1. Pengantar Pengkajian Sastra
Sastra dan Ilmu Sastra
A. Teeuw
Pramoda Anindya Dipta
Bahasa dan Sastra Indonesia
13010110130069
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010
2. I. APAKAH SASTRA?
BAHASA LISAN- BIHASA TULIS- SASTRA
1. Apakah sastra? Beberapa masalah peristilahan.
Ilmu sastra memiliki keistimewaan dan keanehan yang tidak kita lihat pada ilmu
pengetahuan lain: obyek utama penilitian sastra tidak tentu. Sampai sekarang belum ada
seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang jelas atas pertanyaan pertama dan paling
hakiki, yang mau tak mau harus diajukan oleh ilmu sastra: apakah sastra?
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk memberi batasan yang tegas atas
permasalahan itu, tetapi batasan-batasan yang pernah diberikan oleh ilmuwan ternyata
diserang, ditentang, disangsikan, atau terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan satu
atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu. Atau yang sebaliknya
terjadi, adakalanya batsan ternyata terlalu luas dan longgar, sehingga melingkupi hal yang jelas
bukan sastra.
Bab ini akan membicarakan permasalahannya berdasarkan pendekatan yang dari dulu
sampai sekarang sering dipakai, yaitu pendekatan yang menyamakan sastra dengan tulisan.
Dalam bahasa-bahasa Barat gejala yang ingin kita perikan dan batasi diebut literature
(Inggris), literature (Jerman), Litterature (Perancis), semuanya berasal dari bahasa Latin
litteratura. Kata litteratura sebetulnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani
grammatika; litteratura dan grammatika masing-masing berdasakan kata littera dan gramma
yang berarti ‘huruf’ (tulisan, letter). Menurut asalnya litteratura dipakai untuk tata bahasa dan
puisi. Seorang literatus adalah orang yang tahu tata bahasa dan puisi; dalam bahasa Perancis
masih dipakai kata lettre. Belanda geletterd: orang yang berperadaban dengan kemahiran
khusus di bidang sastra, Inggris man of letters. Literature dan seterusnya umumnya berarti
dalam bahasa Barat modern: segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk
tertulis.
2. Bahasa tulis: tujuh ciri.
Sekarang marilah kita kembali ke bahasa tulis.
1. Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik si pembicara (penulis) maupun si pendengar
(pembaca) kehilangan sarana komunikasi yang dalam pemakaian bahasa lisan memberi
sumbangan paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya komunikasi. Sarana itu biasanya
disebut suprasegmental (Uhlenbeck memakai istilah musis) dan paralingual atau
ekstralingual. Yang dimaksudkan dengan suprasegmental ialah gejala intonasi (aksen,
tekanan kata, tinggi rendahnya nada, keras lemahnya suara dan banyak lagi). Gejala-gejala
itu merupakan unsure sisetem bahasa yang bersifat fonemik, sehingga langsung relevan
dengan pemahaman struktur kata dan kalimat. Seperti dikatakan uhlenbeck (1979: 406):
keberhasilan komunikasi tidak tergntung pada efek sarana-sarana lingual saja; pemahaman
pemakaian bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil dari data-data
3. pengetahuan lingual dan ekstralingual, dari informasi auditif, visual, dan kognitif
(berdasarkan pengetahuan atau penafsiran).
2. Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis dan
pembaca. Dalam komunikasi kita banyak bergantung pada kemungkinan yang diadakan
oleh hubungan fisik; pendengar melihat gerak-gerik pembicara, yang seringkali sangat
penting untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya. Penulis harus mengucapkan
sesuatu dengan lebih eksplisit, harus sejenis mungkin, harus hati-hati dan lain-lain,
sedangkan pembaca pun harus mengambil sikap yang lain; tugas interpretasi, karena tidak
adanya interaksi yang spontan, jauh lebih sulit.
3. Dalam hal teks tertulis seringkali penulis tidak hadir dalam situasi komunikasi. Contoh:
karangan atau surat yang anonim; pembaca harus mencari informasi yang relevan hanya
dari data tertulis saja.
4. Teks tertulis juga mungkin sekali lepas dari kerangka referensi aslinya. Penulis mungkin
mengarang tulisannya berdasarkan situasi tertentu, situasi pribadi, situasi sosial, dan lain-
lain tetapi pembaca yang tidak tahu situasi itu membina situasi dan kerangka acuan
tersendiri. Untuk menghindari salah paham pengarang terpaksa secara eksplisit dan jelas
menguraikan informasi kontekstual yang dalam situasi percakapan biasanya tidak perlu
dieksplesitkan karena “sama-sama tahu”. Jelaslah bahwa dalam komunikasi lewat tulisan
kemungkina salah paham jauh lebih besarwalaupun kebebasan si pembaca terhadap latar
belakang bacaannya mungkin juga memberi keuntungan tertentu.
5. Tetapi pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau dibandingkan dengan pendengar dalam
situasi komunikasi. Tulisannya dapat diulang baca seberapa kali dianggap perlu atau
penting. Dia dapat memikirkan isi tulisannya matang-matang, kalau belum jelas dapat
dibaca sekali lagi, dipikirkan lagi, dan seterusnya. Tanggapannya juga dapat ditunda dan
dipikir-pikirkan kembali sebelum dituliskan. Tulisan dapat dibolak-balikkan sambil membaca.
Pembaca tidak terikat pada situasi komunikasi langsung dan spontan seperti terdapat
percakapan.
6. Teks tertulis pada prinsipnya dapat direproduksi dalam berbagai bentuk: fotokopi, stensilan,
buku, dan lain-lain, berarti bahwa lingkungan orang yang terlibat dalam tindak komunikasi
dengan bahasa tulisan pada prinsipnya jauh lebih besar dan luas daripada yang biasanya
terdapat dalam situasi bahasa lisan. Sejak penemuan teknik pencetakan yang efektif oleh
Gutenberg dalam abad ke-15. McLuhan menyebut kebudayaan Barat sejak itu msuk tahap
atau periode (era) Gutenberg: terjadinya media massa barkat penemuan Gutenberg sangat
dalam dan luas dampaknya atas keseluruhan kebudayaan (surat kabar; pendidikan melalui
buku, dan lain-lain). Situasi komunikasi oral lewat media massa jauh berbeda dengan
situasi komunikasi spontan antara pembicara dan pendengar. Misalnya, radio tidak ada
kemungkinan ineraksi langsung antara kedua belah pihak. Tetapi maslah seperti ini tidak
langsung relevan untuk pembicaraan sastra.
7. Komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak
jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu dan juga dari segi kebudayaan. Kita
4. dapat membaca hasil tulisan dari masa yang lampau, dari negeri lain, dengan latar
kebudayaan yang lain sekali dari situasi kita sendiri. Jadi kemungkinan adanya tulisan
menciptakan hubungan sejarah antara kita dengan generasi sebelum kita. Berkat adanya
komunikasi tertulis dunia menjadi makin sempit, dengan segala konsekuensinya, baik dan
buruk.
3. Sastra dan tujuh ciri bahasa tulis.
Jelaslah dari yang disebut di atas bahwa sebaga alat komunikasi bahasa tulis cukup
jauh berbeda dengan bahasa lisan: baik bahasa lisan maupun bahasa tulis ada untung dan
ruginya, ada kekuatan dan kelemahannya. Dapat dikemukakan hal-hal yang berikut sesuai
dengan tujuh ciri khas yang tercantum di atas:
1. Oleh karena kemungkinan untuk mengungkapkan saana suprasegmental dan paralingual
dalam situasi tulisan sangat terbatas, maka seorang penulis terpaksa mengusahakan
perumusan yang seteliti dan setepat mungkin.
2. Oleh karena situasi bahasa tulis si pembicara (penulis) bukanlah faktor yang tersedia dalam
tindak komunikasi, faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra; misalnya
pamakaian kata ganti sebagai aku: dalam tindak ujaran yang normal acuan kata aku jelas:
tak dapat tidak si pembicara yang menunjuk pada dirinya sendiri dengan kata aku, kecuali
kalau ada petunjuk yang tegas bahwa yang dimaksudkan bukanlah dia sendiri.
3. Oleh karena hubungan antara karya sastra dengan penulis tidak jelas, malahan seringkali
putus, dngan sendirinya tulisan itu sendiri makin penting, menjadi pusat perhatian
pembaca. Jadi di sini pun kita lihat bahwa kelemahan situasi komunikasi tulisan justru
dimanfaatkan dan dipermainkan potensinya dalam situasi kesastraan.
4. Hal itu diperkuat lagi oleh karena dalam situasi komunikasi tulisan referen atau acuan, yaitu
hal dalam kenyataan yang ditunjukkan dalam tindak ujaran yang biasa, mungkin tidak jelas
dan samar-samar pula. Dalam situasi komunikasi lisan praktis tak dapat tidak ada sesuatu
dalam kenyataan yang dimaksudkan oleh pembicara dan yang harus dipahami oleh
pendengar.
5. Kemungkinan permainan konvensi yang makin ruwet, makin menyesatkan pembaca karena
kompleksitas makna berhubungan juga dengan monumenitas karya sastra.
6. Kemungkinan reproduksi dalam berbagai bentuk sudah tentu sangat penting untuk sastra
sebagai faktor kebudayaan; terutama dalam sosiologi sastra kemungkinan penyebaran
sastra secara besar-besaran lewat buku, dan lain-lain diselidiki akibatnya. Dari segi sastra
sendiri kemungkinan reproduksi tulisan itu ada pula akibatnya. Umumnya dapat dikatakan
bahwa potensi tersebar luasnya sebuah tulisan sastra memberi kepada banyak pembaca
kemungkinan untuk membaca sendiri karya itu dan, berhubungan pula dengan faktor-faktor
yang tadi disebut, malahan memberi kebebasan interpretasi yang tidak terikat pada tujuan
langsung dalam tindak komunikasi dari pihak pengarang.
5. 7. Berkat kemungkinan menyimpan dan menyelamatkan sastradalam bentuk tulisan dan
menyebarluaskannya meampaui batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan
kebudayaan, sastra menjadi gekala sejarah, dengan segala akibatnya. Kesinambungan
kebudayaan manusia sebagan besar tergantung dari penemuan tulisan dan abjad, dalam
berbagai kebudayaan; kita tetap dapat merasa terikat secara kongkrit dengan manusia dari
zaman lampau, yang menjadi leluhur kita secara rohany berkat tulisannya yang
diselamatkan.
4. Sastra dan bahasa tulis tidak identik.
Dari perbandingan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, dan kemudian dari survei
tenteng konsekuensi ciri khas bahasa tulis untuk sastra tulis, jelaslah bahwa ketertulisan sastra
mempunyai barmacam akibat untuk keadaan, potensi, dan interpretasi satstra itu. Namun harus
dikatakan pula bahwa di antara tujuh ciri khas itu tidak ada satupun yang terbatas pada sastra
dalam arti kata yang biasa.
Tetapi yang lebih penting lagi: kita tahu secara intuisi dan berdasarkan bahan yang cukup
banyak bahwa yang kita sebut sastra tidak terbatas pada bentuk bahasa tulis. Maklum, ada
pula sastra lisan, baik dalam masyarakat tradisional, maupun dalam masyarakat modern. Tidak
ada garis pemisah yang jelas antara sastra dan bukan sastra. Dalam sastra lisan pemakaian
bahasa seringkali jauh lebih rumit dan terpelihara atau pun menyimpang dari yang biasa dalam
bahasa sehari-hari. Ciri-ciri sastra sendiri tidak merupakan alat untuk mencapai definisi sastra
yang sungguh-sungguh tepat. Kesimpulan yang penting dalam hubungan ini: tidak ada kriteria
yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis
untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Tolok ukur untuk membedakan sastra
dengan bukan sastra harus dicari di bidang lain.
6. 7. Berkat kemungkinan menyimpan dan menyelamatkan sastradalam bentuk tulisan dan
menyebarluaskannya meampaui batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan
kebudayaan, sastra menjadi gekala sejarah, dengan segala akibatnya. Kesinambungan
kebudayaan manusia sebagan besar tergantung dari penemuan tulisan dan abjad, dalam
berbagai kebudayaan; kita tetap dapat merasa terikat secara kongkrit dengan manusia dari
zaman lampau, yang menjadi leluhur kita secara rohany berkat tulisannya yang
diselamatkan.
4. Sastra dan bahasa tulis tidak identik.
Dari perbandingan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, dan kemudian dari survei
tenteng konsekuensi ciri khas bahasa tulis untuk sastra tulis, jelaslah bahwa ketertulisan sastra
mempunyai barmacam akibat untuk keadaan, potensi, dan interpretasi satstra itu. Namun harus
dikatakan pula bahwa di antara tujuh ciri khas itu tidak ada satupun yang terbatas pada sastra
dalam arti kata yang biasa.
Tetapi yang lebih penting lagi: kita tahu secara intuisi dan berdasarkan bahan yang cukup
banyak bahwa yang kita sebut sastra tidak terbatas pada bentuk bahasa tulis. Maklum, ada
pula sastra lisan, baik dalam masyarakat tradisional, maupun dalam masyarakat modern. Tidak
ada garis pemisah yang jelas antara sastra dan bukan sastra. Dalam sastra lisan pemakaian
bahasa seringkali jauh lebih rumit dan terpelihara atau pun menyimpang dari yang biasa dalam
bahasa sehari-hari. Ciri-ciri sastra sendiri tidak merupakan alat untuk mencapai definisi sastra
yang sungguh-sungguh tepat. Kesimpulan yang penting dalam hubungan ini: tidak ada kriteria
yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis
untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Tolok ukur untuk membedakan sastra
dengan bukan sastra harus dicari di bidang lain.