainnya) disebut hipernimi.
Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap
ikan, maka ikan berhipernim terhadap tongkol.
Perhatikan bagan sebagai berikut:
Tongkol Ikan
Hiponim
Hipernim
4. Contoh lain, kata bemo dan kendaraan.
Kata bemo berhiponim terhadap kata
kendaraan, sebab bemo adalah salah satu
jenis kendaraan.
Konsep hiponimi dan hipernimi
mengandaikan adanya kelas bawahan
dan kelas atasan, adanya makna sebuah
kata yang berada di bawah makna kata
lainnya.
5. Kalau diskemakan seluruhnya akan menjadi:
Makhluk
Manusia Binatang
Ikan Kambing Monyet Gajah
Tongkol
Bandeng
Cakalang
Mujair
6. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa
(terutama kata,bisa juga frase) yang memiliki
makna lebih dari satu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dalam bahasa indonesia kata
kepala setidaknya mengacu kepada enam buah
konsep/makna:
Kepala
Makna 1
Makna 2
Makna 3
Makna 4
Makna 5
Makna 6
7. Umpamanya makna leksikal kata kepala di
atas adalah ‘bagian tubuh manusia atau
hewan dari leher ke atas’.
Kata kepala di atas, antara lain, memiliki
komponen makna :
1. Terletak disebelah atas atau depan
2. Merupakan bagian yang penting (tanpa kepala
manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau
lengan masih bisa hidup)
3. Berbentu bulat
8. Dalam perkembangan selanjutnya komponen-
komponen makna ini berkembang menjadi
makna-makna tersendiri.
Kita ambil contoh lain, kata kaki yang
memiliki komponen makna, antara lain:
1. Anggota tubuh manusia (juga binatang)
2. Terletak di sebelah bawah
3. Berfungsi sebagai penopang untuk
berdiri
9. Kalau kita perhatikan kata kepala dan kata kaki
dengan segala macam maknanya itu maka kita dapat
menyatakan bahwa makna-makna yang banyak dari
sebuah kata yang polisemi. Kata kepala yang berarti ‘
pemimpin’ atau ‘ketua baru muncul dalam penuturan
karena kehadirannya dalam prase seperti prase kepala
sekolah, kepala gerombolan, dan kepala rombongan.
Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari
makna leksikalnya karena adanya referen tertentu dari kata
tersebut.
Satu persoalan lagi dengan polisemi ini adalah
bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-
bentuk yang disebut homonimi. Perbedaan yang jelas ialah
homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata
atau lebih yang kebetulan bentuknya sama.
10. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai
kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini
tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab kita dapat
dibedakan dengan polisemi. Sedangkan kegandaan makna
dalam Ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih
besar, yaitu prase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat
penapsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Pembicara mengenai ambiguitas ini tampaknya sama
dengan pembicara mengenai homonimi. Contoh kalimat
istri lurah yang baru itu cantik pada pembicara tentang
homonimi, juga dapat menjadi contoh dalam pembicara
ambiguitas
11. Redundansi
Istilah redundansi diartikan sebagai ‘berlebih-
lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu
bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat bola di tendang si
Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan
bola di tendang oleh si udin pemakaian kata oleh pada
kalimat kedua di anggap sebagai sesuatu yang
redundansi, yang berlebih-lebih, dan yang sebenarnya
tidak perlu.
Secara semantik masalah redundansi sebetulnya
tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik
adalah bila bentuk berbeda maka maknapun akan
berbeda.