1. Tan Malaka merupakan sosok penting yang tak dapat dipisahkan dengan
Indonesia. Ia sosok yang mengagas Republik Indonesia. Yang mampu
memberikan supremasi hukum pengetahuan untuk bangsa ini. Ia mampu
dengan jelas dan detail menggambarkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan Indonesia. Di tahun 1921 Tan Malaka menuliskan sebuah buku
dengan judul Soviet atau Parlemen. Baik Soviet maupun Parlemen, keduanya
merupakan bentuk perwakilan politik untuk mengelola kekuasaan dengan
tujuan menghindari atau meminimalisir konflik antar masyarakat,
menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bersama. pemisahan antara
lembaga kenegaraan akan menghasilkan kesenjangan dalam memahami
realitas sehingga akan memunculkan kontradiksi antara aturan dan realitas.
Bentuk ini hanya dapat diwujudkan dalam bentuk Soviet yang tidak
memisahkan kekuasaan melainkan melakukan fusi kekuasaan. [1] Pada tahun
1924 Tan Malaka dalam bahasa Belanda dan namanya Naar de Republiek
Indonesia, menuju Republik Indonesia. Dengan resmi ini pertamakali disebut
nama Republik dan Indonesia secara bersama. Karena itu Tan Malaka diberi
gelar bapak Republik Indonesia. Ini sebelum Hatta dan Soekarno menyebut
Republik Indonesia.[2] Di usianya yang masih 16 tahun tepatnya tahun
1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 dia kembali ke Indonesia
dan bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial
yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah
menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. Tahun 1921, dia
pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah
politik Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat
sebagai pimpinan partai. Januari 1922 dia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke
Berlin, Moskow dan Belanda.[3]
Pada saat itu Tan Malaka menentang tesis yang di bangun oleh Lenin bahwa
2. komunisme harus memerangi islamisme. Hal ini dikarenakan menurut Tan
Malaka kerja sama dengan Pan Islamisme merupakan suatu bentuk strategi
untuk melawan kolonialisme. Sehingga pada kesimpulannya ia menerangkan
bahwa islamisme dan komunisme harus berjalan berbarengan. Hal ini
merupakan suatu kebutuhan untuk menyatukan diri dalam satu gerakan
menentang kolonialisme penjajahan. Sampai suatu Tan Malaka memutuskan
untuk keluar dari PKI yang dikarenakan ia menolak akan adanya
pemberontakan. Pemberontakan adalah hal yang sifatnya premature baginya
sehingga itu bukan jalan yang tepat dikarenakan semua terkesan buru-buru
dan tidak sesuai dengan taktik strategi komunis “ Massa Aksi”.[4] dan
keputusannya untuk keluar dari PKI dianggap sebagai suatu tindakan
interdispliner yang tidak dapat di tolerir. Hal ini dikarenakan apapun hasil
konferensi harus dipatuhi dan keputusan tertinggi partai yang harus
dijalankan oleh anggotanya. Ia menolak pemberontakan ini dikarenakan
dalam melakukan suatu gerakan tidak dapat dilakukan secara meluap-luap
atau gila aksi. Disebutkan dalam bukunya Massa Actie “ pemberontakan
yang dinyalakan oleh segelintir orang anarkis hanyalah imipian seorang yang
sedang demam”. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah revolusi untuk
mencapai kemerdekaan tak dapat dilakukan dengan serampangan. Butuh
dukungan situasi objektif sebagai prasyarat bagi lahirnya revolusi itu sendiri.
Dalam perjalanannya ia pun sempat berkali-kali membangun suatu partai
namun tak ada satu pun partai yang dapat bertahan karena tidak kuatnya
kader-kader partai. Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang mengikuti
partainya sebagai simpatisan Tan Malaka yang merasakan apa yang
dikatakannya adalah suatu hal yang benar adanya. Tan Malaka pun sempat
menerangkan mengenai MADILOG ( Materialisme, Dialekta, dan Logika)
dalam MADILOG ini menjelasakan bagaimana kaum republik lahir didunia
supranatural, supranatural hindu pula, supranatural yang tak mudah dikikis,
3. dicuci bersih, maka sebagai tongkat pertama dalam duni berpikir perlulah
sekedarnya memajukan logika. Hal ini menggambarkan bagaimana
pembentukan sejarah manusia di Indonesia yang masih belum matang.
Sehingga dalam MADILOG dijelaskan tentang suatu cara berpikir dengan
sebab akibat yang terdapat bukti dan eksperimen yang sah. Pada tahun 1948
ia menulis tentang GERPOLEK ( Gerilya, Politik dan Ekonomi) dalam
tulisannya ini ia menerangkan bertapa suatu kesalahan besar dalam memilih
jalan perundingan untuk melawan kolonialisme dan imperalisme. Tan Malaka
sendiri merasa cemas dengan kekalahan demi kekalahan yang dilakukan
dengan jalan perundingan. Menurutnya untuk melawan koloniaslis dan
imperialis yaitu tidak dengan jalan berunding dan yang diperlukan adalah
strategi taktis untuk bergerilya.[5]
[1] Sapta Atmadja, Rolliv. “ Parlemen atau Soviet : Mozaik Pemikiran Politik
Tan Malaka”.2012
[2] http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tan-malaka-korban-
pemalsuan-sejarah diakses pada tanggal 10 Juni 2013 pukul 18:24
[3] http://www.merdeka.com/peristiwa/tan-malaka-ditawan-sebelum-tewas-
di-tangan-bangsanya-sendiri-kisah-tan-malaka-1.html diakses pada tanggal
10 Juni 2013 pukul 18:28
[4] Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara jilid I (Jakarta: Teplok Pers,2000)
hlm 234-235.