SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alhamdulillah semoga Alloh SWT selalu memberikan kepada kita hidayah
dan Taufiq-Nya. Amin. Shalawat dan salam semoga terlimpah pada rasulullah
Saw.
Dalam hal ini penulis akan menguraikan kaidah al-yaqin la yuzalu
bisyakki. Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al
fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih
yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti
hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang
memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait
dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain
memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa
obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua
bersumber dari Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
‫الحالل بين والحرام بين ، وبينهما مشبهات ال يعلمها كثير من الناس‬
Artinya: “sesuatu yang halal dan haram telah jelas (hukumnya) dan diantara
keduanya ada masalah-masalah mutasyabihat (yang tidak jelas hukumnya) yang
mayoritas orang tidak mengetahui hukumnya”.1
Alloh SWT telah memberikan kemudahan yang luar biasa kepada umat
Islam dalam rangka menjalankan kehidupan sehari-harinya. Alloh SWT
berfirman:
1

Hadist riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1 hal. 28. Imam Muslim,Shahih Muslim, juz 3
hal. 1221. Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 3 hal. 511. Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
juz 2 hal. 1318. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 4 hal. 269
Artinya; “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. 2
Pada umumnya pembahasan Qowaid Fiqiyah berdasarkan pembagian
kaidah-kaidah asasiyah dan kaidah-kaidah ghoiru asasiyah. Kaidah asasiyah
adalah kaidah yang disepakati oleh imam-imam azhah tanpa diperselisihkan
kekuatannya disebut juga sebagai kaidah-kaidah induk karena hampir setiap bab
dalam Fiqih masuk dalam kelompok kaidah induk ini. Adapun jumlah kaidah
asasiyah hanya 5 macam yaitu:
1. Segala sesuatu tergantung kepada tujuannya. ‫األمور بمقاصدها‬
2. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan. ‫اليقين ال يزول بالشك‬
3. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. ‫المشقة تجلب التيسير‬
4. Kemadharatan itu harus dihilangkan. ‫الضرر يزال‬
5. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. ‫العادة محكمة‬
Dari kelima kaidah diatas penulis akan mencoba untuk membahas kaidah
Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat
penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan
asy-syakk. Imam As-Suyuthi menyatakan: “kaidah ini mencakup semua
pembahasan dalam Fiqih, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya
mencapai ¾ dari subyek pembahasan fiqih”.3 Imam Al-Qarafi menambahkan:
“dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan
kita harus selalu mempelajarinya”.4

2

Surat At-Taubah: 122.

3

As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 55.

4

Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111.
Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam
untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan,
sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi
mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.5 Kaidah ini
menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan
kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah
kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari
keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk
mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan
dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya.6 Termasuk
didalamnya adalah aqidah dan ibadah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan membahas kaidah “Yakin itu tidak
dapat dihilangkan dengan adanya keraguan” menjadi tiga poin sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan kaidah “Yakin itu tidak dapat dihilangkan
dengan adanya keraguan” ‫? اليقين ال يزول بالشك‬
2. Apa dasar hukum kaidah Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya
keraguan. ‫? اليقين ال يزول بالشك‬
3. Apa sajakah kaidah turunan yang timbul dari kaidah “Yakin itu tidak dapat
dihilangkan dengan adanya keraguan” ‫? اليقين ال يزول بالشك‬

5
6

Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78.
An-Nadawi, Qawaid Fiqhiyyah, hal. 354.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Fiqh Tentang Keyakinan dan Keraguan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa
dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan
bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Sebelum
menjelaskan kaidah Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak ini penulis akan menjelaskan
terlebih dahulu makna Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak dari segi kebahasaan dan
dari segi istilah.
1. Al-Yaqin.
1) Menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan
didalamnya.7 Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya
pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk.
2) Menurut istilah:
a. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya
”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan
”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk
menghilangkannya”.8
b. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap
dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab
tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.9
c. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti
yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti
yang mendukungnya”.10

7

8

Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 13 hal. 457. Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 332.

Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 322.
Abu Al-Baqa’, Al-Kulliyat, juz 5 hal. 116.
10
As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 58
9
2. Asy-Syakk
1) Menurut kebahasaan berarti: anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa diartikan
sesuatu yang membingungkan.11
2) Menurut istilah:
a. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.12
b. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya”.13
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa
sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh
keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut ‫( ال ذمة ب راءة األ صل‬hukum asal sesuatu
itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin
bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Dan apabila ada sebuah dalil yang
memberikan pembebanan kepada al-yaqin, maka harus sesuai dengan sendi
agama. Contoh: hukum asal air adalah suci, baik air hujan, sungai, laut, sumber,
danau. Hukum asal air telah pasti suci dan tidak ada sesuatu yang meragukan
hukum asal air tersebut. Contoh lain: ‫( ال ح ق ي قة ال ك الم ف ي األ صل‬hukum asal pada
suatu kalimat adalah makna hakekat (kenyataan)-nya, artinya sesuatu yang pasti
dalam dalalah al-alfadz digunakan dari segi maknanya yang tersurat, sampai
datang dalil yang menjelaskannya kemudian.
Hukum yang bersifat tetap dan pasti harus ditetapkan dan berpedoman
dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut tidak boleh saling bertentangan.contoh:
apabila sesorang memiliki harta yang diperolehnya melalui jual beli, warisan atau
sebab lain dengan cara yang halal dan benar maka hukumnya menjadi hak milik
penuh dan harta tersebut tidak bisa berpindah tangan kecuali ada bukti lain yang
datang kemudian. Karena hak milik tersebut berpedoman pada sebab-sebab
pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal tersebut bersifat tetap dan pasti,

11

Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 10 hal. 451. Ibn Nujaim, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal 82.
Al-Maqarri, Al-Mishbah Al-Munir, juz 1 hal. 320.
13
Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 168.
12
dan tidak bisa dihapus oleh keraguan yang tidak didasari dengan alat bukti yang
kuat.
Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui,
bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
1. Al Yakin
Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan
kebalikan dari Al Syak. Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk
penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan.
Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan
keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang
sederajat.
2.

Ghalabah al Dzan

Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua
kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong
untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut
Ghalabatul al dzan.
3. Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan
bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan
juga membuang lainnya yang lemah maka inilah yang disebut al dzan. Sedangkan
jika hati berpegang pada salahsatunya dan membuang yang lain maka disebut
Ghalabatul al dzan
4. Al syak
Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak
adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara
dua perkara dan hati tidak condong pada salah satunya. Sementara Al Razi
menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al
Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah
disebut salah duga/al wahn.
. Kaidah yang berkaitan dengan hal ini ialah:

‫ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬
‫َب‬
َ
“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.”
B. Dasar Hukum Kaidah ‫ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬
‫َب‬
َ
Dasar-dasar kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada
Al-Qur-an, Hadits Nabi Muhammad saw, Ijma para Sahabat, dan dalil Aqli
yang disepakati jumhur Ulama. Berikut adalah penjelasannya :
1. Firman Alloh SWT:











   
















 
Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah)”.14
Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah, dan
mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah
mempunyai anak dll

   
     
14

Surat Al-An’am: 116.










   
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.15

     










   










   
   
Artinya: “Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan
semua yang ada di bumi. dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain
Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). mereka tidak mengikuti kecuali
prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga”.16

      
    








  
Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.17
2. Hadits Rasulullah SAW:

15

Surat Yunus: 36.
Surat Yunus: 66.
17
Surat An-Najm: 28.
16
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai
keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad
SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:[13]

‫عن أَبي هريْرة َ قَال قَال رسول اَّللِ صلهى اَّلل علَيه وسلهم إذَا وجدَ أَحدُكم فِي بَطنِه‬
ِ ْ
ُْ َ َ َ ِ َ َ َ ِْ َ ‫ه‬
َ ‫َ َ َ ُ ُ ه‬
َ َُ ِ ْ َ
‫شيئًا فَأَشكل ع َليه أَخَرج منهُ شيء أَم ال فَال يَخرجن منَ المسْجد حتهى يَسمع‬
َْ
َ ِ ِ َْ ِ ‫ْ َ َ َ ِْ َ َ ِْ َ ْ ٌ ْ َ َ ْ ُ َ ه‬
َ َْ
‫صوتًا أَو يجدَ ريحا‬
ً ِ َِ ْ َْ
Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan
sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

‫عن أَبي سعيد الخدْري ِ قَال قَال رسول اَّلل صلهى اَّلل علَيه وسلهم إذَا شَك أ َحدُكم‬
ُْ َ ‫ه‬
َ ِ‫َ َ َ ُ ُ ه‬
ِ ُ ْ ٍ َِ ِ ْ َ
ِ َ َ َ ِْ َ ‫ه‬
َ
َ‫في صالته فَلم يدْر كم صلهى ثَالثًا أَم أَربعًا فَ ْليطرح الشك و ْليبْن على ما است َْيقَن‬
ْ َ ََ ِ َ َ ‫َ ْ َ ِ ه ه‬
ِ
َ ْ ْ
َ َْ ِ َ َْ ِِ ََ
َ َِْ ََ
َ ْ َ َ ْ َ ْ ِ ْ َ ُ ْ َ ‫ه‬
َ‫ثُم يسجد ُ سجدَتَيْن قَبل أَن يُس ِلم فَإِن كانَ صلهى خَمسا شفَعنَ لَهُ صالت َهُ وإن كان‬
ْ َ ً ْ
َ
‫صلهى إتْماما ألَربع كانتَا تَرغيما ِللشيطان‬
ِ َ ْ‫َ ِ َ ً ِ ْ َ ٍ َ َ ْ ِ ً ه‬
“ Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah
seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui
sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang
keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum
salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa
menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka
kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok
dari syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih.
Maksudnya

adalah

segala

sesuatu

diberi

beban

hukum

atas

dasar

keberlangsungannya dengan menggunakan pokok-pokok ajaran Islam secara
yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang mengganggu pikirannya. Dari hadits
diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci akan tetapi
terdetik dalam hatinya keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah
dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia
sudah ber”hadats”.18
3. Ijma’
Ulama telah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah ‫ الَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬ini.
‫ب َب‬
َ
Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat
dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.19
Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan
sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan
ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak
bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.20
Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang teguh pada sesuatu yang
pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-raguan merupakan pokok ajaran syariat
Islam”.21
4. Dalil ‘Aqli
Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada
sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu
bersifat tetap dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan
sesuatu yang meragukan selali bersifat membingungkan dan penuh dengan
berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dikemudian hari. Syaikh
Musthafa Az-Zarqa menyatakan: “sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya
daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti
itu mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan jika ada

18

19

Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2 hal. 414.

Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111.
Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78.
21
As-Sarkhasi, Usul As-Sarkhasi, juz 2 hal. 116.
20
keragu-raguan yang tiba-tiba datang maka tidak bisa menghapus hukum yang
bersifat psti tersebut”.22
C. Kaidah-kaidah Lanjutan dari kaidah ‫ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُاْيَقَيْلا‬
‫َب‬
َ
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin
la yazalu bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam
kitab Ta’sis al-Nazhar menyatakan bahwa: “Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang
ditetapkan dengan cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh
seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat
bukti kuat yang mengingkarinya.”
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan yang penulis ketahui ada
11 (sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah ‫ , ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬yaitu:
‫َب‬
َ
Kaidah pertama:

ُ ِ ْ
‫اليَقن يُزَ ال باليَقيْن مثْ ِله‬
ِ ِ ِ ِ ْ ُ
“ Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula “
Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih
meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh:
Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena
percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan
bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air
tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa
air itu najis.
Kaidah kedua

‫أَن ما ثَبَت بيَقين ال يَرتَفع إال بيَقين‬
ٍ ِ ِ ‫َ ِ ِ ٍ َ ْ ِ ُ ه‬
َ ‫ه‬
“ Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi “
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang
ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.23
22

Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, juz 2 hal. 981.
Contoh:
Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya,
kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah
yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan
sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan
termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah
SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan
terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita
sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .

‫اْلَصل بَراءةُ الذمة‬
َّ ِّ َ َ ُ ‫أ أ‬
“ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab “
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik
yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu
bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya.24
Contoh:
Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia
benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.

َ َ َ
َ َ ُ َ ُ ْ ْ
‫األَصل بقَاء ما كانَ علَى ما كان‬
“ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya “
Keadaan dalam contoh sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala
ada unsur lain yang mengubahnya.25 Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas
dan kewajibannya sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan
sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam
keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya
bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan
berwudhu.
23

Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalahmasalah yang praktis, h. 48.
24
ibid
25

Ibid., hal. 49
‫اْلَصل العدم‬
َ‫أ أ ُ أ‬
“ Hukum asal adalah ketiadaan “
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa
play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang
adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih
dahulu dan dalam keadaan baik.

‫األَصل إِضفَةُ الحأدث إِلَى أقرب أَوقَاته‬
ِ ِ ْ َ ُ ْ ْ
ِِ ْ َ َْ
“ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya “
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan
dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi
ungkapannya berbeda, yaitu:

ُ ْ ْ
‫األَصل فِي كل حادث تَقَد رهُ بِأ َْقربِالزمأن‬
ُ ِ ِ ِ َ ِ ُ
ِ َ ‫َ ه‬
“ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat
kepadanya “
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka
hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa
tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.26
Contoh:
Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani
aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia
meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi,
tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.

‫اْلَصل فِّي اْلَشيَاء اْلبَاحةُ حتَّى يَدُل الد َِّّليل علَى التَّحأ ريم‬
َ ُ
ُّ
َ َ ِّ ‫أ أ ِّ أ‬
ُ ‫أ أ‬
ِّ
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya “
Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka
hukumnya adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah:

‫األَصل في األَشيَاء الحظر‬
َُ َ ْ ِ ْ ْ ِ ُ ْ ْ
26

Ibid,. Hal. 51
“ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram) “
Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah
dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah:

‫اْلَصل فِّي اْلَشيَاء اْلبَاحةُ حتَّى يَدُل الد َِّّليل علَى التَّحأ ريم‬
َ ُ
ُّ
َ َ ِّ ‫أ أ ِّ أ‬
ُ ‫أ أ‬
ِّ ِّ
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya “
Contoh:
Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan
cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini
pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil
yang menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih
muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah:

ُ ْ ْ
‫األَصل فِي العبَادَةِ المبُطالن حتهى يَقُوم الده ِليل علَى األَمر‬
ِْ
َ ُ َْ ْ
ِْ ْ َ ُ ْ َ
“ Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya “
Contoh:
Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masingmasing. Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat
menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari
Allah SWT.
Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah
menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu
Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun
segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh
menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.27

َ ِّ َ ‫أ َ ِّ أ‬
‫اْلَصل فِّي الكََلم الحقيقة‬
ُ ‫أ أ‬
“ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada
arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang

27

Imam Musbikin, Qawa’id al-fiqhiyah, hal. 59.
dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki.28 Jadi, makna dari sebuah kata yang
diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya.
Contoh;
Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan
kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak
dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah
tirinya Jodi.

ُ‫العبْرة ُ بالظن الهذِي يَظهر خطاءه‬
ُ َ َ َُْ
ِ ‫َ ِ َ ِ ه‬
“ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya “
Contoh:
Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si
ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah
menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena
ada persangkaan yang salah.

‫ال عبْرة ُ ِللتهوهم‬
ِ ُّ َ
َ ِ َ
“ Tidak diakui adanya waham (kira-kira) “
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh:
Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak,
kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang
dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.

‫ما ثَبتَ بزَ من يُحْ كم ببقَاءه مالَم يقُم الده ِليل علَى خالفه‬
ِِ َ ِ َ ُ ْ ْ َ َ ِِ َ َُ
ِ َ ِ َ َ
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan
berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya “
Contoh:
Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI),
kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih
hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan
masih hidup.

28

Ibid., hal. 64.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan
saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi
tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain.
Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan
lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i
yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan
tidak boleh dirusak oleh keraguan.
Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya
keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila
kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku,
kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan
sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya
yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa
menghapuskan keyakinan kita.
B. Saran
Sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, marilah kita bersama-sama
mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan menjalankan syariatNya. Dan marilah kita hindari hal-hal yang meragukan, sebab hal yang meragukan
hanya akan menjadi penghalang bagi kita untuk menjalankan syariatnya. Dan
tetaplah konsisten dengan pendirian yang meyakinkan hati.
DAFTAR PUSTAKA
B. Buku
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Surabaya: PT Mahkota,
2004 M
Hadits Digital 9 imam.
Djazuli, Acep, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam, Jakarta: Kencana, 2006.
Djazuli, Acep, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2006.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002.
Musbikin, Imam, Qawa’id al-fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001.
Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah Istinbath hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002.
Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan
Bintang, 1976.
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti, 1995.
Abu Al-Baqa’, Ayyub bin Musa, Al-Kafawi. Al-Kulliyat. Suriah: wizarah AtsTsaqafah, 1981 M.
Ab Husain, Ya’qub Abdulwahhab. Kaidah Al-Yaqin La Yazulu Bi Asy-Syakk.
Riyadh: Maktabah Ar-Rasyd, t.th.
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat. Beirut: Dar Al-Kitab AlArabi, 1405 H.
Al-Maqarri, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al-Mishbah Al-Munir. Beirut: AlMaktabah Al-Ilmiyah, t.th.
Al-Qarafi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Ash-Shonhaji, Syihabuddin. AlFuruq, Beirut: ‘Alim A,-Kutub, t.th.
An-Nadawi, Ali Ahmad. Qawaid Fiqhiyyah. Damaskus: Dar Al-Qalam, t.th.
An-Nawawi, Yahya bin Syarf, Abu Zakariya. Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih
Muslim, Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, 1392 H.
As-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad Abu Bakar. Usul As-Sarkhasi. Beirut: Dar
Al-Ma’rifat, 1393 H.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa
furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th.
Daqiq Al-‘Id, Muhammad bin Ali bin wahab Al-qusyairi. Ihkam Al-Ahkam Syarh
‘umdat Al-Ahkam. Kairo: al-Muniriyah, t.th.
Ibn Mandzur, Muhammad bin Mukarrim. Lisan Al-Arab. Beirut: Dar Shadr, t.th.
Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am. Damaskus: Dar AlQalam, t.th
B.

Internet

http://ahmadsabiq.com/2010/02/24/sesuatu-yang-yakin-tidak-bisa-hilang-dengankeraguan/ On Line 10 oktober 2013, 16.00 wib.

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Maslahah mursalah(kelompok 5)
Maslahah mursalah(kelompok 5)Maslahah mursalah(kelompok 5)
Maslahah mursalah(kelompok 5)Nurul Fajriyah
 
Makalah ijarah (kelompok 7)
Makalah ijarah (kelompok 7)Makalah ijarah (kelompok 7)
Makalah ijarah (kelompok 7)DifaFairuz
 
Fiqih Muamalah - Konsep Harta dalam Islam
Fiqih Muamalah - Konsep Harta dalam IslamFiqih Muamalah - Konsep Harta dalam Islam
Fiqih Muamalah - Konsep Harta dalam IslamHaristian Sahroni Putra
 
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum IslamDalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum IslamAnas Wibowo
 
Makalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumrismariszki
 
Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)Marhamah Saleh
 
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Khusnul Kotimah
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Miftah Iqtishoduna
 
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADHUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADNovianti Rossalina
 
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur RasyidinSistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur RasyidinIzzatul Ulya
 
'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablanaMarhamah Saleh
 
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihadMakalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihadInternet Explorer
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyadMarhamah Saleh
 

Was ist angesagt? (20)

Maqashid Syariah
Maqashid SyariahMaqashid Syariah
Maqashid Syariah
 
8 qowaid fiqhiyah
8 qowaid fiqhiyah8 qowaid fiqhiyah
8 qowaid fiqhiyah
 
Maslahah mursalah(kelompok 5)
Maslahah mursalah(kelompok 5)Maslahah mursalah(kelompok 5)
Maslahah mursalah(kelompok 5)
 
Makalah ijarah (kelompok 7)
Makalah ijarah (kelompok 7)Makalah ijarah (kelompok 7)
Makalah ijarah (kelompok 7)
 
Fiqih Muamalah - Konsep Harta dalam Islam
Fiqih Muamalah - Konsep Harta dalam IslamFiqih Muamalah - Konsep Harta dalam Islam
Fiqih Muamalah - Konsep Harta dalam Islam
 
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum IslamDalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam
 
Makalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhum
 
MAhkum Fih dan Mahkum Alaih
MAhkum Fih dan Mahkum AlaihMAhkum Fih dan Mahkum Alaih
MAhkum Fih dan Mahkum Alaih
 
Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)
 
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Makalah 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
 
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADHUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
 
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur RasyidinSistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
 
'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana
 
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihadMakalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihad
 
Fiqh - Muamalah
Fiqh - MuamalahFiqh - Muamalah
Fiqh - Muamalah
 
Makalah ijtihad
Makalah ijtihadMakalah ijtihad
Makalah ijtihad
 
Naskh mansukh
Naskh mansukhNaskh mansukh
Naskh mansukh
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
 
Fiqh Muamalah Akad kafalah
Fiqh Muamalah Akad kafalahFiqh Muamalah Akad kafalah
Fiqh Muamalah Akad kafalah
 

Andere mochten auch

Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkanKaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkanUzairi Azali
 
8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu
8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu
8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinuMarhamah Saleh
 
Qawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiQawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiAndi Amin
 
Kaedah fiqh
Kaedah fiqhKaedah fiqh
Kaedah fiqhcikmelly
 
Kaidah al yaqin la yuzalu bi
Kaidah al yaqin la yuzalu biKaidah al yaqin la yuzalu bi
Kaidah al yaqin la yuzalu biMutiara Ar-Razi
 
Pemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu TaimiyahPemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu TaimiyahIlham Al-Qarni
 
SYUF'AH DALAM FIQH MUAMALAT
SYUF'AH DALAM FIQH MUAMALATSYUF'AH DALAM FIQH MUAMALAT
SYUF'AH DALAM FIQH MUAMALATAbu eL IQram
 
قاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacem
قاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacemقاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacem
قاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacembenamor belgacem
 
0. presentasi qawa'id fiqhiyah 2011
0. presentasi qawa'id fiqhiyah 20110. presentasi qawa'id fiqhiyah 2011
0. presentasi qawa'id fiqhiyah 2011Marhamah Saleh
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhElla Aisah
 
fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)
fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)
fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)Marhamah Saleh
 
Kel.14 jualah
Kel.14 jualahKel.14 jualah
Kel.14 jualahMulyanah
 

Andere mochten auch (20)

Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkanKaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
 
Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid FiqhiyyahQawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah
 
8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu
8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu
8. al umuru bi maqashidiha, al-yaqinu
 
Al Qawaid Al Fiqhiyah
Al Qawaid Al FiqhiyahAl Qawaid Al Fiqhiyah
Al Qawaid Al Fiqhiyah
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid FiqhiyyahQawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah
 
Qawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiQawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagai
 
Kaedah fiqh
Kaedah fiqhKaedah fiqh
Kaedah fiqh
 
Virus virus ukhwah
Virus virus ukhwahVirus virus ukhwah
Virus virus ukhwah
 
Kaidah al yaqin la yuzalu bi
Kaidah al yaqin la yuzalu biKaidah al yaqin la yuzalu bi
Kaidah al yaqin la yuzalu bi
 
Virus virus ukhuwah
Virus virus ukhuwahVirus virus ukhuwah
Virus virus ukhuwah
 
Pemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu TaimiyahPemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ulama Salaf Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyah
 
SYUF'AH DALAM FIQH MUAMALAT
SYUF'AH DALAM FIQH MUAMALATSYUF'AH DALAM FIQH MUAMALAT
SYUF'AH DALAM FIQH MUAMALAT
 
Sharf
SharfSharf
Sharf
 
قاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacem
قاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacemقاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacem
قاعدة اليقين لا يول بالشك Benamor.belgacem
 
0. presentasi qawa'id fiqhiyah 2011
0. presentasi qawa'id fiqhiyah 20110. presentasi qawa'id fiqhiyah 2011
0. presentasi qawa'id fiqhiyah 2011
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqh
 
fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)
fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)
fiqh muamalah kontemporer (wadi'ah rahn qardh)
 
06 administrasi wakaf
06 administrasi wakaf06 administrasi wakaf
06 administrasi wakaf
 
Kel.14 jualah
Kel.14 jualahKel.14 jualah
Kel.14 jualah
 

Ähnlich wie Kaidah Al-Yaqin Tidak Hilang dengan Keraguan

Ähnlich wie Kaidah Al-Yaqin Tidak Hilang dengan Keraguan (20)

Dasar Dalil
Dasar DalilDasar Dalil
Dasar Dalil
 
Makalah Konsep Aqidah Dalam Islam
Makalah Konsep Aqidah Dalam IslamMakalah Konsep Aqidah Dalam Islam
Makalah Konsep Aqidah Dalam Islam
 
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahAgama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
 
Kufur
KufurKufur
Kufur
 
Makalah "Konsep Aqidah Islamiyah"
Makalah "Konsep Aqidah Islamiyah"Makalah "Konsep Aqidah Islamiyah"
Makalah "Konsep Aqidah Islamiyah"
 
Makalah taqlid
Makalah taqlidMakalah taqlid
Makalah taqlid
 
7 ilmu ushul fiqih
7 ilmu ushul fiqih7 ilmu ushul fiqih
7 ilmu ushul fiqih
 
TUGAS PERBAIKAN NILAI IDRUS.pptx
TUGAS PERBAIKAN NILAI IDRUS.pptxTUGAS PERBAIKAN NILAI IDRUS.pptx
TUGAS PERBAIKAN NILAI IDRUS.pptx
 
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester GenapMakalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
 
Bab ii 2
Bab ii 2Bab ii 2
Bab ii 2
 
Islam sebagai sebuah sistem agama
Islam sebagai sebuah sistem agamaIslam sebagai sebuah sistem agama
Islam sebagai sebuah sistem agama
 
Studi Islam
Studi IslamStudi Islam
Studi Islam
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsan
 
ijma dan qiyas
ijma dan qiyas ijma dan qiyas
ijma dan qiyas
 
Hukum makan katak
Hukum makan katakHukum makan katak
Hukum makan katak
 
Modul 14 kb 1
Modul 14 kb 1Modul 14 kb 1
Modul 14 kb 1
 
BAB 1: AQIDAH ISLAM
BAB 1: AQIDAH ISLAMBAB 1: AQIDAH ISLAM
BAB 1: AQIDAH ISLAM
 
Tauhid
TauhidTauhid
Tauhid
 
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docxAKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
AKIDAH AKHLAK RESUME KB 2.docx
 
Tawakkal kepada allâh subhanahu wa ta’ala
Tawakkal kepada allâh subhanahu wa ta’alaTawakkal kepada allâh subhanahu wa ta’ala
Tawakkal kepada allâh subhanahu wa ta’ala
 

Mehr von Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) (9)

Konsep akad dalam kajian fiqh muamalah
Konsep akad dalam kajian fiqh muamalahKonsep akad dalam kajian fiqh muamalah
Konsep akad dalam kajian fiqh muamalah
 
Pemikiran ekonomi Abul Jafar ad Dimasyqi
Pemikiran ekonomi Abul Jafar ad DimasyqiPemikiran ekonomi Abul Jafar ad Dimasyqi
Pemikiran ekonomi Abul Jafar ad Dimasyqi
 
Hukum dan kontrak
Hukum dan kontrakHukum dan kontrak
Hukum dan kontrak
 
Bab iii hukum organisasi perusahaan
Bab iii hukum organisasi perusahaanBab iii hukum organisasi perusahaan
Bab iii hukum organisasi perusahaan
 
penanaman modal
penanaman modalpenanaman modal
penanaman modal
 
Analisis konsep bunga abul a'la al maududi
Analisis konsep bunga abul a'la al maududiAnalisis konsep bunga abul a'la al maududi
Analisis konsep bunga abul a'la al maududi
 
Hukum pajak
Hukum pajakHukum pajak
Hukum pajak
 
Presentasi+wadiah
Presentasi+wadiahPresentasi+wadiah
Presentasi+wadiah
 
Integritas moral siswa
Integritas moral siswaIntegritas moral siswa
Integritas moral siswa
 

Kaidah Al-Yaqin Tidak Hilang dengan Keraguan

  • 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alhamdulillah semoga Alloh SWT selalu memberikan kepada kita hidayah dan Taufiq-Nya. Amin. Shalawat dan salam semoga terlimpah pada rasulullah Saw. Dalam hal ini penulis akan menguraikan kaidah al-yaqin la yuzalu bisyakki. Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah. Rasulullah SAW bersabda: ‫الحالل بين والحرام بين ، وبينهما مشبهات ال يعلمها كثير من الناس‬ Artinya: “sesuatu yang halal dan haram telah jelas (hukumnya) dan diantara keduanya ada masalah-masalah mutasyabihat (yang tidak jelas hukumnya) yang mayoritas orang tidak mengetahui hukumnya”.1 Alloh SWT telah memberikan kemudahan yang luar biasa kepada umat Islam dalam rangka menjalankan kehidupan sehari-harinya. Alloh SWT berfirman: 1 Hadist riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1 hal. 28. Imam Muslim,Shahih Muslim, juz 3 hal. 1221. Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 3 hal. 511. Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 2 hal. 1318. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 4 hal. 269
  • 2. Artinya; “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. 2 Pada umumnya pembahasan Qowaid Fiqiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiyah dan kaidah-kaidah ghoiru asasiyah. Kaidah asasiyah adalah kaidah yang disepakati oleh imam-imam azhah tanpa diperselisihkan kekuatannya disebut juga sebagai kaidah-kaidah induk karena hampir setiap bab dalam Fiqih masuk dalam kelompok kaidah induk ini. Adapun jumlah kaidah asasiyah hanya 5 macam yaitu: 1. Segala sesuatu tergantung kepada tujuannya. ‫األمور بمقاصدها‬ 2. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan. ‫اليقين ال يزول بالشك‬ 3. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. ‫المشقة تجلب التيسير‬ 4. Kemadharatan itu harus dihilangkan. ‫الضرر يزال‬ 5. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. ‫العادة محكمة‬ Dari kelima kaidah diatas penulis akan mencoba untuk membahas kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk. Imam As-Suyuthi menyatakan: “kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam Fiqih, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai ¾ dari subyek pembahasan fiqih”.3 Imam Al-Qarafi menambahkan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.4 2 Surat At-Taubah: 122. 3 As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 55. 4 Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111.
  • 3. Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.5 Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya.6 Termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan membahas kaidah “Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan” menjadi tiga poin sebagai berikut: 1. Apa yang di maksud dengan kaidah “Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan” ‫? اليقين ال يزول بالشك‬ 2. Apa dasar hukum kaidah Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan. ‫? اليقين ال يزول بالشك‬ 3. Apa sajakah kaidah turunan yang timbul dari kaidah “Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan” ‫? اليقين ال يزول بالشك‬ 5 6 Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78. An-Nadawi, Qawaid Fiqhiyyah, hal. 354.
  • 4. BAB II PEMBAHASAN A. Kaidah Fiqh Tentang Keyakinan dan Keraguan Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Sebelum menjelaskan kaidah Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak dari segi kebahasaan dan dari segi istilah. 1. Al-Yaqin. 1) Menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.7 Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk. 2) Menurut istilah: a. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.8 b. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.9 c. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.10 7 8 Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 13 hal. 457. Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 332. Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 322. Abu Al-Baqa’, Al-Kulliyat, juz 5 hal. 116. 10 As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 58 9
  • 5. 2. Asy-Syakk 1) Menurut kebahasaan berarti: anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.11 2) Menurut istilah: a. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.12 b. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.13 Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut ‫( ال ذمة ب راءة األ صل‬hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Dan apabila ada sebuah dalil yang memberikan pembebanan kepada al-yaqin, maka harus sesuai dengan sendi agama. Contoh: hukum asal air adalah suci, baik air hujan, sungai, laut, sumber, danau. Hukum asal air telah pasti suci dan tidak ada sesuatu yang meragukan hukum asal air tersebut. Contoh lain: ‫( ال ح ق ي قة ال ك الم ف ي األ صل‬hukum asal pada suatu kalimat adalah makna hakekat (kenyataan)-nya, artinya sesuatu yang pasti dalam dalalah al-alfadz digunakan dari segi maknanya yang tersurat, sampai datang dalil yang menjelaskannya kemudian. Hukum yang bersifat tetap dan pasti harus ditetapkan dan berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut tidak boleh saling bertentangan.contoh: apabila sesorang memiliki harta yang diperolehnya melalui jual beli, warisan atau sebab lain dengan cara yang halal dan benar maka hukumnya menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak bisa berpindah tangan kecuali ada bukti lain yang datang kemudian. Karena hak milik tersebut berpedoman pada sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal tersebut bersifat tetap dan pasti, 11 Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 10 hal. 451. Ibn Nujaim, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal 82. Al-Maqarri, Al-Mishbah Al-Munir, juz 1 hal. 320. 13 Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 168. 12
  • 6. dan tidak bisa dihapus oleh keraguan yang tidak didasari dengan alat bukti yang kuat. Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni : 1. Al Yakin Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan kebalikan dari Al Syak. Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat. 2. Ghalabah al Dzan Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan. 3. Al Dzan Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang lemah maka inilah yang disebut al dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya dan membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan 4. Al syak Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak condong pada salah satunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al
  • 7. Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah disebut salah duga/al wahn. . Kaidah yang berkaitan dengan hal ini ialah: ‫ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬ ‫َب‬ َ “Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.” B. Dasar Hukum Kaidah ‫ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬ ‫َب‬ َ Dasar-dasar kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada Al-Qur-an, Hadits Nabi Muhammad saw, Ijma para Sahabat, dan dalil Aqli yang disepakati jumhur Ulama. Berikut adalah penjelasannya : 1. Firman Alloh SWT:                     Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.14 Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah, dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak dll           14 Surat Al-An’am: 116.
  • 8.          Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.15                             Artinya: “Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga”.16                    Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.17 2. Hadits Rasulullah SAW: 15 Surat Yunus: 36. Surat Yunus: 66. 17 Surat An-Najm: 28. 16
  • 9. Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut: Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:[13] ‫عن أَبي هريْرة َ قَال قَال رسول اَّللِ صلهى اَّلل علَيه وسلهم إذَا وجدَ أَحدُكم فِي بَطنِه‬ ِ ْ ُْ َ َ َ ِ َ َ َ ِْ َ ‫ه‬ َ ‫َ َ َ ُ ُ ه‬ َ َُ ِ ْ َ ‫شيئًا فَأَشكل ع َليه أَخَرج منهُ شيء أَم ال فَال يَخرجن منَ المسْجد حتهى يَسمع‬ َْ َ ِ ِ َْ ِ ‫ْ َ َ َ ِْ َ َ ِْ َ ْ ٌ ْ َ َ ْ ُ َ ه‬ َ َْ ‫صوتًا أَو يجدَ ريحا‬ ً ِ َِ ْ َْ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim). ‫عن أَبي سعيد الخدْري ِ قَال قَال رسول اَّلل صلهى اَّلل علَيه وسلهم إذَا شَك أ َحدُكم‬ ُْ َ ‫ه‬ َ ِ‫َ َ َ ُ ُ ه‬ ِ ُ ْ ٍ َِ ِ ْ َ ِ َ َ َ ِْ َ ‫ه‬ َ َ‫في صالته فَلم يدْر كم صلهى ثَالثًا أَم أَربعًا فَ ْليطرح الشك و ْليبْن على ما است َْيقَن‬ ْ َ ََ ِ َ َ ‫َ ْ َ ِ ه ه‬ ِ َ ْ ْ َ َْ ِ َ َْ ِِ ََ َ َِْ ََ َ ْ َ َ ْ َ ْ ِ ْ َ ُ ْ َ ‫ه‬ َ‫ثُم يسجد ُ سجدَتَيْن قَبل أَن يُس ِلم فَإِن كانَ صلهى خَمسا شفَعنَ لَهُ صالت َهُ وإن كان‬ ْ َ ً ْ َ ‫صلهى إتْماما ألَربع كانتَا تَرغيما ِللشيطان‬ ِ َ ْ‫َ ِ َ ً ِ ْ َ ٍ َ َ ْ ِ ً ه‬ “ Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim) Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang mengganggu pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci akan tetapi terdetik dalam hatinya keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah
  • 10. dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia sudah ber”hadats”.18 3. Ijma’ Ulama telah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah ‫ الَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬ini. ‫ب َب‬ َ Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.19 Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.20 Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang teguh pada sesuatu yang pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-raguan merupakan pokok ajaran syariat Islam”.21 4. Dalil ‘Aqli Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu bersifat tetap dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan sesuatu yang meragukan selali bersifat membingungkan dan penuh dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dikemudian hari. Syaikh Musthafa Az-Zarqa menyatakan: “sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti itu mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan jika ada 18 19 Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2 hal. 414. Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111. Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78. 21 As-Sarkhasi, Usul As-Sarkhasi, juz 2 hal. 116. 20
  • 11. keragu-raguan yang tiba-tiba datang maka tidak bisa menghapus hukum yang bersifat psti tersebut”.22 C. Kaidah-kaidah Lanjutan dari kaidah ‫ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُاْيَقَيْلا‬ ‫َب‬ َ Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyatakan bahwa: “Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.” Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan yang penulis ketahui ada 11 (sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah ‫ , ال بَقاَلا ُ ااَاُُ َ ال ُ اْيَقَيْلا‬yaitu: ‫َب‬ َ Kaidah pertama: ُ ِ ْ ‫اليَقن يُزَ ال باليَقيْن مثْ ِله‬ ِ ِ ِ ِ ْ ُ “ Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula “ Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar. Contoh: Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis. Kaidah kedua ‫أَن ما ثَبَت بيَقين ال يَرتَفع إال بيَقين‬ ٍ ِ ِ ‫َ ِ ِ ٍ َ ْ ِ ُ ه‬ َ ‫ه‬ “ Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi “ Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.23 22 Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, juz 2 hal. 981.
  • 12. Contoh: Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita . ‫اْلَصل بَراءةُ الذمة‬ َّ ِّ َ َ ُ ‫أ أ‬ “ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab “ Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya.24 Contoh: Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa. َ َ َ َ َ ُ َ ُ ْ ْ ‫األَصل بقَاء ما كانَ علَى ما كان‬ “ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya “ Keadaan dalam contoh sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala ada unsur lain yang mengubahnya.25 Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu. 23 Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalahmasalah yang praktis, h. 48. 24 ibid 25 Ibid., hal. 49
  • 13. ‫اْلَصل العدم‬ َ‫أ أ ُ أ‬ “ Hukum asal adalah ketiadaan “ Contoh: Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik. ‫األَصل إِضفَةُ الحأدث إِلَى أقرب أَوقَاته‬ ِ ِ ْ َ ُ ْ ْ ِِ ْ َ َْ “ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya “ Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu: ُ ْ ْ ‫األَصل فِي كل حادث تَقَد رهُ بِأ َْقربِالزمأن‬ ُ ِ ِ ِ َ ِ ُ ِ َ ‫َ ه‬ “ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya “ Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.26 Contoh: Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya. ‫اْلَصل فِّي اْلَشيَاء اْلبَاحةُ حتَّى يَدُل الد َِّّليل علَى التَّحأ ريم‬ َ ُ ُّ َ َ ِّ ‫أ أ ِّ أ‬ ُ ‫أ أ‬ ِّ “ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “ Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah: ‫األَصل في األَشيَاء الحظر‬ َُ َ ْ ِ ْ ْ ِ ُ ْ ْ 26 Ibid,. Hal. 51
  • 14. “ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram) “ Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah: ‫اْلَصل فِّي اْلَشيَاء اْلبَاحةُ حتَّى يَدُل الد َِّّليل علَى التَّحأ ريم‬ َ ُ ُّ َ َ ِّ ‫أ أ ِّ أ‬ ُ ‫أ أ‬ ِّ ِّ “ Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “ Contoh: Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah: ُ ْ ْ ‫األَصل فِي العبَادَةِ المبُطالن حتهى يَقُوم الده ِليل علَى األَمر‬ ِْ َ ُ َْ ْ ِْ ْ َ ُ ْ َ “ Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya “ Contoh: Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masingmasing. Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT. Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.27 َ ِّ َ ‫أ َ ِّ أ‬ ‫اْلَصل فِّي الكََلم الحقيقة‬ ُ ‫أ أ‬ “ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “ Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang 27 Imam Musbikin, Qawa’id al-fiqhiyah, hal. 59.
  • 15. dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki.28 Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya. Contoh; Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi. ُ‫العبْرة ُ بالظن الهذِي يَظهر خطاءه‬ ُ َ َ َُْ ِ ‫َ ِ َ ِ ه‬ “ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya “ Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah. ‫ال عبْرة ُ ِللتهوهم‬ ِ ُّ َ َ ِ َ “ Tidak diakui adanya waham (kira-kira) “ Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Contoh: Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja. ‫ما ثَبتَ بزَ من يُحْ كم ببقَاءه مالَم يقُم الده ِليل علَى خالفه‬ ِِ َ ِ َ ُ ْ ْ َ َ ِِ َ َُ ِ َ ِ َ َ “ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya “ Contoh: Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup. 28 Ibid., hal. 64.
  • 16. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan. Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita. B. Saran Sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, marilah kita bersama-sama mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan menjalankan syariatNya. Dan marilah kita hindari hal-hal yang meragukan, sebab hal yang meragukan hanya akan menjadi penghalang bagi kita untuk menjalankan syariatnya. Dan tetaplah konsisten dengan pendirian yang meyakinkan hati.
  • 17. DAFTAR PUSTAKA B. Buku Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Surabaya: PT Mahkota, 2004 M Hadits Digital 9 imam. Djazuli, Acep, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2006. Djazuli, Acep, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2006. Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Musbikin, Imam, Qawa’id al-fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah Istinbath hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Abu Al-Baqa’, Ayyub bin Musa, Al-Kafawi. Al-Kulliyat. Suriah: wizarah AtsTsaqafah, 1981 M. Ab Husain, Ya’qub Abdulwahhab. Kaidah Al-Yaqin La Yazulu Bi Asy-Syakk. Riyadh: Maktabah Ar-Rasyd, t.th.
  • 18. Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat. Beirut: Dar Al-Kitab AlArabi, 1405 H. Al-Maqarri, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al-Mishbah Al-Munir. Beirut: AlMaktabah Al-Ilmiyah, t.th. Al-Qarafi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Ash-Shonhaji, Syihabuddin. AlFuruq, Beirut: ‘Alim A,-Kutub, t.th. An-Nadawi, Ali Ahmad. Qawaid Fiqhiyyah. Damaskus: Dar Al-Qalam, t.th. An-Nawawi, Yahya bin Syarf, Abu Zakariya. Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, 1392 H. As-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad Abu Bakar. Usul As-Sarkhasi. Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1393 H. As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th. Daqiq Al-‘Id, Muhammad bin Ali bin wahab Al-qusyairi. Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam. Kairo: al-Muniriyah, t.th. Ibn Mandzur, Muhammad bin Mukarrim. Lisan Al-Arab. Beirut: Dar Shadr, t.th. Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am. Damaskus: Dar AlQalam, t.th B. Internet http://ahmadsabiq.com/2010/02/24/sesuatu-yang-yakin-tidak-bisa-hilang-dengankeraguan/ On Line 10 oktober 2013, 16.00 wib.