Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
KEMISKINAN DI INDONESIA
1. MAKALAH
PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA YANG MELANDA WILAYAH
PEDESAAN DAN PERKOTAAN SERTA UPAYA – UPAYA PENANGULANGAN
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Pembangunan Pertanian
Semester Ganjil Tahun 2010
Kelompok 4
Andina S
Susi Sulastri
Raden Bondan E B
Yozi
Indah
Juan
Tohom
Andreas
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI B
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2. Page 2 of 16
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut BKKBN (dalam Saefudin, 2003) kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera yang
tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki
pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak
mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Pengertian ini didefinisikan lebih lanjut menjadi
keluarga miskin, yakni: (1) Paling tidak sekali seminggu keluarga makan daging ikan/telur, (2) Setahun
sekali seluruh anggota keluarga paling kurang satu stel pakaian baru, (3) Luas lantai rumah paling kurang
8 m2 untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak
dapat memenuhi salah satu atau lebih indicator yang meliputi: (1) Pada umumnya seluruh anggota
keluarga makan 2 kali sehari atau lebih, (2) Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian.
Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata tidak memberikan dampak yang cukup
berarti pada usaha pengentasan kemiskinan. Pola kemiskinan di Indonesia selama 16 tahun tidak banyak
mengalami penurunan. Ratio dijadikan sebagai indikator kemiskinan yang dominan, maka selama 30
tahun Gini Ratio Indonesia hanya turun 0,07 atau 7%, padahal pada saat bersamaan pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar rata rata 7%. Kenyataan ini sangat kontras apabila dibandingkan dari
beberapa negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang hampir sama (misal: Malaysia,
Thailand, Philipina), dimana tingkat Gini ratio menunjukan tingkat penurunan yang cukup berarti.
3. Page 3 of 16
BAB II
PEMBAHASAN
a. Data Time Series
Pendekatan time series yang bersifat cross-section study memberikan kesimpulan yang beragam.
Deininger dan Squire (1995, 1996) menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara pertumbuhan
ekonomi suatu Negara dengan peningkatan angka kemiskinan. Namun studi yang dilakukan oleh World
Bank (1990), Fields dan Jakobson (1989) dan Ravallion (1995), menunjukan tidak ada korelasi antara
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Kajian kajian empiris di atas pada hakekatnya adalah
menguji hipotesis Kuznets di mana hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan
hubungan negatif, sebaliknya hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi adalah
hubungan positif.
Hubungan ini sangat terkenal dengan nama kurva U terbalik dari kuznets. Maka kedua studi yang
mempunyai hasil bertolak belakang tersebut, justru menguatkan hipotesis dari Kuznets dengan kurva U
terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif kemudian menjadi negatif,
menunjukkan terjadi proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi suatu ekonomi pedesaan
(rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.
Hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa study yang mengambil data time series
membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih bertumpu pada sector pertanian (rural economy)
menunjukan hubungan negatif. Ini berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets. Pertanyaannya adalah
faktor apa yang membuat hal tersebut terjadi?. Pemahaman atas variabel variable tersebut akan
membuktikan bahwa negara pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya
adalah kesejahteraan pun bisa meningkat di negara negara yang berbasis pertanian.
b. Klasifikasi Kemiskinan
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan
kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di
bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang,
kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas
garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin
kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
4. Page 4 of 16
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk
yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin
tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari
dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat
jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis
jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
c. Gambaran Kemiskinan Indonesia
BPS juga melaporkan bahwa jumlah masyarakat yang dikategorikan sebagai penduduk miskin di
Indonesia saat ini mencapai 31,02 juta orang atau sebesar 13,33 persen dari total penduduk Indonesia.
Khusus di Provinsi Bali, jumlah penduduk miskin mencapai 174.930 ribu orang atau sebesar 4,88 persen
dari jumlah total penduduknya, yaitu 3,58 juta jiwa. Ini berarti satu dari dua puluh orang yang ditemui
secara acak di Bali, adalah penduduk miskin. Sedangkan perbandingan antara jumlah penduduk miskin di
perkotaan dengan di pedesaan adalah 0.91 atau 10 banding 11.
Data kemiskinan ini diperoleh melalui pendekatan kemampuan penduduk memenuhi kebutuhan
dasarnya. Artinya, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Nilai pengeluaran
minimal untuk seseorang hidup dengan layak disebut garis kemiskinan, yaitu sebesar Rp 211.726 per
kapita per bulan. Sedangkan penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Menurut Ala (1981), penyebab kemiskinan dibedakan atas factor internal (endogen) dan faktor
eksternal (eksogen).
Faktor Internal
Menurut Ala (1981), faktor internal adalah aktor (individu) itu sendirilah yang menyebabkan kemiskinan
bagi dirinya sendiri. Menurut Alkostar (dalam Mahasin,1991), faktor internal yang menyebabkan
kemiskinan adalah: sifat malas (tidak mau bekerja), lemah mental, cacat fisik dan cacat psikis (kejiwaan).
Menurut Friedman (1979), secara internal masyarakat miskin adalah karena malas mengakumulasikan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pada Tabel 1 dijelaskan beberapa faktor penyebab kemiskinan
secara internal.
7. Page 7 of 16
Faktor Eksternal
Menurut Ala (1981), kemiskinan yang disebabkan faktor eksternal (eksogen) adalah terjadinya
kemiskinan disebabkan oleh-oleh factor faktor yang berada di luar diri si aktor tersebut. Faktor eksternal
terdiri dari:
Faktor Alamiah
Ada beberapa faktor alamiah yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: keadaan alam yang miskin,
bencana alam, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Kemiskinan alamiah dapat juga ditandai
dengan semakin menurunnya kemampuan kerja anggota keluarga karena usisa bertambah dan sakit keras
untuk waktu yang cukup lama.
Faktor Buatan(Struktural)
Faktor buatan yaitu terjadinya masyarakat miskin karena tidak mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
secara cepat (dalam arti yang menguntungkan) terhadap perubahan-perubahan teknologi maupun
ekonomi, mengakibatkan kesempatan kerja yang dimiliki mereka semakin tertutup. Mereka tidak
mendapatkan hasil yang proporsional dari keuntungan-keuntungan akibat dari perubahanperubahan itu.
Menurut Frans Seda (Ala, 1981), kemiskinan buatan (struktural) itu adalah buatan manusia, dari manusia
dan terhadap manusia pula. Kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatan manusia),
dapat mencakup baik struktur ekonomi, politik, social dan kultur. Strukturstruktur ini terdapat pada
lingkup nasional maupun internasional. Hal ini senada dengan pendapat Soedjatmoko (1980, dalam
Prisma, 1989), ―Pola ketergantungan, pola kelemahan dan eksploitasi golongan miskin berkaitan juga
dengan pola organisasi institusional pada tingkat nasional dan internasional‖. Menurut Alkostar (Mahasin,
1991), faktor eksternal penyebab terjadinya gelandangan (kaum miskin) adalah:
(1) Faktor ekonomi: kurangnya lapangan kerja; rendahnya pendapatan per kapita dan tidak tercukupinya
kebutuhan hidup.
(2) Faktor Geografi: daerah asal yang minus dan tandus sehingga tidak memungkinkan pengolahan
tanahnya.
(3) Faktorl Sosial: arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam
usaha kesejahteraan sosialnya.
(4) Faktor Pendidikan: relatif rendahnya tingkat pendidikan baik formal maupun informal.
8. Page 8 of 16
(5) Faktor Kultural: pasrah kepada nasib dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan hambatan
mental.
(6) Faktor lingkungan keluarga dan sosialisasi.
(7) Faktir kurangnya aasar-dasar ajaran agama sehingga menyebabkan tipisnya iman, membuat mereka
tidak mau berusaha.
9. Page 9 of 16
Kemiskinan Pedesaan
Dua karakteristik umum kemiskinan di pedesaan yaitu tingkat buta huruf yang masih tinggi dan
pendapatan yang rendah. Selanjutnya penyebab paling umum kemiskinan pedesaan antara lain :
Ketidakseimbangan pembangunan sektor pedesaan oleh pemerintah.
Ketidakcukupan tenaga kerja di desa dimana kebijakan seperti industrialisasi pedesaan kurang
berpihak.
Ketidakcukupan dalam mengakses pinjaman modal dengan suku bungan yang wajar karena
adanya permainan oleh peminjam uang/ rentenir.
Ketidakseimbangan pelayanan sosial di daerah pedesaan
Ketidakssuaian dalam sistem pemilikan tanah.
Kemiskinan di Kota
Suparlan (1984) mengemukakan bahwa masalah kemiskinan di perkotaan merupakan masalah
laten dan kompleks yang implikasi sosial dan kebudayaannya bukan hanya melibatkan dan mewujudkan
berbagai masalah sosial yang ada di kota yang bersangkutan saja atau menjadi masalah orang miskin di
kota tersebut, tetapi juga melibatkan masalah-masalah sosial yang ada di pedesaan.
10. Page 10 of 16
Kemiskinan di perkotaan merupakan akibat migrasi masyarakat desa ke kota yang tinggi, dan
terutama kondisi kehidupan yang miskin ( rumah diperkampungan miskin dan kotor, serta perkampungan
dengan sedikit pelayanan sosial) upah rendah dan tidak mencukupinya peraturan dalam sektor tenaga
kerja formal, serta sulinya keuangan di sektor tenaga kerja informal. Meskipun, riset menunjukan bahwa
tingkat pendapatan masyarakat kota biasanyua lebih besar dibandingkan penduduk desa, dan adanya
perpindahan penduduk desa ke kota, disamping kondisi kehidupan yang lemah, kondisi tersebut memiliki
manfaat dimana masyarakat kota berusaha meningkatkan kondisi kehidupannya, melalui pendidikan anak
– anaknya serta penggunaan pendapatan dengan hati –hati / hemat.
Aspek – aspek kemiskinan di perkotaan tersebut dapat ditangani langsung melalui program
pengentasan kemiskinan misalnya : penataan perumahan, program sanitasi, penambahan fasilitas dasar
seperti air dan listrik, program kredit skala kecil, kesempatan kerja, peningkatan dalam mengakses
pelayanan sosial, pelayanan anak dan lainnya.
d. Penanggulangan Kemiskinan
Upaya penanggulangan kemiskinan dapat didekati dari dua sisi, yaitu: kelompok masyarakat, dan
lokasi desa yang dianggap mempunyai kondisi ketertinggalan. Meskipun di desa yang tidak tertinggal
juga terdapat penduduk miskin, dan terdapat penduduk tidak miskin yang tinggal di desa tertinggal,
namun sebagian besar penduduk miskin bertempat tinggal di desa yang tergolong tertinggal. Meskipun
sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan, jumlah penduduk miskin di perkotaan masih
memprihatinkan. Kondisi kemiskinan penduduk di perkotaan diwarnai oleh masalah kepadatan penduduk
tinggi, kondisi lingkungan kumuh, serta ketegangan sosial yang rentan, yang merupakan wujud
ketidakmanusiawian dibanding di daerah perdesaan.
Pembangunan nasional telah menanamkan arah yang terdiri dari tiga komponen yang masih
cukup relevan untuk dikembangkan, yaitu: pertama, pemberdayaan masyarakat dan pemihakan kepada
yang lemah atau kurang mampu dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang, tetapi bukan berarti
mengisolasi atau menutupi dari interaksi dan memberdayakan masyarakat dengan menciptakan suasana
atau iklim yang sehat untuk memungkinkan usaha masyarakat berkembang. Kedua, pemantapan otonomi
sebagai upaya penguatan kelembagaan pemerintah daerah dalam pengelolaan pembangunan di daerah,
yaitu: memberi kewenangan yang lebih besar kepada daerah mulai tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pengawasan dan pelaporan, dengan tetap mendapat bimbingan dan bantuan dari pemerintah
pusat. Oleh karena itu muncullah konsep otonomi yang mencakup tiga prinsip, yaitu prinsip
desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan (medebewind). Salah satu prinsip penting dalam penerapan
otonomi adalah prinsip desentralisasi atau pendelegasian wewenang. Salah satunya mengalihkan
11. Page 11 of 16
wewenang pengelolaan dana untuk program pembangunan yang dulunya dilakukan oleh instansi
pemerintah pusat lalu didesentralisasikan kepada instansi pemerintah daerah. Untuk kepentingan itu maka
dilakukanlah pengalihan secara bertahap bantuan pembangunan sektoral --yang diwujudkan dalam
pemberian DIP Sektor kepada instansi pusat yang dikelola sendiri oleh instansi pusat itu—ke mekanisme
pengelolaan dana program pembangunan yang dikelola sendiri oleh pemerintah daerah yang diwujudkan
dalam pemberian alokasi dana pembangunan daerah Waktu itu disebut SPABP (Surat Pengesahan
Alokasi Bantuan Pembangunan Daerah) lalu saat ini dikenal sebagai Daftar Alokasi Dana Pembangunan
Daerah (DADPD). Pada tahap pertama pengalihan pengelolaan dana kepada pemerintah daerah bersifat
bantuan khusus (specific block), lalu jika lebih siap akan diberikan bantuan dalam bentuk bantuan umum
(block grant) dimana semua dana yang diberikan adalah menjadi wewenang pemerintah daerah dalam
pengelolaannya. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur
sosial ekonomi dan budaya, dengan proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan
harus menikmati, begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan.
A. Jalur Pembangunan Sektoral
Jalur pembangunan sektor dilakukan oleh instansi sektor pemerintah pusat – dan menurut prinsip
dekonsentrasi—dapat dilakukan oleh instansi pusat yang berkedudukan di daerah. Secara umum jalur
pembangunan sektoral merupakan upaya pembangunan yang menangani suatu masalah di sektor tertentu.
Misalnya, penyediaan fasilitas pendidikan yang timpang antara yang bisa dinikmati oleh putra-putri dari
kelompok keluarga tidak mampu atau miskin dengan yang lebih mampu. Padahal diketahui bersama
bahwa putra-putri dari keluarga tidak mampu jumlahnya sangat besar. Implikasinya tentu saja sebagian
besar penduduk usia sekolah tidak bisa memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh
karena itu melalui sektor pendidikan yang antara lain dilakukan oleh Departemen Pendidikan,
dilakukanlah upaya meningkatkan dan memperluas fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah yang
paling membutuhkan. Hal serupa juga terjadi pada masalah kesehatan, pangan, permukiman,
perhubungan, dan sektor-sektor lain yang dianggap perlu, antara lain seperti perlunya pengembangan
potensi kelautan, maka diadakanlah pembangunan sektor kelautan yang secara khusus mendapatkan
perhatian itu.
Umumnya jalur pembangunan sektor berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia,
peningkatan kuantitas dan kualitas produksi, dan pembangunan prasarana dan sarana fisik yang secara
langsung menunjang pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan
kesehatan. Pelaksanaan pada jalur pembangunan sektoral pada umumnya diselenggarakan melalui
12. Page 12 of 16
program pembangunan sektor yang dikelola oleh instansi pemerintah pusat dan dapat dibantu oleh
instansi pusat yang berkedudukan di daerah dan/atau dibantu oleh instansi daerah.
Jalur pembangunan sektor dikatakan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan bersifat tidak langsung,
artinya bahwa apa yang dilakukan oleh instansi sektor itu mendukung terwujudnya penanganan masalah
kemiskinan, atau menyediakan dukungan kepada upaya yang bersifat langsung.
B. Jalur Pembangunan Regional
Jalur pembangunan regional dituangkan melalui berbagai bantuan pembangunan daerah, baik bantuan
pembangunan Propinsi, bantuan pembangunan Kabupaten/Kota, dan bantuan pembangunan Desa. Jalur
pembangunan daerah diarahkan pada perluasan kesempatan kerja, pengembangan potensi daerah, dan
peningkatan kemampuan masyarakat dan warga di daerah. Selain itu bantuan pembangunan yang
diberikan kepada daerah merupakan pemacu untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam pengerahan
sumberdaya, dan meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Bantuan pembangunan daerah
sesungguhnya paling ideal untuk mempercepat upaya pemberdayaan masyarakat. Bantuan ini dikelola
oleh masyarakat sehingga hasilnya dinikmati langsung oleh masyarakat di wilayahnya sendiri.
C. Jalur Pembangunan Khusus
Jalur pembangunan khusus diarahkan untuk menggerakkan kegiatan sosial ekonomi dan meningkatkan
mutu sumberdaya manusia, membangun prasarana dan sarana dasar, serta memperkuat kelembagaan
penduduk miskin, terutama di daerah-daerah tertinggal seperti di kawasan timur Indonesia. Program
pembangunan khusus dilakukan secara selektif sehingga dapat terarah pada kelompok sasaran orang-
orang miskin dan terarah pada lokasi yang banyak terdapat penduduk miskin. Salah satu program yang
secara khusus diarahkan pada penanggulangan kemiskinan adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Namun pemerintah Indonesia menggabungkan model Rostow dengan pendekatan kesejahteraan.
Pendekatan ini langsung dilakukan tanpa melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi langsung oleh
presiden melalui Instruksi Presiden (inpres). Ada beberapa inpres yang dilakukan dengan pola
pendekatan kesejahteraan, yaitu :
1. Inpres Desa Tertinggal, tujuannya adalah menciptakan kesetaraan desa dan menciptakan lapangan
kerja di pesedaan
2. Inpres kesehatan, tujuannya adalah memberikan layanan kesehatan yang mudah dan murah untuk
penduduk pedesaan.
13. Page 13 of 16
3. Inpres pendidikan, tujuannya adalah memberikan layanan pendidikan yang gratis untuk pendidikan
dasar sampai menengah.
4. Inpres obat obatan, tujuannya adalah untuk memberikan obat obatan yang murah kepada masyarakat
miskin
5. Inpres inpres lainnya, yang prinsipnya adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan.
Di samping inpres inpres tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan kebijakan yang tujuannya
adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk pedesaan, misalkan :
1. Ketentuan mengenai Kredit Usaha Tani, untuk memudahkan petani mendapatkan modal untuk
mengolah tanah
2. Ketentuan mengenai kredit perbankan (KIK atau kredit candak kulak) tujuannya adalah memberikan
kemudahan rakyat untuk mendapatkan modal untuk usaha diluar sektor pertanian.
3. Pembebasan pajak untuk hasil pertanian.
4. Subsidi atas pupuk dan obat obatan pertanian
5. Penetapan harga dasar gabah, untuk menjamin nilai tukar petani (padi) tidak turun, bahkan meningkat
terhadap hasil produk industri lainnya.
6. Pola KKPA untuk sistim transmigrasi terpadu, tujuannya adalah menjamin para transmigran
mendapatkan penghasilan yang tetap dan alat produksi.
Strategi upaya pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan:
1. Penyusunan tata ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan
desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi yang ada, keunikan,
kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi
khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa
industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun rencana
infrastruktur, site plan untuk office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis
sentra(satu hamparan), kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk
maksimal), lokasi pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun,
taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
14. Page 14 of 16
2. Penetapan aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa,
didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi pasar,
minat dan kultur masyarakat.
3. Pembentukan lembaga lembaga masyarakat yang akan berperan sebagai stakeholders, dan akan
memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan desa.
4. Untuk pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas terpilih,
sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota, penguatan Badan Usaha Milik
Desa (Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai
kerjasama dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau
sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga fasilitator, baik dari
masyarakat Desa itu sendiri atau dari luar dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata
(KKN).
5. Untuk meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan kegiatan yang
telah berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota, efektivitas program lomba desa dan
peningkatan program Non Governtment (NGO).
15. Page 15 of 16
Sumber pustaka
Friedman. 1979. Dalam Kemiskinan Perkotaan : Penyebab Dan Upaya Penanggulangannya
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses melalui
http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/marliati_a_harsono.pdf. Tanggal akses
21/11/2010.
Soedjatmoko. 1980. Dalam Kemiskinan Perkotaan : Penyebab Dan Upaya Penanggulangannya.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses melalui http://www.rudyct.com/PPS702
ipb/09145/marliati_a_harsono.pdf. Tanggal akses 21/11/2010.
Ala. 1981. Dalam Kemiskinan Perkotaan : Penyebab Dan Upaya Penanggulangannya. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Diakses melalui http://www.rudyct.com/PPS702
ipb/09145/marliati_a_harsono.pdf. Tanggal akses 21/11/2010.
Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia.2002. Penanggulangan Kemiskinan
Di Indonesia. Diakses melalui http://gunawans.tripod.com/KPK/BP-PK.pdf. Tanggal
akses 14/11/2010.
Syarifuddin. 2003. Dalam Kemiskinan Perkotaan : Penyebab Dan Upaya Penanggulangannya.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses melalui
http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/marliati_a_harsono.pdf. Tanggal akses
21/11/2010.
Rustian. 2004. Kemiskinan Perkotaan Di Indonesia: Perkembangan, Karakteristik Dan Upaya
Penanggulangan. Fakultas Ekonomi. Universitas Trisakti. Tanggal Akses 21/11/2010.
Harsono. 2005. Kemiskinan Perkotaan : Penyebab Dan Upaya Penanggulangannya. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Diakses melalui http://www.rudyct.com/PPS702
ipb/09145/marliati_a_harsono.pdf. Tanggal akses 21/11/2010.
Elisabetyas.2008. Berbagai Faktor Penyebab Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan. Diakses
melalui http://elisabetyas.wordpress.com/2008/10/10/berbagai-faktor-penyebab
kemiskinan-di-pedesaan-dan-perkotaan. Tanggal akses 21/11/2010.
16. Page 16 of 16
http://www.radarjogja.co.id/ruang-publik/9-suara-rakyat/8951-kemiskinan-dan-dualisme-
ekonomi
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kemiskinan_absolut&action=edit&redlink=1
http://beritamaya.wordpress.com/2009/02/10/kemiskinan-di-desa-lebih-rendah-dari-kota/
http://ichwanmuis.com/?p=1335
http://tegallinggah.wordpress.com/desa/model-pembangunan-desa-terpadu/