Teks tersebut membahas tentang etimologi, konsep, dan prinsip-prinsip demokrasi. Juga membahas tentang argumentasi yang mendukung dan menentang penerapan demokrasi dan khilafah Islam. Demokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, sementara khilafah Islam adalah negara berdasarkan syariat Islam.
2. ETIMOLOGIS
Demokrasi berasal dari 2 kata (Yunani) :
Demos : Rakyat, Penduduk suatu wilayah
Cratein/Cratos : Kekuasaan/Kedaulatan
Demokrasi : Suatu keadaan negara yg sistem
pemerintahananya kedaulatan ada di tangan
rakyat. Kekuasaan/keputusan tertinggi berada
di tangan rakyat.
3. GOVERNMENT OF THE PEOPLE
Pemerintahan yg sah adalah suatu pemerintah yang
mendapatkan pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat
melalui mekanisme demokrasi, PEMILU.
Dg adanya pengakuan dan dukungan, pemerintahan legitimate
dan roda birokrasi berikut berbagai programnya dpt berjalan
sesuai amanat rakyat.
GOVERNMENT BY THE PEOPLE
Suatu pemerintahan yg dalam menjalankan kekuasaannya atas
nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi elit negara/elit
birokrasi, sekaligus diawasi rakyat (social control).
GOVERNMENT FOR THE PEOPLE
Kekuasaan yg telah diberikan oleh rakyat kepada pemerintah
harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.
5. Banyak argumentasi pro demokrasi yang
terus dipropagandakan di tengah umat
Islam. Argumentasi-argumentasi itu tak
jarang dibarengi dengan tikaman terhadap
syariah dan Khilafah Islam. Ini tak boleh
dibiarkan karena merupakan kemungkaran
yang dapat menyimpangkan umat Islam
dari jalan yang lurus (Lihat: QS al-Maidah
[5] : 49).
6. Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
Diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan
waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau
terhadap sebagian apa yang telah Diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah Diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah Berkehendak Menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia
adalah orang- orang yang fasik.(QS.Al Maidah 49)
--
7. Wa anihkum (dan hendaklah kamu memutuskan perkara), yakni putuskanlah.
Bainahum (di antara mereka), yakni antara Bani Quraizhah, Bani an-Nadlir, dan
penduduk Khaibar.
Bimā aηzalallāhu (sesuai dengan apa yang Diturunkan Allah), yakni sesuai dengan
Penjelasan Allah Ta‘ala di dalam al-Quran.
Wa lā tattabi‘ ahwā-ahum (dan janganlah kamu mengikuti kemauan mereka) untuk
menerapkan hukum dera serta mengabaikan hukum rajam.
Wah-dzarhum (dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka), yakni janganlah kamu
percaya kepada mereka.
Ay yaftinūka (supaya mereka tidak membelokkan kamu), yakni supaya mereka tidak
memalingkan kamu.
‘Am ba‘dli mā aηzalallāhu ilaik (dari sebagian apa yang telah Diturunkan Allah
kepadamu) di dalam al-Quran dan hukum rajam.
Fa iη tawallau (jika mereka berpaling) dari hukum rajam dan keputusanmu untuk
menerapkan hukum kisas di antara mereka.
Fa‘ lam annamā yurīdullāhu ay yushībahum (maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah Menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka), yakni mengazab
mereka.
Bi ba‘dli dzunūbihim (disebabkan sebagian dosa-dosa mereka), yakni disebabkan semua
dosa mereka.
Wa inna katsīram minan nāsi (dan sesungguhnya kebanyakan manusia), yakni di antara
ahli kitab.
La fāsiqūn (adalah orang-orang yang fasik), yakni orang-orang yang melanggar lagi kafir.
8. Propagandakan di tengah umat Islam
Demokrasi: Memberikan Jalan kepada Islam?
Demokrasi diklaim memberikan jalan kepada semua ideologi termasuk Islam
untuk berkembang, sementara Khilafah hanya membolehkan ideologi Islam.
Jawabannya dua poin:
Pertama: benar demokrasi memberikan jalan kepada semua
ideologi, termasuk ideologi Islam, tetapi itu semu belaka. Mengapa?
Sebab, selalu ada batas-batas tertentu yang tak dapat dilampaui oleh
ideologi Islam. Batas ini merupakan garis demarkasi ideologis absolut
yang tak mengenal toleransi, yaitu tuntutan penegakan Negara Islam
(Khilafah). Jika garis demarkasi ideologis itu masih aman, kelompok
dengan ideologi Islam dibolehkan berkembang. Namun, begitu garis
“sakral” itu nyaris terlanggar atau terlampaui, demokrasi mempunyai
mekanisme politik yang sangat kejam dan brutal untuk memberangus
ideologi Islam.
Kedua: benar Khilafah hanya membolehkan ideologi Islam, karena
memang itulah yang menjadi tuntutan akidah dan syariah Islam.
Sebab, Khilafah adalah negara berasaskan akidah Islam. Wajar dalam
Khilafah tidak boleh ada kelompok atau parpol yang tidak berasaskan
Islam.
9. Demokrasi Minim Risiko?
Jalan demokrasi dikatakan lebih minim risiko daripada jalan revolusioner yang
mungkin berdarah-darah. Biasanya ini argumentasi yang disampaikan aktivis Muslim
yang masuk dalam sistem demokrasi. Mereka sadar, perubahan itu perlu, tetapi
mereka selalu menolak perubahan sistem secara revolusioner.
Jawabannya ada tiga poin.
Pertama: benar jalan demokrasi minim risiko. Namun ingat, hasilnya juga minim.
Mungkin hanya mengganti menteri, mengganti anggota DPR, atau mungkin
menjadi presiden. Namun, tak mungkin terjadi perubahan signifikan lewat
demokrasi, misalnya mengganti sistem demokrasi-kapitalis menjadi negara
Khilafah.
Padahal perubahan yang diperlukan umat saat ini bukanlah perubahan kecil yang
sekadar mengganti rezim (sosok pemimpin) yang ada, melainkan perubahan sistem
menuju tegaknya Negara Islam (Khilafah). Jadi, perubahan yang dituju harus dua-
duanya: mengganti pemimpin dan sistemnya. Imam Taqiyuddin an-Nabhani
pernah menegaskan, “Umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah.
Pertama: penguasanya telah menjadi antek-antek kafir penjajah. Kedua: di tengah-
tengah umat telah diterapkan apa-apa yang tidak diturunkan Allah, yaitu
diterapkan sistem kufur.”
10. Kedua: perubahan revolusioner memang sering dikonotasikan perubahan
yang berdarah-darah. Namun sebenarnya yang dimaksudkan dengan
perubahan revolusioner adalah perubahan yang bersifat menyeluruh dan
segera, bukan perubahan bertahap (gradual/tadarruj), atau parsial pada
aspek tertentu saja, misal aspek ekonomi saja. Dalam perubahan
revolusioner seperti ini mungkin muncul ekses atau risiko. Itu adalah
konsekuensi perjuangan. Apakah ada perjuangan yang tanpa risiko?
Ketiga: tidak tepat dikatakan perubahan lewat jalan demokrasi minim
risiko, dalam arti tidak berdarah-darah. Perubahan lewat demokrasi juga
bisa berdarah-darah. Contohnya, lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998.
Kendati awalnya pelengseran Soeharto berasal dari desakan luar
parlemen, toh akhirnya dianggap legal secara demokrasi. Bukankah
pelengseran Soeharto itu berdarah-darah? Sebelum itu suksesi Presiden
Soekarno ke Presiden Soeharto tahun 1967 juga berdarah-darah. Toh itu
pun akhirnya dianggap legal menurut demokrasi. Jadi, demokrasi juga bisa
berdarah-darah, bukan?
11. Demokrasi Kompromis?
Tampaknya argumentasi itu sangat indah dan luhur. Namun, dalam
praktiknya, justru umat Islam yang lebih banyak menjadi korban. Yang dikorbankan
acapkali bukan hanya soal kedudukan atau jabatan, melainkan ajaran Islamnya itu
sendiri. Sebagai contoh: Dalam sidang-sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan RI
tahun 1945, ada dua aspirasi mengenai bentuk negara. Sebagian menginginkan
Negara Islam yang menerapkan syariah Islam. Sebagian lagi menolak syariah Islam
dengan aspirasi negara nasional yang sekular. Akhirnya, ditempuh kompromi
sehingga lahir sila pertama Piagam Jakarta 1945 yang berbunyi: Ketuhanan dengan
Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Jadi, syariaht Islam
tidak diterapkan kepada semua warga negara, juga tidak ditolak sama
sekali, melainkan dicari komprominya, yakni diterapkan kepada Muslim saja.
Padahal sila pertama yang kompromistis ini sebenarnya tidak sesuai dengan Islam.
Sebabnya, Islam mestinya diterapkan kepada seluruh warga negara, bukan hanya
kepada warga negara Muslim. Kepada non-Muslim diterapkan syariah Islam yang
mengatur hukum publik (public order), seperti sistem pemerintahan, sistem
ekonomi, sistem pendidikan, dan seterusnya. Adapun dalam urusan privat, seperti
dalam masalah akidah, ibadah, pernikahan, busana, makanan, minuman, warga non-
Muslim dipersilakan menganut dan menjalankan agamanya masing-masing, dalam
bingkai syariah Islam.
12. Demokrasi Universal?
Demokrasi diklaim lebih bersifat universal, yaitu bisa diterima oleh semua
kelompok, sementara Khilafah Islam dikatakan sektarian, yaitu hanya mementingkan
kelompok Islam saja.
Argumentasi itu tidak sesuai dengan kenyataan. Pasalnya, justru sifat sektarian itu
dapat kita temukan di negara-negara Eropa yang menerapkan demokrasi. Praktik
demokrasi di sana membuktikan kekuasaan hanya diprioritaskan bagi sekte tertentu
dalam agama Kristen, sedangkan sekte lainnya cenderung dicegah untuk menduduki
kekuasaan. Di Italia, misalnya, kekuasaan selalu dipegang pemeluk Katolik. Tak
diijinkan sama sekali ada penganut sekte Kristen Protestan untuk menduduki
kekuasaan. Itulah sebabnya mengapa partai yang selalu berkuasa di Italia adalah
Partai Demokrasi Masehi yang didukung oleh gereja Katolik. Demikian pula di
Spanyol. Kekuasaannya selalu dipegang penganut Katolik. Bahkan hak memilih dalam
Pemilu pun hanya diberikan kepada penganut Katolik saja. Sebaliknya di
Norwegia, yang mendominasi kekuasaan adalah para penganut Kristen Protestan.
Raja yang berkuasa dan minimal setengah dari jumlah menteri, diharuskan beragama
Kristen Protestan. Demikian pula di Swiss. Konstitusinya secara resmi membuat
peraturan yang membatasi kekuasaan hanya pada penganut Kristen Protestan
saja, dan sebaliknya sangat mempersulit masuknya orang Katolik dalam kekuasaan
13. Adapun dalam Khilafah, yang terjadi dalam sejarah
bukanlah dominasi sekte tertentu, melainkan dominasi
keturunan tertentu, seperti Bani Umayyah, Bani
Abbasiyah, dan Bani Utsmaniyyah. Itu fakta sejarah yang
tak dapat dibantah. Namun, fakta sejarah tersebut tidak
mewakili norma ideal yang sesungguhnya dari syariah
Islam. Yang benar dalam Syariah Islam adalah, kekuasaan
itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah), bukan di
tangan keturunan atau keluarga tertentu. Khalifah
seharusnya adalah jabatan hasil pilihan umat, bukan
jabatan yang diwariskan dari ayah kepada anaknya. Islam
tidak mengakui dan tidak mengenal sistem pewarisan
kekuasaan yang lazim dalam sistem monarki/kerajaan
(Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm.
28-29).
14. Demokrasi Modern dan Beradab?
Demokrasi dikatakan sistem politik modern dan lebih beradab. Sebaliknya, kembali
kepada Khilafah Islam berarti kembali ke zaman terbelakang.
Jawabannya ada tiga poin.
Pertama: sebagai sistem pemerintahan memang demokrasi baru eksis pada ke-18 M
di Eropa. Namun, secara ide dan filsafat, demokrasi sesungguhnya berakar pada
sejarah Yunani kira-kira lima abad sebelum Masehi. Demokrasi sudah
diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para filosof Yunani yang hidup pada abad
ke-5 SM, seperti Thrasymachus, Otanes, Megabyse, dan Xenophon. Demokrasi juga
diperbincangkan oleh Sokrates (469-399 SM) hingga Aristoteles (384-322 SM).
(Abdul Aziz Shaqr, An-Naqdh al-Gharbi li al-Fikrah ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 20-
22). Jadi, bagaimana mungkin demokrasi dikatakan sistem modern jika benih-
benih idenya sudah dibicarakan sejak lima abad sebelum Masehi?
15. Kedua: jika dikatakan demokrasi lebih beradab, memang seakan-akan ada benarnya
meskipun hakikatnya tidaklah demikian. Biasanya yang dicontohkan adalah sejarah
Timur Tengah modern yang banyak dikuasai diktator. Seperti Irak pada masa
Saddam Hussain, Iran pada masa Syah Iran, Libya pada masa Muammar
Khadafi, Tunisia pada masa Burguiba, dan sebagainya.
Lalu demokrasi digambarkan telah datang sebagai dewa penolong yang
menyelamatkan negara-negara tersebut dari kediktatoran. Seakan-akan Barat dengan
demokrasinya betul-betul hebat dan mulia. Padahal justru negara-negara Baratlah
(khususnya AS) yang menjadi pendukung di balik layar para diktator itu.
Jadi, bagaimana mungkin negara pensponsor kediktatoran seperti AS, dikatakan
sebagai negara beradab?
Ketiga: jika yang dimaksud modern adalah sains dan teknologi, maka secara faktual
memang kemajuan sains dan teknologi saat ini masih didominasi oleh negara-negara
Barat yang notabene demokratis. Namun sesungguhnya, sains dan teknologi
bukanlah produk dari ideologi demokrasi, melainkan produk dari penelitian ilmiah
berdasarkan metode ilmiah (scientific method) yang bersifat universal dan netral-
nilai. Jadi, ditinjau secara epistemologi, sains dan teknologi adalah sesuatu yang
netral-nilai, bukan sesuatu yang terikat-nilai (value-bond), misalnya lahir dari paham
demokrasi. Jadi, demokasi itu tak ada urusannya dengan sains dan teknologi.
16. Demokrasi Memberikan Kebebasan Ekspresi dan Kritik?
Demokrasi dikatakan memberikan jalan kepada semua orang untuk
berperan, berekspresi dan melakukan kritik; sementara Islam tidak demikian.
Argumentasi ini tak dapat diterima. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang
diserukan demokrasi itu sangat bertentangan dengan Islam. Ini ide yang berlebihan
dan tak bertanggung jawab. Dikatakan berlebihan, karena demokrasi membolehkan
berbicara apa saja; sesuai Islam atau tidak; mendukung atau menentang Islam.
Semuanya boleh dalam demokrasi. Apakah umat Islam harus menerima kebebasan
berpendapat dengan standar yang rusak seperti ini?
Dikatakan tak bertanggung jawab, karena penguasa dalam demokrasi merasa tak
berkewajiban memberikan satu pendapat yang benar, atau melarang pendapat yang
sesat, kepada masyarakat. Rakyat dibolehkan berbicara apa saja; boleh memilih
pendapat apa saja, entah sesuai Islam atau tidak, entah sesat atau tidak. Semua
terserah kepada rakyat. Apakah umat Islam harus menerima kebebasan berpendapat
yang tak bertanggung jawab seperti ini?
Dalam Islam setiap perkataan atau kritik harus benar, yaitu sesuai syariah
Islam, karena semua akan dicatat oleh malaikat dan dipertanggung jawabkan di
hadapan Allah pada Hari Kiamat nanti (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 70; Qaf [50]: 18).
17. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang
benar,(QS.Al Ahzab: 70)
Tidak ada suatu kata yang diucapkannya
melainkan ada di sisinya malaikat pengawas
yang selalu siap (mencatat).(QS.Qof: 18)