Dokumen tersebut membahas tentang sefalosporin, salah satu kelas antibiotik β-laktam yang banyak digunakan. Sefalosporin dihasilkan melalui fermentasi menggunakan fungi Acremonium chrysogenum dan memiliki keunggulan dibanding penisilin karena lebih resisten terhadap enzim β-laktamase bakteri. Berbagai jenis sefalosporin dikelompokkan dalam 5 generasi berdasarkan spektrum dan aktivitas antibakteriny
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Industri sefalosporin
1.
2. Sefalosporin merupakan salah satu antibiotik yang memiliki cincin β-laktam dalam strukturnya sehingga tergolong antibiotik β-laktam bersama-sama dengan penisilin, monobaktam, dan karbapenem. Sefalosporin tergabung dalam cephem, subgrup antibiotik β-laktam bersama dengan sefasimin. Seperti halnya semua senyawa metabolit sekunder, antibiotik sefalosporin dihasilkan dalam industri bioproses yang melibatkan mikroorganisme.
3. Sefalosporin C merupakan contoh sefalosporin yang paling awal ditemukan. Fungsinya sebagai antibiotik yang cukup potensial menjadikannya produk antibiotik yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Dengan mengubah-ubah gugus sampingnya, diperoleh berbagai senyawa turunan sefalosporin atau disebut sefalosporin semisintetik dengan sifat-sifat yang berbeda.
5. Penemuan antibiotik β-laktam merupakan terobosan yang luar biasa dalam pembuatan obat. Penisilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 terbukti efektif dalam melawan bakteri gram positif. Berbagai penelitian lebih lanjut terhadap penisilin menjadi populer pada masa itu. Meksipun demikian, penisilin umumnya memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram negatif. Dan seiring dengan penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resistan terhadap penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang menghidrolisis cincin β-laktam pada penisilin.
6. 19367528575Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu, seorang profesor Hygiene dari University of Cagliari, Italia, berhasil mengisolasi strain Cephalosporium acremonium, sejenis mold, dari air laut dekat saluran pembuangan limbah di Cagliari, Sardinia. Percobaan yang dilakukannya membuktikan bahwa fungi ini menghasilkan senyawa yang efektif dalam melawan Salmonella tylhi (sejenis bakteri gram negatif). Pada tahun 1948, Brotzu mempublikasikan penemuannya, akan tetapi kurang menarik perhatian. Atas usul British Medical Research Council, Brotzu kemudian mengirimkan kultur C. acremonium, yang kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium chrysogenium pada tahun 1971 oleh Gams, kepada Howard Florey di Oxford.
7. Guy Newton dan Edward Abraham di Sir William Dunn School of Pathology, University of Oxford pada tahun 1951 berhasil menemukan senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh kultur Acremonium yang kemudian diberi nama sefalosporin C. Pada tahun 1955, antibiotik sefalosporin C menunjukkan spektrum aktivitasnya yang lebar, termasuk banyak strain Staphylococcus aureus yang sensitif dan resistan terhadap penisilin.
8. Riset dan pengembangan industri produksi sefalosporin semakin marak mengingat potensi yang besar dari sefalosporin. Proses produksi yang pertama melibatkan Glaxo, dari Inggris, dan Ely Lilly, dari Amerika Serikat, sebagai yang pertama bernegosiasi dengan NRDC (National Research Development Corporation).
9. Pada tahun 1985, gen biosintetik β-laktam pertama, pcbC (encoding cyclase) berhasil dikloning dari A. chrysogenum. Perkembangan ini cukup berarti bagi industri sefalosporin mengingat pembuatan enzim yang diperlukan bagi industri ini menjadi lebih mudah.
11. 3289301308735Senyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA), yang mengandung gugus β-laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C, 1 gugus karbonil, dan 1 atom N) dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan nama ilmiah sefalosporin adalah asam 3-asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4-karboksilat.
12. Struktur gugus inti sefalosporinBerbagai senyawa lainnya dapat diperoleh dengan mengganti R1 dan R2 pada struktur gugus inti sefalosporin tersebut, sehingga dapat menghasilkan sifat-sifat senyawa yang berbeda-beda. Beberapa contoh senyawa turunan sefalosporin yaitu
14. Berikut beberapa struktur yang berkaitan dengan sefalosporin yang terjadi secara alami, bukan hasil sintesis.
15. Sifat-sifat senyawa turunan sefalosporin tergantung gugus yang terikat pada gugus inti. Gugus R1 akan mempengaruhi sifat farmakologinya (proses yang dilalui obat dalam tubuh), sedangkan gugus R2 mempengaruhi karakteristik antibakterialnya.
16. Secara umum, sefalosporin dikelompokkan dalam 5 generasi, berdasarkan sifat antibakterial, spektrum antibiotik, stabilitas terhadap laktamase, dan aktivitas intrinsik.
17. Generasi 1, bersifat lebih efektif dalam menghadapi infeksi staphylococcal dan streptococcal (bakteri gram positif), stabil terhadap asam, sedikit aktif dalam melawan bakteri gram negatif. Beberapa obat yang tergolong dalam sefalosporin generasi pertama yaitu cefadroxil, cefazolin, cephalexin, cephaloridine, cephalothin, cephapirin, dan cephradine.
18. Generasi 2, memiliki spektrum bakteri gram negatif yang lebih luas, akan tetapi lebih lemah dalam melawan bakteri gram positif dibanding generasi pertama. Kelompok ini juga lebih resistan terhadap β-laktamase. Sefalosporin yang termasuk generasi kedua adalah cefaclor, cefoxitin, cefprozil, dan cefuroxime.
19. Generasi 3, memiliki aktivitas terhadap bakteri gram negatif yang jauh lebih besar, yang disertai dengan berkurangnya aktivitas terhadap bakteri gram negatif. Kelompok ini meliputi cefdinir, cefixime, cefotamine, ceftriaxone, ceftazidime, dan cefoperazone.
20. Generasi 4, memiliki spektrum yang lebih seimbang, sehingga aktif dalam melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Generasi 4 sefalosporin merupakan antibiotik yang paling potensial di antara obat-obat dalam mengobati beberapa infeksi serius pada manusia. Cefepime, cefluprenam, cefozopran, cefpirome, dan cefquinome merupakan obat-obat yang tergolong dalam generasi 4 ini.
23. Kebanyakan sefalosporin berupa padatan yang berwarna putih, coklat, atau kuning muda, yang biasanya tidak berbentuk (amorf), tetapi kadang-kadang bisa berbentuk kristal. Sefalosporin umumnya tidak memiliki titik leleh yang tinggi. Sifat asamnya umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin dihidrothiazin. Nilai keasamannya, pKa, tergantung kondisi lingkungannya.
24. Salah satu sifat fisik yang mencolok dari sefalosporin adalah frekuensi dalam spektrum inframerah. Absorpsi terjadi pada frekuensi tinggi (1770-1815 cm-1) yang berasal dari karbonil β-laktamnya. Dibandingkan dengan frekuensi gugus karbonil pada senyawa lain, misal karbonil ester (1720-1780 cm-1) dan amida (1504-1695 cm-1), bisa dibilang cukup tinggi. Beberapa sifat fisik sefalosporin ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
27. Seperti halnya antibiotik β-laktam lainnya, sefalosporin dapat digunakan dalam melawan infeksi oleh bakteri dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga merupakan antibiotik β-laktam, sefalosporin memiliki sifat resistan terhadap enzim β-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan pada cincin β-laktam.
28. Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh bakteri, seperti infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi kulit, dan infeksi saluran urin. Pemberian sefalosporin kadang-kadang bersamaan dengan antibiotik lain. Sefalosporin juga umum digunakan dalam pembedahan atau surgery, untuk mencegah infeksi selama pembedahan.
29. Berbagai jenis sefalosporin yang dihasilkan juga memberikan berbagai fungsi berbeda dari masing-masing sefalosporin. Sefalosporin generasi pertama seperti sefalotin dan sefalexin merupakan yang paling aktif dalam melawan staphylococci dan nonenterococcal streptococci, dan merupakan antibiotik alternatif dari penisilin untuk pasien dengan endocarditis, osteomyelitis, septic arthritis, dan cellulitis. Dikatakan sebagai antibiotik alternatif karena adanya pasien yang kemungkinan alergi terhadap penisilin ataupun karena adanya infeksi campuran oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun obat-obat ini sudah terbukti dapat mengatasi infeksi seperti bacteriemias, infeksi saluran kencing, dan pneumonia, yang disebabkan bakteri gram negatif, penggunaan sefalosporin ini sebagai agen tunggal tidak disarankan, karena aktivitas melawan bakteri gram negatif masih lemah dan tidak dapat diprediksi. Sefalosporin generasi pertama telah digunakan secara luas dalam pencegahan cardiovascular, orthopedic, biliary, pelvis, dan intra-abdominal surgery. Sefazolin, yang memiliki waktu paruh lebih lama dibanding sefalosporin generais pertama lainnya, merupakan pilihan utama untuk pencegahan dakam pembedahan.
30. Sefuroxime efektif dalam melawan Haemophilus influenzae penyebab penyakit sejenis pneumonia yang kebal terhadap ampisilin. Sefoxitin digunakan untuk mengobati infeksi campuran aerobik-anaerobik termasuk infeksi pelvis, intra-abdominal, dan nosocomial aspiration pneumonia. Sefonicid, karena waktu paruhnya yang panjang juga banyak digunakan dalam berbagai jenis infeksi seperti saluran kencinga dan jaringan kulit.
31. Sementara itu, sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk melawan bakteri gram positif. Biasanya pengobatan infeksi tidak menggunakan sefalosporin generasi ketiga, melainkan obat lainnya. Pengecualian berlaku bagi pengobatan meningitis. Sefotaxime, seftriaxone, dan seftazidime terbukti efektif dalam mengobati meningitis, terutama bagi anak-anak di mana Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis merupakan penyebab utamanya. Seftriaxone sekarang merupakan agen pilihan untuk mengobati berbagai infeksi yang disebabkan strain kebal penisilin.
34. Permintaan pasar terhadap antibiotik β-laktam pada tahun 2000 mencapai ~US$ 15 milyar. Dari nilai tersebut, sefalosporin menyumbang sebesar 66% atau ~US$ 9,9 milyar. Tingginya nilai sefalosporin dikarenakan juga harganya yang lebih mahal dibanding penisilin akibat proses industrinya yang memerlukan cost lebih tinggi.
35. Berikut adalah tabel yang menunjukkan rangking produksi β-laktam yang utama di dunia dan volume produksinya.
36. Dari tabel tersebut dapat dipastikan bahwa sefalosporin menempati urutan kedua sebagai antibiotik yang paling banyak dihasilkan setelah penisilin.
37.
38. Sefalosporin merupakan antibiotik dengan fungsi yang lebih luas dibanding penisilin. Sefalosporin efektif dalam melawan bakteri gram negatif sekaligus bakteri gram positif. Sefalosporin juga mampu melawan beberapa jenis bakteri yang kebal terhadap penisilin. Untuk itu seharusnya persediaan sefalosporin lebih banyak daripada penisilin.
39. Harga sefalosporin umumnya lebih mahal daripada penisilin karena proses industrinya yang memakan cost lebih tinggi. Hal ini juga berlaku di Indonesia. Produksi antibiotik dalam negeri umumnya belum mandiri mulai dari awal proses produksi, melainkan mengimpor bahan mentah dari luar. Dengan demikian, sudah pasti harga sefalosporin dalam negeri lebih mahal daripada yang di luar.
52. Pengembangan dalam memperoleh yield sefalosporin telah dicapai dengan meningkatkan produktivitas A. chrysogenum melalui teknik mutasi dan seleksi strain. Perkembangan signifikan pertama dicapai ketika mutan 8650 berhasil diisolasi pada tahun 1959. Strain ini memungkinkan 100 gram sefalosporin C didapatkan untuk determinasi struktur dan merupakan induk dari semua strain dalam industri produksi sefalosporin C.
53.
54. Pengembangan strain juga dapat dilakukan melalui genetic engineering. Target dari genetic engineering dalam pengembangan strain adalah enzim yang teridentifikasi sebagai pembatas laju (rate-limitting) biosintesis maupun prekursornya. Strain A. chrysogenum untuk industri berhasil ditransformasi dengan rekombinan plasmid yang mengandung gen resistansi terhadap higromisin dan gen cefEF penghasil enzim bifungsional ekspandase-hidroksilase.
56. Medium untuk fermentasi harus mengandung karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan, tetapi juga harus merangsang diferensiasi kultur yang diperlukan untuk produksi antibiotik. Sumber karbon harus disuplai secara terpisah dalam bentuk karbohidrat sederhana dan kompleks, untuk kontrol pertumbuhan dan kadar glukosa yang lebih mudah. Monosakarida, terutama glukosa, sangat menunjang pertumbuhan kultur, tetapi menurunkan sintesis antibiotik. Gula sederhana ini bisa ditambahkan secara batch pada medium ataupun fed dengan laju tinggi pada awal fermentasi. Penggunaan galaktosa dan sukrosa menunjang pertumbuhan yang lebih lambat dibanding glukosa, tetapi produktivitas spesifik yang lebih tinggi.
57. Selama fermentasi berlangsung, feed gula dikurangi, dan karbon dengan jumlah besar disuplai dalam bentuk kacang kedelai ataupun minyak kacang. Ini untuk membatasi kadar glukosa dan mendukung pembentukan arthrospora untuk produksi sefalosporin C. Minyak ini juga dapat bertindak sebagai surfaktan untuk mengurangi foaming.
58. Sumber nitrogen dapat dibedakan atas nitrogen organik dan nitrogen anorganik. Nitrogen organik dapat disuplai dari berbagai kombinasi hasil samping pertanian, seperti kacang kedelai dan ampas biji kapas. Nitrogen anorganik bersifat sebagai suplemen saja, dan bisa bersumber dari amonium sulfat, gas amonia, maupun amonium hidroksida. Penambahan nitrogen anorganik juga berfungsi sebagai pengatur pH. Corn steep liquor (hasil samping dari pengolahan jagung) umumnya digunakan sebagai medium karena murah dan kaya asam amino, vitamin, dan zat sisa lainnya.
59. DL-Metionin digunakan untuk merangsang pembentukan arthrospora pada masa kekurangan glukosa, sehingga dapat dihasilkan sefalosporin C. Metionin diketahui sebagai inhibitor kompetitif bagi enzim invertase yang digunakan untuk metabolisme sukrosa.
60. Pada umumnya, medium untuk fermentasi skala besar sefalosporin C mengandung kacang kedelai atau kacang-kacangan lain, corn steep liquor, molase daging, minyak lemak hewan atau metil oleat, glukosa, dan metionin. Dalam medium sefalosporin, lipid merupakan sumber karbon dan energi yang lebih utama dibandingkan glukosa. Sulfur untuk sefalosporin C diperoleh dari metionin dibanding sulfat.
62. Lintasan biosintesis sefalosporin telah dikenal dengan baik. Biosintesis sefalosporin C, dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam L-α-aminodipic, L-sistein, dan L-valin, untuk membentuk tripeptida δ-(L-α-amoniadipyl)-L-sisteinil-D-valin (LLD-ACV) dengan menggunakan enzim ACV sintetase. Tripeptida LLD-ACV kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti penam (penam nucleus), isopenisilin N, dengan enzim isopenisilin N sintetase atau siklase.
63. Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah gugus samping L-α-aminoadipyl menjadi D-α-aminoadipyl menggunakan enzim isopenisilin N epimerase (IPNE). Penisilin N kemudian diubah menjadi deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin dengan menggunakan enzim deasetoksisefalosporin C sintetase. Enzim deasetilsefalosporin sintetase kemudian mengkatalisasi reaksi hidroksilasi deasetoksisefalosporin C pada gugus metil C-3 untuk menghasilkan deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik ekspansi cincin maupun aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama, yang dikodekan oleh satu gen. Berbeda dengan fungi, S. clavuligerus dan N. lactamdurans menghasilkan dua enzim berbeda, ekspandase dan hidroksilase, untuk mengkatalisasi kedua reaksi, yang dihasilkan oleh dua gen terpisah.
64. Pada A. chrysogenum, langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin C, dikatalisasi oleh enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang melibatkan transfer satu gugus asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil atom C-3 pada deasetilsefalosporin C.
65.
66. Germinasi dilakukan dan inokulum dipersiapkan sebelum proses fermentasi. Menurut Kanzaki, et al (1976), proses produksi sefalosporin C (CPC) untuk fermenter berkapasitas 2000 volume bagian diisi dengan 500 volum bagian medium inokulum yang terdiri dari 3% sukrosa, 1,5% ekstrak daging, 0,5% corn steep liquor, dan 0,15% CaCo3, yang sesudah disterilisasi, diinokulasikan dengan Cephalosporium acremonium (sekarang Acremonium chrysogenum). Fermenter yang telah diinokulasi diinkubasikan pada 28oC selama 3 hari. Sementara tangki stainless-steel dengan kapasitas 50000 volume bagian diisi dengan 30000 volume bagian medium dengan 6% sukrosa, 5% glukosa, 3% minyak kacang, 3% tepung kedelai, 1% DL-methionin dan 0,15% CaCO3. Medium disterilisasi dan didinginkan. Medium fermentasi secara aseptik diinokulasikan dengan kultur inokulum yang dipersiapkan di atas dan diinkubasikan pada 28oC dengan sparging dan agitation (aerasi 30000 volume bagian tiap menit dan agitasi pada 250 rpm). Sesudah waktu kultivasi 190 jam, hasil fermentasi diambil dan disaring untuk menghilangkan padatannya.
68. Sefalosporin C dihasilkan secara industri dengan fermentasi menggunakan A. chrysogenum. pH diatur antara 6 hingga 7 dalam rentang temperatur 24 sampai 28 oC. Fermentasi dilakukan dalam tangki bioreaktor yang diaerasi dan berpengaduk dengan kultur submerged.
69. Fermentasi skala produksi dilakukan secara fed-batch dengan suplai karbon dimasukkan baik sebagai karbohidrat sederhana maupun kompleks pada awal proses, yaitu ketika fasa pertumbuhan dalam fermentasi. Selama fermentasi berlangsung, suplai gula dikurangi dan digantikan dengan sumber karbon dan energi lain seperti lipid. Pengubahan energi dari lipid, contohnya minyak kacang tergolong rendah efisiensi sehingga pertumbuhan menjadi lambat, dan miselium vegetatif banyak yang berubah menjadi arthtospora multiselular. Tahap arthrospora akan mengakibatkan ketersediaan oksigen yang tinggi bagi mikroorganisme dan berakhir pada produksi sefalosporin yang cepat.
70. Penambahan DL-Metionin dilakukan ketika awal fasa pertumbuhan dalam fermentasi, untuk membantu meningkatkan perubahan miselium menjadi arthrospora. Pembentukan arthrospora juga berkorelasi dengan oksigen terlarut. Semakin besar jumlah oksigen terlarut, maka pembentukannya semakin cepat. Akan tetapi jumlah maksimalnya tetap terbatas karena pengaruhnya terhadap kerja enzim tertentu.
71. Salah satu yang menjadi permasalahan dalam fermentasi sefalosporin adalah ketidakstabilan molekul sefalosporin C selama proses. Ini menjadi penyebab utama perolehan produk sefalosporin dalam siklus industri panjang yang semakin berkurang dibanding produksi penisilin dalam siklus panjang.
72.
73. Setelah fermentasi selesai, miselia dan komponen medium yang tidak larut biasanya dibuang secara filtrasi atau sentrifugasi. Dalam hasil fermentasi, selain sefalosporin C juga terdapat sejumlah kecil penisilin N, deasetoksisefalosporin C, dan deasetilsefalosporin C. Pengambilan sefalosporin C dapat dilakukan dengan cara ekstraksi.
74. Pada kondisi netral dan sedikit asam, dapat terjadi konversi sefalosporin C menjadi senyawa X. Pada pH lebih kecil dari 2, akan terbentuk sefalosporin C laktone. Untuk meminimalisir terjadinya degradasi ini, pengambilan sefalosporin C harus dilakukan secepat mungkin, dan menghindari kondisi pH ekstrim dan suhu tinggi.
75. Proses pemisahan produk sefalosporin C lebih kompleks dibanding penisilin karena sifatnya yang amfoter menjadi hambatan dalam ekstraksi dengan pelarut organik. Antibiotik ini dapat dipisahkan dengan kombinasi penukar ion dan presipitasi. Penggunaan resin makrosporous seperti XAD-2 dan XAD-4 akan menghasilkan isolasi yang lebih murni dan menghilangkan pengotor lebih banyak.
76. Proses pemurnian dan recovery produk sefalosporin C dimulai dengan pendinginan temperatur menjadi 3-5oC diikuti dengan penghilangan padatan miselial secara filtrasi ataupun sentrifugasi. Hasil proses tersebut adalah sefalosporin C dengan beberapa macam prekursor dalam jumlah kecil, seperti penisilin N, DAOC, deasetilsefalosporin C, dan hingga senyawa X.
77. Ada dua strategi utama untuk memurnikan sefalosporin C. Pertama, menggunakan karbon aktif atau resin non-ionik. Karena selektivitas yang tinggi dari resin, sefalosporin C lebih disukai untuk teradsorpsi dibanding senyawa lainnya. Kebanyakan penisilin N hilang pada langkah asidifikasi hingga pH 2,0. Kemudian dilanjutkan dengan tambahan penukar anion dan kation untuk mendapatkan sefalosporin dengan kualitas tinggi. Sejumlah besr fraksi sefalosporin C kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk kemudian diubah lagi menjadi sefalosporin semisintetik atau turunan.
78. Strategi pemurnian kedua yaitu dengan substitusi gugus amin pada C-7 rantai samping alpha-aminoadipyl. Dua senyawa turunan hasil subtitusi, N-2,4-diklorobenzoil sefalosporin C dan tetrabromokarboksibenzoyl sefalosporin C, dapat dikristalkan dari larutan asam. Garam kemudian terbentuk antara turunan N-subtitusi dan basa organik seperti disikloheksilamin atau dimetilbenzilamin, menghasilkan garam sefalosporin yang dapat diekstraksi. Sefalosporin yang sudah terekstrak kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk proses lainnya.
81. Limbah yang dihasilkan oleh industri sefalosporin cukup berbahaya karena mengandung bahan beracun biologis yang sulit terurai sehingga dapat mencemari lingkungan dan makhluk hidup. Kadar substansi organik atau substansi koloid-padat masih cukup tinggi, dan nilai pH yang bervariasi, serta mengandung substansi biotoksik tidak terurai dan antibiotik bakteristatik.
82. Menurut Duan Haixia (2009), pengolahan limbah produksi sefalosporin dapat dilakukan dengan perlakuan (treatment) biokimia secara proses yang disebut asidifikasi hidrolitik-Up-flow Anaerobic Sludge Bed (UASB)-Sequencing Batch Reactor Activated Sludge Process (SBR)-Biological Activated Carbon (BAC).
83. Dengan menggunakan reaksi hidrolitik dan bakteri penghasil asam, substansi organik yang undegradable dapat diubah menjadi materi biodegradable dengan ukuran lebih kecil. Lama-kelamaan tingkat biodegradability akan meningkat dan mengurangi muatan (charge) untuk proses-proses selanjutnya.
84. Reaktor UASB memiliki struktur dasar yang terdiri dari unggun lumpur (sludge bed), layer suspensi lumpur, zona presipitasi, sistem pemisah tiga fasa dan intake, dan butiran kecil lumpur dalam zona reaksi. Selama proses, air limbah mengalir dari bawah reaktor dan melalui zona reaksi (sludge zone) menuju zona separasi tiga fasa (gas, liquid, dan solid), hingga akhirnya masuk dalam zona presipitasi. Lumpur dalam campuran akan kembali ke zona reaksi di bawah akibat gravitasi, sambil membawa campuran biogas yang akan dikeluarkan melalui pipa-pipa. Tidak terdapat pengaduk mekanik dalam sistem UASB, dan biasanya tidak diperlukan filter, sehingga sistem UASB memiliki struktur yang mudah dan gampang dipertahankan.
85. Metode SBR, atau dinamakan reaktor sequencing batch, merupakan regenerasi dan modifikasi dari reaktor pengisian-dan-pengosongan. SBR digunakan dalam treatment anaerobik proses subsekuen, untuk menjamin agar standar bahan yang dikeluarkan telah terpenuhi. Teknologi BAC menggunakan karbon aktif yang memiliki area permukaan spesifik yang luas dan struktur kosong yang telah dikembangkan sebagai pembawa untuk agregasi, propagasi, dan pertumbuhan mikroorganisme, dan pada kondisi temperatur dan nutrisi moderat, mendesak penurunan mikrobiologikal secara simultan.
86. Dalam proses reaktor yang normal, pengurangan COD dari reaktor asidifikasi hidrolitik dan UASB berkisar 36%-55% dan 80%-90%. Kadar lumpur reaktor SBR adalah 0,40 kg COD/(kgMLSS-d), dan pengurangan COD 80%-85%. BAC yang telah dikembangkan dapat menghilangkan COD dan kroma dari air limbah secara aerobic treatment.Diagram proses untuk pengolahan limbah industri sefalosporin (Duan Haixia, 2009)<br />Kurva perubahan COD dalam proses asidifikasi hidrolitik<br />Kurva perubahan COD dalam proses SBR<br />Kurva perubahan COD dalam proses SBR<br />Removal COD dan Chrome dari kolom BAC<br />DAFTAR PUSTAKA<br />Andes, D. and Craig, W.A. (2006). Pharmacodynamics of a New Cephalosporin, PPI-0903 (TAK-559), Active Against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in Murine Thigh and Lung Infection Models: Identification of an In Vivo Pharmacokinetic-Pharmacodynamic Target. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol 40 No: 4, April 2006, 1376-1383.<br />Demain, A.L., et al (1962). Effect of Methionine, Norleucine, and Lysine Derivatives on Cephalosporin C Formation in Chemically Defined Media. 27 Agustus 1962, 339-344.<br />Duan, Haixia (2009). Study on the Treatment Process of Wastewater from Cephalosporin Production. Journal of Sustainable Development. Vol 2 No: 2, Juli 2009. 133-136<br />Elander, R.P. (2003). Industrial Production of Β-lactam Antobiotics. Journal of Application Microbiology Biotechnology, 61, 3 April 2003, 385-392.<br />Flickinger, M.C. and Stephen W. Drew (1999). Encyclopedia of Bioprocess Technology: Fermentation, Biocatalysis, and Bioseparation. John Wiley & Sons, Inc. New York, United States of America, 560-569.<br />Hewinson, R. Glyn, et al (1986). The Permeability Parameter of the Outer Membrane of Pseudomonas aeruginosa Varies with the Concentration of a Test Substrate, Cephalosporin C. Journal of General Microbiology. 132, 19 Juli 1985, 27-33.<br />Kanzaki, et al (1976). Production of Cephalosporin C. US Patent. 6 April 1976.<br />Kim, Youngsoo and Hol, Wim G.J. (2001). Structure of Cephalosporin Acylase in Complex with Glutaryl-7-aminocephalosporanic acid and Glutarate: Insight into the Basis of Its Substrate Specificity. Chemistry & Biology. Vol 8 No: 12, November 2001, 1253-1264.<br />Muniz, Carolina Campos, et al (2007). Penicllin and Cephalosporin Production: A Historical Perspective. Journal of Microbiology. Vol 49 No: 3-4, December 2007, 88-98.<br />Nigam, Vinod Kumar, et al (2007). Influence of Medium Constituents on the Biosynthesis of Cephalosporin-C. Journal of Biotechnology. Vol 10 No: 2, 15 Aptil 2007.<br />Othmer, Kirk. Encyclopedia of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc. United States of America. 1-40<br />Pichichero, Michael E. (2006). Cephalosporins Can Be Prescribed Safely For Penicllin-Allergic Patients. Applied Evidence.Vol 55 No: 2, 23 Januari 2006, 106-112.<br />Saravanne, R. and Lavanya, M . (2006). Anaerobic Stabilization and Recalcitrant Antibiotic Transformation Under Acclimed Inoculum-Substrate Matrix. Water Environment. 1739-1746.<br />Srivastava, Pradeep, et al (2006). Process Strategies for Cephalosporin C Fermentation. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol 65, July 2006, 599-602.<br />