SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 19
Downloaden Sie, um offline zu lesen
EPISTEMOLOGI ILMU KALAM




                   Makalah
      Disampaikan pada Seminar Kelas untuk
           Mata Kuliah Filsafat Ilmu
                   Bersama
            Mohammad Muslih, MA




                     Oleh :

                Anwar Ma’rufi
                NIM: 31.21.028




       PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT STUDI ISLAM DARUSSALAM (ISID)
       PONDOK MODERN GONTOR
                  2011
EPISTEMOLOGI ILMU KALAM



A. Pendahuluan
         Dalam Dirasat Islamiyah, ilmu kalam merupakan kajian yang pokok
   dan sentral. Karena begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat
   Islamiyah mampu mewarnai bahkan dalam taraf tertentu ‘mendominasi’
   corak muatan materi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, tafsir,
   filsafah Islam dan lain sebagainya. Meski disiplin ini banyak menuai kritik
   dari ulama klasik, namun ia masih tetap kokoh dan eksis sampai sekarang.
   Bahkan terlihat lebih kokoh dari sebelumnya.
         Karenanya menarik untuk dibahas dari sisi bangunan epistemologinya.1
   Melihat ilmu kalam dari sisi epistemologi, secara umum akan ditemukan tiga
   persoalan pokok, yaitu (1) apa sumber-sumber ilmu kalam itu? (2) bagaimana
   pengetahuan itu dapat diketahui? (3) dan apa ukurannya bahwa pengetahuan
   itu disebut benar (valid)? Tiga pertanyaan ini yang akan memandu uraian dan
   ulasan penulis berikut ini. Namun, sebelum membahas lebih jauh akan
   penulis ulas tentang definisi ilmu kalam terlebih dahulu.


B. Definisi Ilmu Kalam

         Ilmu kalam bisa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu
   ushuluddin, ilmu tauhid, ilmu akidah, atau fiqh al-Akbar. Disebut ilmu
   ushuludin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama semisal iman
   kepada Allah swt, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, iman kepada wahyu Allah
   yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, iman kepada hari kebangkitan dll.
   Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah. Dinamakan




         1
            Epistemologi adalah suatu cabangn filsafat yang bersangkut paut dengan teori
   pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunanu, yang terdiri dari dua kata,
   yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). lihat, Jan
   Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 37
ilmu akidah karena ia banyak membahas tentang ilmu-ilmu akidah agama
Islam atau membahas hukum-hukum akidah yang berkaitan dengan iman.2
      Fiqh al-Akbar sendiri adalah istilah khusus yang dikemukakan oleh
Imam Abu Hanifah, menurutnya hukum Islam yang dikenal dengan istilah
fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama fiqh al-akbar yang membahas
keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar,
membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-
pokok agama melainkan cabang (furu’) saja.3
      Banyak kalangan orientalis yang menyamakan ilmu kalam dengan
istilah teologi. Seperti William L. Resse yang mendefinisikan dengan
“discourse or reason concerning God” (diskursus atau pemikiran tentang
Tuhan). Namun, sebenarnya penyamaan ini juga tidak terlalu tepat.
Alasannya karena istilah teologi berarti hanya diskursus mengenai Tuhan
saja. Sesuai dengan asal katanya, ia berasal dari bahasa Yunani kuno ‘theos’
(dewa, Tuhan) dan ‘logos’ (wacana, perbincangan). Sedangkan dalam
literature Islam, ilmu kalam tidak sesederhana sebagaimana definisi
orientalis. Ia mencakup prinsip-prinsip keimanan dan pokok-pokok ajaran
agama berdasarkan dalil-dalil naqli (wahyu) maupun ‘aqli (rasio logika).4
      Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang
mengandung berbagai argumentasi tentang iman yang diperkuat dengan dalil-
dalil rasional.5 Sementara menurut al-Iji ilmu kalam adalah ilmu yang mampu
mengukuhkan akidah Islam dengan memaparkan argumentasi-argumentasi
dan menyanggah atas beberapa kekeliruan dan keraguan. Dan menurut al-
Farabi, ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah
beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan



          ,        ‫ها‬      ‫و‬          ‫ا ذاھب ا‬   ‫, م ا م: ر‬    ‫زر‬         ‫2أ ل‬
                                                 ٢ .‫دار ا م, ٦٠٠٢(, ص‬       :‫) و ورو و‬
      3
        Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, tt), hal. 13
      4
        Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam: Sketsa Awal, dalam Islamia,
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. 3, Desember 2005, hal. 11-12
              :‫، )ا ھرة‬   ‫: د ل ودر‬         ‫ا‬      ‫د ا ح ا ر ، ا رق ا‬     5


                                                                    .‫وھ , ۵٩٩١(، ص‬
masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan ajaran Islam,
  dan tujuan akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis.6
        Ilmu kalam baru menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri setelah
  tokoh-tokoh     Mu’tazilah    mempelajari        buku-buku    filsafat   yang     telah
  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya disinergikan dengan
  nalar keislaman. Momen ini terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun (w. 218
  H.). 7 Tahap penamaan Kalam sebagai ilmu dapat juga dirujuk dari fakta
  sejarah ketika Ibnu Sa’ad (288 H./845 M.) menggunakan istilah mutakallimun
  untuk mereka yang terlibat dalam diskusi pelaku dosa besar yang diangkat
  oleh kaum Murjiah. Namun, istilah kalam yang merujuk kepada disiplin ilmu
  pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke-4 Hijriyah, di dalam karya
  Ibnu Nadim, Kitab Fihrits. 8 Sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri,
  ilmu kalam masih dalam rumpun kajian fiqih. Imam Abu Hanifah
  menamainya dengan fiqh al-Akbar.


C. Sumber Pengetahuan Ilmu Kalam

        Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada wahyu (al-
  Qur’an dan Hadits) sebagai sumber pokok, baik secara langsung maupun
  tidak langsung. Secara langsung artinya memahami wahyu sebagai
  pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran;
  secara tidak langsung berarti memahami wahyu sebagai pengetahuan mentah
  sehingga perlu tafsir dan penalaran dengan merujuk kepada ayat-ayat yang
  lain.9 Untuk kasus pertama sering diistilahkan dengan muhkam sedang yang
  kedua dinamakan dengan mutasyabih. Contoh untuk yang muhkam adalah
  ayat-ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.


    ،(١٩٩١ ، ‫وھ‬        :‫م، )ا ھرة‬    ‫ما‬      ‫درا‬   ‫،ا د لإ‬       ‫ود ا‬      ‫ن‬    6

                                                                               ١٨-١٧ .‫ص‬
        7
          Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: Refleksi Mengais
  Keheningan Tauhid, (Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2008), hal. 164
        8
          Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam
  ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005, hal. 20
        9
          A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku
  Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 233
Sementara untuk yang mutasyabih contohnya adalah ayat-ayat tentang Asma’
Allah dan sifat-sifatnya. 10 Kenyataan adanya ayat muhkam dan mutasyabih
ini memberikan pengertian bahwa meski al-Qur’an sebagai sumber utama,
tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti.11
      Secara hirarkis, al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama dari semua
argumentasi dan dalil. Al-Qur’an adalah dalil yang membuktikan kebenaran
risalah Nabi Muhammad saw dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya
suatu ajaran. Sedangkan Hadits menempati urutan kedua. Namun tidak semua
Hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah.12 Semua aliran kalam
sepakat untuk mengamalkan Hadits mutawatir.13 Namun, mereka berselisih
pendapat dalam mengamalkan Hadits ahad. 14 Alasan yang menolak Hadits
ahad sebagai rujukan akidah, sebab akidah adalah berkenaan dengan
keyakinan; dan apa yang berhubungan dengan keyakinan haruslah dalil yang
bersetatus qath’i. Jadi menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan
akidah haruslah berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan atau Hadits mutawatir.15
Mereka itu adalah ulama dari kalangan Mu’tazilah.16
      Sementara ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membedakan antara
masalah akidah dengan masalah lainnya. Setiap Hadits shahih yang datang
dari Nabi saw mereka terima dan pakai, serta mereka mengharamkan untuk
menyalahinya. Menurut Imam Ibnul Qayyim, walaupun Hadits ahad tidak


      10
           Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, alih bahasa: Mudzakir AS,
(Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009), hal. 306
       11
           A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 234
       12
           Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-
Jama’ah?: Jawaban terhadap Aliran Salafi, (Surabaya: Khalista, 2009), hal. 183-184
       13
           Hadits mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
sehingga tidak mungkin seluruhnya sepakat untuk berdusta. Sedangkan Hadits ahad adalah
Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya tidak mencapai derajat
mutawatir. Lihat Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits,
(Jakarta: Hikmah, 2009), hal. 35
       14
             Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i
Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam
Syafi’i, tt), hal. 140
       15
           M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 95
       16
           Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah wal Jama’ah: Keimanan, Sifat, dan
Kualitasnya, alih bahasa: Ummu Fauzi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 103
menunjukan kepada ilmu yakin, namun ia menunjukan kepada zhann ghalib
(dugaan kuat) sehingga boleh bagi kita untuk menetapkan asma dan sifat-sifat
Allah dengannya.17
      Seluruh aliran kalam, baik yang mempunyai corak rasional dan semi
liberal maupun yang bercorak hadisi (tradisional) menggunakan akal sebagai
sarana menyelesaikan persoalan kalam.18 Selanjutnya perbedaan yang muncul
adalah sejauh manakah posisi akal diperhatikan sebagai sumber pengetahuan
untuk merumuskan akidah Islam. 19 Perbedaan ini, pada akhirnya memberi
corak dan warna yang berbeda dan perbedaan itu semakin kokoh dalam
bentuk aliran-aliran kalam. Mazhab kalam yang mengedepankan akal atau
rasional dalam menjelaskan berbagai persoalan akidah Islam banyak
menggunakan pendekatan filsafat meski tidak serta merta mengabaikan
wahyu. Menurutnya akal memiliki kedudukan tinggi bagi manusia. Karena
tingginya kedudukan akal itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mampu
mengenal Tuhan, mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, memilih perbuatan
baik dan buruk, dan mengakui wajibnya berbuat baik dan menjauhi yang
jahat.20 Kelompok ini diwakili oleh ulama Mu’tazilah.
      Di lain pihak, terdapat golongan yang menentang kaum rasionalis
Mu’tazilah. Kelompok ini ada yang menamainya dengan ulama tradisionalis
atau ulama salaf shalih. Menurut mereka akal hanya mampu mengenal bukti
keberadaan Tuhan. Adapun kewajiban mengenal Tuhan, memilah baik dan
buruk, dan mengetahui wajibnya berbuat baik dan menjauhi larangan hanya
dapat diketahui berdasarkan wahyu. 21 Terkait dengan persoalan akidah,
mereka (khususnya kelompok Asy’ari dan salaf) lebih mengutamakan teks al-

      17
             Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i
Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam
Syafi’i, tt), hal. 141
       18
           Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
(Jakarta: Erlangga, tt), hal. 12
       19
           A. Qadri Abdillah Azizy, Dimensi Praktis Ilmu Ushuluddin: Sebuah Alternatif
Pengembangan Ilmu Ushuluddin, dalam Buku Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipasif
terhada Hedonisme dan Kehidupan Modern, (Tiga Serangkai), hal. 59
       20
           Afrizal M., Ulama dan Cendekiawan Muslim Ibnu Rusyd: Tujuh Perdebatan
Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 3-4
       21
           Afrizal M., Ulama…, hal. 5
Qur’an dan Sunnah (naql) daripada akal (‘aql). Maksudnya akal harus tunduk
   kepada ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka menyebut
   dirinya sebagai kelmpok ahlusunnah wal jama’ah.22
         Abu Manshur al-Maturidi, yang juga termasuk pembela ahlu sunnah,
   nampaknya menangkap kekurangan Imam Asy’ari dan Imam Ahmad bin
   Hanbal yang terlalu tekstual. Imam al-Maturidi lebih mengacu pada
   pendekatan yang moderat antara penafsiran rasional model Mu’tazilah dan
   penafsiran harfiah model salaf (Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah)
   dan Imam Asy’ari. Bagaimanapun juga, sambil tetap berpegang teguh dengan
   wahyu, menurut Imam Maturidi, dengan anugrah akal yang khas itu, manusia
   mampu menangkap mana yang baik dan mana yang buruk.23
         Dari paparan di atas mengenai posisi akal, dapat dipahami bahwa Imam
   al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah dalam hal baik dan buruk dapat
   ditemukan oleh akal berdasarkan implikasi bahaya atau manfaat yang
   ditimbulkan. Dan di sisi lain terjadi silang pendapat dalam menetapkan akal
   sebagai sumber pengetahuan, serta ketidakharusan bagi syariat bersesuaian
   dengan penilaian akal. Di lain pihak, Imam Maturidi sepakat dengan Imam
   Asy’ari    tentang sumber penngetahuan            al-Qur’an     dan   Hadits.    Dan
   bertentangan perihal ketentuan baik dan buruk dengan Imam Asy’ari.

D. Hakikat Ilmu dan Metodologi Pencapaian Ilmu

         Sebagaimana yang dilaporkan oleh Saiful Anwar dalam sebuah
   desertasinya, terdapat perbedaan persepsi di kalangan ulama ahli kalam
   mengenai definisi ilmu. Menurut Qadli ‘Abd al-Jabbar (325-415 H.), ulama
   Mu’tazilah, ilmu adalah “Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan
   dada, dan ketentraman hati.” Menurut defines Badzawi (427-493 H.), ulama
   kalangan Maturidiyah: “Ilmu adalah menangkap objek ilmu sesuai
   kenyataannya.” Sedang menurut Juwaini (419-478 H.) dan Baqilani (338-403


         22
            Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, alih bahasa:
   Agus Efendi, (Jakarta: Mizan, 2009), hal. 19
         23
            Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
   dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Erlangga, 2006), hal. 324
H.) keduanya dari kalangan ulama Asy’ariyah: “Ilmu adalah mengetahi objek
ilmu sesuai realitasnya.” Lebih lengkapnya seperti yang didefiniskan oleh
Imam al-Ghazali (Ulama dari kalangan Asy’ariyah): “Maka ilmu adalah
rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan
kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada
akal.”24
      Meski terdapat perbedaan persepsi mengenai ilmu, tapi pada dasarnya
semua ilmu itu datangnya dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa melalui sarana-
sarana yang dianugrahkan oleh-Nya. Maka definisi yang tepat untuk hakikat
ilmu dengan Allah sebagai sumbernya, ialah tibanya (husul) makna (ma’na)
sesuatu benda atau objek ilmu ke dalam jiwa. Dengan memandang jiwa
sebagai penafsir, maka ilmu adalah tibanya (wusul) diri (jiwa) kepada makna
sesuatu hal atau objek ilmu.25
      Secara prinsipil, pembagian ilmu menurut para mutakalimin tidak
berbeda satu sama lain. Sebagian besar, mereka membagi ilmu pengetahuan
menjadi dua yakin ilmu Allah yang qadim dan ilmu manusia yang hadits
(baharu). Dan ilmu hadits (baharu) ini dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yang
bersifat dharuri dan ilmu yang bersifat nadzari (penalaran). Hanya
Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya ilmu Allah yang qadim, sesuai
dengan prinsip mereka yang tidak mengakui adanya sifat bagi Allah.26
      Ilmu dharuri adalah ilmu yang cara perolehannya tidak perlu untuk
dipikirkan secara mendalam seperti satu itu adalah setengah dari dua.
Sedangkan ilmu nadzari adalah jenis ilmu yang cara perolehannya
memerlukan pikiran dan penalaran yang sungguh-sungguh seperti air itu
terdiri dari dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen.27


      24
          Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 90 dan 103
       25
          Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future, (New York: 950 University Avenue, 1985), hal. 177
       26
          Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
(Jakarta: Erlangga, tt), hal. 47
       27
          Kamarul Shukri Mohd The, Pengantar Ilmu Tauhid, (Kuala Lumpur: Utusan
Publication dan Distributors Sdn Bhd, 2008), hal. 132
Perbedaan posisi akal sebagai sumber ilmu merupakan faktor kesulitasn
tersendiri untuk mengungkap metode pencapaian ilmu. Bagi pendukung akal
(Mu’tazilah), mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini
mereka pergunakan untuk menghukumi berbagai hal dan berjalan begitu jauh.
Mereka berpendapat bahwa alam alam punya hukum kokoh yang tunduk
kepada akal. Mereka tidak mengingkari naql (teks al-Qur’an dan Hadits),
tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal (taqdim
al-‘aql ‘ala naql). Untuk itu mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat,
menolak Hadits-hadits yang tidak diakui oleh akal. Secara umum, mereka
menghindari Hadits ahad.28
     Berbeda dengan rivalnya, Mazhab Asy’ariyah bertumpu pada al-Qur’an
dan Hadits. Mereka amat teguh memegangi al-Ma’tsur. Di dalam kitab al-
Ibanah sebagaimana yang dikutip oleh Ibrahim Madkour, al-Asy’ari berkata:
        “Pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi
     adalah sikap berpegang teguh kepada Kitab Allah, Sunnah Nabi SAW
     dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan Imam-imam
     Hadits. Kami mendukung semua itu, kami mendukung pendapat
     Ahmad bin Hanbal, mengangkat drajatnya dan meneguhkan
     kedudukannya. Sebaliknya kami menjauhi orang-orang yang menyalahi
     pendapatnya.”29
     Kaum Asy’ariyah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian
rasional. Pada prinsipnya, mereka tidak memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada akal seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, sehingga mereka
tidak memenangkan dan menempatkan akal di atas naql. Bahkan sebaliknya
mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal
mereka anggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling
membutuhkan. Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana
mata yang sehat. Akal digunakan untuk meneguhkan naql dan membela
agama.30 Demikian juga ulama kalangan Maturidiyah.


     28
        Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 48
     29
        Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 66
     30
        Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 67-68
Meskipun mereka berbeda pendapat dalam memposisikan akal, namun
sebagian besar dari ulama tradisional juga menggunakan logika atau mantiq
sebagaimana ulama Mu’tazilah, yang menurut perkembangannya merupakan
adopsi dari filsafat Yunani, khususnya logika Aristoteles.31 Bedanya, dalam
mengeksploralis ilmu logika Mu’tazilah lebih berani menundukkan naql di
atas akal. Karenanya mereka banyak melakukan pendekatan ta’wil atau
interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sebaliknya, kalangan
Asy’ariyah, maturidiyah atau Hanabilah lebih banyak menggunakan logika
yang berpegang pada makna teks atau rasional-deduktif.
      Perbedaan di atas, seperti yang dilaporkan oleh Abid al-Jabiri dan yang
dikutip oleh Mohammad Muslih adalah persoalan makna dan lafadz. Para ahli
pikir Mu’tazilah sepakat bahwa makna itu berdasar konteks. Sedangkan
kalangan Asy’ariyah berpendapat bahwa makna lafadz itu berdasarkan
tauqifi. Pandangan Asy’ariyah ini kemudian berkonsekuensi, bahwa makna
yang dimaksud dari teks itu perlu dijaga. Dari sinilah kemudian lahirlah ilmu
bahasa, khususnya nahwu yang menjaga dari kemungkinan terjadinya
penyimpangan makna. Adanya kenyataan bahwa syariah diturunkan dalam
Bahasa Arab, persoalan berikutnya adalah apakah makna ditentukan oleh
kebudayaan Arab atau menggunakan pendekatan lain. Dalam kasus ini
terdapat dua pendapat, pertama, karena al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa
Arab maka makna lafadz ditentukan oleh pengertian dan kebudayaan Arab;
kedua, membolehkan memaknai lafadz dengan ta’wil sebagaimana dipegangi
oleh Mu’tazilah.32
      Penggunaan logika Yunani atau mantiq yang sudah disinergikan dengan
nalar keislaman tidaklah berjalan mulus tanpa kecaman. Imam asy-Syafi’i,
peletak dasar mazhab Syafi’i, dikenal sebagai penentang logika Aristoteles


      31
          Perumusan logika aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan
secara epistemology bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai
pengetahuan tentang kenyataan semesta baik sepenuhnya atau tidak, serta mengungkap
sebuah kebenaran. Lihat Jim dan Zam, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Mantiq, makalah
tidak diterbitkan, hal. 13
       32
          Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigam dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 187-188
ini. Kritik Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang sering dikutip oleh para
   pengikutnya adalah ungkapan kebodohan dan diskusi kontroversial di antara
   mereka hanyalah disebabkan oleh karena mereka tidak mendalami Bahasa
   Arab dan karena kecenderungan mereka untuk memperlajari Bahasa
   Aristoteles. Imam asy-Syafi’i juga berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh
   menafsirkan teks-teks berbahasa Arab menurut bahasa orang-orang Yunani
   dan menurut logika Aristoteles yang memiliki sistem bahasa dan logika yang
   berbeda dengan sistem Bahasa Arab.33
         Suhrawardi (549-587 H.) 34 juga tercatat sebagai penentang logika
   Paripatetik atau Aristoteles. Bagi Suhrawardi problem yang mendasar di
   dalam logika Paripatetik adalah soal “validitas pengetahuan”, di mana
   pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah logika Paripatetik ini. Ciri
   paling menonjol dari model pengetahuan ini adalah kebenaran silogisme,
   proposisi, konsep, dan problem definisi. Makanya pengetahuan itu dapat
   dicari meski terkait “objek yang tidak dapat dicerap.” Bagi Suhrawardi,
   model pengetahuan rasionalitas seperti itu banyak terjadi kelemahan.35


E. Validitas Pengetahuan dalam Studi Ilmu Kalam

         Secara umum, dalam persoalan filsafat ilmu dikenal tiga teori klasik
   tentang kebenaran. Pertama, teori kebenaran korespondensi, maksudnya
   ialah kesesuaian atau kesepadanan antara pernyataan (ide) dengan kenyataan
   (realitas). Teori ini menekankan bahwa kebenaran ialah saling kesesuaian
   antara ide atau kepercayaan dengan realitas atau fakta, yakni dengan
   membandingkan atau menyamakan dengan realitas. Teori ini bersifat empiris,
   karena suatu ide dianggap benar jika ia cocok dengan realitas, bukan realitas



         33
               Mufti Ali, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah
   Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3 (September-Desember) 2007, hal.
   319-320
           34
              Nama lengkapnya adalah Syihab ad-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, lahir di
   Suhraward, Mediterania Kuno, Iran Barat Laut. Lihat Mohammad Muslih, Pengetahuan
   Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi, (Ponorogo: CIOS, 2010), hal. 12
           35
              Ibid., hal. 19
yang harus sesuai dengan ide.36 Teori ini juga telah lama diperkenalkan oleh
Ibnu Sina, menurutnya, suatu perkataan dianggap benar jika perkataan dan
keyakinan itu sesuai dengan kenyataannya.37
      Kedua, teori kebenaran koherensi. Pengetahuan yang memiliki
kebenaran koherensi adalah pengetahuan yang diperoleh dengan mengikuti
hukum-hukum logika, karenanya tidak terjadi tumpang tindih dan
inkonsistensi. Pengetahuan ini tidak terdapat pertentangan dalam dirinya
(contradiction in terminis), juga tidak bertentangan dengan pengetahuan
terdahulu. Pengetahuan ini menekankan pada ketepatan berpikir.38
      Yang     ketiga   adalah    teori   kebenaran        pragmatisme.     Teori   ini
dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatisme dari Amerika, seperti
Charles S. Peirce dan William James. Bagi mereka, kebenaran sama artinya
dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar
adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu
memungkinkan sesorang -berdasarkan ide itu- melakukan sesuatu secara
paling berhasil atau tepat guna. 39 Dengan kata lain pengetahuan dianggap
benar jika bernilai praktis.40
      Dari tiga macam teori klasik tentang kebenaran di atas, Ilmu Kalam
sering menggunakan teori kebenaran koherensi. Sebagian besar ulama ahli
kalam berpendapat bahwa akidah dan hukum akal harus meyakinkan dan
bersifat qath’i. Bagi kalangan rasionalis, dalam hukum akal tidak boleh ada
perberbedaan pendapat, nafi dan istbat, dengan kontradiksinya sekiranya
dipertentangkan dengan yang lainnya melalui dalil yang berbeda pada saat
ditetapkan. Jika tidak dilakukan demikian maka akan terjadi keseimbangan
antara kebenaran dan kesalahan, yang benar dan yang salah sama. Sementara

      36
         Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep-Konsep
Asas Filsafah, (Kuala Lumpur: Sanon Printing Corporation SDN BHD, 2005), hal. 66
             ٤٨ .‫ت، )ا ھرة: دون ط ، ٠٦٩١(، ص‬           ‫ا‬     :‫ء‬   ‫،ا‬      ‫73 إ ن‬
      38
          Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity
Press, 2008), hal. 9
       39
          A. Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 71
       40
          Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity
Press, 2008), hal. 10
masalah yang diperselisihkan tidak mungkin mengandung kebenaran dan
kesalahan secara bersamaan. 41 Seperti ucapan seseorang, “Ahmad ada di
dalam rumah pada jam tujuh pagi.” Kemudian ada orang lagi yang berkata,
“Ahmad tidak ada di dalam rumah pada jam tujuh pagi.” Kedua pernyataan
tersebut tidak mungkin benar semua.
      Kebenaran koherensi ini mengharuskan adanya konsistensi berpikir
logik. Teori koherensi ini menjadi alur yang cukup kuat dalam sistem berpikir
kaum Mu’tazilah. Seperti ‘Abd al-Jabar dengan penekanannya pada
konsistensi antara premis mayor (mujmal), premis minor (mufashshal), dan
konklusi (ta’amul). Ia memiliki system berpikir logika yang sangat ketat.
Contohnya: (a) Berbuat dzalim adalah jahat (premis mayor); (b) Perbuatan ini
adalah dzalim (premis minor); (c) Jadi perbuatan ini adalah jahat (konklusi).42
      Menurut teori ini kebenaran suatu proposisi hanya dapat diterima jika
sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.
Sebagai contoh, problematika kebebasan kehendak menurut aliran Mu’tazilah
berkaitan erat dengan prinsip keadilan Tuhan yang mereka kembangkan.
Mereka memandang bahwa keadilan Tuhan menjadi hilang jika seseorang
dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan,
atau ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. Keadilan Allah
menuntut bahwa manusia harus bebas berkehendak. Karena tanpa adanya
kebebasan ini, kenabian dan risalahnya tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi
syari’ah atau taklif bahkan untuk apa pengutusan para Rasul kepada orang
yang tidak mempunyai kebebasan dalam mengikuti dan mendengarkan
                    43
dakwah mereka.           Dan lain lagi dengan kalangan Asy’ariyah yang
menekankan kekuasaan mutlak Tuhan.




      41
         Asy-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah
Umat Manusia, alih bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal. 183
      42
         Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal.
70
      43
         Ibrahim Madkour, Alilran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi
Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 161-162
Jika demikian kebenaran hanya milik mujtahid.44 Karenanya, menurut
   Abu al-Hasan al-Anbari sebagaimana yang dikutip oleh asy-Syahrastani,
   beliau     menyatakan      setiap    mujtahid     yang     meneliti    masalah      akidah
   memperoleh pahala karena ia telah mengarahkan daya pikirnya terhadap apa
   yang ditelitinya, sekalipun hasil penelitiannya itu masih mengandung
   kemungkinan benar atau salah. Dari sisi ijtihad mereka memperoleh pahala
   dan semua ini berlaku untuk kalangan umat Islam.45
         Karena kebenaran diasumsikan milik mujtahid, maka para ulama
   memberikan syarat-syarat yang ketat bagi seorang mujtahid. Disebutkan oleh
   Syahrastani, seorang ulama Asy’ariyah, syarat-syarat seorang mujtahid ada
   lima perkara: Pertama, mujtahid adalah orang yang mempunyai ilmu
   pengetahuan cukup dalam bidang Bahasa Arab yang memungkinkannya
   dapat memahami nash secara baik. Kedua, seorang mujtahid harus memiliki
   pengetahuan tentang al-Qur’an dan tafsirnya. Ketiga, memiliki pengetahuan
   tentang Sunnah, baik dari isi ataupun sanadnya, pengetahuan tentang keadaan
   para perawinya, baik dari sisi sikap adil dapat dipercaya, kritik dan
   penolakannya. Keempat, pengetahuannya tentang ijmak sahabat, tabi’in dan
   tabi’i tabi’in agar jangan sampai terjadi pertentangan antara ijtihadnya dengan
   ijtihad orang terdahulu. Dan yang terakhir adalah memiliki pengetahuan
   tentang qiyas.46

F. Kritik terhadap Epistemologi Ilmu Kalam

         Dewasa ini, banyak terjadi kegelisahan akademik yang menimpa para
   pemikir muslim kontemporer, khususnya berkaitan dengan studi ilmu kalam
   berikut metodologinya. Kritik mereka sangat mendasar, langsung kepada
   epistemologi studi ilmu kalam. Mereka beranggapan bahwa bangunan


         44
             Menurut Ali Syari’ati mujtahid adalah seorang yang ‘tercerahkan’ dan ‘peneliti
   bebas’ yang mencari jawaban-jawaban baru berdasarkan ‘semangat dan orientasi agama,
   logika ilmiah dan empat sumber syariat yakni al-Qur’an, Hadits, ijmak (kesepakatan) dan
   akal. Lihat Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta:
   Erlangga, 2002), hal. 465
          45
             Asy-Syahrastani, Al-Milal…, hal. 184
          46
             Ibid., 181-182
keilmuan kalam tidak cukup kokoh untuk menyediakan seperangkat teori dan
metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang
baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut
agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.47

      Sebagaimana      yang dikutip       oleh   Amin     Abdullah,    berdasarkan
pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak
berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi
keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah
dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam
batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat
dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos
kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun.48

      Untuk keperluan itu, dalam sebuah artikelnya, Amin Abdullah
mengemukakan beberapa pertanyaan yang mendasar, diantaranya:

           “Apakah mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan
      disiplin dan metodologi “filsafat” dan “kalam” dalam pemikiran Islam
      kontemporer, yang selama berabad-diupayakan namun selalu gagal?
      Jika memang begitu kenyataannya, apakah disiplin ilmu kalam, sebagai
      body of knowledge, yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia
      terdahulu, dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan
      dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan baik dahulu, sekarang
      maupun yang akan datang? Apakah akidah Islamiyah, khususnya yang
      dirumuskan dan diteorisasikan oleh ulama kalam klasik, tengah dan
      modern tidak boleh diubah sistematika, metodologi dan konteknya
      sesuai dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan
      metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan dan
      adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai dengan tuntutan dan
      tantangan sosial-keagamaan serta perkembangan ilmu pengetahuan
      yang mengitarinya?” Dapatkah dominasi pendekatan tekstual dan
      kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual
      dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya,
      barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang biasa dan selama

      47
            Amin Abdullah, Kajian Ilmu Kalam di UIN, lihat http://uin-
suka.info/fdak/index.php?option=com_content&task=view&id=152, diambil pada 23 Januari
2011
       48
          Ibid
ini disebut-sebut sebagai “doktrin”, “dogma” atau “akidah” digagas
       sebagai teori” keilmuan kalam, karena adanya unsur campur tangan dan
       intervensi manusia Muslim (nabi, sahabat, ulama, fuqaha,
       mutakallimun, usuliyyun, cerdik cendekia) dalam merumuskan dan
       mensistematisasikannya?”
       Mereka mengkritik betapa studi ilmu kalam itu sangat melangit dan
  tidak membumi, dalam artian menurut bahasa Hasan Hanafi, Ilmu Kalam
  adalah milik kaum elit intelektual yang tidak banyak bermanfaat untuk
  kalangan bawah. Pandangan demikian sekaligus mencerminkan paradigma
  yang ada dalam benak mereka, yaitu paradigma materialistis sebagaimana
  telah diperkenalkan oleh kaum Marxis. Dan dapat ditebak, mereka
  menghendaki untuk beralih kepada teori kebenaran pragmatisme yang
  diimpor dari Amerika, sebagai ganti dari teori kebenaran koherensi. Meski
  demikian, sebagai pemeharti keilmuwan, kajian kritis mereka terhadap
  metodologi ilmu kalam perlu diapresiasi dan dipertimbangkan sekaligus
  dianalisa secara mendalam untuk kemashlahatan Islam di dunia dan akherat,
  bukan di dunia semata.

G. Penutup

       Membaca Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang
  menjadikan seseorang akan lebih arif dalam melihat perbedaan. Terlepas dari
  keabsahan   epistemologi   masing-masing    aliran   ilmu   kalam,   penulis
  beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan akidah
  merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di atas,
  nampaknya kalangan ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan
  maturidiyah) yang masih kuat berpegang kepada wasiat Nabi saw untuk
  senantiasa berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan
  berpikir dan beramal. Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu
  ekstrim dalam menggunakan akal, namun mereka banyak menolong agama
  Islam dari serangan-serangan pemikiran agama lain dan kaum atheis.
DAFTAR PUSTAKA




1. Bahasa Indonesia

   A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam
             Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit
             Jendela, 2003)

   A. Qadri Abdillah Azizy, Dimensi Praktis Ilmu Ushuluddin: Sebuah
            Alternatif Pengembangan Ilmu Ushuluddin, dalam Buku
            Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipasif terhada Hedonisme
            dan Kehidupan Modern, (Tiga Serangkai)

   A. Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan
            Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)

   Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep-
            Konsep Asas Filsafah, (Kuala Lumpur: Sanon Printing
            Corporation SDN BHD, 2005)

   Afrizal M., Ulama dan Cendekiawan Muslim Ibnu Rusyd: Tujuh
             Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga,
             2006)

   Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme
            Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Erlangga, 2006)

   Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner,
            (Jakarta: Erlangga, 2002)

   Amin   Abdullah, Kajian Ilmu Kalam di UIN, lihat http://uin-
            suka.info/fdak/index.php?option=com_content&task=view&id=1
            52,

   Asy-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam
             Sejarah Umat Manusia, alih bahasa: Asywadie Syukur,
             (Surabaya: Bina Ilmu, 2003)

   Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam
            ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No.
            5/April-Juni 2005
Ibrahim Madkour, Alilran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian
         Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)

Jim dan Zam, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Mantiq, makalah tidak
         diterbitkan

Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits,
         (Jakarta: Hikmah, 2009)

Kamarul Shukri Mohd The, Pengantar Ilmu Tauhid, (Kuala Lumpur: Utusan
          Publication dan Distributors Sdn Bhd, 2008)

M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan
         Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, alih bahasa: Mudzakir
         AS, (Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009)

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigam
        dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar,
        2008)

--------------, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity
              Press, 2008)

--------------, Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi,
              (Ponorogo: CIOS, 2010)

Mufti Ali, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah
           Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3
           (September-Desember) 2007

Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah
        Wal-Jama’ah? : Jawaban terhadap Aliran Salafi, (Surabaya:
        Khalista, 2009)

Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i
        Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri,
        (Tangerang: Pustaka Imam Syafi’i)

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, alih
          bahasa: Agus Efendi, (Jakarta: Mizan, 2009)
Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah wal Jama’ah: Keimanan, Sifat, dan
            Kualitasnya, alih bahasa: Ummu Fauzi, (Jakarta: Gema Insani
            Press, 2005)

  Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, tt)

  Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
            (Bandung: Pustaka Setia, 2007)

  Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam: Sketsa Awal, dalam Islamia,
            Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. 3, Desember
            2005

  Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of
           the Future, (New York: 950 University Avenue, 1985)

  Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: Refleksi
            Mengais Keheningan Tauhid, (Lirboyo: Tamatan Aliyah
            Lirboyo Angkatan 2005, 2008)

  Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
            (Jakarta: Erlangga, tt)

  Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS,
            2003)


2. Bahasa Arab

  ،   ‫: د ل ودر‬               ‫ا‬     ‫د ا ح ا ر ، ا رق ا‬
                                  (١٩٩۵ , ‫وھ‬   :‫)ا ھرة‬

  ‫ه‬     ‫و‬           ‫ر ا ذاھب ا‬          :‫م‬      ‫, م ا‬      ‫زر‬          ‫أل‬
                 (٢٠٠٦ ,‫دار ا م‬               :‫, ) و ورو و‬    ‫ا‬

        :‫م، )ا ھرة‬      ‫م ا‬       ‫درا‬        ‫، ا د ل إ‬     ‫ود ا‬        ‫ن‬
                                                     (١٩٩١، ‫وھ‬

                 (١٩٦٠ ، ‫ت، )ا ھرة: دون ط‬            ‫ا‬    :‫ء‬      ‫،ا‬       ‫إن‬

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Materi soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islam
Materi soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islamMateri soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islam
Materi soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islamRohman Efendi
 
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyah
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyahpengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyah
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyahDiyach Ashfye
 
Kedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Kedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’anKedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Kedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’anRobet Saputra
 
Tradisi Membaca Kitab Suci Weda
Tradisi Membaca Kitab Suci WedaTradisi Membaca Kitab Suci Weda
Tradisi Membaca Kitab Suci WedaMade Sumiarta
 
Contoh program tahunan dan program semester
Contoh program tahunan dan program semesterContoh program tahunan dan program semester
Contoh program tahunan dan program semesterSherly Anggraini
 
Sejarah Matematika
Sejarah MatematikaSejarah Matematika
Sejarah MatematikaDwi Kania
 
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5NavenAbsurd
 
Subjek Pendidikan dalam Islam
Subjek Pendidikan dalam IslamSubjek Pendidikan dalam Islam
Subjek Pendidikan dalam IslamUtari Oktavina
 
Laporan Observasi Sekolah Dasar
Laporan Observasi Sekolah DasarLaporan Observasi Sekolah Dasar
Laporan Observasi Sekolah Dasaraudiasls
 
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)UIN Alaluddin Makassar
 
Matematika Untuk Kelas 1 SD / MI
Matematika Untuk Kelas 1 SD / MIMatematika Untuk Kelas 1 SD / MI
Matematika Untuk Kelas 1 SD / MISetiadji Sadewo
 
Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Fungsi Hadits Dalam Ajaran IslamFungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islamshofichofifah
 

Was ist angesagt? (20)

Makalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agamaMakalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agama
 
Naskh mansukh
Naskh mansukhNaskh mansukh
Naskh mansukh
 
Materi soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islam
Materi soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islamMateri soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islam
Materi soal dan jawaban mata kuliah sejarah peradaban islam
 
19239312 dikonversi (1)
19239312 dikonversi (1)19239312 dikonversi (1)
19239312 dikonversi (1)
 
1 pengertian fiqih
1 pengertian fiqih1 pengertian fiqih
1 pengertian fiqih
 
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyah
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyahpengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyah
pengertian, objek kajian, tujuan dan manfaat studi Masail fiqhiyah
 
Kedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Kedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’anKedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Kedudukan Hadits Dalam Syari’at Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
 
Epistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan IslamEpistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan Islam
 
Aliran kritisisme
Aliran kritisismeAliran kritisisme
Aliran kritisisme
 
Tradisi Membaca Kitab Suci Weda
Tradisi Membaca Kitab Suci WedaTradisi Membaca Kitab Suci Weda
Tradisi Membaca Kitab Suci Weda
 
Makalah ijtihad
Makalah ijtihadMakalah ijtihad
Makalah ijtihad
 
Contoh program tahunan dan program semester
Contoh program tahunan dan program semesterContoh program tahunan dan program semester
Contoh program tahunan dan program semester
 
Sejarah Matematika
Sejarah MatematikaSejarah Matematika
Sejarah Matematika
 
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
 
Subjek Pendidikan dalam Islam
Subjek Pendidikan dalam IslamSubjek Pendidikan dalam Islam
Subjek Pendidikan dalam Islam
 
Laporan Observasi Sekolah Dasar
Laporan Observasi Sekolah DasarLaporan Observasi Sekolah Dasar
Laporan Observasi Sekolah Dasar
 
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
 
Matematika Untuk Kelas 1 SD / MI
Matematika Untuk Kelas 1 SD / MIMatematika Untuk Kelas 1 SD / MI
Matematika Untuk Kelas 1 SD / MI
 
IJTIHAD
IJTIHADIJTIHAD
IJTIHAD
 
Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Fungsi Hadits Dalam Ajaran IslamFungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
 

Andere mochten auch

Sejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhid
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhidSejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhid
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhidMuhammad Wisnu D R
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamIsa Ansori
 
critical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahcritical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahHasunah
 
Islam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologiIslam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologiFarid Okley
 
Dasar dan tujuan pendidikan nasional
Dasar dan tujuan pendidikan nasionalDasar dan tujuan pendidikan nasional
Dasar dan tujuan pendidikan nasionalnur azis hidayatulloh
 
Paulo freire dan pemikirannya
Paulo freire dan pemikirannyaPaulo freire dan pemikirannya
Paulo freire dan pemikirannyaAndi Undu
 
Kritik jurnal ilmiah 1
Kritik jurnal ilmiah 1Kritik jurnal ilmiah 1
Kritik jurnal ilmiah 1Ratna Nandri
 
Tugas critical review sistem informasi strategis
Tugas critical review sistem informasi strategisTugas critical review sistem informasi strategis
Tugas critical review sistem informasi strategisbagus aji
 
critical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahcritical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahHasunah
 
Critical review jurnal ilmiah
Critical review jurnal ilmiahCritical review jurnal ilmiah
Critical review jurnal ilmiahHasunah
 
Konsep Pendidikan dari Perspektif Islam
Konsep Pendidikan dari Perspektif IslamKonsep Pendidikan dari Perspektif Islam
Konsep Pendidikan dari Perspektif IslamAmeerul Syarief
 
Presentasi Journal Review-Manajemen Pemasaran
Presentasi Journal Review-Manajemen PemasaranPresentasi Journal Review-Manajemen Pemasaran
Presentasi Journal Review-Manajemen PemasaranPutri Imoet
 
Review jurnal manajemen strategis
Review jurnal manajemen strategisReview jurnal manajemen strategis
Review jurnal manajemen strategisAgon Wenewolok
 
Critical Review Jurnal Variance Analysis and Performance Evaluation
Critical Review Jurnal Variance Analysis and Performance EvaluationCritical Review Jurnal Variance Analysis and Performance Evaluation
Critical Review Jurnal Variance Analysis and Performance EvaluationCitra Dewi
 
Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)
Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)
Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)Ratna Nandri
 
critical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahcritical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahHasunah
 

Andere mochten auch (20)

makalah teologi islam
makalah teologi islammakalah teologi islam
makalah teologi islam
 
2. ilmu kalam
2. ilmu kalam2. ilmu kalam
2. ilmu kalam
 
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhid
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhidSejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhid
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan ilmu tauhid
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
 
critical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahcritical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiah
 
Islam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologiIslam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologi
 
Dasar dan tujuan pendidikan nasional
Dasar dan tujuan pendidikan nasionalDasar dan tujuan pendidikan nasional
Dasar dan tujuan pendidikan nasional
 
Paulo freire dan pemikirannya
Paulo freire dan pemikirannyaPaulo freire dan pemikirannya
Paulo freire dan pemikirannya
 
Kritik jurnal ilmiah 1
Kritik jurnal ilmiah 1Kritik jurnal ilmiah 1
Kritik jurnal ilmiah 1
 
Tugas critical review sistem informasi strategis
Tugas critical review sistem informasi strategisTugas critical review sistem informasi strategis
Tugas critical review sistem informasi strategis
 
critical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahcritical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiah
 
Critical review jurnal ilmiah
Critical review jurnal ilmiahCritical review jurnal ilmiah
Critical review jurnal ilmiah
 
Konsep Pendidikan dari Perspektif Islam
Konsep Pendidikan dari Perspektif IslamKonsep Pendidikan dari Perspektif Islam
Konsep Pendidikan dari Perspektif Islam
 
Presentasi Journal Review-Manajemen Pemasaran
Presentasi Journal Review-Manajemen PemasaranPresentasi Journal Review-Manajemen Pemasaran
Presentasi Journal Review-Manajemen Pemasaran
 
Analisa jurnal
Analisa jurnalAnalisa jurnal
Analisa jurnal
 
Review jurnal manajemen strategis
Review jurnal manajemen strategisReview jurnal manajemen strategis
Review jurnal manajemen strategis
 
Konsep pendidikan
Konsep pendidikanKonsep pendidikan
Konsep pendidikan
 
Critical Review Jurnal Variance Analysis and Performance Evaluation
Critical Review Jurnal Variance Analysis and Performance EvaluationCritical Review Jurnal Variance Analysis and Performance Evaluation
Critical Review Jurnal Variance Analysis and Performance Evaluation
 
Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)
Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)
Kritik jurnal ilmiah (zainal fanani)
 
critical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiahcritical review jurnal ilmiah
critical review jurnal ilmiah
 

Ähnlich wie Bangunan epistemologi ilmu kalam

Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasaniahmadsaid
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelArif Abas
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelArif Abas
 
Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.
Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.
Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.Faseha 3
 
Studi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islamStudi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islamApri Kusanto
 
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamSejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamoonx
 
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)Aina Sofieyah
 
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)Edi Awaludin
 
Makalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islamMakalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islamsaiful anwar
 
Pengertian ilmu-kalam
Pengertian ilmu-kalamPengertian ilmu-kalam
Pengertian ilmu-kalamKhairul Iksan
 
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquranDr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquranHasaniahmadsaid
 
hubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppt
hubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppthubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppt
hubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.pptVianOkta5
 
Kelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamKelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamDewi_Sejarah
 

Ähnlich wie Bangunan epistemologi ilmu kalam (20)

Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan model
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan model
 
Studi hukum islam
Studi hukum islamStudi hukum islam
Studi hukum islam
 
Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.
Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.
Jurnal. usuluddin.30.2009.09.basri.ilmu.
 
Studi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islamStudi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islam
 
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamSejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
 
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
tokoh pemikiran islam semasa: Fazlur rahman ( fpi ukm)
 
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
 
Makalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islamMakalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islam
 
Pengertian ilmu-kalam
Pengertian ilmu-kalamPengertian ilmu-kalam
Pengertian ilmu-kalam
 
Metodologi tafsir
Metodologi tafsirMetodologi tafsir
Metodologi tafsir
 
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquranDr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran
 
Buku filsafat islam masa awal
Buku filsafat islam masa awalBuku filsafat islam masa awal
Buku filsafat islam masa awal
 
Pengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam KomprehensifPengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam Komprehensif
 
Resensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalamResensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalam
 
hubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppt
hubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppthubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppt
hubungan-tasawuf-ilmu-kalam-filsafat.ppt
 
Kelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamKelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islam
 
Maqasid ilmu kalam
Maqasid ilmu kalamMaqasid ilmu kalam
Maqasid ilmu kalam
 
Ilmu Kalam
Ilmu KalamIlmu Kalam
Ilmu Kalam
 

Bangunan epistemologi ilmu kalam

  • 1. EPISTEMOLOGI ILMU KALAM Makalah Disampaikan pada Seminar Kelas untuk Mata Kuliah Filsafat Ilmu Bersama Mohammad Muslih, MA Oleh : Anwar Ma’rufi NIM: 31.21.028 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT STUDI ISLAM DARUSSALAM (ISID) PONDOK MODERN GONTOR 2011
  • 2. EPISTEMOLOGI ILMU KALAM A. Pendahuluan Dalam Dirasat Islamiyah, ilmu kalam merupakan kajian yang pokok dan sentral. Karena begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah mampu mewarnai bahkan dalam taraf tertentu ‘mendominasi’ corak muatan materi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, tafsir, filsafah Islam dan lain sebagainya. Meski disiplin ini banyak menuai kritik dari ulama klasik, namun ia masih tetap kokoh dan eksis sampai sekarang. Bahkan terlihat lebih kokoh dari sebelumnya. Karenanya menarik untuk dibahas dari sisi bangunan epistemologinya.1 Melihat ilmu kalam dari sisi epistemologi, secara umum akan ditemukan tiga persoalan pokok, yaitu (1) apa sumber-sumber ilmu kalam itu? (2) bagaimana pengetahuan itu dapat diketahui? (3) dan apa ukurannya bahwa pengetahuan itu disebut benar (valid)? Tiga pertanyaan ini yang akan memandu uraian dan ulasan penulis berikut ini. Namun, sebelum membahas lebih jauh akan penulis ulas tentang definisi ilmu kalam terlebih dahulu. B. Definisi Ilmu Kalam Ilmu kalam bisa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, ilmu akidah, atau fiqh al-Akbar. Disebut ilmu ushuludin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama semisal iman kepada Allah swt, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, iman kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, iman kepada hari kebangkitan dll. Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah. Dinamakan 1 Epistemologi adalah suatu cabangn filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunanu, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). lihat, Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 37
  • 3. ilmu akidah karena ia banyak membahas tentang ilmu-ilmu akidah agama Islam atau membahas hukum-hukum akidah yang berkaitan dengan iman.2 Fiqh al-Akbar sendiri adalah istilah khusus yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, menurutnya hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama fiqh al-akbar yang membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok- pokok agama melainkan cabang (furu’) saja.3 Banyak kalangan orientalis yang menyamakan ilmu kalam dengan istilah teologi. Seperti William L. Resse yang mendefinisikan dengan “discourse or reason concerning God” (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Namun, sebenarnya penyamaan ini juga tidak terlalu tepat. Alasannya karena istilah teologi berarti hanya diskursus mengenai Tuhan saja. Sesuai dengan asal katanya, ia berasal dari bahasa Yunani kuno ‘theos’ (dewa, Tuhan) dan ‘logos’ (wacana, perbincangan). Sedangkan dalam literature Islam, ilmu kalam tidak sesederhana sebagaimana definisi orientalis. Ia mencakup prinsip-prinsip keimanan dan pokok-pokok ajaran agama berdasarkan dalil-dalil naqli (wahyu) maupun ‘aqli (rasio logika).4 Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang iman yang diperkuat dengan dalil- dalil rasional.5 Sementara menurut al-Iji ilmu kalam adalah ilmu yang mampu mengukuhkan akidah Islam dengan memaparkan argumentasi-argumentasi dan menyanggah atas beberapa kekeliruan dan keraguan. Dan menurut al- Farabi, ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan , ‫ها‬ ‫و‬ ‫ا ذاھب ا‬ ‫, م ا م: ر‬ ‫زر‬ ‫2أ ل‬ ٢ .‫دار ا م, ٦٠٠٢(, ص‬ :‫) و ورو و‬ 3 Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, tt), hal. 13 4 Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam: Sketsa Awal, dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. 3, Desember 2005, hal. 11-12 :‫، )ا ھرة‬ ‫: د ل ودر‬ ‫ا‬ ‫د ا ح ا ر ، ا رق ا‬ 5 .‫وھ , ۵٩٩١(، ص‬
  • 4. masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan ajaran Islam, dan tujuan akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis.6 Ilmu kalam baru menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri setelah tokoh-tokoh Mu’tazilah mempelajari buku-buku filsafat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya disinergikan dengan nalar keislaman. Momen ini terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun (w. 218 H.). 7 Tahap penamaan Kalam sebagai ilmu dapat juga dirujuk dari fakta sejarah ketika Ibnu Sa’ad (288 H./845 M.) menggunakan istilah mutakallimun untuk mereka yang terlibat dalam diskusi pelaku dosa besar yang diangkat oleh kaum Murjiah. Namun, istilah kalam yang merujuk kepada disiplin ilmu pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke-4 Hijriyah, di dalam karya Ibnu Nadim, Kitab Fihrits. 8 Sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri, ilmu kalam masih dalam rumpun kajian fiqih. Imam Abu Hanifah menamainya dengan fiqh al-Akbar. C. Sumber Pengetahuan Ilmu Kalam Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada wahyu (al- Qur’an dan Hadits) sebagai sumber pokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya memahami wahyu sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami wahyu sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain.9 Untuk kasus pertama sering diistilahkan dengan muhkam sedang yang kedua dinamakan dengan mutasyabih. Contoh untuk yang muhkam adalah ayat-ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. ،(١٩٩١ ، ‫وھ‬ :‫م، )ا ھرة‬ ‫ما‬ ‫درا‬ ‫،ا د لإ‬ ‫ود ا‬ ‫ن‬ 6 ١٨-١٧ .‫ص‬ 7 Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: Refleksi Mengais Keheningan Tauhid, (Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2008), hal. 164 8 Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005, hal. 20 9 A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 233
  • 5. Sementara untuk yang mutasyabih contohnya adalah ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatnya. 10 Kenyataan adanya ayat muhkam dan mutasyabih ini memberikan pengertian bahwa meski al-Qur’an sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti.11 Secara hirarkis, al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama dari semua argumentasi dan dalil. Al-Qur’an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Sedangkan Hadits menempati urutan kedua. Namun tidak semua Hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah.12 Semua aliran kalam sepakat untuk mengamalkan Hadits mutawatir.13 Namun, mereka berselisih pendapat dalam mengamalkan Hadits ahad. 14 Alasan yang menolak Hadits ahad sebagai rujukan akidah, sebab akidah adalah berkenaan dengan keyakinan; dan apa yang berhubungan dengan keyakinan haruslah dalil yang bersetatus qath’i. Jadi menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan akidah haruslah berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan atau Hadits mutawatir.15 Mereka itu adalah ulama dari kalangan Mu’tazilah.16 Sementara ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membedakan antara masalah akidah dengan masalah lainnya. Setiap Hadits shahih yang datang dari Nabi saw mereka terima dan pakai, serta mereka mengharamkan untuk menyalahinya. Menurut Imam Ibnul Qayyim, walaupun Hadits ahad tidak 10 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, alih bahasa: Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009), hal. 306 11 A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 234 12 Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal- Jama’ah?: Jawaban terhadap Aliran Salafi, (Surabaya: Khalista, 2009), hal. 183-184 13 Hadits mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi sehingga tidak mungkin seluruhnya sepakat untuk berdusta. Sedangkan Hadits ahad adalah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya tidak mencapai derajat mutawatir. Lihat Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits, (Jakarta: Hikmah, 2009), hal. 35 14 Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam Syafi’i, tt), hal. 140 15 M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 95 16 Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah wal Jama’ah: Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya, alih bahasa: Ummu Fauzi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 103
  • 6. menunjukan kepada ilmu yakin, namun ia menunjukan kepada zhann ghalib (dugaan kuat) sehingga boleh bagi kita untuk menetapkan asma dan sifat-sifat Allah dengannya.17 Seluruh aliran kalam, baik yang mempunyai corak rasional dan semi liberal maupun yang bercorak hadisi (tradisional) menggunakan akal sebagai sarana menyelesaikan persoalan kalam.18 Selanjutnya perbedaan yang muncul adalah sejauh manakah posisi akal diperhatikan sebagai sumber pengetahuan untuk merumuskan akidah Islam. 19 Perbedaan ini, pada akhirnya memberi corak dan warna yang berbeda dan perbedaan itu semakin kokoh dalam bentuk aliran-aliran kalam. Mazhab kalam yang mengedepankan akal atau rasional dalam menjelaskan berbagai persoalan akidah Islam banyak menggunakan pendekatan filsafat meski tidak serta merta mengabaikan wahyu. Menurutnya akal memiliki kedudukan tinggi bagi manusia. Karena tingginya kedudukan akal itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mampu mengenal Tuhan, mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, memilih perbuatan baik dan buruk, dan mengakui wajibnya berbuat baik dan menjauhi yang jahat.20 Kelompok ini diwakili oleh ulama Mu’tazilah. Di lain pihak, terdapat golongan yang menentang kaum rasionalis Mu’tazilah. Kelompok ini ada yang menamainya dengan ulama tradisionalis atau ulama salaf shalih. Menurut mereka akal hanya mampu mengenal bukti keberadaan Tuhan. Adapun kewajiban mengenal Tuhan, memilah baik dan buruk, dan mengetahui wajibnya berbuat baik dan menjauhi larangan hanya dapat diketahui berdasarkan wahyu. 21 Terkait dengan persoalan akidah, mereka (khususnya kelompok Asy’ari dan salaf) lebih mengutamakan teks al- 17 Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam Syafi’i, tt), hal. 141 18 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, tt), hal. 12 19 A. Qadri Abdillah Azizy, Dimensi Praktis Ilmu Ushuluddin: Sebuah Alternatif Pengembangan Ilmu Ushuluddin, dalam Buku Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipasif terhada Hedonisme dan Kehidupan Modern, (Tiga Serangkai), hal. 59 20 Afrizal M., Ulama dan Cendekiawan Muslim Ibnu Rusyd: Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 3-4 21 Afrizal M., Ulama…, hal. 5
  • 7. Qur’an dan Sunnah (naql) daripada akal (‘aql). Maksudnya akal harus tunduk kepada ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka menyebut dirinya sebagai kelmpok ahlusunnah wal jama’ah.22 Abu Manshur al-Maturidi, yang juga termasuk pembela ahlu sunnah, nampaknya menangkap kekurangan Imam Asy’ari dan Imam Ahmad bin Hanbal yang terlalu tekstual. Imam al-Maturidi lebih mengacu pada pendekatan yang moderat antara penafsiran rasional model Mu’tazilah dan penafsiran harfiah model salaf (Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah) dan Imam Asy’ari. Bagaimanapun juga, sambil tetap berpegang teguh dengan wahyu, menurut Imam Maturidi, dengan anugrah akal yang khas itu, manusia mampu menangkap mana yang baik dan mana yang buruk.23 Dari paparan di atas mengenai posisi akal, dapat dipahami bahwa Imam al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah dalam hal baik dan buruk dapat ditemukan oleh akal berdasarkan implikasi bahaya atau manfaat yang ditimbulkan. Dan di sisi lain terjadi silang pendapat dalam menetapkan akal sebagai sumber pengetahuan, serta ketidakharusan bagi syariat bersesuaian dengan penilaian akal. Di lain pihak, Imam Maturidi sepakat dengan Imam Asy’ari tentang sumber penngetahuan al-Qur’an dan Hadits. Dan bertentangan perihal ketentuan baik dan buruk dengan Imam Asy’ari. D. Hakikat Ilmu dan Metodologi Pencapaian Ilmu Sebagaimana yang dilaporkan oleh Saiful Anwar dalam sebuah desertasinya, terdapat perbedaan persepsi di kalangan ulama ahli kalam mengenai definisi ilmu. Menurut Qadli ‘Abd al-Jabbar (325-415 H.), ulama Mu’tazilah, ilmu adalah “Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman hati.” Menurut defines Badzawi (427-493 H.), ulama kalangan Maturidiyah: “Ilmu adalah menangkap objek ilmu sesuai kenyataannya.” Sedang menurut Juwaini (419-478 H.) dan Baqilani (338-403 22 Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, alih bahasa: Agus Efendi, (Jakarta: Mizan, 2009), hal. 19 23 Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Erlangga, 2006), hal. 324
  • 8. H.) keduanya dari kalangan ulama Asy’ariyah: “Ilmu adalah mengetahi objek ilmu sesuai realitasnya.” Lebih lengkapnya seperti yang didefiniskan oleh Imam al-Ghazali (Ulama dari kalangan Asy’ariyah): “Maka ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal.”24 Meski terdapat perbedaan persepsi mengenai ilmu, tapi pada dasarnya semua ilmu itu datangnya dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa melalui sarana- sarana yang dianugrahkan oleh-Nya. Maka definisi yang tepat untuk hakikat ilmu dengan Allah sebagai sumbernya, ialah tibanya (husul) makna (ma’na) sesuatu benda atau objek ilmu ke dalam jiwa. Dengan memandang jiwa sebagai penafsir, maka ilmu adalah tibanya (wusul) diri (jiwa) kepada makna sesuatu hal atau objek ilmu.25 Secara prinsipil, pembagian ilmu menurut para mutakalimin tidak berbeda satu sama lain. Sebagian besar, mereka membagi ilmu pengetahuan menjadi dua yakin ilmu Allah yang qadim dan ilmu manusia yang hadits (baharu). Dan ilmu hadits (baharu) ini dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yang bersifat dharuri dan ilmu yang bersifat nadzari (penalaran). Hanya Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya ilmu Allah yang qadim, sesuai dengan prinsip mereka yang tidak mengakui adanya sifat bagi Allah.26 Ilmu dharuri adalah ilmu yang cara perolehannya tidak perlu untuk dipikirkan secara mendalam seperti satu itu adalah setengah dari dua. Sedangkan ilmu nadzari adalah jenis ilmu yang cara perolehannya memerlukan pikiran dan penalaran yang sungguh-sungguh seperti air itu terdiri dari dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen.27 24 Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 90 dan 103 25 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, (New York: 950 University Avenue, 1985), hal. 177 26 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, tt), hal. 47 27 Kamarul Shukri Mohd The, Pengantar Ilmu Tauhid, (Kuala Lumpur: Utusan Publication dan Distributors Sdn Bhd, 2008), hal. 132
  • 9. Perbedaan posisi akal sebagai sumber ilmu merupakan faktor kesulitasn tersendiri untuk mengungkap metode pencapaian ilmu. Bagi pendukung akal (Mu’tazilah), mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukumi berbagai hal dan berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam alam punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka tidak mengingkari naql (teks al-Qur’an dan Hadits), tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal (taqdim al-‘aql ‘ala naql). Untuk itu mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak Hadits-hadits yang tidak diakui oleh akal. Secara umum, mereka menghindari Hadits ahad.28 Berbeda dengan rivalnya, Mazhab Asy’ariyah bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. Mereka amat teguh memegangi al-Ma’tsur. Di dalam kitab al- Ibanah sebagaimana yang dikutip oleh Ibrahim Madkour, al-Asy’ari berkata: “Pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh kepada Kitab Allah, Sunnah Nabi SAW dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan Imam-imam Hadits. Kami mendukung semua itu, kami mendukung pendapat Ahmad bin Hanbal, mengangkat drajatnya dan meneguhkan kedudukannya. Sebaliknya kami menjauhi orang-orang yang menyalahi pendapatnya.”29 Kaum Asy’ariyah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian rasional. Pada prinsipnya, mereka tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di atas naql. Bahkan sebaliknya mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka anggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana mata yang sehat. Akal digunakan untuk meneguhkan naql dan membela agama.30 Demikian juga ulama kalangan Maturidiyah. 28 Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 48 29 Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 66 30 Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 67-68
  • 10. Meskipun mereka berbeda pendapat dalam memposisikan akal, namun sebagian besar dari ulama tradisional juga menggunakan logika atau mantiq sebagaimana ulama Mu’tazilah, yang menurut perkembangannya merupakan adopsi dari filsafat Yunani, khususnya logika Aristoteles.31 Bedanya, dalam mengeksploralis ilmu logika Mu’tazilah lebih berani menundukkan naql di atas akal. Karenanya mereka banyak melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sebaliknya, kalangan Asy’ariyah, maturidiyah atau Hanabilah lebih banyak menggunakan logika yang berpegang pada makna teks atau rasional-deduktif. Perbedaan di atas, seperti yang dilaporkan oleh Abid al-Jabiri dan yang dikutip oleh Mohammad Muslih adalah persoalan makna dan lafadz. Para ahli pikir Mu’tazilah sepakat bahwa makna itu berdasar konteks. Sedangkan kalangan Asy’ariyah berpendapat bahwa makna lafadz itu berdasarkan tauqifi. Pandangan Asy’ariyah ini kemudian berkonsekuensi, bahwa makna yang dimaksud dari teks itu perlu dijaga. Dari sinilah kemudian lahirlah ilmu bahasa, khususnya nahwu yang menjaga dari kemungkinan terjadinya penyimpangan makna. Adanya kenyataan bahwa syariah diturunkan dalam Bahasa Arab, persoalan berikutnya adalah apakah makna ditentukan oleh kebudayaan Arab atau menggunakan pendekatan lain. Dalam kasus ini terdapat dua pendapat, pertama, karena al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab maka makna lafadz ditentukan oleh pengertian dan kebudayaan Arab; kedua, membolehkan memaknai lafadz dengan ta’wil sebagaimana dipegangi oleh Mu’tazilah.32 Penggunaan logika Yunani atau mantiq yang sudah disinergikan dengan nalar keislaman tidaklah berjalan mulus tanpa kecaman. Imam asy-Syafi’i, peletak dasar mazhab Syafi’i, dikenal sebagai penentang logika Aristoteles 31 Perumusan logika aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemology bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan semesta baik sepenuhnya atau tidak, serta mengungkap sebuah kebenaran. Lihat Jim dan Zam, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Mantiq, makalah tidak diterbitkan, hal. 13 32 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigam dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 187-188
  • 11. ini. Kritik Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang sering dikutip oleh para pengikutnya adalah ungkapan kebodohan dan diskusi kontroversial di antara mereka hanyalah disebabkan oleh karena mereka tidak mendalami Bahasa Arab dan karena kecenderungan mereka untuk memperlajari Bahasa Aristoteles. Imam asy-Syafi’i juga berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh menafsirkan teks-teks berbahasa Arab menurut bahasa orang-orang Yunani dan menurut logika Aristoteles yang memiliki sistem bahasa dan logika yang berbeda dengan sistem Bahasa Arab.33 Suhrawardi (549-587 H.) 34 juga tercatat sebagai penentang logika Paripatetik atau Aristoteles. Bagi Suhrawardi problem yang mendasar di dalam logika Paripatetik adalah soal “validitas pengetahuan”, di mana pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah logika Paripatetik ini. Ciri paling menonjol dari model pengetahuan ini adalah kebenaran silogisme, proposisi, konsep, dan problem definisi. Makanya pengetahuan itu dapat dicari meski terkait “objek yang tidak dapat dicerap.” Bagi Suhrawardi, model pengetahuan rasionalitas seperti itu banyak terjadi kelemahan.35 E. Validitas Pengetahuan dalam Studi Ilmu Kalam Secara umum, dalam persoalan filsafat ilmu dikenal tiga teori klasik tentang kebenaran. Pertama, teori kebenaran korespondensi, maksudnya ialah kesesuaian atau kesepadanan antara pernyataan (ide) dengan kenyataan (realitas). Teori ini menekankan bahwa kebenaran ialah saling kesesuaian antara ide atau kepercayaan dengan realitas atau fakta, yakni dengan membandingkan atau menyamakan dengan realitas. Teori ini bersifat empiris, karena suatu ide dianggap benar jika ia cocok dengan realitas, bukan realitas 33 Mufti Ali, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3 (September-Desember) 2007, hal. 319-320 34 Nama lengkapnya adalah Syihab ad-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, lahir di Suhraward, Mediterania Kuno, Iran Barat Laut. Lihat Mohammad Muslih, Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi, (Ponorogo: CIOS, 2010), hal. 12 35 Ibid., hal. 19
  • 12. yang harus sesuai dengan ide.36 Teori ini juga telah lama diperkenalkan oleh Ibnu Sina, menurutnya, suatu perkataan dianggap benar jika perkataan dan keyakinan itu sesuai dengan kenyataannya.37 Kedua, teori kebenaran koherensi. Pengetahuan yang memiliki kebenaran koherensi adalah pengetahuan yang diperoleh dengan mengikuti hukum-hukum logika, karenanya tidak terjadi tumpang tindih dan inkonsistensi. Pengetahuan ini tidak terdapat pertentangan dalam dirinya (contradiction in terminis), juga tidak bertentangan dengan pengetahuan terdahulu. Pengetahuan ini menekankan pada ketepatan berpikir.38 Yang ketiga adalah teori kebenaran pragmatisme. Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatisme dari Amerika, seperti Charles S. Peirce dan William James. Bagi mereka, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan sesorang -berdasarkan ide itu- melakukan sesuatu secara paling berhasil atau tepat guna. 39 Dengan kata lain pengetahuan dianggap benar jika bernilai praktis.40 Dari tiga macam teori klasik tentang kebenaran di atas, Ilmu Kalam sering menggunakan teori kebenaran koherensi. Sebagian besar ulama ahli kalam berpendapat bahwa akidah dan hukum akal harus meyakinkan dan bersifat qath’i. Bagi kalangan rasionalis, dalam hukum akal tidak boleh ada perberbedaan pendapat, nafi dan istbat, dengan kontradiksinya sekiranya dipertentangkan dengan yang lainnya melalui dalil yang berbeda pada saat ditetapkan. Jika tidak dilakukan demikian maka akan terjadi keseimbangan antara kebenaran dan kesalahan, yang benar dan yang salah sama. Sementara 36 Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep-Konsep Asas Filsafah, (Kuala Lumpur: Sanon Printing Corporation SDN BHD, 2005), hal. 66 ٤٨ .‫ت، )ا ھرة: دون ط ، ٠٦٩١(، ص‬ ‫ا‬ :‫ء‬ ‫،ا‬ ‫73 إ ن‬ 38 Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity Press, 2008), hal. 9 39 A. Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 71 40 Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity Press, 2008), hal. 10
  • 13. masalah yang diperselisihkan tidak mungkin mengandung kebenaran dan kesalahan secara bersamaan. 41 Seperti ucapan seseorang, “Ahmad ada di dalam rumah pada jam tujuh pagi.” Kemudian ada orang lagi yang berkata, “Ahmad tidak ada di dalam rumah pada jam tujuh pagi.” Kedua pernyataan tersebut tidak mungkin benar semua. Kebenaran koherensi ini mengharuskan adanya konsistensi berpikir logik. Teori koherensi ini menjadi alur yang cukup kuat dalam sistem berpikir kaum Mu’tazilah. Seperti ‘Abd al-Jabar dengan penekanannya pada konsistensi antara premis mayor (mujmal), premis minor (mufashshal), dan konklusi (ta’amul). Ia memiliki system berpikir logika yang sangat ketat. Contohnya: (a) Berbuat dzalim adalah jahat (premis mayor); (b) Perbuatan ini adalah dzalim (premis minor); (c) Jadi perbuatan ini adalah jahat (konklusi).42 Menurut teori ini kebenaran suatu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya. Sebagai contoh, problematika kebebasan kehendak menurut aliran Mu’tazilah berkaitan erat dengan prinsip keadilan Tuhan yang mereka kembangkan. Mereka memandang bahwa keadilan Tuhan menjadi hilang jika seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. Keadilan Allah menuntut bahwa manusia harus bebas berkehendak. Karena tanpa adanya kebebasan ini, kenabian dan risalahnya tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi syari’ah atau taklif bahkan untuk apa pengutusan para Rasul kepada orang yang tidak mempunyai kebebasan dalam mengikuti dan mendengarkan 43 dakwah mereka. Dan lain lagi dengan kalangan Asy’ariyah yang menekankan kekuasaan mutlak Tuhan. 41 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, alih bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal. 183 42 Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal. 70 43 Ibrahim Madkour, Alilran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 161-162
  • 14. Jika demikian kebenaran hanya milik mujtahid.44 Karenanya, menurut Abu al-Hasan al-Anbari sebagaimana yang dikutip oleh asy-Syahrastani, beliau menyatakan setiap mujtahid yang meneliti masalah akidah memperoleh pahala karena ia telah mengarahkan daya pikirnya terhadap apa yang ditelitinya, sekalipun hasil penelitiannya itu masih mengandung kemungkinan benar atau salah. Dari sisi ijtihad mereka memperoleh pahala dan semua ini berlaku untuk kalangan umat Islam.45 Karena kebenaran diasumsikan milik mujtahid, maka para ulama memberikan syarat-syarat yang ketat bagi seorang mujtahid. Disebutkan oleh Syahrastani, seorang ulama Asy’ariyah, syarat-syarat seorang mujtahid ada lima perkara: Pertama, mujtahid adalah orang yang mempunyai ilmu pengetahuan cukup dalam bidang Bahasa Arab yang memungkinkannya dapat memahami nash secara baik. Kedua, seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan tafsirnya. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang Sunnah, baik dari isi ataupun sanadnya, pengetahuan tentang keadaan para perawinya, baik dari sisi sikap adil dapat dipercaya, kritik dan penolakannya. Keempat, pengetahuannya tentang ijmak sahabat, tabi’in dan tabi’i tabi’in agar jangan sampai terjadi pertentangan antara ijtihadnya dengan ijtihad orang terdahulu. Dan yang terakhir adalah memiliki pengetahuan tentang qiyas.46 F. Kritik terhadap Epistemologi Ilmu Kalam Dewasa ini, banyak terjadi kegelisahan akademik yang menimpa para pemikir muslim kontemporer, khususnya berkaitan dengan studi ilmu kalam berikut metodologinya. Kritik mereka sangat mendasar, langsung kepada epistemologi studi ilmu kalam. Mereka beranggapan bahwa bangunan 44 Menurut Ali Syari’ati mujtahid adalah seorang yang ‘tercerahkan’ dan ‘peneliti bebas’ yang mencari jawaban-jawaban baru berdasarkan ‘semangat dan orientasi agama, logika ilmiah dan empat sumber syariat yakni al-Qur’an, Hadits, ijmak (kesepakatan) dan akal. Lihat Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 465 45 Asy-Syahrastani, Al-Milal…, hal. 184 46 Ibid., 181-182
  • 15. keilmuan kalam tidak cukup kokoh untuk menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.47 Sebagaimana yang dikutip oleh Amin Abdullah, berdasarkan pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun.48 Untuk keperluan itu, dalam sebuah artikelnya, Amin Abdullah mengemukakan beberapa pertanyaan yang mendasar, diantaranya: “Apakah mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan disiplin dan metodologi “filsafat” dan “kalam” dalam pemikiran Islam kontemporer, yang selama berabad-diupayakan namun selalu gagal? Jika memang begitu kenyataannya, apakah disiplin ilmu kalam, sebagai body of knowledge, yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia terdahulu, dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang? Apakah akidah Islamiyah, khususnya yang dirumuskan dan diteorisasikan oleh ulama kalam klasik, tengah dan modern tidak boleh diubah sistematika, metodologi dan konteknya sesuai dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan dan adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai dengan tuntutan dan tantangan sosial-keagamaan serta perkembangan ilmu pengetahuan yang mengitarinya?” Dapatkah dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya, barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang biasa dan selama 47 Amin Abdullah, Kajian Ilmu Kalam di UIN, lihat http://uin- suka.info/fdak/index.php?option=com_content&task=view&id=152, diambil pada 23 Januari 2011 48 Ibid
  • 16. ini disebut-sebut sebagai “doktrin”, “dogma” atau “akidah” digagas sebagai teori” keilmuan kalam, karena adanya unsur campur tangan dan intervensi manusia Muslim (nabi, sahabat, ulama, fuqaha, mutakallimun, usuliyyun, cerdik cendekia) dalam merumuskan dan mensistematisasikannya?” Mereka mengkritik betapa studi ilmu kalam itu sangat melangit dan tidak membumi, dalam artian menurut bahasa Hasan Hanafi, Ilmu Kalam adalah milik kaum elit intelektual yang tidak banyak bermanfaat untuk kalangan bawah. Pandangan demikian sekaligus mencerminkan paradigma yang ada dalam benak mereka, yaitu paradigma materialistis sebagaimana telah diperkenalkan oleh kaum Marxis. Dan dapat ditebak, mereka menghendaki untuk beralih kepada teori kebenaran pragmatisme yang diimpor dari Amerika, sebagai ganti dari teori kebenaran koherensi. Meski demikian, sebagai pemeharti keilmuwan, kajian kritis mereka terhadap metodologi ilmu kalam perlu diapresiasi dan dipertimbangkan sekaligus dianalisa secara mendalam untuk kemashlahatan Islam di dunia dan akherat, bukan di dunia semata. G. Penutup Membaca Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang menjadikan seseorang akan lebih arif dalam melihat perbedaan. Terlepas dari keabsahan epistemologi masing-masing aliran ilmu kalam, penulis beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan akidah merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di atas, nampaknya kalangan ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan maturidiyah) yang masih kuat berpegang kepada wasiat Nabi saw untuk senantiasa berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan berpikir dan beramal. Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu ekstrim dalam menggunakan akal, namun mereka banyak menolong agama Islam dari serangan-serangan pemikiran agama lain dan kaum atheis.
  • 17. DAFTAR PUSTAKA 1. Bahasa Indonesia A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) A. Qadri Abdillah Azizy, Dimensi Praktis Ilmu Ushuluddin: Sebuah Alternatif Pengembangan Ilmu Ushuluddin, dalam Buku Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipasif terhada Hedonisme dan Kehidupan Modern, (Tiga Serangkai) A. Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001) Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep- Konsep Asas Filsafah, (Kuala Lumpur: Sanon Printing Corporation SDN BHD, 2005) Afrizal M., Ulama dan Cendekiawan Muslim Ibnu Rusyd: Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006) Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Erlangga, 2006) Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga, 2002) Amin Abdullah, Kajian Ilmu Kalam di UIN, lihat http://uin- suka.info/fdak/index.php?option=com_content&task=view&id=1 52, Asy-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, alih bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003) Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005
  • 18. Ibrahim Madkour, Alilran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) Jim dan Zam, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Mantiq, makalah tidak diterbitkan Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits, (Jakarta: Hikmah, 2009) Kamarul Shukri Mohd The, Pengantar Ilmu Tauhid, (Kuala Lumpur: Utusan Publication dan Distributors Sdn Bhd, 2008) M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, alih bahasa: Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009) Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigam dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008) --------------, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity Press, 2008) --------------, Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi, (Ponorogo: CIOS, 2010) Mufti Ali, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3 (September-Desember) 2007 Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? : Jawaban terhadap Aliran Salafi, (Surabaya: Khalista, 2009) Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam Syafi’i) Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, alih bahasa: Agus Efendi, (Jakarta: Mizan, 2009)
  • 19. Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah wal Jama’ah: Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya, alih bahasa: Ummu Fauzi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, tt) Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam: Sketsa Awal, dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. 3, Desember 2005 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, (New York: 950 University Avenue, 1985) Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: Refleksi Mengais Keheningan Tauhid, (Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2008) Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, tt) Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS, 2003) 2. Bahasa Arab ، ‫: د ل ودر‬ ‫ا‬ ‫د ا ح ا ر ، ا رق ا‬ (١٩٩۵ , ‫وھ‬ :‫)ا ھرة‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ر ا ذاھب ا‬ :‫م‬ ‫, م ا‬ ‫زر‬ ‫أل‬ (٢٠٠٦ ,‫دار ا م‬ :‫, ) و ورو و‬ ‫ا‬ :‫م، )ا ھرة‬ ‫م ا‬ ‫درا‬ ‫، ا د ل إ‬ ‫ود ا‬ ‫ن‬ (١٩٩١، ‫وھ‬ (١٩٦٠ ، ‫ت، )ا ھرة: دون ط‬ ‫ا‬ :‫ء‬ ‫،ا‬ ‫إن‬