1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umumnya negara-negara di dunia memiliki kecenderungan kepada anak
laki-laki termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan anak laki-laki mempunyai nilai
lebih karena berkaitan dengan nilai-nilai kejantanan yang dijunjung tinggi
(Singarimbun, 1990 dalam Al-khusyairi, 2006). Namun diantara suku bangsa di
Indonesia suku Minangkabaulah yang lemah terhadap preferensi anak laki-laki.
Mely Tan dan Budy Soeradji dalam Singarimbun (1990) melakukan penelitian
dengan membandingkan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang
diinginkan pada lima suku bangsa Indonesia yaitu Jawa, Sunda, Batak,
Minangkabau, dan Cina. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa preferensi
terhadap anak laki-laki sangat kuat pada suku-suku tersebut kecuali suku
Minangkabau (Al-khusyairi, 2006). Dengan arti lain suku Minangkabau memiliki
preferensi terhadap anak perempuan.
Indikasi preferensi terhadap anak perempuan ini juga didukung oleh
pernyataan Tanius (1975) bahwa di Minangkabau terjadi permasalahan dalam
Program Keluarga Berencana yaitu kecenderungan orang-orang Minangkabau
untuk mempunyai anak perempuan dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini sangat
berbeda dengan kecenderungan Program Keluarga Berencana yang menganjurkan
jumlah anak perempuan yang relatif sedikit bahkan kalau bisa hanya satu. Hal ini
dikarenakan masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal seperti yang
dinyatakan oleh Nauly (tesis, 2002) bahwa suku Minangkabau sebagai suku yang
1
2. menganut matrilineal menempatkan perempuan pada posisi yang lebih tinggi
dibandingkan suku yang menganut sistem patrilineal (suku Batak), dan bilateral
(misal suku Jawa).
Sistem matrilineal berarti sistem kekerabatannya berdasarkan garis
keturunan ibu. Matrilineal sebagai budaya masyarakat Minangkabau mempunyai
pengaruh yang sangat kuat dalam lingkungan masyarakat Minangkabau. Dalam
konteks masyarakat matrilineal Minangkabau, Nancy Tanner dalam tulisannya
Rethinking Matriliny: Decision-Making and Sex Roles in Minangkabau (1985)
dalam artikel Budaya Minangkabau (Afif, 2009), menyebutkan peran penting
perempuan dalam bidang ekonomi, pengambilan keputusan di masyarakat, dan
pola kekuatan ikatan antara saudara peremuan.
Dalam arti lain implikasi dari prinsip-prinsip matrilineal ini adalah
perempuan mempunyai status yang istimewa dan dapat memainkan peranan yang
cukup signifikan dalam komunitas Minangkabau. Diantara peranan-peranan
penting tersebut meliputi peranan sebagai penerus keturunan, pemilik harta
warisan dan `manajer` keluarga mereka masing-masing. Kaum perempuan
Minangkabau juga turut memainkan peran dalam menentukan sukses dan
gagalnya pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam
posisi mereka sebagai mamak (paman dari pihak ibu), dan penghulu (kepala
suku).
Melihat sangat pentingnya keberadaan perempuan dalam sebuah keluarga
di Minangkabau maka muncul kecenderungan dalam satu keluarga minimal
mempunyai satu anak perempuan karena mempunyai anak perempuan merupakan
salah satu modal mewariskan adat dan budaya. Namun pada masyarakat
2
3. Minangkabau mempunyai anak perempuan juga berarti harus siap menanggung
biaya penjemputan mempelai laki-laki jika si anak menikah nanti hingga
membiayai seluruh acara resepsi pernikahan. Walaupun menanggung beban
seperti itu orangtua dari anak perempuan cenderung puas dengan adanya pesta
untuk anak perempuannya tersebut. Mempunyai anak perempuan juga merupakan
suatu kebanggaan dan kepuasan. Pada kebanyakan orang dapat terlihat pola
bahwa mereka cenderung akan menambah jumlah anak hingga mendapatkan satu
anak laki-laki karena ia hanya mempunyai anak perempuan saja atau menambah
jumlah anak hingga mendapatkan satu anak perempuan karena ia hanya
mempunyai anak laki-laki saja (Hank dan Kohler, 2000).
Namun beberapa tahun terakhir ini posisi perempuan dalam ekonomi
pembangunan tidak menggembirakan karena posisinya tidak sekuat jika
perempuan dipandang secara adat. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan publikasi
BPS Sumatera Barat (2010) yaitu tingkat pengangguran perempuan sebesar
12,21% dari seluruh angkatan kerja perempuan lebih besar daripada tingkat
pengangguran laki-laki yang hanya 9,08% dari seluruh angkatan kerja laki-laki.
Kontribusi yang diberikan perempuanpun dalam pembangunan tidak terlalu
banyak yaitu jumlah angkatan kerja perempuan sebesar 864.677 lebih kecil
daripada laki-laki (1.307.325) pada Agustus 2009, walaupun pada perkembangan
dari tahun ke tahun telah mengalami peningkatan (829.402 pada Agustus 2007,
846.540 pada Agustus 2008, dan 864.677 pada Agustus 2009).
Beberapa fakta lain yang dapat kita lihat dari pendidikan dan pekerjaan
perempuan yaitu perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi dan bekerja lebih
sedikit dari laki-laki. Seperti untuk pendidikan S1 dan bekerja terdapat 5,02%
3
4. perempuan dari seluruh perempuan yang bekerja atau sekitar 47,86% dari seluruh
orang yang bekerja dan berpendidikan S1 pada tahun 2008 di Sumatera Barat
(Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat). Sedangkan untuk tingkat
pendidikannya berdasarkan hasil SUPAS Sumatera Barat ( 2005) dapat dilihat
dari penduduk yang berusia 5 tahun keatas yang masih sekolah dimana persentase
perempuan (24,18% ) juga lebih kecil daripada laki-laki (24,56%). Hal ini berarti
partisipasi laki-laki masih lebih besar juga tergambar di Sumatera Barat.
Hal lain yang mengkhawatirkan mengenai posisi perempuan di
Minangkabau adalah isu mengenai lunturnya sistem matrilineal yang terdapat di
media massa. Tulisan-tulisan itu antara lain “Pudarnya Matrilineal di Ranah
Minang” (Media Indonesia, 2008) dan “Waspada, Budaya Minang Bisa Luntur!”
(Kompas, 2008). Jika sistem matrilineal sudah luntur maka budaya khas
Minangkabau tentu tidak ada lagi. Dalam arti lain kedudukan perempuan juga
tidak berperan penting dan istimewa lagi di Minangkabau.
Gambaran yang dipaparkan diatas mengindikasikan kedudukan perempuan
di Minangkabau lebih rendah dalam bidang pendidikan daripada laki-laki. Pola
seperti ini memungkinkan orangtua lebih cenderung memilih anak laki-laki. Lalu
bagaimana dengan masyarakat Minangkabau? Apakah mereka masih
berpreferensi terhadap anak perempuan atau tidak? Dengan gambaran seperti
apakah masyarakat Minangkabau mempunyai kecenderungan untuk anak
perempuan? Sehingga hal inilah yang menjadi perhatian penulis untuk melakukan
penelitian tentang preferensi anak perempuan pada masyarakat Minangkabau serta
faktor-faktor yang memengaruhinya.
4
5. 1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah
Eksistensi sistem matrilineal pada masyarakat Minangkabau sangat
menguatkan posisi perempuan dalam masyarakat. Namun secara fisik perempuan
dianggap lebih lemah daripada laki-laki sehingga banyak orang tua di tempat-
tempat lain lebih cenderung memiliki keinginan mempunyai anak laki-laki
sebagai pendukung di masa tua dan mempunyai nilai lebih daripada perempuan.
Pada realitasnya keberadaan perempuan di masyarakat Minangkabau
sungguh berbeda tapi bukan berarti peran gender perempuan menggantikan laki-
laki melainkan status sosial mereka di masyarakat yang mengharuskan garis
keturunan dari ibu, pemegang harta pusaka, penghuni Rumah Gadang, dan ikut
andil dalam penentuan keputusan yang diambil oleh segolongan kaumlah yang
membuat mereka mempunyai posisi yang tinggi dalam adat.
Oleh karena itu, keinginan orang tua untuk memiliki anak perempuan pada
masyarakat Minangkabau diduga sangat kuat. Hal ini sangat dimungkinkan karena
preferensi anak laki-laki pada masyarakat Minangkabau tidak berpengaruh kuat
seperti halnya dengan masyarakat Batak, Sunda, dan Jawa.
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi preferensi anak perempuan.
Menurut Syarif, dkk (2007) terdapat faktor sosio-ekonomi, demografi, dan budaya
yang memengaruhi preferensi terhadap anak pada studi di Pakistan. Sedangkan
pada tulisan ini penulis membatasi faktor-faktor yang memengaruhi preferensi
terhadap anak perempuan. Faktor sosial-demografi terdiri dari jenis kelamin,
pendidikan, umur perkawinan pertama, lama perkawinan, adanya akses informasi,
pengalaman tinggal di wilayah perkotaan. Jumlah anak, penentu perkawinan,
struktur keluarga, dan eksistensi sistem matrilineal mewakili faktor kebudayaan.
5
6. Sedangkan faktor ekonomi terdiri dari jenis pekerjaan dan pendapatanperkapita
perbulan.
Penelitian ini dilakukan di wilayah pedesaan karena untuk melihat suatu
perubahan dapat dilakukan dari level yang paling rendah selain itu dikhawatirkan
bahwa di daerah perkotaan sudah terkontaminasi oleh pengaruh modernisasi.
Penelitian ini dilakukan di Kampung Dalam Nagari Campago Kecamatan V Koto
Kampung Dalam. Kecamatan V Koto Kampung Dalam dipilih dalam penelitian
ini karena wilayah ini mempunyai luas 61,41km2 yang terletak di sebelah barat
tidak jauh dari kota Pariaman. Kecamatan ini juga memiliki jumlah wanita lebih
banyak daripada laki-laki tapi mengalami penurunan dari tahun 2008-2010 yang
dapat dilihat dari sex ratio (90,84 pada tahun 2008; 90,89 pada tahun 2009; dan
99,23 pada tahun 2010).
Kecamatan V Koto Kampung Dalam mempunyai 2 nagari yaitu Campago
dan Sikucur. Nagari yang menjadi tempat penelitian adalah Nagari Campago.
Pemilihan Nagari Campago dibanding Sikucur karena Nagari Campago
merupakan pusat ibu kota kecamatan. Dan Korong Kampung Dalam dipilih
karena wilayah ini merupakan ibu kecamatannya dan wilayah ini paling padat
yaitu sebanyak 1,624 jiwa per km2 ( Kecamatan V Koto Kampung Dalam Dalam
Angka Tahun 2010).
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi dan batasan masalah diatas, maka
pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
7. 1. Bagaimana gambaran umum masyarakat Kampung Dalam berdasarkan
karakteristik dalam faktor sosial-demografi, ekonomi, dan budaya-
norma masyarakat?
2. Bagaimana gambaran umum dari masyarakat Kampung Dalam yang
memiliki preferensi terhadap anak perempuan?
3. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dan memengaruhi preferensi
terhadap anak perempuan pada masyarakat Kampung Dalam?
4. Berapa besarnya kecenderungan dari faktor-faktor tersebut terhadap
preferensi anak perempuan pada masyarakat Kampung Dalam?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui gambaran umum masyarakat Kampung Dalam
berdasarkan karakteristik dalam faktor sosial-demografi, ekonomi, dan
budaya-norma masyarakat
2. Untuk mengetahui gambaran umum dari masyarakat Kampung Dalam
yang memiliki preferensi terhadap anak perempuan
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dan memengaruhi
preferensi terhadap anak perempuan pada masyarakat Kampung Dalam
4. Untuk mengetahui besarnya kecenderungan dari faktor-faktor yang
signifikan dalam preferensi terhadap anak perempuan pada masyarakat
Kampung Dalam.
7
8. 1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Menambah referensi bagi penelitian-penelitian untuk perkembangan
ilmu pengetahuan bahwa ada daerah yang mempunyai preferensi
terhadap anak perempuan di Indonesia
2. Bagi BPS, tulisan ini dapat bermanfaat dalam mengamati kebudayaan
pada daerah Minangkabau dan selanjutnya dapat melakukan analisis
gender tersendiri pada daerah tersebut
3. Dapat menambah pengetahuan masyarakat di luar daerah Minangkabau
bahwa ada daerah yang memiliki sistem kebudayaan yang berbeda dan
untuk masyarakat Minangkabau tersebut dapat mengetahui besarnya
pengaruh sistem matrilineal dalam kehidupan bermasyarakat dan
pengambilan keputusan.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan ini ditulis dalam suatu sistematika yang terdiri dari lima bab
yang saling berhubungan, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN, bab ini terdiri dari latar belakang, identifikasi
dan batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR, bab ini terdiri
dari kajian teori, penelitian terkait, kerangka pikir, dan hipotesis
penelitian yang digunakan dalam penelitian.
8
9. BAB III METODOLOGI, bab ini terdiri dari ruang lingkup penelitian,
metode pengumpulan data, dan metode analisis.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, bab ini menerangkan tentang
hasil yang diperoleh melalui analisis yang digunakan secara rinci
dan jelas beserta interpretasinya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, bab ini berisi tentang kesimpulan
yang didapat oleh penulis berdasarkan hasil yang dipaparkan pada
bab IV beserta terdapat saran yang berisi bagi pihak-pihak tertentu
dan dapat pula dijadikan pertimbangan dalam rangka pengambilan
keputusan selanjutnya atau menjadi dasar bagi penelitian lanjutan
dari penelitian ini.
9
10. BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1 Kajian Teori
Masyarakat
Menurut Supriyanto (2009) masyarakat adalah golongan besar atau kecil
terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara
golongan dan pengaruh memengaruhi satu sama lain. Sedangkan menurut Ahmadi
(2003) pendefinisian masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup dalam
suatu daerah tertentu, yang telah cukup lama, dan mempunyai aturan-aturan yang
mengatur mereka untuk menuju kepada tujuan yang sama.
Masyarakat ini terbentuk atas beberapa hal yang melatarbelakanginya.
Menurut Santosa (2009) latar belakang timbulnya suatu kelompok masyarakat
adalah:
1. Adanya suatu interaksi antar anggota atau individu didalamnya
2. Adanya norma sosial manusia di dalam masyarakat, diantaranya
kebudayaan masyarakat sebagai suatu ketergantungan yang normatif,
norma kemasyarakatan yang historis, perbedaan sosial budaya antara
lembaga kemasyarakatan dan organisasi sosial
3. Adanya ketergantungan antara kebudayaan dan masyarakat yang bersifat
normatif. Demikian juga norma yang ada dalam masyarakat akan
memberikan batas-batas pada kelakuan anggotanya dan dapat berfungsi
sebagai pedoman bagi kelompok untuk menyumbangkan sikap
kebersamaannya dimana mereka berada.
10
11. Intinya keberadaan individu dalam masyarakat tidak luput dari norma-
norma, aturan-aturan bahkan adat istiadat dari daerah dimana mereka hidup dalam
lingkungannya. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa keberadaan individu-individu
lain yang membentuk masyarakat itu sendiri akan memengaruhi kehidupan
individu tersebut. Tindakan-tindakan yang diambil oleh individu (seseorang) tentu
akan dipengaruhi pula oleh keberadaannya dalam masyarakat karena mereka
hidup bersama-sama dan saling memandang kewajiban dan hak.
Dalam suatu teori Determinasi Struktural dinyatakan bahwa dalam melihat
kegiatan manusia lebih berhati-hati dan sistematis dalam memperhatikan kaitan
sosial dan kulturalnya serta kaitan lingkungan pada umumnya dibandingkan
dengan teori Pilihan Rasional yang menitikberatkan suatu pilihan dan keputusan
kepada selera dan kecenderungan individu itu sendiri (Tom, 1987).
Hal tersebut memperkuat bahwa manusia dalam pengambilan
keputusannya sangat dipengaruhi apa dan bagaimana pandangan orang lain
dimana tempat ia bermasyarakat. Pengambilan keputusan itu juga memengaruhi
preferensi masyarakat dalam segala hal termasuk preferensi terhadap jenis
kelamin anak dimana mereka mempedomani norma-norma yang berlaku.
Sistem Matrilineal dan Perempuan dalam Masyarakat Minangkabau
Menurut Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sumatera Barat) dalam bukunya
Adat dan Budaya Minangkabau (2010) sistem matrilineal adalah sistem yang
mengatur kehidupan dan ketertiban suattu masyarakat yang terikat dalam suatu
jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan
merupakan klan dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya
11
12. kedalam klannya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena
itu, jika ada warisan atau pusaka maka akan diturunkan menurut garis ibu.
Di Minangkabau, sistem matrilineal tidak sekedar mengambil garis
keturunan ibu, tetapi lebih luas daripada itu. Matrilineal merupakan sistem
kemasyarakatan yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat
Minangkabau seperti aspek sosial, politik, ekonomi, dan hukum (Saanin, 1982).
Nancy Tanner dalam tulisannya Rethinking Matriliny: Decision-Making
and Sex Roles in Minangkabau (1985) dalam artikel Budaya Minangkabau (Afif,
2009), menyebutkan sejumlah ciri struktural yang eksis dalam masyarakat
Minangkabau
“Pertama, secara struktural wanita memainkan peran penting dalam
kegiatan ekonomi, karena sebagian besar kegiatan pertanian dilakukan wanita,
dari proses produksi sampai distribusi (menjual hasil pertanian di pasar). Kedua,
wanita berpartisipasi secara luas dalam pengambilan keputusan. Dan ketiga, pola
kediaman bersifat uksorilokal (anak perempuan yang sudah menikah tetap tinggal
bersama orangtua dan saudara perempuan lainnya) meningkatkan ikatan antara
sanak saudara perempuan. Mereka ini merupakan inti struktural dari kaum kerabat
Minangkabau. Selain itu, gagasan budaya mengenai ibu juga membuktikan
matriokalitas masyarakat Minangkabau bahwa seorang ibu dipersepsi sebagai
piihak yang kuat, bijaksana, dan memberi makan kepada anaknya. Dengan
demikian, kedudukan laki-laki sebagai suami bersifat marginal, baik dalam arti
struktural maupun kediaman. Tidak ada harta benda dan rumah bagi laki-laki
Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau kaum laki-laki diibaratkan “bak
12
13. pipik jantan indak basarang, pauni suduik rumah urang” (ibarat burung tidak
mempunyai sangkar, tinggal di sudut-sudut rumah orang).”
Perempuan menempati posisi yang istimewa pada sistem ini. Dalam hal
pewarisan sako dan pusako ia akan mudah mendapatkan haknya tanpa harus
melalui sebuah prosedur begitu pula dengan kewajibannya, karena semua harta
adalah milik perempuan sedangkan laki-laki hanya diberi hak untuk mengatur dan
mempertahankannya. Menurut Beckmann (2000) harta pusako diwariskan pada
kelompok ego (kelompok kaum perempuan pada sistem matrilineal). Harta
warisan dari kelompok persetalian darah akan jatuh pada perempuan walaupun
dalam penentuannya diperlukan keputusan dari mamak dan musyawarah kaum itu
sendiri. Ia mengungkapkan dalam bukunya bahwa keberadaan perempuan dalam
sistem matrilineal itu dianggap istimewa karena jika tidak ada lagi keturunan
peremuan lainnya maka harto pusako tidak akan dengan mudah jatuh pada
keluarga tersebut karena sang pewaris (perempuan) tidak ada. Harta dari sang ibu
juga harus melalui pertimbangan kaum dalam pembagiannya terhadap anak laki-
laki.
Dalam sistem matrilineal ini perempuan tidak harus lagi melakukan
perjuangan gender seperti yang ada di daerah lain karena sistem ini sudah
menyediakan semuanya bagi perempuan. Ciri sistem matrilineal ini terus
dipertahankan sampai sekarang bahkan cenderung disempurnakan seiring
penyempurnaan adat. Pada sistem ini harta yang turun temurun adalah harta
bersama/kaum yang diwariskan menurut garis ibu. Adat istiadat ini sudah
berlangsung lama namun tetap bertahan meskipun sistem patrilineal juga
diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain.
13
14. Sistem matrilineal tidak hanya menjadi aturan semata, tetapi telah menjadi
suatu budaya, way of life (Kasim, 2010). Sampai sekarang setiap laki-laki Minang
cenderung menyerahkan harta pusaka atau warisan dari hasil pencahariannya
sendiri kepada anak perempuannya. Setelah mendapat warisan anak perempuan
itu juga nantinya akan menyerahkan kepada anak perempuannya dan begitu
seterusnya.
Perempuan dan pewarisan harta pusaka memang tidak bisa dipisahkan
dalam sistem matrilineal. Perempuan memang istimewa dalam sistem matrilineal
namun ini tidak berarti keberadaan laki-laki dianggap lebih rendah daripada
perempuan di Minangkabau. Hal ini ditunjukkan oleh nilai egaliter dan
kebersamaan yang dijunjung oleh masyarakat Minangkabau. Ungkapan nilai
kebersamaan ini adalah “duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama
rendah, berdiri sama tingginya). Namun fungsi perempuan dan laki-laki berbeda.
Perempuan dalam suatu kaum diperkenankan untuk mempunyai hak milik dari
harta pusaka dan laki-laki memiliki hak pakai. Selain itu laki-laki dalam kaum
juga mempunyai kewajiban membimbing keponakan-keponakannya dari saudara
perempuannya.
Dalam Minangkabau perempuan juga yang dikenal dengan sebutan Bundo
Kanduang. Pengertian Bundo Kanduang merujuk kepada perempuan utama dalam
suatu kaum atau ibu kandung sendiri. Bundo Kanduang dalam arti perempuan
utama adalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam kaum. Dia berada diatas
penghulu sebagai pemimpin adat. Dia juga melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap apa yang dilakukan penghulu.
14
15. Dewasa ini wanita sering menuntut hak untuk penyamarataan derajat
dengan laki-laki atau sering disebut dengan emansipasi wanita. Namun di
Minangkabau emansipasi wanita sudah terwujud dari dulu. Perempuan pada masa
tradisional di Minangkabau sudah dapat dikatakan melakukan modernisasi karena
mereka diakui keberadaannya jika dilakukan permusyawarahan. Mereka sanggup
dan berani berpikir terbalik dari pemikiran lama dan memberikan kemungkinan
lain. Hal ini mungkin diakibatkan dari ciri khas sikap hidup perempuan
Minangkabau terbuka dan selalu berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya.
Preferensi Terhadap Anak
Preferensi berasal dari bahasa Inggris preference yaitu a greater liking for
one alternative over another or others, a thing preferred, favour shown to one
person or thing over another or others, law a prior right or precedence especially
in connection with the payment of debts (Oxford Dictionaries Online, 2001) yang
berarti keinginan yang besar untuk menyukai sesuatu melebihi alternatif-alternatif
lainnya, sesuatu yang lebih diminati, pilihan terhadap seseorang atau benda
melebihi yang lainnya, hak yang lebih dahulu atau yang diutamakan terutama
yang berhubungan dengan pembayaran utang. Preferensi juga berarti (hak untuk)
didahulukan dan diutamakan daripada yang lain, prioritas, pilihan,
kecenderungan, kesukaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan,
2008). Jadi preferensi terhadap anak perempuan adalah kecenderungan seseorang
untuk lebih memilih mempunyai anak perempuan daripada laki-laki.
Banyak penelitian mengenai preferensi terhadap jenis kelamin anak di
dunia. Dari penelitian tersebut penulis bisa melihat faktor-faktor apa saja yang
15
16. memengaruhi preferensi terhadap anak. Menurut Luchmaya dan Baron (2002)
preferensi terhadap anak dalam pandangan sosial dan non-sosial adalah
banyaknya anak, umur ibu, umur ayah, jenis kelamin, dan pendidikan orangtua.
Dalam hasil risetnya dinyatakan bahwa angka LPR (Looking Preference Ratio)
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dimana preferensi perempuan
cenderung mengarah ke faktor sosialnya sedangkan laki-laki mengarah ke faktor
non-sosial. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1
Sumber: Infant Behavior and Development, 2002
Gambar 1. Nilai LPR menurut Luchmaya dan Baron
Sedangkan menurut Syarif, dkk (2007) terdapat faktor sosio-ekonomi,
demografi, dan budaya yang memengaruhi preferensi terhadap anak pada studi di
Pakistan. Faktor sosio-ekonomi terdiri dari umur saat menikah, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan pebulan, stuktur keluarga, penentu pernikahan (orangtua
atau tidak).
Riset dari Hank dan Kohler di Eropa (2000) mengungkapkan faktor-faktor
yang memengaruhi preferensi terhadap anak dalam riset tersebut adalah umur
perempuan, umur perempuan pada saat si anak pertama kali berulang tahun,
tempat tinggal perempuan, tempat tumbuh berkembangnya perempuan, dan
16
17. tingkat pendidikan perempuan. Perempuan yang menjadi objek penelitian pada
riset tersebut adalah perempuan yang berumur 25-39 tahun.
Fuse (2006) pada papernya mengenai preferensi anak perempuan di Jepang
menunjukkan bahwa mulai dari tahun 2003 terlihat bahwa preferensi anak
perempuan mengalami peningkatan padahal sebelumnya di Jepang mempunyai
kecenderungan kepada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena faktor
sosiokultural. Alasan lain juga karena perempuan membutuhkan sedikit biaya,
psikologi, dan waktu investasi daripada laki-laki. Pada penelitiannya dia memakai
dua jenis variabel independen yaitu primary independent variabel (peran gender,
perkawinan, dan keluarga) dan background variabel (jenis kelamin responden,
umur, pendidikan, jenis tempat tinggal yaitu kota atau desa, riwayat pekerjaan,
keberadaan saudara).
Sedangkan menurut Lee (1995) dalam papernya pada kasus di Korea
menyimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor yang memengaruhi preferensi wanita
pernah kawin terhadap anak yaitu proporsi terhadap anak berikutnya, komposisi
jenis kelamin anak sebelumnya, harapan di hari tua, pendidikan, umur
perkawinan, dan tinggal di kota atau desa.
Menurut Yamamura (2009) dilihat secara ekonomi tradisional fertilitas
ditentukan oleh keputusan perempuan. Ia mengatakan faktor-faktor yang
memengaruhi preferensi anak laki-laki di Jepang adalah faktor ekonomi dan
sosiokultural. Menurutnya terdapat variabel-variabel yang memengaruhi
preferensi anak laki-laki yaitu biaya hidup, pendapatan, pekerjaan suami,
pendidikan perempuan dan suami, dan umur perempuan dan suami saat menikah.
17
18. Penelitian Khan dan Khanum (2000) di Bangladesh mengenai pengaruh
preferensi anak laki-laki menyatakan bahwa preferensi itu sendiri dipengaruhi
oleh faktor sosial, demografi dan ekonomi. Variabel-variabel yang mereka
gunakan adalah umur, jumlah anak, tempat tinggal di daerah perkotaan atau
pedesaan, agama, kepemilikan tanah, pendidikan, akses informasi, wanita karir,
dan pembentukan kelompok wanita.
Hasil penelitian Soeparmanto (1980) menyatakan bahwa umur perkawinan
pertama, lama perkawinan, frekuensi membaca koran dan mendengarkan radio,
pengalaman tinggal di wilayah perkotaan mempunyai pengaruh positif dengan
persepsi terhadap nilai dari anak. Sedangkan pendidikan, pendapatan, dan
pekerjaan mempunyai pengaruh negatif.
Hampir semua penelitian, observasi maupun jurnal menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi preferensi terhadap anak adalah faktor sosial,
ekonomi, demografi, dan kultural. Dalam penulisan ini faktor-faktor yang
digunakan adalah faktor sosial-demografi, faktor ekonomi, dan faktor budaya atau
norma masyarakat.
Faktor sosial-demografi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jenis
kelamin, pendidikan, umur perkawinan pertama, lama perkawinan, adanya akses
informasi, dan pengalaman tinggal di wilayah perkotaan. Disamping itu faktor
budaya atau norma masyarakat diwakili oleh variabel penentu pernikahan, jumlah
anak, struktur keluarga, dan eksistensi sistem matrilineal. Faktor ekonomi
meliputi jenis pekerjaan dan total pendapatan.
18
19. 2.2 Penelitian Terkait
Berdasarkan beberapa penelitian/referensi yang penulis gunakan ada
beberapa cara dalam pengukuran dalam melihat preferensi terhadap anak yang
diantaranya adalah
1. Menggunakan LPR (Looking Preference Ratio) dari anak laki-laki dan
perempuan. LPR yang bernilai lebih dari 1 berarti preferensinya
cenderung kearah sosial sedangkan LPR yang kurang dari 1 lebih
kearah non-sosial. Jika LPR bernilai 1 maka tidak ada preferensi antara
kedua stimulus (sosial dan non-sosial). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa bayi yang berjenis kelamin perempuan
mempunyai preferensi kearah sosial dan laki-laki kearah non-sosial
(Svetlana Lutchmaya dan Simon Baron-Cohen, 2002)
2. Keinginan untuk memiliki anak lagi. Penelitian ini dilakukan di 17
negara Eropa. Tiga negara (Czech Republic, Lithuania, dan Portugal)
memiliki preferensi terhadap anak perempuan, 4 negara (Prancis,
Jerman, Polandia, Norwegia) tidak memiliki preferensi terhadap jenis
kelamin anak, sedangkan 10 negara lainnya memiliki preferensi
campuran yaitu mempunyai satu anak perempuan dan satu anak laki-
laki (Karsten Hank dan Hans-Peter Kohler, 2000)
3. Menggunakan Ideal Family Size. Orangtua yang mempunyai
preferensi yang kuat terhadap jenis kelamin akan meningkatkan jumlah
keluarga (family size). Sedangkan penelitian ini meneliti hubungan
antara preferensi anak terhadap penggunan kontrasepsi. Orangtua
dengan preferensi terhadap anak laki-laki akan lebih memungkinkan
19
20. menggunakan kontrasepsi dibandingkan orangtua dengan preferensi
anak perempuan. Semakin banyak anak laki-laki semakin tinggi pula
kecenderungan memakai kontrasepsi namun untuk 4 anak atau lebih
pemakain kontrasepsi mengalami penurunan (M. Asaduzzaman Khan
dan Parveen A. Khanum, 2000)
4. Menggunakan sex ratio pada kelahiran anak pertama. Penelitian ini
juga membahas kemungkinan adanya kaitan antara preferensi anak
laki-laki dengan pola pernikahan seperti kesenjangan umur pasangan,
hypergamy (peningkatan jumlah wanita yang menikah), endogamy
kasta, dan pernikahan sepupu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keinginan untuk memiliki anak laki dan penentuan jenis kelaminnya
sebelum kelahiran sangat menguntungkan masyarakat karena dapat
meningkatkan status sosial (Lena Edlund, 1999)
5. Dengan melihat tingkah laku fertilitas seseorang (Fertility Behavior)
apabila mereka tidak mempunyai jenis kelamin anak yang diinginkan
maka akan berhenti untuk beranak atau malah akan beranak sampai
mendapatkan jenis kelamin anak yang diinginkan (Sun Yong Lee,
1995)
6. Menggunakan informasi urutan kelahiran dan jumlah kematian anak
umur 1-4 tahun. Penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi jenis
kelamin akan menurunkan tingkat pemakaian kontrasepsi sebesar 24%
dan peningkatan TFR sebesar 6% di Nepal (Tiziana Leone, Zoë
Matthews, dan Gianpiero Dalla Zuanna, 2003)
20
21. 7. Menggunakan Cox proportional hazard models dimana terdapat dua
analisis, analisis pertama adalah pada covariat mayor adalah anak
pertama walaupun lahir pertama atau tidak dan analisis kedua adalah
covariat utama juga adalah anak perempuan walaupun dua anak
pertama adalah perempuan atau tidak. Pada model ini terdapat kontrol
yang dapat melihat efek pada kelahiran anak kedua atau ketiga yang
pada akhirnya terdapat kesimpulan bahwa ada pengaruh pereferensi
jenis kelamin terhadap resiko kelahiran anak lainnya (Dudley L.
Poston, Jr, 2001).
2.3 Kerangka Pikir
Masyarakat Minangkabau sebagai penganut sistem matrilineal dinyatakan
oleh Singarimbun (1990) tidak mempunyai pengaruh kuat dari preferensi anak
laki-laki. Hal tersebut memberikan ide bagi penulis untuk menguji apakah
preferensinya ada pada anak perempuan. Salah satu alasannya karena kedudukan
perempuan pada masyarakat Minangkabau mempunyai posisi yang istimewa.
Dengan adanya berbagai aturan yang mengutamakan keberadaan
perempuan dalam masyarakat maka kecenderungan masyarakatpun untuk
mempunyai anak perempuan telah ada. Disamping perempuan dalam masyarakat
Minangkabau juga sebagai pewaris suku dan keturunan karena anak dari sebuah
keluarga akan ditarik menuruti garis keturunan ibunya dan masuk dalam kaum
ibunya.
Dalam preferensi jenis kelamin anak ini ada faktor-faktor yang
memengaruhi selain sistem matrilineal yang telah diuraikan diatas. Adapun
21
22. faktor-faktor itu adalah faktor sosial demografi, ekonomi, dan budaya. Faktor-
faktor ini diduga memengaruhi keputusan individu dalam memutuskan
kecenderungannya memilih jenis kelamin anak. Faktor sosial-demografi terdiri
dari variabel jenis kelamin, pendidikan, umur perkawinan pertama, lama
perkawinan, frekuensi mengakses informasi, dan pengalaman tinggal di wilayah
perkotaan diduga memengaruhi preferensi terhadap anak perempuan pada
masyarakat Minangkabau. Ada juga faktor ekonomi dengan variabelnya adalah
jenis pekerjaan dan total pendapatan juga berpengaruh terhadap pilihan
masyarakat Minangkabau terhadap preferensi anak perempuan. Sedangkan faktor
budaya-norma masyarakat yang terdiri dari variabel penentu perkawinan, jumlah
anak, struktur keluarga, dan eksistensi sistem matrilineal juga ada pengaruhnya
terhadap preferensi anak perempuan. Tiga faktor tersebut bersama-sama
memengaruhi keputusan masyarakat Minangkabau dalam kecenderungannya
terhadap preferensi anak perempuan. Hubungan dari variabel independen (tiga
faktor tersebut) dengan variabel dependen (preferensi terhadap anak perempuan)
dapat digambarkan melalui sebuah diagram kerangka berpikir dibawah ini
(Gambar 2)
22
23. Faktor sosial- demografi
- Jenis kelamin
- Pedidikan
- Umur perkawinan pertama
- Lama perkawinan
- Adanya akses informasi
- Pengalaman tinggal
diperkotaan
Faktor ekonomi Preferensi
terhadap anak
- Jenis pekerjaan perempuan
- Pendapatan perkapita perbulan
Faktor budaya-norma masyarakat
- Penentu perkawinan
- Jumlah anak
- Struktur keluarga
- Eksistensi sistem matrilineal
Gambar 2. Diagram alur kerangka berpikir
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjabaran diatas yang didasari oleh latar belakang serta
sudah digambarkan dalam bentuk alur pikir diagram konsepsional tersebut dapat
ditentukan hipotesis apa yang akan disampaikan dalam penulisan ini.
Penelitian ini menggunakan preferensi terhadap anak perempuan sebagai
variabel dependennya. Hal ini didasarkan dugaan terhadap fakta budaya yang
terjadi pada masyarakat Minangkabau serta penelitian yang menyatakan bahwa
23
24. pengaruh preferensi laki-laki tidak kuat pada masayarakat Minangkabau.
Sehingga secara umum dapat disusun hipotesis penelitiannya sebagai berikut
1. Diduga ada hubungan variabel-variabel independen dalam faktor
sosial-demografi, ekonomi, dan budaya/norma masyarakat dengan
preferensi terhadap anak perempuan.
2. Diduga ada pengaruh secara simultan dan parsial variabel-variabel
independen dalam faktor sosial-demografi, ekonomi, dan
budaya/norma masyarakat dengan preferensi terhadap anak
perempuan.
3. Diduga bahwa model regresi logistik cocok digunakan dalam
penelitian
24
25. BAB III
METODOLOGI
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Variabel penelitian adalah variabel independen yang terbagi dalam tiga
faktor yaitu faktor sosial-demografi (yang terdiri dari variabel pendidikan, jenis
kelamin, umur perkawinan pertama, lama perkawinan, akses terhadap informasi,
dan pengalaman tinggal di wilayah perkotaan), faktor ekonomi (yang terdiri dari
variabel jenis pekerjaan dan total pendapatan), dan faktor budaya/norma
masyarakat (yang terdiri dari variabel penentu perkawinan, jumlah anak, struktur
keluarga, dan eksistensi sistem matrilineal).
Penelitian ini dilakukan di Kampung Dalam Nagari Campago Kecamatan
V Koto Kampung Dalam. Seperti yang telah dijabarkan dalam latar belakang dan
batasan masalah, daerah ini sengaja dijadikan tempat penelitian karena dirasa
cocok dan mewakili untuk penelitian ini. Penelitian ini dilaksananakan pada
tanggal 22 – 29 Maret guna mengumpulkan data yang akan diolah.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Data yang digunakan ini adalah data primer melalui penelitian yang
merupakan studi kasus pada suatu wilayah. Data dan informasi dikumpulkan
langsung dari responden dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kuesioner sesuai dengan
25
26. tujuan penelitian. Pengumpulan data primer ini adalah kegiatan survei dimana
respondennya adalah sampel atau bagian dari populasi.
Selain data primer penelitian ini juga menggunakan data sekunder seperti
jumlah keluarga yang terdapat di Kampung Dalam Nagari Campago Kecamatan V
Koto Kampung Dalam sebagai kerangka sampelnya.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang tinggal di
Korong Kampung Dalam. Keluarga terdiri dari pasangan suami istri yang sudah
memiliki anak dan yang belum memiliki anak. Anak yang tinggal bersama adalah
anak yang belum berstatus kawin. Jika anaknya berstatus kawin maka
dikategorikan sebagai keluarga lain, karena yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah laki-laki dan perempuan berumur 10 tahun keatas yang berstatus pernah
kawin.
Sampel
Setelah penentuan populasi maka hal selanjutnya yang harus ditentukan
adalah jumlah sampel yang harus diambil agar mewakili penelitian ini. Unit
sampelnya adalah pasangan suami istri. Sampel dipilih dengan menggunakan
rumus penentuan minimum sampel proporsi
⁄
⁄
26
27. Dimana
n = jumlah sampel minimum
= tingkat kepercayaan, pada penelitian ini ditentukan sebesar 5
persen
p = proporsi preferensi jenis kelamin perempuan, pada penelitian ini
N = jumlah populasi keluarga
d = persentase kelonggaran ketidaktelitian, pada penelitian ini ditentukan
sebesar 10 persen
Dalam penelitian ini terdapat 204 pasangan suami istri sebagai populasi
dalam kerangka sampel. Dengan penggunaan rumus di atas diperoleh sampel
minimum sebesar 66 pasangan namun pada penelitian ini sampel yang digunakan
sebanyak 79 pasangan. Unit observasi dan analisisnya adalah sebanyak 158
karena yang menjadi observasi dan analisis dalam penelitian ini adalah laki-laki
dan perempuan berumur 10 tahun keatas yang berstatus pernah kawin.
Sampel dipilih dengan Systematic Random Sampling. Angka random
pertama ditentukan melalui tanggal/bulan penelitian. Kerangka sampel yang
didapatkan dari kantor Wali Nagari diurutkan berdasarkan abjad. Setelah
diurutkan barulah dilakukan pengambilan sampel. Penarikan sampel secara
sistematik sangat mempermudah peneliti karena hanya menggunakan satu angka
random saja, sedangkan angka random berikutnya akan mengikuti intervalnya.
Interval untuk penetuan angka random berikutnya didapat dengan rumus berikut
27
28. Dimana
N = jumlah populasi
n = jumlah sampel
Penarikan sampel dilakukan secara sistematik sirkuler dengan langkah-
langkah:
1. Menghitung interval dengan rumus diatas
2. Menentukan angka random pertama (R1) yang lebih kecil atau sama
dengan N. angka random selanjutnya adalah
R2 = R1 + I
R3 = R1 +2I
Rn = R1 + (n-1)I
Apabila angka random melebihi nilai N maka nilai angka random yang
didapat harus dikurangi dengan N untuk menetukan nomor urut berapa yang
menjadi sampel.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner
dirancang sedemikian rupa sehingga variabel-variabel penelitian tercakup
kedalam pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjawab tujuan penelitian.
Kuesioner terdiri dari 6 blok pertanyaan. Masing-masing blok pertanyaan
berisi mengenai variabel penelitian maupun bukan variabel penelitian. Bagian-
bagian kuesioner itu dijabarkan sebagai berikut:
28
29. a. Blok I adalah identitas responden. Blok ini mengenai identitas yang
mencakup nama, jenis kelamin, umur, suku, dan nomor sampel
penelitian.
b. Blok II mengenai pendidikan dan pekerjaan. Blok ini mencakup
pendidikan tertinggi yang ditamatkan, jenis pekerjaan, dan total
pendapatan dalam sebulan.
c. Blok III mengenai sumber informasi. Blok ini mencakup adanya akses
informasi dan pengalaman tinggal di perkotaan.
d. Blok IV mengenai perkawinan dan budaya. Blok ini mencakup
penentu perkawinan umur kawin pertamaa, struktur keluarga, jumlah
anak yang dimiliki, dan jumlah anak yang diinginkan.
e. Blok V mengenai sistem matrilineal. Blok ini terdiri dari 6 pernyataan
mengenai eksistensi sistem matrilineal.
f. Blok VI adalah preferensi. Blok ini terdiri dari 16 pernyataan
mengenai preferensi terhadap anak perempuan.
g. Blok VII adalah blok catatan. Blok ini bisa mencatat hal-hal yang
mungkin terjadi di luar perkiraan baik catatan dari peneliti maupun
dari responden.
Uji Validitas
Validitas menunjukkan sejauh mana skor/nilai/ukuran yang diperoleh
benar-benar menyatakan hasil pengukuran/pengamatan yang ingin diukur. Dalam
pengumpulan data melalui kuesioner terdapat pertanyaan-pertanyaan dimana
pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dapat mengukur apa yang ingin di ukur.
29
30. Semakin tinggi validitas data maka semakin sesuai dengan tujuan penelitian
begitu juga sebaliknya.
Jenis validitas umumnya digolongkan dalam tiga kategori besar, yaitu
validitas isi (content validity), validitas berdasarkan kriteria (criterion-related
validity) dan validitas konstruk. Pada penelitian ini akan dibahas validitas untuk
menguji apakah pertanyaan-pertanyaan itu telah mengukur aspek yang sama.
Untuk itu dipergunakanlah validitas konstruk.
Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi antara variabel/item
dengan skor total variabel. Cara mengukur validitas konstruk yaitu dengan
mencari korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan skor total
menggunakan rumus teknik korelasi product moment, sebagai berikut :
∑ ∑ ∑
√ ∑ ∑ √ ∑ ∑
dimana:
= koefisien korelasi product moment
X = skor tiap pertanyaan/item
Y = skor total
n = jumlah sampel
Angka yang didapat dari penghitungan tersebut lalu dibandingkan dengan
r tabel dengan derajat bebas (n-2). Apabila:
1. r > r tabel maka suatu pertanyaan dikatakan valid dan dapat dimasukkan
kedalam kuesioner. Dengan kata lain pertanyaan tersebut memiliki
validitas konstruk atau terdapat konsistensi internal dalam pertanyaan-
pertanyaan tersebut.
30
31. 2. Sedangkan jika r < r tabel maka pertanyaan tersebut dikatakan tidak valid
dan tidak dapat dimasukkan kedalam kuesioner.
Pada penelitian ini jumlah sampel untuk uji coba adalah 30 pasangan. Dari
tabel r product moment diperoleh nilai korelasi kritis 0,361. Berdasarkan hasil
pengolahan data uji validitas untuk eksistensi matrilineal yang awalnya terdiri dari
14 pernyataan terdapat 6 pernyataan yang valid. Sedangkan uji validitas untuk
preferensi yang awlnya terdiri dari 25 pernyataan terdapat 16 pernyataan yang
valid.
Uji Realibilitas
Realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur (kuesioner) dapat dipercaya atau dihandalkan. Artinya, setiap alat
pengukur harusnya memberikan hasil yang relatif konsisten dari waktu ke waktu
jika digunakan untuk mengukur gejala yang sama.
Untuk mengukur realibilitas penulis menggunakan rumus Cronbach’s
Alpha
∑
[ ][ ]
dimana:
= realibilitas instrumen (Cronbach’s Alpha ),
k = jumlah pertanyaan
∑ = jumlah varians masing-masing pertanyaan
= varians total
Koefisien korelasi realibilitas dikelompokkan menjadi 3 kriteria
berdasarkan klasifikasi Guilford (Supriadi, 2010) yaitu:
31
32. 1. 0,80 – 1,00 = sangat kuat (sangat tinggi)
2. 0,60 – 0,80 = kuat (tinggi)
3. 0,40 – 0,60 = sedang (cukup tinggi)
4. 0,20 – 0,40 = rendah
5. 0,00 – 0,20 = tidak berkorelasi – korelasi sangat rendah
Hasil dari pengujian validitas dalam penelitian ini menunjukkan nilai yang
tinggi yaitu 0,790 untuk eksistensi sistem matrilineal dan 0,903 (sangat tinngi)
untuk preferensi.
Pengkategorian Variabel
Blok V dan blok VI adalah variabel yang diukur melalui pernyataan-
pernyataan bukan melalui pilihan seperti blok-blok lain. Pernyataan-pernyataan
pada blok V dan VI disusun menggunakan skala likert lima kategori. Skor
diberikan pada masing-masing pernyataan berdasarkan jawaban dari responden.
Semua pernyataan dalam blok ini adalah pernyataan positif sehingga jawaban
yang positif juga diberi skor paling besar. Skala sangat setuju diberi skor 5, setuju
diberi skor 4, netral diberi skor 3, kurang setuju diberi skor 2, dan tidak setuju
diberi skor 1. Pemberian skor ini berarti semakin tinngi nilai total skornya
semakin tinggi pula eksistensi sistem matrilineal dan preferensi masyarakat
terhadap anak perempuan.
Pengkategorian variabel preferensi anak perempuan dan eksistensi
matrilineal dilakukan dengan metode median instrumen. Hal ini berdasarkan
pembentukan skala yang dikemukakan Liu, Harris, dan Schmidt (2006) yaitu
skor rata-rata untuk kelompok referensi harus dekat titik tengah dari nilai skala
32
33. atau dengan kata lain disebut dengan median instrumen. Median instrumen
didapat dari nilai tengah skor dikalikan dengan jumlah item pernyataan dari tiap
blok. Penentuan pengkategorian tersebut adalah sebagai berikut:
Eksistensi sistem matrilineal (median = 18)
- Kategori kurang eksis : skor instrumen median instrumen
- Kategori eksis : skor instrumen median instrumen
Preferensi anak perempuan (median = 48)
- Kategori preferensi anak perempuan median instrumen
- Kategori preferensi lainnya median instrumen
Kategori pendidikan dari responden dikelompokkan menjadi 2 yaitu
pendidikan primer yaitu SD dan SMP termasuk yang tidak tamat SD (dibawah
SMA) dan pendidikan sekunder keatas (SMA keatas). Pengkategorian pendidikan
ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang menggunakan variabel yang sama
(Fuse, 2008). Umur perkawinan pertama dikategorikan diatas dan dibawah 30
tahun karena pada umur 30 atau lebih terdapat resiko kehamilan. Sedangkan lama
perkawinan dikategorikan dalam interval 5 tahunan. Awal mula perkawinan
sampai 5 tahun kemudian adalah masa-masa dimana masing-masing pasangan
masih beradaptasi sehingga pengkategorian lama perkawinan dalam penelitian ini
menjadi 3 kelompok yaitu 5 tahun, 6-10 tahun, dan 10 tahun. Pendapatan
perkapita perbulan dikategorikan berdasarkan rata-rata pendapatan perkapita
perbulan pada Korong Kampung Dalam. Sedangkan jumlah anak dikelompokkan
berdasarkan anjuran KB yaitu jumlah anak dikelompokkan menjadi yaitu 2
(jumlah anak yang dianjurkan dalam program KB) dan >2.
33
34. Tabel 1. Daftar variabel dan kategori
variabel Nama variable kategori
(1) (2) (3)
Y Preferensi terhadap anak 1 = ya
perempuan 0 = tidak
D1 Jenis kelamin 1 = laki-laki
0 = perempuan
D2 Pendidikan 0 = dibawah SMA
1 = SMA keatas
D3 Umur perkawinan pertama 1 = 30 tahun
0 = 30 tahun
D4 Lama perkawinan 0 = 5 tahun
1 = 6-10 tahun
2 = 10 tahun
D5 Pernah atau tidak mengakses 1 = pernah
informasi 0 = tidak pernah
D6 Pengalaman tinggal di 1 = pernah tinggal
perkotaan 0 = tidak
D7 Jenis pekerjaan 0 = tidak bekerja/pekerja serabutan
1 = PNS/TNI/karyawan
2 = pedagang
D8 Pendapatan perkapita perbulan 1 = Rp 425.000;
0 = Rp 425.000;
D9 Penentu perkawinan 0 = bukan orangtua
1 = orangtua
D10 Jumlah anak 0= 2
1= 2
D11 Struktur keluarga 1 = inti
0 = besar
D12 Eksistensi sistem matrilineal 1 = eksis
0 = kurang eksis
34
35. Definisi Operasional
Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah
1. Jenis kelamin
Ciri-ciri biologis yang tampak pada manusia yang dibedakan menjadi
laki-laki dan perempuan
2. Pendidikan
Pendidikan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendidikan terakhir
yang ditamatkan oleh responden berdasarkan ijasah/STTB yang
dimiliki.
3. Penentu perkawinan
Penentu perkawinan yang dimaksud adalah orang yang menentukan
responden akan melakukan perkawinan dengan siapa. Penentu
perkawinan adalah orangtua dan bukan orangtua
4. Umur perkawinan pertama
Umur perkawinan pertama yaitu umur responden pada saat pertama
kawin
5. Lama perkawinan
Lama perkawinan adalah rentang waktu yang ditempuh oleh responden
mulai dari awal perkawinan sampai dengan waktu penelitian
6. Jumlah anak
Jumlah anak adalah jumlah anak yang dilahirkan hidup oleh seorang
wanita. Karena dalam penelitian ini respondennya adalah laki-laki dan
wanita pernah kawin maka jumlah anak adalah yang dimiliki dengan
pasangannya
35
36. 7. Struktur keluarga
Struktur keluarga adalah keadaan/lingkungan keluarga tempat tinggal
keluarga responden. Struktur keluarga dibagi menjadi keluarga inti dan
keluarga besar. Keluarga inti adalah yang terdiri dari responden,
suami/istri, dan anak. Keluarga besar adalah keuarga inti yang tinggal
bersama anggota keluarga lain seperti orangtua responden dan saudara
dari responden
8. Eksistensi sistem matrilineal
Eksistensi sistem matrilineal menunjukkan tentang pemahaman tentang
adanya sistem matrilineal dan pelaksanaannya bagi masyarakat
Minangkabau. Pada variabel ini juga diperlihatkan eksistensi sistem
matrilineal bagi masyarakat Minangkabau dalam kehidupannya terutama
dalam pengambilan keputusan
9. Adanya akses informasi
Akses terhadap informasi adalah akses responden mendapatkan
informasi dari televisi, radio, atau media cetak.
10. Pengalaman tinggal di wilayah perkotaan
Pengalaman tinggal di wilayah perkotaan yaitu pernah atau tidaknya
responden tinggal di wilayah perkotaan dalam kurun waktu tertentu
(dalam tahun). Hal ini digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh
yang dibawa oleh responden selama hidup di wilayah perkotaan
11. Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan adalah jenis kegiatan dari pekerjaan dimana responden
bekerja
36
37. 12. Pendapatan perkapita perbulan
Pendapatan perkapita perbulan adalah total pendapatan yang dibagi rata
dengan jumlah anggota keluarga. Dalam satu keluarga pendapatan
perkapita perbulannya adalah sama. Total pendapatan adalah banyaknya
pendapatan yang masuk ke keluarga responden. Total pendapatan
merupakan kumulatif pendapatan suami, istri, dan anggota keluarga lain
yang menyumbangkan pendapatannya.
13. Preferensi terhadap anak perempuan
Preferensi terhadap anak perempuan adalah persepsi atau pendapat
responden mengenai kecenderungan untuk memilih/menyukai dan
mengharapkan anak perempuan.
3.3 Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat gambaran
secara umum. Dengan analisis deskriptif rumusan masalah yang pertama dan
kedua dapat dijawab. Untuk penjelasan dalam analisis deskriptif digunakan tabel-
tabel frekuensi, grafik-grafik, maupun tabulasi silang antar variabel. Kemudian
akan dibuat interpretasi berdasarkan hasil yang dipaparkan melalui tabel dan
grafik tersebut.
Uji Independensi
Uji Chi-square digunakan untuk menguji hipotesis ada tidak hubungan
antara variabel respon dengan variabel penjelas. Masing-masing variabel penjelas
37
38. dirinci menurut kategori dari variabel respon yang dalam penelitian ini ada 3 yaitu
preferensi anak laki-laki, preferensi anak perempuan, dan tidak ada preferensi.
Hipotesis yang digunakan adalah
H0: Tidak ada hubungan antara variabel preferensi terhadap anak
perempuan dengan variabel penjelas
H1: Ada hubungan antara variabel preferensi terhadap anak perempuan
dengan variabel penjelas
Data yang ada disajikan dalam suatu tabel kontingensi yang mempunyai r baris
dan c kolom. Statistik ujinya adalah
( )
∑∑
Dimana
= jumlah observasi yang dikategorikan pada baris ke-i dan kolom ke-j
= jumlah observasi yang diharapkan dbawah H0 yang dikategorikan
pada baris ke-I dan kolom ke-j
= jumlah baris ke-i
= jumlah kolom ke-j
= banyak baris
= banyak kolom
= jumlah sampel
Dan H0 akan ditolak apabila
38
39. Menurut Siegel (1992) penggunaan uji chi-square menuntut frekuensi
harapan ( ) dalam masing-masing sel tidak boleh terlalu kecil. Uji chi-square
dapat digunakan jika kurang dari 20 persen diantara sel-sel itu mempunyai
frekuensi harapan kurang dari 5 dan tidak satu selpun memiliki frekuensi harapan
kurang dari 1. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka untuk tabel
kontingensi yang jumlah kolom atau barisnya lebih dari dua (derajat bebas 1)
dapat menggabungkan kategori-kategori yang berdekatan untuk memperbesar
frekuensi harapan yang keci tersebut. Jika tabel kontingensi tersebut sudah
berukuran 2x2 namun frekuensi harapan yang dihasilkan masih kecil maka
Cochran (1954) mengajukan anjuran-anjuran:
1. Bila n 40, gunakanlah dengan koreksi kontinyuitas
2. Kalau n diantara 20 dan 40, tes boleh dipakai asalkan frekuensi harapan
dari sel-sel tersebut bernilai lima atau lebih namun jika kurang dari lima
gunakanlah uji fisher’s exact
3. Bila n 20, gunakanlah uji fisher’s exact dalam kasus apapun.
Namun pemakain koreksi kontinyuitas sudah tidak disarankan pemakaiannya
karena menurut Grizzle (1967) pemakaiannya meningkatkan kecenderungan
naiknya kesalahan tipe II (terima H0 padahal H0 salah). Oleh sebab itu uji fisher’s
exact lebih sering digunakan, karena uji ini memperhitungkan distribusi aslinya
(exact distribution) yang tergantung pada nilai marginalnya.
Rumus koreksi kontinyuitas:
(| | )
39
40. Rumus uji fisher’s exact:
Dimana:
A = frekuensi sel dari baris pertama dan kolom pertama
B = frekuensi sel dari baris pertama dan kolom kedua
C = frekuensi sel dari baris kedua dan kolom pertama
D = frekuensi sel dari baris kedua dan kolom kedua
Analisis Regresi Logistik
Regresi logistik merupakan model yang digunakan untuk menganalisis
data kategorik dengan variabel respon berupa data yang berskala biner/dikotomi
dan variabel independennya berupa data kuantitaif dan kualitatif (Hosmer dan
Lemeshow, 1989). Nilai dari variabel respon (Y) adalah 0 dan 1 yang dalam
penelitian ini Y = 0 mewakili preferensi terhadap anak perempuan dan Y = 1
mewakili preferensi jenis kelamin lainnya. Prinsip regresi logistik hampir sama
dengan regresi linear. Dalam regresi linear kita membuat model dengan mencari
nilai rata-rata bersyarat E(Y|x). Hal tersebut juga berlaku dalam regresi logistik,
namun rata-rata bersyarat dalam model ini memiliki nilai antara 0 dan 1
| yang dilambangkan dengan .
Menurut Agresti (1990), variabel respon dalam analisis regresi logistik
biner merupakan variabel dengan nilai 0 dan 1 yang merupakan random variabel
yang mengikuti sebaran Bernoulli. Bentuk umum dari model peluang regresi
logistik dengan p variabel independen adalah:
40
41. Nilai menyatakan peluang sukses yaitu peluang preferensi terhadap
anak perempuan atau | . Model regresi logistik terlebih dahulu
diubah menjadi fungsi yang linear dalam parameternya dengan transformasi logit
. Hasil dari transformasinya adalah:
Jika dari beberapa variabel independen adalah diskrit dan berskala
nominal maka varibel tersebut tidak tepat jika dimasukkan kedalam model karena
angka tersebut hanya sebagai identifikasi saja dan tidak mempunya nilai numerik.
Dalam hal ini diperlukan variabel dummy dan jika satu variabel yang berskala
nominal dengan k kategori maka diperlukan k-1 variabel dummy. Misalkan
variabel ke-j yaitu Xj mempunyai k kategori maka terdapat k-1 variabel dummy
dengan notasi Dj. Model logit untuk p variabel independen dan variabel ke-j
adalah diskrit akan menjadi sebagai berikut:
∑
Analogi dalam regresi linear dimana | dapat digunakan
juga dalam mengekspresikan variabel respon dalam regresi logistik yaitu
Disini nilai diasumsikan mempunyai salah satu kemungkinan dari dua
nilai. Jika y = 1 maka dengan peluang sedangkan jika y = 0
41
42. maka dengan peluang Dalam hal ini mengikuti distribusi
binomial dengan rata-rata nol dan varians .
Pendugaan Parameter
Seperti halnya regresi linear, regresi logistik juga menggunakan metode
Maximum Likelihood untuk menduga parameternya (Hosmer dan Lemeshow,
1989). Dalam regresi logistik variabel responnya mengikuti distribusi Bernoulli
sehingga fungsi kepekatan peluangnya adalah
Karena observasi dasumsikan saling bebas maka fungsi likelihoodnya
adalah
∏
Prinsip dari maximum likelihood adalah mengestimasi parameter dengan
memaksimumkan fungsi likelihoodnya sehingga yang dipakai adalah
loglikelihoodnya yaitu
ln ∑ ln
Untuk mendapatkan nilai maka harus diturunkan terhadap
dengan syarat dan , sehingga akan diperoleh persamaan:
∑
42
43. Solusi persamaan diatas tidak linear terhadap sehingga solusi bagi ̂
tidak dapat dituliskan secara eksplisit karena sangat sulit untuk dihitung dengan
manual. Dalam software SPSS penyelesaian dihitung dengan metode iterasi.
Pengujian Parameter
a. Statistik Uji-G2
Statistik uji-G2 digunakan untuk melihat pengaruh bersama-sama oleh
seluruh variabel insependen yang ada didalam model (Agresti, 1990). Hipotesis
yang digunakan adalah
H0 : 1= 2= … = p= 0 (tidak ada pengaruh dari variabel independen
terhadap variabel respon)
H1 : minimal ada satu 0 (minimal ada satu variabel independen yang
berpengaruh terhadap variabel respon)
Dengan statistik uji
Dimana:
L0 = likelihood dari model dengan konstanta
Lk = likelihood dari model penuh
j = 1,2, …,p
Tolak H0 jika
b. Statistik Uji Wald
Umumnya model selalu mencari variabel yang mempunyai keterpautan
yang kuat antara model dengan data yang ada, artinya kita memilih variabel-
43
44. variabel mana saja yang tepat masuk kedalam model. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan pengujian keberartian parsial Wald, dengan hipotesis
H0 : 0 (tidak ada pengaruh dari variabel ke-j terhadap variabel
respon)
H1 : 0 (ada pengaruh dari variabel ke-j terhadap variabel respon)
̂
Dengan statistik uji ( )
( ̂)
Dimana
̂ adalah penduga dari
( ̂ ) galat baku dari penduga
j = 1,2, …,p
Tolak H0 jika
Pengujian Kecocokan Model
Pengujian kecocokan model bertujuan untuk melihat sejauh mana model
dapat atau bisa menjelaskan data. Secara umum model akan fit/cocok apabila
jumlah dari jarak y dan ̂ kecil, serta kontribusi dari masing-masing pasangan
(yi, ̂ i) adalah relatif kecil pada error dimana i = 1,2,3,...,n.
Pada penelitian ini pengujian kecocokan model menggunakan uji Hosmer
dan Lemeshow. Pada uji ini pengelompokkan didasarkan pada nilai etimasi dari
peluang. Dimana J = n, n adalah jumlah kolom berdasarkan n estimasi dari
peluang yang berurutan dari nilai yang paling kecil ke yang paling besar.
Pengelompokkan lebih lanjut didasarkan atas dua dasar yaitu persentil dari
peluang estimasi dan nilai fix dari peluang estimasi.
44
45. Dengan dasar/metode yang pertama maka digunakan g = 10 kelompok
dimana kelompok pertama berisi ⁄ nilai terkecil dari peluang estimasi
0,1 dan kelompok terakir berisi ⁄ nilai terbesar dari peluang estimasi >
0,9. Nilai batas peluang estimasi pada masing-masing grup adalah ⁄ , dimana
k = 1,2,...,10.
Uji Hosmer dan Lemeshow menggunakan statistik ̂ yang mengikuti
distribusi chi-square dari tabel frekuensi dengan derajat bebas (g – 2).
Formula dari statistik ̂ adalah
̅
̂ ∑
̅ ̅
Dimana
∑
̂
̅ ∑
Dengan
= jumlah total subjek pada grup ke-k
= jumlah dari bentuk kovariat pada desil ke-k
= jumlah dari variabel respon diantara kovariat
̅ = rata-rata dari peluang estimasi
Pada pengujian kecocokan model ini hipotesis yang dipakai adalah
H0 : model telah cukup menjelaskan data/model hasil estimasi signifikan fit
H1 : model tidak cukup menjelaskan data/model hasil estimasi tidak signifikan fit
Tolak H0 jika ̂
45
46. Odds Ratio
Odds ratio adalah ukuran yang menyatakan tingkat kecenderungan
mengalami suatu kejadian antara satu kategori dibandingkan dengan kategori
lainnya dalam satu variabel independen dengan notasi . Odds ratio menyatakan
tingkat kecenderungan variabel Xj =1 berapa kali lebih besar dibandingkan
variabel Xj = 0. Untuk variabel independen yang berskala kontinyu, koefisien
menyatakan perubahan log odds untuk setiap perubahan satu unit dalam varibel X.
Logaritma dari log odds merupakan logit
( )
dan
( )
Nilai odds pada masing-masing x adalah
Odds ratio merupakan perbandingan dari nilai odds pada x=1 terhadap
x=0, maka
⁄
⁄
46
47. sehingga
( ⁄ )
( ⁄ )
Bentuk lain dari Odds ratio adalah ( )
⁄
⁄
( )
[ ][ ]
( )
[ ][ ]
( )
( )
( )
47
48. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Masyarakat Kampung Dalam yang Memiliki
Preferensi Anak Perempuan
5%
lainnya
perempuan
95%
Gambar 3. Persentase masyarakat berdasarkan preferensinya
terhadap jenis kelamin anak
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 79 pasangan suami istri
sehingga unit obsevasinya adalah 158 orang. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa preferensi masyarakat Kampung Dalam lebih banyak pada
anak perempuan yaitu sebesar 95 persen sedangkan preferensi lainnya (preferensi
terhadap anak laki-laki dan tidak ada preferensi) sebesar 5 persen.
48
49. Umur
Tabel 2. Nilai tengah dari umur masyarakat Kampung Dalam
Rata-rata Median Modus
44,39 44 35
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata responden berumur antara 44 – 45
tahun. Umur tengah dari responden pada penelitian ini adalah 44 tahun.
Sedangkan umur yang paling banyak ditemui pada saat pencacahan adalah 35
tahun.
Jenis Kelamin
Penelitian ini memiliki sampel 79 pasangan artinya terdapat jumlah wanita
dan laki-laki yang sama sebagai unit obsevasi.
93.7% 96.2%
100.0%
90.0%
80.0%
70.0%
60.0% lainnya
50.0%
perempuan
40.0%
30.0%
20.0% 6.3% 3.8%
10.0%
.0%
LAKI-LAKI PEREMPUAN
Gambar 4. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
jenis kelamin
49
50. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kecenderungan
yang tinggi pada preferensi anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari gambar 4.
Laki-laki memiliki preferensi terhadap anak perempuan sebesar 93,7 persen dan
preferensi lainnya sebesar 6,3 persen. Sedangkan wanita memiliki preferensi
terhadap anak perempuan sebesar 96,2 persen dan preferensi lainnya sebesar 3,8
persen.
Pendidikan
47%
53% <sma
>=sma
Gambar 5. Persentase masyarakat berdasarkan jenjang pendidikan
Variabel pendidikan dibagi menjadi dua kategori yaitu kurang dari SMA
dan SMA keatas. Pendidikan yang paling banyak ditamatkan oleh masyarakat
Kampung Dalam adalah kurang dari SMA (53 persen). Kelompok masyarakat
yang berpendidikan SMA keatas mempunyai proporsi yang tidak jauh berbeda
dibandingkan yang kurang dari SMA yaitu sebesar 57 persen atau berbeda sebesar
6 persen.
50
51. 100%
100.0% 89,3%
80.0%
60.0% lainnya
40.0% perempuan
10,7%
20.0% 0%
.0%
<sma >=sma
Gambar 6. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
jenjang pendidikan
Gambar 6 menunjukkan bahwa pendidikan apapun yang ditamatkan oleh
masyarakat Kampung Dalam preferensinya tetap lebih besar pada anak
perempuan. Pada kelompok masyarakat yang pendidikannya kurang dari SMA
semuanya (100 persen) memiliki preferensi pada anak perempuan. Sedangkan
pada mereka yang berpendidikan SMA keatas memiliki proporsi sebesar 89,3
persen untuk preferensi anak perempuan dan 10,7 persen untuk preferensi lainnya.
Umur Perkawinan Pertama
8%
<=30
>30
92%
Gambar 7. Persentase masyarakat berdasarkan umur perkawinan
pertama
51
52. Umur perkawinan pertama dikelompokkan menjadi dua yaitu 30 tahun
kebawah dan lebih dari 30 tahun. Gambar 7 memperlihatkan pola dari masyarakat
Kampung Dalam yang sebagian besar menikah pada saat berumur dibawah 30
tahun yaitu sebesar 92 persen. Sedangkan mereka yang menikah diatas umur 30
tahun adalah 8 persen.
95.2% 92.3%
100.0%
80.0%
60.0% lainnya
40.0% perempuan
20.0% 4.8% 7.7%
.0%
<=30 >30
Gambar 8. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
umur perkawinan pertama
Pada kelompok yang umur perkawinan pertamanya kurang dari 30 tahun
dan diatas 30 tahun sama-sama memilki kecenderungan yang tinggi pada
preferensi anak perempuan. Gambar 8 memperlihatkan bahwa 95,2 persen
kelompok yang umur perkawinan pertamanya kurang dari 30 tahun memiliki
preferensi pada anak perempuan dan 4,8 persen untuk preferensi lainnya.
Sedangkan yang umur perkawinan pertamanya diatas 30 tahun sebesar 92,3
persen memiliki preferensi pada anak perempuan dan 7,7 persen untuk preferensi
lainnya.
52
53. Lama Perkawinan
11%
19%
<=5 tahun
6-10 tahun
70%
>10 tahun
Gambar 9. Persentase masyarakat berdasarkan lama perkawinan
Variabel lama perkawinan dibagi dalam 3 kategori yaitu dibawah 5 tahun,
6 sampai 10 tahun, dan lebih dari sepuluh tahun. Sebagian besar masyarakat
Kampung Dalam lama perkawinannya lebih dari 10 tahun (70 persen), sedangkan
untuk kelompok yang usia perkawinannya 6 sampai 10 tahun sebesar 19 persen
dan dibawah 5 tahun sebesar 11 persen.
97.3%
100.0% 88.9% 90%
90.0%
80.0%
70.0%
60.0%
lainnya
50.0%
perempuan
40.0%
30.0%
20.0% 11.1% 10%
10.0% 2.7%
.0%
<=5 6-10 >10
Gambar 10. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
lama perkawinan
53
54. Pada masing-masing kelompok usia perkawinan kecenderungan preferensi
anak perempuan tetap masih besar. Usia perkawinan dibawah 5 tahun ada
sebanyak 88,9 persen yang memiliki preferensi anak perempuan dan 11,1 persen
persen preferensi lainnya. Kelompok yang usia perkawinannya 6 sampai 10 tahun
memiliki preferensi pada anak perempuan sebesar 90 persen dan 10 persen untuk
preferensi lainnya. Sedangkan kelompok yang usia perkawinannya lebih dari 10
tahun terdapat sebesar 97,3 persen yang berpreferensi pada anak perempuan dan
2,7 persen untuk preferensi lainnya.
Pernah atau Tidaknya Mengakses Informasi
6%
tdk pernah
pernah
94%
Gambar 11. Persentase masyarakat berdasarkan pernah atau tidaknya
mengakses informasi
Dari hasil penelitian ini didapat bahwa sebagian besar masyarakat
Kampung Dalam sudah mengakses informasi baik dari televisi, radio, maupun
media cetak. Sebesar 94 persen masyarakat Kampung Dalam sudah mengakses
informasi dan 6 persen tidak pernah mengakses informasi.
Sumber informasi yang ditanyakan dalam kuesioner ada tiga yaitu televisi,
radio, dan media cetak. Masyarakat Kampung Dalam tidak hanya mengakses
54
55. salah satu dari sumber informasi itu saja melainkan juga mengakses beberapa atau
semua dari sumber informasi tersebut.
2%
6%
30%
tidak ada
salah satu
62% 2 sumber
semuanya
Gambar 12. Persentase masyarakat berdasarkan pilihan sumber
informasi
Kelompok masyarakat yang pernah mengakses informasi dibagi menjadi
tiga yaitu kelompok masyarakat yang hanya mengakses salah satu sumber
informasi saja, mengakses dua sumber informasi, dan mengakses semua sumber
informasi. Kelompok masyarakat yang hanya mengakses dari salah satu sumber
informasi sebesar 62 persen. Sebanyak 30 persen dari masyarakat yang megakses
informasi adalah mereka yang mengakses informasi dari dua sumber. Sedangkan
proporsi paling sedikit adalah mereka yang mengakses semua sumber informasi
yaitu hanya sebanyak 2 persen.
55
56. 2%
tv saja
radio saja
98%
Gambar 13. Persentase masyarakat berdasarkan akses informasi
hanya dari salah satu sumber
Gambar 13 menunjukkan persentase dari masyarakat yang mengakses
informasi dari salah satu sumber saja. Terdapat 98 persen masyarakat yang
mengakses televisi saja dan 2 persen yang mengakses radio saja. Mereka yang
mengakses media cetak saja tidak ada, hal ini disebabkan karena mereka yang
mengakses media cetak selalu diikuti dengan mengakses sumber lainnya.
4%
17%
tv+radio
tv+media cetak
79% media cetak+radio
Gambar 14. Persentase masyarakat berdasarkan akses informasi dari
dua sumber
Masyarakat yang mengakses informasi dari dua sumber terbagi menjadi
tiga kelompok yaitu mereka yang mengakses televisi dan radio, televisi dan media
56
57. cetak, serta media cetak dan radio. Kombinasi dari dua sumber informasi yang
paling banyak diakses adalah televisi dan media cetak yaitu sebanyak 79 persen.
Urutan kedua adalah mereka yang mengakses informasi dari televisi dan radio
yaitu sebanyak 17 persen. Sedangkan yang mengakses dari radio dan media cetak
hanya 4 persen saja.
95.9%
100.0%
80%
80.0%
60.0% lainnya
40.0% perempuan
20%
20.0% 4.1%
.0%
tdk pernah pernah
Gambar 15. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
pernah atau tidaknya mengakses informasi
Preferensi terhadap anak perempuan yang besar terlihat pada kedua
kelompok tersebut. Preferensi anak perempuan pada masyarkat yang pernah
mengakses informasi sebesar 95,9 persen dan 4,1 persen untuk preferensi lainnya.
Sedangkan mereka yang tidak mengakses informasi memiliki preferensi pada
anak perempuan yaitu sebanyak 80 persen dan 20 persen untuk preferensi lainnya.
57
58. Pengalaman Tinggal di Wilayah Perkotaan
39%
tidak
61%
pernah tinggal
Gambar 16. Persentase masyarakat berdasarkan pengalaman tinggal
di wilayah perkotaan
Variabel pengalaman tinggal di wilayah perkotaan ini dibagi dua kategori
yaitu pernah tinggal dan tidak pernah tinggal di wilayah perkotaan. Gambar 16
memperlihatkan proporsi masyarakat Kampung Dalam yang pernah tinggal di
wilayah perkotaan sebesar 61 persen sedangkan yang tidak pernah tinggal di
wilayah perkotaan sebesar 39 persen.
Masyarakat yang pernah tinggal di wilayah perkotaan terbagi menjadi dua
kategori yaitu wilayah perkotaan di Sumatera Barat dan wilayah perkotaan di luar
Sumatera Barat atau disebut juga merantau.
39%
dalam sumatera barat
61%
luar sumatera barat
Gambar 17. Persentase masyarakat berdasarkan kategori pernah tinggal di
wilayah perkotaan
58
59. Gambar 17 memperlihatkan persentase wilayah perkotaan yang pernah
ditinggali oleh masyarakat Kampung Dalam. Terdapat sebanyak 61 persen
masyarakat yang pernah tinggal di wilayah perkotaan luar Sumatera Barat atau
disebut juga merantau. Hal ini sejalan dengan budaya Minangkabau yang sering
merantau. Sedangkan masyarakat yang pernah tinggal di wilayah perkotaan
namun masih di Sumatera Barat adalah sebanyak 39 persen.
96.7% 93.8%
100.0%
80.0%
60.0% lainnya
perempuan
40.0%
20.0% 3.3% 6.2%
.0%
tidak pernah tinggal
Gambar 18. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
pengalaman tinggal di wilayah perkotaan
Kedua kelompok masyarakat Kampung Dalam yang pernah tinggal
maupun yang tidak pernah tinggal di wilayah perkotaan memiliki kecenderungan
yang besar pada preferensi anak perempuan. Mereka yang pernah tinggal di
wilayah perkotaan memilki preferensi pada anak perempuan sebesar 93,8 persen
dan 6,2 persen untuk preferensi lainnya. Sedangkan proporsi preferensi anak
perempuan pada mereka yang tidak pernah tinggal di wilayah perkotaan jauh
lebih besar daripada yang pernah tinggal yaitu sebesar 96,7 persen dan 3,3 persen
untuk preferensi lainnya.
59
60. Jenis Pekerjaan
16%
tdk bekerja/pekerja
19% serabutan
65% PNS/TNI/karyawan
pedagang
Gambar 19. Persentase masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tidak bekerja/pekerja
serabutan, PNS//TNI/karyawan, dan pedagang. Hal ini berdasarkan data yang
tersedia sewaktu survei. Proporsi terbesar adalah kategori tidak bekerja/pekerja
serabutan sebesar 65 persen. Hal ini disebabkan oleh observasi yang setengahnya
adalah perempuan yang berstatus istri yang sebagian besarnya adalah ibu rumah
tangga. PNS/TNI/karyawan mempunyai persentase 19 persen. Sedangkan jenis
pekerjaan pedagang sebesar 16 persen yang berbeda 3 persen dari kategori
PNS/TNI/karyawan.
97.1% 90.0% 92.3%
100.0%
50.0%
2.9% 10.0% 7.7%
lainnya
.0% perempuan
PNS/TNI/karyaw
pedagang
bekerja/pekerja
serabutan
tdk
an
Gambar 20. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
jenis pekerjaan
60
61. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada ketiga kategori jenis
pekerjaan preferensi anak perempuan tetap memiliki kecenderungan yang paling
besar. Masyarakat yang tidak bekerjapun memiliki preferensi pada anak
perempuan yang sangat besar yaitu 97,1 persen dan 2,9 persen untuk preferensi
lainnya. PNS/TNI/karyawan memiliki preferensi pada anak perempuan sebesar 90
persen dan 10 persen untuk preferensi lainnya. Mereka yang bekerja sebagai
pedagangpun tidak kalah besar proporsinya dalam preferensi pada anak
perempuan yaitu sebesar 92,3 persen dan 7,7 persen untuk preferensi lainnya. Hal
ini menunjukkan apapun jenis pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat Kampung
Dalam preferensi mereka tetap berada pada anak berjenis kelamin perempuan.
Pendapatan Perkapita Perbulan
49%
51%
<=425000
>425000
Gambar 21. Persentase masyarakat berdasarkan pendapatan
perkapita perbulan
Kategori pendapatan perkapita perbulan dibagi menjadi dua berdasarkan
rata-rata pendapatan perkapita perbulan seluruh responden yaitu dibawah Rp
425.000 dan diatas Rp 425.000. Proporsi kelompok masyarakat yang pendapatan
perkapitanya dibawah Rp 425.000 adalah 51 persen sedangkan mereka yang
61
62. pendapatan perkapitanya berada diatas Rp 425.000 berada 2 persen dibawah
kategori pertama yaitu sebesar 49 persen.
98.8%
90.9%
100.0%
80.0%
60.0% lainnya
40.0% perempuan
20.0% 9.1%
1.2%
.0%
<=425000 >425000
Gambar 22. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
pendapatan perkapita perbulan
Gambar 22 menunjukkan bahwa pendapatan dibawah ataupun diatas Rp
425.000 tetap memiliki kecederungan pada preferensi anak perempuan yang lebih
besar. Masyarakat yang pendapatan perkapitanya kurang dari Rp 425.000
memiliki proporsi preferensi pada anak perempuan sebesar 98,8 persen dan 1,2
persen untuk preferensi lainnya. Sedangkan mereka yang pendapatan
perkapitanya lebih dari Rp 425.000 adalah sebesar 90,9 persen untuk preferensi
anak perempuan dan 9,1 persen untuk preferensi lainnya.
62
63. Penentu Perkawinan
30%
bkn ortu
70% ortu
Gambar 23. Persentase masyarakat berdasarkan penentu perkawinan
Penentu perkawinan terdiri dari dua kategori yaitu perkawinan yang
ditentukan oleh orangtua dan bukan orangtua. Perkawinan yang ditentukan atau
dijodohkan oleh orangtua mempunyai proporsi yang besar pada masyarakat
Kampung Dalam sebesar 70 persen sedangkan yang ditentukan oleh bukan
orangtua adalah sebesar 30 persen.
99.1%
100.0% 85.4%
80.0%
60.0% lainnya
40.0% perempuan
14.6%
20.0%
0.9%
.0%
bkn ortu ortu
Gambar 24. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
penentu perkawinan
63
64. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentu perkawinan oleh orangtua
maupun bukan orangtua lebih besar preferensinya pada anak perempuan daripada
preferensi lainnya. Perkawinan yang ditentukan oleh orangtua memiliki proporsi
yang sangat besar untuk preferensi anak perempuan yaitu sebesar 99,1 persen dan
0,9 persen untuk preferensi lainnya. Sedangkan perkawinan yang ditentukan
bukan oleh orangtua memiliki proporsi sebesar 85,4 persen untuk preferensi anak
perempuan dan 14,6 persen untuk preferensi lainnya.
Jumlah Anak
34%
<=2
66% >2
Gambar 25. Persentase masyarakat berdasarkan jumlah anak
Variabel jumlah anak terdiri dari dua kategori yaitu jumlah anak 2
kebawah dan diatas 2. Jumlah anak yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat
Kampung Dalam adalah frekuensi diatas 2 dengan proporsi yaitu sebesar 66
persen. Sedangkan jumlah anak yang lebih dari 2 adalah sebesar 34 persen.
Pada kuesioner didapat informasi tambahan mengenai anak disamping
jumlah anak yang dimiliki yaitu jumlah anak yang diinginkan.
64
65. 48%
52% tidak ada batasan
ada batasan
Gambar 26. Persentase masyarakat berdasarkan jumlah anak yang
diinginkan
Kelompok masyarakat berdasarkan jumlah anak yang diinginkan dibagi
menjadi dua kategori yaitu kelompok masyarakat yang tidak membatasi jumlah
anak yang akan dimiliki dan kelompok masyarakat yang mempunyai target
(membatasi) jumlah anak. Kelompok masyarakat yang tidak membatasi jumlah
anaknya adalah 48 persen, sedangkan mereka yang mempunyai target adalah 52
persen. Pada kelompok masyarakat yang memiliki target jumlah anak, target
mereka bukan target KB atau jumlah anaknya dua melainkan rata-rata dari
kelompok ini menargetkan jumlah anak mereka antara 3 sampai 4.
96,3% 94,2%
100.0%
80.0%
60.0% lainnya
perempuan
40.0%
20.0% 3,7% 5,8%
.0%
<=2 >2
Gambar 27. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
jumlah anak
65
66. Preferensi anak perempuan masih menjadi pilihan pada setiap kategori
kepemilikan anak. Kelompok masyarakat yang jumlah anaknya 2 kebawah
memiliki proporsi 96,3 persen untuk preferensi anak perempuan dan 3,7 persen
untuk preferensi lainnya. Proporsi preferensi anak perempuan pada kelompok
yang jumlah anaknya lebih dari 2 adalah 94,2 persen dan 5,8 persen untuk
preferensi lainnya.
Struktur Keluarga
43%
57% BESAR
INTI
Gambar 28. Persentase masyarakat berdasarkan struktur keluarga
Struktur keluarga pada penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu
keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti atau keluarga yang tinggal hanya
satu keluarga saja memiliki proporsi yang paling besar yaitu 57 persen.
Sedangkan keluarga besar yaitu keluarga yang tinggal bersama dengan keluarga
lainnya berbeda cukup jauh yaitu 14 persen dari proporsi keluarga inti dengan
kata lain proporsi keluarga besar adalah sebesar 43 persen.
66
67. 94.1% 95.6%
100.0%
80.0%
60.0% lainnya
perempuan
40.0%
20.0% 5.9% 4.4%
.0%
BESAR INTI
Gambar 29. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
struktur keluarga
Gambar 29 menunjukkan kecenderungan yang besar pada anak perempuan
pada kedua kategori. Pada kelompok masyarakat yang struktur keluarganya
adalah keluarga besar terdapat sebesar 94,1 persen untuk preferensi anak
perempuan dan 5,9 persen untuk preferensi lainnya. Sedangkan kelompok yang
struktur keluarganya adalah keluarga inti proporsi untuk preferensi anak
perempuan adalah sebesar 95,6 persen dan 4,4 persen untuk preferensi lainnya.
Eksistensi Sistem Matrilineal
8%
kurang eksis
eksis
92%
Gambar 30. Persentase masyarakat berdasarkan eksistensi sistem
matrilineal
67
68. Eksistensi matrilineal dibedakan atas dua ktegori yaitu eksis dan kurang
eksis. Gambar 30 menunjukkan bahwa mayarakat yang sistem matrilinealnya
eksis 92 persen, sedangkan sistem matrilinealnya yang kurang eksis adalah
sebesar 8 persen dimana kekurangeksisan ini merupakan sumbangan dari
masyarakat luar Minangkabau yang juga tinggal di Minangkabau.
97.2%
100.0%
80.0% 69.2%
60.0% lainnya
40.0% 30.8% perempuan
20.0% 2.8%
.0%
kurang eksis eksis
Gambar 31. Persentase preferensi masyarakat terhadap anak menurut
eksistensi sistem matrilineal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang kurang
eksis dalam keberadaan sistem matrilinealnya sudah mulai menunjukkan
preferensinya kearah jenis kelamin laki-laki/tidak berpreferensi yang cukup tinggi
(30,8 persen) daripada mereka yang eksis (2,8 persen). Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya peranan keeksisan sistem matrilineal dalam penentuan
preferensi jenis kelamin anak pada masyarakat Minangkabau.
68
69. 4.2 Hubungan antara Preferensi Anak Perempuan dengan Variabel-
Variabel penjelas
Sebelum melakukan pengujian pengaruh variabel-variabel penjelas
terhadap preferensi anak perempuan terlebih dahulu dilakukan pengujian
independensi dari masing-masing variabel-variabel penjelas terhadap preferensi
anak perempuan. Pengujian independensi ini menggunakan chi-square test
sebagai alat analisisnya. Melalui test ini dapat diketahui variabel-variabel penjelas
mana yang mempunyai yang mempunyai hubungan dengan preferensi anak
perempuan. Namun karena pada tabulasi silang 2 2 semua variabel mempunyai
nilai harapan yang kurang dari 5 melebihi 20 persen maka digunakan uji fisher’s
exact sedangkan untuk variabel lainnya yang mempunyai tabulasi silang 3 2
tetap memakai uji chi-square. Variabel-variabel penjelas yang digunakan adalah
umur, jenis kelamin, pendidikan, umur perkawinan pertama, lama perkawinan,
adanya akses informasi, pengalaman tinggal di perkotaan, jenis pekerjaan,
pendapatan perkapita, penentu perkawinan, jumlah anak, struktur keluarga,
eksistensi sistem matrilineal. Pengujian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95
persen. Hasil rangkuman pengujian ini adalah sebagai berikut:
69