SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 15
Downloaden Sie, um offline zu lesen
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER
 DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
             Oleh: H. Akhmad Haries *

     Abstract: polygamy has become a polemic among Islamic
     jurists (fuqaha’) since the classical era of Islamic
     jurisprudence. The core polemic lies on the issue whether
     polygamy is permitted, prohibited or permitted with some
     requirements. This article is to analyze Ashgar Ali
     Engineer’s opinion on the legal status of polygamy.
     According to Ashgar, the al-Nisa chapter : 3 concerning
     about polygamous permissibility must be construed in the
     light of the al-Nisa chapter : 1 which concerns of doing
     justice to orphans. This understanding then suggest,
     Asghar further argue, the permissibility of polygamy is
     contextual in Islam. Thus, it is possible that its
     implementation in Muslim country is strictly limited as
     long as the context where Muslims live required so.

Kata Kunci : Poligami, QS. Al-Nisa (4) : 3, ayat kontekstual

Pendahuluan
      Salah satu masalah yang sejak dahulu sampai sekarang tetap
menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status
poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat
bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas
pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern
membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi
tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU
perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.
      Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami
ini, yakni : Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara
mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan
syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil
terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al-
Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Kedua, mereka
yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-
kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah
Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain.
Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di
antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.1 Hal ini sejalan dengan
lahirnya Undang-undang Turki dan masyarakat Druze di Lebanon,
       *
        Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Syari’ah STAIN Samarinda.
       1
         Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal
Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h. 59-78.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….159


Tunisia dengan UU Keluarga, mereka melarang poligami secara
mutlak, dan menghukum orang yang melanggar aturan berpoligami.2
      Menariknya, ketiga kelompok ini dalam interpretasi mereka
tentang poligami, sama-sama beranjak dari QS. an-Nisa’ (4): 3 dan
127-129.
      Agar pembahasan ini lebih terfokus, maka pembahasan poligami
hanya akan dikaji berdasarkan pendapat kelompok kedua, itupun
dikhususkan kepada pendapat Asghar Ali Engineer. Hal ini dilakukan
karena selain Asghar Ali Engineer dikenal sebagai orang yang gigih
dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan untuk
menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam dan
pandangannya yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu
perlunya dikembangkan “teologi pembebasan Islam,” ia juga memiliki
pandangan yang cukup liberal dalam menginterpretasikan suatu teks
yang dianggap bias gender .3
      Dalam kajian ini akan dibahas tentang pemahaman Asghar Ali
Engineer terhadap QS. an-Nisa’ (4): 3. Pemahaman ini akan
direlevansikan dengan konteks Indonesia, khususnya perundang-
undangan perkawinan yang ada, agar dapat diteliti ulang, apakah
perundang-undangan tersebut masih tetap relevan atau justru perlu
perubahan karena adanya bias gender.

Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
      Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan
dalam masyarakat Muslim adalah poligami. Sebelum membahas lebih
lanjut mengenai poligami dalam pandangan Asghar Ali Engineer dan
relevansinya dengan konteks Indonesia, berikut ini akan dijelaskan
terlebih dahulu sepintas tentang makna dan dasar hukum tentang
poligami.
      Sebagaimana dikemukakan banyak penulis, poligami berasal
dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli atau
polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti
kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan
berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini,



         2
           Alasannya selain berdasarkan QS. al-Nisa yakni mustahil seorang suami
dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Dalam UU Keluarga Tunisia bahawa
seorang yang berpoligami sebelum perkawinannya bubar/cerai akan dihukum
dengan hukuman penjara selama satu tahun penjara atau denda 240.000 malims atau
keduanya. Lihat Dawoud El Alami dan Doreen Hinchliffe, Islamic Marriage and
Divorce Laws of The Arab Word (London, The Hague, Boston: Kluwer Law
International, 1996), h. 242.
         3
           Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi
dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSPPA & CUSO, 1994), h. 30.
160            , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


menjadi sah untuk mengatakan, bahwa arti poligami adalah
perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.4
       Namun, dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai
empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang
poligami dengan batasan empat atau bahkan lebih dari sembilan
isteri.5
       Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu
pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu
yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti
itu dikatakan bersifat poligami.6
       Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan
disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur’an. Ayat yang sering
menjadi rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah:
adalah QS. Al-Nisa (4) :1-3 yang artinya:

      "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
      telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
      Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
      memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
      banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-
      Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan hubungan
      silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
      mengawasi kamu. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
      harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
      buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
      hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa
      yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
      adil terhadap perempuan yang yatim , maka kawinilah
      wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
      Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
      maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
      Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
      aniaya. {QS. Al-Nisa(4): 1-3}.

     Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang Uhud.
Sebagaimana dimaklumi, karena kecerobohan dan ketidakdisiplinan

        4
           Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad (Surabaya: Bintang Pelajar,
1986), h. 15.
         5
           Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan
ayat Al-Nisa(4): 3, sebagai dasar penetapan hukum poligami. Lihat Khoiruddin
Nasution, Riba & Poligami: Sebuah Studiatas Pemikiran Muhammad Abduh
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 84.
         6
           Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta: LKAJ-SP,
1999), h. 2.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….161


kaum Muslim dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah telak.
Banyak prajurit Muslim yang gugur di medan perang. Dampak
selanjutnya, jumlah janda dan anak-anak yatim dalam komunitas
Muslim meningkat drastis. Tanggung jawab pemeliharaan anak-anak
yatim itu tentu saja kemudian dilimpahkan kepada para walinya.
Tidak semua anak yatim berada dalam kondisi papa dan miskin, di
antara mereka ada yang mewarisi harta yang banyak, peninggalan
mendiang orang tua mereka.7
      Pada situasi dan kondisi yang disebutkan terakhir, muncul niat
jahat di hati sebagian wali yang memelihara anak yatim. Dengan
berbagai cara mereka berbuat culas dan curang terhadap anak yatim
tersebut. Terhadap anak yatim yang kebetulan memiliki wajah yang
cantik, para wali itu mengawini mereka, dan jika tidak cantik, mereka
menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki lain yang
melamarnya. Tujuan para wali menikahi anak yatim yang berada
dalam kekuasaan mereka semata-mata agar harta anak yatim itu tidak
beralih pada orang lain, melainkan jatuh ke dalam genggaman mereka
sendiri, sehingga akibatnya tujuan luhur perkawinan tidak terwujud.
Tidak sedikit anak yatim yang telah dinikahi oleh para wali mereka
sendiri mengalami kesengsaraan akibat perlakuan tidak adil. Anak-
anak yatim itu dikawini, tetapi hak-hak mereka sebagai isteri, seperti
mahar dan nafkah tidak diberikan. Bahkan, harta mereka dirampas
oleh suami mereka sendiri untuk menafkahi isteri-isteri mereka yang
lain yang jumlahnya lebih dari batas kewajaran.8
      Para mufassir sepakat bahwa sabab an-nuzul ayat ini berkenaan
dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang
berada dalam perlindungan mereka.9

Biografi dan Aktivitas Keilmuan Ashgar Ali Engineer
      Ashgar Ali Engineer dilahirkan di Rajastan, dekat Udaipur, pada
tanggal 10 Maret 1940 dalam keluarga yang berafiliasi ke Syi’ah
Isma’iliyah. Adapun ayahnya bernama Sheikh Qurban Husain, dan
ibunya bernama Maryam. Dalam hal ini, ayahnya merupakan seorang
pemuka agama yang mengabdi kepada pemimpin keagamaan Bohra.
Melalui ayahnya, Asghar Ali Engineer mempelajari ilmu-ilmu
keislaman seperti teologi, tafsir, hadis dan fiqh. Bahkan ia juga pernah
menempuh pendidikan formal dari tingkat dasar dan lanjutan pada
sekolah yang berbeda-beda, seperti Hoshangabad, Wardha, Dewas dan
Indore. Adapun pendidikan tingginya dimulai pada tahun 1956. Enam
tahun kemudian, yaitu tahun 1962, ia berhasil menyelesaikannya dan


       7
         Ibid., h.32.
       8
         Ibid., h. 33.
       9
         Ibid.
162            , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


akhirnya memperoleh gelar Doktor dalam bidang teknik sipil dari
Vikram University, Ujjain (India).10
      Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga menguasai berbagai
bahasa, seperti Inggris, Arab, Urdu, Persia, Gujarat, Hindi dan
Marathi. Dengan menguasai berbagai bahasa tersebut Asghar Ali
Engineer mempelajari dan menekuni masalah-masalah agama. Ia
mempelajari fiqh perbandingan yang meliputi empat mazhab sunni
dan juga mazhab Syi’ah Isma’iliyah. Dia sangat membela pada hak-
hak wanita dalam Islam dan mempelajari berbagai mazhab hukum
serta berusaha mengambil putusan yang paling baik tentang wanita
dari mazhab-mazhab tersebut dengan jalan talfiq. Bahkan dengan
serius ia membaca tentang rasionalisme, baik yang berbahasa Urdu,
Arab ataupun Inggris. Asghar Ali Engineer juga membaca tulisan-
tulisan Niyaz Fatehpuri (seorang penulis berbahas Urdu yang terkenal
dan pengkritik ortodoksi), Bertrand Russel (seorang filosof rasional
asal Inggris), dan juga karya monumental Karl Marx, Das Capital.
Asghar mengakui bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para
pemikir ini. Sedangkan untuk tafsir al-Qur’an, dia membaca karya
tokoh-tokoh Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (meninggal 1898)
dan Maulana Abu al-Kalam (meninggal 1958). Engineer juga telah
membaca hampir semua karya besar tentang Dakwah Fatimi yang
ditulis oleh, antara lain, Sayedna Hatim, Sayedna Qadi Nu‘man,
Sayedna Muayyad Sirazi, Sayedna Haminuddin Kirmani, Sayedna
Hatim ar-Razi dan Sayedna Ja’far Mansur al-Yaman. Tak ketinggalan
juga, Rasa’il Ikhwanus Safa, sebuah sintesis antara akal dan wahyu,
turut serta membentuk wacana intelektual Asghar.11
      Di samping sebagai pemikir, Asghar Ali Engineer juga adalah
seorang aktifis sekaligus seorang Da‘i yang memimpin sekte Syi‘ah
Isma‘iliyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay India. Untuk
diakui sebagai Da‘i tidaklah mudah. Ia harus memenuhi 94 kualifikasi
yang secara ringkasnya dibagi dalam empat kelompok. Pertama,
kualifikasi-kualifikasi pendidikan. Kedua, kualifikasi-kualifikasi
administratif. Ketiga, kualifikasi-kualifikasi moral. Keempat,
kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.12 Bahkan yang lebih
menarik lagi, di antara kualifikasi tersebut, seorang Da‘i harus tampil
sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan
kezaliman. Baginya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi.


        10
            M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender,
Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 7-8.
         11
            Ibid, h. 10-11.
         12
            Djohan Effendi, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, dalam
kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa
Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993), h. Vii.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….163


       Dengan memahami posisi Asghar Ali Engineer di atas, maka
tidaklah mengherankan mangapa ia sangat vokal sekali dalam
memperjuangkan dan menyuarakan pembebasan. Suatu tema yang
menjadi ruh pada setiap karyanya, seperti hak asasi manusia, hak-hak
wanita, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis, agama, dan
lain-lainnya. Itulah sebabnya, ia banyak terlibat bahkan memimpin
organisasi yang memberikan banyak perhatian kepada upaya advokasi
sosial. Meskipun harus bertentangan dengan generasi tua yang
cenderung bersikap konservatif, dan pro status qou. Hal ini terjadi
ketika sekte Daudi Bohra dipimpin oleh Sayyidina Muhammad
Burhanuddin yang dikenal sebagai Da‘i mutlak (absolute preacher).13
Sebagai seorang Da‘i mutlak, Burhanuddin mempunyai otoritas
absolut dan bahkan ia beranggapan bahhwa kekuatan yang
tersembunyi dari seorang Imam berasal dari Nabi dan Allah sehingga
semua pengikut Bohra diharuskan tunduk kepadanya, kecuali jika
ingin menghadapi penyiksaan.
       Melihat realita di atas, maka pada tahun 1972 ketika terjadi
gerakan revolusi di Udaipur, Asghar Ali Engineer mulai terjun ke
arena gerakan pembaharuan Bohra untuk menetang eksploitasi atas
nama agama. Dia memimpin gerakan kaum reformis menentang apa
yang mereka sebut sebagai otoritarianisme dan rigiditas pemimpin
Bohra. Asghar Ali Engineer menyerukan perlunya tafsir liberal
terhadap Islam yang dapat mengakomodasi hak-hak individu,
martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Penentangan terhadap
pemimpin Bohra tersebut bukan hanya mendapat reaksi keras, tetapi
juga berakibat terjadinya beberapa kali usaha pembuhuhan. Di
antaranya terjadi pada tanggal 8 Nopember 1977 di Calcutta dan di
Heiderabad pada tanggal 26 Desember 1977. .
       Di samping aktifis, Asghar Ali Engineer juga mendirikan sebuah
institut pada tahun 1980 yang terutama sekali memfokuskan pada dua
bidang, yaitu : (1), kerukunan antar umat agama, (2), studi-studi
wanita dari persfektif Islam. Karena kegigihan dan kesungguhan
usahanya tersebut, Asghar Ali Engineer di anugerahi gelar
kehormatan D. Lit. (Doctor of Literature) oleh Universitas Calcuta
pada tahun 1993 atas jasa dan publikasinya di Communal Harmony
and Interreligious Understanding yaitu di bidang kerukunan dan
pemahaman antar agama. Bahkan, Asghar Ali Engineer juga
memperoleh National Communal Harmony Award atas kerja kerasnya
di Communal Harmony oleh National Foundation for Communal
Harmony, pada tahun 1997 berkat perhatian yang besar dan
partisipasinya dalam upaya pemecahan konflik yang diakibatkan oleh
adanya pluralisme agama dan kelompok yang berbeda di India dalam
mewujudkan kehidupan yang harmonis dan berbagai penghargaan

       13
            M. Agus Nuryatno, Islam., h. 8
164            , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


lainnya seperti Hakim Khan Sur Award oleh Maharana Mewar
Foundation, Udaipur, Rajasthan.
      Adapun jabatan yang pernah ia pegang adalah Wakil Presiden
pada People’s Union for Civil Liberties, Pemimpin Rikas Adhyayan
Kendra (Centre for Development Studies), Pimpinan EKTA
(Committee for Communal Harmonyi), Ketua Pendiri pada Centre for
Study of Society and Secularism, Mantan Dewan Eksekutif
Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, Sekretaris Umum pada Board of
Dawoodi Bohra Community dan Convenor Asian Muslims’ Action
Network (AMAN). Di samping aktif dalam organisasi, Asghar juga
aktif dalam akademik pendidikan. Ia pernah memberikan kuliah di
universitas diberbagai negara seperti, Amerika, Kanada, Inggris,
Swiss, Thailand, Malaysia, Indonesia, Sri Langka, Pakistan, Yaman,
Mesir, Hongkong dan lain-lainnya.14
      Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih kapasitasnya
sebagai Directur of Islamic Studies di Bombay, dan mantan anggota
Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, di India, Asghar
sangat rajin dalam menuangkan ide-ide pemikirannya di berbagai
forum ilmiah baik dalam seminar, perkuliahan, lokakarya, maupun
simposium di berbagai negara. Bahkan dalam mensosialisasikan
pemikirannya, Asghar Ali Engineer aktif menulis maupun sebagai
penyunting di berbagai penerbitan. Sehingga tidak lebih dari 38 buku
yang telah ia terbitkan.

Pandangan Asghar Ali Engineer tentang Poligami
      Seperti dicatat sebelumnya di bagian pendahuluan, mayoritas
pemikir kontemporer dan perundang-undangan modern membolehkan
poligami dengan syarat dan dalam kondisi tertentu. Di antara tokoh
yang masuk kelompok ini adalah Asghar Ali Engineer.
      Ali Engineer berpendapat bahwa untuk memahami konteks ayat
QS. Al-Nisa (4);3, yang biasa dijadikan dasar poligami, perlu lebih
dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya.15 Ayat
al-Nisa (4):1 berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan
dari sumber yang sama. Karena itu, ayat ini memberikan gambaran
kesetaraan kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Al-Nisa (4):2
mendesak Muslim agar memberi harta anak yatim yang menjadi
warisannya tidak mengganggu untuk kepentingan wali. Sementara al-
Nisa (40):3 berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan “dan jika
kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak
(perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga ayat ini bukan
mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada

        14
             Adapun mengenai biodata aktifitas organisasi dan kegiatan akademik
pendidikan Asghar Ali Engineer secara lengkap dapat ditemukan dalam halaman
akhir dari buku Hak-hak Perempuan dalam Islam yang dimuat oleh editor LSPPA.
         15
            Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, h. 30
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….165


anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orang-
orang yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat
yang tidak semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin.
Maka al-Qur’an memperbaiki perilaku yang salah tersebut.16 Sebagai
tambahan, Aisyah dalam Sahih Muslim memahami ayat ini, bahwa
jika para pemelihara anak (perempuan) yatim khawatir dengan
mengawini perempuan lain. Karena itu, ayat ini bukan merujuk pada
satu hal yang umum, tetapi terhadap satu konteks, bahwa keadilan
terhadap anak-anak yatim lebih sentral daripada masalah poligami.17
      Konteks lain tambah Asghar Ali Engineer, ayat ini turun setelah
selesai perang Uhud, ketika dalam perang ini 70 dari 700 laki-laki
wafat. Akibatnya banyak perempuan muslimah yang menjadi janda
dan anak yatim, yang harus dipelihara. Maka menurut konteks sosial
ketika itu jalan terbaik untuk memelihara, dengan syarat harus adil.
Konteks pemeliharaan dan penjagaan janda ini didukung dengan hadis
Nabi, yang pernah bersabda, “seorang yang bekerja keras untuk
menafkahi para janda adalah seperti orang yang membiayai perang
jihad atau orang-orang yang secara terus menerus menunaikan shalat
pada waktu malam dan melakukan puasa pada waktu siang”.18
      Karena itu, pemahaman terhadap al-Nisa (4):3, bahwa menikahi
janda dan anak-anak Yatim dalam konteks ini sebagai wujud
pertolongan, bukan untuk kepuasan seks.
      Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari konteks
itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat
yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang
prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya.

Poligami Dalam Perundang-undangan Di Indonesia
      Masalah poligami di Indonesia, diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam..
        Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada
pasal 3, 4, dan 5.
         Pasal 3 berbunyi :
    (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
         boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
         mempunyai seorang suami.
    (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
         beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-
         pihak yang bersangkutan.

       Pasal 4 berbunyi :
       16
          Ibid., h. 142.
       17
          Ibid., h. 143.
       18
          Ibid., h. 146.
166            , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


      (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
          sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang
          ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
          di daerah tempat tinggalnya.
      (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1)         pasal ini hanya
          memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
          lebih dari seorang apabila :
          a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
          b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
               disembuhkan
          c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan

          Pasal 5 berbunyi :
      (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
          sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang
          ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
               a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri
               b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
                  keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
                  mereka
               c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin
                  keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
                  mereka.
      (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
          tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-
          isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
          dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada
          kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
          atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
          penilaian dari Hakim Pengadilan.19

        Dalam Inpres No. 1/1991, masalah poligami diatur pada pasal
55, 56, 57, 58, dan 59.
         Pasal 55 berbunyi :
    (1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan,
        terbatas hanya sampai empat orang isteri.
    (2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu
        berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
    (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak
        mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.


         19
           Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 117-118
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….167


    Pasal 56 berbunyi :
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus
    mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
    dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab
    VIII Peraturan Pemerintah No. Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
    keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
    kekuatan hukum.

   Pasal 57 berbunyi :
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
   disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

    Pasal 58 berbunyi :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka
    untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula
    dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-
    undang No. 1 Tahun 1974 yaitu :
    a. adanya persetujuan isteri
    b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
        keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b
    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri
    atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan
    lisan, tetapi sekali pun telah ada persetujuan tertulis,
    persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada
    siding Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan
    bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak
    mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
    pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri
    atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
    karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

    Pasal 59 berbunyi :
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan
atas salah satu alas an yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
168           , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


      Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
      setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan.20

Pandangan Asghar Ali Engineer tentang Poligami dan
Relevansinya dengan Konteks Indonesia
       Kalau pemahaman Asghar Ali Engineer ini direlevansikan
dengan konteks Indonesia, secara historis masalah poligami
sebelumnya telah marak dibicarakan, jauh sebelum UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan menjadi undang-undang. Pada akhirnya
monogami ditetapkan menjadi salah satu azas tetapi dengan suatu
pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan
agamanya diizinkan bagi seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Masuk dalam pengecualian tersebut adalah orang yang beragama
Islam, karena secara normatif tekstual al-Qur’an dianggap
membolehkan poligami.
       Syarat alternatif yang mengandaikan kebolehan melakukan
poligami pada mulanya ditujukan untuk melindungi perempuan dari
tindakan poligami yang sewenang-wenang. Namun demikian, karena
perspektif yang digunakan sarat dengan bias gender, dan tanpa
memperhatikan suara perempuan yang dipoligami itu sendiri, maka
hasil ketentuan-ketentuan tersebut justru merugikan perempuan.
Syarat-syarat yang ditentukan hanya dibebankan kepada perempuan
sebagai isteri, baik yang berkaitan dengan ketidakmampuan
menjalankan kewajiban, cacat badan maupun sakit seolah hanya
dapat terjadi pada perempuan.21 Bagaimana jika laki-laki atau suami
yang tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat badan atau sakit? Hal
ini tidak terjamah dalam undang-undang. Bagaimana pula jika isteri
dalam kondisi yang lemah baik secara ekonomi maupun ekonomi non-
ekonomi sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menyatakan
ketidaksetujuan untuk dipoligami? Meskipun persetujuan dari isteri
menjadi salah satu ketentuan, undang-undang tidak memberikan
kepastian dan jaminan terhadap hak dan kebebasan perempuan dalam
memberikan persetujuan atau penolakan.
       Dengan demikian, beberapa alasan yang ditentukan UU pada
prinsipnya bertentangan dengan konsep merawat cinta kasih antara
suami isteri dalam keluarga. keluarga yang sakinah, mawaddah dan
penuh rahmah mengandaikan kesediaan kedua belah pihakuntuk
saling menghargai, menghormati dan menerima kelebihan sekaligus
kelemahan masing-masing. Jika kekurangan fisik baik pada laki-laki
maupun perempuan dianggap sebagai kelemahan maka seharusnya
tidak menjadi alasan untuk mengahdirkan perempuan atau pihak lain

         20
         Ibid., h.176-177.
         21
          UU No. 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2. Lihat Departemen Agama RI,
Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000),
h. 118.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….169


untuk menutupi kekurangan tersebut. Terlebih jika isteri menderita
karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka tidak
manusiawi jika suami justru menduakan dengan mengawini
perempuan lain demi kepentingan suami sendiri. Sama halnya dengan
kekurangan isteri karena tidak dapat melahirkan keturunan. Kondisi
semacam ini tidak hanya menjadi persoalan suami tetapi juga menjadi
kekecewaan isteri, dan tidak adil jika kekecewaan tersebut
diselesaikan dengan menambah beban isteri karena dipoligami.
      Alasan lain yang tidak diatur dalam UU sering dijadikan dasar
melakukan poligam adalah asumsi bahwa angka statistik
menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Beberapa
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perempuan yang lanjut usia
lebih banyak dari laki-laki usia lanjut. Salah satu penyebabnya adalah
usia harapan hidup perempuan Indonesia lebih panjang daripada laki-
laki. Fenomena ini disebabkan antara lain karena daya tahan tubuh
perempaun pada umumnya lebih baik. Kondisi demikian
menyebabkan banyak perempuan yang bertahan hidup di atas usia 60
tahun dibanding laki-laki.22 Dengan demikian kelebihan jumlah
perempuan terjadi di usia lanjut dan jika alasan poligami adalah
menolong perenmpuan maka seharusnya poligami dilakukan dengan
para “manula” tersebut.
      Dalam realitas kehidupan yang dialami perempuan, seperti yang
tampak dalam data-data mengenai kasus kekerasan terhadap isteri
dalam bentuk poligami yang masuk di Rifka Annisa Women Crisis
Center tahun 2000, perempuan bahkan tidak terjamah dalam UU. Data
di Rifka Annisa menunjukkan bahwa 62% dari kasus poligami yang
masuk pada tahun 2002 adalah poligami sirri dan hanya 38% kasus
poligami yang dilakukan secara resmi. Sementara itu, data yang ada
menunjukkan bahwa 75% dari 90 kasus kekerasan terhadap isteri yang
ada, solusi yang dipilih adalah cerai.23 Perceraian yang diakibatkan
oleh poligami seperti ini tidak diakomodir dan tidak mendapatkan
jaminan undang-undang.
      Sebagai gambaran tercatat bahwa sampai bulan Oktober tahun
1999 terdapat 40 kasus kekerasan (yang terungkap) dalam rumah
tangga dan hanya 38 kaus yang masuk ke Pengadilan.24
      Dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk di Rifka
Annisa Women Crisis Center mengenai kekerasan terhadap
perempuan di Yogyakarta pada tahun 2000, 225 diantaranya dialami


         22
              Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan kualitatif (Jakarta: P3M, 1999),
h. 33.
         23
            Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan Januari-Desember 2000
di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Sumber Divisi Litbang RAWCC Yogyakarta.
         24
             Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jakarta: P3M,
1999), h. 8.
170           , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


oleh isteri.25 92 kasus adalah kekerasan dalam pacaran, 28 kasus
pelecahan seksual, 25 kasus perkosaan, dan 12 kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Total kasus yang masuk dari tahun 1994 sampai 2000
sebanyak 1309 kasus dengan rincian sebagai berikut: kekerasan
terhadap isteri sejumlah 820 kasus, kekerasan dalam pacaran sejumlah
294 kasus, perkosaan 85 kasus, pelecehan seksual 68 kasus dan
kekerasan dalam keluarga dan kehamilan yang tidak dikehendaki
sejumlah 42 kasus.

Penutup
      Dari berbagai paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
Menurut Asghar Ali Engineer bahwa untuk memahami konteks ayat
QS. Al-Nisa (4);3, yang biasa dijadikan dasar poligami, perlu lebih
dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya. Ayat
al-Nisa (4):1-3 pada ayat yang ketiga ini berkaitan dengan poligami,
yang dimulai dengan “dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil
terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga
ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi
berbuat adil kepada anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah
menggambarkan orang-orang yang bertugas memelihara kekayaan
anak yatim sering berbuat yang tidak semestinya, yang kadang
mengawininya tanpa mas kawin. Maka al-Qur’an memperbaiki
perilaku yang salah tersebut. bahwa menikahi janda dan anak-anak
Yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk
kepuasan seks. Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari
konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah
ayat yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat
yang prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya.
      Ketentuan hukum di Indonesia yang disusun tanpa
memperhatikan kepentingan dan hak asasi perempuan sebagai
individu yang otonom, yang menjadi subjek dari hukum yang
berkaitan dengan diri dan kehidupannya, menjadi embrio lahirnya
berbagai ketidakadilan terhadap perempuan baik secara psikis maupun
ekonomis. Perempuan-perempuan yang mengalami poligami baik
poligami resmi apalagi sirri, sangat rentan mengalami ketidakadilan.
Lemahnya posisi mereka yang dipoligami selanjutnya berdampak
pada pola ketergantungan, subordinasi dan marginalisasi perempuan
terhadap laki-laki, baik dalam bidang ekonomi, pengambilan
keputusan (dalam) keluarga maupun yang lainnya.



       25
           Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka Annisa WCC, Periode Tahun
1994-2000.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….171


                      DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid
        Wajidi dan Assegaf, Cici Farkha, Yogyakarta: LSPPA &
        CUSO, 1994.
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen
        Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000.
Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus
       Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka
       Annisa WCC, Periode Tahun 1994-2000.
Effendi, Djohan, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”,
         dalam kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam
         dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam
         Baehaqy, Cet. I, Yogyakarta: Lkis, 1993.
El Alami, Dawoud dan Hinchliffe, Doreen, Islamic Marriage and
        Divorce Laws of The Arab Word, London, The Hague,
        Boston: Kluwer Law International, 1996.
Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: P3M,
        1999.
Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan Januari-Desember
        2000 di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Sumber Divisi
        Litbang RAWCC Yogyakarta.
Hasyim, Syafiq, Poligami dan Keadilan kualitatif, Jakarta: P3M,
        1999.
Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad, Surabaya: Bintang
       Pelajar, 1986.
Mulia, Musdah, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: LKAJ-
        SP, 1999.
Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal
         Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002.
----------, Riba & Poligami: Sebuah Studiatas Pemikiran Muhammad
           Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Nuryatno, M. Agus, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan
        Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 7-8.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh
 kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh
kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqhIM UMAZ
 
Usul fiqh, nasakh.
Usul fiqh, nasakh.Usul fiqh, nasakh.
Usul fiqh, nasakh.jimoh370
 
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf QordhowiINTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf QordhowiDadang Rohendi
 
Makalah Fikih Munakahat tentang Dzihar
Makalah Fikih Munakahat tentang DziharMakalah Fikih Munakahat tentang Dzihar
Makalah Fikih Munakahat tentang DziharAZA Zulfi
 
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamPERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamIAIN Tulungagung
 
Majalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISIS
Majalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISISMajalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISIS
Majalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISISBuku Islam
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiMarhamah Saleh
 
Nasikh wal mansukh
Nasikh wal mansukhNasikh wal mansukh
Nasikh wal mansukhDanialkmal
 
Makalah nasikh mansukh
Makalah nasikh mansukhMakalah nasikh mansukh
Makalah nasikh mansukhLutfi Widad
 
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratArif Arif
 
2.8.2012 konsep nasikh mansukh complete
2.8.2012   konsep nasikh mansukh complete2.8.2012   konsep nasikh mansukh complete
2.8.2012 konsep nasikh mansukh completeAngah Rahim
 
Kawin kontrak ppt
Kawin kontrak pptKawin kontrak ppt
Kawin kontrak pptzackzikran
 

Was ist angesagt? (20)

kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh
 kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh
kaitan antara fiqh & aqidah, sumber fiqh
 
Usul fiqh, nasakh.
Usul fiqh, nasakh.Usul fiqh, nasakh.
Usul fiqh, nasakh.
 
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf QordhowiINTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
INTERPRETASI HADIS muhammad al ghazali dan Yusuf Qordhowi
 
Ilmu nasikh mansukh
Ilmu nasikh mansukhIlmu nasikh mansukh
Ilmu nasikh mansukh
 
Makalah Fikih Munakahat tentang Dzihar
Makalah Fikih Munakahat tentang DziharMakalah Fikih Munakahat tentang Dzihar
Makalah Fikih Munakahat tentang Dzihar
 
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamPERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
 
Majalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISIS
Majalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISISMajalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISIS
Majalah Kiblat Edisi Dzulhijjah Mendadak ISIS
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
 
Nasikh wal mansukh
Nasikh wal mansukhNasikh wal mansukh
Nasikh wal mansukh
 
USULUDDIN STPM : ULUM AL QURAN NASIKH MANSUKH
USULUDDIN STPM : ULUM AL QURAN NASIKH MANSUKHUSULUDDIN STPM : ULUM AL QURAN NASIKH MANSUKH
USULUDDIN STPM : ULUM AL QURAN NASIKH MANSUKH
 
Fikih Mahar
Fikih  MaharFikih  Mahar
Fikih Mahar
 
Ikhbat
IkhbatIkhbat
Ikhbat
 
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa MansukhUlumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
 
Makalah nasikh mansukh
Makalah nasikh mansukhMakalah nasikh mansukh
Makalah nasikh mansukh
 
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
 
2.8.2012 konsep nasikh mansukh complete
2.8.2012   konsep nasikh mansukh complete2.8.2012   konsep nasikh mansukh complete
2.8.2012 konsep nasikh mansukh complete
 
Kawin kontrak ppt
Kawin kontrak pptKawin kontrak ppt
Kawin kontrak ppt
 
Kawin Kontrak
Kawin KontrakKawin Kontrak
Kawin Kontrak
 
MEMANFAATKAN POLIGAMI DI ERA MILENIAL: KAJIAN DALAM TAFSIR AL-MISBAH
MEMANFAATKAN POLIGAMI DI ERA MILENIAL: KAJIAN DALAM TAFSIR AL-MISBAHMEMANFAATKAN POLIGAMI DI ERA MILENIAL: KAJIAN DALAM TAFSIR AL-MISBAH
MEMANFAATKAN POLIGAMI DI ERA MILENIAL: KAJIAN DALAM TAFSIR AL-MISBAH
 
Antologi islam
Antologi islamAntologi islam
Antologi islam
 

Ähnlich wie 5 haries poligami indon

Ähnlich wie 5 haries poligami indon (20)

Makalah poligami
Makalah poligami Makalah poligami
Makalah poligami
 
Pandangan islam tentang nikah beda agama
Pandangan islam tentang nikah beda agamaPandangan islam tentang nikah beda agama
Pandangan islam tentang nikah beda agama
 
Poligami
PoligamiPoligami
Poligami
 
konsep-poligami-dalam-hukum-islam-hariyanti
konsep-poligami-dalam-hukum-islam-hariyantikonsep-poligami-dalam-hukum-islam-hariyanti
konsep-poligami-dalam-hukum-islam-hariyanti
 
Poligami dalam Islam: Opini
Poligami dalam Islam: OpiniPoligami dalam Islam: Opini
Poligami dalam Islam: Opini
 
Fiqih mawaris
Fiqih mawarisFiqih mawaris
Fiqih mawaris
 
Faraidh tawazun complete
Faraidh tawazun completeFaraidh tawazun complete
Faraidh tawazun complete
 
Power point msi
Power point msiPower point msi
Power point msi
 
LK- RESUME KB 2.pdf
LK- RESUME KB 2.pdfLK- RESUME KB 2.pdf
LK- RESUME KB 2.pdf
 
Kewarisan islam
Kewarisan islamKewarisan islam
Kewarisan islam
 
Waris menurut islam
Waris menurut islamWaris menurut islam
Waris menurut islam
 
Makalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agamaMakalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agama
 
Fenomena pernikahan beda agama
Fenomena pernikahan beda agamaFenomena pernikahan beda agama
Fenomena pernikahan beda agama
 
Perkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islamPerkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islam
 
Presentasi Fiqh Poligami
Presentasi Fiqh PoligamiPresentasi Fiqh Poligami
Presentasi Fiqh Poligami
 
Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawaris
 
Poligami
PoligamiPoligami
Poligami
 
Poligami
PoligamiPoligami
Poligami
 
Makalah poligami dan poliandri
Makalah poligami dan poliandriMakalah poligami dan poliandri
Makalah poligami dan poliandri
 
Pro dan Kontra UU Poligami
Pro dan Kontra UU PoligamiPro dan Kontra UU Poligami
Pro dan Kontra UU Poligami
 

5 haries poligami indon

  • 1. POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA Oleh: H. Akhmad Haries * Abstract: polygamy has become a polemic among Islamic jurists (fuqaha’) since the classical era of Islamic jurisprudence. The core polemic lies on the issue whether polygamy is permitted, prohibited or permitted with some requirements. This article is to analyze Ashgar Ali Engineer’s opinion on the legal status of polygamy. According to Ashgar, the al-Nisa chapter : 3 concerning about polygamous permissibility must be construed in the light of the al-Nisa chapter : 1 which concerns of doing justice to orphans. This understanding then suggest, Asghar further argue, the permissibility of polygamy is contextual in Islam. Thus, it is possible that its implementation in Muslim country is strictly limited as long as the context where Muslims live required so. Kata Kunci : Poligami, QS. Al-Nisa (4) : 3, ayat kontekstual Pendahuluan Salah satu masalah yang sejak dahulu sampai sekarang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak. Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami ini, yakni : Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi- kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain. Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.1 Hal ini sejalan dengan lahirnya Undang-undang Turki dan masyarakat Druze di Lebanon, * Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Syari’ah STAIN Samarinda. 1 Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h. 59-78.
  • 2. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….159 Tunisia dengan UU Keluarga, mereka melarang poligami secara mutlak, dan menghukum orang yang melanggar aturan berpoligami.2 Menariknya, ketiga kelompok ini dalam interpretasi mereka tentang poligami, sama-sama beranjak dari QS. an-Nisa’ (4): 3 dan 127-129. Agar pembahasan ini lebih terfokus, maka pembahasan poligami hanya akan dikaji berdasarkan pendapat kelompok kedua, itupun dikhususkan kepada pendapat Asghar Ali Engineer. Hal ini dilakukan karena selain Asghar Ali Engineer dikenal sebagai orang yang gigih dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan untuk menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam dan pandangannya yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu perlunya dikembangkan “teologi pembebasan Islam,” ia juga memiliki pandangan yang cukup liberal dalam menginterpretasikan suatu teks yang dianggap bias gender .3 Dalam kajian ini akan dibahas tentang pemahaman Asghar Ali Engineer terhadap QS. an-Nisa’ (4): 3. Pemahaman ini akan direlevansikan dengan konteks Indonesia, khususnya perundang- undangan perkawinan yang ada, agar dapat diteliti ulang, apakah perundang-undangan tersebut masih tetap relevan atau justru perlu perubahan karena adanya bias gender. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat Muslim adalah poligami. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami dalam pandangan Asghar Ali Engineer dan relevansinya dengan konteks Indonesia, berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu sepintas tentang makna dan dasar hukum tentang poligami. Sebagaimana dikemukakan banyak penulis, poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini, 2 Alasannya selain berdasarkan QS. al-Nisa yakni mustahil seorang suami dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Dalam UU Keluarga Tunisia bahawa seorang yang berpoligami sebelum perkawinannya bubar/cerai akan dihukum dengan hukuman penjara selama satu tahun penjara atau denda 240.000 malims atau keduanya. Lihat Dawoud El Alami dan Doreen Hinchliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The Arab Word (London, The Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996), h. 242. 3 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSPPA & CUSO, 1994), h. 30.
  • 3. 160 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 menjadi sah untuk mengatakan, bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.4 Namun, dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan empat atau bahkan lebih dari sembilan isteri.5 Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.6 Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur’an. Ayat yang sering menjadi rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah: adalah QS. Al-Nisa (4) :1-3 yang artinya: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. {QS. Al-Nisa(4): 1-3}. Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang Uhud. Sebagaimana dimaklumi, karena kecerobohan dan ketidakdisiplinan 4 Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad (Surabaya: Bintang Pelajar, 1986), h. 15. 5 Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Nisa(4): 3, sebagai dasar penetapan hukum poligami. Lihat Khoiruddin Nasution, Riba & Poligami: Sebuah Studiatas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 84. 6 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta: LKAJ-SP, 1999), h. 2.
  • 4. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….161 kaum Muslim dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah telak. Banyak prajurit Muslim yang gugur di medan perang. Dampak selanjutnya, jumlah janda dan anak-anak yatim dalam komunitas Muslim meningkat drastis. Tanggung jawab pemeliharaan anak-anak yatim itu tentu saja kemudian dilimpahkan kepada para walinya. Tidak semua anak yatim berada dalam kondisi papa dan miskin, di antara mereka ada yang mewarisi harta yang banyak, peninggalan mendiang orang tua mereka.7 Pada situasi dan kondisi yang disebutkan terakhir, muncul niat jahat di hati sebagian wali yang memelihara anak yatim. Dengan berbagai cara mereka berbuat culas dan curang terhadap anak yatim tersebut. Terhadap anak yatim yang kebetulan memiliki wajah yang cantik, para wali itu mengawini mereka, dan jika tidak cantik, mereka menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki lain yang melamarnya. Tujuan para wali menikahi anak yatim yang berada dalam kekuasaan mereka semata-mata agar harta anak yatim itu tidak beralih pada orang lain, melainkan jatuh ke dalam genggaman mereka sendiri, sehingga akibatnya tujuan luhur perkawinan tidak terwujud. Tidak sedikit anak yatim yang telah dinikahi oleh para wali mereka sendiri mengalami kesengsaraan akibat perlakuan tidak adil. Anak- anak yatim itu dikawini, tetapi hak-hak mereka sebagai isteri, seperti mahar dan nafkah tidak diberikan. Bahkan, harta mereka dirampas oleh suami mereka sendiri untuk menafkahi isteri-isteri mereka yang lain yang jumlahnya lebih dari batas kewajaran.8 Para mufassir sepakat bahwa sabab an-nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka.9 Biografi dan Aktivitas Keilmuan Ashgar Ali Engineer Ashgar Ali Engineer dilahirkan di Rajastan, dekat Udaipur, pada tanggal 10 Maret 1940 dalam keluarga yang berafiliasi ke Syi’ah Isma’iliyah. Adapun ayahnya bernama Sheikh Qurban Husain, dan ibunya bernama Maryam. Dalam hal ini, ayahnya merupakan seorang pemuka agama yang mengabdi kepada pemimpin keagamaan Bohra. Melalui ayahnya, Asghar Ali Engineer mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti teologi, tafsir, hadis dan fiqh. Bahkan ia juga pernah menempuh pendidikan formal dari tingkat dasar dan lanjutan pada sekolah yang berbeda-beda, seperti Hoshangabad, Wardha, Dewas dan Indore. Adapun pendidikan tingginya dimulai pada tahun 1956. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1962, ia berhasil menyelesaikannya dan 7 Ibid., h.32. 8 Ibid., h. 33. 9 Ibid.
  • 5. 162 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 akhirnya memperoleh gelar Doktor dalam bidang teknik sipil dari Vikram University, Ujjain (India).10 Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Arab, Urdu, Persia, Gujarat, Hindi dan Marathi. Dengan menguasai berbagai bahasa tersebut Asghar Ali Engineer mempelajari dan menekuni masalah-masalah agama. Ia mempelajari fiqh perbandingan yang meliputi empat mazhab sunni dan juga mazhab Syi’ah Isma’iliyah. Dia sangat membela pada hak- hak wanita dalam Islam dan mempelajari berbagai mazhab hukum serta berusaha mengambil putusan yang paling baik tentang wanita dari mazhab-mazhab tersebut dengan jalan talfiq. Bahkan dengan serius ia membaca tentang rasionalisme, baik yang berbahasa Urdu, Arab ataupun Inggris. Asghar Ali Engineer juga membaca tulisan- tulisan Niyaz Fatehpuri (seorang penulis berbahas Urdu yang terkenal dan pengkritik ortodoksi), Bertrand Russel (seorang filosof rasional asal Inggris), dan juga karya monumental Karl Marx, Das Capital. Asghar mengakui bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir ini. Sedangkan untuk tafsir al-Qur’an, dia membaca karya tokoh-tokoh Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (meninggal 1898) dan Maulana Abu al-Kalam (meninggal 1958). Engineer juga telah membaca hampir semua karya besar tentang Dakwah Fatimi yang ditulis oleh, antara lain, Sayedna Hatim, Sayedna Qadi Nu‘man, Sayedna Muayyad Sirazi, Sayedna Haminuddin Kirmani, Sayedna Hatim ar-Razi dan Sayedna Ja’far Mansur al-Yaman. Tak ketinggalan juga, Rasa’il Ikhwanus Safa, sebuah sintesis antara akal dan wahyu, turut serta membentuk wacana intelektual Asghar.11 Di samping sebagai pemikir, Asghar Ali Engineer juga adalah seorang aktifis sekaligus seorang Da‘i yang memimpin sekte Syi‘ah Isma‘iliyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay India. Untuk diakui sebagai Da‘i tidaklah mudah. Ia harus memenuhi 94 kualifikasi yang secara ringkasnya dibagi dalam empat kelompok. Pertama, kualifikasi-kualifikasi pendidikan. Kedua, kualifikasi-kualifikasi administratif. Ketiga, kualifikasi-kualifikasi moral. Keempat, kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.12 Bahkan yang lebih menarik lagi, di antara kualifikasi tersebut, seorang Da‘i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Baginya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi. 10 M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 7-8. 11 Ibid, h. 10-11. 12 Djohan Effendi, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, dalam kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993), h. Vii.
  • 6. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….163 Dengan memahami posisi Asghar Ali Engineer di atas, maka tidaklah mengherankan mangapa ia sangat vokal sekali dalam memperjuangkan dan menyuarakan pembebasan. Suatu tema yang menjadi ruh pada setiap karyanya, seperti hak asasi manusia, hak-hak wanita, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis, agama, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya, ia banyak terlibat bahkan memimpin organisasi yang memberikan banyak perhatian kepada upaya advokasi sosial. Meskipun harus bertentangan dengan generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, dan pro status qou. Hal ini terjadi ketika sekte Daudi Bohra dipimpin oleh Sayyidina Muhammad Burhanuddin yang dikenal sebagai Da‘i mutlak (absolute preacher).13 Sebagai seorang Da‘i mutlak, Burhanuddin mempunyai otoritas absolut dan bahkan ia beranggapan bahhwa kekuatan yang tersembunyi dari seorang Imam berasal dari Nabi dan Allah sehingga semua pengikut Bohra diharuskan tunduk kepadanya, kecuali jika ingin menghadapi penyiksaan. Melihat realita di atas, maka pada tahun 1972 ketika terjadi gerakan revolusi di Udaipur, Asghar Ali Engineer mulai terjun ke arena gerakan pembaharuan Bohra untuk menetang eksploitasi atas nama agama. Dia memimpin gerakan kaum reformis menentang apa yang mereka sebut sebagai otoritarianisme dan rigiditas pemimpin Bohra. Asghar Ali Engineer menyerukan perlunya tafsir liberal terhadap Islam yang dapat mengakomodasi hak-hak individu, martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Penentangan terhadap pemimpin Bohra tersebut bukan hanya mendapat reaksi keras, tetapi juga berakibat terjadinya beberapa kali usaha pembuhuhan. Di antaranya terjadi pada tanggal 8 Nopember 1977 di Calcutta dan di Heiderabad pada tanggal 26 Desember 1977. . Di samping aktifis, Asghar Ali Engineer juga mendirikan sebuah institut pada tahun 1980 yang terutama sekali memfokuskan pada dua bidang, yaitu : (1), kerukunan antar umat agama, (2), studi-studi wanita dari persfektif Islam. Karena kegigihan dan kesungguhan usahanya tersebut, Asghar Ali Engineer di anugerahi gelar kehormatan D. Lit. (Doctor of Literature) oleh Universitas Calcuta pada tahun 1993 atas jasa dan publikasinya di Communal Harmony and Interreligious Understanding yaitu di bidang kerukunan dan pemahaman antar agama. Bahkan, Asghar Ali Engineer juga memperoleh National Communal Harmony Award atas kerja kerasnya di Communal Harmony oleh National Foundation for Communal Harmony, pada tahun 1997 berkat perhatian yang besar dan partisipasinya dalam upaya pemecahan konflik yang diakibatkan oleh adanya pluralisme agama dan kelompok yang berbeda di India dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan berbagai penghargaan 13 M. Agus Nuryatno, Islam., h. 8
  • 7. 164 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 lainnya seperti Hakim Khan Sur Award oleh Maharana Mewar Foundation, Udaipur, Rajasthan. Adapun jabatan yang pernah ia pegang adalah Wakil Presiden pada People’s Union for Civil Liberties, Pemimpin Rikas Adhyayan Kendra (Centre for Development Studies), Pimpinan EKTA (Committee for Communal Harmonyi), Ketua Pendiri pada Centre for Study of Society and Secularism, Mantan Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, Sekretaris Umum pada Board of Dawoodi Bohra Community dan Convenor Asian Muslims’ Action Network (AMAN). Di samping aktif dalam organisasi, Asghar juga aktif dalam akademik pendidikan. Ia pernah memberikan kuliah di universitas diberbagai negara seperti, Amerika, Kanada, Inggris, Swiss, Thailand, Malaysia, Indonesia, Sri Langka, Pakistan, Yaman, Mesir, Hongkong dan lain-lainnya.14 Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih kapasitasnya sebagai Directur of Islamic Studies di Bombay, dan mantan anggota Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, di India, Asghar sangat rajin dalam menuangkan ide-ide pemikirannya di berbagai forum ilmiah baik dalam seminar, perkuliahan, lokakarya, maupun simposium di berbagai negara. Bahkan dalam mensosialisasikan pemikirannya, Asghar Ali Engineer aktif menulis maupun sebagai penyunting di berbagai penerbitan. Sehingga tidak lebih dari 38 buku yang telah ia terbitkan. Pandangan Asghar Ali Engineer tentang Poligami Seperti dicatat sebelumnya di bagian pendahuluan, mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan modern membolehkan poligami dengan syarat dan dalam kondisi tertentu. Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah Asghar Ali Engineer. Ali Engineer berpendapat bahwa untuk memahami konteks ayat QS. Al-Nisa (4);3, yang biasa dijadikan dasar poligami, perlu lebih dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya.15 Ayat al-Nisa (4):1 berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan dari sumber yang sama. Karena itu, ayat ini memberikan gambaran kesetaraan kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Al-Nisa (4):2 mendesak Muslim agar memberi harta anak yatim yang menjadi warisannya tidak mengganggu untuk kepentingan wali. Sementara al- Nisa (40):3 berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan “dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada 14 Adapun mengenai biodata aktifitas organisasi dan kegiatan akademik pendidikan Asghar Ali Engineer secara lengkap dapat ditemukan dalam halaman akhir dari buku Hak-hak Perempuan dalam Islam yang dimuat oleh editor LSPPA. 15 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, h. 30
  • 8. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….165 anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orang- orang yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat yang tidak semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin. Maka al-Qur’an memperbaiki perilaku yang salah tersebut.16 Sebagai tambahan, Aisyah dalam Sahih Muslim memahami ayat ini, bahwa jika para pemelihara anak (perempuan) yatim khawatir dengan mengawini perempuan lain. Karena itu, ayat ini bukan merujuk pada satu hal yang umum, tetapi terhadap satu konteks, bahwa keadilan terhadap anak-anak yatim lebih sentral daripada masalah poligami.17 Konteks lain tambah Asghar Ali Engineer, ayat ini turun setelah selesai perang Uhud, ketika dalam perang ini 70 dari 700 laki-laki wafat. Akibatnya banyak perempuan muslimah yang menjadi janda dan anak yatim, yang harus dipelihara. Maka menurut konteks sosial ketika itu jalan terbaik untuk memelihara, dengan syarat harus adil. Konteks pemeliharaan dan penjagaan janda ini didukung dengan hadis Nabi, yang pernah bersabda, “seorang yang bekerja keras untuk menafkahi para janda adalah seperti orang yang membiayai perang jihad atau orang-orang yang secara terus menerus menunaikan shalat pada waktu malam dan melakukan puasa pada waktu siang”.18 Karena itu, pemahaman terhadap al-Nisa (4):3, bahwa menikahi janda dan anak-anak Yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk kepuasan seks. Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya. Poligami Dalam Perundang-undangan Di Indonesia Masalah poligami di Indonesia, diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 berbunyi : (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan. Pasal 4 berbunyi : 16 Ibid., h. 142. 17 Ibid., h. 143. 18 Ibid., h. 146.
  • 9. 166 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan Pasal 5 berbunyi : (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri- isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.19 Dalam Inpres No. 1/1991, masalah poligami diatur pada pasal 55, 56, 57, 58, dan 59. Pasal 55 berbunyi : (1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri. (2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. 19 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 117-118
  • 10. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….167 Pasal 56 berbunyi : (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 berbunyi : Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 berbunyi : (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang- undang No. 1 Tahun 1974 yaitu : a. adanya persetujuan isteri b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali pun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada siding Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 berbunyi : Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alas an yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
  • 11. 168 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan.20 Pandangan Asghar Ali Engineer tentang Poligami dan Relevansinya dengan Konteks Indonesia Kalau pemahaman Asghar Ali Engineer ini direlevansikan dengan konteks Indonesia, secara historis masalah poligami sebelumnya telah marak dibicarakan, jauh sebelum UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjadi undang-undang. Pada akhirnya monogami ditetapkan menjadi salah satu azas tetapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan bagi seorang suami beristeri lebih dari seorang. Masuk dalam pengecualian tersebut adalah orang yang beragama Islam, karena secara normatif tekstual al-Qur’an dianggap membolehkan poligami. Syarat alternatif yang mengandaikan kebolehan melakukan poligami pada mulanya ditujukan untuk melindungi perempuan dari tindakan poligami yang sewenang-wenang. Namun demikian, karena perspektif yang digunakan sarat dengan bias gender, dan tanpa memperhatikan suara perempuan yang dipoligami itu sendiri, maka hasil ketentuan-ketentuan tersebut justru merugikan perempuan. Syarat-syarat yang ditentukan hanya dibebankan kepada perempuan sebagai isteri, baik yang berkaitan dengan ketidakmampuan menjalankan kewajiban, cacat badan maupun sakit seolah hanya dapat terjadi pada perempuan.21 Bagaimana jika laki-laki atau suami yang tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat badan atau sakit? Hal ini tidak terjamah dalam undang-undang. Bagaimana pula jika isteri dalam kondisi yang lemah baik secara ekonomi maupun ekonomi non- ekonomi sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menyatakan ketidaksetujuan untuk dipoligami? Meskipun persetujuan dari isteri menjadi salah satu ketentuan, undang-undang tidak memberikan kepastian dan jaminan terhadap hak dan kebebasan perempuan dalam memberikan persetujuan atau penolakan. Dengan demikian, beberapa alasan yang ditentukan UU pada prinsipnya bertentangan dengan konsep merawat cinta kasih antara suami isteri dalam keluarga. keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah mengandaikan kesediaan kedua belah pihakuntuk saling menghargai, menghormati dan menerima kelebihan sekaligus kelemahan masing-masing. Jika kekurangan fisik baik pada laki-laki maupun perempuan dianggap sebagai kelemahan maka seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengahdirkan perempuan atau pihak lain 20 Ibid., h.176-177. 21 UU No. 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2. Lihat Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000), h. 118.
  • 12. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….169 untuk menutupi kekurangan tersebut. Terlebih jika isteri menderita karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka tidak manusiawi jika suami justru menduakan dengan mengawini perempuan lain demi kepentingan suami sendiri. Sama halnya dengan kekurangan isteri karena tidak dapat melahirkan keturunan. Kondisi semacam ini tidak hanya menjadi persoalan suami tetapi juga menjadi kekecewaan isteri, dan tidak adil jika kekecewaan tersebut diselesaikan dengan menambah beban isteri karena dipoligami. Alasan lain yang tidak diatur dalam UU sering dijadikan dasar melakukan poligam adalah asumsi bahwa angka statistik menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Beberapa penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perempuan yang lanjut usia lebih banyak dari laki-laki usia lanjut. Salah satu penyebabnya adalah usia harapan hidup perempuan Indonesia lebih panjang daripada laki- laki. Fenomena ini disebabkan antara lain karena daya tahan tubuh perempaun pada umumnya lebih baik. Kondisi demikian menyebabkan banyak perempuan yang bertahan hidup di atas usia 60 tahun dibanding laki-laki.22 Dengan demikian kelebihan jumlah perempuan terjadi di usia lanjut dan jika alasan poligami adalah menolong perenmpuan maka seharusnya poligami dilakukan dengan para “manula” tersebut. Dalam realitas kehidupan yang dialami perempuan, seperti yang tampak dalam data-data mengenai kasus kekerasan terhadap isteri dalam bentuk poligami yang masuk di Rifka Annisa Women Crisis Center tahun 2000, perempuan bahkan tidak terjamah dalam UU. Data di Rifka Annisa menunjukkan bahwa 62% dari kasus poligami yang masuk pada tahun 2002 adalah poligami sirri dan hanya 38% kasus poligami yang dilakukan secara resmi. Sementara itu, data yang ada menunjukkan bahwa 75% dari 90 kasus kekerasan terhadap isteri yang ada, solusi yang dipilih adalah cerai.23 Perceraian yang diakibatkan oleh poligami seperti ini tidak diakomodir dan tidak mendapatkan jaminan undang-undang. Sebagai gambaran tercatat bahwa sampai bulan Oktober tahun 1999 terdapat 40 kasus kekerasan (yang terungkap) dalam rumah tangga dan hanya 38 kaus yang masuk ke Pengadilan.24 Dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk di Rifka Annisa Women Crisis Center mengenai kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta pada tahun 2000, 225 diantaranya dialami 22 Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan kualitatif (Jakarta: P3M, 1999), h. 33. 23 Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan Januari-Desember 2000 di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Sumber Divisi Litbang RAWCC Yogyakarta. 24 Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jakarta: P3M, 1999), h. 8.
  • 13. 170 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 oleh isteri.25 92 kasus adalah kekerasan dalam pacaran, 28 kasus pelecahan seksual, 25 kasus perkosaan, dan 12 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Total kasus yang masuk dari tahun 1994 sampai 2000 sebanyak 1309 kasus dengan rincian sebagai berikut: kekerasan terhadap isteri sejumlah 820 kasus, kekerasan dalam pacaran sejumlah 294 kasus, perkosaan 85 kasus, pelecehan seksual 68 kasus dan kekerasan dalam keluarga dan kehamilan yang tidak dikehendaki sejumlah 42 kasus. Penutup Dari berbagai paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa: Menurut Asghar Ali Engineer bahwa untuk memahami konteks ayat QS. Al-Nisa (4);3, yang biasa dijadikan dasar poligami, perlu lebih dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya. Ayat al-Nisa (4):1-3 pada ayat yang ketiga ini berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan “dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orang-orang yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat yang tidak semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin. Maka al-Qur’an memperbaiki perilaku yang salah tersebut. bahwa menikahi janda dan anak-anak Yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk kepuasan seks. Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya. Ketentuan hukum di Indonesia yang disusun tanpa memperhatikan kepentingan dan hak asasi perempuan sebagai individu yang otonom, yang menjadi subjek dari hukum yang berkaitan dengan diri dan kehidupannya, menjadi embrio lahirnya berbagai ketidakadilan terhadap perempuan baik secara psikis maupun ekonomis. Perempuan-perempuan yang mengalami poligami baik poligami resmi apalagi sirri, sangat rentan mengalami ketidakadilan. Lemahnya posisi mereka yang dipoligami selanjutnya berdampak pada pola ketergantungan, subordinasi dan marginalisasi perempuan terhadap laki-laki, baik dalam bidang ekonomi, pengambilan keputusan (dalam) keluarga maupun yang lainnya. 25 Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka Annisa WCC, Periode Tahun 1994-2000.
  • 14. H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….171 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim. Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Assegaf, Cici Farkha, Yogyakarta: LSPPA & CUSO, 1994. Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000. Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka Annisa WCC, Periode Tahun 1994-2000. Effendi, Djohan, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, dalam kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I, Yogyakarta: Lkis, 1993. El Alami, Dawoud dan Hinchliffe, Doreen, Islamic Marriage and Divorce Laws of The Arab Word, London, The Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996. Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: P3M, 1999. Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan Januari-Desember 2000 di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Sumber Divisi Litbang RAWCC Yogyakarta. Hasyim, Syafiq, Poligami dan Keadilan kualitatif, Jakarta: P3M, 1999. Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad, Surabaya: Bintang Pelajar, 1986. Mulia, Musdah, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: LKAJ- SP, 1999. Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002. ----------, Riba & Poligami: Sebuah Studiatas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Nuryatno, M. Agus, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 7-8.
  • 15. This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.