SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 87
Kultur (Kebudayaan) vs Masyarakat

Culture vs Society

Culture is changing constantly. Certain products of culture are governments, languages, buildings and
man made things. It is a powerful tool for the survival of mankind. Cultural patterns of ancient people
are reflected in their artifacts and are studied by archaeologists to understand their way of life. Culture
is an important part of a society for the very existence of society. Culture also plays an important role to
establish discipline in a society. According to the behavior patterns and perceptions, there are three
levels of culture.

First one is the body of cultural traditions that makes you to differentiate a society from others. When
people speak German, Japanese or Italian, then they are referred as the language, beliefs and traditions
shared by each set of people that is different from others. Second one is the subculture in which
different societies from different parts of the world preserve their original culture. Such people are the
part of a subculture in the new society. For example, subcultures in United States consist of ethnic
groups like Mexican Americans, African Americans and Vietnamese Americans. The members of each
subculture share a common language, identity, food tradition and other traits through a common
ancestral upbringing. The third level is the cultural universals that consist of behavior patterns shared by
the humanity as a whole. Some examples of such behavior patterns are communicating with a verbal
language, use of age and gender to classify people, differentiation based on marriage and relationships.

Society is referred to as a group of people who share common area, culture and behavior patterns.
Society is united and referred as a distinct entity. Society consists of a government, health care,
education system and several occupations of people. In a society each and every individual is important
because each individual can contribute something to the society. Also you can find smaller groups of
people with a certain goal which include groups of students, government agencies or groups that raise
money for a specific cause in a society. Many different cultures can be found within a society. You can
find several differences within a country or town.

In a broad sense, the society is made of varied multitude of individuals with social, economic or
industrial infrastructure. One of the major benefits of a society is that it serves the individuals in the
time of crisis. Societies are also organized depending up on their political structure such as State, bands,
chiefdoms and tribes. The degrees of political power vary according to the cultural, historical and
geographical environments. Certain societies give certain status to an individual or group of people
when an individual or group performs a favorable action for the society.

Read more: Difference Between Culture and Society Difference Between Culture vs Society
http://www.differencebetween.net/miscellaneous/difference-between-culture-and-
society/#ixzz1NFsPSpkj
Sumber:
http://www.differencebetween.net/miscellaneous/difference-between-culture-and-society/

Teori Konstruksi Sosial (P.L. Berger)

Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut
Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut
Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan
Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala
sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam
masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger? Tulisan ini
mencoba untuk mengelaborasi ‟teori makna‟ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka
tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi.
Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna
perspektif Berger. Ragam Aliran Teori Sosiologi Secara sistematis, George Ritzer
mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga
paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan
perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar
dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi
simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990).1 Sedangkan ilmuwan mazhab
Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni;
positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi
(kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan
kelima: 2003). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda Dalam pandangan Ritzer,
paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi
sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim,
terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.2 Durkheim menyatakan bahwa fakta
sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social
institution)3. Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus
“positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma
ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah
kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori
Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.4 Teori
Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional
cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama
dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung
menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan
melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk
dalam paradigma ini. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang
tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini.
Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam
interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan
kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut
dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz),
Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk
dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi
penganut aliran ini adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah
pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni „perilaku individu
yang tak terpikirkan‟. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang
diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan
paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya,
juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode
eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology
behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma
integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan
realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa),
makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan
interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang
realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer. Sejumlah pendahulunya,
Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-
mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun
sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan
kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan
tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the
Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan
antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis
persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.8 Kritik Multi-Paradigma Ritzer Penempatan
perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah
sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat
senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang
mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-
masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju
keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial,
sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari
pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan
adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara
terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme
dengan teori pertukaran.9 Selain itu, paradigma integratif sebagai „konsensus‟ antar paradigma,
atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi-
patut diperdebatkan. Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan
berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai
paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma
tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai
paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma
perilaku sosial. Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif
baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung
dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk
menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin
menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi
sombolik) tak lagi relevan.10 Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historis-hermeneutis, dan
Emansipatorik Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni;
positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris
analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-
ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada
filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil
epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan
keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick
Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam
metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika
deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif.
Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif,
dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik;
penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Positivisme Plato menganggap bahwa
pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini
diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar
terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat
Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam
dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi obyektif. Adopsi
saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857).
Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai
positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte.
Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari
praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk
teori –bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci
dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917)
adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik, terutama
sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme
pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme,
determinisme, dan asumsi bebas nilai.13 Humanisme Berbeda dengan positivis yang berusaha
memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba
memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya,
sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha
menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini
berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari
pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan
bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya.
Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus
menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati
(obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.14
Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada
fenomena „spiritual‟ atau „ideal‟ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat
dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan
manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey
memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-
produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz
memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah
dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang
memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya
etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi
(Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).15

Kritis Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak
selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah
menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas
positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk
kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk
membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam
masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah
interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut:

   1. teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia statis “di
      luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu
      tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika
      positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat
      akan terus mengalami perubahan.
   2. teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh
      dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk
      mendorong perubahan.
   3. teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis adalah
      mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar global dan
      rasional penindasan yang mereka alami.
   4. pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh kesadaran palsu
      manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran
      satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida).
   5. teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-
      hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori sosial kritis
      menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme.
   6. mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur manusia
      secara dialektis.
   7. teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat
      dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis juga menolak
      pragmatisme revolusioner.

Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih
dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan
(Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi
sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif
dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah.
Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis
sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian
survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu
fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan
Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur
bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah
cabang dari teori kritis. Clough –juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan
sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan
dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.16
Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis)
kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme
dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial.
Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif
berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat
memiliki ”kesadaran palsu” atau ”sejati”. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat
memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan. Metodologi Epistemologi
yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar;
positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan
kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode
empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan
berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-
hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis
mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Walaupun
begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda –walau
masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik. Walaupun sama-sama menekuni
makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi
Schutz. Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi sejarah
sebagai bagian dari metodologinya.

Posisi Teori Berger Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era
1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya
oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena
itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi
lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil
sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi „perang‟ antar aliran dalam sosiologi.
Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang
merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu
pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni
makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan
subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus
berdialektika (Marx). Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau
kritis? Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan
suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori
konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger
terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan
itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian:
Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya
merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan
fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa
pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam
mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan
Luckmann, 1990: 268). Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog
tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan
mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik.
Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan
spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog
lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori)
antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog
sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max
Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber
nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji
gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat
adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai
realitas obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah
sumbangan Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang
makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi,
termasuk tentang ’I’ and ’me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger. Selain
konsep diri atau self, makna adalah istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Pembahasan
mengenai makna sangat nampak dalam Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada
tiga premis utama yang melibatkan makna;

   1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi
      mereka
   2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain
   3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Bagi Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa
sehingga pengalaman itu “punya arti”. Etnometodologi Garfinkel menyangkut isu realitas
common sense di tingkat individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa tingkat
kolektif.1 Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz –sebagaimana juga
Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur
pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari,
sosialitas, dan makna (Novri Susan, 2003:46). Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari
kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi
manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi
setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan
sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna –yang “bersembunyi”/”melekat”.
Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan
bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan “pembentukan
makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi
pengertian manusia adalah common sense (dunia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam
percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang
dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi –dari
orang-orang sebelumnya, terlebih dari significant others. Common sense terbentuk dari tipifikasi
yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena
individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian
membangun semacam sistem relevansi kolektif.

Sosiologi Pengetahuan Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz, Berger jauh keluar
dari fenomenologi Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas. Karena itu garapan
Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, Berger tetap
menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan (sekali lagi) menggunakan studi
sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni
legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk
menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991: 36). Legitimasi merupakan
obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan
normatif –karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral. Legitimasi,
dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa
terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur
dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan kamu adalah saudari X” (Berger, 1991: 37) Jika
dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi itu misalnya, “Kamu tidak boleh
„berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu, dan jika engkau melakukan itu, maka
engkau telah berzina, telah melakukan perbuatan dosa yang besar”. Penelitian makna melalui
sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah
inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
(1990). “Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang
memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang
kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa
fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.2
Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap
pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi
oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan
adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3 Common sense
adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan
rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan
Luckmann, 1990: 34). Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990) merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi
pengetahuannya. Buku ini terdiri dari tiga bab, yakni; dasar-dasar pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas
subyektif. Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari Kehidupan sehari-hari
telah menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing
perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang
ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi ‟lain‟, kehidupan sehari-
hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu,
dan dipelihara sebagai ‟yang nyata‟ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan
tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subyektif –yang
membentuk dunia akal-sehat intersubyektif (hlm. 29). Pengetahuan akal-sehat adalah
pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam
kegiatan rutin yang normal (dalam kehidupan sehari-hari). Realitas kehidupan sehari-hari
merupakan taken for granted. Walaupun ia bersifat memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang)
dipermasalahkan oleh individu (Misalnya; civitas kampus FISIP Unair jarang, bahkan belum
pernah, menanyakan; mengapa gedung FISIP di Kampus B, mengapa kantor dekan di lantai satu,
mengapa kantinnya di sebelah utara. Hal itu sudah dianggap alamiah, sehingga tak perlu
dibuktikan kebenarannya). Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan;
realitas sosial yang bersifat khas (dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya), dan
totalitas yang teratur –terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek yang menyertainya
(Samuel, 1993: 9). Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh obyektivasi, juga memuat
signifikasi. Siginfikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan obyektivasi yang
khas, yang telah memiliki makna intersubyektif –walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas
antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik
badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai
sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua
ini merupakan sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa
lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkinkan
menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka.

Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif Manusia berbeda dengan binatang.
Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan, sejak dilahirkan hingga melahirkan –sampai mati.
Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan
berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian
menuntut manusia menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial merupakan produk manusia
yang berlangsung terus menerus –sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis
manusia. Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia
secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya (Berger,
1991: 4-5). Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses
pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –
sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan
(habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi.
Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa.
Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan
pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan
tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri.
Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya
peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum. Masyarakat sebagai realitas
obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna
tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif –karena tidak
hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat
obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. Perlu sebuah
universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum
simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna
bagi individu –dan individu harus melakukan sesuai makna itu. Agar individu mematuhi makna
itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam
kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Di
sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum
simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui
organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori
dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi lembaga
sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus berlangsung, dan dialektik.
Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada perubahan sosial.
Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara
subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi
adalah proses yang dialami manusia untuk ‟mengambil alih‟ dunia yang sedang dihuni
sesamanya (Samuel, 1993: 16). Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi,
baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang
disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi
tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu,
turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan
aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

Metodologi Menurut Hanneman Samuel, metodologi Sosiologis Berger mengacu pada tiga poin
penting dalam kerangka teori Berger –yang berkaitan dengan arti penting makna yang dimiliki
aktor sosial, yakni: Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia
yang bermakna. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri,
tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat
dilakukan, Pertama, makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak segera tersedia secara
’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-
hari. Kedua, makna dapat dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil
tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh melalui
interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam interaksi (misalnya melalui media
massa). Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger
menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan
individu dengan masyarakat. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang senantiasa
bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna
subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk
mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan
itu dilaksanakan. Masyarakat merupakan suatu satuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari
relasi-relasi antar manusia yang (relatif) besar dan berpola (Samuel, 1993: 3).4 Interaksi sosial
sebagai subject matter adalah interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal
tak hanya bermakna interaksi antar individu dengan individu lainnya, tetapi meliputi kelompok
dan struktur sosial. Karena itu faktor kultural, ekonomi, dan politik tak dapat diabaikan.
Perjalanan sosial manusia tak lepas dari masa lalu dan masa mendatang, sehingga aspek vertikal
(sejarah) menjadi penting. Hal ini tidak berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah
dan menyatu dengan ilmu sejarah, tapi sosiologi meminjam data sejarah untuk meningkatkan
pemahamannya tentang realitas masa kini.

Jihad sebagai Konstruksi Sosial (Sebuah Contoh Analisa Sederhana dengan Sosiologi
Pengetahuan) Sejak jihad dieksternalisasikan Nabi Muhammad dan kaumnya empat belas abad
silam, sejak itu jihad menjadi isu dan amalan penting yang bertahan hingga kini. Sejak itu pula
jihad menjadi fenomena sosial yang menyejarah sekaligus fenomenal. Jihad tak hanya menjadi
realitas bagi kaum muslimin, tetapi juga umat yang lain.5 Jihad telah menjadi makanan sehari-
hari umat Islam. Sehingga umat Islam di luar Arab tak perlu lagi menerjemahkan jihad dalam
bahasa ibunya. Kata jihad sudah mendarah daging sebagaimana kata islam itu sendiri. Karena itu
fenomena jihad selalu tergambar nyata. Bahkan umat Islam menyimpan pengalaman tentang
jihad sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka. Mengikuti konstruksi sosial Berger,
realitas sosial jihad menjadi teperlihara dengan ter‟bahasa‟kannya dalam Alquran, hadits, buku-
buku/manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini. Agama (Islam) berhasil melegitimasikan
jihad, terlebih dengan menjadikan agama sebagai ideologi negara. Alhasil, bersatunya dua
kekuatan besar (agama dan negara) selama berabad-abad (selama imperium Islam) menjadikan
jihad sebagai realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan.
Sosialisasi jihad terus berlangsung seiring sosialisasi Islam. Jihad terus diinternalisasi oleh
individu muslim, sehingga menjadi realitas subyektif. Realitas subyektif itu terus
dieksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena jihad memiliki makna yang luas,
sehingga dapat dieksternalisasikan dalam setiap detik dan ruang kehidupan kaum muslim. Jihad
mengisi keseharian rakyat Palestina yang mengangkat senjata melawan Israel, menjadi titik tolak
muslimin Irak mengusir Amerika dan sekutunya, menjadi jalan muslimin Amerika menyebarkan
Islam rahmatan lil-’alamiin. Jihad juga menjadi ruh dakwah mubaligh-mubaligh
Muhammadiyah dan kyai-kyai NU, perjuangan politik kader-kader PKS, dan perjuangan
mengakkan syariat Islam bagi para mujahid-mujahid MMI. Jihad adalah sahabat umat Islam saat
menunaikan sholat, puasa, dan haji, saat bekerja menghidupi keluarga, saat membantu
mengentaskan rakyat miskin, dan saat mengkhidmatkan dirinya dalam ibadah, dimana pun dan
kapan pun. Tak pelak, jihad memiliki kenyataan obyektif yang tak bisa dinihilkan. Namun di sisi
lain, jihad adalah kenyataan subyektif –yang relatif, plural, dan dinamis. Jihad qital bisa menjadi
nyata bagi sebagian orang, tapi bisa tidak menjadi ‟nyata‟ bagi sebagian yang lain. Jihad
memiliki keragaman makna (subyektif), tiap individu memiliki penafsiran sendiri-sendiri, dan
penafsiran (makna subyektif) itu terus berproses –dan memungkinkan untuk berubah. Daftar
Pustaka Buku Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro:
Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik,
Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan
Cendekia, 2002. Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988. Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas
Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. ____________, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas
Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. Campbell, Tom,
Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Eriyanto,
Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. Goodman, Douglas J. dan
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004 Hardiman, Fransisco
Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas,
Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif:
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya,
2003. Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, 1985 Soeprapto,
H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes
Press dan Pustaka Pelajar, 2002 Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik
Terhadap Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1995. Skripsi
Novri Susan, Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama Masyarakat
Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003. Jurnal, Majalah, dll Jurnal Gerbang,
No.14, Vol.V. Februari-April 2003, Menafsirkan Hermeneutika, Ahmad Zainul Hamdi
(Redaktur Pelaksana). Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar
Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). Happy Susanto, Menggagas
“Sosiologi Profetik”, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003, International Institute of
Islamic Thought Indonesia.

PoMakalah Tugas Sosiology by Khaerul Mulsim

Definisi Operasional

Di dalam makalah ini ada beberapa terminologi yang perlu dibuatkan definisi operasionalnya,
dengan maksud agar tidak terjadi perbedaan persepsi di dalam memahami isi makalah ini.
Definisi operasional dimaksud adalah:

   1. Perubahan Sosial

Adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap
dan pola-pola perilakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat

   1. Erosi

Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan erosi adalah proses terkikisnya nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di dalam sebuah komunitas masyarakat akibat adanya pengaruh faktor-faktor
eksternal.

   1. Nilai-nilai kearifan lokal

Nilai-nilai kearifan lokal adalah segala bentuk adat kebiasaan, perilaku, petuah dan kaida-kaidah
atau norma yang berlaku ditengah-tengah sebuah komunitas masyarakat, yang telah tumbuh
dalam periode waktu tertentu, berkembang dan menjadi milik khas komunitas masyarakat
setempat.

   1. Desa

Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri. Bisa juga diartikan bahwa desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia

   1. Masyarakat Pedesaan

Masyarakat pedesaan merupakan komunitas masyarakat yang bertempat tinggal dan berinteraksi
diantara sesamanya di dalam satu atau beberapa di desa dalam satu wilayah kecamatan. Dari
aspek pemerintahan, masyarakat pedesaan adalah komunitas masyarakat yang tinggal pada
wilayah-wilayah yang bersatus desa. Secara umum, masyarakat pedesaan umumnya bermukim
di wilayah-wilayah yang relatif berada “jauh” dari pusat pemerintahan kabupaten/kota.

     1. Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat adalah bagian dari wilayah kesatuan Negara Republik
        Indonesia, Berdiri: 14 Agustus 1958, Dasar Pendirian : UU No 4 Tahun 1958, Ibu Kota: Mataram,
        Luas Wilayah : Kurang lebih 20.153,15 km2, Posisi/Letak Geografis : 8 derajad – 9 derajat LS dan
        115 derajat – 119 derajat BT. Terdiri atas 2 pulau besar: Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok,
        dengan jumlah kabupaten/kota saat ini : 9 Kabupaten / kota.

A. PENDAHULUAN

1.     Latar Belakang

Kajian mengenai masyarakat pedesaan merupakan hal yang menarik banyak pihak, khususnya
para sosiolog. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena begitu spesifiknya situasi sosial dan
budaya, adat istiadat maupun norma-norma serta nilai-nilai yang dimiliki oleh mereka, yang
membuatnya berbeda dengan masyarakat di perkotaan. Sementara disatu sisi, masyarakat
perkotaan merupakan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat pedesaan atau
berasal dari orang-orang berasal dari desa/pedesaan.

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1) istilah desa dapat diartikan ke dalam tiga istilah
yaitu desa, dusun, dan desi yang semuanya berasal dari suku kata swa desi. Istilah ini sama
maknanya dengan negara, negeri, nagari yang berasal dari kata nagaram. Istilah ini berasal dari
kata sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran.

Indonesia yang saat ini terdiri atas 33 provinsi, diantaranya Nusa Tenggara Barat, sangat kaya
akan keragaman masyarakat pedesaannya. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia
sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30
kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya
Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas
6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau.

Kenyataan ini mengakibatkan tidak mudah untuk membuat generalisasi terhadap terjadinya
perubahan sosial serta erosi nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Sebagai jalan keluarnya, maka
identifikasi terjadinya perubahan dimaksud harus dilakukan secara parsial berdasarkan wilayah
dan atau berdasarkan kesamaan ciri dari masyarakat pedesaan.

Terkait dengan adanya perubahan sosial dan terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
desa/pedesaan, hal ini harus dilihat sebagai sebuah kejadian yang alamiah. Masyarakat sebagai
kumpulan manusia tidak pernah tidak berubah, sebagai bukti bahwa masyarakat itu dinamis.
Perubahan sosial maupun berbagai perubahan lainnya, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.

Faktor-faktor menjadi penyebab terjadinya perubahan dimaksud, antara lain: perkembangan yang
pesat dari teknologi komunikasi dan informasi, perubahan kemampuan ekonomi, majunya
kualitas pendidikan, semakin baiknya sistem dan alat transportasi, serta semakin intensnya
masyarakat pedesaan berinteraksi dengan pihak lain diluar komunitas mereka sendiri.

Kesemua faktor yang diuraikan tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun bersinergi
satu sama lain, mengakibatkan proses perubahan sosial maupun erosi nilai-nilai kearifan lokal
terjadi secara perlahan maupun secara cepat.

Persoalan yang menjadi pertanyaan bersama adalah: (1) Apa saja macam proses perubahan sosial
dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi?; (2) Indikator apakah yang digunakan untuk
mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal
dimaksud?; (3) Seberapa cepatkah proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal itu
terjadi?;(4) Faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi
nilai-nilai kearifan pada masyarakat pedesaan?;

__________________
1
 Soetardjo Kartoadikoesoemo. Dalam Potensi Pembangunan Desa, Buku Sekolah Elektronik
Online

Untuk menjawab ke empat macam pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah. Diperlukan
serangkaian penelitian yang mendalam dengan metode yang tepat dan sistematis, serta dilakukan
oleh peneliti yang tepat.

Oleh sebab itu, maka penyusunan makalah ini merupakan langkah awal yang bersifat sederhana
untuk membahas proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang diduga sudah,
sedang dan akan terjadi pada masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Barat, serta menghasilkan
kesimpulan awal atas dugaan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan
lokal pada masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Barat

2.   Manfaat dan Tujuan

a.    Makalah ini disusun dengan harapan dipereoleh manfaat:

a.1. Mahasiswa fakultas hukum Unram reguler sore peserta mata kuliah sosiologi terlatih
mencara bahan rujukan dan bacaan yang terkait dengan tugas yang diberikan, dari berbagai
sumber dengan berbagai cara.

a.2. Melatih mahasiswa fakultas hukum Unram reguler sore agar mampu menyusun tulisan
sesuai dengan standar penulisan ilmiah.

b.   Makalah ini disusun dengan tujuan untuk:

b.1. Memenuhi tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh dosen pengasuh mata kuliah
Sosiologi.
b.2. Mengolah informasi dari berbagai sumber bacaan untuk membahas dan menyimpulkan
masalah yang diangkat sesuai dengan topik yang diberikan serta judul yang ditetapkan.

b.2. Memenuhi persyaratan menyelesaikan mata kuliah sosiologi.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Perubahan Sosial

Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan
hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang
perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan
menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek
kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan,
bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.

1) Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat produksi, dan transportasi. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita
memasak makanan dengan cara membakarnya, sekarang di zaman modern memasak makanan
menggunakan alat modern seperti oven atau membeli makanan yang diawetkan.

2) Mata pencaharian dan sistem ekonomi meliputi pertanian, peternakan, dan sistem produksi.
Sebagai contoh, kaum laki-laki bekerja dengan cara berburu atau pekerjaan lainnya, sedangkan
kaum perempuan tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Sekarang kaum
perempuan dapat juga bekerja dan mata pencaharian untuk kaum laki-laki tidak hanya berburu
saja, tetapi sudah beragam jenisnya.

3) Sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum,
dan sistem perkawinan. Sebagai contohnya, pada masa kehidupan belum begitu kompleks orang-
orang yang ada ikatan darah atau keluarga selalu hidup bersama dalam satu rumah. Saat ini
ikatan masyarakat tidak hanya berdasarkan hubungan kekerabatan, tetapi juga karena profesi,
dan hobi yang sama seperti ikatan motor gede (MOGE), orari (radio amatir).

4) Bahasa dahulu disampaikan secara lisan. Sekarang bahasa dapat disampaikan melalui
beragam media, seperti tulisan, sandi, dan sebagainya.

5) Kesenian mencakup seni rupa, seni suara, dan seni tari. Sebagai contoh, orang Jawa
menganggap bahwa sebuah rumah yang indah jika bernuansa gelap, sekarang masyarakat Jawa
banyak menyukai rumah yang bernuansa terang ataupun pastel.

6) Sistem pengetahuan berkaitan dengan teknologi. Dahulu kala sistem pengetahuan hanya
berpedoman pada alam atau peristiwa alam. Sekarang ini sistem pengetahuan terus berkembang
seiring berkembangnya teknologi.

7) Religi atau sistem kepercayaan dahulu kala berwujud sistem keyakinan dan gagasan
tentang dewa, roh halus, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala kegiatan manusia dikaitkan
dengan kepercayaan berdasarkan getaran jiwa. Namun, sekarang aktivitas manusia banyak yang
dikaitkan dengan akal dan logika.

Perubahan di berbagai bidang sering disebut sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya
karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan. Meskipun demikian perubahan
sosial dan budaya sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial
dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang merupakan hasil
dari proses yang berlangsung terus-menerus dan memberikan kesan positif atau negatif.
Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia
dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain.

Ada banyak pendapat tentang definisi perubahan sosial yang disampaikan oleh beberapa
sosiolog.

2. Definisi Perubahan Sosial dan Budaya

Berikut ini beberapa ilmuwan yang mengungkapkan tentang definisi dan batasan perubahan
sosial.

No   Tokoh               Pendapat Tentang Perubahan Sosial

                         Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik
                         karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan
1    Gillin dan Gillin
                         komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya
                         penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat

                         Modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan
2    Samuel Koenig
                         manusia, yang terjadi karena sebab intern atau ekstern

                         Segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di
                         dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,
3    Selo Soemardjan
                         termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di
                         antara kelompok-kelompok dalam masyarakat

                         Perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan
4    Max Iver
                         terhadap keseimbangan hubungan sosial

                         Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
5    Kingsley Davis
                         masyarakat

                         Perubahan struktur sosial dalam organisasi sosial sehingga
6    Bruce J. Cohen      syarat dalam perubahan itu adalah sistem sosial, perubahan
                         hidup dalam nilai sosial dan budaya masyarakat
7    Roucek dan Warren Perubahan dalam proses sosial atau dalam struktur masyarakat


Lalu apakah perubahan sosial budaya? Berikut ini ada beberapa pengertian dari perubahan sosial
budaya.

1.    Max Weber berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam
masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological
Writings).

2.   W. Kornblum berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya
masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama (dalam buku Sociology in Changing
World).

3. Karakteristik Perubahan Sosial dan Budaya

Dengan memahami definisi perubahan sosial dan budaya di atas, maka suatu perubahan
dikatakan sebagai perubahan sosial budaya apabila memiliki karakteristik sebagai berikut.

1.   Tidak ada masyarakat yang perkembangannya berhenti karena setiap masyarakat
mengalami perubahan secara cepat ataupun lambat.

2.   Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan akan diikuti perubahan pada
lembaga sosial yang ada.

3.    Perubahan yang berlangsung cepat biasanya akan mengakibatkan kekacauan sementara
karena orang akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

4.    Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau spiritual saja karena keduanya
saling berkaitan.

4. Sebab-Sebab Perubahan Sosial Budaya

Sebuah perubahan bisa terjadi karena sebab dari dalam (intern) atau sebab dari luar (ekstern).
Dalam sebuah masyarakat, perubahan sosial dan budaya bisa terjadi karena sebab dari
masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat.

1) Sebab Intern

Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain:

a.    Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk. Pertambahan
penduduk akan menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula
terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena faktor pekerjaan.
Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya. Contoh perubahan
penduduk adalah program transmigrasi dan urbanisasi.
b. Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang
bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk
penemuan lama (invention).

c.     Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat.

d.    Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan-
perubahan besar. Misalnya, Revolusi Rusia (Oktober 1917) yang mampu menggulingkan
pemerintahan kekaisaran dan mengubahnya menjadi sistem diktator proletariat yang dilandaskan
pada doktrin Marxis. Revolusi tersebut menyebabkan perubahan yang mendasar, baik dari
tatanan negara hingga tatanan dalam keluarga.

2). Sebab Ekstern

Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain:

     1. Adanya pengaruh bencana alam.

Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah
kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka
harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini
kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.

     1. Adanya peperangan.

Peristiwa peperangan, baik perang saudara maupun perang antar negara dapat menyebabkan
perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan
kebudayaannya kepada pihak yang kalah.

     1. Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu
kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh
suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan
mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang
lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur
kebudayaan baru tersebut.

5. Bentuk Perubahan Sosial Budaya

Perubahan adalah sebuah kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan itu bisa berupa
kemajuan maupun kemunduran. Bila dilihat dari sisi maju dan mundurnya, maka bentuk
perubahan sosial dapat dibedakan menjadi 2 yakni:

1). Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress)
Perubahan sebagai suatu kemajuan merupakan perubahan yang memberi dan membawa
kemajuan pada masyarakat. Hal ini tentu sangat diharapkan karena kemajuan itu bisa
memberikan keuntungan dan berbagai kemudahan pada manusia. Perubahan kondisi masyarakat
tradisional, dengan kehidupan teknologi yang masih sederhana, menjadi masyarakat maju
dengan berbagai kemajuan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan merupakan sebuah
perkembangan dan pembangunan yang membawa kemajuan. Jadi, pembangunan dalam
masyarakat merupakan bentuk perubahan ke arah kemajuan (progress).

Perubahan dalam arti progress misalnya listrik masuk desa, penemuan alat-alat transportasi, dan
penemuan alat-alat komunikasi. Masuknya jaringan listrik membuat kebutuhan manusia akan
penerangan terpenuhi; penggunaan alat-alat elektronik meringankan pekerjaan dan memudahkan
manusia memperoleh hiburan dan informasi; penemuan alat-alat transportasi memudahkan dan
mempercepat mobilitas manusia proses pengangkutan; dan penemuan alat-alat komunikasi
modern seperti telepon dan internet, memperlancar komunikasi jarak jauh.

2). Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress)

Tidak semua perubahan yang tujuannya ke arah kemajuan selalu berjalan sesuai rencana.
Terkadang dampak negatif yang tidak direncanakan pun muncul dan bisa menimbulkan masalah
baru. Jika perubahan itu ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu
dianggap sebagai sebuah kemunduran. Misalnya, penggunaan HP sebagai alat komunikasi. HP
telah memberikan kemudahan dalam komunikasi manusia, karena meskipun dalam jarak jauh
pun masih bisa komunikasi langsung dengan telepon atau SMS. Disatu sisi HP telah
mempermudah dan mempersingkat jarak, tetapi disisi lain telah mengurangi komunikasi fisik
dan sosialisasi secara langsung. Sehingga teknologi telah menimbulkan dampak berkurangnya
kontak langsung dan sosialisasi antar manusia atai individu.

Jika dilihat dari segi cepat atau lambatnya perubahan, maka perubahan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:

(1). Evolusi dan Revolusi (perubahan lambat dan perubahan cepat)

Evolusi adalah perubahan secara lambat yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur
masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena
masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah
menjadi kompleks.

Revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh
munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit
dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi
memerlukan persyaratan tertentu, antara lain:

a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
b. Adanya pemimpin/kelompok yang mampu memimpin masyarakat tersebut.

c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi.

d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat.

e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas
masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan
revolusi. Contoh perubahan secara revolusi adalah peristiwa reformasi (runtuhnya rezim
Soeharto), peristiwa Tsunami di Aceh, semburan lumpur Lapindo (Sidoarjo).

(2). Perubahan Kecil dan Perubahan Besar

Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak
membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan
kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian.

Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa
pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah
dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.

(3). Perubahan yang Direncanakan dan Tidak Direncanakan

Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah
diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan
perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh
perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan
pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde
Reformasi.

Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang
terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-
akibat sosial yang tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak
direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan
Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial budaya

Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut
diharapkan dan direncanakan. Terdapat faktor yang mendorong sehingga mendukung perubahan,
tetapi juga ada faktor penghambat sehingga perubahan tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

v Faktor pendorong perubahan
Faktor pendorong merupakan alasan yang mendukung terjadinya perubahan. Menurut Soerjono
Soekanto ada sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu:

1) Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain.

Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu
menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya
asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu
akan memperkaya kebudayaan yang ada.

2) Sistem pendidikan formal yang maju.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah
masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional,
dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan
masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak.

3) Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju.

Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang
berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri.

4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat
merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan
agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.

5) Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau
horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi
mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka
kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.

6) Penduduk yang heterogen.

Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah
terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian
merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai
keselarasan sosial.

7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu

Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi
berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya.
8) Orientasi ke masa depan

Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesusikan dengan
perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu
berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.

9) Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup.

Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak
terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor
terjadinya perubahan.

v Faktor penghambat perubahan

Banyak faktor yang menghambat sebuah proses perubahan. Menurut Soerjono Soekanto, ada
delapan buah faktor yang menghalangi terjadinya perubahan sosial, yaitu:

1.    Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

2.    Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.

3.    Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif.

4. Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested interest).

5.    Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan perubahan
pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.

6.    Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat.

7.    Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.

8.    Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah.

C. PERMASALAHAN

Sesuai dengan judul “ Perubahan Sosial dan Erosi Nilai-nilai Kearifan Lokal pada Masyarakat
Pedesaan di NTB” , permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas adalah:

(1) Apa saja macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi?;

(2) Indikator apakah yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan
sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal dimaksud?;

(3) Seberapa cepatkah proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal itu terjadi?;
(4) Faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-
nilai kearifan pada masyarakat pedesaan?;

D. PEMBAHASAN

1. Macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi.

Untuk memilah macam-macam proses perubahan sosial yang terjadi termasuk terjadinya erosi
nilai-nilai kearifan lokal, bisa dilakukan berdasarkan pendekatan atau sudut pandang yang
digunakan ooleh setiap orang khususnya para ahli sosiologi.

Dalam makalah ini, pengkategorian jenis perubahan yang terjadi, dilakukan berdasarkan
perspektif umum pandangan masyarakat yang melihat dan merasakan adanya perubahan
tersebut. Oleh sebab itu, maka ada lima macam proses perubahan yang dianggap sedang terjadi:

a.              Prose perubahan Pola Makan dan Berpakai

b.             Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal

c.                      Proses Perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi

d.             Proses Perubahan Pola Berfikir, Pendidikan dan Wawasan

e.             Proses Perubahan Pola Penokohan Seseorang

Prose perubahan Pola Makan dan Berpakaian

Terjadinya proses perubahan pola makan dan berpakaian pada masyarakat pedesaan, bisa
diketahui dengan membandingkan penampilan masyarakat poedesaan pada lima atau sepuluh
tahun yang lalu, dengan penampilan berpakaian masa kini. mSatu contoh sederhana, jika dulu
menggunakan celana jeans, masih merupakan hal aneh. Tetapi saat ini bercelana jeans,
merupakan bagian dari cara berpakaian masyarakat di pedesaan. Contohlainya lagi, kalau dulu
masyarakat pedesaan tidak begitu perdui bahkan tidak mengenal salon kecantikan, saat
sekaranmg sudah menjadi bagian dari pola berpakaian mereka.

Dalam hal pola makan, masyarakat pedesan mengalami perubahan juga. Makanan-makanan
cepat saji yang dulu tidak pernah ada di dalam pikirannya, kini bahkan menjadi bagian bagian
yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal

Rumah tinggal masyarakat di pedesaan mengalami perubahan cukup signifikan dalam hal model
atau ukuran. Saat ini bukan hal yang aneh, jika rumah-rumah masyarakat dipedesaan sudah jauh
berbeda dengan apa yang terlihat pada kurun waktu sepuluh tahun yang lalu.

Proses perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi
Pola interaksi, komunikasi dan tarnsportasi yang terjadi di kalangan masyarakat pedesaat, sudah
sangat jauh berbeda dengan yang terjadi dalam lima tahun sebelumnya. Kemajuan di bidang
peralatan komunikasi,media komunikasi dan sistem transportasi, mengakibatkan masyarakat
pedesaan saat ini sangat berubah. Informasi yang dulu sangat lambat di akses, sekarang dalam
hitungan detik bisa diterima, salah satunya karena adanya handphone dan televisi.

Perubahan Pola Berfikir dan Pendidikan dan Wawasan

Masyarakat kita di pedesaan bukan lagi masyarakat yang dianggap lugu, sederhana dan polos
sebagaimana beberapa tahun silam. Pemahaman mereka terhadap berbagai aspek sosial, politik
dan lain-lain, telah mengalami kemajuan. Ini adalah bentuk nyata terjadinya perubahan pola
berfikir mereka yang diakibatkan secara langsung atau tidak langsung oleh perubahan semangat
dan keinginan untuk bersekeloh lebih tinggi. Akibatnya maka wawasanmereka juga semakin
baik.

Perubahan Pola Penokohan Seseorang

Dalam konteks ini, penokohan seseorang tidak lagi terjadf sebagaimana lazimnya masa lalu.
Penokohan masa lalu terjadi dalam waktu yang cukup lama disertai teruji tidaknya seseorang
sebagai seorang tokoh yang patut di ikuti dan didengar pendapatnya.

Masa sekarang, penokohan seseorang terjadi secara instan, disebabkan oleh faktor ekonomi,
politik dan faktor-faktor lain seperti keberanian seseorang di dalam mengumpulkan dan
mengerahkan masa.

Hal ini bisa terjadi, karena dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya sampai ke generasi
sekarang, prilaku dan ketokohan seseorang yang dahulu terjadi secara alami, kini berubah secara
instan sebagaimana yang disebutkan diatas, akibat faktor-faktor instan pula.

2. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan
sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal di NTB.

Sulit membuat indikator standar untuk menentukan terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-
nilai kearifan. Setiap ahli tentu memiliki alasan logis untuk membuat indikator terjadinya
perubahan tersebut. Tetapi meskipun sulit, bukan berarti tidak bisa. Oleh sebab itu, dalam
makalah ini, ada 2 macam indikator dimaksud yang di buat hanya berdasarkan pertimbangan
praktis, yakni:

1.     Indikator Visual, yakni sebatas kemampuan panca indra manusia untuk melihat,
merasakan dan atau mendengar mengenai terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai kearifan
yang dimaksud.

2.     Indikator Faktual, maksudnya alat ukur yang didasarkan pada kenyataan yang terjadi,
dengan membandingkan peristiwa masa kini dengan berbagai peristiwa masa sebelumnya.
Kedua indikator tersebut memang sangat subyektif, tetapi paling tidak dapat diuji secara
subyektif dan obyektif, yakni dengan melakukan telaah perbandingan terhadap berbagai
peristiwa yang terjadi saat ini dan saat sebelumnya.

Berdasarkan pada dua macam indikator tersebut, dapat disusun dan diolah tentang terjadinya
prose perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat pedesaan di NTB.

3. Mengukur kecepatan proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang
terjadi.

Kecepatan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal, sesungguhnya
tidak dapat dilakukan secara pasti dan valid. Yang bisa kita lakukan, hanya menyajikan fakta-
fakta tentang sebuah kejadian serta mengelompokkannya di dalam kurun waktu tertentu. mOleh
sebab itu, di dalam membuat penilaian terhadap kecepatan perubahan yang terjadi, bisa
dilakukan dengan membuat periodesasi waktu, kemudian berbagai kategori perilaku masyarakat
di masukkan dan klasifikasikan sesuai dengan waktu yang ada.

Sebagai contoh, bisa dibuat kurun waktu setiap lima tahun atau setiap sepuluh tahun, antara
1990-2000. Kemudian di dalam kurun waktu tersebut, dibuatkan deskripsi tentang pola makan
msyarakat pedesaan, dibandingkan dengan pola makan di dalam kurun waktu 2001-2010.

Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran bagaimana perubahan itu terjadi, apakah dalam
waktu lima tahun atau dalam waktu sepuluh tahun. Jika terjadinya cukup dalam lima tahun,
berarti cukup cepat. Atau terjadinya dalam sepuluh atau dua puluh tahun, berarti cukup lambat.

4. Faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-
nilai kearifan pada masyarakat pedesaan di NTB.

Menentukan faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi
nilai-nilai kearifan lokal termasuk pekerjaan tidak mudah. Diperlukan waktu yang cukup lama
untuk memastikan faktor tersebut.

Untuk menentukan faktor apa yang paling dominan, bisa dilakukan melalui pendekatan
sederhana secara empiris yang bisa diuji secara logika, bahwa informasi dan komunikasi
merupakan dua hal utama yang menyebabkan terbentuknya opini seseorang. Asumsi ini tentu
bisa diuji. Namun pada akhirnya ada kesimpulan yang sama, bahwa pengaruh cepatnya
perkembangan system dan peralatan informasi dan komunikasi telah mengakibatkan prilaku
orang berubah. Perubahan ini bisa ke arah positif atau sebaliknya ke arah negaif.

Secara umum, dari ke empat faktor yang diuraikan diatas, perubahan sosial dan erosi nillai-nilai
kearifan lokal masyarakat di Nusa Tenggara Barat, berbeda perwujudannya antara satu kultur
dengan kultur lainnya maupun antara satu wilayah dengan lainnya.

Sebagai pembanding, masyarakat pedesaan di P. Sumbawa yang terdiri atas etnis: Bima-Dompu
dan Sumbawa, berbeda pola perubahannya dibandingkan dengan kultur dan etnis Sasak di P.
Lombok.
Perbedaan ini disebabkan banyak hal, seperti kondisi alam serta keragaman akulturasi etnis yang
terjadi. Di P. Sumbawa, akulturasi etnis dan budaya, relatif tidak berlangsung secara cepat,
dibandingkan di Pulau Lombok, yang relatif lebih banyak etnis lainnya.

Meskipun demikian, secara umum, berdasarkan uraian adanya lima macam perubahan sosial
yang terjadi, dampaknya adalah terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat di
NTB, baik yang di P. Sumbawa maupun di P. Lombok. Adapun nilai-nilai kearifan lokal
tersebut, sudah tumbuh dan berkembang sejak lama, mengalami perubahan dan penyesuain, ada
yang tetap bertahan, adapula yang hilang.

Kalau dilakukan identifikasi, maka nilai-nilai kearifan lokal yang hidup ditengah-tengah
masyarakat di P. Sumbawa dan Pulau Lombok, dapat disebutkan sebagai berikut:

1.    Larangan eksplisit untuk menebang pohon yang tumbuh disekitar mata air. Dalam bahasa
eksplisit, para orang tua mengatakan.”Jangan memotong pohon di sekitar mata air. Nanti
penunggunya marah, kita bisa di ganggu” Padahal secara implisit, terkandung makna agar kita
harus menjadi kelestarian lingkungan.

2.    Larangan eksplisit untuk jangan duduk di bantal. Konsekuensinya bisa bisulan. Makna
implisit di balik larangan ini, agar bantal sebagai tempat untuk kepala tidak cepat rusak, serta
gunakanlah sesuatu pada tempatnya.

3.     Larangan eksplisit agar perempuan jangan telat bangun pagi atau jangan duduk di depan
pintu, bisa berakibat jodoh menjauh. Padahal pesan implisitnya agar para wanita jangan menjadi
malas dan membiasakan diri untuk bangun pagi.

4.   Larangan eksplisit bagi anak-anak agar tidak mandi di sungai yang dalam, karena ada
penunggunya. Padahal makna implisitnya, agar anak-anak terhindar dari berbagai macam resiko
bahaya dan penyakit.

5.    Larangan eksplisit agar anak-anak tidak bermain-main saat maghrib, karena bisa ditampar
oleh setan. Padahal makna implisitnya, agar anak-anak cepat beribadah (bagi yang islam agar
cepat sholat) dan tidak menimbulkan kebisingan saat maghrib.

6.   Kebiasaan mendongeng kan anak-anak, yang secara langsung atau tidak langsung sebagai
media pendidikan mengajar prilaku dan sopan santun.

Masih banyak nilai-nilai kearifan lokal yang saat ini tidak lagi terdengar sebagai kebiasaan yang
dilakukan para orang tua. Hal ini tergantikan oleh berbagai hasil pekembangan teknologi
informasi, seperti televisi dan handphone.

Situasi ini tidak bisa terhindarkan, karena terjadi secara alamiah, sesuai perkembangan faktor-
faktor eksternal yang semakin tumbuh dan berkembang. Yang patut menjadi perhatian adalah,
bagaimana menerima kemajuan yang terjadi tanpa mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal yang
sesungguhnya sangat baik dan efektif mewarnai perilaku anak-anak dan generqasi muda.
E. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada pendahuluan, pustaka dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:

   1. Perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat di Nusa Tenggara Barat,
      sudah, sedang dan terus akan terjadi. Perubahan tersebut terbagi atas 5 macam:

(1). Prose perubahan Pola Makan dan Berpakai

(2). Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal

(3).Proses Perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi

(4) Proses Perubahan Pola Berfikir, Pendidikan dan Wawasan

(5). Proses Perubahan Pola Penokohan Seseorang

   1. Faktor yang paling dominan mempangaruhi terjadinya perubahan sosial dan kearifan nilai-nilai
      lokal masyarakat pedesaan di Nusa Tengara Barat adalah dampak dari tumbuh dan
      berkembangnya sistm dan alat komunikasi dan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press

Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi
Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.

Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage.
Cambridge: Cambridge University Press.

Budiman, Maneke 1999. „Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia:
Mengubah         Kendala Menjadi Aset‟, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3

Hallahan, Kirk (2003). Community as A Foundation for Public Relations Theory and Practices.
Boulder: Colorado State University

Hamengkubuwono X. 2001. „Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan
Persatuan Bangsa, Mungkinkah?‟ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet.

Jayadinata, T Johara dan Pramandika, IGP (2006). Pembangunan Desa dalam Perencanaan.
Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Jefkins, frank (1987). Public Relation untuk Bisnis. Jakarta, Pustaka Binaman Presindo.

Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.           Kingsley
Davis, Human.

Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta.

Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937 pp 272.

Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.Society, cetakan ke-
13, The Macmillan.

Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia.
Surabaya: Unair Press.

Soekanto Soerjono,1987. Sosiologi Suatu Pengantar.Rajawali press: Jakarta

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama Yayasan
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,1964, halaman 486,497

Tampubolon, Daulat. 2000. „Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa‟. Jurnal MLI. hal.69.

Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.

Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung:
Alumni

Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press.

William F.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff: Sociology, edisi ke-4, A.Feffer and Simon
International University Edition, 1964. Bagian 7

Yanti, Yusrita. 1999. „Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur
Minangkabau‟. Jurnal MLI. hal. 93


rone
social,science and technology
info
       komputer
       sosiologi

Interaksionisme Simbolik

PERNIKAHAN Heny dan Syaiful nyaris gagal. Pemicunya sebetulnya sepele,
beberapa untai kalimat dalam telepon terakhir Heny sebelum hari
pernikahan. “Mas, keluargaku minta, besok saat resepsi di hotel, dari
keluarga Mas Saiful jangan membawa anak-anak,” itu yang disampaikan
Heny, pangkal suasana panas di keluarga Saiful. Lidah Saiful kelu, hatinya
kacau tak karauan, ketika berhadapan dengan sidang mendadak keluarga
besarnya, seusai menyampaikan pesan calon istrinya itu

   “Kita memang dari keluarga miskin, tapi kita punya harga diri,” suara ayah
   Saiful meninggi. “Calon mertuamu terlalu sombong, besok aku tak akan
   datang!” tegas sang ayah. “Aku ikut ayahmu,” timpal Ibu Syaiful. Suasana
   tambah hening, menegangkan. Semua pandangan mata tajam menyorot muka
   Saiful yang tertunduk lesu.

   Ancaman ayah Saiful bukan gertakan semata. Keluarga besar Heny mulai
   gelisah. Pukul 09.30, hari ’H’ pernikahan, semua tamu telah berkumpul, tapi
   Saiful dan keluarga besarnya belum juga kelihatan. Sesuai jadwal, semestinya
   akad nikah dilangsungkan pukul 09.00. Tepat pukul 10.00, sebuah mobil
   berhenti, Syaiful keluar dengan langkah gontai. Tak ada anggota keluarga
   yang menyertainya. ”Maaf, bapak dan ibu gak bisa datang,” ungkap Syaiful
   singkat. Raut malu dan sedih tak bisa ditutupinya.

   Untunglah petugas KUA bertindak sigap. ”Pernikahannya bisa dimulai
   sekarang?” tanya Pak Mashudi, memecah ketegangan. ”Silakan Pak,” itu saja
   jawaban ayah Heny, lirih. Akad pun berjalan lancar, begitupula resepsi
   pernikahan beberapa jam sesudahnya. Tetapi, setiap tamu yang hadir
   menyimpan pertanyaan: kenapa tak seorang pun keluarga Syaiful kelihatan
   dalam acara sepenting itu.

Kelaurga Heny dan Syaiful memang memilki latar belakang yang berbeda. Keluarga Heny adalah tipikal
keluarga kelas atas yang tinggal di perkotaan. Mereka terbiasa dengan hidup yang praktis, efisien, dan
mengagungkan gengsi. Mereka bukannya tak suka anak, tetapi mereka tak menginginkan kehadiran
anak-anak kampung, yang tak hanya akan membuat gaduh dan kotor tetapi juga berpotensi
menurunkan gengsi keluarga. Anak-anak ini memang representasi keluarga Syaiful, yang tinggal di
perkampungan. Ayah Syaiful adalah seorang petani, ibunya pedagang kelapa di pasar kampung. Mereka
memang hanya tamat SD, tetapi sangat mencintai pendidikan. Keempat anaknya disekolahkan hingga
bangku perguruan tinggi. Syaiful adalah anak ketiganya, lulusan Fakultas Teknik PTN terkemuka. Syaiful
kini bekerja sebagai konsultan arsitektur sebuah lembaga konsultan teknik dari Singapura. Sebagaimana
orang desa umunya, keluarga besar Syaiful terbiasa hidup secara komunal. Mereka orang yang sangat
mencintau keluarga dan persaudaraan. Mereka adalah prototipe penganut filosofi ’mangan ora mangan
kumpul’. Apapun kondisinya, bagi mereka, kebersamaan itu adalah segalanya.

Dua keluarga di atas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pesta pernikahan, karenanya mereka
berbeda sikap atas kehadiran anak-anak. Makna dan tindakan, inilah salah satu fokus teori
interaksionisme simbolik.

Latar Belakang Teori

Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada
abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat,
teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam
lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang
dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).

Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber
cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa
tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu.
Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan
(Mulyana,2002).

Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran
diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi,
diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce
mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan
secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan
melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga,
manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi
mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan
(actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.
Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami
berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).
Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Chooley , John Dewey,
William I. Thomas dikenal sebagai perintis interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead dikenal sebagai
ilmuwan yang paling populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini.

Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam
sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran
Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead,
kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah
terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and
humanizing activity that people can engage in—talking to each other.”

Asumsi Teori

Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat tujuh asumsi yang
mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni: (1) Pentingnya
makna bagi perilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu
dan masyarakat.

Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa:

           - Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain
           pada mereka.

           - Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia

           - Makna dimodifikasi dalam proses interpretif.

Kisah keluarga Heny dan Syaiful di atas adalah contoh bagaimana pemaknaan yang berbeda akhirnya
melahirkan sikap yang berbeda pula. Interaksi sosial di antara keluarga ini memang berbeda, sehingga
berbeda pula dalam pemaknaan. Setting perdesaan yang komunal melahirkan pemaknaan bahwa
kebersamaan itu adalah segalanya. Sementara lingkungan perkotaan yang metropolis dan individualis
mendorong pemaknaan bahwa hidup harus efektif, praktis, dan bercitarasa.

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning,
language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri
seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar.

   1. Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial

       Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek
       atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut.

   1. Languange (Bahasa): The source of meaning
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat
        dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek,
        melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh
        karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.

        Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang
        berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan
        lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan
        untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah
        sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik
        adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui
        sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme
        simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.

    1. Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other

        Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of symbol is modified by his
        or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai
        inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses
        menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan
        dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka
        seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa
        adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.

        Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang
        menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain
        (take the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain
        peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering
        menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk
        menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu akan
        bertindak.

Setelah dipahami bahwa meaning, language, dan thought memiliki keterkaitan yang sangat erat, maka
kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang
bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri
kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses taking the role
of the other —membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut
gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.

Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa
pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang
harus menjadi anggota komunitas. Merujuk pada pendapat Mead self (diri) adalah proses
mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian
dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-
glass dari reaksi orang lain.

Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus—
mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang
membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized
other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan
berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.

http://edsa.unsoed.net/?p=62

Popularity: 9% [?]


sting Daftar Alamat Universitas di Indonesia (part.3)

Posted on September 1, 2008. Filed under: Universitas |

Universitas Sahid
Jl. Prof. Dr. Supomo SH No. 84,Jakarta Selatan 12870,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 8354763
Telp.(021) 8291638, Telp.(021) 8312815, Telp.(021) 8312816
University

Universitas Satya Negara Indonesia (USNI)
Jl. Sutan Iskandar Muda No. 11, Kebayoran Lama,Jakarta Selatan 12240,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 7200352
Telp.(021) 7398393, Telp.(021) 7398394
University

Universitas Satyagama
Jl. Kamal Raya No. 2-A, Cengkareng,Jakarta Barat 11730,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 54391325
Telp.(021) 5452377, Telp.(021) 5452378, Telp.(021) 54391082
University

Universitas Semarang
Jl. Atmodirono No. 11,Semarang 50241 Jawa Tengah,Indonesia
Jawa Tengah
Fax.(024) 8446865
Telp.(024) 8411562, Telp.(024) 8441524, Telp.(024) 8414753
University

Universitas Surapati
Jl. Dewi Sartika No. 184-A, Cawang,Jakarta Timur 13630,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 8017111
Telp.(021) 8094403, Telp.(021) 9119397
University

Universitas Tarumanagara
Jl. Letjen. S. Parman No. 1, Slipi,Jakarta Barat 11440,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 5604478
Telp.(021) 5671747
University

Universitas Terbuka
Jl. Cabe Raya, Pondok Cabe – Ciputat,Tangerang 15418 Banten,Indonesia
Banten
Fax.(021) 7490147
Telp.(021) 7490941
University
UT
Universitas Trisakti
Kampus A & B Building,Jl. Kyai Tapa,Jakarta Barat 11440,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 5673001
Telp.(021) 5672731, Telp.(021) 5663232, Telp.(021) 5668639
University

Universitas Tunas Pembangunan Surakarta
Jl. Balekambang Lor No. 1,Solo 57139 Jawa Tengah,Indonesia
Jawa Tengah
Fax.(0271) 739048, Fax.(0271) 726278
Telp.(0271) 739048, Telp.(0271) 726278
University

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Jl. Sunter Permai Raya No. 1, Sunter Agung Podomoro,Jakarta Utara 14350,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 64717301
Telp.(021) 64715666, Telp.(021) 64717302
University
Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia
Universitas Indonesia C Building, 2nd Floor,Jl. Salemba Raya No. 4,Jakarta Pusat
10430,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 3145077
Telp.(021) 3145078, Telp.(021) 3908995, Telp.(021) 3907408
Psychology and clinic consultant

Magister Manajemen Universitas Tarumanagara
Jl. Letjen. S. Parman No. 1,Jakarta Barat 11440,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 5655808
Telp.(021) 5671747, Telp.(021) 5655807, Telp.(021) 5655809
Master education programme

Universitas Pendidikan Putra Indonesia
Jl. Muwardi No. 65,Cianjur 43215 Jawa Barat,Indonesia
Jawa Barat
Fax.(0263) 262604
Telp.(0263) 262604
School with diploma

Fakultas Teknologi Informasi Universitas Teknologi Yogyakarta(UTY)
Jl. Ring Road Utara Sendang Adi, Jombor,Sleman 55285 DI Yogyakarta,Indonesia
DI Yogyakarta
Fax.(0274) 623306
Telp.(0274) 623308, Telp.(0274) 623310, Telp.(0274) 623314
University

Universitas Al Azhar Indonesia
Kampus UAI, Masjid Agung Al Azhar Complex,Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru,Jakarta
Selatan 12110,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 7244767
Telp.(021) 72792753, Telp.(021) 7244456
University

Universitas Yarsi
Jl. Letjen. R. Suprapto, Cempaka Putih,Jakarta Pusat 10610,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 4243171
Telp.(021) 4244574, Telp.(021) 4206674, Telp.(021) 4206675
University
1. Pt Aemona Kartasoemantri

Kantor: Jl Bendi Raya Bl B-3 A/29 JAKARTA

2. Akademi Administrasi Keuangan Jakarta

Kantor: Jl Pahlawan Revolusi 12 JAKARTA

3. Akademi Akuntansi Bentara Indonesia

Kantor: Jl Pembangunan I 22 JAKARTA

4. Akademi Akuntansi Dan Perbankan

Kantor: Ged STIE Perbanas RT 014/07 JAKARTA

5. Akademi Akuntansi Dan Perbankan Perbanas

Kantor: Jl Genteng Hijau RT 014/07 JAKARTA

6. Akademi Akuntansi Jayabaya

Kantor: Jl Pulo Mas Slt Kav 23 JAKARTA

7. Akademi Akuntansi Yai

Kantor: Jl Biru Laut Tmr 1 Kompl Kelapa Gading Permai JAKARTA

8. Akademi Analisa Farmasi Dan Makanan Caraka Nusantara

Kantor: Jl Pulo Gebang Kompl Pulogebang Permai Bl H-4/10 JAKARTA

9. Akademi Bahasa Asing Kertanegara

Kantor: Jl Budi 21 JAKARTA

10. Akademi Bahasa Asing Nasional

Kantor: Jl Sawo Manila JAKARTA

11. Akademi Bahasa Asing Prawira Martha

Kantor: Jl Pemuda 72-73-GH JAKARTA
12. Akademi Bahasa Asing Ypkk

Kantor: Kompl Bukit Cireundeu Bl C-6/7 JAKARTA

13. Akademi Farmasi Bhumi Husada

Kantor: Jl Sunan Giri 5-A Ged Prestasi RT 001/07 Lt 1 JAKARTA

14. Akademi Farmasi Hangtuah Jakarta

Kantor: Jl Farmasi 1 JAKARTA

15. Akademi Fisiotherapy

Kantor: Jl RS Fatmawati JAKARTA

16. Akademi Gizi

Kantor: Jl Hang Jebat III Kompl Dep Kes Bl F3 JAKARTA

17. Akademi Ilmu Teknologi Komputer

Kantor: Jl Ciasem 4 JAKARTA

18. Akademi Ilmu Pemasyarakatan

Kantor: Jl Gandul Cinere Raya JAKARTA

19. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Kantor: Jl Jend Gatot Subroto 10 Ged PDII Lt 1 JAKARTA

20. Akademi Jakarta

Kantor: Jl Cikini Raya 73 JAKARTA




Daftar Universitas

Di Jakarta
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat
Kultur vs Masyarakat

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

sosiologi "integrasi dan reintegrasi"
sosiologi "integrasi dan reintegrasi"sosiologi "integrasi dan reintegrasi"
sosiologi "integrasi dan reintegrasi"Dedi Saputra
 
PPT Paradigma dan teori sosial.ppt
PPT Paradigma dan teori sosial.pptPPT Paradigma dan teori sosial.ppt
PPT Paradigma dan teori sosial.pptFajarSKMMKes
 
Teori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukanTeori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukanTrisna Nurdiaman
 
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot ParsonsTeori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot ParsonsTrisna Nurdiaman
 
Ppt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budaya
Ppt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budayaPpt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budaya
Ppt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budayavanmook2
 
Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS
Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS
Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS MontyPython97
 
Psikologi umum 1, kode etik
Psikologi umum 1, kode etik Psikologi umum 1, kode etik
Psikologi umum 1, kode etik Irvan Khoerul
 
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...Daniel Arie
 
Kisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusi
Kisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusiKisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusi
Kisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusiapotek agam farma
 
Asal mula pancasila (LANGSUNG)
Asal mula pancasila (LANGSUNG)Asal mula pancasila (LANGSUNG)
Asal mula pancasila (LANGSUNG)salsa moyara
 
Konflik dan integrasi sosial dalam masyarakat
Konflik dan integrasi sosial dalam masyarakatKonflik dan integrasi sosial dalam masyarakat
Konflik dan integrasi sosial dalam masyarakatSlamet Readi
 
Pengantar Sosiologi
Pengantar SosiologiPengantar Sosiologi
Pengantar SosiologiMuhamad Yogi
 
Permasalahan sosial
Permasalahan sosialPermasalahan sosial
Permasalahan sosialabd_
 
Perubahan sosial budaya kd3.1
Perubahan sosial budaya kd3.1Perubahan sosial budaya kd3.1
Perubahan sosial budaya kd3.1Eko Sudarmi
 
Ppt globalisasi
Ppt globalisasiPpt globalisasi
Ppt globalisasihalilibun
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiWijining Putri
 
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuanSosiologi sebagai ilmu pengetahuan
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuanayu larissa
 

Was ist angesagt? (20)

Dinamika Sosial
Dinamika SosialDinamika Sosial
Dinamika Sosial
 
sosiologi "integrasi dan reintegrasi"
sosiologi "integrasi dan reintegrasi"sosiologi "integrasi dan reintegrasi"
sosiologi "integrasi dan reintegrasi"
 
PPT Paradigma dan teori sosial.ppt
PPT Paradigma dan teori sosial.pptPPT Paradigma dan teori sosial.ppt
PPT Paradigma dan teori sosial.ppt
 
Teori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukanTeori sosiologi kependudukan
Teori sosiologi kependudukan
 
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot ParsonsTeori struktural fungsional - Talcot Parsons
Teori struktural fungsional - Talcot Parsons
 
Ppt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budaya
Ppt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budayaPpt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budaya
Ppt ips-kls-9-k13-bab-2-perubahan-sosial-budaya
 
Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS
Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS
Perubahan Sosial di Masyarakat Presentasi kelas XII IPS
 
Contoh cover resensi
Contoh cover resensiContoh cover resensi
Contoh cover resensi
 
Psikologi umum 1, kode etik
Psikologi umum 1, kode etik Psikologi umum 1, kode etik
Psikologi umum 1, kode etik
 
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
 
Kisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusi
Kisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusiKisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusi
Kisi kisi-n-soal-dasar-negara-konstitusi
 
Asal mula pancasila (LANGSUNG)
Asal mula pancasila (LANGSUNG)Asal mula pancasila (LANGSUNG)
Asal mula pancasila (LANGSUNG)
 
Konflik dan integrasi sosial dalam masyarakat
Konflik dan integrasi sosial dalam masyarakatKonflik dan integrasi sosial dalam masyarakat
Konflik dan integrasi sosial dalam masyarakat
 
Pengantar Sosiologi
Pengantar SosiologiPengantar Sosiologi
Pengantar Sosiologi
 
Permasalahan sosial
Permasalahan sosialPermasalahan sosial
Permasalahan sosial
 
Konflik Sosial
Konflik SosialKonflik Sosial
Konflik Sosial
 
Perubahan sosial budaya kd3.1
Perubahan sosial budaya kd3.1Perubahan sosial budaya kd3.1
Perubahan sosial budaya kd3.1
 
Ppt globalisasi
Ppt globalisasiPpt globalisasi
Ppt globalisasi
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
 
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuanSosiologi sebagai ilmu pengetahuan
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
 

Andere mochten auch

Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi SosialTeori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi SosialYaser Lopekabausirah
 
Teori Sosiologi Modern dan Postmodern
Teori Sosiologi Modern dan PostmodernTeori Sosiologi Modern dan Postmodern
Teori Sosiologi Modern dan Postmodernafifahdhaniyah
 
Makalah perilaku sosial [pos]
Makalah perilaku sosial [pos]Makalah perilaku sosial [pos]
Makalah perilaku sosial [pos]Trisna Nurdiaman
 
Teori Sosiologi Modern dan Post Modern
Teori Sosiologi Modern dan Post ModernTeori Sosiologi Modern dan Post Modern
Teori Sosiologi Modern dan Post Modernafifahdhaniyah
 
Arah kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Arah kebijakan Penanggulangan KemiskinanArah kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Arah kebijakan Penanggulangan KemiskinanSutardjo ( Mang Ojo )
 
Teori Dasar Marx
Teori Dasar MarxTeori Dasar Marx
Teori Dasar Marxade armando
 
Kemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesiaKemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesiaIndra Wanto
 
Kemiskinan dan implikasinya
Kemiskinan dan implikasinyaKemiskinan dan implikasinya
Kemiskinan dan implikasinyaandittrio
 
Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914
Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914
Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914Sutardjo ( Mang Ojo )
 
METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIFMETODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIFSanjaya Koembara
 
Karl mark dan teori kritis
Karl mark dan teori kritisKarl mark dan teori kritis
Karl mark dan teori kritisimam prihadiyoko
 
Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Implementasi Kebijakan Pengentasan KemiskinanImplementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Implementasi Kebijakan Pengentasan KemiskinanDadang Solihin
 
Pengertian Paradigma Perencanaan
Pengertian Paradigma PerencanaanPengertian Paradigma Perencanaan
Pengertian Paradigma PerencanaanFauzan Barnanda
 
Makalah kemiskinan di Indonesia
Makalah kemiskinan di IndonesiaMakalah kemiskinan di Indonesia
Makalah kemiskinan di Indonesiadena sundari alief
 
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani KemiskinanKebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani KemiskinanRandy Chamzah
 
Kemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesiaKemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesiaArif cebe
 

Andere mochten auch (20)

Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi SosialTeori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
 
Teori Sosiologi Modern dan Postmodern
Teori Sosiologi Modern dan PostmodernTeori Sosiologi Modern dan Postmodern
Teori Sosiologi Modern dan Postmodern
 
Kemiskinan (SOSIOLOGI)
Kemiskinan (SOSIOLOGI)Kemiskinan (SOSIOLOGI)
Kemiskinan (SOSIOLOGI)
 
Talcott parson - agil
Talcott parson - agilTalcott parson - agil
Talcott parson - agil
 
Makalah perilaku sosial [pos]
Makalah perilaku sosial [pos]Makalah perilaku sosial [pos]
Makalah perilaku sosial [pos]
 
Teori Sosiologi Modern dan Post Modern
Teori Sosiologi Modern dan Post ModernTeori Sosiologi Modern dan Post Modern
Teori Sosiologi Modern dan Post Modern
 
Arah kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Arah kebijakan Penanggulangan KemiskinanArah kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Arah kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
 
Teori Dasar Marx
Teori Dasar MarxTeori Dasar Marx
Teori Dasar Marx
 
Kemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesiaKemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesia
 
Kemiskinan dan implikasinya
Kemiskinan dan implikasinyaKemiskinan dan implikasinya
Kemiskinan dan implikasinya
 
Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914
Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914
Paparan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan bali 020914
 
METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIFMETODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
 
Karl mark dan teori kritis
Karl mark dan teori kritisKarl mark dan teori kritis
Karl mark dan teori kritis
 
budaya organisasi
budaya organisasibudaya organisasi
budaya organisasi
 
Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Implementasi Kebijakan Pengentasan KemiskinanImplementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Implementasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
 
Pengertian Paradigma Perencanaan
Pengertian Paradigma PerencanaanPengertian Paradigma Perencanaan
Pengertian Paradigma Perencanaan
 
Makalah kemiskinan di Indonesia
Makalah kemiskinan di IndonesiaMakalah kemiskinan di Indonesia
Makalah kemiskinan di Indonesia
 
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani KemiskinanKebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kemiskinan
 
Kemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesiaKemiskinan di indonesia
Kemiskinan di indonesia
 
Rpp 5 geo atmosfer
Rpp 5 geo atmosferRpp 5 geo atmosfer
Rpp 5 geo atmosfer
 

Ähnlich wie Kultur vs Masyarakat

Bab 1 sosiologi dan pembelajaran
Bab 1 sosiologi dan pembelajaranBab 1 sosiologi dan pembelajaran
Bab 1 sosiologi dan pembelajaranAsyikin4996
 
Nota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdf
Nota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdfNota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdf
Nota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdfPDPPPI11022YusnidaBi
 
Sosiologi pendidikan (1)
Sosiologi pendidikan (1)Sosiologi pendidikan (1)
Sosiologi pendidikan (1)Jean Dcedric
 
Power point sap-sosiologi-32
Power point sap-sosiologi-32Power point sap-sosiologi-32
Power point sap-sosiologi-32dinnianggra
 
Sosiologi%20 pendidikan[1]
Sosiologi%20 pendidikan[1]Sosiologi%20 pendidikan[1]
Sosiologi%20 pendidikan[1]Zubidah Naim
 
Sociology as a science that analyses society
Sociology as a science that analyses societySociology as a science that analyses society
Sociology as a science that analyses societyMalik Fauzi
 
TUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdf
TUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdfTUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdf
TUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdfAmbarwati7620
 
Pengantar sosiologi
Pengantar sosiologi Pengantar sosiologi
Pengantar sosiologi Chintya M
 
Teori media dan teori kemasyarakatan
Teori media dan teori kemasyarakatanTeori media dan teori kemasyarakatan
Teori media dan teori kemasyarakatanReni Kurniati
 
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdfYoyokNoviyanto
 
Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...
Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...
Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...Baiq Rilda Erliana Zahara
 
Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)
Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)
Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)NurSyaqina
 
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptxPipitFitriyah4
 
pengertian sosiologi
 pengertian sosiologi pengertian sosiologi
pengertian sosiologisuher lambang
 
Tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologi
Tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologiTokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologi
Tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologiAkbarGhani1
 

Ähnlich wie Kultur vs Masyarakat (20)

TEORI TEORI SOSIAL
TEORI TEORI SOSIALTEORI TEORI SOSIAL
TEORI TEORI SOSIAL
 
My presentation
My presentationMy presentation
My presentation
 
Bab 1 sosiologi dan pembelajaran
Bab 1 sosiologi dan pembelajaranBab 1 sosiologi dan pembelajaran
Bab 1 sosiologi dan pembelajaran
 
Nota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdf
Nota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdfNota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdf
Nota_Slide_Pengenalan_Sosiologi_dlm_Pendidikan_pdf.pdf
 
Sosiologi pendidikan (1)
Sosiologi pendidikan (1)Sosiologi pendidikan (1)
Sosiologi pendidikan (1)
 
Materi Teori Sosial.pptx
Materi Teori Sosial.pptxMateri Teori Sosial.pptx
Materi Teori Sosial.pptx
 
Power point sap-sosiologi-32
Power point sap-sosiologi-32Power point sap-sosiologi-32
Power point sap-sosiologi-32
 
Sosiologi%20 pendidikan[1]
Sosiologi%20 pendidikan[1]Sosiologi%20 pendidikan[1]
Sosiologi%20 pendidikan[1]
 
Pengantar sosiologi antropologi filsafat Ilmu
Pengantar sosiologi  antropologi filsafat IlmuPengantar sosiologi  antropologi filsafat Ilmu
Pengantar sosiologi antropologi filsafat Ilmu
 
Sociology as a science that analyses society
Sociology as a science that analyses societySociology as a science that analyses society
Sociology as a science that analyses society
 
TUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdf
TUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdfTUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdf
TUGAS BESAR 1_ SOSIOLOGI KOMUNIKASI_ AMBARWATI _44321120002.pdf
 
Pengantar sosiologi
Pengantar sosiologi Pengantar sosiologi
Pengantar sosiologi
 
Teori media dan teori kemasyarakatan
Teori media dan teori kemasyarakatanTeori media dan teori kemasyarakatan
Teori media dan teori kemasyarakatan
 
Sosiologi sebagai ilmu
Sosiologi sebagai ilmuSosiologi sebagai ilmu
Sosiologi sebagai ilmu
 
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pdf
 
Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...
Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...
Kumpulan Artikel Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD) - Baiq Rilda Erliana Zahara,...
 
Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)
Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)
Sosiologi dan pembelajaran (Bab 1)
 
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx
1. Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi.pptx
 
pengertian sosiologi
 pengertian sosiologi pengertian sosiologi
pengertian sosiologi
 
Tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologi
Tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologiTokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologi
Tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern, Indonesia dan macam-macam Teori sosiologi
 

Kultur vs Masyarakat

  • 1. Kultur (Kebudayaan) vs Masyarakat Culture vs Society Culture is changing constantly. Certain products of culture are governments, languages, buildings and man made things. It is a powerful tool for the survival of mankind. Cultural patterns of ancient people are reflected in their artifacts and are studied by archaeologists to understand their way of life. Culture is an important part of a society for the very existence of society. Culture also plays an important role to establish discipline in a society. According to the behavior patterns and perceptions, there are three levels of culture. First one is the body of cultural traditions that makes you to differentiate a society from others. When people speak German, Japanese or Italian, then they are referred as the language, beliefs and traditions shared by each set of people that is different from others. Second one is the subculture in which different societies from different parts of the world preserve their original culture. Such people are the part of a subculture in the new society. For example, subcultures in United States consist of ethnic groups like Mexican Americans, African Americans and Vietnamese Americans. The members of each subculture share a common language, identity, food tradition and other traits through a common ancestral upbringing. The third level is the cultural universals that consist of behavior patterns shared by the humanity as a whole. Some examples of such behavior patterns are communicating with a verbal language, use of age and gender to classify people, differentiation based on marriage and relationships. Society is referred to as a group of people who share common area, culture and behavior patterns. Society is united and referred as a distinct entity. Society consists of a government, health care, education system and several occupations of people. In a society each and every individual is important because each individual can contribute something to the society. Also you can find smaller groups of people with a certain goal which include groups of students, government agencies or groups that raise money for a specific cause in a society. Many different cultures can be found within a society. You can find several differences within a country or town. In a broad sense, the society is made of varied multitude of individuals with social, economic or industrial infrastructure. One of the major benefits of a society is that it serves the individuals in the time of crisis. Societies are also organized depending up on their political structure such as State, bands, chiefdoms and tribes. The degrees of political power vary according to the cultural, historical and geographical environments. Certain societies give certain status to an individual or group of people when an individual or group performs a favorable action for the society. Read more: Difference Between Culture and Society Difference Between Culture vs Society http://www.differencebetween.net/miscellaneous/difference-between-culture-and- society/#ixzz1NFsPSpkj
  • 2. Sumber: http://www.differencebetween.net/miscellaneous/difference-between-culture-and-society/ Teori Konstruksi Sosial (P.L. Berger) Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger? Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ‟teori makna‟ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna perspektif Berger. Ragam Aliran Teori Sosiologi Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990).1 Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.2 Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution)3. Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.4 Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut
  • 3. dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz), Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni „perilaku individu yang tak terpikirkan‟. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer. Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro- mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.8 Kritik Multi-Paradigma Ritzer Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing- masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.9 Selain itu, paradigma integratif sebagai „konsensus‟ antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan. Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi
  • 4. sombolik) tak lagi relevan.10 Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historis-hermeneutis, dan Emansipatorik Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu- ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Positivisme Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi obyektif. Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte. Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk teori –bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917) adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik, terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai.13 Humanisme Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.14 Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada fenomena „spiritual‟ atau „ideal‟ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-
  • 5. produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).15 Kritis Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut: 1. teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia statis “di luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat akan terus mengalami perubahan. 2. teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan. 3. teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. 4. pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida). 5. teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari- hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme. 6. mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur manusia secara dialektis. 7. teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis juga menolak pragmatisme revolusioner. Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
  • 6. penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough –juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.16 Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis) kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” atau ”sejati”. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan. Metodologi Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis- hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Walaupun begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda –walau masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik. Walaupun sama-sama menekuni makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi sejarah sebagai bagian dari metodologinya. Posisi Teori Berger Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi „perang‟ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau kritis? Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian: Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya
  • 7. merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 268). Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger. Selain konsep diri atau self, makna adalah istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna; 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka 2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain 3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Bagi Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa sehingga pengalaman itu “punya arti”. Etnometodologi Garfinkel menyangkut isu realitas common sense di tingkat individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa tingkat kolektif.1 Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz –sebagaimana juga Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan makna (Novri Susan, 2003:46). Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna –yang “bersembunyi”/”melekat”. Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan “pembentukan makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense (dunia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi –dari orang-orang sebelumnya, terlebih dari significant others. Common sense terbentuk dari tipifikasi
  • 8. yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi kolektif. Sosiologi Pengetahuan Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz, Berger jauh keluar dari fenomenologi Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas. Karena itu garapan Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, Berger tetap menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan (sekali lagi) menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991: 36). Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif –karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral. Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan kamu adalah saudari X” (Berger, 1991: 37) Jika dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi itu misalnya, “Kamu tidak boleh „berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu, dan jika engkau melakukan itu, maka engkau telah berzina, telah melakukan perbuatan dosa yang besar”. Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990). “Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.2 Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3 Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990: 34). Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990) merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuannya. Buku ini terdiri dari tiga bab, yakni; dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas subyektif. Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi ‟lain‟, kehidupan sehari- hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai ‟yang nyata‟ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subyektif –yang membentuk dunia akal-sehat intersubyektif (hlm. 29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal (dalam kehidupan sehari-hari). Realitas kehidupan sehari-hari merupakan taken for granted. Walaupun ia bersifat memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang)
  • 9. dipermasalahkan oleh individu (Misalnya; civitas kampus FISIP Unair jarang, bahkan belum pernah, menanyakan; mengapa gedung FISIP di Kampus B, mengapa kantor dekan di lantai satu, mengapa kantinnya di sebelah utara. Hal itu sudah dianggap alamiah, sehingga tak perlu dibuktikan kebenarannya). Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan; realitas sosial yang bersifat khas (dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya), dan totalitas yang teratur –terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek yang menyertainya (Samuel, 1993: 9). Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh obyektivasi, juga memuat signifikasi. Siginfikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan obyektivasi yang khas, yang telah memiliki makna intersubyektif –walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua ini merupakan sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkinkan menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka. Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif Manusia berbeda dengan binatang. Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan, sejak dilahirkan hingga melahirkan –sampai mati. Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus –sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya (Berger, 1991: 4-5). Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang – sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum. Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif –karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. Perlu sebuah universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna bagi individu –dan individu harus melakukan sesuai makna itu. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori
  • 10. dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi lembaga sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada perubahan sosial. Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ‟mengambil alih‟ dunia yang sedang dihuni sesamanya (Samuel, 1993: 16). Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat. Metodologi Menurut Hanneman Samuel, metodologi Sosiologis Berger mengacu pada tiga poin penting dalam kerangka teori Berger –yang berkaitan dengan arti penting makna yang dimiliki aktor sosial, yakni: Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat dilakukan, Pertama, makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak segera tersedia secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis membimbing tindakan dalam kehidupan sehari- hari. Kedua, makna dapat dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam interaksi (misalnya melalui media massa). Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan. Masyarakat merupakan suatu satuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari relasi-relasi antar manusia yang (relatif) besar dan berpola (Samuel, 1993: 3).4 Interaksi sosial sebagai subject matter adalah interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal tak hanya bermakna interaksi antar individu dengan individu lainnya, tetapi meliputi kelompok dan struktur sosial. Karena itu faktor kultural, ekonomi, dan politik tak dapat diabaikan. Perjalanan sosial manusia tak lepas dari masa lalu dan masa mendatang, sehingga aspek vertikal (sejarah) menjadi penting. Hal ini tidak berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah dan menyatu dengan ilmu sejarah, tapi sosiologi meminjam data sejarah untuk meningkatkan pemahamannya tentang realitas masa kini. Jihad sebagai Konstruksi Sosial (Sebuah Contoh Analisa Sederhana dengan Sosiologi Pengetahuan) Sejak jihad dieksternalisasikan Nabi Muhammad dan kaumnya empat belas abad silam, sejak itu jihad menjadi isu dan amalan penting yang bertahan hingga kini. Sejak itu pula jihad menjadi fenomena sosial yang menyejarah sekaligus fenomenal. Jihad tak hanya menjadi realitas bagi kaum muslimin, tetapi juga umat yang lain.5 Jihad telah menjadi makanan sehari- hari umat Islam. Sehingga umat Islam di luar Arab tak perlu lagi menerjemahkan jihad dalam
  • 11. bahasa ibunya. Kata jihad sudah mendarah daging sebagaimana kata islam itu sendiri. Karena itu fenomena jihad selalu tergambar nyata. Bahkan umat Islam menyimpan pengalaman tentang jihad sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka. Mengikuti konstruksi sosial Berger, realitas sosial jihad menjadi teperlihara dengan ter‟bahasa‟kannya dalam Alquran, hadits, buku- buku/manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini. Agama (Islam) berhasil melegitimasikan jihad, terlebih dengan menjadikan agama sebagai ideologi negara. Alhasil, bersatunya dua kekuatan besar (agama dan negara) selama berabad-abad (selama imperium Islam) menjadikan jihad sebagai realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan. Sosialisasi jihad terus berlangsung seiring sosialisasi Islam. Jihad terus diinternalisasi oleh individu muslim, sehingga menjadi realitas subyektif. Realitas subyektif itu terus dieksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena jihad memiliki makna yang luas, sehingga dapat dieksternalisasikan dalam setiap detik dan ruang kehidupan kaum muslim. Jihad mengisi keseharian rakyat Palestina yang mengangkat senjata melawan Israel, menjadi titik tolak muslimin Irak mengusir Amerika dan sekutunya, menjadi jalan muslimin Amerika menyebarkan Islam rahmatan lil-’alamiin. Jihad juga menjadi ruh dakwah mubaligh-mubaligh Muhammadiyah dan kyai-kyai NU, perjuangan politik kader-kader PKS, dan perjuangan mengakkan syariat Islam bagi para mujahid-mujahid MMI. Jihad adalah sahabat umat Islam saat menunaikan sholat, puasa, dan haji, saat bekerja menghidupi keluarga, saat membantu mengentaskan rakyat miskin, dan saat mengkhidmatkan dirinya dalam ibadah, dimana pun dan kapan pun. Tak pelak, jihad memiliki kenyataan obyektif yang tak bisa dinihilkan. Namun di sisi lain, jihad adalah kenyataan subyektif –yang relatif, plural, dan dinamis. Jihad qital bisa menjadi nyata bagi sebagian orang, tapi bisa tidak menjadi ‟nyata‟ bagi sebagian yang lain. Jihad memiliki keragaman makna (subyektif), tiap individu memiliki penafsiran sendiri-sendiri, dan penafsiran (makna subyektif) itu terus berproses –dan memungkinkan untuk berubah. Daftar Pustaka Buku Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002. Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988. Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. ____________, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004 Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003. Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, 1985 Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002 Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1995. Skripsi Novri Susan, Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama Masyarakat Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003. Jurnal, Majalah, dll Jurnal Gerbang,
  • 12. No.14, Vol.V. Februari-April 2003, Menafsirkan Hermeneutika, Ahmad Zainul Hamdi (Redaktur Pelaksana). Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). Happy Susanto, Menggagas “Sosiologi Profetik”, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003, International Institute of Islamic Thought Indonesia. PoMakalah Tugas Sosiology by Khaerul Mulsim Definisi Operasional Di dalam makalah ini ada beberapa terminologi yang perlu dibuatkan definisi operasionalnya, dengan maksud agar tidak terjadi perbedaan persepsi di dalam memahami isi makalah ini. Definisi operasional dimaksud adalah: 1. Perubahan Sosial Adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat 1. Erosi Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan erosi adalah proses terkikisnya nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam sebuah komunitas masyarakat akibat adanya pengaruh faktor-faktor eksternal. 1. Nilai-nilai kearifan lokal Nilai-nilai kearifan lokal adalah segala bentuk adat kebiasaan, perilaku, petuah dan kaida-kaidah atau norma yang berlaku ditengah-tengah sebuah komunitas masyarakat, yang telah tumbuh dalam periode waktu tertentu, berkembang dan menjadi milik khas komunitas masyarakat setempat. 1. Desa Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Bisa juga diartikan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1. Masyarakat Pedesaan Masyarakat pedesaan merupakan komunitas masyarakat yang bertempat tinggal dan berinteraksi diantara sesamanya di dalam satu atau beberapa di desa dalam satu wilayah kecamatan. Dari
  • 13. aspek pemerintahan, masyarakat pedesaan adalah komunitas masyarakat yang tinggal pada wilayah-wilayah yang bersatus desa. Secara umum, masyarakat pedesaan umumnya bermukim di wilayah-wilayah yang relatif berada “jauh” dari pusat pemerintahan kabupaten/kota. 1. Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat adalah bagian dari wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia, Berdiri: 14 Agustus 1958, Dasar Pendirian : UU No 4 Tahun 1958, Ibu Kota: Mataram, Luas Wilayah : Kurang lebih 20.153,15 km2, Posisi/Letak Geografis : 8 derajad – 9 derajat LS dan 115 derajat – 119 derajat BT. Terdiri atas 2 pulau besar: Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, dengan jumlah kabupaten/kota saat ini : 9 Kabupaten / kota. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kajian mengenai masyarakat pedesaan merupakan hal yang menarik banyak pihak, khususnya para sosiolog. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena begitu spesifiknya situasi sosial dan budaya, adat istiadat maupun norma-norma serta nilai-nilai yang dimiliki oleh mereka, yang membuatnya berbeda dengan masyarakat di perkotaan. Sementara disatu sisi, masyarakat perkotaan merupakan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat pedesaan atau berasal dari orang-orang berasal dari desa/pedesaan. Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1) istilah desa dapat diartikan ke dalam tiga istilah yaitu desa, dusun, dan desi yang semuanya berasal dari suku kata swa desi. Istilah ini sama maknanya dengan negara, negeri, nagari yang berasal dari kata nagaram. Istilah ini berasal dari kata sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Indonesia yang saat ini terdiri atas 33 provinsi, diantaranya Nusa Tenggara Barat, sangat kaya akan keragaman masyarakat pedesaannya. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. Kenyataan ini mengakibatkan tidak mudah untuk membuat generalisasi terhadap terjadinya perubahan sosial serta erosi nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Sebagai jalan keluarnya, maka identifikasi terjadinya perubahan dimaksud harus dilakukan secara parsial berdasarkan wilayah dan atau berdasarkan kesamaan ciri dari masyarakat pedesaan. Terkait dengan adanya perubahan sosial dan terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa/pedesaan, hal ini harus dilihat sebagai sebuah kejadian yang alamiah. Masyarakat sebagai kumpulan manusia tidak pernah tidak berubah, sebagai bukti bahwa masyarakat itu dinamis. Perubahan sosial maupun berbagai perubahan lainnya, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor menjadi penyebab terjadinya perubahan dimaksud, antara lain: perkembangan yang pesat dari teknologi komunikasi dan informasi, perubahan kemampuan ekonomi, majunya
  • 14. kualitas pendidikan, semakin baiknya sistem dan alat transportasi, serta semakin intensnya masyarakat pedesaan berinteraksi dengan pihak lain diluar komunitas mereka sendiri. Kesemua faktor yang diuraikan tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun bersinergi satu sama lain, mengakibatkan proses perubahan sosial maupun erosi nilai-nilai kearifan lokal terjadi secara perlahan maupun secara cepat. Persoalan yang menjadi pertanyaan bersama adalah: (1) Apa saja macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi?; (2) Indikator apakah yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal dimaksud?; (3) Seberapa cepatkah proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal itu terjadi?;(4) Faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan pada masyarakat pedesaan?; __________________ 1 Soetardjo Kartoadikoesoemo. Dalam Potensi Pembangunan Desa, Buku Sekolah Elektronik Online Untuk menjawab ke empat macam pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah. Diperlukan serangkaian penelitian yang mendalam dengan metode yang tepat dan sistematis, serta dilakukan oleh peneliti yang tepat. Oleh sebab itu, maka penyusunan makalah ini merupakan langkah awal yang bersifat sederhana untuk membahas proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang diduga sudah, sedang dan akan terjadi pada masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Barat, serta menghasilkan kesimpulan awal atas dugaan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Barat 2. Manfaat dan Tujuan a. Makalah ini disusun dengan harapan dipereoleh manfaat: a.1. Mahasiswa fakultas hukum Unram reguler sore peserta mata kuliah sosiologi terlatih mencara bahan rujukan dan bacaan yang terkait dengan tugas yang diberikan, dari berbagai sumber dengan berbagai cara. a.2. Melatih mahasiswa fakultas hukum Unram reguler sore agar mampu menyusun tulisan sesuai dengan standar penulisan ilmiah. b. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk: b.1. Memenuhi tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh dosen pengasuh mata kuliah Sosiologi.
  • 15. b.2. Mengolah informasi dari berbagai sumber bacaan untuk membahas dan menyimpulkan masalah yang diangkat sesuai dengan topik yang diberikan serta judul yang ditetapkan. b.2. Memenuhi persyaratan menyelesaikan mata kuliah sosiologi. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Perubahan Sosial Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan. 1) Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, dan transportasi. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita memasak makanan dengan cara membakarnya, sekarang di zaman modern memasak makanan menggunakan alat modern seperti oven atau membeli makanan yang diawetkan. 2) Mata pencaharian dan sistem ekonomi meliputi pertanian, peternakan, dan sistem produksi. Sebagai contoh, kaum laki-laki bekerja dengan cara berburu atau pekerjaan lainnya, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Sekarang kaum perempuan dapat juga bekerja dan mata pencaharian untuk kaum laki-laki tidak hanya berburu saja, tetapi sudah beragam jenisnya. 3) Sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan. Sebagai contohnya, pada masa kehidupan belum begitu kompleks orang- orang yang ada ikatan darah atau keluarga selalu hidup bersama dalam satu rumah. Saat ini ikatan masyarakat tidak hanya berdasarkan hubungan kekerabatan, tetapi juga karena profesi, dan hobi yang sama seperti ikatan motor gede (MOGE), orari (radio amatir). 4) Bahasa dahulu disampaikan secara lisan. Sekarang bahasa dapat disampaikan melalui beragam media, seperti tulisan, sandi, dan sebagainya. 5) Kesenian mencakup seni rupa, seni suara, dan seni tari. Sebagai contoh, orang Jawa menganggap bahwa sebuah rumah yang indah jika bernuansa gelap, sekarang masyarakat Jawa banyak menyukai rumah yang bernuansa terang ataupun pastel. 6) Sistem pengetahuan berkaitan dengan teknologi. Dahulu kala sistem pengetahuan hanya berpedoman pada alam atau peristiwa alam. Sekarang ini sistem pengetahuan terus berkembang seiring berkembangnya teknologi. 7) Religi atau sistem kepercayaan dahulu kala berwujud sistem keyakinan dan gagasan tentang dewa, roh halus, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala kegiatan manusia dikaitkan
  • 16. dengan kepercayaan berdasarkan getaran jiwa. Namun, sekarang aktivitas manusia banyak yang dikaitkan dengan akal dan logika. Perubahan di berbagai bidang sering disebut sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan. Meskipun demikian perubahan sosial dan budaya sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang merupakan hasil dari proses yang berlangsung terus-menerus dan memberikan kesan positif atau negatif. Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain. Ada banyak pendapat tentang definisi perubahan sosial yang disampaikan oleh beberapa sosiolog. 2. Definisi Perubahan Sosial dan Budaya Berikut ini beberapa ilmuwan yang mengungkapkan tentang definisi dan batasan perubahan sosial. No Tokoh Pendapat Tentang Perubahan Sosial Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan 1 Gillin dan Gillin komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat Modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan 2 Samuel Koenig manusia, yang terjadi karena sebab intern atau ekstern Segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, 3 Selo Soemardjan termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat Perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan 4 Max Iver terhadap keseimbangan hubungan sosial Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi 5 Kingsley Davis masyarakat Perubahan struktur sosial dalam organisasi sosial sehingga 6 Bruce J. Cohen syarat dalam perubahan itu adalah sistem sosial, perubahan hidup dalam nilai sosial dan budaya masyarakat
  • 17. 7 Roucek dan Warren Perubahan dalam proses sosial atau dalam struktur masyarakat Lalu apakah perubahan sosial budaya? Berikut ini ada beberapa pengertian dari perubahan sosial budaya. 1. Max Weber berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological Writings). 2. W. Kornblum berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama (dalam buku Sociology in Changing World). 3. Karakteristik Perubahan Sosial dan Budaya Dengan memahami definisi perubahan sosial dan budaya di atas, maka suatu perubahan dikatakan sebagai perubahan sosial budaya apabila memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Tidak ada masyarakat yang perkembangannya berhenti karena setiap masyarakat mengalami perubahan secara cepat ataupun lambat. 2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan akan diikuti perubahan pada lembaga sosial yang ada. 3. Perubahan yang berlangsung cepat biasanya akan mengakibatkan kekacauan sementara karena orang akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. 4. Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau spiritual saja karena keduanya saling berkaitan. 4. Sebab-Sebab Perubahan Sosial Budaya Sebuah perubahan bisa terjadi karena sebab dari dalam (intern) atau sebab dari luar (ekstern). Dalam sebuah masyarakat, perubahan sosial dan budaya bisa terjadi karena sebab dari masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat. 1) Sebab Intern Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain: a. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk akan menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena faktor pekerjaan. Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya. Contoh perubahan penduduk adalah program transmigrasi dan urbanisasi.
  • 18. b. Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama (invention). c. Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat. d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan- perubahan besar. Misalnya, Revolusi Rusia (Oktober 1917) yang mampu menggulingkan pemerintahan kekaisaran dan mengubahnya menjadi sistem diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Revolusi tersebut menyebabkan perubahan yang mendasar, baik dari tatanan negara hingga tatanan dalam keluarga. 2). Sebab Ekstern Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain: 1. Adanya pengaruh bencana alam. Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya. 1. Adanya peperangan. Peristiwa peperangan, baik perang saudara maupun perang antar negara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaannya kepada pihak yang kalah. 1. Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut. 5. Bentuk Perubahan Sosial Budaya Perubahan adalah sebuah kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan itu bisa berupa kemajuan maupun kemunduran. Bila dilihat dari sisi maju dan mundurnya, maka bentuk perubahan sosial dapat dibedakan menjadi 2 yakni: 1). Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress)
  • 19. Perubahan sebagai suatu kemajuan merupakan perubahan yang memberi dan membawa kemajuan pada masyarakat. Hal ini tentu sangat diharapkan karena kemajuan itu bisa memberikan keuntungan dan berbagai kemudahan pada manusia. Perubahan kondisi masyarakat tradisional, dengan kehidupan teknologi yang masih sederhana, menjadi masyarakat maju dengan berbagai kemajuan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan merupakan sebuah perkembangan dan pembangunan yang membawa kemajuan. Jadi, pembangunan dalam masyarakat merupakan bentuk perubahan ke arah kemajuan (progress). Perubahan dalam arti progress misalnya listrik masuk desa, penemuan alat-alat transportasi, dan penemuan alat-alat komunikasi. Masuknya jaringan listrik membuat kebutuhan manusia akan penerangan terpenuhi; penggunaan alat-alat elektronik meringankan pekerjaan dan memudahkan manusia memperoleh hiburan dan informasi; penemuan alat-alat transportasi memudahkan dan mempercepat mobilitas manusia proses pengangkutan; dan penemuan alat-alat komunikasi modern seperti telepon dan internet, memperlancar komunikasi jarak jauh. 2). Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress) Tidak semua perubahan yang tujuannya ke arah kemajuan selalu berjalan sesuai rencana. Terkadang dampak negatif yang tidak direncanakan pun muncul dan bisa menimbulkan masalah baru. Jika perubahan itu ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu dianggap sebagai sebuah kemunduran. Misalnya, penggunaan HP sebagai alat komunikasi. HP telah memberikan kemudahan dalam komunikasi manusia, karena meskipun dalam jarak jauh pun masih bisa komunikasi langsung dengan telepon atau SMS. Disatu sisi HP telah mempermudah dan mempersingkat jarak, tetapi disisi lain telah mengurangi komunikasi fisik dan sosialisasi secara langsung. Sehingga teknologi telah menimbulkan dampak berkurangnya kontak langsung dan sosialisasi antar manusia atai individu. Jika dilihat dari segi cepat atau lambatnya perubahan, maka perubahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1). Evolusi dan Revolusi (perubahan lambat dan perubahan cepat) Evolusi adalah perubahan secara lambat yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu, antara lain: a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
  • 20. b. Adanya pemimpin/kelompok yang mampu memimpin masyarakat tersebut. c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi. d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat. e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi. Contoh perubahan secara revolusi adalah peristiwa reformasi (runtuhnya rezim Soeharto), peristiwa Tsunami di Aceh, semburan lumpur Lapindo (Sidoarjo). (2). Perubahan Kecil dan Perubahan Besar Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian. Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat. (3). Perubahan yang Direncanakan dan Tidak Direncanakan Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat- akibat sosial yang tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi. 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial budaya Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut diharapkan dan direncanakan. Terdapat faktor yang mendorong sehingga mendukung perubahan, tetapi juga ada faktor penghambat sehingga perubahan tidak berjalan sesuai yang diharapkan. v Faktor pendorong perubahan
  • 21. Faktor pendorong merupakan alasan yang mendukung terjadinya perubahan. Menurut Soerjono Soekanto ada sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu: 1) Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain. Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan memperkaya kebudayaan yang ada. 2) Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak. 3) Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju. Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri. 4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif. 5) Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat. Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya. 6) Penduduk yang heterogen. Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial. 7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya.
  • 22. 8) Orientasi ke masa depan Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesusikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. 9) Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup. Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor terjadinya perubahan. v Faktor penghambat perubahan Banyak faktor yang menghambat sebuah proses perubahan. Menurut Soerjono Soekanto, ada delapan buah faktor yang menghalangi terjadinya perubahan sosial, yaitu: 1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. 2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. 3. Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif. 4. Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested interest). 5. Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat. 6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat. 7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. 8. Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah. C. PERMASALAHAN Sesuai dengan judul “ Perubahan Sosial dan Erosi Nilai-nilai Kearifan Lokal pada Masyarakat Pedesaan di NTB” , permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas adalah: (1) Apa saja macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi?; (2) Indikator apakah yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal dimaksud?; (3) Seberapa cepatkah proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal itu terjadi?;
  • 23. (4) Faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai- nilai kearifan pada masyarakat pedesaan?; D. PEMBAHASAN 1. Macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi. Untuk memilah macam-macam proses perubahan sosial yang terjadi termasuk terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal, bisa dilakukan berdasarkan pendekatan atau sudut pandang yang digunakan ooleh setiap orang khususnya para ahli sosiologi. Dalam makalah ini, pengkategorian jenis perubahan yang terjadi, dilakukan berdasarkan perspektif umum pandangan masyarakat yang melihat dan merasakan adanya perubahan tersebut. Oleh sebab itu, maka ada lima macam proses perubahan yang dianggap sedang terjadi: a. Prose perubahan Pola Makan dan Berpakai b. Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal c. Proses Perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi d. Proses Perubahan Pola Berfikir, Pendidikan dan Wawasan e. Proses Perubahan Pola Penokohan Seseorang Prose perubahan Pola Makan dan Berpakaian Terjadinya proses perubahan pola makan dan berpakaian pada masyarakat pedesaan, bisa diketahui dengan membandingkan penampilan masyarakat poedesaan pada lima atau sepuluh tahun yang lalu, dengan penampilan berpakaian masa kini. mSatu contoh sederhana, jika dulu menggunakan celana jeans, masih merupakan hal aneh. Tetapi saat ini bercelana jeans, merupakan bagian dari cara berpakaian masyarakat di pedesaan. Contohlainya lagi, kalau dulu masyarakat pedesaan tidak begitu perdui bahkan tidak mengenal salon kecantikan, saat sekaranmg sudah menjadi bagian dari pola berpakaian mereka. Dalam hal pola makan, masyarakat pedesan mengalami perubahan juga. Makanan-makanan cepat saji yang dulu tidak pernah ada di dalam pikirannya, kini bahkan menjadi bagian bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal Rumah tinggal masyarakat di pedesaan mengalami perubahan cukup signifikan dalam hal model atau ukuran. Saat ini bukan hal yang aneh, jika rumah-rumah masyarakat dipedesaan sudah jauh berbeda dengan apa yang terlihat pada kurun waktu sepuluh tahun yang lalu. Proses perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi
  • 24. Pola interaksi, komunikasi dan tarnsportasi yang terjadi di kalangan masyarakat pedesaat, sudah sangat jauh berbeda dengan yang terjadi dalam lima tahun sebelumnya. Kemajuan di bidang peralatan komunikasi,media komunikasi dan sistem transportasi, mengakibatkan masyarakat pedesaan saat ini sangat berubah. Informasi yang dulu sangat lambat di akses, sekarang dalam hitungan detik bisa diterima, salah satunya karena adanya handphone dan televisi. Perubahan Pola Berfikir dan Pendidikan dan Wawasan Masyarakat kita di pedesaan bukan lagi masyarakat yang dianggap lugu, sederhana dan polos sebagaimana beberapa tahun silam. Pemahaman mereka terhadap berbagai aspek sosial, politik dan lain-lain, telah mengalami kemajuan. Ini adalah bentuk nyata terjadinya perubahan pola berfikir mereka yang diakibatkan secara langsung atau tidak langsung oleh perubahan semangat dan keinginan untuk bersekeloh lebih tinggi. Akibatnya maka wawasanmereka juga semakin baik. Perubahan Pola Penokohan Seseorang Dalam konteks ini, penokohan seseorang tidak lagi terjadf sebagaimana lazimnya masa lalu. Penokohan masa lalu terjadi dalam waktu yang cukup lama disertai teruji tidaknya seseorang sebagai seorang tokoh yang patut di ikuti dan didengar pendapatnya. Masa sekarang, penokohan seseorang terjadi secara instan, disebabkan oleh faktor ekonomi, politik dan faktor-faktor lain seperti keberanian seseorang di dalam mengumpulkan dan mengerahkan masa. Hal ini bisa terjadi, karena dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya sampai ke generasi sekarang, prilaku dan ketokohan seseorang yang dahulu terjadi secara alami, kini berubah secara instan sebagaimana yang disebutkan diatas, akibat faktor-faktor instan pula. 2. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal di NTB. Sulit membuat indikator standar untuk menentukan terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai- nilai kearifan. Setiap ahli tentu memiliki alasan logis untuk membuat indikator terjadinya perubahan tersebut. Tetapi meskipun sulit, bukan berarti tidak bisa. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, ada 2 macam indikator dimaksud yang di buat hanya berdasarkan pertimbangan praktis, yakni: 1. Indikator Visual, yakni sebatas kemampuan panca indra manusia untuk melihat, merasakan dan atau mendengar mengenai terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai kearifan yang dimaksud. 2. Indikator Faktual, maksudnya alat ukur yang didasarkan pada kenyataan yang terjadi, dengan membandingkan peristiwa masa kini dengan berbagai peristiwa masa sebelumnya.
  • 25. Kedua indikator tersebut memang sangat subyektif, tetapi paling tidak dapat diuji secara subyektif dan obyektif, yakni dengan melakukan telaah perbandingan terhadap berbagai peristiwa yang terjadi saat ini dan saat sebelumnya. Berdasarkan pada dua macam indikator tersebut, dapat disusun dan diolah tentang terjadinya prose perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat pedesaan di NTB. 3. Mengukur kecepatan proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi. Kecepatan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal, sesungguhnya tidak dapat dilakukan secara pasti dan valid. Yang bisa kita lakukan, hanya menyajikan fakta- fakta tentang sebuah kejadian serta mengelompokkannya di dalam kurun waktu tertentu. mOleh sebab itu, di dalam membuat penilaian terhadap kecepatan perubahan yang terjadi, bisa dilakukan dengan membuat periodesasi waktu, kemudian berbagai kategori perilaku masyarakat di masukkan dan klasifikasikan sesuai dengan waktu yang ada. Sebagai contoh, bisa dibuat kurun waktu setiap lima tahun atau setiap sepuluh tahun, antara 1990-2000. Kemudian di dalam kurun waktu tersebut, dibuatkan deskripsi tentang pola makan msyarakat pedesaan, dibandingkan dengan pola makan di dalam kurun waktu 2001-2010. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran bagaimana perubahan itu terjadi, apakah dalam waktu lima tahun atau dalam waktu sepuluh tahun. Jika terjadinya cukup dalam lima tahun, berarti cukup cepat. Atau terjadinya dalam sepuluh atau dua puluh tahun, berarti cukup lambat. 4. Faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai- nilai kearifan pada masyarakat pedesaan di NTB. Menentukan faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal termasuk pekerjaan tidak mudah. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk memastikan faktor tersebut. Untuk menentukan faktor apa yang paling dominan, bisa dilakukan melalui pendekatan sederhana secara empiris yang bisa diuji secara logika, bahwa informasi dan komunikasi merupakan dua hal utama yang menyebabkan terbentuknya opini seseorang. Asumsi ini tentu bisa diuji. Namun pada akhirnya ada kesimpulan yang sama, bahwa pengaruh cepatnya perkembangan system dan peralatan informasi dan komunikasi telah mengakibatkan prilaku orang berubah. Perubahan ini bisa ke arah positif atau sebaliknya ke arah negaif. Secara umum, dari ke empat faktor yang diuraikan diatas, perubahan sosial dan erosi nillai-nilai kearifan lokal masyarakat di Nusa Tenggara Barat, berbeda perwujudannya antara satu kultur dengan kultur lainnya maupun antara satu wilayah dengan lainnya. Sebagai pembanding, masyarakat pedesaan di P. Sumbawa yang terdiri atas etnis: Bima-Dompu dan Sumbawa, berbeda pola perubahannya dibandingkan dengan kultur dan etnis Sasak di P. Lombok.
  • 26. Perbedaan ini disebabkan banyak hal, seperti kondisi alam serta keragaman akulturasi etnis yang terjadi. Di P. Sumbawa, akulturasi etnis dan budaya, relatif tidak berlangsung secara cepat, dibandingkan di Pulau Lombok, yang relatif lebih banyak etnis lainnya. Meskipun demikian, secara umum, berdasarkan uraian adanya lima macam perubahan sosial yang terjadi, dampaknya adalah terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat di NTB, baik yang di P. Sumbawa maupun di P. Lombok. Adapun nilai-nilai kearifan lokal tersebut, sudah tumbuh dan berkembang sejak lama, mengalami perubahan dan penyesuain, ada yang tetap bertahan, adapula yang hilang. Kalau dilakukan identifikasi, maka nilai-nilai kearifan lokal yang hidup ditengah-tengah masyarakat di P. Sumbawa dan Pulau Lombok, dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Larangan eksplisit untuk menebang pohon yang tumbuh disekitar mata air. Dalam bahasa eksplisit, para orang tua mengatakan.”Jangan memotong pohon di sekitar mata air. Nanti penunggunya marah, kita bisa di ganggu” Padahal secara implisit, terkandung makna agar kita harus menjadi kelestarian lingkungan. 2. Larangan eksplisit untuk jangan duduk di bantal. Konsekuensinya bisa bisulan. Makna implisit di balik larangan ini, agar bantal sebagai tempat untuk kepala tidak cepat rusak, serta gunakanlah sesuatu pada tempatnya. 3. Larangan eksplisit agar perempuan jangan telat bangun pagi atau jangan duduk di depan pintu, bisa berakibat jodoh menjauh. Padahal pesan implisitnya agar para wanita jangan menjadi malas dan membiasakan diri untuk bangun pagi. 4. Larangan eksplisit bagi anak-anak agar tidak mandi di sungai yang dalam, karena ada penunggunya. Padahal makna implisitnya, agar anak-anak terhindar dari berbagai macam resiko bahaya dan penyakit. 5. Larangan eksplisit agar anak-anak tidak bermain-main saat maghrib, karena bisa ditampar oleh setan. Padahal makna implisitnya, agar anak-anak cepat beribadah (bagi yang islam agar cepat sholat) dan tidak menimbulkan kebisingan saat maghrib. 6. Kebiasaan mendongeng kan anak-anak, yang secara langsung atau tidak langsung sebagai media pendidikan mengajar prilaku dan sopan santun. Masih banyak nilai-nilai kearifan lokal yang saat ini tidak lagi terdengar sebagai kebiasaan yang dilakukan para orang tua. Hal ini tergantikan oleh berbagai hasil pekembangan teknologi informasi, seperti televisi dan handphone. Situasi ini tidak bisa terhindarkan, karena terjadi secara alamiah, sesuai perkembangan faktor- faktor eksternal yang semakin tumbuh dan berkembang. Yang patut menjadi perhatian adalah, bagaimana menerima kemajuan yang terjadi tanpa mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal yang sesungguhnya sangat baik dan efektif mewarnai perilaku anak-anak dan generqasi muda.
  • 27. E. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada pendahuluan, pustaka dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat di Nusa Tenggara Barat, sudah, sedang dan terus akan terjadi. Perubahan tersebut terbagi atas 5 macam: (1). Prose perubahan Pola Makan dan Berpakai (2). Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal (3).Proses Perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi (4) Proses Perubahan Pola Berfikir, Pendidikan dan Wawasan (5). Proses Perubahan Pola Penokohan Seseorang 1. Faktor yang paling dominan mempangaruhi terjadinya perubahan sosial dan kearifan nilai-nilai lokal masyarakat pedesaan di Nusa Tengara Barat adalah dampak dari tumbuh dan berkembangnya sistm dan alat komunikasi dan informasi. DAFTAR PUSTAKA Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist. Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Budiman, Maneke 1999. „Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset‟, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3 Hallahan, Kirk (2003). Community as A Foundation for Public Relations Theory and Practices. Boulder: Colorado State University Hamengkubuwono X. 2001. „Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?‟ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet. Jayadinata, T Johara dan Pramandika, IGP (2006). Pembangunan Desa dalam Perencanaan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
  • 28. Jefkins, frank (1987). Public Relation untuk Bisnis. Jakarta, Pustaka Binaman Presindo. Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es. Kingsley Davis, Human. Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta. Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937 pp 272. Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.Society, cetakan ke- 13, The Macmillan. Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia. Surabaya: Unair Press. Soekanto Soerjono,1987. Sosiologi Suatu Pengantar.Rajawali press: Jakarta Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,1964, halaman 486,497 Tampubolon, Daulat. 2000. „Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa‟. Jurnal MLI. hal.69. Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani. Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press. William F.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff: Sociology, edisi ke-4, A.Feffer and Simon International University Edition, 1964. Bagian 7 Yanti, Yusrita. 1999. „Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur Minangkabau‟. Jurnal MLI. hal. 93 rone social,science and technology
  • 29. info komputer sosiologi Interaksionisme Simbolik PERNIKAHAN Heny dan Syaiful nyaris gagal. Pemicunya sebetulnya sepele, beberapa untai kalimat dalam telepon terakhir Heny sebelum hari pernikahan. “Mas, keluargaku minta, besok saat resepsi di hotel, dari keluarga Mas Saiful jangan membawa anak-anak,” itu yang disampaikan Heny, pangkal suasana panas di keluarga Saiful. Lidah Saiful kelu, hatinya kacau tak karauan, ketika berhadapan dengan sidang mendadak keluarga besarnya, seusai menyampaikan pesan calon istrinya itu “Kita memang dari keluarga miskin, tapi kita punya harga diri,” suara ayah Saiful meninggi. “Calon mertuamu terlalu sombong, besok aku tak akan datang!” tegas sang ayah. “Aku ikut ayahmu,” timpal Ibu Syaiful. Suasana tambah hening, menegangkan. Semua pandangan mata tajam menyorot muka Saiful yang tertunduk lesu. Ancaman ayah Saiful bukan gertakan semata. Keluarga besar Heny mulai gelisah. Pukul 09.30, hari ’H’ pernikahan, semua tamu telah berkumpul, tapi Saiful dan keluarga besarnya belum juga kelihatan. Sesuai jadwal, semestinya akad nikah dilangsungkan pukul 09.00. Tepat pukul 10.00, sebuah mobil berhenti, Syaiful keluar dengan langkah gontai. Tak ada anggota keluarga yang menyertainya. ”Maaf, bapak dan ibu gak bisa datang,” ungkap Syaiful singkat. Raut malu dan sedih tak bisa ditutupinya. Untunglah petugas KUA bertindak sigap. ”Pernikahannya bisa dimulai sekarang?” tanya Pak Mashudi, memecah ketegangan. ”Silakan Pak,” itu saja jawaban ayah Heny, lirih. Akad pun berjalan lancar, begitupula resepsi pernikahan beberapa jam sesudahnya. Tetapi, setiap tamu yang hadir menyimpan pertanyaan: kenapa tak seorang pun keluarga Syaiful kelihatan dalam acara sepenting itu. Kelaurga Heny dan Syaiful memang memilki latar belakang yang berbeda. Keluarga Heny adalah tipikal keluarga kelas atas yang tinggal di perkotaan. Mereka terbiasa dengan hidup yang praktis, efisien, dan mengagungkan gengsi. Mereka bukannya tak suka anak, tetapi mereka tak menginginkan kehadiran
  • 30. anak-anak kampung, yang tak hanya akan membuat gaduh dan kotor tetapi juga berpotensi menurunkan gengsi keluarga. Anak-anak ini memang representasi keluarga Syaiful, yang tinggal di perkampungan. Ayah Syaiful adalah seorang petani, ibunya pedagang kelapa di pasar kampung. Mereka memang hanya tamat SD, tetapi sangat mencintai pendidikan. Keempat anaknya disekolahkan hingga bangku perguruan tinggi. Syaiful adalah anak ketiganya, lulusan Fakultas Teknik PTN terkemuka. Syaiful kini bekerja sebagai konsultan arsitektur sebuah lembaga konsultan teknik dari Singapura. Sebagaimana orang desa umunya, keluarga besar Syaiful terbiasa hidup secara komunal. Mereka orang yang sangat mencintau keluarga dan persaudaraan. Mereka adalah prototipe penganut filosofi ’mangan ora mangan kumpul’. Apapun kondisinya, bagi mereka, kebersamaan itu adalah segalanya. Dua keluarga di atas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pesta pernikahan, karenanya mereka berbeda sikap atas kehadiran anak-anak. Makna dan tindakan, inilah salah satu fokus teori interaksionisme simbolik. Latar Belakang Teori Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920). Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan (Mulyana,2002). Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi, diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).
  • 31. Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Chooley , John Dewey, William I. Thomas dikenal sebagai perintis interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead dikenal sebagai ilmuwan yang paling populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini. Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to each other.” Asumsi Teori Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni: (1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu dan masyarakat. Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa: - Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. - Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia - Makna dimodifikasi dalam proses interpretif. Kisah keluarga Heny dan Syaiful di atas adalah contoh bagaimana pemaknaan yang berbeda akhirnya melahirkan sikap yang berbeda pula. Interaksi sosial di antara keluarga ini memang berbeda, sehingga berbeda pula dalam pemaknaan. Setting perdesaan yang komunal melahirkan pemaknaan bahwa kebersamaan itu adalah segalanya. Sementara lingkungan perkotaan yang metropolis dan individualis mendorong pemaknaan bahwa hidup harus efektif, praktis, dan bercitarasa. Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar. 1. Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut. 1. Languange (Bahasa): The source of meaning
  • 32. Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia. 1. Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind. Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (take the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu akan bertindak. Setelah dipahami bahwa meaning, language, dan thought memiliki keterkaitan yang sangat erat, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses taking the role of the other —membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial. Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. Merujuk pada pendapat Mead self (diri) adalah proses
  • 33. mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking- glass dari reaksi orang lain. Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus— mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu. http://edsa.unsoed.net/?p=62 Popularity: 9% [?] sting Daftar Alamat Universitas di Indonesia (part.3) Posted on September 1, 2008. Filed under: Universitas | Universitas Sahid Jl. Prof. Dr. Supomo SH No. 84,Jakarta Selatan 12870,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 8354763 Telp.(021) 8291638, Telp.(021) 8312815, Telp.(021) 8312816 University Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jl. Sutan Iskandar Muda No. 11, Kebayoran Lama,Jakarta Selatan 12240,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 7200352 Telp.(021) 7398393, Telp.(021) 7398394 University Universitas Satyagama Jl. Kamal Raya No. 2-A, Cengkareng,Jakarta Barat 11730,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 54391325 Telp.(021) 5452377, Telp.(021) 5452378, Telp.(021) 54391082 University Universitas Semarang Jl. Atmodirono No. 11,Semarang 50241 Jawa Tengah,Indonesia Jawa Tengah Fax.(024) 8446865
  • 34. Telp.(024) 8411562, Telp.(024) 8441524, Telp.(024) 8414753 University Universitas Surapati Jl. Dewi Sartika No. 184-A, Cawang,Jakarta Timur 13630,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 8017111 Telp.(021) 8094403, Telp.(021) 9119397 University Universitas Tarumanagara Jl. Letjen. S. Parman No. 1, Slipi,Jakarta Barat 11440,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 5604478 Telp.(021) 5671747 University Universitas Terbuka Jl. Cabe Raya, Pondok Cabe – Ciputat,Tangerang 15418 Banten,Indonesia Banten Fax.(021) 7490147 Telp.(021) 7490941 University UT Universitas Trisakti Kampus A & B Building,Jl. Kyai Tapa,Jakarta Barat 11440,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 5673001 Telp.(021) 5672731, Telp.(021) 5663232, Telp.(021) 5668639 University Universitas Tunas Pembangunan Surakarta Jl. Balekambang Lor No. 1,Solo 57139 Jawa Tengah,Indonesia Jawa Tengah Fax.(0271) 739048, Fax.(0271) 726278 Telp.(0271) 739048, Telp.(0271) 726278 University Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jl. Sunter Permai Raya No. 1, Sunter Agung Podomoro,Jakarta Utara 14350,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 64717301 Telp.(021) 64715666, Telp.(021) 64717302 University
  • 35. Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Universitas Indonesia C Building, 2nd Floor,Jl. Salemba Raya No. 4,Jakarta Pusat 10430,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 3145077 Telp.(021) 3145078, Telp.(021) 3908995, Telp.(021) 3907408 Psychology and clinic consultant Magister Manajemen Universitas Tarumanagara Jl. Letjen. S. Parman No. 1,Jakarta Barat 11440,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 5655808 Telp.(021) 5671747, Telp.(021) 5655807, Telp.(021) 5655809 Master education programme Universitas Pendidikan Putra Indonesia Jl. Muwardi No. 65,Cianjur 43215 Jawa Barat,Indonesia Jawa Barat Fax.(0263) 262604 Telp.(0263) 262604 School with diploma Fakultas Teknologi Informasi Universitas Teknologi Yogyakarta(UTY) Jl. Ring Road Utara Sendang Adi, Jombor,Sleman 55285 DI Yogyakarta,Indonesia DI Yogyakarta Fax.(0274) 623306 Telp.(0274) 623308, Telp.(0274) 623310, Telp.(0274) 623314 University Universitas Al Azhar Indonesia Kampus UAI, Masjid Agung Al Azhar Complex,Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru,Jakarta Selatan 12110,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 7244767 Telp.(021) 72792753, Telp.(021) 7244456 University Universitas Yarsi Jl. Letjen. R. Suprapto, Cempaka Putih,Jakarta Pusat 10610,Indonesia DKI Jakarta Fax.(021) 4243171 Telp.(021) 4244574, Telp.(021) 4206674, Telp.(021) 4206675 University
  • 36. 1. Pt Aemona Kartasoemantri Kantor: Jl Bendi Raya Bl B-3 A/29 JAKARTA 2. Akademi Administrasi Keuangan Jakarta Kantor: Jl Pahlawan Revolusi 12 JAKARTA 3. Akademi Akuntansi Bentara Indonesia Kantor: Jl Pembangunan I 22 JAKARTA 4. Akademi Akuntansi Dan Perbankan Kantor: Ged STIE Perbanas RT 014/07 JAKARTA 5. Akademi Akuntansi Dan Perbankan Perbanas Kantor: Jl Genteng Hijau RT 014/07 JAKARTA 6. Akademi Akuntansi Jayabaya Kantor: Jl Pulo Mas Slt Kav 23 JAKARTA 7. Akademi Akuntansi Yai Kantor: Jl Biru Laut Tmr 1 Kompl Kelapa Gading Permai JAKARTA 8. Akademi Analisa Farmasi Dan Makanan Caraka Nusantara Kantor: Jl Pulo Gebang Kompl Pulogebang Permai Bl H-4/10 JAKARTA 9. Akademi Bahasa Asing Kertanegara Kantor: Jl Budi 21 JAKARTA 10. Akademi Bahasa Asing Nasional Kantor: Jl Sawo Manila JAKARTA 11. Akademi Bahasa Asing Prawira Martha Kantor: Jl Pemuda 72-73-GH JAKARTA
  • 37. 12. Akademi Bahasa Asing Ypkk Kantor: Kompl Bukit Cireundeu Bl C-6/7 JAKARTA 13. Akademi Farmasi Bhumi Husada Kantor: Jl Sunan Giri 5-A Ged Prestasi RT 001/07 Lt 1 JAKARTA 14. Akademi Farmasi Hangtuah Jakarta Kantor: Jl Farmasi 1 JAKARTA 15. Akademi Fisiotherapy Kantor: Jl RS Fatmawati JAKARTA 16. Akademi Gizi Kantor: Jl Hang Jebat III Kompl Dep Kes Bl F3 JAKARTA 17. Akademi Ilmu Teknologi Komputer Kantor: Jl Ciasem 4 JAKARTA 18. Akademi Ilmu Pemasyarakatan Kantor: Jl Gandul Cinere Raya JAKARTA 19. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Kantor: Jl Jend Gatot Subroto 10 Ged PDII Lt 1 JAKARTA 20. Akademi Jakarta Kantor: Jl Cikini Raya 73 JAKARTA Daftar Universitas Di Jakarta