Ujian Nasional menjadi dilema bagi dunia pendidikan karena dipengaruhi berbagai kepentingan politik dan masyarakat. Sistem baru yang mempertimbangkan nilai raport dan ujian sekolah dalam penentuan kelulusan juga memiliki tantangan tersendiri bagi peningkatan mutu pendidikan dan penanaman karakter siswa. Guru memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan tersebut dengan kreativitas pembelajaran.
1. UN : DILEMA DAN TANTANGAN<br />Oleh : Tri Tjandra M., M.Pd.<br />Wakil Kepala SMA Kesatrian 1 Semarang<br />Ujian Nasional sebentar lagi akan berlangsung di Indonesia. Kegiatan rutin tersebut senantiasa membawa kecemasan tidak hanya pada siswa, namun orang tua dan pejabat terkait pun turut terstimulasi akan hal tersebut. Ujian Nasional yang dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional, memang merupakan salah satu amanat Undang-Undang Nomer 3 tahun 2003 tentang SIsdiknas, khususnya bab XVI tentang Evaluasi, dimana pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Diharapkan, evaluasi tersebut dapat mengendalikan mutu pendidikan secara nasional, dan juga merupakan bentuk akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat.<br />Kritik dan saran berkaitan dengan pelaksanaan ujian nasional tahun lalu telah diterima pemerintah. Salah satu manifestasi akomodasi kritik dan saran terhadap pelaksanaan ujian nasional adalah dengan mengeluarkan Permen nomor 45 tahun 2010 tentang kriteria kelulusan peserta didik pada sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah, sekolah menengah pertama luar biasa, sekolah menengah atas/madrasah aliyah, sekolah menengah atas luar biasa, dan sekolah menengah kejuruan tahun pelajaran 2010/2011, dimana kriteria kelulusan siswa saat ini tidak hanya ditentukan oleh nilai ujian nasional, namun juga dipengaruhi oleh nilai raport maupun nilai ujian sekolah. Bertitik tolak dari keadaan tersebut, maka mari dikaji tentang kelebihan dan kekurangan sistem baru tersebut.<br />DIlema<br />Idealnya evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi ini dilakukan juga untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran yang berlangsung. Idealisasi tersebut akan menjadi kabur jika dalam pelaksanaannya dicampuri oleh berbagai kepentingan, baik itu politik maupun masyarakat. <br />Ketika kepentingan politik ingin menunjukkan kewenangan atas nama kekuasaan atau quot;
supervisiquot;
, maka ia akan memberikan pengaruh, dimana pengaruh tersebut dapat bersifat positif atau pun negatif. Sebagai misal, seorang kepala sekolah yang diawasi oleh pengawas atas nama upaya peningkatan mutu dengan mencanangkan suatu target pencapaian hasil belajar, maka secara langsung atau pun tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dari seorang guru. Idealnya, supervisi klinis misalnya, memang ditujukan untuk meningkatkan hasil belajar secara positif. Dalam rangka mencapai target tersebut, perlu ditempuh berbagai jalan konstruktif untuk mencapai target yang dimaksud.<br />Upaya pencapaian target hendaknya sesuai dengan koridor budaya, etika dan norma serta hukum yang berlaku. Melewati batas aturan dan norma yang seharusya dijaga di dunia pendidikan, merupakan suatu tindakan yang tidak diperkenankan atau dapat dikatakan sebagai quot;
mal praktek pendididikanquot;
. Suatu pertanyaan yang sering dilontarkan dalam kajian seperti ini adalah, sudah sanggupkah elemen-elemen di dunia pendidikan menunjukkan integritas dan loyalitan terhadap profesi yang mereka sandang ? Akankah norma, budaya, etika dan hukum yang berlaku dapat dikawal secara murni oleh semua guru yang bersertifikasi profesi ? Integritas inilah yang perlu dikaji lebih mendalam, seberapa besar kredibilitas dan akuntabilitas mereka ? Apakah ada jaminan tidak akan ada quot;
mal praktek pendidikanquot;
dalam evaluasi yang telah dilakukan ?<br />Pertanyaan di atas akan lebih dipertanyakan lagi, jika masyarakat yang ada di lingkungan dunia pendidikan tidak tahu akan apa yang sebenarnya terjadi, karena sempitnya ruang pandang masyarakat, the low citizen understanding, terhadap pelaksanaan evaluasi di dunia pendidikan, sehingga mereka bisa salah paham terhadap evaluasi yang dilakukan. Adanya orang tua yang menuntut seorang pendidik karena anaknya tidak lulus ujian nasional disebabkan pihak sekolah menilai komponen yang rendah dari prestasi belajar siswa tersebut, yang pada hakekatnya adalah upaya dari siswa sendiri, merupakan suatu contoh sikap kontra produktif terhadap pelaksanaan evaluasi di sekolah. Pihak pendidik pada dasarnya hanyalah merekap dan mencatat perkembangan proses pembelajaran yang dialami siswa, sehingga berhasil atau gagalnya seorang siswa masih tergantung pada salah satu komponen yaitu diri siswa tersebut, disamping metode dan sarana yang ada.<br />Dua problematika tersebut kemudian coba diramu oleh pemerintah dengan menerbitkan POS (Prosedur Operasi Standar) ujian nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan, yang menjabarkan Permen nomer 45 tahun 2010 tentang kriteria kelulusan peserta didik yang mengakomodir keinginan masyarakat bahwa kelulusan seorang siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai ujian nasional, namun selama proses pendidikan komponen-komponen tersebut ikut menjadi rumusan nilai akhir (NA). Jika sebelumnya NA hanya dinyatakan oleh nilai ujian nasional, maka kini nilai NA dipengaruhi oleh nilai raport dan nilai ujian sekolah.<br />Peluang memberikan pengaruh nilai raport dan nilai ujian sekolah ke NA menjadi suatu dilema, dimana kesiapan sekolah atas sistem tersebut dirasa sangat mendadak. Laksana memutar jarum jam ke belakang, maka banyak sekolah yang merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut, sebab tentu bagi sekolah-sekolah yang belum tergolong sekolah katagori mandiri, kriteria ketuntasan mengajar mereka masih banyak yang di bawah 7,5. Hal ini sangat berbeda dengan sekolah yang sudah tergolong sekolah kategori mandiri yang sudah memiliki nilai ketuntasan 7,5. Mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan dua tahun kebelakang akan menjadi suatu dilema bagi mereka. Maka peluang yang paling memungkinkan adalah dengan merancang sistem penilaian ujian sekolah yang mempengaruhi 60% dari nilai sekolah, dimana nilai sekolah tersebut berasal dari 40% komponen rata-rata nilai raport dan 60% nilai ujian sekolah. Komponen nilai sekolah tersebut akan memberi kontribusi 40% dari nilai NA, dimana 60% nilai NA akan disumbang dari nilai ujian nasional.<br />Dilema kedua yang menghinggapi dunia pendidikan adalah, jika pelaksanaan ujian nasional ditujukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan, maka akan menjadi suatu tanda tanya bahwa seorang siswa yang tahun lalu memiliki nilai ujian nasional di bawah 4 dinyatakan tidak lulus, maka tahun ini hal itu dimungkinkan bagi sang anak untuk lulus. Sebagai misal seorang anak memiliki nilai ujian nasional 3,9 dan nilai ujian sekolah 8, serta rata-rata nilai raport 8, maka NA anak tersebut adalah 5,5. Jika tidak ada NA di bawah 4 dan rata-rata NA adalah 5,5 maka anak tersebut dinyatakan lulus ujian nasional. Dilema inilah yang menjadi tanda tanya, bagaimana dikatakan perbaikan hasil belajar peserta didik, jika dilihat secara parsial justru terjadi penurunan kualitas. Hal tersebut memang tidak dapat dilihat secara parsial, sebab mengakomodasi kepentingan publik dengan memperhatikan suara masyarakat untuk mempertimbangkan proses belajar sebagai bagian dari penentuan kelulusan juga merupakan hal yang bijak sana.<br />Tantangan<br />Tantangan kedepan dalam perbaikan hasil belajar peserta didik sebagai upaya pencapaian standar pendidikan juga tidak terlepas dari pendidikan karakter pada peserta didik. Evaluasi hasil belajar yang dilakukan oleh pendidik dalam memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan akan selalu mendapat tantangan dalam menerapkan pendidikan karakter pada peserta didik. Tuntutan penguasaan materi hampir berseberangan atau berbatasan agak lebar dengan tuntutan pengedepanan pendidikan karakter. Penerapan pendidikan karakter memang sangat perlu, demi menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Ciri-ciri SDM yang berkualitas diantaranya adalah beriman, bertaqwa, mandiri, berwatak kerja keras, memiliki sikap enterpreneur, serta selalu proaktif dalam mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Diharapkan dunia pendidikan mampu memberika karakter bagus bagi peserta didik, sehingga mampu membawa bangsa Indonesia menjadi negara besar, kuat dan bermartabat yang pada akhirnya terciptalah kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan.<br />Dalam menghadapi tantangan dari tuntutan dunia pendidikan, memang guru menjadi komponen utama dalam mengkreasikan metode pendidikan. Bila diibaratkan dalam dunia entertaint, para siswa laksana quot;
Tukul Arwanaquot;
, maka para guru adalah sutradara yang memberi masukan kepada sang artis agar acara dapat berlangsung dengan baik. Berhasil dan gagalnya seorang artis selain tergantung dari potensi dasar yang dibawa oleh si artis, juga tidak kurangnya adalah strategi yang diberikan guru dalam memberi arahan. Namun perlu diingat disini adalah, bahwa sang sutradara tidak pernah akan tampil di depan kamera, tetap sang artislah yang tampil. Kesiapan mental peserta didik dalam berdamai dengan Ujian Nasional harus mendapat perhatian dari para guru, sehingga skenario yang sudah dirancang dapat terlaksana dengan baik.<br />Oleh karena pendidikan tidak hanya schooling maka keterkaitan dunia pendidikan dengan kehidupan nyata harus ada, sehingga pendidikan tidak akan terasing. Apabila tuntutan ujian nasional hanya dijadikan acuan, kemudian nilai, norma dan hukum terabaikan, atau dengan kata lain pendidikan karakter tidak ditumbuhkan, maka kehancuran dunia pendidikan akan terjadi, dan akan lebih buruk lagi akan merembet ke duni nyata. Korupsi, kolusi dan penipuan yang dilakukan oleh kalangan terdidik, merupakan suatu potret yang menggambarkan kegagalan dunia pendidikan memberikan karakter positif. Bila ini dijadikan tantangan, maka skenario apa yang harus diberikan kepada dunia pendidikan akan menjadi pertanyaan utama. Bahwa ujian nasional merupakan kewenangan yang ada pada pemerintah untuk mengevaluasi peserta didik secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik dalam mencapai standar nasional pendidikan, namun perlu pula dipikirkan suatu jalan lain untuk membawa peserta didik memiliki kualitas tingga. Diharapkan semua komponen pendidikan bersama-sama memikirkan sistem pendidikan yang holistik dan komprehensif agar jatidiri bangsa akan tergores di hati para peserta didik. Selamat menjalankan ujian nasional. Semoga sukses<br />Pengirim :<br />Tri Tjandra Mucharam, M.Pd.<br />Praktisi Pendidikan <br />Wakil Kepala SMA Kesatrian 1 Semarang<br />Alamat Rumah :<br />Jl. Jatisari Indah II B5 No 19 BSB Mijen Semarang<br />Tlp. 024 - 76672227 HP : 08122556167<br />email : mas_tri_tjandra@yahoo.co.id<br />