2. 2 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. 3
Kedamaian,
di Manakah Kau Berada?
Catatan dan Pembicaraan Sepanjang Penziarahan Hidup
Seeking Peace
Notes and Conversations along the Way
Johann Christoph Arnold
Kata Pengantar oleh Madeleine L’Engle
Pendahuluan oleh Thich Nat Hanh
Penerbit DIOMA – Malang
5. 5
P ikirkanlah sejenak makna kata “damai”. Tidakkah
kelihatan aneh ketika para malaikat menggemakan
damai, sementara dunia terus-menerus dilanda Perang
dan ketakutan akan Perang? Tidakkah Anda menganggap
suara-suara malaikat itu keliru, dan bahwa janji itu
mengecewakan dan palsu?
Ingatlah sekarang, bagaimana Tuhan kita sendiri
bicara tentang damai. “Damai Kutinggalkan padamu,
damai-Ku Kuberikan padamu,”1 kata-Nya kepada para
murid-Nya. Apakah Tuhan memaknai damai itu seperti
yang dipahami para murid-Nya. Apakah Tuhan
memahami damai itu seperti yang kita pikirkan: Kerajaan
Inggris berdamai dengan negara-negara tetangga, para
buron penguasa daerah berdamai dengan Raja, kepala
rumah tangga menghitung penghasilannya dengan
tenteram, hatinya tenang, menyajikan anggur terbaik di
meja kepada seorang sahabat, istrinya menyanyi untuk
anak-anak? Para murid-Nya tidak mengenal keadaan
seperti itu: mereka melakukan perjalanan sampai jauh,
menderita di darat dan di laut, disiksa, dipenjarakan,
dikecewakan, mengalami kematian sebagai martir. Lalu
apa maksud Tuhan? Jika Anda bertanya demikian,
ingatlah bahwa Dia juga berkata, “bukan seperti yang
diberikan dunia ini, yang Kuberikan kepadamu.” Dengan
demikian, Tuhan memberikan kepada para umat-Nya
damai, tetapi bukan damai yang diberikan dunia.
T.S Eliot
Cuplikan dari: Pembunuhan di Katedral
1
Yoh.14:27
6. 7
Ucapan Terimakasih
B elasan orang membantu sampai buku ini selesai
dicetak, tetapi aku ingin menyampaikan terimakasih
khususnya kepada editorku Chris Zimmerman;
sekretarisku: Emmy Maria Blough, Hanna Rimes dan Ellen
Keiderling, dan seluruh staf dari Plough Publishing House.
Terima kasih juga kepada mereka yang telah memberi
izin kepadaku menggunakan anekdot dan surat-surat, dan
mereka yang membantuku dengan berbagai cara
mengerjakan buku ini: Mumia Abu- Jamal, Imam
Muhammed Salem Agwa, Dale Aukerman, Daniel
Berrigan, Philip Berrigan, Rabbi Kenneth L.Cohen, Tom
7. 8 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Cornell, Pastor Benedict Groeschel, Thick Nath Hanh,
Molley Kelly, Frances Kieffer, Suster Ann La Forest,
Madeleine L ’Engle, Pendeta William Marvin, Elizabeth Mc
Alister, Bill Peke. Uskup Samuel Ruiz Garcia, dan Assata
Shakur – juga banyak anggota komunitasku, Bruderhof.
Atas segalanya, terima kasih pada istriku - Verena.
Tanpa dukungan dan semangat darinya, buku ini tak akan
pernah bisa kutulis.
8. 9
Daftar Isi
Ucapan Terimakasih .............................................. 7
Kata Pengantar .................................................... 13
Pendahuluan ......................................................... 17
Bagian I
Mengupayakan Damai .......................................... 21
Bagian II
Berbagai Makna ................................................... 27
9. 10 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Damai Karena Tak Ada Perang .................................. 30
Damai Dalam Kitab Suci ............................................ 33
Damai Sebagai Tujuan Sosial ...................................... 36
Damai Dalam Hidup Perorangan ................................ 39
Damai Tuhan ............................................................. 45
Damai yang Mengatasi Pemahaman ............................ 48
Bagian III
Berbagai Paradoks ................................................. 51
Bukan Damai Tapi Pedang .......................................... 53
Kekerasan Kasih ........................................................ 60
Tak Ada Hidup Tanpa Kematian ................................. 66
Kebijaksanaan Orang Bodoh ....................................... 75
Kekuatan dari Kelemahan .......................................... 82
Bagian IV
Berbagai Batu Pijakan .......................................... 91
Kesederhanaan .......................................................... 101
Kesunyian ................................................................. 107
Kepasrahan ................................................................ 115
Doa ........................................................................... 127
Percaya ...................................................................... 138
Pengampunan ............................................................ 149
Bersyukur .................................................................. 157
Ketulusan .................................................................. 166
Kerendahan Hati ....................................................... 175
Ketaatan .................................................................... 187
Keputusan ................................................................. 196
Penyesalan ................................................................. 205
Keyakinan ................................................................. 216
Realisme .................................................................... 226
Pelayanan .................................................................. 235
10. Daftar Isi 11
Bagian V
Hidup yang Berkelimpahan ................................... 245
Jaminan Keselamatan ................................................. 256
Kepenuhan ................................................................ 265
Kegembiraan .............................................................. 275
Tindakan ................................................................... 285
Keadilan .................................................................... 294
Harapan .................................................................... 304
11. 13
Kata Pengantar
Oleh: Madeleine L’Engle2
S halom. Damai. Suatu damai yang tidak pasif, tetapi
aktif. Suatu damai yang bukan hanya karena
berhentinya kekerasan, tetapi meliputi dan lebih dari
mengatasi kekerasan. Damai sejati.
2
Madeleine L’Engle adalah seorang penulis novel dan buku rohani
Amerika. Mendapat banyak gelar doktor kehormatan dari berbagai
universitas, khususnya di bidang sastra dan yang terakhir doktor dalam
teologi dari Berkeley Divinity School. Di masa tuanya ia mengisi
waktu sebagai pustakawan pada Katedral (Gereja Episcopal) Santo
Yohanes Suci di Manhattan. Lahir pada 1918 di New York City dan
meninggal pada 6 September 2007 di Connecticut pada usia 88 tahun.
12. 14 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Pada akhir suatu abad yang kita ketahui jauh dari damai,
menyenangkan sekali membaca buku yang bagus dari Johann
Christoph Arnold: Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Ia mengutip definisi kakeknya tentang damai: “damai rohani
antara kita dengan Allah; tidak ada kekerasan sepenuhnya,
melalui hubungan damai dengan sesama dan berlakunya
tatanan sosial yang adil dan damai.” Namun setiap pagi jika
aku mendengarkan berita, sepertinya kita makin jauh dan
lebih jauh lagi dari ketiga ambang damai itu. Kita memerlukan
buku ini untuk membimbing jalan kita menuju Shalom.
Pada suatu sore di masa Puasa sepuluh tahun yang lalu,
di Gereja Katedral Santo Yohanes Suci di Manhattan, aku
mendengarkan Pastor Canon Edward West bicara tentang
damai yang kita cari. Ia menggunakan perumpamaan yang
tidak lazim tentang kereta bawah tanah.
Kebanyakan dari kami yang hadir pada malam hari
itu menumpang kereta bawah tanah untuk pergi ke
Katedral dan untuk pergi dan pulang kerja. Ia
menunjukkan kepada kami, jika kita lihat sesama
penumpang kereta bawah tanah, kebanyakan dari mereka
tampak seolah-olah tak dicintai seorang pun. Dan itu
pada umumnya benar. Kemudian pastor melanjutkan, jika
kita mau berkonsentrasi tanpa menyolok mata kepada
seseorang di antara mereka, dan diam- diam kita
menyatakan dengan yakin dalam hati bahwa dia itu anak
yang dikasihi Allah, dan entah bagaimana keadaan di
sekitarnya, dapat tinggal dalam damai Allah, mungkin
kita akan melihat perbedaannya. Damai tidak selalu
merupakan sesuatu yang Anda “buat”; damai adalah
anugerah yang Anda sampaikan pada seseorang.
Di kesempatan lain ketika aku menumpang kereta
bawah tanah lagi, aku melirik seorang wanita di pojok
yang bertopang dagu dengan tangan terkepal, wajahnya
13. Kata Pengantar 15
menunjukkan ketegangan tanpa harapan. Tanpa
melihat dia, aku mulai mencoba mengirimkan damai
kasih Allah kepadanya. Aku tidak bergerak. Aku tidak
memandang dia. Aku hanya mengikuti saran Pastor
Canon West, dan aku heran karena wanita itu tampak
berubah lebih santai. Kepalan tangannya dibuka;
tubuhnya lebih lentur; garis-garis kecemasan hilang dari
wajahnya. Saat itu adalah saat yang penuh syukur
bagiku, dan aku sendiri merasa diliputi dan dipenuhi
oleh kedamaian juga.
Itulah yang kucoba kuingat bila aku menumpang
kereta bawah tanah atau naik bus, atau berjalan di jalanan
yang padat, atau berdiri antre di depan kasir supermarket.
Jika damai Tuhan ada di hati kita, dan kita membawanya
serta, kita dapat memberikannya kepada mereka yang ada
di sekitar kita. Bukan karena keutamaan dan kemauan
kita. Melainkan oleh Roh Kudus yang bekerja melalui kita.
Kita tidak memberikan apa yang kita tak punya, tetapi
jika Roh bertiup menembus awan kelabu, dan masuk ke
hati kita, maka kita pun dapat dijadikan-Nya wahana
damai, dan dengan demikian damai di hati kita juga
bertambah. Makin banyak damai yang kita sebarkan, makin
banyak pula damai yang kita peroleh.
Dalam buku Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
ini Christoph Arnold menceritakan banyak kisah seperti
itu, baik sebagai selingan maupun penjelasan tentang
damai yang diamanatkan agar kita upayakan. Buku ini
penting dan indah, suatu buku yang sungguh perlu untuk
membantu kita membawa damai Tuhan di pengujung
milenium baru ini.
Goshen, Connecticut
Musim Panas 1998
15. KATA PENGANTAR 17
Pendahuluan
Oleh: Thich Nhat Hanh3
D alam Khotbah di Bukit, Yesus berkata : “Berbahagialah
orang yang membawa damai, karena mereka akan
disebut anak-anak Allah.”4 Untuk mengupayakan damai,
Anda sendiri harus punya hati yang damai. Dan jika Anda
punya kedamaian itu, Anda anak Allah. Sayangnya banyak
orang yang mengupayakan damai justru tidak damai hatinya.
3
Thich Nhat Hanh adalah seorang bhiksu Zen Buddhisme, lahir di
Vietnam 1926. Menjadi promotor Damai di berbagai forum. Pada
tahun 1967 dicalonkan untuk menerima Hadiah Nobel untuk
Perdamaian. Mengajar ilmu perbandingan agama. Tinggal di
Dordogne, Perancis, dalam Biara Village des Pruniers (Plum Village).
4
Mat 5:9
16. 18 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Mereka malahan marah dan frustrasi, sehingga apa yang
dikerjakannya tidak sungguh-sungguh menghasilkan damai.
Kita tak dapat merasakan bahwa mereka itu telah
menyentuh Kerajaan Allah. Untuk memelihara damai, hati
kita sendiri harus berdamai dengan dunia. Dengan saudara-
saudara kita. Kebenaran inilah yang merupakan inti dari
buku Christoph Arnold yang kita sambut ini, Kedamaian,
di Manakah Kau Berada?
Kita sering memikirkan damai sebagai keadaan di
mana tak ada perang; sehingga jika negara-negara yang
kuat mengurangi persenjataan mereka, kita mungkin
akan mendapatkan damai. Tetapi jika kita merenung
lebih dalam tentang senjata-senjata itu, kita melihat
dalam batin kita ada prasangka, ketakutan dan sikap
acuh tak acuh. Sekalipun kita pindahkan semua senjata
dan bom itu ke bulan, akar peperangan dan sebab-sebab
adanya bom itu masih tetap ada di sini, dalam hati dan
batin kita, yang membuat kita cepat atau lambat akan
membuat senjata dan bom yang baru.
Yesus berkata, “Ada tertulis, “Jangan membunuh, siapa
yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya
harus dihukum ... siapa yang berkata, ‘Jahil!’ harus diserahkan
ke dalam neraka yang menyala-nyala.”5 Mengupayakan Damai
berarti lebih dari sekadar meniadakan senjata. Awalnya
haruslah mencabuti akar perang yang ada dari antara kita
dan dari hati semua orang lelaki dan perempuan.
Bagaimana kita mengakhiri lingkaran kekerasan?
Arnold menyatakan bahwa sebelum kita berdamai dengan
orang lain dan dengan dunia, kita harus berdamai dengan
diri kita sendiri. Itu sungguh benar. Jika kita sendiri
berperang melawan orang tua kita, melawan keluarga kita
5
Mat 5:21-22
17. Pendahuluan 19
atau Gereja kita maka boleh jadi suatu perang sedang
berlangsung dalam diri kita juga. Dengan demikian langkah
dasar yang harus dilakukan dalam mengupayakan damai
adalah kembali pada diri kita sendiri dan menciptakan
keselarasan di antara unsur-unsur yang ada dalam diri kita:
perasaan kita, persepsi kita, keadaan mental kita.
Sambil membaca buku ini, usahakanlah mengenali
unsur-unsur yang saling bertentangan dalam diri Anda dan
apa yang menjadi penyebabnya. Usahakanlah agar Anda
lebih menyadari apa yang menyebabkan kemarahan dan
perpisahan, dan apa yang bisa mengatasi hal itu. Cabutlah
akar kekerasan dalam kehidupan Anda dan belajarlah
hidup dengan memerhatikan orang lain dan berbelas kasih.
Upayakan damai. Jika Anda punya damai di hati Anda,
maka damai dengan orang lain pun jadi niscaya.
Village des Pruniers, Perancis
Musim Semi 1998
19. 21
Bagian
I
Mengupayakan Damai
“Harapan adalah yang tersisa bagi kita
di masa yang sulit.”
(Pepatah Irlandia)
20. 22 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Mengupayakan Damai
K ita hidup dalam suatu dunia yang tidak damai;
walaupun ada pembicaraan terus-menerus tentang
damai, nyatanya hanya sedikit saja damai yang ada.
Begitu sedikitnya damai yang sesungguhnya, sehingga
ketika aku memberitahu seorang sahabat dekat tentang
buku ini, ia menyatakan bahwa menulis tentang damai
tidak hanya sesuatu yang naif, tetapi juga sesuatu yang
bertentangan dengan kenyataan.
Tak seorang pun menyangkal adanya kekerasan yang
memengaruhi hidup orang di seluruh dunia, mulai dari
tempat-tempat yang bergejolak seperti Chiapas, Irlandia
Utara, Timor Timur, Irak dan Tepi Barat, sampai ke jalanan
di kota-kota kita. Juga dalam kehidupan pribadi, sekalipun
di tempat-tempat yang paling damai di luar kota, setiap
hari situasi tidak-damai terwujud – dalam kekerasan
rumah tangga, dalam berbagai bentuk kecanduan yang
tidak sehat, dalam ketegangan yang merusak memecahkan
teman usaha, sekolah dan gereja-gereja.
Kekerasan juga tersembunyi di balik wajah
masyarakat yang kita anggap telah mendapat pencerahan.
Ada di balik kerakusan, penipuan dan ketidak-adilan
yang menggerakan lembaga-lembaga keuangan besar dan
lembaga-lembaga budaya kita. Ada di balik prasangka-
prasangka yang mengikis perkawinan Kristiani yang
terbaik sekalipun. Ada pada sikap munafik yang
menggerogoti kehidupan rohani dan menodai ungkapan
pelaksanaan agama yang paling saleh sekalipun hingga
menjadi tidak kredibel lagi.
21. Mengupayakan Damai 23
Melihat secara manusiawi segala hal itu, rasanya sia-
sia menulis sebuah buku tentang damai. Tetapi kita juga
mendengar jeritan kerinduan akan damai tertuju ke surga.
Suatu jeritan kerinduan dari relung hati yang paling dalam.
Sebutlah dengan nama lain sesuka Anda, apakah
keselarasan, ketenteraman, kesatuan, ketenangan jiwa,
kerinduan akan semua itu ada pada setiap orang. Tak ada
yang suka mendapat masalah, sakit kepala dan sakit hati.
Setiap orang menginginkan damai, bebas dari kecemasan
dan keraguan, kekerasan dan perpecahan. Setiap orang
menghendaki ketenangan dan keamanan.
Sementara orang dan organisasinya (misalnya
International Fellowship of Reconciliation) memusatkan
perhatian pada perdamaian global. Tujuannya adalah
mencapai kerjasama politik dalam skala internasional.
Yang lain (misalnya Greenpeace) mengusahakan
peningkatan keselarasan antara manusia dan makhluk
hidup lainnya, dan kesadaran akan adanya hubungan
timbal balik dengan lingkungan.
Yang lain mencari damai dengan mengubah gaya
hidup: dengan pindah kerja, pindah tempat tinggal dari
kota ke pinggiran kota (dan dari pinggiran kota ke
pedalaman), mengurangi anggaran belanja, melakukan
penyederhanaan, atau apa pun untuk meningkatkan mutu
kehidupan mereka. Ada anak muda yang setelah tinggal
di luar negeri kembali pada komunitasku, sesudah
meluncur liar dengan pergerakan uang yang begitu cepat
dan hubungan-hubungan zinah, ia rindu sekali untuk dapat
bangun pagi hari dan berdamai dengan diri sendiri dan
dengan Tuhan. Yang lain masih bertahan pada kehidupan
mereka sekarang: senang dan kecukupan, sehingga mereka
bilang tak memerlukan apa-apa lagi, tapi kukira di balik
apa yang tampak itu mereka tak punya damai sejati.
22. 24 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Ketika mengerjakan buku ini aku melihat iklan dengan
foto seorang wanita di atas kapal. Ia meringkuk di sebuah
kursi, memandang jauh ke seberang telaga pada matahari
yang sedang tenggelam. Tertulis di situ: “Suatu impian
tentang pekerjaan, anak-anak yang baik. Perkawinan yang
bahagia. Dan perasaan kosong sama-sekali yang sedang
mengancam.” Ada berapa banyak orang yang berbagi dengan
ketakutan yang tak terungkapkan dari wanita itu?
Pada tingkatan tertentu kita semua mengusahakan
hidup sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Suatu
kehidupan yang selaras, gembira, adil dan damai. Masing-
masing dari kita memimpikan kehidupan tanpa sakit dan
penderitaan, yang dikeluhkan orang setelah hilangnya
Taman Eden (menurut Kitab Suci).
Kerinduan akan tempat dan waktu seperti itu ada
sejak dulu dan selalu di mana saja. Beberapa ribu tahun
yang lalu, Nabi Yesaya mengimpikan kerajaan damai di
mana singa berbaring dengan anak domba.6 Dan setelah
berabad-abad kemudian, bagaimana gelapnya cakrawala,
dan betapapun sengitnya peperangan, lelaki dan
perempuan menaruh harapan kepada visi Nabi itu.
Ketika aktivis antiperang Phillip Beriggan7 belum
lama berselang diadili dan dijatuhi hukuman karena
keterlibatannya dalam pembangkangan sipil di suatu
6
Yes 11:6-9
7
Phillip Berrigan adalah seorang aktivis antiperang kelahiran Two
Harbors, Minnesota, 1923. Ia ditahbiskan menjadi pastor Katolik
pada 1955 dan setelah 18 tahun berkarya ia meninggalkan imamat
pada 1973. Dalam banyak aksinya menentang perang Phil terkesan
anarkis. Pada tahun 1999 ia ditahan dan dijatuhi hukuman penjara
30 bulan. Ia dilepaskan dari penjara pada Desember 2001. Selama
hidupnya ia dipenjara 11 tahun karena aksi-aksinya. Pada 6 Desember
2002 ia meninggal pada usia 79 tahun meninggalkan seorang istri
dan tiga orang anak.
23. Mengupayakan Damai 25
galangan kapal di Maine, banyak orang tidak menyukai
tindakannya. Phillip menyatakan bahwa berdasarkan
norma apa pun mereka “membentuk suatu panggung
absurd.” Tetapi ia menambahkan bahwa ia lebih suka di
penjara karena keyakinannya daripada mati “di pantai
seperti itu”. Berapa banyak dari kita yang bisa berkata
begitu? Phillip berumur tujuh puluh tahun waktu itu,
tetapi ia terus saja melakukan kampanye tak jemu-jemu
melawan industri senjata nuklir dengan kekuatan yang
tak sesuai dengan usianya.
Komunitasku, Bruderhof, juga sering dituduh tidak
realistis. Yah. Kami memang meninggalkan lorong
kehidupan yang cocok bagi kebahagiaan kelas-menengah.
Kami meninggalkan rumah dan kekayaan, karier, rekening
bank, reksa-dana bersama dan masa pensiun yang nyaman.
Sebaliknya kami berusaha hidup bersama menurut contoh
umat Kristiani Perdana. Kami memperjuangkan kehidupan
melalui pengorbanan dan disiplin dan saling melayani. Cara
ini bukanlah suatu damai yang diberikan dunia.
Apa itu damai, dan apa itu realitas? Untuk apa kami
hidup dan apa yang hendak kami wariskan kepada anak-
anak dan cucu-cucu kami? Walaupun mungkin kita
bahagia, apa yang kita punya sesudah perkawinan dan
anak-anak. Sesudah punya mobil dan pekerjaan? Haruskah
yang kita wariskan adalah realitas dunia yang berisik oleh
senjata, dunia kebencian antar-kelas sosial dan keluhan
keluarga, dunia di mana tak ada cinta dan orang menusuk
dari belakang, ambisi egois dan penghinaan? Atau adakah
realitas yang lebih besar, di mana semua itu diatasi oleh
kuasa Sang Pangeran Perdamaian?
Dalam halaman-halaman berikut kuusahakan untuk
tidak menguraikan pokok-pokok masalah ini, juga tidak
menyajikan argumentasi yang kokoh. Buku pedoman
24. 26 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
rohani “Bagaimana Caranya” dapat diperoleh di toko-toko
buku, namun pengalaman hidup damai tidaklah serapi itu.
Seringkali hidup ini acak-cakan tidak karuan.
Bagaimanapun setiap pembaca akan mendapatkan tempat
yang cocok bagi dia, berbeda-beda dalam pencariannya.
Aku juga akan berusaha menghindari jangan hanya tinggal
pada akar situasi tidak-damai. Orang dapat memusatkan
seluruh buku untuk membahas pokok persoalan, tetapi hal
itu dapat membuat pembaca terlalu tertekan. Tujuanku
sangat sederhana saja, yaitu menyajikan batu loncatan di
sepanjang jalan dan harapan secukupnya agar Anda selalu
Mengupayakan Damai.
25. 27
Bagian
II
Berbagai Makna
“Hanya jika Anda telah berdamai
dengan diri Anda sendiri
barulah Anda dapat menciptakan damai di dunia.”
(Rabbi Sincha Bunim)
26. 28 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Berbagai Makna
M ulai dari kartu-kartu ucapan sampai sisipan
pembatas buku, dari papan reklame sampai handuk
lap piring, kebudayaan kita berlimpah dengan bahasa
damai. Kata-kata seperti “damai dan kehendak baik”
tampaknya sangat luas penggunaannya, sehingga begitu
disusutkan menjadi slogan klise. Di dalam surat-
menyurat, banyak di antara kita memberikan sebagai
penutup surat pribadi dengan kata “Peace” atau “Damai”.
Pada tataran lain, banyak pemerintahan Negara dan
media massa berbicara tentang batalion “penjaga
perdamaian” bersenjata berat ditempatkan di wilayah-
wilayah yang porak-poranda oleh perang di seluruh dunia.
Di dalam gereja-gereja, para pastor dan pendeta menutup
ibadat dengan “Pergilah dalam damai,” dan walaupun
kata-kata itu dimaksudkan sebagai bagian dari berkat,
tetapi lebih sering dipahami sebagai isyarat untuk bubar
dan sampai ketemu dalam ibadat hari Minggu berikutnya.
Muhammad Salem Agwa, Imam utama (Mubaliqh,
guru Islam) di New York City menunjukkan bahwa para
Muslim yang baik menyapa satu sama lain waktu berjumpa
dengan kata-kata Assalamu’alaikum. Namun katanya,
juga di antara mereka salam damai itu seringkali jatuh
menjadi kelaziman basa-basi yang disampaikan hanya
dengan sedikit kesadaran akan tanggungjawab bersama
yang terkandung di dalamnya:
Saya menggunakan Assalamualaikum sebagai
sapaan sehari-hari, tetapi artinya bukan sekadar
“Selamat Pagi” atau “Selamat Sore”. Sapaan itu berarti
“Damai dan berkat dari Allah atas dirimu.” Ketika saya
27. Berbagai Makna 29
mengucapkannya, saya merasa damai dengan diri saya
sendiri, dan antara saya dan Anda. Saya mengulurkan
tangan untuk membantu Anda. Saya datang kepada
Anda untuk menyampaikan damai kepada Anda. Dan
sementara itu, sampai kita bertemu lagi, itu berarti
bahwa saya berdoa agar Allah memberkati Anda dan
mengasihani Anda dan mempererat hubungan saya
dengan Anda sebagai saudara.
Dunia niscaya akan berbeda keadaannya seandainya
kita sungguh-sungguh berdamai dengan siapapun yang
kita sapa sepanjang hari, jika kata-kata kita lebih dari
basa-basi kesopanan belaka dan sungguh-sungguh timbul
dari dalam hati kita. Dalam kenyataannya, seperti yang
tak henti-hentinya ditunjukkan oleh orang-orang yang
tak ber-Tuhan, beberapa konflik yang begitu banyak
menumpahkan darah sepanjang sejarah umat manusia
adalah karena kita tak berhenti bertengkar mengenai
perbedaan agama. Tak heran para Nabi zaman dulu
berkata, “Mereka mengobati luka umatku dengan
berkata, ‘Damai, damai’ padahal tak ada damai.”8
8
Yer 6:14; 8:11
28. 30 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Damai
Karena Tak Ada Perang
B agi banyak orang damai berarti secara nasional keadaan
aman, stabil, tertib dan teratur. Berhubungan dengan
pendidikan, kebudayaan dan kewajiban kewarganegaraan,
kemakmuran dan kesehatan nyaman dan tenang. Damai
adalah kehidupan yang sentosa. Tapi dapatkah damai
didasarkan pada hal-hal yang didistribusikan kepada semua
orang? Jika kehidupan yang sentosa berarti ada pilihan yang
tak terbatas dan konsumsi berlebihan pada sedikit orang
yang punya privilege (hak-hak khusus) saja, dan selanjutnya
itu pasti berarti kerja keras dan kemiskinan yang meruyak
bagi jutaan orang yang lain. Inikah damai?
Di penghujung awal Perang Dunia Kedua, kakekku,
Eberhard Arnold9, menulis:
Cukupkah sikap yang membela ketenangan?
Kukira tidak memadai.
Bila ribuan orang dibunuh secara tidak adil, tanpa
proses pengadilan di bawah pemerintahan baru Hitler,
bukankah itu sudah berarti perang?
Jika ratusan ribu orang dimasukkan ke dalam kamp
konsentrasi, direnggut kemerdekaannya, dicopot
martabat kemanusiaannya, bukankah itu perang?
9
Eberhard Arnold adalah pendiri Komunitas Bruderhof
berdasarkan Khotbah di Bukit. Penulis, filsuf, teolog Kristiani.
Lahir di Prusia pada 1888. Meninggal 1935. Komunitasnya
dilanjutkan oleh putranya, dan kemudian oleh cucunya, yang
adalah penulis buku ini.
29. Berbagai Makna 31
Jika jutaan rakyat Asia mati kelaparan, sedang di
Amerika Utara dan di tempat lain ada jutaan ton gandum
ditumpuk, bukankah itu perang?
Jika ribuan perempuan melacurkan tubuhnya dan
menghancurkan kehidupan mereka demi uang; jika jutaan
bayi digugurkan setiap tahun, bukankah itu perang?
Jika orang dipaksa bekerja sebagai budak karena
mereka tak dapat memberikan susu dan roti kepada
anak-anak mereka, bukankah itu perang?
Jika orang-orang kaya hidup di dalam villa-villa yang
dikelilingi kebun-kebun, sedang di kawasan lain
keluarga-keluarga hanya punya satu kamar untuk tinggal
bersama, bukankah itu perang?
Jika orang menyimpan uang dalam jumlah besar
dalam rekening bank sementara yang lain tidak cukup
mendapat uang untuk kebutuhan dasar mereka,
bukankah itu perang?
Jika pengemudi yang ceroboh menyebabkan ribuan
orang mati oleh kecelakaan di jalan setiap tahun,
bukankah itu perang?
Aku tak dapat mewakili suatu aliran yang suka
ketenteraman yang mengatakan bahwa tak ada perang
lagi. Pernyataan itu tidak benar; perang sudah ada hari-
hari ini.... Aku tidak setuju dengan sikap suka
ketenteraman yang wakil-wakilnya justru berpegang
pada akar-akar penyebab perang : para tuan tanah dan
kapitalis. Aku tidak percaya kepada sikap pembela
ketenangan yang ditunjukkan oleh para pengusaha yang
justru menghabisi pesaingnya sampai bangkrut atau para
suami yang tidak dapat hidup dalam damai dan dalam
kasih justru dengan istrinya sendiri....
Aku lebih suka sama sekali tidak menggunakan
istilah “pacifism” (penyuka ketenangan). Tetapi aku mau
memajukan perdamaian. Yesus berkata, “Berbahagialah
orang yang membawa damai!” Jika aku memang
30. 32 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
menghendaki perdamaian, aku harus mewakili damai
di semua bidang kehidupan.
Di dalam khazanah politik, damai mungkin
mengambil bentuk perjanjian dagang, kompromi dan
perjanjian damai. Perjanjian semacam ini biasanya sedikit
lebih dari perimbangan kekuatan yang rapuh, yang
dirundingkan dengan tegang dan acapkali malah
menanamkan benih-benih konflik baru yang lebih buruk
daripada konflik-konflik yang sedang diusahakan untuk
dipecahkan. Ada banyak contohnya, mulai dari Perjanjian
Versailles yang mengakhiri Perang Dunia Pertama tetapi
menghasilkan nasionalisme yang menyulut Perang Dunia
Kedua, hingga Konferensi Yalta, yang mengakhiri Perang
Dunia Kedua tetapi menyebabkan ketegangan yang
mengarah pada Perang Dingin. Gencatan senjata
bukanlah suatu jaminan yang mengakhiri kebencian.
Semua orang setuju bahwa damai merupakan
jawaban atas perang, tapi damai macam apa? Rabbi
Kenneth L. Cohen menulis:
Kegelapan terjadi karena tak ada cahaya, tetapi
damai bukan sekadar karena permusuhan berhenti.
Perjanjian mungkin ditandatangani, para duta besar
berganti, dan tentara dipulangkan ke barak-barak kembali,
namun tetap saja tak ada damai. Damai mempunyai
implikasi metafisik dan kosmis. Damai lebih dari sekadar
tak ada perang. Sesungguhnya, damai bukan berarti
sesuatu tidak ada, tetapi lebih merupakan penegasan
mutlak dari sesuatu yang seharusnya ada.
31. Berbagai Makna 33
Damai
Dalam Kitab Suci
S alah satu cara mempelajari makna damai adalah
dengan melihat apa yang dikatakan Kitab Suci. Di
dalam Perjanjian Lama mungkin tidak ada konsep yang
lebih kaya daripada kata Ibrani untuk damai: Shalom.
Shalom sulit diterjemahkan karena cakupan konotasinya
begitu dalam dan luas. Maknanya tidak tunggal,
walaupun orang dapat menerjemahkannya sebagai
sesuatu yang lengkap, mendalam dan menyeluruh.
Jangkauannya lebih jauh dari “damai” seperti yang
umumnya kita ketahui dalam bahasa kita.
Shalom memang berarti berakhirnya perang atau
konflik, tetapi juga berarti persahabatan, senang, aman
dan sehat; kemakmuran, kelimpahan, ketenangan,
keselarasan dengan alam, bahkan keselamatan. Dan
semuanya itu untuk semua orang, bukan hanya untuk
sekelompok orang pilihan saja. Shalom akhirnya adalah
berkat, karunia dari Allah. Damai bukan berasal dari
usaha manusia. Shalom berlaku untuk orang perorangan,
tetapi juga berlaku untuk hubungan-hubungan di antara
orang-orang, bangsa-bangsa, dan antara Tuhan dan
manusia. Selain itu, Shalom sangat erat kaitannya dengan
keadilan, karena Shalom adalah kesukaan atau perayaan
dari hubungan manusia yang dibenarkan.
Dalam buku He Is Our Peace, Howard Goeringer
melukiskan makna yang lebih dalam dari Shalom:
Kasih kepada musuh.
32. 34 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Pada tahun 600 SM tentara Babilon menyerang Yudea
dan membawa tawanan dari Yerusalem ke tempat
pengasingan/pembuangan. Situasinya begitu sulit sehingga
Yeremia menuliskan suratnya yang hebat ini kepada para
tawanan di Babilon yang membenci musuh mereka:
“Carilah shalom di kota di mana Aku mengirim kamu
dalam pembuangan, dan berdoalah kepada Allah demi
mereka, sebab dalam Shalom mereka kamu akan
mendapatkan shalommu.”10
Dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia
:”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku
buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab
kesejehteraannya adalah kesejahteraanmu.”
Para tawanan dipaksa hidup sebagai orang buangan
dan mereka memerhatikan kebudayaan Yahudi mereka
runtuh. Karena membenci orang yang menawan mereka,
rindu kembali ke tanah air mereka, dan kecewa pada
kegagalan Tuhan dalam melindungi mereka, orang-orang
itu tidak percaya pada perkataan Yeremia. Bagaimana
mungkin orang gila suruhan Tuhan itu menyuruh mereka
mengasihi orang yang menawan mereka, menyuruh
mereka berbuat baik kepada musuh, dan menyuruh
mereka memintakan agar Tuhan memberkati para
penganiaya itu dengan shalom?
Seperti dugaan kita, Surat Yeremia itu tidak populer,
bukan best seller. Kaum buangan yang menderita tidak
bisa memahami bagaimana kesejahteraan mereka dan
kesejehteraan musuh mereka terjalin menjadi satu tak
terpisahkan. Membayangkan bagaimana mereka disuruh
melayani bangsa yang menawan mereka dengan semangat
kebaikan hati, merawat bangsa lawan yang sakit,
10
Yer 29:7
33. Berbagai Makna 35
mengajari anak-anak bangsa musuh dengan permainan
Yahudi, bekerja lembur untuk bangsa asing itu! – itu
semua jelas–jelas bodoh! Tidak masuk akal. Bukan hanya
di mata kaum cerdik pandai dunia, tetapi juga bagi umat
yang paling religius sekalipun.
Damai merupakan tema sentral dalam Perjanjian Baru,
di mana kata eirene paling sering dipakai. Dalam konteks
biblis, eirene jauh melebihi makna klasik kata Yunani itu:
“tenteram,” dan meliputi berbagai konotasi dari shalom.
Di dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus adalah pembawa
tanda dan sarana damai dari Allah. Paulus menyatakan
Kristus adalah perdamaian kita.11 Di dalam Dia segala
sesuatu didamaikan. Dalam Kabar Gembira Kerajaan Allah
itulah segalanya dijadikan benar.
11
Ef 4:12
34. 36 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Damai
Sebagai Tujuan Sosial
D unia penuh dengan para aktivis yang
memperjuangkan tujuan-tujuan yang beharga: ada
yang membela lingkungan hidup dan yang membela para
gelandangan, para aktivis antiperang dan pejuang keadilan
sosial, para pembela kaum wanita yang teraniaya dan kaum
minoritas yang tertindas. Pada tahun enam puluhan banyak
orang dari berbagai kalangan keagamaan turun ke jalan
bersama Martin Luther King12. Dalam tahun sembilan
puluhan banyak orang berjuang menghapus hukuman
mati. Komunitas saya sangat gigih memperjuangkan hal
itu, yang dalam arti yang lebih luas lagi, berjuang melawan
ketidakadilan dalam sistem peradilan Amerika.
Keprihatinan yang kami lontarkan baik di dalam maupun
di luar negeri menunjukkan dengan jelas bahwa politik
tertib hukum lebih terkait dengan kekerasan dan
ketakutan daripada dengan perdamaian.
Beberapa pria dan wanita yang kukenal dalam karya
ini adalah yang paling dedikatif di antara orang-orang
yang pernah kujumpai, dan sedikit pun aku tak
meremehkan prestasi mereka. Namun perpecahan yang
12
Martin Luther King Jr adalah seorang pastor Gereja Baptist yang
menjadi penjuang gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat. Orator
ulung. Lahir pada tahun 1929. Pada tahun 1964 menerima Hadiah
Nobel Perdamaian (yang termuda dalam sejarah). Pada tahun 1968
mati ditembak orang (belakangan terungkap pembunuhnya sesama
pendeta). Kematiannya menimbulkan huru-hara di 60 kota karena
para pengagumnya marah. 300.000 orang hadir ketika ia dimakamkan.
35. Berbagai Makna 37
terjadi pada kehidupan orang lain dan pemisahan yang
sering kali disebabkan oleh pertengkaran mereka sendiri,
tampak jelas menyedihkan.
Mengenang kembali tahun enampuluhan, suatu masa
di mana banyak orang disebut pecandu damai, timbul
beberapa gagasan. Para penggemar kelompok band The
Beatles yang dengan rindu menyanyi; “Beri peluang pada
damai” berulang-ulang tak dapat diremehkan; aku
merasakan mereka itu sungguh-sungguh spiritual. Tidak
seperti mayoritas besar anak muda sekarang, pria maupun
wanita, banyak kaum muda angkatan enam-puluhan dan
tujuh-puluhan menerjemahkan harapan dan impian mereka
menjadi tindakan. Mereka mengadakan demonstrasi dan
mengorganisir acara-acara rapat umum; membentuk
kelompok-kelompok dan melakukan aksi mogok; mereka
melakukan aksi duduk dan pendudukan, berbagai protes
dan melaksanakan proyek pengabdian masyarakat. Tak
seorang pun menuduh mereka itu tak berperasaan. Namun
sulit melupakan kemarahan yang mengubah wajah beberapa
orang yang paling keras menyerukan damai di tahun-tahun
itu, juga perbuatan anarki dan sinisme yang kemudian
melanda seluruh wilayah.
Apa yang terjadi ketika idealisme luntur, ketika pawai
berakhir, ketika Musim Panas Cinta usai? Apa yang terjadi
ketika kelompok-kelompok damai dan hubungan-
hubungan cinta lalu cerai-berai? Apakah damai hanya
menjadi komoditi budaya berupa suatu simbol yang disablon
pada T-Shirt atau dicetak menjadi stiker tempelan di
bemper mobil? Dalam buku The Long Loneliness Dorothy
Day 13, radikal legendaris yang mendirikan Catholic Worker
13
Dorothy Day adalah seorang wartawati Amerika. Seorang Katolik
yang saleh. Lahir pada 1897. Ia menjadi Katolik pada 1927 dan
36. 38 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
memberi komentar tentang kaum muda yang merindukan
dunia yang lebih baik itu kadang melakukan hal yang sama
dengan kaum nihilis (golongan yang yakin bahwa tatanan
sosial adalah buruk sehingga perlu dirusakkan tanpa
memberi alternatif yang konstruktif) dan egois juga. Kaum
muda mengidealkan perubahan, kata Dorothy, tetapi
jarang bersedia untuk mengubah diri mereka sendiri.
Mengutip Rabbi Cohen lagi:
Orang dapat melakukan arak-arakan untuk
perdamaian dan memilih perdamaian, dan mungkin
punya pengaruh kecil terhadap keprihatinan dunia.
Tetapi orang kecil yang sama dapat merupakan raksasa
di mata seorang anak di rumah. Jika damai hendak
ditumbuhkan, mulainya haruslah dari orang perorangan.
Damai dibangun bata demi bata.
mendirikan Gerakan Catholic Worker pada 1933. Gerakannya pada
dasarnya pro-perdamaian, tetapi kadang-kadang juga anarkis. Dorothy
keluar masuk penjara karena aktivitas gerakannya. Anti free-sex pada
tahun 1960-an. Ia meninggal pada 1980. Pada tahun 2000 dicalonkan
menjadi orang kudus oleh Keuskupan Agung New York. Dorothy
oleh banyak orang sudah dianggap orang kudus ketika ia masih hidup.
37. Berbagai Makna 39
Damai
Dalam Hidup Perorangan
S ylvia Beels bergabung dengan komunitas kami dari
London ketika ia gadis muda sebelum Perang Dunia
Kedua meletus. Sekarang dalam usia sembilan puluh
tahunan ia menceritakan sikap di dalam gerakan
perdamaian di masa mudanya dulu – suatu sikap anti
pembunuhan tetapi tidak menentang ketidakadilan
sosial. Sikap itu mengecewakan dirinya dan membuatnya
penasaran dan mencari sesuatu yang lebih lagi.
Sebuah film perang yang kulihat ketika umurku
sembilan tahunan membuatku ketakutan, dan sejak itu
aku tak pernah menganggap perang sebagai sesuatu yang
baik, walaupun alasannya mungkin baik.
Sesudah aku menikah, suamiku Raymond dan aku
bergabung dengan Left Book Club dan membaca semua
buku mereka. Kami bertemu secara berkala dengan suatu
kelompok teman, membicarakan gagasan-gagasan dalam
buku-buku ini. Kami mencari dan mencari lagi untuk
mendapatkan jalan dalam labirin gagasan manusia –
perang, damai, politik, moral konvensional lawan cinta
bebas – tapi kami tidak juga lebih dekat untuk
menemukan suatu masyarakat yang adil dan damai.
Di kemudian hari, dalam proses persalinan yang sulit
dan lama ketika melahirkan anaknya yang pertama, Sylvia
menyadari bahwa kehidupan pribadinya diwarnai oleh
kesulitan-kesulitan seperti yang dilawannya dalam
masyarakat. Kendati kariernya dalam musik menjanjikan,
namun perkawinannya goyah dan hatinya dalam kemelut.
38. 40 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Suatu ketika di situlah ia memutuskan, bahwa sebelum
ia dapat menyumbangkan sesuatu bagi perdamaian dunia,
ia perlu menemukan damai dalam dirinya dan orang lain
(tak lama kemudian suami Sylvia meninggal karena
penyakit jantung, tetapi mereka dapat berdamai
menjelang kematiannya).
Maureen Burn, seorang anggota komunitas yang lain,
memperoleh kesimpulan yang sama setelah bertahun-tahun
menjadi aktivis antiperang, mula-mula di Edinburgh dan
kemudian di Birmingham, di mana uang, hubungan sosial
dan kepribadian yang ceria membuatnya sangat terkenal
dan menjadi pengikut kelompok pacifisme yang efektif:
Aku selalu seorang yang idealis dan pemberontak.
Walaupun waktu itu aku masih anak-anak, Perang Dunia
Pertama menakutkan aku. Kami diberi tahu bahwa Pemimpin
(Kaiser) Jerman telah memulai perang, dan ketika umurku
sepuluh tahun aku menulis surat kepadanya memohon agar
ia menghentikan perang. Aku selalu menentang perang.
Suamiku, Matthew, seorang pejabat kesehatan
publik yang cukup dikenal, juga seorang pengikut
pacifisme. Setelah mengalami tinggal dalam parit
perlindungan dalam Perang Dunia Pertama, ia menjadi
sangat antimiliter dan pejuang keadilan sosial. Persamaan
minat kami dalam mempelajari Revolusi Rusia 1918,
karya-karya sastrawan Rusia Leo Tolstoy 14 dan
perjuangan Mahatma Gandhi15 dari India menciptakan
14
Leo Tolstoy sastrawan dan filsuf Rusia. Karyanya antara lain Anna
Karenina dan War and Peace. Bersama Mahatma Gandhi dan Martin
Luther King Jr dianggap paling berpengaruh pada abad ke-20. Lahir
pada 1828, meninggal pada 1910. Hidupnya dipengaruhi oleh
Sakyamuni Buddha dan Santo Fransiskus Assisi, dan Khotbah di
Bukit. Seorang pecinta perdamaian yang antikekerasan.
15
Mohandas K. Gandhi atau Mahatma Gandhi dilahirkan pada 1869
di Porbandar, India, adalah tokoh yang memperjuangkan prinsip
39. Berbagai Makna 41
ikatan di antara kami yang mengantar kami ke dalam
perkawinan. Banyak anak muda akan ke pergi ke
Moskow pada tahun-tahun itu, dan karena kami tertarik
pada cita-cita komunis “dari setiap orang berdasarkan
kemampuannya, untuk setiap orang berdasarkan
kebutuhannya,” aku ingin juga pindah ke Rusia dengan
anak-anakku yang masih kecil.... Hanya kemudian
Matthew berkata, “sebuah bom yang dijatuhkan seorang
komunis sama jahatnya dengan bom yang dijatuhkan
kapitalis,” dan aku mengubah pendirianku.
Matthew selalu menghilang pada Hari Angkatan
Bersenjata. Aku tidak tahu ke mana ia pergi. Ia
berpendapat bahwa parade militer besar-besaran di
Cenotaph merupakan penghinaan terhadap prajurit-
prajurit tak dikenal yang mati dan dikuburkan, yang tak
pernah mendapatkan tanda jasa. Setelah perang ibunda
Matthew memberi tahu aku bahwa Matthew suatu ketika
pernah berkata bahwa ia tak akan berbuat sesuatu lagi
bagi masyarakat yang begitu bobrok, di mana bahkan
pemuka agama pun mengkhotbahkan pembunuhan
kepada kaum muda….
Dalam Perang Dunia Kedua, selama pengeboman atas
Inggris, banyak kota di Inggris mulai melakukan evakuasi
anak-anak dan keluarga Burn harus mendapatkan tempat
bagi keempat anak mereka, sedang yang bungsu belum
genap setahun umurnya. Pekerjaan Matthew sementara
itu mengharuskan dirinya tetap tinggal di kota, dan
Maureen tidak tahu harus pergi ke mana. Pada hari-hari
itu juga Maureen tahu bahwa ia hamil, mengandung
anaknya yang ke lima. Dalam keadaan yang tak menentu
satyagraha atau perlawanan pada tirani dengan pemogokan, dan
ahimsa atau antikekerasan yang mengantarkan India pada
kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1945. Ia meninggal pada
tahun 1948 di usia 78 tahun karena ditembak.
40. 42 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
karena perang, dia dan Matthew memutuskan untuk
melakukan aborsi.
Waktu aku pulang sesudahnya, suamiku
menyarankan agar aku pergi ke rumah saudariku
Kathleen untuk beristirahat beberapa hari. Kathleen
tinggal di Bruderhof.16 Aku menulis padanya apakah
aku bisa datang dan tinggal di sana untuk beberapa
hari, dan dia menjawab boleh.
Aku tidak membayangkan kejutan yang sedang
menungguku di sana. Aku membaca beberapa literatur
mereka, aku lupa judul bukunya. Di dalamnya
dikatakan dengan tegas bahwa aborsi adalah suatu
pembunuhan: membunuh kehidupan baru dalam
rahim dan di mata Tuhan hal itu tak dapat dibenarkan,
sama dengan pembunuhan yang terjadi di medan
perang. Sampai saat itu aku adalah seorang yang
rasional dan tidak menganggap aborsi begitu
mengerikan. Tapi setelah itu hatiku kemelut dan aku
merasakan untuk pertama kalinya betapa mengerikan
tindakan yang telah kulakukan.
Biasanya aku tidak gampang-gampang menangis
tetapi pada saat itu yang kulakukan adalah menangis
dan terus menangis. Aku sangat menyesal atas apa yang
telah kulakukan dan aku berharap seandainya saja
waktu bisa diputar berbalik dan aku dapat membatalkan
tindakanku itu. Aku hanya seorang tamu dalam
komunitas itu, tetapi saudariku mengantarkan diriku
pada salah seorang pendeta di situ, dan aku
menceritakan semuanya. Ia mengundangku ikut dalam
suatu persekutuan, di mana mereka berdoa untuk
16
Bruderhof berarti tempat untuk para saudara. Didirikan pada tahun
1920 oleh Eberhard Arnold di Jerman sebagai suatu komunitas
yang menghayati cara hidup orang kristen perdana dan Khotbah di
Bukit dari Yesus Kristus (Mat 5-7). Tentang komunitas ini berangsur-
angsur diuraikan dalam buku ini.
41. Berbagai Makna 43
diriku. Aku segera tahu bahwa aku memperoleh
pengampunan. Suatu mukjizat, suatu karunia. Aku
merasa penuh dengan kegembiraan dan damai, dan
dapat memulai suatu hidup baru.
Tidak ada yang lebih penting atau lebih
menyedihkan dari hidup dan hati kita sendiri yang kita
tahu tidak-damai. Bagi sebagian dari kita, itu berarti
kita masih dikuasai rasa benci atau dendam; bagi yang
lain karena pengkhianatan, pengasingan, atau
kebingungan; yang lain lagi merasa kosong dan tertekan
jiwanya. Dalam makna yang terdalam, semua itu
merupakan kekerasan dan karena itu harus dihadapi
dan diatasi. Thomas Merton17 menulis:
Ada sebentuk kekerasan zaman ini yang begitu
luas tersebar, sehingga biarpun para idealis yang berjuang
untuk damai dengan metode antikekerasan pun mudah
kerasukan aktivisme dan kerja berlebihan. Ketegangan
dan tekanan kehidupan modern merupakan suatu
wajah, mungkin wajah yang paling umum, dari
kekerasan pada diri seseorang. Membiarkan diri terbawa
hanyut oleh begitu banyak urusan mendesak yang saling
bertabrakan, menyerah pada begitu banyak tuntutan,
mengikat diri pada begitu banyak proyek, berhasrat
membantu setiap orang dalam segala hal, adalah sama
saja dengan menyerah pada kekerasan hidup. Lebih
dari itu, orang bahkan bekerja sama dengan kekerasan
itu. Aktivis yang sangat sibuk mengebiri karyanya atas
nama damai. Kesibukannya yang luar biasalah yang
menghancurkan buah dari pekerjaannya, karena
17
Thomas Merton lahir di kalangan jemaat Gereja Inggris pada 1915.
Ia menjadi Katolik pada 1938 dan tinggal di Amerika Serikat. Pada
tahun 1941 menjadi biarawan trapis dan menulis banyak buku
keagamaan yang bersifat mistik. Pada 1949 ia ditahbiskan menjadi
imam. Ia cinta perdamaian dan menentang Perang Vietnam. Sejak
1960 memengaruhi banyak aktivis Katolik. Ia meninggal pada 1968.
42. 44 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
kesibukan itu membunuh akar kebijaksanaan batin
yang mestinya dapat membuat pekerjaannya berbuah.
Banyak orang merasa terpanggil memperjuangkan
alasan-alasan damai, tetapi kebanyakan dari mereka lalu
terpukul mundur begitu mereka sadar bahwa mereka tak
dapat memberikan damai sebelum mereka sendiri
memiliki damai dalam diri mereka. Karena tak dapat
menemukan keselarasan dalam hidup mereka, dengan
segera mereka minggir dari perjuangan itu.
Malahan ada beberapa kejadian yang sangat tragis,
di mana seseorang yang sangat menderita setelah
menyadari ilusi mereka lalu bunuh diri. Penyanyi lagu-
lagu rakyat Phil Ochs, seorang aktivis perdamaian pada
tahun enam puluhan melakukannya; begitu pula Mitch
Snyder, pendiri Pusat Kegiatan Kreatif Non-Kekerasan.
Seorang pembela gelandangan yang sangat dihormati
di Washington DC.
43. Berbagai Makna 45
Damai Tuhan
D amai sejati bukan sekadar tujuan luhur yang
dijunjung tinggi dan dikejar dengan sungguh-
sungguh. Damai sejati juga tidak begitu saja
didapatkan atau dimiliki. Damai membutuhkan
perjuangan. Damai ditemui dengan melakukan
pertarungan dasar dalam kehidupan: hidup lawan mati,
baik lawan buruk, benar lawan salah. Memang, damai
itu karunia, tetapi damai juga merupakan hasil dari
usaha yang sangat bersungguh-sungguh. Beberapa ayat
di dalam Mazmur menyatakan bahwa di dalam proses
untuk memperoleh damai itulah maka damai itu
ditemukan. Damai semacam itu merupakan hasil dari
usaha menghadapi dan mengatasi konflik, bukan
menghindari konflik. Karena begitu berakar dalam
kebenaran, damai sejati (yaitu damai Allah) mengusik
hubungan-hubungan yang penuh kepalsuan,
menggoyang sistem- sistem yang tidak benar, dan
menelanjangi kebohongan yang dijadikan dasar dari
damai yang palsu. Damai sejati mencabuti akar dan
benih-benih situasi yang tidak damai.
Damai Allah tidak secara otomatis mencakup
ketenangan batin, ketiadaan konflik atau taksiran-
taksiran damai duniawi lainnya. Seperti kita lihat dari
kehidupan Kristus, damai yang sempurna justru
ditegakkan dari penolakan-Nya atas dunia dan atas damai
yang ditawarkan dunia. Dan damai yang sempurna itu
berakar pada kesediaan-Nya untuk mengorbankan diri
dengan cara yang paling mengerikan: mati di kayu salib.
44. 46 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Banyak orang yang menyebut diri sebagai orang
Kristiani dewasa ini melupakan hal ini, atau menutup mata
sepenuhnya pada kenyataan itu. Jika pun kita
menghendaki damai, kita memperjuangkan damai yang
dasarnya adalah keinginan kita sendiri. Kita menghendaki
damai yang gampangan. Tetapi damai tidak terwujud
dengan cepat atau gampang jika diharapkan punya daya
untuk bertahan lama. Damai itu bukan semata-mata
kesejahteraan atau keseimbangan psikologis, suatu perasaan
yang hari ini ada dan besok tiada. Damai Tuhan lebih dari
suatu tingkat kesadaran. Dorothy Sayers menulis:
Aku yakin adalah suatu kesalahan besar
mewartakan Kekristenan sebagai sesuatu yang indah
dan populer, bahwa tak ada yang diserang di
dalamnya.... Kita tak dapat memejamkan mata pada
fakta bahwa Yesus yang lemah lembut itu begitu tegas
pendirian-Nya dan begitu tajam menyerang dalam kata-
kata-Nya sehingga Ia didorong keluar dari tempat
ibadat, dilempari batu, dikejar-kejar dari satu tempat
ke tempat lain dan akhirnya ditangkap sebagai
penghasut dan musuh masyarakat. Apa pun damai-Nya
itu, yang jelas bukanlah damai yang timbul dari sikap
bersahabat yang tak acuh pada keadaan.
Hendak aku katakan bahwa kendati aku beriman
kepada Kristus dan kendati bahasa buku ini yang oleh
sementara orang dianggap agak gerejawi, aku tidak yakin
bahwa orang harus menjadi Kristiani untuk mendapatkan
damai Yesus itu. Memang kita tidak dapat melalaikan
pernyataan Yesus: “Dia yang tidak mengumpulkan
bersama-sama Aku, ia mencerai-berikan,” dan “Siapa
tidak bersama Aku melawan Aku.”18 Tetapi apa artinya
perkataan itu bagi Yesus sendiri? Bukankah Dia
18
Mat 12:30
45. Berbagai Makna 47
menyatakan dengan jelas bahwa masalahnya bukanlah
kata-kata ibadat ataupun sekadar wujud kesalehan
belaka? Ia menghendaki sikap yang lembut dan penuh
belas kasihan – demi cinta kasih.19 Dia berkata biarpun
hanya segelas air untuk orang yang kehausan akan
dihargai “dalam Kerajaan Surga”.20
Yesus adalah seorang pribadi, bukan suatu konsep
atau karangan teologi, dan kebenaranNya menjangkau
lebih luas dari sekadar yang dapat dipahami oleh pikiran
kita yang terbatas. Dalam kasus tertentu jutaan
pengikut Buddha, para Muslim, orang Yahudi, bahkan
mereka yang tidak mengenal Allah dan yang
menyangkal Allah (ateis) melaksanakan cinta yang
diperintahkan Yesus agar dilakukan 21, lebih mantap
daripada banyak orang yang menyebut dirinya Kristiani.
Maka tidaklah pada tempatnya bagi kita untuk menilai
apakah mereka memiliki damai Kristus atau tidak.
19
Mat 9:13; 12:7.
20
Mat 10:42
21
Yoh 15:12
46. 48 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Damai
yang Mengatasi Pemahaman
B eberapa pembaca mungkin dapat menimba manfaat
jika di sini aku melanjutkan kajian atas berbagai
pemahaman akan damai, dan membahas apakah damai
itu suatu status (keadaan) ataukah cara hidup. Yang
lain mungkin hanya ingin tahu apakah yang
kumaksudkan ketika aku mengatakan bahwa orang
mengupayakan damai. Apakah mereka berusaha agar
lebih akrab dengan orang lain, ataukah mereka haus
akan damai untuk diri mereka sendiri? Apakah mereka
rindu akan kepercayaan dan cinta kasih, akan sesuatu
yang lebih baik daripada hanya menarik diri dan diam
saja? Sesuatu yang berbeda sama sekali? Intinya, apa
itu damai? Suatu gagasan dari buku-buku kakekku
membantuku. Ia menulis tentang damai tiga dimensi:
kedamaian jiwa bersama Tuhan; hubungan yang rukun
dan damai tanpa kekerasan dengan orang lain; dan
ditegakkannya tatanan sosial yang adil dan damai.
Namun pada akhirnya, masalahnya bukanlah
mengenai definisi yang terbaik, sebab definisi tidak
membantu kita mendapatkan damai itu. Untuk
mendapatkan makna damai itu kita harus mengalaminya
dalam kenyataan praktis, bukan hanya sesuatu yang ada
dalam kepala kita, juga bukan hanya dalam hati kita,
melainkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sadhu Sundar Singh, seorang mistikus Kristiani dari
India dari permulaan abad yang lalu menulis:
47. Berbagai Makna 49
Misteri dan realitas hidup yang bahagia dalam Tuhan
tidak dapat dipahami tanpa menerima, menghayati, dan
mengalaminya. Jika kita berusaha memahaminya dengan
pikiran saja, usaha kita itu tidak berguna.
Seorang ilmuwan memegang burung di tangannya.
Ia melihat burung itu punya kehidupan. Lalu ia ingin
tahu di bagian tubuh yang mana dari burung itu terletak
kehidupannya. Maka ia mulai mengiris-iris burung itu.
Hasilnya, kehidupan yang dicarinya itu hilang. Mereka
yang berusaha memahami misteri hidup sejati secara
intelektual niscaya menemui kegagalan seperti itu. Hidup
yang dicarinya akan lenyap dalam analisisnya.
Seperti air tak akan tenang sebelum mencapai
kepenuhannya, jiwa pun tak akan damai sebelum
tinggal dalam Tuhan.
49. 51
Bagian
III
Berbagai Paradoks
“Aku seorang tentara Kristus. Aku tak bisa berperang.”
St. Martinus dari Tours
50. 52 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Berbagai Paradoks
K ita telah melihat bahwa walaupun kerinduan akan
damai begitu mendalam, suatu kelaparan universal,
namun damai sulit dirumuskan. Memang begitulah
kebanyakan hal yang bersifat rohani. Elias Chacour,
seorang imam Palestina, teman baikku, memberikan
komentar tentang hal ini dalam bukunya Blood Brothers.
Ketika bicara tentang agama-agama besar dari Timur ia
menunjukkan bagaimana para pemikir mereka (kontras
dengan banyak pemikir dalam budaya Barat) merasa
nyaman dengan berbagai paradoks dan bersedia
menerimanya dan hidup dengan paradoks-paradoks itu
dan tidak berusaha menyingkirkannya.
Barangsiapa membaca Injil tentu tahu betapa Yesus
juga mengandalkan paradoks dan perumpamaan untuk
melukiskan kebenaran yang sangat dalam. Bagi pikiran
rasional, suatu paradoks tampak bertentangan
(kontradiktif), namun justru karena sifatnya itu, paradoks
memaksa kita melihat kebenaran di dalamnya dengan
mata yang baru. Dalam pengertian ini aku menulis bagian
berikut, masing-masing bagian merupakan suatu papan
loncatan ke arah pengertian yang lebih dalam atas damai.
51. Berbagai Paradoks 53
Bukan Damai Tapi Pedang
Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang
untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan
untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku
datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, dan
anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari
ibu mertuanya dan musuh orang ialah orang-orang seisi
rumahnya. Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih
daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barang siapa
mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih
daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
Yesus dari Nazareth
K etika Matius mencatat kata-kata Yesus ini dalam bab
kesepuluh dari Injilnya22, ia memberikan argumen
yang disukai generasi-generasi Kristiani untuk
mempertahankan penggunaan kekuatan dalam berurusan
dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya apa yang
dimaksud oleh Yesus? Yang pasti ia tidak bermaksud
membenarkan atau memajukan kekerasan dengan
menggunakan senjata. Bahkan sekalipun Ia mengusir
para penukar uang dari Bait Allah dengan cambuk 23,
namun Ia kemudian menegur Petrus karena telah
memotong telinga seorang prajurit dengan pedang dan
berkata, “Barang siapa menggunakan pedang, akan
binasa oleh pedang,”24 dan apa yang dilakukannya sampai
hembusan napas terakhir di kayu salib, mencerminkan
22
Mat 10:34-35
23
Yoh 2:12
24
Mat 26: 52
52. 54 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
kata-kata-Nya “Segala sesuatu yang kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka.”25
Bagiku jelas bahwa pedang yang dimaksudkan
Yesus bukanlah pedang yang merupakan senjata
manusia. Di dalam surat Rasul Paulus kita membaca
tentang pedang Roh Kudus yang dibandingkan dengan
pedang pemerintah, yang kadang-kadang disebut
pedang yang fana atau pedang kemurkaan Allah 26
Paulus menyatakan bahwa Allah Bapa menarik Roh
Kudus dari dunia karena pria dan wanita tidak taat
kepada-Nya; sebaliknya, Ia menyerahkan mereka
kepada “pedang” pemerintahan dunia, yang
kelangsungan dan wewenangnya berakar dalam
kekuatan tentaranya. Tetapi Gereja tentu tidak boleh
menggunakan senjata fisik, Gereja harus setia kepada
satu kekuatan saja: Kristus, dan pengikut-pengikutNya
hanya boleh menggunakan pedang Roh Kudus.
Di tempat lain dalam Kitab Suci pedang digunakan
sebagai lambang kebenaran. Seperti senjata fisik yang
dilukiskannya, pedang, ini memotong segala sesuatu yang
mengikatkan kita pada dosa. Pedang itu membersihkan
dan menonjolkan (penulis Surat kepada orang Ibrani
menyebutnya “memisahkan sendi-sendi dan sumsum)27,
namun maksudnya bukanlah menghancurkan atau
membunuh. Mengutip penyair Phillip Britts dari Bruderhof,
damai adalah “persenjataan kasih dan penebusan.... bukan
persenjataan dunia, tapi persenjataan hasrat akan
kebenaran.” Perangnya bukan pergumulan antarmanusia
25
Mat 7:12
26
Rm 13:4
27
Ibr 4:12
53. Berbagai Paradoks 55
satu sama lain, tetapi antara “sang pencipta melawan si
perusak; perang antara hasrat akan kehidupan melawan
hasrat kematian; perang antara cinta melawan kebencian;
antara persatuan melawan perceraian.”
Di dalam Injil tertulis, “sejak tampilnya Yohanes
Pembaptis sampai sekarang, kerajaan surga diserong dan
orang yang menyerong mencoba mengusainya.” 28
Walaupun ini merupakan salah satu di antara wejangan
Yesus yang sulit, arti kata “diserong” cukup sederhana.
Kita tak dapat duduk dan menunggu surga, demi
kerajaan damai dari Allah, agar jatuh ke pangkuan kita.
Kita harus merebutnya dengan penuh hasrat. Thomas
Cahill menyatakan: “yang penuh hasrat, habis-habisan
dan di luar batas punya kesempatan lebih baik untuk
merebut surga daripada mereka yang puas diri, ragu-
ragu dan yang lengket dengan dunia.” Yang menarik,
kosa kata Kristiani tidak sendirian menggunakan bahasa
kekerasan untuk melukiskan jalan damai. Menurut
seorang nara sumber Muslim kata jihad tidak hanya
berarti perang suci Islam, tetapi juga perang spiritual
yang terjadi dalam diri setiap orang.
Banyak orang Kristiani sekarang menyepelekan
perang spiritual. Di satu pihak mereka menganggap hal
itu semacam imajinasi; di lain pihak ada yang merasa
bahasa yang digunakan untuk melukiskannya terlalu
konfrontatif, terlau kasar, dan yang lebih buruk lagi,
terlalu kuno. Namun perang kosmis antara malaikat
Allah dan cecunguk setan terus berlangsung hingga saat
ini, kendati makin kurang saja yang percaya tentang hal
itu. Mengapa hanya karena kita tidak dapat melihatnya
kita menganggap hal itu hanya rekaan pikiran?
28
Mat 11:12
54. 56 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Aku percaya bahwa daya yang tampil dari yang baik
dan yang jahat sungguh nyata seperti daya-daya fisik yang
membentuk alam semesta, namun karena kita tidak bisa
mengetahuinya, kita tidak dapat menyaksikan
pertempuran besar yang terjadi di antara mereka.
Sebagaimana cahaya tidak dapat berbagi ruang dengan
kegelapan, maka baik dan jahat tidak dapat ada bersana
dalam damai, dan karena itu kita harus memutuskan
untuk ikut di pihak mana.
Sekitar dua puluh lima tahun lalu, sebagai tetua
komunitas Bruderhof, ayahku29 menyusun suatu dokumen
yang berulangkali dilihat orang lagi selama bertahun-
tahun. Suatu “kesepakatan” yang ditanda-tangani oleh
semua anggota komunitas kami ketika ditulis (dan
disetujui oleh setiap anggota terbaru), karena sering
membantu kami mempertajam fokus kami pada akar suatu
masalah tertentu yang sedang kami hadapi.
Kami memaklumkan perang kepada segala pelecehan
terhadap semangat seperti anak-anak yang
diajarkan Yesus.
Kami memaklumkan perang kepada segala kekejaman
emosional dan fisik terhadap anak-anak.
Kami memaklumkan perang kepada semua usaha untuk
menguasai jiwa orang lain.
Kami memaklumkan perang kepada segala kebesaran
manusia dan semua bentuk pameran kehebatan.
Kami memaklumkan perang kepada kebanggaan palsu
termasuk kebanggaan kolektif.
Kami memaklumkan perang kepada semangat dendam,
kebencian dan keengganan untuk memaafkan.
29
Yang dimaksud adalah J. Heinrich Arnold (1913-1982).
55. Berbagai Paradoks 57
Kami memaklumkan perang kepada segala macam
bentuk kekejaman kepada orang lain termasuk
kekejian terhadap pendosa.
Kami memaklumkan perang kepada semua
keingintahuan tentang sihir atau kegelapan setan.
Salah satu risiko terbaru di dalam berperang melawan
yang jahat adalah salah menerapkan sesuatu perlawanan
sifat pada tatanan fisik manusia, dengan menciptakan
kubu antara “orang baik” dan “orang jahat. Kita sering
bicara tentang Tuhan dan gerakan yang berlawanan
dengan setan dan dunia, namun kenyataannya adalah
garis pemisah antara baik dan jahat itu juga melewati
setiap hati manusia. Dan siapa yang akan kita adili selain
diri kita sendiri?
Gandhi suatu ketika mengajar, “jika Anda membenci
ketidakadilan, tirani, keserakahan dan kerakusan,
bencilah semua itu dalam diri Anda lebih dulu.” Setiap
orang membentuk suasana tertentu di sekelilingnya. Ketika
“bertarung demi kebaikan” janganlah lupa berhenti
sebentar, di sana atau di sini, dan bertanya pada diri sendiri,
apakah suasana yang terbentuk itu penuh ketakutan atau
suasana kasih yang menyingkirkan rasa takut.
Ada godaan untuk membawa pertarungan itu ke luar
melawan orang lain daripada ke dalam melawan diri
sendiri. Karena ngeri pada keadaan dunia dan cara hidup
orang lain, kita mungkin dipenuhi perasaan bahwa kita
benar (jika bukan pembenaran diri). Namun bukannya
mengajak orang lain menuju hidup baru dengan menarik
hatinya, kita hanya memisahkan diri dari mereka,
membuat jarak. Padahal, pertarungan itu seharusnya
terlaksana dalam hati kita dulu.
Tentang ini seorang pelayan umat, Glenn Swinger,
baru-baru ini menulis kepadaku:
56. 58 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Setelah mengalami pertobatan, saya dibaptis pada
pertengahan usia empat puluhan. Saya mengakui setiap
dosa yang saya ingat, memperbaiki hubungan yang salah
dengan orang lain dan berusaha melihat betapa dalam
saya telah menentang Allah. Saya merasa mendapat
pengampunan, yang membawa kegembiraan dan
perdamaian. Tetapi ayah Anda, yang membaptis saya,
berkata “Sekarang pertarungan yang sesungguhnya
dimulai.” Saya pada waktu itu tidak benar-benar
mengerti masalahnya, tetapi saya berkata pada diri saya
sendiri agar waspada.
Sedikit demi sedikit ternyata kembali lagi pada
cara hidup saya yang lama, dan berangsur-angsur setan
kecil kesombongan, iri hati dan kecemburuan masuk
lagi dalam hidup saya. Memang, pengalaman baptis
mengubah diri saya, saya tidak menyangkal. Namun
saya belum mengalahkan diri saya sendiri. Diri saya
sendiri masih merupakan pusat dari semua pengalaman
batin saya. Saya menghayati kehidupan yang hebat
dengan kekuatan saya sendiri, dengan kemampuan
saya sendiri. Saya tidak “berjaga dan berdoa” sehingga
pencobaan masuk ke dalam hati saya.... Akhirnya cinta
pertama saya dengan Kristus berantakan.
Kemudian muncullah sikap munafik, dan saya
mengalami sakitnya tuntutan keadilan. Saya diminta
lengser dari tugas saya sebagai pelayan jemaat dan
pengajar. Saya meninggalkan Bruderhof selama empat
bulan, dan selama itu saya dapat melihat dosa-dosa saya
dan menyesalinya. Setelah pulang kembali dan
menerima maaf dari saudara-saudara yang tempo hari
saya tinggalkan, saya mendapatkan kebebasan baru,
cinta dan perdamaian.
Perjuangan masih timbul setiap hari, tetapi selama
beberapa tahun saya belajar sesuatu dari 1 Kor 13:13;
“demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman,
pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya
57. Berbagai Paradoks 59
adalah kasih.” Saya tak dapat mengadili atau memandang
rendah orang lain, bagaimana pun keadaannya. Orang
yang kaya membuat jarak antara dirinya dan Lazarus,
dalam kehidupan selanjutnya kedudukan mereka
dibalik.30 Ada dua kekuatan dasar yang bekerja dalam
diri kita, baik dan jahat, dan dalam pertarungan di antara
keduanya kita diadili dan berkali-kali memperoleh
pengampunan. Di dalam pertarungan yang terus
berlangsung inilah kita mengalami damai sejati.
Pengamatan Glenn Swinger sangat menentukan
pemahaman atas paradoks. “Aku datang ke dunia bukan
membawa damai, tetapi pedang”, karena menyentuh
maknanya yang paling dalam. Pedang Kristus adalah
kebenaran, dan kita harus membiarkannya memotong
tandas dan berulang kali kapan saja dosa bertumbuh
dalam hidup kita, menegarkan diri dan melindungi diri
kita terhadap pedang itu berarti menutup diri kita pada
kerahiman dan kasih Allah.
30
Luk 16:19-31
58. 60 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Kekerasan Kasih
D amai sejati memerlukan senjata, dan juga
mengucurkan darah, tetapi bukan dalam makna
yang sekadar kita bayangkan. Kristus melarang kita
menggunakan kekerasan terhadap orang lain, namun
ia jelas meminta kita sedia menderita di tangan orang
lain. Dia sendiri “memberikan perdamaian kepada kita
melalui darahnya,”31 seperti dikatakan dalam Perjanjian
Baru, dan selama berabad-abad pria dan wanita
mengikuti teladanNya, dan bersedia mengorbankan
dirinya demi iman mereka.
Pentingnya kematian seseorang demi iman mungkin
merupakan suatu hal yang paling sulit dijelaskan.
Kebanyakan dari kita gemetar ngeri membayangkan
pemandangan orang yang dibakar, ditenggelamkan, dan
dibelah. Namun para saksi mata berulang kali menulis
tentang damai yang diperlihatkan oleh para martir itu
pada saat-saat terakhir mereka.
Buku The Chronicle of The Hutterian Brethren, suatu
sejarah era Reformasi yang memuat catatan tentang
banyak martir, menggambarkan orang- orang yang
menyongsong kematian mereka sambil menyanyi gembira.
Seorang di antaranya, Conrad, anak muda yang akan
dihukum mati, tetap tenang dan begitu mantap sehingga
orang-orang yang menonton berharap tak ingin bertemu
dia lagi, anak muda itu membuat mereka resah.
Bagi kebanyakan orang kematian sepertinya tak
akan berakhir. Kita tidak lagi diminta mempertahankan
31
Lih Kol 1:20
59. Berbagai Paradoks 61
iman kita dengan kata-kata, dan gambaran menderita
secara fisik demi iman kelihatannya sangat berlebihan.
Bersamaan dengan itu tidaklah dirasakan menyakitkan
lagi untuk mempertimbangkan iman bagi mereka yang
telah siap menderita demi keyakinan-keyakinan mereka,
juga bagi kita sendiri jika kita telah siap melakukan
hal yang sama. Setiap orang bisa mengendalikan
emosinya dan dapat tetap berdiri teguh menghadapi
kesulitan-kesulitan setiap hari. Namun supaya tetap
damai menghadapi perjuangan keras termasuk
menghadapi kematian, diperlukan lebih dari sekadar
maksud baik. Di suatu tempat pasti ada cadangan
kekuatan yang sangat besar.
Uskup Agung dari El Salvador Oscar Romero
menyentuh rahasia damai ini ketika ia berpidato, tak
lama sebelum ia mati tentang pentingnya “menerima
kekerasan cinta.” Romero dibunuh pada tahun 198032
karena lantang membela kaum miskin.
Kekerasan cinta ... membiarkan Kristus tergantung
pada salib; kekerasan itulah yang harus kita lakukan
pada diri kita sendiri untuk mengatasi egoisme kita dan
ketidakadilan yang kejam di antara kita. Kekerasan
itu bukan kekerasan pedang atau kekerasan kebencian.
Itu adalah kekerasan persaudaraan, kekerasan yang
melebur persenjataan menjadi hal yang tidak
menyakitkan demi karya perdamaian.
32
Oscar Romero adalah Uskup Agung San Salvador . Lahir 1917.
Ditahbis menjadi imam tahun 1942. Pada tahun 1966 menjadi rektor
Seminari Tinggi Interdiosesan Salvador. Tahun 1975 menjadi Uskup
Santiago. Menjadi Uskup Agung San Salvador 1977. Ia
memperjuangkan hak asasi manusia dan menentang ketidak adilan
dan membela kaum miskin. Untuk itu ia memajukan Teologi
Pembebasan. Pada 1980 ia ditembak sesudah homili dan meninggal.
Tahun 1997 ia dicalonkan menjadi orang kudus.
60. 62 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Demikianlah cinta Kristus merupakan daya bagi
kebenaran dan kekudusan, yang melawan hingga
mendasar semua yang tidak suci dan bertentangan dengan
kebenaran. Kasih semacam itu jelas sangat berbeda dengan
yang diajarkan pengarang Marianne Williamson dari aliran
New Age yang populer, yang menyatakan bahwa untuk
memperoleh damai, yang perlu kita lakukan adalah
mengasihi diri kita sebagaimana adanya dan “menerima
Kristus yang telah ada dalam diri kita.”
Tidak mengherankan bahwa banyak orang menyukai
khotbah Marianne. Kita tahu bahwa setiap orang
Kristiani harus memanggul salibnya sendiri, tetapi kita
tidak ingin membahas soal itu. Kita lebih menyukai
religiositas gereja modern yang hangat bersahabat dan
suka cita yang dijanjikan para malaikat di Betlehem33
daripada kedamaian yang telah dimenangkan Yesus
dengan susah payah di Golgotha. Kita mengakui hasil
karya Yesus ketika Ia mati - “Bapa, ke dalam tanganMu
kuserahkan jiwaKu” 34, tetapi melupakan sakratulmaut
yang dialamiNya di taman Getsemani pada malam yang
panjang dan sepi sebelumnya 35. Kita lebih menyukai
kebangkitan tanpa penyaliban.
Belakangan ini suatu ayat dalam Kitab Yeremia
menyentuhku: “Bukankah kata-kataku seperti api,
seperti palu yang memukul hancur batu karang?”36 Tuhan
hanya bermaksud menggambarkan kerasnya hati manusia.
Biasanya kita menggambarkan kekerasan hati itu pada
wujud orang terpidana: pembunuhan, pemerkosaan,
33
Luk 2:14
34
Luk 23:46
35
Mat 26:36-46 par
36
Yer 23:29
61. Berbagai Paradoks 63
pezinah, pencuri. Tetapi dalam perjumpaan rohani dengan
penghuni penjara aku mendapatkan betapa penjahat yang
paling keji sekalipun punya hati yang lembut, karena ia
sangat sadar akan dosa-dosanya. Betapa ingin aku
mengatakan hal seperti itu pada orang-orang lain yang
kulayani – orang “baik-baik” yang penuh dengan ego dan
citra diri yang dibangun dengan cermat. Sebab mungkin
justru hati yang paling keras adalah hati mereka yang
tertimbun oleh hal-hal semacam itu.
Sekalipun kita sadar akan kekurangan-kekurangan
dan perjuangan kita, seringkali kita menolak kekerasan
cinta. Kita mencari damai sejati dan abadi dan tahu
bahwa damai itu menuntut pengorbanan dari kita, tapi
dengan cepat kita menawar pengorbanan itu sekecil-
kecilnya. Seorang anak muda dalam jemaatku suatu
ketika berkata, “Saya berjuang terus untuk mendapatkan
kedamaian, tetapi kemudian saya bertanya pada diri saya
sendiri, ‘untuk apa kamu bersusah payah seperti itu?
Apakah sungguh ada gunanya?’ Tentu saja aku tak dapat
memberikan suatu jawaban bagi dirinya. Tetapi ketika
mengenangkan hal itu aku dapat kembali mengajukan
pertanyaan kepadanya: jika damai tidak berharga bagimu,
bagaimana mungkin kamu berusaha mencarinya?
Walaupun kedengaran aneh, mereka yang paling
yakin bahwa mereka tidak mempunyai kedamaian
kadang-kadang berada sangat dekat untuk mendapatkan
kedamian itu. Robert (nama samaran) adalah seorang
terpidana di suatu penjara negara. Ia melakukan
kejahatan yang mengerikan dan berulangkali ia tersiksa
oleh kenangan tentang apa yang telah dilakukannya
sehingga ia merasa tak tahan hidup sehari lagi. Kadang-
kadang, situasi seperti itu membuatnya merasa damai.
Dalam sepucuk suratnya ia menulis:
62. 64 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Anda bertanya apakah saya dapat menulis
sesuatu tentang damai, damai Tuhan. Saya ingin
mendapatkannya, tapi saya merasa tidak layak.
Perasaan bahwa saya tidak layak itu adalah karena
saya rasa damai yang Anda bicarakan itu justru berada
di luar seluruh hidup saya.
Saya mencari damai dalam banyak cara melalui
para wanita, nenek saya, melalui prestasi, melalui
narkotika, dan kadang-kadang melalui kekerasaan dan
kebencian; melalui seks, perkawinan, anak-anak, uang
dan harta. Saya tak memperoleh damai dari semua hal
itu. Namun sungguh aneh. Walaupun saya tak pernah
mengalami kedamaian, tetapi saya mengenalnya dan
saya tahu rasanya. Saya melukiskannya sebagai
kemampuan untuk bernapas dan tidur. Sepanjang hidup
saya (dan masih sering saya alami) saya merasa tercekik
atau tenggelam sehingga saya harus terus berjuang
untuk bisa bernapas dan beristirahat.
Saya merindukan damai semacam itu. Saya tahu …
bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkan damai
seperti itu adalah melalui Kristus, namun damai itu tetap
menolak saya. Saya tidak mengalami damai karena apa
yang telah saya lakukan dan apa yang dialami orang lain
karena tindakan saya itu. Saya menyesal, sungguh.
Saya mohon untuk mendapat kesempatan kedua,
di luar penjara dari baja dan beton buatan manusia, dan
di luar penjara dosa dari setan. Saya tahu bahwa Tuhanlah
yang dapat memberikan hal itu dan di situlah kutaruh
iman dan harapanku.
Jika Tuhan akhirnya menjawab doa saya setelah
semua derita, kegelisahan dan usaha saya ini, niscaya
saya akan merasakan kedamaian. Begitu pula saya merasa
damai karena tahu bahwa ada orang yang mengasihi
saya begaimana pun saya ini dan apa pun yang telah
63. Berbagai Paradoks 65
saya lakukan dan memberi ampunan agar saya
memperoleh kesempatan kedua itu….
Nada surat yang ditulis Robert serasa tak punya
harapan, tetapi aku (dan teman-teman lain yang
berkunjung kepadanya) memerhatikan perubahan yang
pasti pada dirinya sejak ditangkap tiga tahun sebelumnya.
Bukan karena dia telah mencapai “pencerahan” dan
mantap; sejujurnya tak seorang pun bisa mengatakan
bahwa Robert memperoleh kedamaian itu. Tapi Robert
sangat lapar akan kedamaian itu. Dan karena ia akan
berjuang keras melalui penyesalan yang sesungguhnya, ia
mungkin lebih dekat dengan Tuhan daripada kami semua.
Dalam suatu paragraf tentang damai dalam sebuah
naskah Hindu kuno, Bhagawad Gita37, dikatakan: Bahkan
para pembunuh dan pemerkosa ... dan kaum fanatik yang
paling kejam sekalipun dapat mengenal penebusan melalui
kekuatan cinta, jika saja mereka bersedia menerima
rahmatnya, yang sekalipun pahit namun menyembuhkan.
Melalui transformasi yang menyakitkan mereka akan
memperoleh kebebasan, dan hati mereka akan menemukan
kedamaian.” Dan di dalam surat Kepada Orang Ibrani kita
baca, “Memang didikan dan ajaran pada waktu diberikan
tidak mendatangkan suka cita, tetapi duka cita. Tetapi
kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang
memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.”38
Robert mungkin tidak mengenal kedua naskah itu. Tetapi
di dalam usaha perjuangannya, ia mengalami kebenaran
dari keduanya. Ia menghayati kekerasan cinta.
37
Bhagavad Gita adalah naskah dari abad ke-3 Seb.M yang merupakan
petikan dari Mahabaratha, episode Bhisma Parwa, berisi
pembicaraan antara Krisna dan Arjuna mengenai tugas seorang
senapati perang dan Pangeran ketika Arjuna ragu melawan
kakeknya sendiri, Bhisma dalam perang.
38
Ibr 12:11
64. 66 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Tak Ada Hidup
Tanpa Kematian
S ewaktu mengerjakan buku ini, dua perkataan Yesus
dalam Injil Yohanes secara khusus memperdalam
pemahamanku tentang damai: “jikalau biji gandum
tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji
saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak
buah.” Dan “barang siapa (demi Aku) tidak mencintai
nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk
hidup yang kekal.”39
Begitu pula tak ada perdamaian abadi tanpa
perjuangan, sebagaimana tak ada hidup sejati tanpa
kematian. Karena kita tidak berhadapan dengan ancaman
maut, kita tak dapat memahami fakta yang penting ini.
Kita lupa bahwa untuk memahami damai Yesus, kita
pertama-tama harus memahami penderitaanNya.
Kesediaan untuk menderita memang penting, tetapi tidak
memadai. Penderitaan itu juga harus dialami. Sebagaimana
pernah dituliskan oleh ayahku: “Mengalami, biarpun
sedikit, cita–rasa yang dipersembahkan ‘demi Tuhan’ sangat
menentukan bagi hidup rohani kita.”
Bagi kebanyakan dari kita, cita rasa yang
dipersembahkan “demi Tuhan” mungkin tampak negatif
dan tak berhubungan dengan damai. Sebab hal itu terkait
dengan duka cita, bukan suka cita; penderitaan, bukan
kebahagiaan; pengorbanan diri, bukan pemeliharaan diri.
Hal itu berkaitan dengan kesepian, penyangkalan,
39
Yoh 12:24-25
65. Berbagai Paradoks 67
pengasingan dan rasa takut. Namun jika kita mau
menyadari artinya kehidupan, kita harus dapat
menemukan makna itu dari semua hal ini! Penderitaan,
seperti dikatakan oleh psikiater terkenal Viktor Frankl
“tak dapat dihapus dari paket kehidupan. Tanpa
penderitaan, hidup manusia tidak sempurna.”
Banyak orang berusaha menghabiskan waktunya
menghindari kebenaran ini; mereka adalah orang-
orang yang paling bahagia di dunia ini. Yang lain
memperoleh damai dan kepunahan dengan menerima
hal ini. Mary Poplin, seorang Amerika yang tinggal
bersama para Misionaris Suster-suster Cinta Kasih di
Kalkuta pada 1996, berkata:
Para misionaris memandang pencobaan dan
hinaan sebagai saat untuk memeriksa diri, untuk
membangun kerendahan hati dan kesabaran untuk
mencintai musuh – itulah kesempatan-kesempatan
untuk bertambah kudus. Bahkan penyakit pun sering
ditafsirkan sebagai cara untuk mendekatkan diri pada
Tuhan, cara Tuhan mewahyukan diri dengan lebih jelas,
dan peluang untuk merenungkan masalah-masalah
karakter dengan lebih mendalam lagi.
Kita telah membuang banyak waktu dalam hidup
kita dalam usaha untuk memperingan dan
menghindari penderitaan, dan ketika penderitaan itu
datang, kita tak tahu harus berbuat apa. Kita bahkan
tidak mengerti bagaimana menolong orang lain yang
menderita. Kita melawan penderitaan, melemparkan
kesalahan kepada perorangan dan sistem sosial serta
berusaha melindungi diri sendiri. Jarang di antara kita
menganggap penderitaan sebagai karunia dari Allah,
yang memanggil kita untuk menjadi lebih suci.
Sementara kita sering berkata bahwa krisis dan masa
penderitaan membangun karakter, kita justru menghindar
dari keduanya sejauh mungkin dan berusaha terus
66. 68 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
menciptakan berbagai teknik untuk memberikan
kompensasi demi menekan atau mengatasi penderitaan.
Banyak bacaan sekuler kita menunjukkan bahwa ibu Teresa
dan para misionaris secara psikologis cacat, karena menerima
penderitaan dan rasa sakit. Setelah bekerja bersama mereka,
aku kira pandangan sekuler itu meleset jauh sekali dari
kebenaran. Kita orang Amerika jarang sekali memikul
tanggungjawab atas penderitaan kita sendiri. Dan tanpa
memandang situasi, setiap kita adalah yang paling miskin
dalam hal pilihan untuk menanggapi penderitaan.
Bagi para misionaris itu, penderitaan bukan hanya
suatu pengalaman fisik, tetapi juga suatu penjumpaan
spiritual yang mendorong mereka untuk mempelajari
tanggapan-tanggapan baru, untuk mengusahakan
pengampunan, untuk berpaling kepada Allah, untuk
bertindak seperti Kristus, dan untuk bersyukur karena
penderitaan memberikan hasil yang baik pada diri
mereka. Dan akhirnya penderitaan itu membuat
mereka melakukan tindakan.
Begitu pula kesaksian orang seperti Philip Berrigan40,
yang tidak hanya menerima derita di dalam kehidupan
mereka, tetapi juga merangkulnya. Philip tahu lebih
banyak tentang makna kehilangan nyawa “demi Aku”
daripada kebanyakan orang Kristiani sekarang. Baginya
menjawab panggilan Kristus untuk hidup sebagai murid-
Nya berarti penganiayaan dari penjara di masa yang satu
ke penjara yang lain di masa lainnya pula. Pada tahun
1960-an, Daniel, saudaranya juga ditangkap karena
memprotes Perang Vietnam dan selama sebelas tahun
meringkuk dalam penjara.
Musim gugur yang lalu aku mengunjungi Philip di
suatu penjara di kota Maine di mana ia ditahan karena
pembangkangan sipil. Beberapa minggu kemudian ia
40
Lih. Catatan kaki no. 7
67. Berbagai Paradoks 69
dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dua tahun lagi ia
harus berpisah dengan istrinya, Elizabeth McAlister dan
ketiga anak mereka. Ini bukan yang pertama kali mereka
berpisah. Tapi baik Phillip maupun Elizabeth tidak kecil
hati. Dalam sepucuk surat yang ditulis Elizabeth
untuknya, Elizabeth merenungkan dasar perjuangan
perdamaian mereka, yang sering salah dimengerti dan
dikritik karena terlalu dipolitisir, dengan menunjukkan
optimismenya dan iman yang tak pernah padam.
Sungguh tidak adil – pada umur tujuh puluh tiga
tahun kamu untuk kesekian kalinya masuk penjara demi
keadilan dan demi perdamaian. Dan kamu
mendapatkannya tanpa melalui pengadilan. Tapi apalagi
yang kita harapkan jika jutaan orang lainnya juga
dipenjara di seluruh dunia, dan banyak di antara mereka
itu disiksa, kelaparan, hilang, keluarga mereka diancam?
Sungguh tidak adil – kita tidak dapat menikmati
rumah yang kita bangun bersama; mengagumi mawar
yang kita tanam sedang mekar bunganya; makan buah
yang kamu rawat; membanggakan anak-anak yang kita
besarkan. Tapi apa lagi yang kita harapkan, jika jutaan
orang lainnya tak punya rumah, jutaan orang menjadi
pengungsi karena perang, mengalami wabah kelaparan
dan penindasan – jiwa mereka telah kusut karena penat
dan takut melihat keindahan di sekeliling mereka;
harapan dan hati mereka hancur luluh karena anak-
anak mereka mati setiap harinya...?
Sungguh tidak adil – kita tak dapat menghadiri
bersama wisuda Frida dan Jerrry. Mereka merindukan
dirimu di samping mereka untuk ikut ambil bagian
dalam kebanggaan, prestasi dan awal yang baru bagi
mereka. Mereka ingin mendengarkan kata-kata
kebijaksanaanmu, kehangatan hatimu, kehadiranmu
dalam tahap baru kehidupan mereka. Namun apa
lagi yang bisa kita harapkan jika ada begitu banyak
68. 70 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
anak-anak dalam kolese, suatu keluarga yang
menyayangi, suatu komunitas yang peduli, namun
bukan lagi merupakan buah impian, sebaliknya
menjadi k orban-korban kelembagaan yang
mengharapkan mereka asal lulus saja, korban-korban
dari sikap melalaikan masa depan yang merupakan
warisan masyarakat untuk mereka?
Sungguh tidak adil – kita tidak dapat bersama-sama
mengantar Kate menjelang kelulusan Sekolah
Menengah Atas dan menjadi seorang wanita muda….
Sungguh tidak adil – komunitas yang selama
bertahun-tahun kamu abdi dalam membangun dan
membangun ulang tak lagi kamu dampingi, doa,
karya, impian, dan tawa yang tertuang dari karunia,
visi dan rahmat yang khusus diberikan padamu. Tapi
apalah yang kita harapkan jika komunitas seperti itu
dicurigai, diancam, digerogoti, ketika pemberangusan
nyaris tuntas, ketika rakyat dijadikan pengecut,
dapat dibeli, dicerai-beraikan dan dijadikan
pelaksana kepunahan mereka sendiri?
Rasa damai dan teguh pendirian yang mengalir dari
orang-orang seperti Philip dan Elizabeth tidak dihargai
dan juga tidak dipahami dalam masyarakat kita. Cita rasa
itu adalah buah dari kemerdekaan Kristus yang paradoks,
yang berkata: “Tak seorang pun dapat mengambil
hidupKu, namun Aku menyerahkannya atas keinginanKu
sendiri. Aku berkuasa untuk mengambilnya kembali.”
Bagi Philip, pengorbanan berpisah dari orang-orang
yang disayanginya merupakan bagian dari kematian yang
harus diderita, palang halang di jalan menuju
perdamaian. Yang didapatnya bukanlah damai yang
diberikan dunia, namun seperti tulisannya dari penjara
pada bulan September 1997, ia memandang damai yang
lebih besar dan lebih dalam:
69. Berbagai Paradoks 71
Adalah damai ketika tak ada lagi dominasi, di
mana ketidak-adilan dibongkar, ketika kekerasan
telah menjadi sisa masa lalu, ketika pedang telah
hilang dan mata–bajak banyak tersedia. Adalah
damai ketika semua orang diperlakukan sebagai
saudara, lelaki dan perempuan, dengan penghargaan
dan martabat, ketika setiap kehidupan dianggap suci,
dan di mana ada masa depan bagi anak-anak. Dunia
seperti itulah yang untuk membantu perwujudannya
Allah berkenan memanggil kita.
Di negeri kita untuk menanggapi panggilan seperti
itu bisa berarti masuk penjara, mempertaruhkan reputasi,
pekerjaan, penghasilan, atau bahkan dirampok oleh
keluarga dan teman sendiri. Namun dalam suatu negara
kriminal yang setiap hari menyiapkan bencana nuklir,
tantangan itu sungguh-sungguh berarti kemerdekaan,
komunitas teman dan kerabat yang baru. Sesungguhnya,
artinya adalah kebangkitan.
Bagi kebanyakan dari kita proses kematian yang
harus kita tempuh untuk dapat berbuah benar-benar biasa
saja. Kita tidak berhadapan dengan regu tembak (seperti
gambaran Dostoevsky) atau pengadilan federal (seperti
Philip Berrigan dan saudaranya), sebab yang kita dapat
hanyalah sedikit lebih sulit dari persoalan hidup sehari-
hari saja: soal mengatasi kesombongan, berteriak kepada
seseorang yang berbuat salah, meredam kebencian,
mendiamkan anggota keluarga atau rekan yang marah
atau frustrasi. Tidak ada sesuatu yang heroik dalam
memilih melakukan hal-hal ini.
Namun “jika benih tidak jatuh di tanah” kita tak
akan pernah menemukan damai sejati atau pun dapat
menyampaikannya kepada orang lain.
Laurel Arnold, jemaat gerejaku yang kukenal sejak
akhir 1950-an berkata:
70. 72 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Bila aku merenungkan kata-kata Yesus dalam Injil
Yohanes 14:27 “Damai sejahtera-Ku Kuberikan
kepadamu, dan yang Kuberikan tidak seperti yang
diberikan oleh dunia kepadamu,” – aku teringat betapa
sering ayat ini dibacakan pada upacara pemakaman,
namun tetap berada di luar diriku.
Aku dibesarkan di suatu lingkungan yang terlindung
dan tersendiri agar menjadi wanita yang benar, saleh dan
kritis. Aku ingin menjadi seorang ternama, mungkin
seorang penulis yang terkenal, dan aku bekerja keras dan
dihargai di universitas. Aku ingin populer, namun aku
mengadili teman-teman yang juga ingin dikenal. Aku
sangat idealistis dan mencintai aliran pacifisme, tapi aku
benar-benar orang kulit putih kelas menengah yang buta
terhadap ketidak-adilan sosial dan permainan politik.
Selama perang aku mengajar di New York City,
sementara Paul, suamiku, menjadi pelaut. Setelah
perang, kami tergugah melihat realitas kehidupan orang
lain. Paul telah menyaksikan kerusakan yang
mengerikan di kota-kota yang terkena bom di Eropa;
aku tersandung orang-orang yang mabuk di jalanan dan
aku peduli pada anak-anak yang tak pernah bermain di
rerumputan. Kami kira kami dapat membantu seorang
pecandu alkohol dan merengkuhnya dalam keluarga
kami, tapi ia kabur mencuri uang dari toko kami.
Kami menawarkan diri kepada majelis gereja kami
untuk menjadi misionaris dan dikirim ke Afrika. Walaupun
kemudian kami meninggalkan bidang misi, kami makin
terlibat dalam kegiatan gereja. Namun kami tidak
menemukan hubungan dari hati ke hati yang kami cari,
karena semua kegiatan bersifat dangkal dan gosip belaka.
Kami ingin menghayati kehidupan yang mengikuti Yesus
setiap hari, bukan hanya pada hari Minggu saja.
Kemudian, kami tertarik pada cita- cita
persaudaraan, dan kami mulai mempelajari berbagai
persoalan dan bidang-bidang kehidupan yang belum
71. Berbagai Paradoks 73
terpikir oleh kami sebelumnya: materialisme, rumah
pribadi, sebab-sebab perang. Pada 1960 kami
bergabung dengan Bruderhof.... Adalah mudah untuk
menyerahkan rumah, mobil dan penghimpunan harta
bersama; kami bisa mengerti. Namun kesukaan kami
menyampaikan pendapat, cara-cara berprinsip untuk
menanggapi berbagai hal, pertimbangan berdasarkan
kebenaran pribadi; sikap seperti bos, dan keyakinan
diri yang menggilas orang lain, semua itu masih sulit
untuk dikorbankan. Untuk masa yang panjang aku
berusaha agar tidak bertindak menurut aturan,
melainkan supaya lebih dibimbing oleh Roh; berusaha
agar tidak mencari citra diri “baik” atau ramah, dan
lebih bersikap tulus dan jujur. Sulit!
Tentu saja ada suka duka yang seimbang dan
kesetiaan pada Tuhan selama itu, berusaha
menimbang-nimbang, mendapatkan ampunan dan
kesempatan untuk permulaan yang baru. Aku masih
tak suka dianggap salah – tak ada orang yang suka –
tapi aku mendapatkan rahmat, kasih dalam kerahiman
Allah. Pada usia tujuh puluh empat, tak ada waktu
untuk rileks dan bermalas-malasan. Ada begitu
banyak hal yang masih perlu kupelajari, begitu banyak
yang harus ditanggapi....
Ada orang yang di dalam doa bersyukur kepada
Allah karena telah menjadi putraNya. Aku tidak seyakin
itu. Apakah aku sungguh-sungguh siap mati? Yang pasti
aku tidak hidup “dengan tenang”, seperti dalam lagu yang
kita nyanyikan “Peace I ask of Thee, O River.” Ada
kegelisahan dan kerinduan tertentu pada diriku. Kukira
kita semua merupakan bagian dari makhluk yang
mengeluh yang disebut dalam Surat untuk Jemaat Roma
8. Walau kulihat diriku sendiri mudah goyah, sedang Allah
begitu setia sepanjang hidupku, di sanalah kudapatkan
iman dan kedamaianku.
72. 74 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Tidak ada yang istimewa dalam cerita Laurel itu. Namun
perjuangannya yang biasa-biasa saja – tugas umum sepanjang
hayat untuk belajar hidup dalam damai dengan Tuhan,
dengan tetangga, dan diri sendiri – tidaklah kalah penting
dibanding kemartiran yang heroik. Kakekku menulis:
Sejauh terkait dengan umat manusia seluruhnya,
hanya satu hal yang berharga bagi Kerajaan Allah:
Kesediaan kita untuk mati. Namun kesediaan ini perlu
dibuktikan dalam hal-hal yang remeh-remeh dalam hidup
sehari-hari, sehingga kita dapat memperlihatkan
keberanian dalam masa-masa yang kritis dalam sejarah.
Maka kita harus sepenuhnya mengatasi sikap dan perasaan
yang kecil-kecil, supaya dapat menyerahkan cara pribadi
kita seluruhnya dalam menanggapi hal-hal, yaitu rasa
takut, khawatir dan kegelisahan batin kita – pendeknya,
ketidakpercayaan kita. Sebaliknya, kita memerlukan
iman. Iman yang walaupun sebesar biji sesawi, namun punya
peluang untuk tumbuh menjadi besar.
Itulah yang kita perlukan, tak kurang, tak lebih.
73. Berbagai Paradoks 75
Kebijaksanaan
Orang Bodoh
D alam suratnya yang pertama kepada Jemaat di
Korintus, Rasul Paulus menulis, “Janganlah ada orang
yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang
menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini biarlah
ia menjadi bodoh supaya ia berhikmat. Karena hikmat
dunia ini adalah kebodohan bagi Allah.41 “Kebijaksanaan
orang bodoh (dan kebodohan orang bijak) tampaknya tidak
berkaitan dengan damai yang diberikan dunia ini, maka
damai itu tidak dapat ditemukan oleh mereka yang
mengikuti kebijaksanaan dunia, oleh mereka yang
merangkul kebodohan di mata Allah.
Secara praktis, kebodohan ini sering disepelekan atau
dilupakan. Cerita tentang Fransiskus Asisi bisa dijadikan
contoh. Hingga sekarang Fransiskus Asisi sangat dikenal
sebagai biarawan yang lembut hati, yang membuat nyanyian
untuk matahari dan berdamai dengan binatang dan burung-
burung. Namun Santo Fransiskus bukanlah penyair yang
lembek. Dengan semangatnya yang meluap-luap, dia
menjadikan dirinya sama dengan orang miskin dengan
membagi-bagikan bukan hanya semua warisan yang
diterimanya, tetapi juga baju yang disandangnya. Wasiat
terakhirnya luar biasa kritis terhadap kekayaan dan lembaga
keagamaan, sehingga surat itu disita dan dibakar sebelum
ia sendiri akhirnya dinyatakan sebagai orang suci. Dan
beberapa kata yang ditinggalkannya bagi kita
41
1Kor 3:18-19
74. 76 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
mengungkapkan semangat yang niscaya menantang kita,
setiap kali kita membacanya – sekalipun karena sering
diucapkan lalu terasa usang:
Tuhan, jadikan aku pembawa damai
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa kasih;
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa ampunan;
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa iman;
Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan;
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku terang;
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan.
O Guru Ilahi,
Buatlah diriku agar lebih berusaha:
Menghibur, daripada dihibur;
Memahami, daripada dipahami;
Mencintai, daripada dicintai.
Sebab dengan memberi aku menerima;
Dengan mengampuni aku diampuni;
Dan dengan mati aku bangkit lagi
Untuk hidup abadi.
Mereka yang merinding mendengar jawaban religius
seperti yang diberikan Santo Fransiskus tujuh abad yang
lalu, sepertinya sekarang malah akan diolok-olok orang.
Seperti Santo Fransiskus, mereka mungkin juga tahu
bahwa jalan menuju perdamaian abadi menuntut kesediaan
untuk tidak dipahami dan salah dimengerti orang.
Dalam bukuku tentang kematian dan proses menuju
kematian, I Tell You A Mystery, aku menceritakan kisah
bibiku Edith yang menukarkan gaya hidup yang nyaman
sebagai mahasiswa Teologi di Universitas Tubingen
dengan hidup miskin di Bruderhof. Kebodohan Edith
(sementara Hitler berkuasa, dan komunitas kami
dianggap sebagai ancaman bagi negara) membuat orang
tuanya marah sehingga mereka mengurungnya di kamar