1. PSIKOLOGI, PENDIDIKAN, DAN PENGAJARAN
A. Definisi Psikologi, Pendidikan, dan Psikologi Pendidikan
1. Definisi Psikologi
Psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu berasal
dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology
merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek
(Yunani), yaitu: 1) psi/che yang berarti jiwa; 2) logos yang
berarti ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi memang berarti
ilmu jiwa. Karena beberapa alasan tertentu (seperti timbulnya
konotasi/arti lain yang menganggap psikologi sebagai ilmu
yang langsung menyelidiki jiwa), sekurang-kurangnya selama
dasawarsa terakhir ini menurut hemat penyusun istilah ilmu
jiwa itu sudah sangat jarang dipakai orang. Kini, berbagai
kalangan profesional baik yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan maupun dalam dunia-dunia profesi lainnya yang
menggunakan layanan “jasa kejiwaan” itu lebih terbiasa
menyebut psikologi daripada ilmu jiwa.
Kaidah saintifik dan patokan etika filosofis ini tak dapat
dibebankan begitu saja sebagai muatan psikologi (Reber,
1988).
Sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri, psikologi
memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan
filsafat yang hingga sekarang masih tampak pengaruhnya.
Dalam ilmu kedokteran, psikologi berperan menjelaskan apa-
apa yang terpikir dan terasa oleh organ-organ biologis
(jasmaniah). Sedangkan dalam filsafat—yang sebenarnya “ibu
kandung” psikologi itu-psikologi berperan serta dalam
memecahkan masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan
akal, kehendak, dan pengetahuan.
Karena kontak dengan berbagai disiplin itulah, maka timbul
bermacam-macam definisi psikologi yang satu sama lain
berbeda, seperti:
2. 1. psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental (the
science of mental life);
2. psikologi adalah ilmu mengenai pikiran (the science of
mind),
3. psikologi adalah ilmu mengenai tingkah laku (the science of
behavior); dan lain-lain definisi yang sangat bergantung pada
sudut pandang yang mendefinisikannya. Pada asasnya,
psikologi menyentuh banyak bidang kehidupan diri
organisme baik manusia maupun hewan.
Ketika psikologi melepaskan diri dari filsafat dan menjadi
disiplin yang mandiri pada tahun 1879, saat William Wundt
(1832-1920) mendirikan laboratorium psikologinya, ruh
dikeluarkan dari studi psikologi. Para ahli, antara lain William
James (1842-1910), menganggap psikologi sebagai ilmu
pengetahuan mengenai kehidupan mental. Namun, John B.
Watson (1878-1958), tokoh aliran behaviorisme yang radikal
itu, tidak puas dengan definisi James tersebut lalu
mengubahnya menjadi “ilmu pengetahuan tentang tingkah laku
(behavior) organisme” dan sekaligus menafikan (menganggap
tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental. Eksistensi
(keberadaan) ruh dan kehidupan internal manusia, menurut B.
Watson dan kawan-kawan tak dapat dibuktikan karena tidak
ada, kecuali dalam khayalan belaka. Alhasil, dapat kita katakan
bahwa psikologi behaviorisme adalah aliran ilmu jiwa yang
tidak berjiwa.
Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology
mendefinisikan psikologi sebagai.. . the science of human and
animal behavior, the study of the organism in all its variety and
complexity as it responds to the flux and flow of the physical
and social events which make up the environment. (Psikologi
ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan
hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala
ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan
3. alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang
mengubah lingkungan.) Sementara itu, Edwin G. Boring dan
Herbert S. Langfeld seperti yang dikutip Sarwono (1976)
mendefinisikan psikologi jauh lebih sederhana daripada
definisi di atas, yakni psikologi ialah studi tentang hakikat
manusia.
Selanjutnya, dalam Ensiklopedia Pendidikan, Poerbakawatja
dan Harahap (1981) membatasi arti psikologi sebagai “cabang
ilmu pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-
gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa”. Dalam ensiklopedia ini
dibatasi pula bahwa gejala dan kegiatan jiwa tersebut meliputi
respons organisme dan hubungannya dengan lingkungan.
Dalam definisi-definisi di atas tampak jelas persamaan-
persamaan di samping perbedaan-perbedaan pandangan para
ahli. Namun, terlepas dari persamaan dan perbedaan tersebut,
pendapat yang lebih relevan (berkaitan dengan kepentingan)
untuk dipedomani sehubungan dengan topik-topik pembahasan
dalam buku ini adalah pendapat Gleitman dan Boring &
Langfeld. Pendapat mereka itu selain singkat dan tidak
berbelit-belit, juga hanya menitikberatkan pada kepentingan
organisme manusia.
Pendapat-pendapat itu sesuai dengan kenyataan yang ada
selama ini, yakni para ahli pada umumnya lebih banyak
menekankan penyelidikan terhadap tingkah laku manusia yang
bersifat jasmaniah (aspek psikomotor) maupun yang bersifat
rohaniah (aspek kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor
(ranah karsa) bersifat terbuka. Tingkah laku terbuka meliputi
perbuatan berbicara, duduk, berjalan, dan seterusnya.
Sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berpikir,
berkeyakinan, berperasaan, dan seterusnya.
Alhasil, secara ringkas dapat kita tarik sebuah kesimpulan
bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
4. dan ‘membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada
manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam
hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini
meliputi semua orang, barang, keadaan, dan kejadian yang ada
di sekitar manusia.
2. Definisi Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat
awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara
dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan
diperlukan adanya ajaran, tun-tunan, dan pimpinan mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1991: 232). Selanjutnya, pengertian “pendidikan”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata
educate (mendidik) artinya memberi peningkatan {to elicit, to
give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop).
Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan
berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh
pengetahuan (McLeod, 1989).
Sebagian orang memahami arti pendidikan sebagai pengajaran
karena pendidikan pada umumnya selalu membutuhkan
pengajaran (lihat definisi dari KBBI di atas). Jika pengertian
seperti ini kita pedomani, setiap orang yang berkewajiban
mendidik (seperti guru dan orangtua) tentu harus melakukan
perbuatan mengajar. Padahal, mengajar pada umumnya di-
artikan secara sempit dan formal sebagai kegiatan
menyampaikan materi pelajaran kepada siswa agar ia
menerima dan menguasai materi pelajaran tersebut, atau
dengan kata lain agar siswa tersebut memiliki ilmu
5. pengetahuan. Tentang bagaimana dan di mana letak perbedaan
dan persamaan kedua istilah tadi dapat anda lihat pada bagian
akhir bab ini.
Dalam Dictionary of Psychology (1972) pendidikan diartikan
sebagai . . . the institutional procedures whicli are employed in
accomplishing the development of knowledge, habits,
attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution.
Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat
kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang
dipergunakan untuk menyempur-nakan perkembangan
individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan
sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan
nonformal di samping secara formal seperti di sekolah,
madrasah, dan institusi-institusi lainnya. Bahkan, menurut
definisi di atas, pendidikan juga dapat berlangsung dengan cara
mengajar diri sendiri (self-instruction’).
Selanjutnya, menurut Poerbakawatja dan Harahap (1981)
pendidikan adalah:
... usaha secara sengojo dari orang dewasa untuk dengan
pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu
diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari
segala perbuatannya. . . . orong dewasa itu adalah orang tuo si
anak atau orong yang atas dasar tugas dan kedudukannya
mempunyai kewajiban untuk mendidik, misalnya guru
sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan,
kepalo-kepala asroma dan sebagainya.
Dalam definisi yang panjang ini terdapat dua kata kunci yang
menurut hemat penyusun perlu disoroti yakni “kedewasaan”
dan “tanggung jawab moril”. Kedewasaan, meskipun sudah
sangat populer di kalangan para pendidik kita, sebetulnya
merupakan istilah yang sangat umum dan hanya bisa
digunakan setelah diberi batasan yang tegas. Ada
kemungkinan, kedewasaan diartikan sebagai kondisi orang
6. yang sudah akil balig atau sudah berusia cukup tua (entah
berapa tahun) atau masih bcrusia muda tetapi berkecakapan
sama dengan orang yang berusia cukup tua.
Rangkaian kata-kata “yang selalu diartikan mampu
menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya”
(mungkin bermaksud:
mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya secara
moral), juga terasa kurang memadai. Tanggung jawab moral
itu bersifat nisbi (dapat begini atau begitu), karenanya perlu
pula pembatasan yang tegas, apakah moral kemasyarakatan,
moral hukum, ataukah moral keagamaan.
Seorang pejabat, yang sudah tentu terdidik, yang melakukan
kolusi (persekongkolan jahat) atau korupsi bisa saja karena
ingin disebut memiliki tanggung jawab moral, ia
mengundurkan diri dari jabatannya sebelum terjaring hukum.
Padahal, seorang yang cukup terdidik seharusnya tidak hanya
memiliki tanggung jawab moral yang nisbi seperti pejabat itu,
tetapi juga tanggung jawab memikul risiko hukum yang timbul
karena ulahnya.
Oleh karena itu, istilah dewasa dan tanggung jawab moral
perlu diberi batas-batas yang jelas dan konkret, umpamanya
dengan cara mengacu pada tujuan pendidikan nasional, yakni:
... beriman don bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
ke+erampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
man+ap dan mandiri serta rasa tanggung Jawab
kemasyarakatan dan kebangsoan (UUSPN/1989 Bob II Pasal
2).
3. Definisi Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan menurut sebagian ahli adalah subdisiplin
psikologi, bukan psikologi itu sendiri. Mereka menganggap
psikologi pendidikan tidak memiliki teori, konsep, dan metode
7. sendiri. Hal ini konon terbukti dengan banyaknya hasil-hasil
riset psikologi-psikologi lain yang diangkat menjadi teori,
konsep, dan metode psikologi pendidikan. Benarkah
demikian? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat anda
temukan pada akhir pembahasan ini.
Salah seorang ahli yang menganggap psikologi pendidikan
sebagai subdisiplin psikologi terapan (applicable) adalah
Arthur S. Reber (1988) seorang guru besar psikologi pada
Brooklyn College, University of New York City, University of
British Columbia Canada, dan juga pada University of
Innsbruck Austria. Dalam pandangannya, psikologi pendidikan
adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan
dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam
hal-hal sebagai berikut.
1. Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
2. Pengembangan dan pembaruan kurikulum.
3. Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan.
4. Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses
tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif.
5. Penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Secara lebih sederhana dan praktis. Barlow (1985)
mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai: . . . a body of
knowledge grounded in psychological research winch provides
a repertoire of resources to aid you in functioning more
effectively in teaching learning process. Psikologi pendidikan
adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang
menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu
anda melaksanakan tugas sebagai seorang guru dalam proses
belajar-mengajar secara lebih efektif. Tekanan definisi ini
secara lahiriah hanya berkisar sekitar proses interaksi
antarguru-siswa dalam kelas.
8. Dalam buku Educational Psychology: The Teaching Learning
Process, Daniel Lenox Barlow (1985), seorang profesor dan
direktur program pascasarjana School of Education pada
sebuah perguruan tinggi di Virginia Amerika Serikat, juga
menguraikan secara luas hal-hal di luar apa yang telah
penyusun kutip di atas seperti proses perkembangan dan proses
belajar siswa. Selam itu, dia membahas juga masalah-masalah
aktual yang dihadapi guru dan pengembangan profesi
kariernya.
Sementara itu, Tardif (1987) mendefinisikan psikologi
pendidikan mirip dengan takrif di atas dalam arti cenderung
rnenganggapnya semata-mata sebagai ilrnu terapan. Baginya,
psikologi pendidikan adalah “. . . sebuah bidang studi yang
berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku
manusia untuk usaha-usaha kependidikan”. Adapun ruang
ling-kupnya, meliputi:
1. context of teaching and learning (situasi atau tempat yang
berhubungan dengan mengajar dan belajar);
2. process of teaching and learning (tahapan-tahapan dalam
mengajar dan belajar); dan
3. outcomes of teaching and learning (hasil-hasil yang dicapai
oleh proses mengajar dan belajar).
Selanjutnya, Witherington dalam bukunya Educational
Psychology terjemahan M. Buchori (1978) memberikan
definisi psikologi pendidikan sebagai “A systematic study of
the process and factors involved in the education of human
being is called educational psychology”, yakni bahwa
psikologi pendidikan adalah studi sistematis tentang proses-
proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan
manusia.
Istilah “proses” dalam definisi-definisi di atas terutama proses
yang disebutkan dalam definisi Witherington itu
sesungguhnya amat sulit dipahami substansinya (watak
9. isinya), karena sifatnya yang abstrak. Oleh sebab itu,
menurut sebagian ahli, definisi yang langsung menyebutkan
penyelidikan terhadap proses belajar atau proses mengajar
akan lebih pas jika diganti dengan “manusia” yang belajar
atau mengajar. Alasannya, apabila anda sedang mempelajari
atau memantau seorang siswa yang sedang berpikir untuk
memecahkan masalah matematika misalnya, maka yang anda
pelajari sesungguhnya adalah siswa tersebut, bukan
prosesnya, karena proses memikirkan soal matematika
tersebut tak mungkin dapat anda pelajari, lebih-lebih jika
secara langsung. Anda hanya bisa menarik kesimpulan
bahwa siswa tersebut sedang berpikir (memecahkan soal-soal
matematika) dari fenomena (gejala-gejala) yang tampak pada
diri siswa yang sedang anda pantau itu. Selanjutnya, perlu
penyusun kemukakan bahwa berdasarkan pertim-bangan
definisi-definisi di atas dan diperkuat kenyataan sehari-hari,
dapat dipastikan bahwa disiplin psikologi pendidikan pada
dasarnya mencurahkan perhatiannya pada perbuatan atau
tindak-tanduk orang-orang yang belajar dan mengajar. Oleh
karenanya, psikologi pendidikan mempunyai dua objek riset
dan kajian.
1. Siswa, yaitu orang-orang yang sedang belajar, termasuk
pendekatan, strategi, faktor yang mernpengaruhi, dan prestasi
yang dicapai
2. Guru, yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas
mengajar, termasuk metode, model, strategi dan lain-lain
yang berhubungan dengan aktivitas penyajian materi
pelajaran.
Apakah psikologi pendidikan termasuk cabang psikologi yang
independen (berdiri sendiri), baik secara teoretis maupun
praktis? Berikut ini penyusun uraikan pandangan-pandangan,
khususnya pandangan dari seorang ahli psikologi pendidikan
10. yang tergolong senior di antara ahli-ahli psikologi pendidikan
lainnya, yakni H.C. Witherington. Pakar yang satu ini menjadi
populer di kalangan para peminat/’psikologi pendidikan
khususnya para mahasiswa karena bukunya Educational
Psychology, yang diterjemahkan M. Buchori itu telah
menyemarakkan kajian psikologi pendidikan di tanah air.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa psikologi pendidikan
oleh banyak ahli psikologi termasuk ahli psikologi pendidikan
sendiri, cenderung dianggap sebuah subdisiplin psikologi yang
bersifat praktis, bukan teoretis. Psikologi-psikologi lain yang
juga dianggap sebagai psikologi terapan antara lain psikologi
industri dan psikologi klinis. Namun, kedua cabang psikologi
ini dipandang telah memiliki konsep-konsep, teori-teori, dan
metode-metode sendiri sehingga tidak lagi dianggap sebagai
subdisiplin tetapi disiplin (cabang ilmu) yang mandiri.
Ditinjau dari sudut pengaplikasiannya, kecenderungan
pandangan terhadap psikologi pendidikan seperti di atas
memang cukup beralasan. Kita ambil contoh, misalnya
psikologi perkembangan dan psikologi abnormal yang jelas
bersifat teoretis dan lebih berguna sebagai alat bantu dan
pendukung psikologi-psikologi lainnya. Konsep dan teori
psikologi abnormal sangat berguna untuk penerapan psikologi
klinis, sedangkan psikologi perkembangan berperan penting
dalam pembahasan aplikasi psikologi pendidikan.
Walaupun begitu, Witherington (Buchori, 1978) menegaskan
pen-diriannya bahwa psikologi pendidikan itu bukan hanya
sebagai psikologi terapan yang seolah-olah tidak memiliki hak
hidup sendiri. Alasan yang dikemukakannya adalah psikologi
pendidikan sebagai sebuah sains telah memiliki sendiri hal-hal
berikut.
1. Susunan prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran dasar
yang tersendiri.
11. 2. Faktor-faktor yang bersifat objektif dan dapat diperiksa
kebenarannya.
3. Teknik-teknik khusus yang berguna untuk melakukan
penyelidikan dan risetnya sendiri.
Perdebatan mengenai apakah psikologi pendidikan bersifat
praktis, teoretis, atau praktis-teoretis, sebenarnya tidak begitu
penting. Namun menurut hemat penyusun, psikologi
pendidikan pada asasnya adalah sebuah disiplin psikologi (atau
boleh juga disebut subdisiplin psikologi) yang menyelidiki
masalah-masalah psikologis yang terjadi dalam dunia
pendidikan. Lalu, hasil-hasil penyelidikan ini dirumuskan ke
dalam bentuk konsep, teori, dan metode yang dapat diterapkan
untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan
dengan proses belajar, proses mengajar, dan proses belajar-
mengajar. Alhasil, psikologi pendidikan dapat digunakan
sebagai pedoman praktis, di samping sebagai kajian teoretis.
B. Arti Penting Psikologi Pendidikan
Keharusan yang tak dapat ditawar-tawar bagi setiap pendidik
yang kom-peten dan profesional adalah melaksanakan
profesinya sesuai dengan ke-adaan peserta didik (lihat arti
kompetensi dan profesionalisme pada halaman 230). Dalam
hal ini, tanpa mengurangi peranan didaktik dan metodik
psikologi sebagai ilmu perigetahuan yang berupaya memahami
keadaan dan perilaku manusia, termasuk para siswa yang satu
sama lainnya berbeda itu, amat penting bagi para guru di
semua jenjang kependidikan. Jenjang kependidikan ini
meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan
pendidikan menengah 3 tahun yang diselenggarakan dalam
institusi sekolah dan madrasah.
Para ahli psikologi dan pendidikan pada umumnya
berkeyakinan bahwa dua orang anak (yang kembar sekalipun)
tak pernah memiliki respons yang sama persis terhadap situasi
12. belajar-mengajar di sekolah. Keduanya sangat mungkin
berbeda dalam hal pembawaan, kematangan jasmani,
intelegensi, dan keterampilan motor/jasmaniah. Anak-anak itu,
seperti juga anak-anak lainnya, relatif berbeda dalam
berkepribadian sebagaimana yang tampak dalam penampilan
dan cara berpikir atau memecahkan masalah mereka masing-
masing.
Pendidikan, selain merupakan prosedur seperti yang telah
penyusun singgung, juga merupakan lingkungan yang menjadi
tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam
interaksi antarindividu ini baik antara guru dengan para siswa
maupun antara siswa dengan siswa lainnya, terjadi proses dan
peristiwa psikologis. Peristiwa dan proses psikologis ini sangat
perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para guru
dalam memperlakukan para siswa secara tepat.
Para pendidik, khususnya para guru sekolah, sangat
diharapkan memiliki-kalau tidak menguasai—pengetahuan
psikologi pendidikan yang sangat memadai agar dapat
mendidik para siswa melalui proses belajar-mengajar yang
berdaya guna dan berhasil guna. Pengetahuan mengenai
psikologi pendidikan bagi para guru berperan penting dalam
menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini
disebabkan eratnya hubungan antara psikologi khusus tersebut
dengan pendidikan, seerat metodik dengan kegiatan
pengajaran.
Pengetahuan yang bersifat psikologis mengenai peserta didik
dalam proses belajar dan proses belajar-mengajar
sesungguhnya tidak hanya diperlukan oleh calon guru atau
guru yang sedang bertugas di lembaga-lembaga pendidikan
formal. Para dosen di perguruan tinggi pun, bahkan para
orangtua dan mereka yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan informal seperti para kiai di pesantren, para
pendeta dan pastur di gereja, dan para instruktur di lembaga-
13. lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan, pada prinsipnya
juga memerlukan pengetahuan psikologi pendidikan.
Di samping psikologi pendidikan, dalam beberapa dasawarsa
terakhir mi berkembang pula pengetahuan sejenis tetapi lebih
sempit yang disebut “didaksologi”. Didaksologi agaknya
merupakan subdisiplin psikologi pengajaran (instructional
psycliology). Psikologi pengajaran sendiri sesungguhnya
hanya bagian dari psikologi pendidikan.
Didaksologi sebagai sebuah disiplin ilmu kependidikan yang
masih muda belia dan belum dikenal secara luas itu pada
dasarnya lebih banyak menggali dan membahas struktur dasar
interaksi dalam proses belajar-mengajar yang sebelumnya
tidak disentuh olch ilmu didaktik tradisional (Winkel, 1991).
Didaksologi, seperti juga psikologi pengajaran, dikembang-
kan dan digunakan dalam tradisi dunia pendidikan di Eropa
Barat, sedang-kan psikologi pendidikan dikembangkan dan
digunakan di Amerika Serikat, bahkan di Eropa Barat juga
dipelajari orang.
Dari Amerika Serikat, psikologi pendidikan kemudian
melebarkan sayapnya ke Kanada, Australia, dan Selandia Baru
serta Benua Asia hingga ke Indonesia. Penyusun tidak tahu
pasti apakah psikologi pendidikan juga dikembangkan di
Bcnua Afrika, tetapi di beberapa negara Afrika tertentu seperti
Afrika Selatan dan Mesir (berdasarkan literatur yang ada)
psikologi khusus itu dikembangkan orang pula.
Berbeda dengan psikologi pendidikan, psikologi pengajaran
lebih menekankan aspek-aspek penyajian materi pelajaran dan
komunikasi antara guru dengan para siswa dalam proses
instruksional dan proses belajar-mengajar. Di Australia kajian
mengenai komunikasi instruksional seperti ini biasanya
terdapat dalam mata kuliah yang disebut psychology and
instruction (psikologi dan pengajaran). Ruang lingkung kajian
14. psychology and instruction lebih sempit daripada psikologi
pendidikan, tetapi masih lebih luas daripada didaksologi.
Ada beberapa hal penting yang perlu penyusun kemukakan
mengenai kajian psikologi pendidikan, antara lain:
1. psikologi pendidikan adalah pengetahuan kependidikan
yang didasarkan atas hasil-hasil temuan riset psikologis;
2. hasil-hasil temuan riset psikologis tersebut kemudian
dirumuskan sedemikian rupa hingga menjadi konsep-konsep,
teori-teori, dan metode-metode serta strategi-strategi yang
utuh;
3. konsep, teori, metode, dan strategi tersebut kemudian
disistematisasir kan sedemikian rupa hingga menjadi
“repertoire of resources”, yakni rangkaian sumber yang
berisi pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan untuk
praktik-praktik kependidikan khususnya dalam proses
belajar-mengajar.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pendekatan
psikologi pendidikan adalah pendekatan ilmiah (scientific
approach). Oleh karenanya di samping sebagai psikologi
praktis, psikologi pendidikan juga bersifat teoretis.
Kembali ke masalah belajar-mengajar dan hubungannya
dengan psikologi pendidikan, unsur utama dalam pelaksanaan
sebuah sistem pendidikan di mana pun adalah proses belajar-
mengajar. Di tengah-tengah proses edukatif (bersifat
kependidikan) ini tak terkecuali apakah di tempat pendidikan
formal atau informal, terdapat seorang tokoh yang disebut
guru. Sumber pengetahuan yang dapat membantu atau
menolong guru dalam mengelola belajar-mengajar tersebut
adalah psikologi praktis, psikologi pendidikan.
Sudah tentu, masih ada sumber-sumber pengetahuan lainnya
yang juga berhubungan dengan proses belajar-mengajar.
Pemahaman dan kemampuan guru yang kompeten dan
profesional dalam memanfaatkan teknik-teknik psikologi
15. pendidikan merupakan hal yang tak pantas ditawar-tawar. Para
ahli psikologi melakukan riset tingkah laku manusia
berdasarkan metodologi ilmiah. Mereka menarik kesimpulan
dan merumuskan teori-teori dan asumsi-asumsi berdasarkan
hasil temuan riset ilmiah itu. Namun, harus diakui antara satu
teori dengan teori lainnya sering muncul perten-tangan-
pertentangan dan ketidakajegan (inconsistency) seperti yang
tampak jelas dalam teori-teori belajar.
Anda, baik selaku calon guru maupun guru yang sedang
bertugas, tidak perlu memandang psikologi pendidikan sebagai
satu-satunya gudang penyimpan jawaban-jawaban yang benar
dan pasti atas persoalan-persoalan kependidikan yang anda
hadapi. Namun sebaliknya, anda tetap perlu tahu bahwa dalam
psikologi pendidikan terdapat serangkaian stok informasi
mengenai teori-teori dan praktik belajar, mengajar, dan belajar-
mengajar yang dapat anda pilih. Dalam hal ini, pilihan anda
seyogianya diseleraskan dengan kebutuhan kontekstual sesuai
dengan tuntutan ruang dan zaman. Dengan kata lain, pilihan
psikologis anda tersebut harus cocok dengan keperluan ke-
kini-an dan kc-disini-an, baik ditinjau dari sudut
Ketiga, Cara Menghubungkan Mengajar dengan Belajar
Tugas utama guru sebagai pendidik sebagaimana ditetapkan oleh
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kita adalah
mcngnjar. Secara singkat, mengajar adalah kegiatan
menyampaikan materi pelajaran, melatih keterampilan, dan
menanamkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi
pelajaran tersebut kepada siswa. Agar kegiatan mengajar ini
diterima oleh para siswa, guru perlu berusaha membangkitkan
gairah dan minat belajar mereka. Kebangkitan gairah dan minat
belajar para siswa akan mempermudah guru dalam
menghubungkan kegiatan mengajar dengan kegiatan belajar.
16. Oleh karena itu, sebagai calon guru atau guru yang sedang
bertugas, anda sangat diharapkan mengerti benar seluk-beluk
mengajar baik dalam arti individual (seperti ivmediiil te7C/un^/
mengajar perbaikan bagi siswa bermasalah) maupun dalam arti
klasikal. Dalam hal ini, anda tentu dituntut pula untuk
memahami model-model mengajar, metode-metode mengajar,
dan strategi-strategi mengajar. Kemudian, metode-metode dan
strategi ini anda terapkan secara cermat dalam proses belajar-
mengajar yang anda kelola. Untuk memenuhi kebutuhan anda
akan hal-hal tersebut, sengaja penyusun sajikan pembahasan-
pembahasan esencial mengenai mengajar, guru, dan hubungan
guru dengan proses mengajar seperti dapat anda lihat pada Bab 7
dan Bab 8 yang merupakan bab-bab terakhir dalam buku ini.
Keempat, Pengambilan Keputusan untuk Pengelolaan PBM
Dalam mengelola sebuah proses belajar-mengajar (PBM),
seorang guru , dituntut untuk menjadi figur sentral (tokoh inti)
yang kuat dan berwibawa, namun tetap bersahabat. Sebelum
mengelola sebuah proses belajar-mengajar, anda perlu
merencanakan terlebih dahulu satuan bahan atau materi dan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai (lihat halaman 243). Sesuai
perencanaan materi dan tujuan penyajiannya, anda perlu
menetapkan kiat yang tepat untuk menyampaikan materi tersebut
kepada para siswa dalam ‘situasi belajar-mengajar yang efisien.
Untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan di
atas, anda dituntut untuk menempatkan diri sebagai pengambil
atau pembuat keputusan {decision maker) yang penuh
perhitungan untung-rugi ditinjau dari sudut kajian psikologis.
Jika tidak, pengelolaan tahap-tahap interaksi belajar-mengajar
akan tersendat-sendat dan boleh jadi akan gagal mencapai
tujuannya.
Agar sebuah pengelolaan proses belajar-mengajar mencapai
sukses, seorang guru hendaknya memandang dirinya sendiri
sebagai seorang profesional yang efektif. Lalu, pandangan positif
17. ini diejawantahkan dalam bentuk upaya-upaya pengambilan
keputusan mengenai materi pelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan para siswa dan penegasan tujuan-
tujuan penyajian materi tersebut secara eksplisit, yakni tersurat
dan gamblang. Keputusan lain yang harus diambil selanjutnya
adalah penetapan model, metode, dan strategi mengajar yang
menurut tinjauan psikologis sesuai dengan jenis dan sifat materi,
tugas yang akan diberikan kepada para siswa dan situasi belajar-
mengajar yang diharapkan.
Namun dalam hal pengambilan keputusan-keputusan di atas
periu penyusun utarakan hambatan-hambatan yang urnum
dialami para guru. Faktor-faktor penghambat—atau paling tidak
pembatas gerak—pembuatan keputusan-keputusan instruksional
yang sering merintangi para guru pada umumnya meliputi:
1. kurangnya kesadaran guru terhadap masalah-masalah belajar
yang mungkin sedang dihadapi para siswa;
2. kesetiaan terhadap gagasan lama yang sebenarnya sudah tak
dapat diberlakukan lagi;
3. kurangnya sumber-sumber informasi yang diperlukan; dan
4. ketidakcermatan observasi terhadap situasi belajar-mengajar.
Selain hal-hal di atas, hambatan mungkin pula muncul dari
perbedaan harapan guru dan siswa. Beberapa orang siswa dalam
sebuah kelas misal-i-iya, mungkin memiliki cita-cita memenuhi
kebutuhan masa depannya yang sama sekali berbeda dengan
rekan-rekannya atau bahkan menyimpang dari karakteristik
sekolah yang mereka ikuti. Perbedaan seperti ini akan
mengakibatkan munculnya perbedaan gaya belajar, sikap, dan
perilaku mereka selama membaur dalam proses belajar-
mengajar. Selanjutnya, tekanan dari luar dapat pula
mempengaruhi kemulusan pengambilan keputusan oleh guru.
Tekanan luar ini bisa datang dari orangtua siswa, aturan
administratif sekolah, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya.
C. Sejarah, Cakupan, dan Metode Psikologi Pendidikan
18. Pada bagian ini akan penyusun uraikan secara singkat sejarah
lahirnya disiplin ilmu psikologi pendidikan dan ruang lingkup
atau bidang-bidang garapannya. Selain itu, pada bagian ini akan
penyusun utarakan pula metode-metode pokok yang digunakan
oleh para ahli dalam melakukan penclitian psikologis yang
berkaitan dengan proses-proses belajar, mengajar, dan belajar-
mengajar. Temuan-temuan hasil riset dalam psikologi
pendidikan sebagian ditujukan untuk kegunaan praktis, sebagian
lagi dipakai untuk bahan kajian teoretis dan juga sebagai bukti
masih valid atau tidaknya sebuah teori atau penemuan yang
sebelumnya telah didokumentasikan. Penelitian untuk tujuan
pengkajian pada umumnya dilakukan oleh para dosen dan
mahasiswa fakultas pendidikan dan fakultas psikologi.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya
hasil temuan riset para civitas akademika tersebut untuk
dipraktikkan di sekolah-sekolah latihan. Kemudian, jika ternyata
penerapan hasil riset itu menunjukkan hasil yang positif bagi
kemajuan belajar atau belajar-mengajar, maka temuan hasil riset
tadi diformulasikan ke dalam bentuk konsep dan teori baru.
Konsep dan teori baru ini kemudian dipublikasikan
(disebarluaskan) melalui jurnal atau majalah ilmiah yang bertaraf
nasional atau internasional. Tujuannya, agar konsep dan teori
yang ditawarkan tersebut mendapat komentar, kritik, dan
perbaikan dari para ahli yang berkompeten. Tradisi keilmuan
seperti ini sudah umum diberlakukan di kampus-kampus
perguruan tinggi di negara-negara maju, sehingga ikiim
persaingan ilmiah di perguruan tinggi khususnya di kalangan
para dosen tampak semarak dan bergairah serta mendatangkan
manfaat bagi umat manusia.
1. Sejarah Singkat Psikologi Pendidikan
Sejarah khusus yang mengungkapkan secara cermat dan luas
tentang psikologi pendidikan, hingga kini sesungguhnya masih
perlu dicari. Hal ini terbukti karena kebanyakan karya tulis yang
19. mengungkapkan “riwayat hidup” psikologi pendidikan masih
sangat langka. Karya tulis yang mem-bahas riwayat psikologi
yang ada sekarang pada umumnya tentang pelbagai psikologi
yang dicampur aduk menjadi satu, sehingga menyulitkan
identifikasi terhadap jenis psikologi tertentu yang irigin kita
ketahui secara spesifik.
Uraian kesejarahan yang khusus berkaitan dengan psikologi
pendidikan konon pernah dilakukan secara alakadarnya oleh
beberapa or-ang ahli seperti Boring & Murphy pada tahun 1929
dan Burt pada tahun 1957, tetapi terbatas untuk psikologi
pendidikan yang berkembang di wilayah Inggris (David, 1972).
Sudah tentu riwayat psikologi pendidikan yang mereka tulis itu
tak dapat kita jadikan acuan bukan saja karena keterbatasan
wilayah pengembangan, melainkan juga karena kedaluarsa
karya-karya tulis tersebut.
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan
psikologi dalam dunia pendidikan sudah berlangsung sejak
zaman dahulu meskipun istilah psikologi pendidikan sendiri pada
masa awal pemanfaatannya belum dikenal orang. Namun, seiring
dengan perkembangan saiiis dan tek-nologi, akhirnya lahir dan
berkembanglah secara resmi (entah tahun berapa) sebuah cabang
khusus psikologi yang disebut psikologi pendidikan itu.
Kemudian, menurut David (1972) pada umumnya para ahli
memandang bahwa Johann Friedrich Herbart adalah bapak
psikologi pendidikan yang konon menurut sebagian ahli masih
merupakan disiplin sempalan psikologi lainnya itu.
Herbart adalah seorang filosof dan pengarang kenamaan yang
lahir di Oldenburg, Jerman, pada tanggal 4 Mei 1776. Pada usia
29 tahun ia menjadi dosen filsafat di Gottingen dan mencapai
puncak kariernya pada tahun 1809 ketika dia diangkat menjadi
ketua Jurusan Filsafat di Konisberg sampai tahun 1833. la
meninggal di Gottingen pada tanggal 14 Agustus 1841.
20. Nama Herbart kemudian diabadikan sebagai nama sebuah aliran
psikologi yang disebut Herbartianisme pada tahun 1820-an.
Konsep utama pemikiran Herbartianisme ialah apperceptive
mass, sebuah istilah yang khusus diperuntukkan bagi
pengetahuan yang telah dimiliki individu. Dalam pandangan
Herbart, proses belajar atau memahami sesuatu bergantung pada
pengenalan individu terhadap hubungan-hubungan antara ide-ide
baru dengan pengetahuan yang telah dia miliki. Konsep ini
sampai sekarang masih digunakan secara luas dalam dunia
pengajaran, yakni apa yang kita kenal dengan istilah apersepsi
sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan belajar-mengajar
(lihat Bab 8 Subbab E).
Aliran pemikiran Herbartianisme, menurut Reber (1988), adalah
pen-dahulu pemikiran psikoanalisis Freud dan berpengaruh besar
terhadap pemikiran psikologi eksperimental Wundt. la juga
dianggap sebagai pen-cetus gagasan-gagasan pendidikan gaya
baru yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Buku Pedagogics (ilmu mengajar) adalah karyanya yang
dianggap monumental, “sesuatu yang agung”. Karya besar
lainnya yang berhu-bungan dengan psikologi pendidikan.
Application of Psychology to the Science of Education
(penerapan psikologi untuk ilmu pendidikan).
Sebagai catatan pelengkap mengenai ilmuwan besar yang
berpengaruh tersebut, penyusun kutipkan sebagian
pandangannya yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu: . . .
regards history the most potent to study in developing child
character, next to it he classes nature studies, and lastly he places
formal studies such as reading, writing, arithmetic (David, 1972).
Dalam pandangan Herbart, mata pelajaran yang paling jitu untuk
mengembangkan watak anak adalah sejarah. Kemudian untuk
pengajaran selanjutnya adalah ilmu-ilmu alam, dan sebagai
pelajaran akhir yang perlu diberikan kepada anak adalah bidang-
bidang studi formal seperti membaca, menulis, dan berhitung.
21. Selanjutnya, psikologi pendidikan lebih pesat berkembang di
Amerika Serikat, meskipun tanah kelahirannya sendiri di Eropa.
Kemudian, dari negara adidaya tersebut psikologi pendidikan
menyebar ke seluruh benua hingga sarnpai ke Indonesia.
Meskipun perkembangan psikologi pendidikan di Eropa
dianggap tidak seberapa, kenyataannya psikologi tersebut tidak
lenyap atau tergeser oleh perkembangan psikologi pengajaran
dan didak-sologi seperti yang telah penyusun singgung di muka.
Salah satu bukti masih dipakai dan dikembangkannya psikologi
tersebut di Eropa, khususnya di Inggris adalah masih tetap
diterbitkannya sebuah jurnal internasional yang berjudul British
Journal of Educational Psychology.
Sekarang, semakin dewasa usia psikologi pendidikan, semakin
banyak pakar psikologi dan pendidikan yang berminat
mengembangkannya. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya
fakultas psikologi dan fakultas pendidikan di universitas-
universitas terkenal di dunia yang membuka jurusan atau
spesialisasi keahlian psikologi pendidikan dengan fasilitas
belajar yang lengkap dan modern. Di negara kita pun jurusan
psikologi pendidikan—yang biasanya digabung dengan
bimbingan dan penyuluhan (BP)—masih diselenggarakan pada
banyak fakultas keguruan baik negeri maupun swasta.
Kenyataan lain yang menunjukkan kepesatan perkembangan
psikologi pendidikan adalah semakin banyaknya ragam cabang
psikologi dan aliran pemikiran psikologis yang turut berkiprah
dalam riset-riset psikologi pendidikan. Cabang dan aliran
psikologi yang datang silih berganti menanamkan pengaruhnya
terhadap psikologi pendidikan, di antaranya yang paling
menonjol adalah:
1. aliran humanisme dengan tokoh-tokoh utama J.J. Rousseau,
Abraham Maslow, C. Rogers;
2. aliran behaviorisme dengan tokoh-tokoh utama J.B. Watson,
E.L. Thorndike, dan B.F. Skinner;
22. 3. aliran psikologi koginitif dengan tokoh-tokoh utama J. Piaget,
J. Bruner, dan D. Ausubel;
Uraian lebih lanjut mengenai aliran-aliran psikologi kognitif
dapat anda temukan pada Bab 4 Subbab D. Sedangkan uraian
mengenai aliran humanisme dapat anda can dalam Bab 8.
2. Cakupan Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan pada asasnya adalah sebuah disiplin
psikologi yang khusus mempelajari, meneliti, dan membahas
seluruh tingkah laku manusia yang terlibat dalam proses
pendidikan itu meliputi tingkah laku belajar (oleh siswa), tingkah
laku mengajar (oleh guru), dan tingkah laku belajar-mengajar
(oleh guru dan siswa yang saling berinteraksi).
Inti persoalan psikologis dalam psikologi pendidikan, tanpa
meng-abaikan persoalan psikologi guru, terletak pada siswa.
Pendidikan pada hakikatnya adalah pelayanan yang khusus
diperuntukkan bagi siswa. Oleh kareria itu, ruang lingkup pokok
bahasan psikologi pendidikan, selain teori-teori psikologi
pendidikan sebagai ilmu, juga berbagai aspek psikologis para
siswa khususnya ketika mereka terlibat dalam proses belajar dan
proses belajar-mengajar.
Secara garis besar, banyak ahli yang membatasi pokok-pokok
bahasan psikologi pendidikan menjadi tiga macam.
1. Pokok bahasan mengenai “belajar”, yang meliputi teori-teori,
prinsip-prinsip, dan ciri-ciri khas perilaku belajar siswa, dan
sebagainya.
2. Pokok bahasan mengenai “proses belajar”, yakni tahapan
perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam kegiatan belajar
siswa.
3. Pokok bahasan mengenai “situasi belajar”, yakni suasana dan
keadaan lingkungan baik bersifat fisik maupun nonfisik yang
berhubungan dengan kegiatan belajar siswa.
23. Sementara itu, Samuel Smith sebagaimana yang dikutip
Suryabrata (1984), menetapkan 16 topik bahasan yang
rinciannya sebagai berikut.
1. Pengetahuan tentang psikologi pendidikan (the science of
educational psychology).
2. Hereditas atau karakteristik pemb’awaan sejak lahir
(heredity);
3. Lingkungan yang bersifat fisik (physical structure).
4. Perkembangan siswa (growth).
5. Proses-proses tingkah laku (behavior process).
6. Hakikat dan ruang lingkup belajar (nature and scope of
learning).
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar (factors that
condition learning).
8. Hukum-hukum dan teori-teori belajar (laws and theories of
learning).
9. Pengukuran, yakni prinsip-prinsip dasar dan batasan-batasan
pengu-kuran/evaluasi (measurement: basic principles and
definitions).
10. Transfer belajar, meliputi mata pelajaran (transfer of
learning: subject matters}.
11. Sudut-sudut pandang praktis mengenai pengukuran (practical
aspects of mesurement).
12. Ilmu statistik dasar (element of statistics).
13. Kesehatan rohani (mental hygiene).
14. Pendidikan membentuk watak (character education).
15. Pengetahuan psikologi tentang mata pelajaran sekolah
menengah (psychology of secondary school subjects).
16. Pengetahuan psikologi tentang mata pelajaran sekolah dasar
(psychology of elementary school subjects).
Keenam belas pokok bahasan di atas, konon telah dikupas oleh
hampir semua ahli yang telah diselidiki Smith, walaupun porsi
24. (jumlah bagian/ jatah) yang diberikan dalam pengupasan tersebut
tidak sama.
Dari rangkaian pokok-pokok bahasan versi Smith dan tiga pokok
yang sebelum ini telah penyusun singgung di muka, tampak
sangat jelas bahwa masalah belajar (learning) adalah masalah
yang paling sentral dan vital, (inti dan amat penting) dalam
psikologi pendidikan. Dari seluruh proses pendidikan, kegiatan
belajar siswa merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini
bermakna bahwa berhasil-tidaknya pencapaian tujuan pendidikan
banyak terpulang kepada proses belajar siswa baik ketika ia
berada di dalam kelas maupun di luar kelas.
Masalah pokok kita sekarang adalah apa dan bagaimana belajar
itu sesimgguhnya? Samakah dengan latihan, menghapal,
mengumpulkan fakta dan sebagainya? Untuk menjawab
pertanyaan penting ini, silakan anda telaah uraian pada Bab 4
Subbab A dan D yang terdapat dalam buku ini.
Selanjutnya, walaupun masalah belajar merupakan pokok
bahasan sentral dan vital, tidak berarti masalah-masalah lain
tidak perlu dibahas oleh psikologi pendidikan. Masalah mengajar
(teaching) dan proses belajar-mengajar (teaching-learning
process) seperti telah penyusun tekankan sebelum ini, juga
dibicarakan dengan porsi yang cukup besar dan luas dalam
psikologi pendidikan. Betapa pentingnya masalah proses belajar-
mengajar tersebut, terbukti dengan banyaknya penelitian yang
dilakukan dan buku-buku psikologi pendidikan yang secara
khusus membahas masalah interaksi instruksional (hubungan
bersifat pengajaran) antara guru dengan siswa.
Khusus mengenai proses belajar-mengajar, para ahli psikologi
pendidikan seperti Barlow (1985) dan Good & Brophy (1990)
mengelompokkan pembahasan ke dalam tujuh bagian.
1. Manajemen ruang belajar (kelas) yang sekurang-kurangnya
meliputi pengendalian kelas dan penciptaan ikiim kelas.
2. Metodologi kelas (metode pengajaran).
25. 3. Motivasi siswa peserta kelas.
4. Penanganan siswa yang berkemampuan luar biasa.
5. Penanganan siswa yang berperilaku menyimpang.
6. Pengukuran kinerja akademik siswa.
7. Pendayagunaan umpan balik dan penindaklanjutan
Dalam hal penanganan manajemen (proses penggunaan sumber
daya untuk mencapai tujuan) yakni menajemen ruang belajar
atau kelas, tugas utama guru adalah: 1) melakukan kontrol
terhadap seluruh keadaan dan akti vitas kelas; 2) menciptakan
ikiim ruang belajar (classroom climate) sedemikian rupa agar
proses belajar-mengajar dapat berjalan wajar dan lancar.
Pengendalian atau kontrol yang dilakukan guru, menurut
tinjauan psikologi pendidikan harus senantiasa diorientasikan
pada tercapainya disiplin. Disiplin dalam hal ini berarti segala
sikap, penampilan, dan per-buatan siswa yang wajar dalam
mengikuti proses belajar-mengajar. Adapun dalam hal
penciptaan ikiim kelas, guru sangat diharapkan mampu menata
lingkungan psikologis ruang belajar sehingga mengandung
atmosfer (baca:
suasana perasaan) ikiim yang memungkinkan para siswa
mengikuti proses belajar dengan tenang dan bergairah.
Selanjutnya, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan topik-
topik proses belajar-mengajar lainnya seperti metode pengajaran,
motivasi siswa/ dan topik-topik lain sebagaimana tersebut di
atas, dapat anda ketahui setelah melacak uraian dan isi Bab 7
Subbab D dan Bab 8 Subbab C dan D dalam buku ini.
•
3. Metode Psikologi Pendidikan
Kebanyakan psikolog menganggap kegiatan belajar-mengajar
manusia adalah topik paling penting dalam studi psikologi.
Demikian pentingnya arti belajar sehingga nyaris tak satu pun
aspek kehidupan manusia yang terlepas dari belajar. Namun,
perbedaan persepsi, (pemahaman atas dasar tanggapan)
26. mengenai arti dan seluk-beluk belajar selalu muncul dari waktu
ke waktu dan dari generasi ke generasi berikutnya.
Kenyataan yang tak terelakkan bahwa perbedaan generasi
psikolog sering pula membawa perbedaan persepsi terhadap
belajar. Kurang-lebih 45 tahun yang lalu persepsi orang
khususnya para pendidik profesional sangat dipengaruhi oleh
aliran behaviorisme yang didasarkan pada hasil eksperimen
dengan menggunakan hewan-hewan percobaan.
Akhir-akhir ini, persepsi tersebut sudah banyak berubah seiring
dengan perubahan pandangan para ahli psikologi pendidikan
terhadap keabsahan (validity) dan kecermatan (accuracy) temuan
riset yang menggunakan hewan-hewan itu (Lazerson, 1975).
Para peneliti bidang psikologi khususnya psikologi pendidikan
kini telah semakin sadar betapa dalam dan rumitnya proses
berpikir siswa ketika ia belajar, sehingga gejala perilaku hewan
percobaan tak layak lagi digunakan sebagai bahan kiasan
(analog!) yang memadai. Perubahan ini mengakibatkan
berubahnya pola riset dan peng-gunaan metode untuk
menghimpun data psikologis di bidang kependidikan.
Data sebenarnya dapat diangkat dari sumbernya dengan metode
apa saja asal cocok dengan jenis, sifat, dan sumber atau asal-usul
data tersebut. Namun, kebanyakan ahli psikologi pendidikan
membatasi penggunaan metode sesuai dengan wilayah riset
(aspek psikologis) dan sifat pertanyaan penelitian yang benar-
benar relevan dengan kebutuhan kajian atau kebutuhan
kependidikan.
Metode, seperti yang penyusun uraikan pada bagian lain buku
ini, secara singkat dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang
ditempuh seseorang dalam melakukan sebuah kegiatan. Dalam
psikologi pendidikan, metode-metode tertentu dipakai untuk
mengumpulkan berbagai data dan informasi penting yang
bersifat psikologis dan berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan
pengajaran.
27. Pada umumnya, para ahli psikologi pendidikan melakukan riset
psikologis di bidang kependidikan dengan memanfaatkan
beberapa metode penelitian tertentu seperti: a) eksperimen; b)
kuesioner; c) studi kasus; d) penyelidikan klinis; dan e) observasi
naturalistik. Di samping lima macam metode di atas, H.C.
Witherington menyebut satu metode lagi yang bernama metode
filosofis atau spekulatif. Namun, penyusun tidak merasa perlu
memperbincangkannya lebih jauh mengingat metode tersebut
kurang populer dan belum dapat diterima eksistensinya oleh
banyak ahli.
A. Metode eksperimen
Pada asasnya, metode eksperimen merupakan serangkaian
percobaan yang dilakukan eksperimenter (peneliti yang
bereksperimen) di dalam sebuah laboratorium atau ruangan
tertentu lainnya. Teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan data
yang akan diangkat, misalnya data pendengaran siswa,
penglihatan siswa, dan gerak mata siswa ketika sedang
membaca. Selain itu, eksperimen dapat pula dipakai untuk
mengukur kecepatan be-reaksi seorang siswa terhadap stimulus
tertentu. Alat utama yang paling sering dipakai dalam
eksperimen pada jurusan psikologi pendidikan atau fakultas
psikologi di universitas-universitas terkemuka adalah komputer
dengan pelbagai programnya seperti program cognitive
psychology test.
Metode eksperimen sering digunakan dalam penelitian psikologi
pendidikan dengan tujuan untuk menguji keabsahan dan
kecermatan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari hasil
temuan penelitian dengan metode lain. Contoh: apabila sebuah
kesimpulan yang ditarik dari sebuah penelitian dengan metode
observasi misalnya, menimbulkan keraguan atau masalah baru,
maka dilakukan percobaan atau eksperimen.
Metode eksperimen bagi para psikolog, termasuk psikolog
pendidikan, dianggap sebagai metode pilihan dalam arti lebih
28. utama untuk digunakan dalam riset-riset. Karena data dan
informasi yang dihimpun melalui metode ini lebih bersifat
definitif (pasti) dan lebih saintifik (ilmiah) jika dibandingkan
dengan data dan informasi yang dihimpun melalui penggunaan-
penggunaan metode lainnya.
Anggapan itu sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, sebab
sering ter-jadi perilaku subjek yang terekam dalam eksperimen
ternyata berlawanan dengan perilaku subjek tersebut dalam
kehidupan sehari-harinya. Jadi, subjek tadi mungkin telah
berpura-pura ketika diteliti karena ingin mem-bantu atau
mengacaukan rancangan operasional penelitian eksperimenter.
Untuk mengantisipasi hal yang bakal terjadi yang tidak sesuai
dengan harapan peneliti, rancangan eksperimen (experimental
design) biasanya dibuat sedemikian rupa, sehingga, seluruh
unsur penelitian termasuk penggunaan laboratorium/tempat dan
subjek yang akan diteliti betul-betui memenuhi syarat penelitian
eksperirnental.
Dalam penelitian eksperimental objek yang akan diteliti dibagi
ke dalam dua kelompok, yakni: 1) kelompok percobaan
(eksperimental group); 2) kelompok pembanding (control
group). Kelompok percobaan terdiri atas sejumlah orang yang
tingkah lakunya diteliti dengan perlakukan khusus dalam arti
sesuai dengan data yang akan dihimpun. Kelompok pembanding
juga terdiri atas objek yang jumlah dan karakteristiknya sama
dengan kelompok percobaan, tetapi tingkah lakunya tidak diteliti
dalam arti tidak diberi perlakuan (treatment) seperti yang
diberikan kepada kelompok percobaan. Setelah eksperimen usai,
data dari kelompok percobaan tadi dibandingkan dengan data
dari kelompok pembanding, lalu dianalisis, ditafsirkan, dan
disimpulkan dengan teknik statistik tertentu.
B. Metode kuesioner
Metode kuesioner (auestionaire) lazim juga disebut sebagai
metode surat-menyurat (mail survey). Kuesioner disebut “mail
29. survey” karena pelaksanaan penyebaran dan pengembaliannya
sering dikirimkan ke dan dari responden melalui jasa pos.
Namun, sebelum kuesioner disebarkan atau dikirimkan kepada
responden yang sesungguhnya, seorang peneliti psikologi
pendidikan biasanya melakukan uji coba (try out). Caranya,
sejumlah kuesioner dibagi-bagikan kepada sejumlah orang
tertentu yang memiliki karakterisktik sama dengan calon
responden yang sesungguhnya. Tujuannya, untuk memastikan
apakah pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner itu cukup jelas
dan relevan untuk dijawab, dan untuk memperoleh masukan
yang mungkin bermanfaat bagi penyempurnaan kuesioner
tersebut.
Penggunaan metode kuesioner dalam riset-riset sosial termasuk
bidang psikologi pendidikan relatif lebih menonjol bila
dibandingkan dengan penggunaan metode-metode lainnya.
Gejala dominasi (penguasaan/ kemenonjolan) penggunaan
metode ini muncul karena lebih banyak sampel yang bisa
dijangkau di samping unit cost (biaya satuan) per responden
lebih murah. Contoh data yang dapat dihimpun dengan cara
penyebaran adalah sebagai berikut.
1. Karakteristik pribadi siswa seperti jenis kelamin, usia, dan
seterusnya tapi tidak termasuk nama.
2. Latar belakang keadaan siswa seperti latar belakang keluarga,
latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
3. Perhatian siswa terhadap mata pelajaran tertentu.
4. Faktor-faktor pendorong dan penghambat siswa dalam
mengikuti pelajaran tertentu.
5. Aplikasi (penerapan) mata pelajaran tertentu dalam kehidupan
sehari-. hari siswa (seperti salat dalam pelajaran agama).
6. Pengaruh aplikasi mata pelajaran tertentu terhadap
perikehidupan siswa.
C. Metode studi kasus
30. Studi kasus (case study) ialah sebuah metode penelitian yang
digunakan untuk memperoleh gambaran yang rinci mengenai
aspek-aspek psikologis seorang siswa atau sekelompok siswa
tertentu. Metode ini, selain dipakai oleh para peneliti psikologi
pendidikan, juga sering dipakai oleh peneliti ilmu-ilmu sosial
lainnya karena lebih memungkinkan peneliti melakukan
investigasi (penyelidikan dengan mencatat fakta) dan penafsiran
yang lebih luas dan mendalam.
Instrumen atau alat pengumpul data (APD) yang digunakan
dalam studi kasus bisa bermacam-macam terutama yang dapat
mengungkapkan variabel yang sukar ditentukan dalam satuan
jumlah tertentu (Tardif, 1987). Selanjutnya karena kesimpulan-
kesimpulan yang ditarik dari hasil studi kasus biasanya sulit
dijadikan tolak ukur yang berlaku umum (digenerali-sasikan),
studi tersebut sering diikuti dengan investigasi dan suvey lain
yang berskala lebih besar. Tetapi, dalam hal subjek yang diteliti,
studi kasus relatif sama dengan metode penyelidikan klinis yakni
hanya terdiri atas seorang individu atau kelompok kecil individu.
Fenomena dan peristiwa yang diselidiki dengan metode ini
lazimnya terus-menems diikuti perkembangannya selama kurun
waktu tertentu. Bahkan seorang peneliti psikologi pendidikan
terkadang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
menghimpun bahan-bahan berupa data dan informasi yang
akurat, yang tepat dan cermat, mengenai seorang individu atau
sekelompok kecil individu. Studi kasus akan memerlukan waktu
yang lebih lama lagi apabila dipakai untuk menyelidiki
fenomena genetika (karakteristik keturunan) yang dihubungkan
dengan aktivitas pendidikan. Dalam hal ini, studi biasanya
dimulai sejak seorang anak berusia muda (balita umpamanya)
hingga berusia tertentu (remaja misalnya) untuk mendapatkan
pengertian yang tepat mengenai aspek-aspek perkembangan
yang perlu diperhatikan demi kepentingan praktik kependidikan
untuk anak tersebut.
31. D. Metode penyelidikan klinis
Pada mulanya, metode penyelidikan klinis atau sebut saja
metode klinis (clinical method) hanya digunakan oleh para ahli
psikologi klinis atau psikiater. Dalam metode ini terdapat
prosedur diagnosis dan penggolongan penyakit kelainan jiwa
serta cara-cara memberi perlakuan pemulihan (psychological
treatment) terhadap kelainan jiwa tersebut.
Jean Piaget adalah yang mula-mula memanfaatkan metode
penyelidikan klinis tersebut untuk kepentingan pendidikan.
Piaget telah sering menggunakan metode mi untuk
mengumpulkan data dengan cara yang unik yakni interaksi semu
alamiah, (quasi-natural) antara peneliti dengan anak yang diteliti
(Reber, 1988).
Dalam hal pelaksanaan penggunaannya, peneliti menyediakan
benda-benda dan memberi tugas-tugas serta pertanyaan-
pertanyaan tertentu yang boleh diselesaikan oleh anak secara
bebas menurut persepsi dan kehen-daknya. Kemudian, setelah
data dari hasil penyelidikan pertama diangkat dan diberi
perlakuan khusus (misalnya dianalisis sekilas), peneliti me-
ngajukan lagi pertanyaan atau tugas tambahan untuk mendukung
data yang terhimpun sebelumnya.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa metode penyelidikan klinis pada
umumnya hanya diberlakukan untuk menyelidiki anak atau siswa
yang mengalami penyimpangan psikologis tak terkecuali
penyimpangan perilaku (maladaptive behavior/misbehavior).
Oleh karenanya, penggunaan sarana dan cara yang dikaitkan
dengan metode tersebut selalu memper-hatikan batas-batas
kesanggupan siswa. Sama halnya dengan metode eksperimen
yang dilakukan dalam laboratorium, metode klinis juga
mementingkan intensitas dan ketelitian yang sungguh-sungguh.
Sasaran yang akan dicapai oleh penelitian dengan penggunaan
metode klinis terutama untuk memastikan sebab-sebab
timbulnya ketidaknormalan perilaku seorang siswa atau
32. sekelompok kecil siswa. Kemudian, berdasar-kan kepastian
faktor penyebab itu penelitian berupaya memilih dan
menentukan cara-cara yang tepat untuk mengatasi penyimpangan
tersebut.
E. Metode observasi naturalistik
Metode observasi naturalistik (naturalistic observation) adalah
sejenis observasi yang dilakukan secara alamiah. Dalam hal ini,
peneliti berada di luar objek yang diteliti atau ia tidak
menampakkan diri sebagai orang yang sedang melakukan
penelitian.
Pada mulanya, observasi naturalistik lebih banyak digunakan
oleh para ahli ilmu hewan (ethologist) untuk mempelajari
perilaku hewan tertentu, misalnya perkembangan perilaku ikan
jantan terhadap ikan betina (Lazerson, 1975). Kemudian, metode
observasi naturalistik digunakan oleh psikolog sosial untuk
meneliti peranan kepemimpinan dalam sebuah masyarakat atau
untuk meneliti sekelompok orang yang memerlukan terapi,
(perawatan dan pemulihan) yang bersifat kemasyarakatan.
Selanjutnya, metode ini juga digunakan oleh para psikolog
perkembangan, para psikolog kognitif, dan para psikolog
pendidikan.
Dalam hal penggunaannya bagi kepentingan penelitian psikolog
pendidikan, seorang peneliti atau guru yang menjadi asistennya
dapat mengaplikasikan metode observasi ilmiah itu lewat
kegiatan pengajaran atau belajar-mengajar dalam kelas-kelas
regular, yakni kelas tetap dan biasa, bukan kelas yang diadakan
secara khusus. Selama proses belajar-mengajar berlangsung,
jenis perilaku siswa yang diteliti (misalnya, kecepatannya
membaca) dicatat dalam lembar format observasi yang khusus
dirancang sesuai dengan data dan informasi yang akan dihimpun
(lihat format observasi pada Bab 6 Subbab A sebagai contoh).
D. Hakikat dan Hubungan Antara Pendidikan - Pengajaran
33. Berikut akan penyusun bahas pandangan para ahli psikologi
mengenai hakikat dan hubungan antara pendidikan dan
pengajaran. Selanjutnya sebagai bahan perbandingan kajian,
pada bagian ini akan penyusun bahas pula mengenai kedua
proses yang sangat penting dalam kehidupan manusia itu.
Namun sebelum sampai pada pembahasan pokok terlebih
dahulu, perlu penyusun uraikan aneka ragam arti pendidikan dan
pengajaran baik secara harfiah maupun secara istilah. Uraian ini
penyusun anggap penting karena dapat berperan sebagai peretas,
(perintis dan penembus) jalan ke arah pemahaman yang lebih
mudah mengenai hakikat hubungan dan persa-maan antara
pendidikan dan pengajaran yang sering diperdebatkan orang itu.
1. Ragam Arti Pendidikan dan Pengajaran
Akar kata pendidikan adalah “didik” atau “mendidik” yang
secara harfiah artinya memelihara dan member! latihan.
Sedangkan “pendidikan”, seperti yang pernah penyusun
singgung sebelum ini adalah tahapan-tahapan kegiatan
mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam bahasa Arab, pendidikan disebut “tarbiyah” yang berarti
proses persiapan dan pengasuhan manusia pada fase-fase awal
kehidupannya yakni pada tahap perkembangan masa bayi dan
kanak-kanak (Jalal, 1988). Dalam sebuah Kamus Arab-Inggris
Modern disebutkan bahwa kata rabba, dan tarabbaba, dan
tambbabal walada memiliki arti yang sama yakni to fostet atau to
bring up (Elias & Elias, 1982), artinya memelihara/mengasuh
anak.
Dalam bahasa Inggris, pendidikan disebut education yang kata
kerjanya to educate. Padanan kata ini adalah to civilize, to
develop, artinya memberi peradaban dan mengembangkan.
Istilah education memiliki dua arti, yakni arti dari sudut orang
yang menyelenggarakan pendidikan dan arti dari sudut orang
yang dididik. Dari sudut pendidik, education berarti perbuatan
34. atau proses memberikan pengetahuan atau mengajarkan
pengetahuan. Sedangkan dari sudut peserta didik, education
berarti proses atau perbuatan memperoleh pengetahuan.
Sementara itu, Poerbakawatja & Harahap (1981), Poerwanto
(1985), dan Winkel (1991) masing-masing mengartikan
pendidikan dengan ungkapan yang maksudnya relatif sama
bahwa pendidikan adalah usaha yang disengaja dalam bentuk
perbuatan, bantuan, dan pimpinan orang dewasa kepada anak-
anak agar mencapai kedewasaan. Tekanan mereka dalam hal ini
ialah bahwa pendidikan itu harus dilakukan oleh orang dewasa,
sedangkan yang dididik harus orang yang belum dewasa (anak-
anak).
Adapun mengenai istilah “pengajaran” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1991) berasal dari kata “ajar”, artinya
petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut).
Kata “mengajar” berarti memberi pelajaran. Contoh: “Guru itu
mengajar murid matematika.” Sedangkan kata “mengajarkan”
berarti memberikan pelajaran. Contoh: Siapa yang mengajarkan
sejarah kepada murid-murid kelas VI?” Berdasarkan arti-arti ini,
kemudian Kamus Besar Bahasa Indonesia itu mengartikan
pengajaran sebagai “proses perbuatan, cara mengajar atau
mengajarkan”.
Selanjutnya, dalam bahasa Arab, pengajaran disebut “taklim”
(terkadang ditulis “ta’lim”) yang berasal dari kata ‘allama, dan
padanannya “hazzaba” (terkadang ditulis “hadzdzaba”). Dalam
Kamus Arab-Inggris susunan Elias & Elias (1992), kata-kata
tersebut berarti: to educate; to train; to teach; to instruct, yakni
mendidik, melatih, dan mengajar. Ungkapan kata ‘“allama
al-’ilma” berarti to teach atau to instruct (mengajar).
Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengajaran disebut
fannu al-taklim, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan
dengan kata pedagogy dan pedagogics yang artinya ilmu
mengajar. Pedagogi dan pedagogik adalah dua kata yang sama
35. artinya yakni ilmu pengetahuan, seni, prinsip, dan perbuatan
mengajar (Tardif, 1987; Reber, 1988; McLeod, 1989).
Sedangkan orang yang mengaplikasikan pedagogi atau
pedagogik tersebut dikenal dengan nama pedagog (pedagogue)
yang berarti guru atau pendidik. Alhasil, perbedaan arti pedagogi
sebagai pendidikan dengan pedagogik sebagai ilmu pendidikan
yang selama ini kita pahami itu, masih perlu dipertanyakan
kesahihannya.
Selanjutnya, istilah pengajaran dalam bahasa Inggris disebut
instruction atau teaching. Akar kata instruction adalah to instruct,
artinya to direct to do something; to teach to do something; to
furnish with information, yakni memberi pengarahan agar
melakukan sesuatu; mengajar agar melakukan sesuatu;
memberi informasi. Istilah instruction (pengajaran) menurut
Reber (1988) berarti: pendidikan atau proses perbuatan
mengajarkan pengetahuan.
Sementara itu, Tardif (1987) memberi arti instruction secara
lebih rinci yaitu: A preplanned, goal directed educational process
designed to facilitate learning. Artinya, pengajaran adalah sebuah
proses kependidikan yang sebelumnya direncanakan dan
diarahkan untuk mencapai tujuan serta dirancang untuk
mempermudah belajar.
2. Hakikat Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran
Pendidikan, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem ‘ Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, adalah
usaha sadar yang dilakukan untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan agar
peserta didik tersebut berperan dalam kehidupan masa depannya.
Pengertian ini, secara implisit menafikan atau mengingkari/
menampik kehadiran orang dewasa sebagai satu-satunya orang
yang berhak menjadi penyelenggara pendidikan atau menjadi
guru/pendidik sebagaimana yang dikehendaki para ahli yang
36. terkesan masih berpikiran tradisional itu.
i
Konsep “orang dewasa” sebagai pendidik dan pengajar dalam
dunia pendidikan modern mi memang semakin kabur, apalagi
jika dikaitkan dengan pendidikan tinggi atau pendidikan
kedinasan. Para peserta didik dalam institusi-institusi
kependidikan tersebut dapat dikatakan terdiri atas orang-orang
dewasa semua, bahkan sebagian di antaranya ada yang sudah
berusia setengah baya. Dalam keadaan demikian, tak bolehkah
orang yang masih muda (tetapi berkemampuan memadai)
mendidik mereka yang pada umumnya lebih tua? Jawabnya,
tentu saja tak ada masalah. Sebab, yang lebih dipentingkan
dalam dunia pendidikan dan pengajaran bukan soal usia,
melainkan kemampuan psikologis yang memadai.
Selama pendidik memiliki kemampuan psikologis kependidikan
yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun usianya masih
muda atau mungkin jauh lebih muda daripada yang dididik, dia
tetap berhak untuk diakui sebagai pendidik. Pada zaman
sekarang ini, cukup banyak asisten dosen dan dosen yang brilian
berusia muda apalagi di perguruan tinggi terkemuka di negara-
negara maju. Mereka itu, walaupun relatif masih muda, bahkan
konon ada yang belum genap 20 tahun, penguasaannya atas
materi dan metodologi sangat meyakinkan. Mereka bahkan
mampu berpenampilan lebih dewasa daripada para
mahasiswanya yang relatif berusia lebih tua.
Tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, baik guru
maupun dosen sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-
undang, tidak memer-lukan syarat usia. Kriteria yang membatasi
usia tertentu untuk menjadi tenaga pengajar atau pendidik dalam
psikologi pendidikan masa kini hampir tak pernah lagi
disinggung-singgung. Tetapi hal ini tentu tidak berarti anak-anak
atau remaja yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat psikologis
boleh menjadi pendidik atau guru.
37. Syarat psikologis yang lengkap, utuh, dan menyeluruh bagi
seorang calon guru untuk setiap jenjang pendidikan meliputi
kompetensi profe-sionalisme keguruan, yakni kompetensi ranah
cipta (kognitif); kompetensi ranah rasa (afektif); kompetensi
ranah karsa (psikomotor). Asal kompetensi profesionalisme
keguruan ini terpenuhi, berapa pun usia guru tentu layak untuk
diangkat menjadi guru (lihat tabel 14 halaman 238). Prinsip yang
bersifat psikologis ini selain luwes dan menghargai potensi
anugerah Tuhan, juga tidak berlawanan dengan prinsip
konstitusional yang sama sekali tidak menetapkan usia tertentu
untuk diangkat menjadi pendidik.
Selanjutnya pengertian pendidikan menurut UUSPN di atas juga
menafikan keharusan adanya anak-anak atau orang yang belum
dewasa sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memperoleh
pendidikan. Penafian ini jelas dapat dinilai tepat baik ditinjau
dari sudut psikologi pendidikan maupun dari sudut kenyataan
lapangan. Dari sudut kenyataan yang ada dan berkembang dalam
tatanan dunia pendidikan modern sekarang, peserta didik bisa
saja terdiri atas pelbagai kelompok usia mulai kanak-kanak
sampai dewasa, bahkan kelompok yang mendekati lanjut usia.
Ambillah contoh pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan
jelas bukan pendidikan anak-anak, melainkan untuk para
pegawai atau para calon pegawai instansi pemerintah dalam
meningkatkan kemampuan pelaksanaan tugas kedinasan mereka.
Contoh lain misalnya pendidikan profesional. Jalur pendidikan
ini diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian atau profesi
tertentu, yang kalau pesertanya anak-anak tentu tak mungkin
dapat mengikuti pendidikan tersebut.
Alhasil, pendidikan pada hakikatnya seperti yang dinyatakan
para ahli psikologi dan pendidikan antara lain Chaplin (1972),
Tardif (1987), dan Reber (1988), adalah pengembangan potensi
atau kemampuan manusia secara menyeluruh yang
38. pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan pelbagai
pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu
sendiri. Hakikat pendidikan yang dikemukan para ahli di atas
ternyata juga sama dengan persepsi para penyusun Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1991). Dalam kamus ini, secara tegas
dinyatakan bahwa pendidikan adalah tahapan pengubahan sikap
dan tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok melalui ikhtiar pengajaran dan pelatihan. Dalam
perspektif psikologi, pelatihan sebenarnya masih berada dalam
ruang lingkup pengajaran. Artinya, pelatihan adalah salah satu
unsur pelaksanaan proses pengajaran terutama dalam pengajaran
keterampilan ranah karsa.
Selain pengajaran dan pelatihan, dalam pendidikan juga
diperlukan adanya bimbingan sebagaimana tersebut dalam
kutipan dari UUSPN di muka. Bimbingan, seperti juga latihan,
adalah bagian penting dari pengajaran. Sebuah upaya pengajaran
tanpa bimbingan bukanlah pengajaran yang ideal karena akan
berdampak terabaikannya penanggulangan kesulitan belajar dan
pelaksanaan remedial teaching yang secara psikologis didaktis
merupakan salah satu keharusan bagi guru (lihat halaman 176).
Berdasarkan uraian di atas, dan juga uraian mengenai ragam arti
pendidikan dan pengajaran, jelas sekarang betapa eratnya hakikat
hubungan antara pendidikan dengan pengajaran. Namun,
benarkah pendidikan lebih utama daripada pengajaran? Dapatkah
pendidikan berjalan tanpa pengajaran? Apakah penyelenggaraan
pengajaran tidak berarti juga penyelenggaraan pendidikan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang sering mengusik
sebagian besar mahasiswa psikologi pendidikan khususnya yang
penyusun kelola sendiri.
Selain itu, ada pula beberapa macam persepsi sumbang yang
muncul di kalangan mahasiswa mengenai hakikat hubungan
pendidikan dengan pengajaran, antara lain yang paling menonjol
bahwa pendidikan itu:
39. 1) jauh berbeda dengan pengajaran;
2) lebih penting daripada pengajaran;
3) karena pengajaran hanya menanamkan pengetahuan ke dalam
aspek kognitif (ranah cipta) dan s’edikit memberikan
keterampilan psiko-motor, sedangkan aspek afektif (ranah rasa)
tak pernah tersentuh.
Persepsi-persepsi seperti di atas, tentu tidak akan ada dalam diri
mahasiswa kalau bukan karena pengalaman belajar mereka
dan/atau karena kesaksian mereka terhadap kenyataan yang
tampak di lapangan. Namun apa pun alasannya, mengubah
persepsi yang kurang selaras dengan prinsip-prinsip psikologi
pendidikan itu ternyata tidak gampang. Kesukaran yang
penyusun hadapi acapkali semakin parah ketika mereka
menyatakan bahwa persepsi tersebut “pas benar” dengan
penjelasan beberapa staf pengajar mata kuliah lain yang di
antaranya ternyata lebih senior daripada penyusun.
Apabila pendidikan dianggap jauh berbeda dengan pengajaran
adalah persepsi yang keliru. Pengajaran boleh jadi tidak sama
persis dengan pendidikan, tetapi tidak berarti di antara keduanya
terdapat jurang pemisah yang mengakibatkan timbulnya
perbedaan yang mencolok. Pendidikan boleh juga dipandang
lebih utama daripada pengajaran dalam arti sebagai konsep ideal
(sebagai landasan hukum). Namun, sulit dipercaya apabila ada
sebuah sistem pendidikan dapat berjalan tanpa pengajaran. Oleh
karena itu, pengajaran dengan segala bentuk per-wujudannya
seyogianya dipandang sebagai konsep operasional yang berposisi
kurang lebih setara—kalau bukan persis—dengan pendidikan
sebagai konsep ideal. Alhasil, menurut hemat penyusun, hakikat
hubungan antara pendidikan dengan pengajaran itu kira-kira
ibarat dua sisi mata uang logam yang satu sama lain saling
memerlukan.
Selanjutnya, istilah pendidikan memang mengandung arti yang
luas, yakni meliputi semua upaya menumbuhkembangkan
40. seluruh kemampuan ranah psikologis individu manusia yang
terkadang dapat dilakukan dengan cara self-instruction
(mengajar diri sendiri). Cara melaksanakan pendidikan disebut
mendidik. Jadi, seorang guru yang sehari-harinya mengajar
agama misalnya, ia dapat juga disebut sebagai pendidik agama
selain pengajar agama.
Di pihak lain, jika orang tua berkehendak mendidik anaknya
dalam bidang agama, maka ia tak akan terlepas dari upaya
pengajaran agama dengan cara dan kemampuannya sendiri.
Dalam hal ini, pengajaran agama orang tua itu tentu tidak harus
dilaksanakan dengan cara berceramah seperti guru kelas, tetapi
dengan memberi wejangan, teladan, dan bimbingan praktis
sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
Sebagai catatan penguat uraian mengenai peranan pengajaran,
pe-nyusun utarakan sebuah asumsi bahwa dalam pelaksanaan
sehari-hari, proses pengajaran itu (taklim) sudah lebih dahulu ada
dan lebih universal daripada pendidikan (tarbiyah). Sebagai
bukti, ketika Rasulullah Saw. mengajarkan Tilawatil Quran
kepada para sahabatnya, beliau tidak membatasi sampai mereka
pandai membaca kitab suci secara fasili tetapi lebih jauh lagi,
mereka diajari sampai pandai membaca Al-Qur’an dengan
renungan, pemahaman, tanggung jawab, dan penanaman amanah
(Jalal, 1988).
Berdasarkan alasan-alasan di atas, nyatalah bahwa pengajaran itu
memiliki signifikansi yang vital dalam proses pendidikan.
Bahkan karena demikian pentingnya arti pengajaran (taklim)
maka Al-Qur’an mengung-kapkan istilah ini berkali-kali, antara
lain:
1) dalam Al Baqarah: 31,
Dan Allah telah ‘mengajarkan’ kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya
2) dalam Al Baqarah: 151,
41. Allah telah ‘mengajarkan’ kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui.
Kemudian, perhatikanlah Al Baqarah: 282, Al Kahfi: 65, dan Al
Rahman:
2 dan 4.
Sementara itu, kata “tarbiyah” (pendidikan) dalam Al-Qur’an
hanya terdapat dalain:
1) surat Bani Israil: 24 “
dan ucapkanlah: ‘Ya Tuhan, kasihanilah mereka berdua
sebagaimana inereka telah ‘mendidik’ aku (rabbayani) waktu
kecil
2) surat Asy Syu’ara: 18
Fir’aun menjawab: ‘Bukankah kami telah ‘mengasuhmu’
(nurabbika) di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-
kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari
umurmu
Kata “waktu kecil” (shaghiran) dan kata “kanak-kanak”
(waUdan) dalam ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa
pendidikan itu terutama merupakan kewajiban keluarga,
khususnya ketika anak-anak dalam fase perkembangan awal
yakni masa bayi dan kanak-kanak.
Selanjutnya, untuk memperjelas hakikat hubungan antara
pendidikan dengan pengajaran sebagaimana yang telah diuraikan
di atas, berikut ini penyusun sajikan sebuah model. Dalam model
ini tampak konsep-konse]:
ideal (pendidikan) dan operasional (pengajaran) sama-sama
berfungsi se-bagai alat pencetak sumber daya manusia (SDM)
dan sama-sama bertujuar menciptakan SDM yang berkualitas.
Bedanya, konsep operasional merupa kan penjabaran dari konsep
ideal, oleh karenanya pengajaran berhubungai langsung dengan
fungsi dan tujuan.
Hakikat Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran
42. - = hubunganlangsung
- = hubungan tak langsung PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Rangkuman
1. Psikologi ialah disiplin ilmu yang membahas perilaku
manusia, baik sebagai individu maupun kelompok dalam
hubungannya dengan lingkungan.
2. Pendidikan ialah proses menumbuhkembangkan seluruh
kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran.
3. Pendidikan merupakan konsep ideal, sedangkan pengajaran
adalah konsep operasional, dan keduanya berhubungan erat
ibarat dua sisi koin yang tak mungkin terpisahkan.
4. Psikologi pendidikan ialah disiplin psikologi yang
berhubungan dengan masalah-masalah kependidikan.
5. Psikologi pendidikan mencakup semua hal yang bersifat
kependidikan terutama hal belajar, mengajar, dan belajar-
mengajar
6. Psikologi pendidikan memiliki objek riset dan kajian berupa
siswa dan guru selaku peserta didik dan pendidik.
7. Psikologi pendidikan mula-mula muncul di Jerman berkat
kepeloporan Johann Friedrich Herbart (1766-1841), seorang
filosof dan psikolog yang namanya diabadikan sebagai aliran
pemikiran kependidikan “Herbartianisme”.
8. Psikologi pendidikan berkembang berkat pengaruh aliran
psikologi lain, di antaranya yang menonjol ialah aliran
humanisme, behaviorisme, dan psikologi kognitif.
9. Manfaat psikologi pendidikan ialah untuk membantu para
guru dan calon guru dalam memahami proses dan masalah
kependidikan serta mengatasi masalah tersebut dengan metode
saintifik psikologis.
10. Prinsip, konsep, dan metode psikologi pendidikan merupakan
landasan berpikir dan bertindak bagi guru dalam mengelola
proses belajar-mengajar yang selaras dengan keadaan dan
kebutuhan siswa.
43. 11. Guru seyogianya memahami proses perkembangan dalam
hubungannya dengan belajar, mengajar, dan proses belajar-
mengajar; cara belajar siswa; cara menghubungkan mengajar
dengan belajar; cara mengambil keputusan untuk mengelola
PBM.