Dokumen tersebut membahas tentang otoritas atas tubuh dan identitas yang dikonstruksi dalam relasi kekuasaan sosial. Ia menekankan pentingnya kesadaran kritis terhadap proses selektif dalam pembentukan diskursus kekuasaan guna mengatasi bias perspektif para pemenang. Transformasi kekuasaan dapat dilakukan melalui reklamasi otoritas diri, penamaan ulang, dan rekonstruksi konsep yang diskriminatif.
2. Pengalaman ketubuhan -- SELF yang terkonstruksikan
Otoritas atas tubuh kita berhadap-hadapan dengan tekanan-tekanan dari norma-norma agama, sosial,
budaya, politik, hukum, pendidikan, gender, dst---mengkonstruksikan kedirian kita.
Untuk membebaskan diri kembali, maka kita dituntut selalu berada dalam kesadaran kritis dan
negosiasi2 dalam relasi kekuasaan yang hieraskhis.
3. Identitas & multikulturalisme-pluralisme
Kenyataan bahwa dalam diri seseorang tidak membawa
identitas tunggal, melainkan multi, dan bahwa identitas
seseorang bersifat cair, maka pluralisme dan
multikuluturalisme bukanlah sebuah pilihan melainkan
konsekuensi.
Di dalam konteks Indonesia dimana ada lebih dari 100
suku dan sub-suku dengan lebih dari 300 bahasa daerah
aktif, 6 agama resmi dan puluhan agama suku dan
kepercayaan yang masih hidup, maka multikulturalisme
dan pluralisme sekali lagi bukanlah pilihan melainkan
SYARAT MUTLAK untuk kehidupan bersama, berbangsa &
bernegara!
4. Identitas & politik identitas
Karena identitas tidak pernah bebas dari kepentingan,
identitas sangat rentan untuk dipolitisir
Identitas sektarian & primordialisme menguat:
berbasis agama, etnis, suku, afiliasi politik rentan
politisir
Politik identitas: bias gender, patriarkhis, bias
mayoritas & dominan (agama, suku, budaya),
heteronormatif.
5. Otoritas
Legitimasi kewenangan untuk membuat keputusan
dan bertindak atas sesuatu, seseorang dan atau diri
sendiri.
Bisa bersifat inherent, misalnya bahwa setiap orang
memiliki otoritas atas tubuh & dirinya sendiri.
Bisa berasal dari luar, misalnya otoritas sebuah
lembaga tertentu, misalnya otoritas DPR berasal dari
rakyat.
Otoritas lembaga/organisasi melekat di organisasinya,
bukan di individu anggota
6. Otoritas…
Otoritas atas tubuh dan diri kita TIDAK diberikan oleh institusi
tertentu yang dipahami sebagai institusi pemilik atau pemberi
otoritas seperti institusi negara, institusi agama, institusi
hukum, dst, melainkan kita bawa dari lahir, sifatnya hakiki.
Sebaliknya, institusi negara, institusi agama, dll itu melalui
produk-produk hukum, aturan, ajaran, dogma, MERAMPAS
otoritas kita atas tubuh & diri kita.
Otoritas atas tubuh dan diri—selalu dalam proses dialektika
dengan berbagai otoritas di luar kita.
Proses tawar-menawar dg otoritas di luar sana hanya bisa terjadi
jika kita terlebih dulu meyakini bahwa kita adalah pemiliki
otoritas atas tubuh dan diri sendiri.
7. kekuasaan
Kekuasaan, dalam presentasi ini, didefinisikan
sebagai otoritas yang terkait dengan aspek eksternal.
Kekuasaan yang datangnya dari luarmengandung
unsur delegasi kewenangan dan pemberian hak dari si
pemberi kuasa.
Karenanya, mengandung kewajiban yang harus
dipenuhi oleh si penerima delegasi (baca: penguasa)
Kewenangan seorang penguasa dibatasi oleh
kewajiban yang harus dipenuhinya.
8. Bentuk-bentuk kekuasaan
Coercive power/Kuasa paksaan: Penekanan kepada
hukuman bagi mereka yang tidak melakukan instruksi
Reward Power: Kuasa lebih didasarkan kepada
reward/hadiah/bonus yang diberikan kepada mrk yg taat.
Legitimative Power: Penguasa menuntut ketaatan dari
pengikutnya utk melegitimasi kekuasaannya.
Expert Power: Penguasa yang memiliki kekuasaan karena
expertise/keahlian yang dimilikinya (memakai
keahliannya)
Referent Power: Ketika si penguasa memiliki karisma yang
luarbiasa sehingga para pengikutnya menjadikannya role
model.
9. Paradigma & praktek kekuasaan
Power over: paradigma yang melihat dan memakai
kekuasaan untuk menguasai orang lain.
Paradigma ini merupakan paradigma yang paling
umum –disadari atau tidak– dipakai dalam praktek
kekuasaan di dunia ini. Karenanya kekuasaan menjadi
perebutan.
Paradigma ini rentan memunculkan praktek
otoritarianisme (otoriter), bersifat menjajah,
menindas, memarjinalisasikan bahkan
mendiskriminasikan kelompok tertentu.
10. Paradigma & praktek kekuasaan..
Power within: kekuasaan dipahami sebagai adanya
timbal balik seimbang antara kewenangan/hak dan
kewajiban atas pemenuhan hak yang didelegasikan
kepadanya.
Kekuasaan dipahami sebagai pengaruh yang dimiliki
agar si pemiliki kuasa itu mampu membuat yang lain
juga memiliki kuasa;
Power to empower
Merupakan perlawanan atas paradigma power over.
upaya mengembalikan kekuasaan sebagai kendaraan
untuk melakukan transformasi sosial.
11. Paradigma & praktek kekuasaan...
Power sharing: suatu praktek kekuasaan dimana pemilik
kekuasaan percaya bahwa semakin absolut suatu
kekuasaan, maka semakin rentan dia terhadap
penyalahgunaan (abuse of power).
Untuk meminimalkan kesempatan power
abuse/penyalahgunaan kekuasaan, maka dipraktekkanlah
kepemimpinan secara kolektif, dimana kekuasaan
didistribusikan.
Contoh: sistem pemerintahan demokrasi, dimana
kekuasaan didistribusikan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Contoh: dalam organisasi, dimana sistem kepemimpinan
secara kolektif dengan struktur yang flat .
12. Identitas & Relasi Kekuasaan
Kenyataan bahwa dalam diri seseorang tidak membawa identitas
tunggal, melainkan multi, dan bahwa identitas itu dibentuk
dalam ketegangan relasi-relasi kekuasaan maka untuk bisa
menjadi identitas yang merdeka sekaligus memerdekan,
dituntut kesadaran kritis yang bersifat konstan atas relasi-relasi
kekuasaan yang ada, dan posisi kita masing di dalam setiap
piramida kekukasaan tsb.
Dengan kesadaran bahwa setiap individu memiliki posisinya
masing-masing yang berbeda-beda di setiap piramida, maka
sesungguhnya tidak ada orang yang sama sekali powerless.
Menuntut kesadaran bahwa koalisi untuk transformasi relasi
kekuasaan bersifat kompleks, karena setiap orang memiliki lebih
dari 1 posisi, dan karenanya pasti lebih dari 1 kepentingan.
13. Power is Exercised
Power is exercised: artinya kekuasaan itu tidak datang dari langit,
melainkan melalui proses yang bersifat relasional, antara si pemberi
kekuasaan dan si penerima kekuasaan. Seseorang tdk bisa mengklaim
berkuasa kalau masyarakat di sekitarnya/anggita organisasi tdk
mengakui kekuasaannya.
Kekuasaan terakumulasi pd seseorang atau kelompok tertentu karena
ada proses timbal balik, tidak akan terjadi jika pihak “pemberi” kuasa
tidak mengijinkan hal itu terjadi.
Namun pada saat yang sama, kekuasaan terakumulasi karena dalam
proses exercising atau pengasahan kekuasaan tsb, selalu bersifat bias
akses (hanya yang memiliki akses terhadap kekuasaan yang mampu
memberikan pengaruh dan kontribusi).
Pengasahan kekuasaan melalui pembentukan dan pengembangan
diskursus (pemilihan material, penerjemahan & intepretasi, distribusi)
yang bersifat selektif dan tidak bebas kepentingan.
14. Power is exercised: bias perspektif
pemenang
Karena:
Hanya mereka yang punya akses ke kekuasaan bisa memberikan
suaranya. Semakin di bawah kecenderungan posisi seseorang dalam
multiple piramida, semakin dia tidak punya akses dalam
mempengaruhi kekuasaan
Contoh: seorang transgender, miskin, berpendidikan rendah, dari
kampung terpencil akan berada di dasar piramida dari minimal 4
piramida sosial, yang berarti dia termarginalkan secara 4 lapis. Kondisi
tsb membuat dia nyaris tdk mungkin punya akses untuk ikut
mempengaruhi kekuasaan; ada ketimpangan besar dalam relasi
kekuasaan dia dengan si penguasa.
Catatan: dalam masyarakat yang bias gender, maka seorang
transgender tdk diterima dlm masyarakat drop out sekolah
tdk ada lapangan kerja miskin di jalanan makin tdk punya
akses
15. Power is exercised: bias perspektif
pemenang (lanjutan)
Setiap individu/kelompok memiliki kepentingannya
sendirisetiap suara yang disuarakan mewakili
kepentingan individu/kelompok tsb.
Jika hanya mereka yang memiliki akses ke kekuasaan
punya suara, mk hanya kepentingan para pemilik
akses inilah yang terwakili.
“Power tends to corrupt”
Definisi, deksripsi, isu sosial yang dibentuk bias
Cenderung menjaga status quo
16. Pembentukan diskursus sebagai
bagian dari pengasahan kekuasaan
Kata kuncinya adalah: proses selektif
Ada 3 langkah:
1. Pemilihan materi
2. Interpretasi/tafsir & pembentukan definisi
3. Distribusi
Semuanya bersifat selektif.
17. Kata kunci: SELEKTIF- Pemilihan
materi
- di sekitar kita ada banyak sekali isu & persoalan, seorang
penguasa akan secara selektif memilih isu mana yang akan
dilempar ke publik.
- Ingat!!!!Seleksi isu tidak pernah bebas dari kepentingan
Misal: dalam konteks Indonesia, ada isu mega korupsi oleh
tokoh politik dari partai berkuasa, kasus bayi mati karena
ditolak RS, ada kasus pembunuhan mutilasi di jalan tol.
Maka humas pemerintah akan memilih untuk mengangkat
kasus mutilasi dan blow up besar-besaran sehingga atensi
masyarakat terfokus pada kasus ini dan melupakan kasus
mega korupsi atau pun matinya bayi krn ditolak RS.
18. Kata kunci: SELEKTIF-interpretasi
Tidak ada subyek atau teks yang memiliki interpretasi
tunggal.
Teks tidak mati
Dari banyak interpretasi, maka seorang penguasa akan
menentukan (Selektif ) interpretasi yang mana yang akan
diambil atau akan membentuk interpretasinya sendiri yang
menguntungkan posisinya.
Misal:
Jika blow up kasus mutilasi tdk berhasil, maka mereka akan
menyiapkan versi kasus korupsi dan memberikan
interpretasi mereka yang bias pembenaran di sana-sini.
19. Kata kunci: SELEKTIF-distribusi
Dari banyak media untuk distribusi, maka penguasa
akan memilih saluran distribusi, media massa, yang
dianggap bisa diajak berkolaborasi, atau memiliki
kepentingan yang sama.
Bayangkan jika semua saluran distribusi ternyata ada
di bawah hegemoni penguasa, atau jika hanya ada satu
saluran distribusi, atau jika pemilik saluran distribusi
ternyata adalah juga bagian dari struktur & lingkarang
penguasa.
20. Kita dalam peta relasi kekuasaan..
Kita berada dalam ketegangan berbagai bentuk dan
level relasi kekuasaan yang bias gender,
heteronormatif, hierarkhis, patriarkhis.
Dituntut selalu dalam kesadaran kritis akan identitas
& posisi multi kita.
Dituntut untuk selalu dalam kesadaran kritis akan
proses selektif yang mengitari kekuasaan
21. Pertanyaan Kritis yg harus diajukan
1. Apakah relasi kekuasaan tsb bersifat membebaskan
atau sebaliknya memenjarakan & meminggirkan buat
saya dan masyarakat di luar saya.
- Kalau tidak, siapa yang diuntungkan?
2. Kira-kira proses selektif seperti apa yang sudah
terjadi dalam membentuk relasi kekuasaan yang ada
itu?
3. Bagaimana caranya untuk bisa mengubah peta relasi
agar bersifat lebih membebaskan/memerdakan,
pertama-tama untuk saya, dan kemudian untuk
lingkungan yang lebih luas
22. Dimulai dari SAYA….
Posisi “SAYA” sbg subyek di sini sangat penting, karena
tidak ada proses perubahan sosial (pembebasan,
pemerdekaan) tanpa adanya pembebasan dan
pemerdekaan diri sendiri.
23. 3R menuju transformasi kekuasan
Re-claim: Mengambil kembali otoritas kita atas tubuh
dan diri kita yg sudah dirampas dari kita &
menegosiasikan dengan otoritas-otoritas di luar kita
Re-name: Berani menamai ulang penamaan-penamaan
dan pelabelan yang diberikan ke kita
maupun ke orang lain yg biasanya cenderung
merendahkan dan melemahkan
Re-construct: berani mengonstruksi ulang bangunan
konsep, norma, ajaran, nilai yg selama ini bias &
diskriminatif
24. Awas….the power of Language
Dalam rangka 3R tadi, kita mesti sadar akan pengaruh
bahasa:
a. Menggambarkan realita:
Contoh:
a. Membentuk realita:
Contoh:
a. Mentransformasikan:
Contoh: