Audit kehilangan air dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kehilangan air baik secara fisik maupun komersial di jaringan distribusi agar dapat ditangani dengan baik. Metode audit melibatkan pendekatan top-down dan bottom-up untuk mengumpulkan data konsumsi dan kebocoran secara lebih akurat sehingga dapat mengambil tindakan strategis untuk mengontrol kehilangan air. Pengurangan kehilangan diharapkan menghasilkan air hemat dan peningk
1. AUDIT KEHILANGAN AIR
Pendahuluan
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup
umat manusia. Kebutuhan air bersih untuk daerah perkotaan merupakan salah satu tugas yang wajib
diberikan oleh Ketersediaan air bersih semakin hari semakin berkurang yang terutama diakibatkan adanya
eksplorasi air tanah yang berlebihan, banyaknya sampah dan bahan polutan lainnya yang mencemari air,
dan pesatnya pembangunan suatu daerah yang penataan kotanya kurang memperhatikan permasalahan
dampak lingkungannya. Salah satu kewajiban pemerintah daerah kepada masyarakat yang membutuhkan
air bersih adalah memberikan pelayanan penyediaan air bersih, biasanya berbentuk Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM). Dalam upaya penyediaan air bersih ini PDAM dapat bekerja sendiri maupun
bekerjasama dengan perusahaan lain.
Ada dua permasalahan utama yang dihadapi oleh PDAM yaitu ketersediaan air baku yang
memenuhi baku mutu air dan besarnya porsi air yang tidak bisa menghasilkan pendapatan (non
revenue water/NRW). Pertama, ketersediaan air baku merupakan suatu proses mulai dari
tersedianya sumber air baku (dhi. waduk, situ, dan sungai) yang memenuhi standar air baku
untuk air minum yang dialirkan melalui pipa atau saluran terbuka menuju Instalasi Pengolahan
Air (IPA). Standar kualitas air (baku) terbagi dalam 4 (empat) kelas seperti yang tercantum
dalam KepMen LH No. 115 Tahun 2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, yaitu:
Kelas A : baik sekali, → memenuhi baku mutu
Kelas B : baik, → cemar ringan
Kelas C : sedang, → cemar sedang
Kelas D : buruk, → cemar berat
Sedangkan menurut SK Gubernur DKI Jakarta No.582 Tahun 1995 tentang Penetapan
Peruntukan Dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air Serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, peruntukan air sungai/badan air di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta ditetapkan menurut golongan air sebagai berikut:
Golongan A : air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu.
Golongan B : air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum.
Golongan C : air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.
2. Golongan D : air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat
dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri pembangkit listrik tenaga air.
Dari pembagian kelas air diatas, sebagai contoh; untuk desain IPA milik PAM Jaya mampu mengolah air
baku yang termasuk dalam golongan kelas dua dengan cara penambahan proses kimiawi untuk dijadikan
air minum. Selama ini pendistribusian air baku dari Waduk Jatiluhur melalui saluran terbuka (Sungai Kali
Malang) yang dikelola oleh Perum Perusahaan Jasa Tirta (yang berada dibawah Departemen Pekerjaan
Umum) sehingga kualitas air baku menjadi tidak terjamin. Permasalahan ini perlu dicarikan solusi yang
memerlukan kerjasama dengan pemerintah pusat. Kedua, pengertian NRW merupakan tingkat kehilangan
air (water losses) ditambah tingkat konsumsi yang sah yang tidak ditagih. Sedangkan kehilangan air
terdiri dari kebocoran baik secara fisik maupun komersial yang terjadi di jaringn distribusi. Tingkat
penurunan NRW merupakan tingakat penurunan kehilangan air baik fisik maupun komersial di jaringan
distribusi. baik fisik maupun komersial di jaringan distribusi ditambah dengan tingkat konsumsi resmi
yang tidak ditagihkan. Hal ini dapat dilihat dari Neraca Air (Water Balance) dibawah ini:
Penurunan NRW ini merupakan tantangan yang tidak mudah untuk diatasi terutama di daerah
metropolitan seperti Jakarta karena bukan hanya permasalahan teknis tetapi juga mengakibatkan
permasalahan yang lebih luas dan kompleks yang akan menjadi suatu lingkaran setan (vicious circle).
3. Lingkaran setan terkait dengan permasalahan teknis untuk menurunkan NRW adalah perlunya investasi
yang cukup besar untuk mengatasi mengganti jaringan distribusi yang mengalami kebocoran fisik.
Apabila tidak tersedia dana yang cukup untuk investasi tersebut maka kebocoran air yang tidak teratasi
akan mengkibatkan tidak terlayaninya masyarakat baik secara kuantitas dan kualitas, yang kemudian akan
menurunkan pendapatan bagi PDAM, dan pada akhirnya tidak ada solusi untuk penurunan NRW tersebut.
Untuk mengatasi hal ini, penurunan kehilangan komersial merupakan langkah awal untuk mengatasi hal
tersebut karena kebutuhan investasinya lebih kecil dibandingkan dengan penurunan kehilangan fisik. Di
negara berkembang, dengan masih tingginya kehilangan komersial diharapkan penurunan kehilangan
komersial akan sangat signifikan mendorong penurunan kehilangan air secara total seperti dapat dilihat
dalam table dibawah ini:
4. Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa jumlah populasi yang harus dilayani adalah 837,2 juta orang
dengan system input sebanyak 250 liter/kapita/hari, tingkat NRW rata-rata sebesar 35% dengan rasio
kehilangan fisik dan komersial adalah 60/40 atau 16,1/10,6 milyar m3/th.
Selain itu, peningkatan jaringan baru yang diharapkan untuk meningkatkan pendapatan tidak akan
efektif bila tingkat kebocoran masih tinggi. Diperlukan strategi yang tepat dalam pengembangan jaringan
baru yaitu diutamakan untuk mengoptimalkan penjualan penghematan air dengan disertai analisa cost
benefit. Apabila peningkatan jaringan dilakukan dengan asal-asalan maka biaya yang dapat dialokasikan
untuk menurunkan NRW akan berkurang sebesar investasi pada jaringan baru tersebut dikurangi dengan
air yang dapat dijual pada jaringan baru tersebut.
Upaya pengendalian kehilangan air secara fisik maupun komersial akan berjalan efektif antara
lain dengan cara:
1. Deteksi kebocoran air secara aktif menggunakan gas hidrogen dan alat pendeteksi suara
kebocoran,
2. Pembentukan system Distrik Meter Air (DMA) atau Permanent Area (PA) yang dilengkapi
Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) System, Sistem Informasi Geografis atau
Geographic Information Systems (GIS) dan permodelan hidrolik.
3. Pengelolaan tekanan (pressure management),
4. Pengaplikasikan teknologi pembacaan meter otomatis untuk mengatasi ketidakakuratan
pembacaan meter dan penanganan kesalahan meter air,
5. Analisa data/informasi terkait tingkat konsumsi air pelanggan bukan hanya sebagai dasar untuk
penagihan dan pengumpulan pendapatan tetapi dapat digunakan untuk menganalisa karakteristik
pelanggan dan untuk pengelolaan permintaan air melalui pengelolaan tekanan, dan
6. Penegakan hukum yang tegas untuk mengatasi pencurian air.
Selain itu, data dan informasi yang terkumpul dengan menggunakan upaya-upaya diatas dapat digunakan
untuk menyusun suatu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lebih dalam terhadap pola
kehilangan air yang terjadi dengan menggunakan beberapa metode pendekatan analisa perhitungan seperti
Infrastucture Leakage Indeks (ILI), Economic Leakage Level (ELL), dan Water Loss Audit. ILI
merupakan index yang dihitung dari Current Annual Real Loss (CARL) dengan Unavoidable Annual
Real Loss (UARL). CARL dipengaruhi oleh manajemen tekanan, kecepatan & kualitas perbaikan, kontrol
kebocoran aktif, dan manajemen asset dan perpipaan (dhi. seleksi, instlasi, perawatan, penggantian dan
perbaikan). Metode ini yang banyak dipakai untuk saat ini. Semakin kecil rasio ini berarti kinerjanya
semakin bagus. Sedangkan ELL merupakan tingkat optimum kehilangan fisik didasarkan pada input
engineering. Sedangkan Water Loss Audit akan dibahas di bagian selanjutnya.
5. Audit Kehilangan Air
Makalah ini akan menyajikan lembar kerja metode audit kehilangan air yang dikembangkan oleh
the Texas Water Development Board (TWDB) yang dimuat dalam jurnal yang berjudul Water Loss Audit
Manual for Texas Utilities. Metode ini merupakan penggabungan antara audit air dengan pendekatan “top
down” dengan pendekatan “bottom up” yang lebih efisien dan komprehensif. Metode “top down”
merupakan metode pengumpulan data/informasi tentang konsumsi dan kebocoran air sedangkan metode
“bottom up” dapat mengetahui kehilangan yang terjadi secara lebih tepat sehingga tingkat validitas
keakuratan pada audit air menjadi lebih baik yang mengarah ke upaya-upaya strategis dalam mengontrol
kehilangan air.
Metode ini menggunakan ukuran dari metode audit International Water Association (IWA) dan
American Water Works Association (AWWA) (yang kemudian sebagai acuan dalam Metode Audit
Kehilangan Air) yaitu sistem volume input, konsumsi yang sah, kehilangan riil dan kehilangan apparent
sebagai indikator kinerjanya. Dalam prakteknya, keberhasilan penggunaan metode ini adalah memonitor
dan mengkontrol air dan kehilangan pendapatan. Kertas kerja audit air ini dapat dilihat dalam lampiran 1
makalah ini.
Pendekatan standar dalam melakukan audit atas kehilangan air ini menyediakan bagi penyedia air
dengan sarana yang dapat diandalkan untuk menganalisis kinerja atas kehilangan air mereka. Dengan
mengurangi kehilangan air, penyedia air dapat meningkatkan efisiensi mereka, meningkatkan status
keuangan mereka, mengurangi kebutuhan mereka akan sumber air tambahan, dan membantu secara
berkesinambungan atas ketersediaan air dalam jangka panjang.
Kesimpulan
Penurunan tingkat kebocoran tersebut diharapkan dapat menghasilkan penghematan air (water
saving) dan dapat mengalirkan penghematan air tersebut ke konsumen yang jauh dari IPA yang selama ini
masih menjadi pelanggan nol dan agar dapat meningkatkan pendapatan yang signifikan. Keberhasilan
dalam upaya mengatasi kebocoran air ini akan terjadi secara berkesinambungan apabila:
1. Awearness dan komitmen yang kuat dari top management/pengambil keputusan tertinggi;
2. Tersedianya pendanaan, training, dan teknologi yang tepat guna;
3. Tersedianya aturan dan perangkat hukum yang tegas dan jelas;
4. Tersedianya sistem pengawasan dan evaluasi secara terus menerus yang hasilnya dapat
diperbandingkan (benchmark).