2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tambak-tambak payau untuk budidaya udang windu yang kualitasnya
sudah menurun dan tidak produktif menyebabkan produksi udang windu
menurun. Penurunan angka produksi udang windu tersebut pada akhirnya
menurunkan pendapatan pembudidaya tambak. Di sisi lain, ikan nila merupakan
komoditas ekspor yang populer di masyarakat karena rasa dagingnya yang khas
(Khairuman dan Amri, 2003). Ikan nila ini juga menjadi andalan para
pembudidaya tambak dikarenakan memiliki laju pertumbuhan dan
perkembangbiakan yang cepat, memiliki toleransi lingkungan hidup yang luas
sehingga dapat hidup di sungai, waduk, danau, rawa, sawah, kolam dan tambak,
serta memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit
(Sucipto, 2002). Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan tambak dan memberi
masukan pendapatan bagi para pembudidaya tambak, ikan nila mulai
dibudidayakan pada tambak udang windu yang sudah tidak produktif tersebut.
Budidaya ikan nila di tambak sama seperti halnya budidaya ikan lainnya
juga membutuhkan benih. Benih ikan nila selama ini dihasilkan dari pembenihan
di air tawar, sehingga untuk ditebar di tambak udang windu yang berair payau,
maka ikan nila harus diadaptasikan dulu di air payau. Namun, kendala yang
ditemui selama ini, yaitu ikan nila dewasa memiliki masa adaptasi yang agak lama
apabila diadaptasikan pada air payau, selain itu juga jarang sekali dilakukan
pembenihan ikan nila di air payau, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
tentang pembenihan ikan nila di air payau. Tujuan dilakukannya pembenihan ikan
nila di air payau ini terutama untuk mengetahui besar daya tetas telur ikan nila dan
3. bagaimana embriogenesisnya bila telur ikan nila ditetaskan dalam air payau dan
faktor yang paling berpengaruh dalam usaha ini adalah salinitas.
Salinitas merupakan total konsentrasi ion-ion K+, Na+, Mg2+, NO3-, Ca2+,
SO42-, Cl- dan HCO3- yang ada dalam air (Boyd, 1982 dalam Maisura, 2004).
Salinitas sangat berpengaruh terhadap osmoregulasi pada ikan (Buttner et al,
1993). Ikan nila termasuk golongan ikan yang hidup pada air tawar (Fujaya,
2004). Oleh karena itu, apabila telur ikan nila ditetaskan pada air yang bersalinitas
lebih tinggi, maka kandungan air pada telur ikan nila akan tertarik keluar
sedangkan garam-garam yang terkandung pada air payau akan masuk ke dalam
telur ikan nila. Unsur-unsur tertentu pada garam ini dapat mempercepat proses
transpor aktif yang berguna untuk mempercepat pergerakan sel (Prunet dan
Bornancin, 1989). Oleh karena itu, apabila pergerakan sel cepat maka proses
penetasan telur juga menjadi cepat. Penelitian ini merupakan bagian dari
rangkaian penelitian pengembangan pembenihan ikan nila di air payau. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembudidaya ikan nila.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a.
b.
c.
Bagaimana gambaran embriogenesis ikan nila apabila ditetaskan pada
salinitas berbeda?
Apakah terdapat pengaruh salinitas terhadap daya tetas telur ikan nila?
Berapakah salinitas terbaik untuk menghasilkan daya tetas telur ikan nila
tertinggi?
4. 1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a.
b.
c.
Mengetahui gambaran embriogenesis ikan nila apabila ditetaskan pada
salinitas berbeda.
Mengetahui pengaruh salinitas terhadap daya tetas telur ikan nila.
Mengetahui salinitas terbaik untuk menghasilkan daya tetas telur ikan nila
tertinggi.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada
masyarakat perikanan tentang gambaran embriogenesis ikan nila apabila telur
ikan nila ditetaskan pada salinitas berbeda, pengaruh salinitas terhadap daya tetas
telur ikan nila, serta salinitas terbaik untuk menghasilkan daya tetas telur ikan nila
tertinggi. Pada akhirnya, dapat diaplikasikan para masyarakat perikanan sebagai
pengembangan pembenihan ikan nila di air payau.
5. BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi ikan nila (O. niloticus) menurut Khairuman dan Amri (2003)
adalah :
Filum
Subfilum
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Sub Ordo
Famili
Genus
Species
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Chordata
Vertebrata
Pisces
Acanthopterigii
Percomorphi
Percoidea
Cichlidae
Oreochromis
Oreochromis niloticus
2.1.2 Morfologi
Ikan nila (O. niloticus) satu genus dengan ikan mujair (O. mossambica),
oleh karena itu bentuk badannya mirip dengan ikan mujair, tetapi warnanya lebih
cerah (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2004). Ciri ikan nila adalah
memiliki enam garis melintang berwarna gelap di sirip ekor. Garis seperti itu juga
terdapat di sirip punggung dan sirip dubur, sedangkan ikan mujair tidak memiliki
garis melintang di ekor, punggung dan sirip dubur (Suyanto,1994).
Khairuman dan Amri (2003) menyatakan bahwa ikan nila secara umum
memiliki bentuk tubuh yang panjang dan ramping dengan sisik berukuran besar,
matanya besar, menonjol dan bagian tepinya berwarna putih. Gurat sisi terputus di
bagian tengah badan, kemudian berlanjut, tetapi letaknya lebih ke bawah dari
letak garis yang memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik pada gurat sisi
sebanyak 34 buah.
6. Ikan nila mempunyai lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip
dada (pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anus (anal fin) dan sirip ekor
(caudal fin). Sirip punggung memanjang dari bagian atas tutup insang hingga
bagian atas sirip ekor. Sirip dada dan sirip perut masing-masing ada sepasang dan
berukuran kecil. Sirip anus hanya berjumlah satu buah dan berbentuk agak
panjang, sedangkan sirip ekor berbentuk bulat (Arie, 1999). Kordi (2010)
menyatakan, jari-jari sirip punggung yang dimiliki ikan nila terdiri dari 17 jari-jari
keras dan 13 jari-jari lemah, sirip perut terdiri dari satu jari-jari keras dan lima
jari-jari lunak, sirip dada terdiri dari 15 jari-jari lunak, sirip anus terdiri dari tiga
jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lunak sedangkan sirip ekor terdiri dari delapan
jari-jari keras melunak. Sirip punggung dan sirip dada berwarna gelap, sedangkan
sirip dada berwarna abu-abu atau hitam (Khairuman dan Amri, 2003).
1
7
2
6
5
3
4
Gambar 1. Anatomi tubuh ikan nila (Oreochromis niloticus) : 1. sirip punggung,
2. sirip ekor, 3. sirip anal, 4. sirip perut, 5. sirip dada, 6. mulut, dan
7. mata (Sumber : Ariffudin, 2007)
Jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin, ikan nila jantan memiliki
ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan nila betina. Alat kelamin ikan nila
7. jantan berupa tonjolan agak runcing. Bentuk hidung dan rahang belakang ikan nila
jantan melebar dan berwarna biru muda, sedangkan pada ikan nila betina
bentuknya agak lancip dan berwarna kuning terang. Sirip punggung dan sirip ekor
ikan nila jantan memiliki garis yang berupa garis putus-putus, sementara pada
ikan nila betina garis berlanjut (tidak terputus) dan melingkar (Khairuman dan
Amri, 2003) , sedangkan Arie (1999) menyatakan, perbedaan jantan dan betina
ikan nila dapat pula dilihat dari warna tubuh, jantan berwarna lebih cerah dan
bercahaya dibanding betina. Warna menarik ini terutama muncul pada saat
matang kelamin.
2.1.3 Sifat-Sifat Biologis
Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga
dapat dipelihara mulai dari air tawar sampai air payau. Habitat hidup ikan nila
cukup beragam, yaitu sungai, waduk, danau, rawa, sawah, kolam, dan tambak.
Ikan nila dapat tumbuh secara normal pada suhu berkisar antara 14-38oC, dan
pertumbuhannya akan terhambat jika ikan nila hidup di perairan yang suhunya
lebih rendah dari 14oC atau lebih tinggi dari 38oC, sedangkan untuk pertumbuhan
dan perkembangbiakan, suhu optimum berkisar antara 25-30 oC (Khairuman dan
Amri, 2003).
Salinitas di perairan juga sangat mempengaruhi kehidupan ikan nila. Ikan
nila bisa tumbuh dan berkembangbiak pada kisaran salinitas 0-29o/oo. Arie (1999)
menyatakan, jika pada salinitas 29-35o/oo ikan nila masih bisa tumbuh, tapi tidak
bisa bereproduksi. Ikan nila yang masih benih lebih cepat menyesuaikan diri
dengan kenaikan salinitas, dibandingkan dengan ikan nila yang berukuran besar
(Arie, 1999).
8. Ikan nila termasuk jenis ikan yang tahan dalam kondisi kekurangan oksigen.
Jika terjadi kekurangan oksigen, ikan nila akan mengambil langsung oksigen dari
udara bebas, bahkan ikan nila ini bisa bertahan hidup beberapa lama di darat tanpa
air. Kandungan oksigen yang baik untuk ikan nila minimal 4 mg/liter (Khairuman
dan Amri, 2003).
Selain suhu, salinitas dan kandungan oksigen, nila juga sangat toleran
terhadap derajat keasaman (pH) dari air. Kisaran pH yang masih dapat ditolerir
ikan nila berkisar antara 5-11, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan berkisar antara 7-8 (Arie, 1999).
2.1.4 Pemijahan
Rustidja (1998) menyatakan, pemijahan adalah salah satu fase reproduksi
yang merupakan mata rantai siklus hidup yang menentukan kelangsungan hidup
spesies. Kordi (2010) menerangkan, ikan nila dapat dipijahkan sejak berumur
empat bulan. Masa pemijahannya berlangsung dalam waktu yang singkat dan
dapat memijah setiap 6-8 minggu pada suhu berkisar antara 25-32oC. Pada saat
memijah, satu ekor ikan nila jantan mampu membuahi telur-telur yang
dikeluarkan oleh lebih dari satu ekor ikan nila betina, sehingga untuk pemijahan
di kolam jumlah induk betina hendaknya lebih banyak dari jumlah induk jantan.
Oleh karena itu, perbandingan jantan dan betina ikan nila untuk pemijahan yaitu
1:3.
Ikan nila membuat sarang sebagai tempat pemijahannya, yakni berupa
lubang pada dasar kolam yang lunak. Setelah pemijahan selesai, maka induk
betina ikan nila akan menghisap telur-telur yang telah dibuahi untuk dierami di
dalam mulutnya. Sistem pemijahan ikan nila oleh para peneliti perikanan disebut
9. mouth breeder atau penggeram dalam mulut. Induk betina yang sedang
mengerami telurnya tersebut biasanya tidak makan alias puasa (Susanto, 1987).
2.2 Embriogenesis Ikan
Embriogenesis adalah proses pembentukan dan perkembangan embrio.
Proses ini merupakan tahapan perkembangan sel setelah mengalami pembuahan
atau fertilisasi (Alberts, 2002), sedangkan Yudha (2009) menyatakan,
embriogenesis adalah proses pembentukan sigot menjadi embrio dan mencakup
semua proses perkembangan mulai dari setelah fertilisasi sampai dengan
organogenesis sebelum menetas atau lahir. Proses perkembangan embrio ada
empat fase, antara lain : fase pembelahan, fase blastula (blastulasi), fase gastrula
(gastrulasi) dan fase neurula (neurulasi) (Yudha, 2009), sedangkan Morrison et al.
(2001) menyatakan, perkembangan embrio ikan nila setelah fertilisasi terdiri dari
periode sigot, pembelahan, blastula, gastrula, segmentasi, pharyngula dan
penetasan.
Fase pembelahan adalah fase pembelahan sigot secara cepat menjadi unit
lebih kecil yang disebut blastomer. Stadium pembelahan merupakan rangkaian
mitosis yang berlangsung berturut-turut segera setelah terjadi pembuahan yang
menghasilkan morula dan blastomer (Gusrina, 2008). Black dan Pickering (1998)
menyatakan, fase perkembangan embrio setelah fertilisasi terdiri dari pembelahan
sel mitotik. Proses ini mengawali pembentukan blastoderm pada kutub anima
telur. Sebagian besar materi kuning telur tetap tidak membelah dan berperan
sebagai penyedia pakan untuk perkembangan embrio.
Gusrina (2008) menyatakan, fase blastula (blastulasi) adalah proses yang
menghasilkan blastula, yaitu campuran sel-sel blastoderm yang membentuk
10. rongga penuh cairan sebagai blastocoel. Effendie (1997) juga menambahkan,
pada fase blastula ini terdapat dua macam sel, yaitu sel formatif yang masuk ke
dalam komposisi tubuh embrionik dan sel non formatif sebagai tropoblast yang
ada hubungannya dengan nutrisi embrio. Pada saat fase blastula ini juga terdapat
daerah sel yang dapat diperkirakan atau dipetakan menjadi lapisan ektoderm
(epiblast), lapisan endoderm (hypoblast) dan mesoderm (mesoblast). Morrison et
al. (2001) menyebutkan bahwa fase blastula pada ikan nila terjadi pada jam
kelima sampai ke-22 setelah fertilisasi. Pada fase ini, blastodisk makin datar dan
menutup lebih kurang 20% kuning telur pada akhir jam ke-20.
Fase gastrula (gastrulasi) adalah proses perkembangan embrio, sel bakal
organ yang telah terbentuk pada stadia blastula mengalami perkembangan lebih
lanjut. Proses perkembangan sel bakal organ ini terdiri dari dua macam proses
pergerakan sel, yaitu epiboli dan emboli (Gusrina, 2008). Effendie (1997)
menjelaskan, epiboli adalah suatu pergerakan sel-sel ke depan, ke belakang dan
juga ke samping dari sumbu yang akan menjadi embrio, yang kelak akan
dianggap menjadi epidermis dan daerah persyarafan, sedangkan emboli adalah
pergerakan sel-sel yang menuju ke bagian dalam terutama di ujung sumbu bakal
embrio. Yudha (2009) menambahkan, pada akhir fase gastrula terbentuk tiga daun
kecambah, yaitu ektoderm, mesoderm dan endoderm yang merupakan awal dari
pembentukan organ-organ. Fase ini pada ikan nila terjadi pada jam ke- 22 sampai
dengan jam ke-26 setelah fertilisasi (Morrison et al., 2001). Morrison et al. (2001)
juga menyatakan, epiboli pada embrio ikan nila ini masih terbentuk 30% pada saat
jam ke-22, ke-24 dan ke-26 setelah fertilisasi, sedangkan cincin germinal mulai
11. menebal, pelindung embrionik melebar dari cincin germinal menuju kutub anima
dan blastoderm menutup hampir 40% permukaan telur.
Morrison et al. (2001) menyatakan, fase perkembangan embrio ikan nila
setelah fase gastrula adalah fase segmentasi yang terjadi pada jam ke-26 sampai
dengan ke-48 setelah fertilisasi. Effendie (1997) juga menjelaskan, bersamaan
dengan selesainya proses gastrulasi, awal pembentukan organ-organ sudah
dimulai yaitu didahului dengan semacam pembuatan bumbung oleh jaringan
epidermis, neural, mesoderm dan endoderm. Jaringan neural membentuk organ
mata, ganglion dan otak. Jaringan endoderm membentuk lapisan bagian dalam
alat pencernaan makanan dengan kelenjarnya dan juga sebagian dari kelenjar
endokrin. Jaringan mesoderm bagian dorsal membentuk somit, mesoderm
intermediate membentuk ginjal dan gonad, sedangkan mesoderm lateral
membentuk pembungkus jantung dan pembungkus pembuluh darah. Morrison et
al. (2001) menambahkan, pada akhir fase segmentasi ini, epiboli telah sempurna,
mata telah tampak tapi belum berpigmen dan terdapat bercak-bercak melanofor
pada permukaan telur.
Setelah berakhirnya fase segmentasi, maka dilanjutkan dengan fase
pharyngula yang terjadi pada jam ke-76 setelah fertilisasi. Pada fase ini bercak
melanofor semakin banyak, otak mulai membesar, jantung telah tampak
berdenyut dan terbentuk faring. Pada jam keseratus setelah fertilisasi, embrio
menetas menjadi larva dengan masih memiliki kantung kuning telur di bagian
ventralnya (Morrison et al, 2001). Fase menetasnya embrio menjadi larva ini
disebut fase penetasan (Gusrina, 2008).
12. Gusrina (2008) juga menyatakan bahwa aktivitas embrio dan pembentukan
chorionase dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam, antara
lain : hormon dan volume kuning telur. Hormon tersebut adalah hormon yang
dihasilkan kelenjar hipofisa dan tiroid sebagai hormon metamorfosa, sedang
volume kuning telur berhubungan dengan energi perkembangan embrio,
sedangkan faktor luar yang berpengaruh adalah suhu, oksigen, pH, salinitas dan
intensitas cahaya.
2.3 Salinitas dan Osmoregulasi Ikan
Salinitas adalah kadar garam di dalam air yang didefinisikan sebagai jumlah
total bahan padat dalam ukuran gram yang dikandung oleh 1 kg air (Mukti dkk.,
2003). Boyd (1982) dalam Maisura (2004) menambahkan, salinitas merupakan
total konsentrasi ion-ion K+, Na+, Mg2+, NO3-, Ca2+, SO42-, Cl- dan HCO3- yang
ada dalam air. Air yang diklasifikasikan berdasarkan nilai salinitasnya, yaitu air
tawar (limnis) bersalinitas kurang dari 0,5‰, air payau (mixohalin) bersalinitas
0,5-30‰, air laut (euhalin) bersalinitas 30-40‰ dan hiperhalin bersalinitas lebih
dari 40‰ (Venice System, 1959 dalam Barus, 2002). Salinitas berhubungan erat
dengan tekanan osmosis dalam air dan semakin meningkat dengan meningkatnya
salinitas (Barus, 2002).
Hewan vertebrata air mengandung konsentrasi yang berbeda dari media
lingkungannya. Darah vertebrata air tawar bersifat hipertonik terhadap air tawar,
yaitu konsentrasi cairan dalam tubuh (darah) lebih tinggi bila dibandingkan
dengan konsentrasi cairan di luar tubuh (lingkungan/air). Sebaliknya, darah
vertebrata air laut bersifat hipotonik terhadap air laut, yaitu konsentrasi cairan
13. dalam tubuh (darah) lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi cairan di
luar tubuh (Mukti dkk., 2003).
Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air
dan ion antara tubuh dan lingkungannya atau suatu proses pengaturan tekanan
osmose. Hal ini penting dilakukan, terutama oleh organisme perairan karena harus
terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan, membran sel yang
permeabel merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat,
serta adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungannya
(Fujaya, 2004).
Ikan nila termasuk golongan ikan yang hidup pada air tawar, sehingga
memiliki pola regulasi hipertonik atau hiperosmotik, yaitu pengaturan secara aktif
konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media (Fujaya, 2004).
Konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi daripada konsentrasi media tersebut
menyebabkan air cenderung masuk ke tubuh ikan air tawar melalui permukaan
tubuh yang semi permiabel dan segera diikuti oleh berkurangnya garam-garam
tubuh, sehingga menyebabkan cairan tubuh menjadi encer (Smith, 1982 dalam
Maisura, 2004).
2.4 Daya Tetas Telur
Zairin (2002) menyatakan, daya tetas telur adalah persentase telur yang
menetas setelah waktu tertentu. Penetasan telur ini dapat terjadi karena : kerja
mekanik, yaitu akibat aktivitas embrio (semakin aktif embrio bergerak maka
semakin cepat penetasan terjadi), dan kerja enzimatik, yaitu adanya enzim
chorionase yang bersifat mereduksi chorion yang terdiri dari pseudokeratine
menjadi lembek, sehingga pada bagian cangkang yang tipis dan terkena
14. chorionase tersebut akan pecah dan ekor embrio keluar dari cangkang kemudian
diikuti tubuh dan kepalanya (Gusrina, 2008).
15. BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1-31 Juli 2010 di Laboratorium UPT
Pengembangan Budidaya Air Tawar .
4.2 Materi Penelitian
4.2.1 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi : alat untuk
pemijahan buatan, antara lain : bak penampung induk ikan nila, timbangan digital,
mangkok, petri disc, spuit, bulu ayam, stopwatch, saringan dan sendok, alat untuk
penetasan, antara lain : akuarium, rak penetasan, gelas penetasan, kran aerasi, pipa
paralon, sedotan, pompa air, selang pompa, selang aerasi, aerator, bak
penampungan stok air salinitas 5, 10, 15 dan 20 ppt, kran infus, selang inlet dan
selang outlet, dan alat untuk pengamatan, antara lain : pipet, object glass,
mikroskop, penggaris, DO meter, thermometer, hydrometer dan pH paper.
4.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan, antara lain : satu ekor induk jantan dan tiga ekor
induk betina ikan nila yang telah matang gonad, sperma dan telur induk ikan nila
yang telah matang gonad, NaCl fisiologis, air tawar dan air laut.
4.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Pada
metode penelitian ini, percobaan ditujukan untuk pengamatan kemungkinan
16. adanya sebab-akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kondisi
perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol
yang tidak dikenai kondisi perlakuan (Suryabrata, 1998). Teknik pengambilan
data dilakukan dengan cara observasi langsung, yaitu dengan cara mengadakan
pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subjek yang diselidiki, baik
pengamatan itu dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun situasi buatan
yang khusus diadakan.
4.3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari lima perlakuan salinitas inkubasi
telur, yaitu 0 (kontrol), 5, 10, 15 dan 20 ppt. Penentuan salinitas berdasarkan
pernyataan Suyanto (1994) yang menunjukkan bahwa ikan nila mampu hidup
pada air tawar, payau dan laut. Masing-masing perlakuan terdiri dari empat
ulangan dengan waktu pengamatan setiap jam ke-3, ke-21, ke-25, ke-29, ke-45,
ke-75 dan ke-99 setelah fertilisasi. Penentuan waktu pengamatan tersebut
dilakukan berdasarkan periode perkembangan telur yang disusun oleh Morrison et
al. (2001). Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah fase-fase
perkembangan telur (embriogenesis) dan daya tetas telur.
4.3.2 Prosedur Penelitian
A. Persiapan Penelitian
a. Tempat Penetasan Telur
Penetasan telur ikan nila dilakukan secara intensif, yaitu dengan
menggunakan corong atau gelas tetas, yang merupakan modifikasi penetasan telur
17. secara alami. Air yang dialirkan ke dalam gelas penetasan dimaksudkan selain
agar telur-telur tetap bergerak juga untuk mempertahankan kualitas air tetap
terjaga. Gelas yang berukuran tinggi 10 cm, diameter atas 7 cm, diameter bawah
2,5 cm dapat menampung telur sebanyak 200-250 butir telur per gelas untuk
penetasan. Selama kegiatan penetasan telur, air terus-menerus dialirkan ke corong
penetasan menggunakan sistem resirkulasi.
b. Perhitungan Salinitas Air yang Dibutuhkan
Penelitian menggunakan salinitas air 0, 5, 10, 15 dan 20 ppt. Contoh
pembuatan air bersalinitas disajikan pada Lampiran 1 dan rumus yang digunakan
untuk menghitung salinitas air tersebut menurut Mahasri dkk. (2009) adalah :
V1.N1 = V2.N2
V1 V2 × N2
N1
Keterangan :
V1 = volume air laut
V2 = volume air yang diperlukan
N1 = salinitas air laut
N2 = salinitas yang diperlukan
3. Pembuatan Selang Inlet dan Selang Outlet
Penetasan telur ikan nila pada salinitas berbeda dilakukan secara bertahap
dengan mengaliri akuarium penetasan dengan air bersalinitas 5, 10, 15 dan 20 ppt
selama 48 jam sampai salinitas air pada akuarium penetasan mencapai 5, 10, 15
dan 20 ppt. Perubahan salinitas air secara bertahap ini dilakukan dengan cara
menggunakan peralatan seperti selang inlet, selang outlet dan kran infus. Selang
inlet dihubungkan dari bak penampungan stok air yang bersalinitas 5, 10, 15 dan
20 ppt ke masing-masing akuarium penetasan, sedangkan selang outlet
18. dihubungkan dari masing-masing akuarium penetasan ke tempat pembuangan air.
Masing-masing selang diberi kran infus yang gunanya untuk mengatur pemasukan
dan pengeluaran air. Skema alat penetasan dapat dilihat pada Gambar 4.
2
3 4
5 6 7
8
9
1
13
12 11 10
Gambar 3. Skema alat penetasan telur ikan nila pada salinitas berbeda
Keterangan :
1. Akuarium stock air bersalinitas 5, 10, 15 atau 20 ppt
2. Selang inlet
3. Kran infus
4. Kran aerasi
5. Pipa
6. Sedotan
7. Gelas penetasan
8. Selang outlet
9. Kran infus
10. Akuarium penetasan
11. Rak penetasan
12. Pompa air
13. Selang pompa
19. B. Pelaksanaan Penelitian
a. Pemijahan Buatan dan Stripping Induk Ikan Nila
Pemijahan ikan dilakukan dengan cara memasangkan induk ikan nila
jantan dan betina di dalam kolam pemijahan ikan dengan perbandingan jantan dan
betina 1:3. Selanjutnya induk ikan nila akan melakukan perkawinan secara alami
dan biasanya berlangsung pada siang hari dengan selang waktu 3-7 hari setelah
dipasangkan (Sucipto, 2002).
Setelah nampak tanda-tanda ikan mulai memijah, induk betina dan jantan
ikan nila ditangkap dan dilakukan pengurutan (stripping) untuk mendapatkan telur
dan sperma ikan nila. Telur-telur yang diperoleh ditampung dalam mangkok dan
sperma ditampung dalam petri disc yang berisi larutan NaCl fisiologis dengan
pengenceran sepuluh kali. Setelah itu sperma dan telur dicampur, ditambah air
dan diaduk perlahan dengan menggunakan bulu ayam selama lebih kurang lima
menit (Mubarak, 2007).
b. Penempatan Telur pada Salinitas Berbeda
Telur ikan nila yang telah terbuahi ditempatkan pada gelas atau corong
penetasan pada masing-masing perlakuan sebanyak 240 butir telur tiap ulangan,
namun air yang digunakan pada akuarium penetasan belum bersalinitas 5, 10, 15
dan 20 ppt. Semua telur pada tiap perlakuan awalnya bersalinitas 0 ppt.
Selanjutnya, empat dari lima perlakuan tersebut masing-masing dialiri air
bersalinitas 5, 10, 15 dan 20 ppt selama 48 jam sampai salinitas air pada akuarium
penetasan bersalinitas masing-masing 5, 10, 15 dan 20 ppt, sedangkan yang satu
perlakuan, air untuk penetasan telur tetap bersalinitas 0 ppt dan digunakan sebagai
kontrol. Sutisna dan Sutarmanto (1999) menyatakan bahwa penetasan telur
20. dengan menggunakan corong tetas berguna untuk meningkatkan daya tetas telur.
Selain karena corong tetas merupakan modifikasi penetasan telur secara alami
juga karena pada tahap awal perkembangan telur, telur sangat rentan terhadap
gangguan, khususnya gangguan secara mekanik.
c. Pengamatan Embriogenesis
Pengamatan embriogenesis dilakukan pada jam ke-3, ke-21, ke-25, ke-29,
ke-45, ke-75 dan ke-99 setelah fertilisasi. Perkembangan embrio yang diamati,
antara lain : morula, blastula, gastrula, epiboli, mata, jantung, otak, faring,
melanofor, ekor, pembuluh darah dan kantung kuning telur. Waktu pengamatan
ini dilakukan berdasarkan periode-periode perkembangan embrio yang disusun
oleh Morrison et al. (2001), ditampilkan pada Lampiran 2.
d. Perhitungan Daya Tetas Telur
Setyono (2009) menyebutkan, daya tetas telur dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Daya tetas = ___a + b___ x 100%
a+b+c
Keterangan :
a = jumlah telur yang menetas normal
b = jumlah telur yang menetas cacat (abnormal)
c = jumlah telur yang tidak menetas (mati)
4.3.3 Parameter Pengamatan
A. Parameter Utama
Parameter utama dalam penelitian adalah fase-fase perkembangan telur
(embriogenesis) dan daya tetas telur. Pengamatan fase-fase perkembangan telur
dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada jam ke-3, ke-21, ke-25, ke-29,
21. ke-45, ke-75 dan ke-99 setelah fertilisasi Penghitungan telur yang menetas
dilakukan 24 jam setelah telur menetas dengan cara mengambil larva sedikit demi
sedikit pada wadah yang lebih kecil sampai larva dalam gelas penetasan habis,
kemudian dihitung daya tetasnya dengan menggunakan rumus. Parameter utama
digunakan untuk mengetahui salinitas optimum untuk embriogenesis dan daya
tetas telur ikan nila.
B. Parameter Pendukung
Parameter pendukung dalam penelitian adalah kualitas air antara lain : suhu,
pH dan oksigen terlarut. Pengukuran terhadap suhu, pH dan oksigen terlarut
dilakukan setiap hari dengan menggunakan alat pengukur. Parameter pendukung
digunakan untuk melengkapi data guna pembahasan parameter utama.
4.3.4 Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh dianalisa secara deskriptif untuk
embriogenesis, sedangkan untuk daya tetas telur dianalisis secara statistik dengan
menggunakan ANAVA (Analysis of Variance). Apabila terdapat perbedaan yang
nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui
perbedaan antara perlakuan satu dengan perlakuan yang lainnya. Taraf kesalahan
yang digunakan, yaitu 5% (Kusriningrum, 2008).
22. Induk ikan nila betina
Pengamatan TKG
Pengamatan kualitas telur
Pemijahan buatan
Penetasan telur
Induk ikan nila jantan
Pengamatan TKG
Pengamatan kualitas sperma
Kontrol
(0 ppt)
4 ulangan
Perlakuan 1
(5 ppt)
4 ulangan
Perlakuan 2
(10 ppt)
4 ulangan
Perlakuan 3
(15 ppt)
4 ulangan
Perlakuan 4
(20 ppt)
4 ulangan
Pengamatan embriogenesis dan
perhitungan daya tetas telur
Analisis data
Gambar 4. Bagan prosedur penelitian