PENYULUHAN TENTANG KANKER LEHER RAHIM PADA USIA PRODUKTIF
Status lingkungan hidup indonesia 2012. pilar lingkungan hidup indonesia
1. KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2012
Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2012
Pilar Lingkungan Hidup Indonesia
2.
3. i
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2012
Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2012
Pilar Lingkungan Hidup Indonesia
4. ii
KATA
PENGANTAR
P
embangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, serta membangun manusia
Indonesia seutuhnya. Pelaksanaannya perlu memperhatikan
keseimbangan tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan hasil kesepakatan
dunia dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan
di Stockholm Tahun 1972 dan Deklarasi Lingkungan Hidup pada KTT
Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip-prinsip
dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan
dimensi lingkungan, ekonomi dan manusia.
Indonesia yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam dengan
keanekaragaman hayati yang berlimpah seyogyanya dapat membawa
bangsa dan negara kita menjadi salah satu yang terbesar di dunia serta,
yang terpenting, dapat menjamin tingginya tingkat kesejahteraan
rakyat Indonesia secara merata. Sasaran tersebut sesuai dengan arahan
Presiden Republik Indonesia tentang Sustainable Growth with Equity,
atau Pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Dengan memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan
secara seimbang, maka dari sisi dimensi lingkungannya diperlukan
kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sepenuhnya
yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan begitu
pembangunan akan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan hidup,
yaitu meningkatkan nilai dan fungsi lingkungan hidup. Hal yang
harus diperhatikan adalah daya dukung, daya tampung dan aspek
pencadangannya serta tata ruang sehingga tidak menimbulkan
berbagai bencana lingkungan seperti pencemaran lingkungan,
kerusakan hutan dan lahan, banjir, longsor, kekeringan serta berbagai
wabah penyakit. Semua itu menyebabkan krisis energi, air dan pangan
yang pada akhirnya menjadi ancaman bagi peri kehidupan kita.
Patut kita sesali bersama karena pada kenyataannya lingkungan hidup
Indonesia telah banyak yang rusak dan cemar serta sumber daya alam kita
semakinterkikis.Sesalsajasangattidakcukup,keterpurukaniniharusmenjadi
“wake-upcall”padakitasemuauntukbersama-samaberupayameningkatkan
kapasitas diri dalam mengatasi semua permasalahan lingkungan hidup.
5. iii
Upaya tersebut di atas dipengaruhi oleh perilaku semua pemangku
kepentingan baik secara individu maupun kolektif. Oleh karenanya,
perilaku ini yang harus diubah menjadi lebih ramah lingkungan. Hal ini
sesuai dengan tema Tema Hari Lingkungan Hidup Tahun 2013 “Ubah
Perilaku dan Pola Konsumsi Untuk Selamatkan Lingkungan”. Tema
ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian kita atas pentingnya
pemanfaatansumberdayaalamsecarabijakdanberwawasanlingkungan
hidup. Tema ini diadopsi dari Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2013
yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Dunia, United Nations
Environment Programme (UNEP), yaitu “Think.Eat.Save”, mengingat
perilaku dan pola konsumsi terutama dalam menyikapi daur hidup
pangan berpengaruh terhadap lingkungan hidup.
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tematik (SLHI) Tahun 2012
disusununtukmemberikanpemahamanakankondisilingkunganhidup
Indonesia dan bagaimana semua pemangku kepentingan berupaya
untuk melindungi dan mengelolanya. Laporan ini difokuskan pada
tema kapasitas pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dengan
judul “Pilar Lingkungan Hidup Indonesia”. Laporan ini menyajikan
kecenderungan kualitas lingkungan hidup, gambaran interaksi dinamis
antara kapasitas dan kualitas lingkungan hidup serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Kapasitas pengelolaan lingkungan hidup yang
memadai merupakan elemen penting yang akan menentukan status
lingkungan hidup Indonesia di masa depan.
Atas nama Kementerian Lingkungan Hidup, pada kesempatan ini
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Tim Pakar dan semua
pihak yang telah membantu penyusunan buku Status Lingkungan
Hidup Indonesia 2012 ini. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat
bagi para pemangku kepentingan, yakni pembuat kebijakan, dunia
akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, media massa
serta masyarakat luas.
Jakarta, 5 Juni 2013
Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA
6. iv
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
Status Lingkungan Hidup Indonesia 2012
Diterbitkan oleh:
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Jl. D. I. Panjaitan Kav. 24 Jakarta 13410
Telp : 021 -8580081
Fax : 021 -8580081
ISBN 978-602-8358-67-5
Isi dan materi yang ada dalam buku ini boleh di reproduksi dan disebarluaskan dengan tidak mengurangi isi dan arti dari
dokumen ini. Diperbolehkan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.
Pelindung :
Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Menteri Lingkungan HIdup
Pengarah :
DR. Henry Bastaman, Deputi MENLH Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas
Penanggung Jawab :
Ir. Laksmi Dhewanthi, MA, Asisten Deputi Data dan Informasi Lingkungan
Editor :
Dida Gardera, Eri Rura, Luhut P Lumban Gaol, Lindawati, Nuke Mutikania, Harimurti, Heru Harnowo, R.Susanto,
Adi Fajar Ramly, Hasan Nurdin, Heru Subroto, Indira Siregar, Abdul Aziz Sitepu, Wahyudi Suryatna
Penulis :
Prof. Dr. Akhmad Fauzi, Prof. Dr. Dedy Darnaedi MSc., Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, Dr. Budhi Gunawan, Dr. Driejana,
Ir. Idris Maxdoni Kamil, M.Sc.,Ph.D., Dr. Herto Dwi Ariesyadi, Hernani Yulinawati, ST., MURP, Ph.D., Ano Herwana, SE, MM.,
Dida Gardera, S.T., M.Sc., Dr. Esrom Hamonangan, Ir. Dewi Ratnaningsih, Jetro, S.T.
Sekretariat :
Suhartono, Trileni Ratna Aprita, Saeprudi
Pendukung :
Baiah, Wiyoga, Agnes Swastikarina Gusthi, Sudarmanto, Tommy Aromdani, Juarno, Sarjono, S Dombot Sunaryedi,
Yayat Rukhiyat, Nurheni Astuti, Anastasia, M. Bambang Eko Ariwibowo, Rio Kurniawan M, Tri Prihartiningsih
7. v
Ucapan Terima Kasih
Kementerian Lingkungan Hidup Mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup
Indonesia tahun 2012
Kontributor :
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pusat Statistik, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika.
Kontributor Foto : Sugiarti
Penjelasan Cover:
Sesuai dengan judul SLHI 2012 yaitu“ Pilar Lingkungan Hidup Indonesia ”, cover ini berusaha
menampilkan keseimbangan tiga pilar pembangunan Indonesia berkelanjutan yakni sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, serta membangun manusia Indonesia seutuhnya.
8. vi
DAFTAR
Isi
Cover Dalam
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Kotak
1. INTERAKSI KAPASITAS PENGELOLAAN DENGAN KUALITAS LINGKUNGAN
TANTANGAN LINGKUNGAN
MEMETAKAN KAPASITAS PENGELOLAAN DAN KUALITAS LINGKUNGAN
2. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
UDARA
AIR
Kualitas Air Sungai
Penurunan Beban Pencemar
Kualitas Air Danau
Dampak Penurunan Kualitas Air
Kuantitas Air
Dampak Penurunan Kuantitas Air
HUTAN DAN LAHAN
Lahan Kritis
PESISIR DAN LAUT
Kualitas Air Laut
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Republik Indonesia
Flora Fauna Dalam“Red Data List” IUCN
Flora Fauna dan Mikroba Invasif
3. KAPASITAS PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Lembaga Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup
Unit Pelayanan Terpadu
Registrasi Bahan Berbahaya dan Beracun
Lembaga Daerah Pengelolaan Lingkungan Hidup
SARANA DAN PRASARANA
Laboratorium
Pusat Pengendalian Dampak Lingkungan (PUSARPEDAL)
Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)
SUMBER DAYA MANUSIA PENGELOLA
Anggaran Lingkungan Hidup
i
ii-iii
v
vi
ix
xiii
xv
1
3
4
6
9
23
24
26
27
29
30
32
37
47
50
56
60
60
61
63
66
69
69
70
71
72
76
76
76
76
78
80
9. vii
PENAATAN HUKUM LINGKUNGAN
Pengembangan Sistem
Penanganan Kasus Lingkungan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Penaatan Dalam Konteks Pembinaan
Pendidikan Formal
Pendidikan Non Formal
Pendidikan Informal
PROGRAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Internasionalisasi Lingkungan Hidup
Peran Indonesia di Forum Internasional
Indonesia Sebagai Tuan Rumah Dalam Pertemuan Internasional
Patisipasti Aktif Indonesia dalam Organisasi Regional/Internasional
Kerja sama Bilateral
Hutan dan Lahan
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan di Kementerian Kehutanan
Gerakan Penanaman 1 Miliar Pohon
Air
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup di Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Sumber Daya Air
Keanekaragaman Hayati
Balai Kliring Keamanan Hayati
Taman Keanekaragaman Hayati
Protokol Nagoya
Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik
Konservasi Tumbuhan di Kawasan Ex-situ Konservasi
Pesisir dan Laut
Program Rantai Emas – Rehabilitasi Pantai, Entaskan Masyarakat Setempat
Program rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang – COREMAP
Udara
Perubahan Iklim
Upaya Sektor Industri
Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN)
Sampah
AKSES PARTISIPASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Dunia Usaha
Program Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER)
Pengembangan Industri Hijau
Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup
Badan Usaha Milik Negara
Lembaga Swadaya Masyarakat
Masyarakat Hukum Adat
Perguruan Tinggi
84
86
87
89
90
90
90
91
92
92
92
95
96
96
97
98
101
101
101
102
103
104
105
105
106
106
108
108
108
109
112
114
115
116
118
118
118
120
121
122
123
125
126
10. viii
Media Massa
Masyarakat Umum
Pemangku Kepentingan Pro Lingkungan Hidup
4. CATATAN KHUSUS PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
Pulau Sumatera
Pulau Kalimantan
Pulau Papua
PENGENDALIAN KERUSAKAN SUNGAI
Sungai Ciliwung
Sungai Citarum
Sungai Cisadane
Sungai Brantas
GERAKAN PENYELAMATAN DANAU
Danau Limboto
Danau Singkarak
Danau Rawa Pening
Danau Ayamaru
RAGAM AKSI DAN HIKMAH PEMBELAJARAN
Aksi Pengelolaan Teluk Tomini
Aksi Pengelolaan Lingkungan Selat Bali
Peraturan Tingkat Kampung Melindungi Terumbu Karang
Usaha Pelestarian Badak Jawa dan Sumatera
Pelestarian Ratusan Spesies Bambu
Proyek Raksasa Konservasi Lahan
Pembuangan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
5. KUALITAS LINGKUNGAN DAN KAPASITAS PENGELOLAANNYA
KONDISI SAAT INI
POTENSI TEKANAN DAN ISU LINGKUNGAN DI MASA DEPAN
Sebaran dan Pertumbuhan Penduduk
Kemiskinan
Alih Fungsi Lahan
Pertumbuhan Sektor Transportasi
Permintaan Energi
Perilaku Peduli Lingkungan
KAPASITAS PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MASA DEPAN
6. SINTESIS DAN HARAPAN
SINTESIS
HARAPAN KE DEPAN
128
128
132
134
136
137
139
141
147
147
154
158
160
163
163
163
164
165
167
168
169
169
172
174
175
176
178
180
186
186
189
191
193
194
195
196
198
200
203
11. ix
DAFTAR
Gambar
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
Gambar 2.10.
Gambar 2.11.
Gambar 2.12.
Gambar 2.13.
Gambar 2.14.
Gambar 2.15.
Gambar 2.16.
Gambar 2.17.
Gambar 2.18.
Gambar 2.19.
Gambar 2.20.
Gambar 2.21.
Gambar 2.22.
Gambar 2.23.
Gambar 2.24.
Gambar 2.25.
Gambar 2.26.
Gambar 2.27.
Gambar 2.28.
Gambar 2.29.
Gambar 2.30.
Gambar 2.31.
Gambar 2.32.
Gambar 2.33.
Gambar 2.34.
Gambar 2.35.
Gambar 2.36.
Foto Deforestasi Hutan, Eksploitasi BatuBara
Skema Driver-Pressure-State-Impacts-Response
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup vs Kualitas Lingkungan Hidup
Konsumsi Energi di Indonesia Tahun 1990 – 2009 dari Berbagai Sektor
Tren Peningkatan Jumlah Kendaraan Bermotor (Darat) Nasional Untuk Kategori
(A) Mobil, Truk Dan Bus, (B) Sepeda Motor
Tren Rata-Rata Tahunan Pengukuran Metode Pasif (A) NO2
; (B) SO2
di 33
Ibukota Provinsi
Sebaran Konsentrasi Rata-Rata NO2
dan SO2
Di 248 Kota/Kabupaten di Indonesia
Konsentrasi SO2
dan NO2
dari Sektor Transportasi Tahun 2011
Konsentrasi SO2
dan NO2
dari Sektor Pemukiman Tahun 2011
Konsentrasi SO2
dan NO2
dari Sektor Komersial Tahun 2011
Konsentrasi SO2
dan NO2
dari Sektor Industri Tahun 2011
Konsentrasi CO Tahun 2011-2012 di Perkotaan (Road Monitoring)
Konsentrasi Road Side Monitoring NO2
Tahun 2011-2012
Konsentrasi Road Side Monitoring TSP Tahun 2011-2012
Konsentrasi Road Side Monitoring SO2
Tahun 2011-2012
Konsentrasi Road Side Monitoring Hidrokarbon Tahun 2011-2012
Konsentrasi Road Side Monitoring O3
Tahun 2011-2012
Konsentrasi Rata-Rata PM10
dan PM 2,5
di Sepuluh Kota Indonesia Tahun 2012
Kandungan Logam Berat (ng/m3
) Dalam PM Tahun 2012
Konsentrasi Sulfat (µmol/L) Air Hujan Rata-Rata Tahunan, 2001-2011
Konsentrasi Nitrat (µmol/l) Air Hujan Rata-Rata Tahunan, 2001-2011
Dampak Deposisi Asam
Case Fatality Rate KLB Diare di Indonesia Tahun 2005-2012
Persentase Titik Pantau Air Sungai di Indonesia dengan Status Tercemar Berat
Berdasarkan Kriteria Mutu Air Kelas II PP 82 Tahun 2001
Penurunan Kualitas Sungai di Indonesia (peta 2008 dan 2012)
Sebaran nilai rasio BOD/COD dan Nilai Pencemar Organik Berdasarkan Provinsi
Persentase Parameter Kualitas Air 2008-2012 yang Tidak Memenuhi Kriteria Mutu Air
Kelas II PP 82/2001
Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Air Minum Layak
(Perkotaan dan Perdesaan)
Potensi Air dan Ketersediaan Air per Kapita
Sumber Daya Air per Pulau pada Musim Hujan
Tinggi Curah Hujan di Tiap Pulau (mm/tahun)
Sebaran DAS Kritis pada Tahun 1984, 1992, dan 2005
Jumlah Kejadian Banjir di Indonesia
Beberapa Potret DAS Kritis di Indonesia
Penurunan Luasan Hutan pada Periode 2000 – 2011
Persentase Perubahan Hutan pada Periode 2000 – 2011
Persentase Perubahan Hutan Mangrove pada Periode 2000 – 2011
Penurunan Luasan Hutan pada periode 2000 – 2011 per Propinsi
2
4
5
9
10
11
12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
19
19
21
21
22
23
24
25
26
26
29
31
31
31
32
33
33
37
39
39
41
12. x
Sebaran Kejadian Bencana Banjir & Bencana Banjir Yang Disertai Longsor
Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun 2011
Sebaran Kejadian Kekeringan Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun 2011
Kondisi Terumbu Karang di Indonesia (%)
Kandungan Amoniak di Pelabuhan
Perbandingan Kandungan Oksigen Terlarut di Pelabuhan Tanjung Priok dan
Gorontalo Tahun 2011 – 2012
Perbandingan Kandungan Fenol di Pelabuhan Tanjung Priok dan Gorontalo
Tahun 2011 – 2012
Perbandingan Kandungan Amoniak di Pelabuhan Tanjung Priok
Tahun 2011-2012
Kandungan TSS di Daerah Wisata
Kandungan Oksigen Terlarut di Daerah Wisata
Kandungan Minyak dan Lemak di Daerah Wisata
Kandungan Fenol di Daerah Wisata
Kandungan Amoniak di Daerah Wisata
Kandungan MBAS di Daerah Wisata
Flora Fauna Yang Dilindungi Oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Flora-Fauna Berdasarkan Kriteria IUCN
Kategori Kriteria IUCN pada Fauna
Kategori Kriteria IUCN pada Flora
Jumlah Jenis Flora Fauna danMikroba Invasif
Total Pelayanan Unit Pelayanan Terpadu
Jumlah Total Pemohon Layanan Unit Pelayanan Terpadu
Penurunan Jumlah Jenis Registrasi Bahan Berbahaya dan Beracun
Kementerian Lingkungan Hidup
Peningkatan Total Kualitas Impor Bahan Beracun dan Berbahaya (juta ton)
Laporan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup
Tingkat Provinsi Nasional
Laporan Capaian Indikator Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi Nasional
Laporan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup
Tingkat Kabupaten/Kota
Laporan Capaian Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup
Tingkat Kabupaten/Kota
Jumlah Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Tingkat Provinsi
Sebaran Jabatan Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan
Anggaran Fungsi Lingkungan Hidup vs Total Belanja Pemerintah RI
Pembagian Dana Alokasi Khusus Lingkungan 2006 – 2012
Mekanisme Tata Cara Penanganan Pengaduan
Jumlah Sanksi Administrasi yang dikeluarkan tahun 2012
Hasil Pengawasan Penaatan Pelaksanaan Sanksi Administrasi
Hasil Evaluasi Kinerja Komisi Penilai Amdal Provinsi dan Kabupaten/Kota
Gambar 2.37.
Gambar 2.38.
Gambar 2.39.
Gambar 2.40.
Gambar 2.41.
Gambar 2.42.
Gambar 2.43.
Gambar 2.44.
Gambar 2.45.
Gambar 2.46.
Gambar 2.47.
Gambar 2.48.
Gambar 2.49.
Gambar 2.50.
Gambar 2.51.
Gambar 2.52.
Gambar 2.53.
Gambar 2.54.
Gambar 3.1.
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
Gambar 3.4.
Gambar 3.5.
Gambar 3.6.
Gambar 3.7.
Gambar 3.8.
Gambar 3.9.
Gambar 3.10.
Gambar 3.11.
Gambar 3.12.
Gambar 3.13.
Gambar 3.14.
Gambar 3.15.
Gambar 3.16.
49
49
50
56
56
57
57
58
58
59
59
59
59
61
61
62
62
63
70
71
72
72
74
74
74
74
77
79
80
83
87
88
88
89
13. xi
Pendidikan dan Pelatihan KLH Tahun 2010 – 2012
Alur proses pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Pengembangan Kebun Raya
Jaringan Stasiun di Indonesia Pemantau Kualitas Udara
Sistem Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
Kinerja Penanganan Tempat Pembuangan Akhir Tahun 2011-2012
Jumlah Perusahaan Peserta PROPER
Neraca Limbah B3 Kegiatan Pertambangan, Energi Migas
Neraca Limbah B3 Sektor Kawasan & Jasa
Jumlah Anggaran Community Development
Media Massa Dalam Pemberitaan/InformasiLingkunganHidup
Penghargaan Kalpataru
Jumlah dan Prosentase Pemangku Kepentingan Pro Lingkungan Hidup
Perubahan Tutupan Hutan P. Sumatera (a) 2000, (b) 2003, (c) 2006,
(d) 2009, (e) 2011, (f) Deforestasi 2000 – 2011
Perubahan Tutupan Hutan Provinsi di Pulau Sumatera
Perubahan Hutan Tahun 2000 Menjadi Tutupan Lahan Lain
di Tahun 2011 di Pulau Sumatera
Perubahan Tutupan Hutan Provinsi di Pulau Kalimantan (a) 2000 dan (b) 2011
Perubahan Tutupan Hutan Provinsi di Pulau Kalimantan
Perubahan Hutan Tahun 2000 Menjadi Tutupan Lahan Lain di
Tahun 2011 di Pulau Kalimantan
Deforestasi Hutan Pulau Papua 2000-2011
Perubahan Tutupan Hutan Provinsi di Pulau Papua
Perubahan Hutan Tahun 2000 Menjadi Tutupan Lahan Lain di
Tahun 2011 di Pulau Papua
Diagram Perubahan Penutupan Lahan Kabupaten Kuningan
Tahun1997, 1999, 2002, 2009
Peta Perubahan Tutupan Lahan Kabupaten Kuningan
Tahun 1997, 1999, 2002, 2009
Peta Lokasi Sungai Ciliwung
Perubahan Luasan Hutan dan Permukiman DAS Ciliwung, Tahun 2000-2010
Proporsi Perubahan Tutupan Lahan DAS Ciliwung Tahun 2000-2010
Peta Tutupan Lahan DAS Ciliwung Tahun 2010
Status Mutu Hulu-Hilir DAS Ciliwung Tahun 2010-2012 Berdasarkan
KMA Kelas II PP 82/2001
Garis Besar Rencana Restorasi Sungai Ciliwung Tahun 2012 – 2015
Pilot Project Pemulihan Kualitas Lingkungan Sungai Ciliwung
Tahun 2006 – 2011
Peta Wilayah DAS Citarum
Perubahan Tata Guna Lahan di DAS Citarum yang Menekan
Kondisi Sungai Citarum
Jumlah Aliran Air PerTahun Sungai CitarumTahun 1963-2008
Gambar 3.17.
Gambar 3.18.
Gambar 3.19.
Gambar 3.20.
Gambar 3.21.
Gambar 3.22.
Gambar 3.23.
Gambar 3.24.
Gambar 3.25.
Gambar 3.26.
Gambar 3.27.
Gambar 3. 28.
Gambar 3.29.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 4.7.
Gambar 4.8.
Gambar 4.9.
Gambar 4.10.
Gambar 4.11.
Gambar 4.12.
Gambar 4.13.
Gambar 4.14.
Gambar 4.15.
Gambar 4.16.
Gambar 4.17.
Gambar 4.18.
Gambar 4.19.
Gambar 4.20.
Gambar 4.21.
91
104
107
109
115
117
118
119
119
122
128
132
133
137
138
138
139
140
141
142
143
143
145
145
148
149
149
150
150
152
152
154
155
156
14. xii
Indeks Pencemaran di Segmen Sungai Citarum Hulu
Peningkatan Fasilitas Sanitasi di Cekungan Bandung Tahun 2000-2011
Tingkat Pencemaran Sungai Cisadane
Peta DAS Brantas
Status Mutu DAS Brantas Tahun 2012 Dibandingkan Dengan
KMA Kelas II PP 82/2001
Dua Betina Dewasa dan Tiga Anak (kiri); Dua Bekantan Jantan Dewasa (kanan)
di Areal Reklamasi
Uji coba Penelitian Uji Jenis untuk Tanaman Hutandi Areal Reklamasi
Badak Sumatera yang Berhasil Terekam Kamera
Populasi Badak Sumatera di Awal Penyebarannya
Populasi Badak Sumatera yang Masih Tersisa di Indonesia
Estimasi Populasi Badak Jawa Tahun 1967 – 2012
Perhitungan Pembobotan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Matriks Korelasi antara Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dan
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi2009-2012
Perkembangan Kemiskinan di Indonesia 2004 – 2012
Lokasi Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batu Bara,
Status Desember 2011
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup vs Kualitas Lingkungan Hidup
Gambar 4.22.
Gambar 4.23.
Gambar 4.24.
Gambar 4.25.
Gambar 4.26.
Gambar 4.27.
Gambar 4.28.
Gambar 4.29.
Gambar 4.30.
Gambar 4.31.
Gambar 4.32.
Gambar 5.1.
Gambar 5.2.
Gambar 5.3.
Gambar 5.4.
Gambar 6.1.
156
157
159
160
161
167
168
172
173
173
174
183
182
189
192
202
15. xiii
DAFTAR
Tabel
Pemantauan PM10
dan PM2,5
di 10 Kota Indonesia Tahun 2012
Status Ekosistem15 Danau di Indonesia Tahun 2011
Status Trofik dan Kualitas Air Danau
Kriteria Status Trofik Danau
Angka Kematian Bayi, Jumlah Kematian, Angka Fertilitas Total dan
Jumlah Kelahiran menurut Provinsi 2011
Jumlah Pasien TB Paru Positif dan Diare menurut Provinsi 2009 – 2010
Jumlah Pasien, Tingkat Kefaalan, dan Tingkat Kejadian Penyakit Demam
Berdarah menurut Provinsi, 2008 – 2010
Jumlah Pasien, Tingkat Kefaalan, dan Tingkat Kejadian Penyakit Demam
Berdarah menurut Provinsi, 2008 – 2010
Laju Perubahan Tutupan Hutan per Tahun per Provinsi pada Periode 2000 – 2011
Perkembangan Kebakaran Hutan di Berbagai Fungsi Hutan
Jumlah Pantauan Hotspot pada Periode 2005-2011
Luas Lahan Kritis Di Indonesia 2000 – 2011
Luas dan Kondisi Hutan Mangrove Menurut Provinsi Tahun 2011
Luas Penyebaran Hutan Bakau Menurut Provinsi Dan Tingkat Kerusakan,
2007, 2010, 2011
Rehabilitasi Hutan Bakau Menurut Provinsi 2008 – 2010
Luas Penyebaran Hutan Bakau Menurut Provinsi 2007,2011
Volume Produksi Perikanan 2007 -2011
jumlah Sarana dan Prasarana Perikanan 2007 – 2011
Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup
Rekapitulasi Bentuk Kelembagaan LH Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota
(per Februari 2013)
Jumlah dan Status Laboratorium Lingkungan di Indonesia TingkatProvinsi
Hasil Evaluasi SLHD Tahun 2011
Anggaran Fungsi Lingkungan Hidup vs AnggaranPendapatanBelanja Daerah Total
Alokasi Dana Dekonsentrasi Lingkungan 2012
Alokasi DAK Bidang LingkunganHidup Tahun 2006 – 2013
Tenaga Kerja Kehutanan Pada IUPHHK HT Berdasarkan Latar Belakang
Pendidikan s/d 2011
Nama dan Luas Kebun Raya
Perkembangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia Tahun 2000-2005 (Gg CO2e)
Neraca Limbah B3 yang Diperoleh dari Hasil Pengawasan PROPER pada
Periode 2010-2011
Neraca Limbah B3 yang Diperoleh dari Hasil Pengawasan PROPER
pada Periode2011-2012
Indeks Perilaku Peduli Lingkungan
Status Pencemaran di Segmen Sungai Cisadane
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2009-2011
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Tingkat Provinsi
Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi 2010-2035
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4.
Tabel 2.5.
Tabel 2.6.
Tabel 2.7.
Tabel 2.8.
Tabel 2.9.
Tabel 2.10.
Tabel 2.11.
Tabel 2.12.
Tabel 2.13.
Tabel 2.14.
Tabel 2.15.
Tabel 2.16.
Tabel 2.17.
Tabel 2.18.
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
Tabel 3.5.
Tabel 3.6.
Tabel3.7.
Tabel 3.8.
Tabel 3.8.
Tabel 3.9.
Tabel 3.10.
Tabel 3.11.
Tabel 3.12.
Tabel 4.1.
Tabel 5.1.
Tabel 5.2.
Tabel 5.3.
18
27
27
28
34
35
36
36
38
46
46
47
51
52
52
52
55
55
69
73
75
78
81
82
83
99
107
112
120
120
130
158
181
184
187
16. xiv
LajuPertumbuhanPendudukMenurutProvinsi 2010-2035
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, September 2012
Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia
Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2011
Tabel 5.4.
Tabel 5.5.
Tabel 5.6.
Tabel 5.7.
188
190
193
193
17. xv
DAFTAR
Kotak
Box: HujanAsam/DeposisiAsam
Box: BerbagaiDanauDengan Status Trofiknya
Box: Ihwal Izin Lingkungan
Box: Landasan Kuat Bagi Pengelolaan Sampah
Box: Sepenggal Jejak WALHI
Box: Pusat Studi Lingkungan Hidup Perguruan Tinggi
Box: Keberhasilan Kuningan Dalam Konservasi Hutan
21
28
84
85
124
126
144
19. 1
“Penulisan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2012 ini bersifat
tematik, yang bertujuan memaparkan kapasitas pengelolaan dalam
merespon dinamika lingkungan hidup. Kapasitas pengelolaan dan
kualitas lingkungan hidup memiliki relasi timbal-balik. Kapasitas yang
memadai akan menentukan mutu lingkungan, dengan menganalisis,
merespon dan menentukan aksi dalam menjawab tantangan.”
20. 2
1 Interaksi Kapasitas Pengelolaan dengan Kualitas Lingkungan
Dengan begitu, menimbang betapa krusial ikhtiar
meraih keberlanjutan lingkungan hidup, pustaka
ini menyajikan pokok bahasan ihwal kapasitas
pengelolaan lingkungan. Hal itu mencakup
kelembagaan, kebijakan, serta program lingkungan
tingkat nasional dan daerah.
Pendek kata, laporan ini hendak memaparkan interaksi
dinamis antara kapasitas dengan kualitas lingkungan
hidup, beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Tentu saja, paparan yang termuat dalam pustaka ini
masih menyimpan keterbatasan dan kekurangan.
Satu hal yang perlu menjadi catatan bersama adalah
ketersediaan dan validitas data-informasi. Namun
demikian,laporaninidisusundenganmelibatkanbanyak
pihak sehingga dapat dijadikan acuan bersama.
Kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam,
yang melibatkan para pemangku kepentingan,
mensyaratkan kecakapan kapasitas pengelolaan
lingkungan. Kapasitas yang mumpuni menjadi salah
satu elemen penting yang akan menentukan status
lingkungan hidup di masa depan.
Pustaka SLHI 2012 memuat enam bab. Bab pertama
berisi latar belakang dan tujuan penulisan. Bab kedua
menguraikan secara ringkas status lingkungan hidup
yang diwakili komponen: sumberdaya hutan dan
lahan, sumberdaya pesisir dan laut, sumberdaya air,
udara, dan keanekaragaman hayati.
Bab ketiga baru memasuki fokus utama tentang
kapasitas pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Lantas, bab keempat menyajikan pembelajaran,
dengan memusatkan pada masalah dan kondisi
lingkungan tertentu, serta kebutuhan kapasitas untuk
mengatasinya.
Seiring kemajuan zaman, lingkungan hidup nampaknya
akan menghadapi tekanan lebih berat di masa datang.
Untuk itu, bab kelima akan meneropong potensi
tekanan dan tantangan ke depan. Paparan juga akan
menyajikan pemikiran tentang kapasitas pengelolaan
yang diperlukan, yang diharapkan mampu menghadapi
tantangan zaman. Bab keenam sebagai bab terakhir
akan menyajikan kesimpulan dan beberapa catatan
penting.
Gambar 1. Foto Deforestasi Hutan, Eksploitasi Batu Bara
21. 3
Kepulauan Indonesia terbentuk dari 13.466 pulau
(BIG, 2010) yang bergelimang sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Kekayaan yang melimpah ruah itu
berperan sebagai bekal pembangunan ekonomi selama
empat dekade terakhir. Kendati pernah dihantam
krisis pada penghujung 1990-an, tren pembangunan
agaknya masih berkinerja lumayan baik. Sayangnya,
pertumbuhan ekonomi dalam periode itu diiringi
dengan merosotnya sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Indonesia menghadapi tantangan tak ringan:
kelangkaan dan kualitas lingkungan menyusut.
Salah satu isu yang menonjol selama pembangunan
adalah berkurangnya luas kawasan hutan secara
drastis sejak 1970-an. Meski upaya reforestasi telah
digelar, dalam satu dekade terakhir misalnya, tutupan
hutan masih mengalami penurunan: dari 104.747.566
hektare pada 2000, menjadi 98.242.002 hektar pada
2011 (Kementerian Kehutanan).
Keadaan kian memburuk: degradasi hutan diikuti
pula dengan isu pemanasan global dan perubahan
iklim serta konversi hutan untuk industri kehutanan,
kawasan budidaya, plus kebakaran hutan.
Beban tak ringan dalam mengelola lingkungan hidup
juga terpampang di pesisir dan laut, kualitas dan
kuantitas air, kualitas udara kota dan kawasan industri,
serta keanekaragaman hayati. Belum lagi bencana
alam yang makin kerap melanda di berbagai sudut
negeri. Keadaan itu membuat banyak pihak mengelus
dada.
Tak cukup sampai di situ. Tantangan kian berat
lantaran laju pertumbuhan penduduk tak terkendali.
Padatnya populasi berdampak berbeda di perdesaan
dan perkotaan. Tekanan penduduk di perdesaan,
antara lain, telah melejitkan konversi hutan, termasuk
merombak lahan marjinal kawasan hutan menjadi
lahan budidaya dan permukiman. Penduduk yang
bertambah berarti makin banyak perut yang mesti
diisi: meningkatkan kebutuhan pangan. Di sisi lain,
luas lahan pertanian relatif tetap; bahkan menurun.
Sementara itu, tak imbangnya jumlah penduduk
dan luas lahan di laju pertumbuhan kendaraan
bermotor meningkat pesat tiap tahunnya. Akibatnya,
pencemaran udara semakin bertambah.
Di beberapa provinsi dan kota besar, knalpot
kendaraan bermotor ibarat cerobong asap yang
berjalan. Tak heran, moda kendaraan bermotor
menjadi penyumbang terbesar konsentrasi NO2
(Nitrogen dioksida), SO2
(Sulfur dioksida) dan CO
(Karbon monoksida). Kini, selain kecelakaan lalu lintas,
jalanan juga menebar risiko gangguan kesehatan. Gas
Nitrogen oksida misalnya, bila terhirup dapat merusak
paru-paru.
Pertumbuhan penduduk juga memicu berkembangnya
industri manufaktur, kehutanan, pertanian dan
peternakan. Dampak tumbuh-kembangnya industri
berderet panjang: alih fungsi lahan, polusi, serta
meningkatnya sarana dan prasarana transportasi.
Ujung-ujungnya, menghamburkan karbon dan gas
rumah kaca lainnya.
Lingkungan hidup yang ganjil punya dampak lanjutan.
Tengoklah kualitas air yang merosot karena minimnya
sistem pengolahan air limbah di perkotaan. Rupanya
kesadaran industri dalam mengelola limbah masih
perlu terus didorong. Tapi, jangan lupa pula: limbah
dari masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
Kualitas lingkungan yang buruk dan ditambah pola
hidrologis yang rusak menyebabkan timbulnya
berbagai bencana termasuk wabah penyakit, misalnya
diare.
Di balik daftar panjang masalah di atas, Indonesia tak
pernah lelah berupaya menangkal anjloknya mutu
lingkungan hidup. Sejatinya, berbagai pihak dari
sekujur negeri bekerja keras memulihkan, merespon
dan beraksi nyata bagi lingkungan hidup.
Di samping telah ada aksi mengurangi laju deforestasi,
berbagai upaya lain juga telah dilakukan pemerintah.
Upaya itu berada di tiga jalur: mencegah degradasi
lingkungan terus berlanjut, merehabilitasi kerusakan,
serta melestarikan alam lingkungan yang masih baik.
Tentu, kerja keras itu menggandeng berbagai instansi
pemerintah, kalangan dunia usaha, organisasi non-
pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat luas.
TANTANGAN
LINGKUNGAN
22. 4
1 Interaksi Kapasitas Pengelolaan dengan Kualitas Lingkungan
MEMETAKAN KAPASITAS PENGELOLAAN
DAN KUALITAS LINGKUNGAN
Laporan ini memakai pendekatan konseptual Driver-
Pressure-State-Impacts-Response (DPSIR) yang
dikembangkan United Nations Environment Programme
(UNEP). Sebagaimana disajikan dalam Gambar 3,
kerangka pendekatan DPSIR ini mengasumsikan
hubungan sebab akibat antara komponen sosial,
ekonomi, dan lingkungan yang saling berinteraksi,
yang terdiri atas:
Driving force (D), kekuatan pendorong
terjadinya perubahan lingkungan. Misalnya: kegiatan
sosioekonomi, seperti industri atau pertanian.
Pressure (P), tekanan langsung yang dapat merubah
lingkungan. Misalnya: emisi polutan gas ke udara.
State (S), status perubahan lingkungan karena
tekanan. Misalnya: penurunan kualitas udara karena
meningkatnya emisi gas buang beracun dari industri.
Impact (I), dampak berubahnya status lingkungan.
Misalnya: gangguan kesehatan penduduk yang
terpaksa menghirup udara tercemar.
Response (R), respon pemerintah dan masyarakat
luas terhadap empat komponen itu (D-P-S-I). Misalnya:
perumusan kebijakan dan aturan ambang batas emisi
gas bagi industri atau lainnya.
PSR DPSIR-SCHEME
R
Response
(i.e. regulation and
measures to be taken
in respon to human
impact)
I
Impact
(i.e. assesment of the
effects of human impact)
S
State of the environment
(present state-natural state as
modified by human impact)
P
Preasure
(i.e. emisions/dischart from
point and diffuse sources,
rivers and atmosphere )
D
Driving Force
(i.e. sosioeconomic
activities)
D+P=HumanImpactontheenvirontment
Gambar 2. Skema Driver-Pressure-State-Impacts-Response.
Sumber: United Nations Environment Programme
23. 5
Pendekatan DPSIR dapat menggambarkan perubahan
status lingkungan yang telah terjadi dan responnya;
potensi tekanan yang mungkin terjadi dan respon
yang harus dilakukan. Hal itu khususnya menyangkut
kapasitas pengelolaan lingkungan yang diperlukan di
masa datang.
Dengan pendekatan DPSIR, laporan ini mencoba
menggambarkan keterkaitan antara kapasitas
pengelolaan dengan kualitas lingkungan hidup.
Sebagaimana disajikan dalam Gambar 3, korelasi antara
kapasitas pengelolaan dan kualitas lingkungan hidup
dapat membentuk empat kombinasi sebagai berikut:
• Kuadran I: kualitas lingkungan tinggi, namun
kapasitas pengelolaan rendah,
• Kuadran II: kualitas lingkungan dan kapasitas
pengelolaannya sama-sama rendah,
• Kuadran III: kapasitas pengelolaan tinggi, namun
kualitas lingkungan rendah,
• Kuadran IV: korelasi positif antara kualitas
lingkungan dengan kapasitas pengelolaan yang
tinggi.
Dari empat kuadran tersebut, diharapkan kualitas
lingkungan dan kapasitas pengelolaan lingkungan
di Indonesia berada pada kuadran IV. Ini merupakan
korelasi positif dan ideal, kapasitas yang tinggi
akan mampu menjaga atau meningkatkan kualitas
lingkungan hidup. Kondisi yang tidak diharapkan
adalah kuadran II: kapasitas dan kualitas berkorelasi
positif namun negatif.
Sedangkan kuadran I dan III adalah anomali.
Kapasitasnya rendah, namun kualitas lingkungan hidup
tinggi atau sebaliknya. Kuadran I dapat terjadi karena
tekanan terhadap lingkungan—aktivitas manusia dan
pembangunan yang tak ramah lingkungan—belum
terlalu besar. Hal yang sebaliknya adalah kuadran
III: tekanan sangat besar, sementara kapasitas yang
sudah relatif besar, belum mampu memulihkan atau
menjaga kualitas lingkungan.
Agar lebih terang dapat dilihat pada Gambar 3,
Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) versus
Kualitas Lingkungan Hidup (LH).
l Kualitas Lingkungan Hidup
Tinggi
l Kapasitas Pengelolaan
Lingkungan HidupTinggi
l Kualitas Lingkungan Hidup
Rendah
l Kapasitas Pengelolaan
Lingkungan HidupTinggi
l Kualitas Lingkungan Hidup
Tinggi
l Kapasitas Pengelolaan Lingkun-
gan Hidup Rendah
l Kualitas Lingkungan Hidup
Rendah
l Kapasitas Pengelolaan
Lingkungan Hidup Rendah
KapasitasPengelolaanLing-
kunganHidupTinggi
Kualitas Lingkungan
Hidup Rendah
KapasitasPengelolaanLing-
kunganHidup
Rendah
Kualitas Lingkungan
Hidup Tinggi
I
II
IV
III
Gambar 3. Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup vs Kualitas Lingkungan Hidup.
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
25. 7
“Kondisi lingkungan hidup mengkaji kondisi lingkungan yang
mencakup komponen udara, air, hutan, lahan, pesisir-laut dan
keanekaragaman hayati. Perubahan kondisi lingkungan hidup
tersebut dapat ditinjau dalam kurun waktu tertentu sehingga bisa
diketahui kecenderungan (trend) maupun kondisi terkini.”
26. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
8
Komponen lingkungan itu menjadi modal utama
pembangunan, yang juga mempengaruhi tingkat
kualitas hidup manusia. Udara yang tercemar, akses
atas air bersih, dan sanitasi yang tak layak, jelas
mempunyai dampak negatif bagi kesehatan manusia.
Sementara itu, hutan dan lahan punya efek pada
siklus hidrologi yang menentukan daya dukung dan
daya tampung daerah aliran sungai. Tidak dapat
dihindari, rusaknya hutan dan lahan membuat banjir
dan kekeringan sering terjadi. Dampaknya akan kian
membesar: mengancam kelestarian keanekaragaman
hayati, yang bisa memicu kerawanan pangan.
Cadangan lain bagi kesejahteraan masyarakat,
berada di pesisir dan laut yang juga memiliki banyak
keanekaragaman hayati, yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Keanekaragaman hayati yang
berlimpah berarti memperkaya sumber pangan,
papan dan obat-obatan. Selain menentukan derajat
kesejahteraan, pesisir dan laut, turut menyumbang
asupan nutrisi dan protein.
Dengan keanekaragaman hayati yang melimpah,
Indonesia seharusnya bangga dan mempunyai
kesadaran untuk menanggung tanggung jawab besar.
Sampai pada saat ini, para pakar meyakini masih banyak
keanekaragaman hayati yang belum dikenal ilmu
pengetahuan. Status kelangkaan atau keterancaman
flora dan fauna menjadi indikator penting status
lingkungan hidup.
Harimau putih
Foto: Bhisma.
27. 9
UDARA
Dari waktu ke waktu, pemakaian energi fosil di
Indonesia menunjukan tren yang terus meningkat
di semua sektor (Gambar 2.1.) Selama 1990 – 2009,
meningkatnya konsumsi energi pada sektor domestik
misalnya, karena meningkatnya populasi manusia
(lihat Bab 5). Hanya saja, pemakaian energi di sektor
ini tidak terlalu besar dibandingkan sektor industri
dan transportasi.
Tanpa disadari, dominasi pemakaian bahan bakar
fosil, dibandingkan energi ramah lingkungan,
berpengaruh besar terhadap kualitas udara, terutama
di metropolitan dan kota besar (SLHI 2010, hal. 39).
Dapat dilihat pada data Badan Pusat Statistik yang
mencatat konsumsi minyak meningkat dari 99 MBOE
(Million Barel Oil Equivalent) pada 1992, menjadi 186
MBOE pada 2003 (BPS, 2012).
Gambar 2.1 Konsumsi energi di Indonesia tahun 1990 – 2009 dari berbagai sektor
700
600
500
400
300
200
100
0
0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
-
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Industri
JutaSBM
SBM/JutaRp
Rumah Tangga
komersial Transportasi
PKP dan Lain-Lain Intensitas SBM/Juta Rp
Polusi udara akibat dari bertambahnya jumlah kendaraan bermotor.
Foto: Dok. Kementerian Lingkungan Hidup
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
28. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
10
Transportasi menjadi salah satu sektor yang paling
banyak menggunakan bahan bakar fosil. Sektor
ini terus menunjukkan tren naik di semua jenis
transportasi: darat, udara dan air (SLHI 2010, hal. 44-
45). Peningkatan terpesat ada pada transportasi darat,
dengan kenaikan total kendaraan bermotor berkisar 10
persen (BPS, 2012). Dari berbagai kategori kendaraan
bermotor, jumlah sepeda motor meningkat tinggi.
Fakta ini terjadi merata hampir di seluruh provinsi
(lihat Gambar 2.2a dan Gambar 2.2b).
Dampak dari pemakaian energi fosil, mempengaruhi
kualitas udara. Pencemar udara yang umum dihasilkan
dari proses pembakaran, termasuk bahan bakar fosil,
adalah Nitrogen oksida (NOx), Karbon monoksida (CO),
Sulfur dioksida (SO2
), debu diameter 10 mikron dan 2,5
mikron ke bawah (PM10
dan PM2,5
), dan hidrokarbon
(HC). Proses-proses lain dapat menghasilkan pencemar,
seperti H2
S dan NH3
, logam berat, aerosol dan gas
sekunder, seperti ozon (O3
).
Gambar 2.2 Tren peningkatan jumlah kendaraan bermotor (darat) nasional
untuk kategori (a) mobil, truk dan bus, (b) sepeda motor
Sumber: diolah dari data Polri dalam Statistik Indonesia 2012
(A)
(B)
29. 11
Untukmemeriksakualitasudara,dilakukanpemantauan
dengan berbagai teknik. Seperti pemantauan
kontinyu otomatis di 10 kota pada jaringan Air Quality
Management System (AQMS), pemantauan dengan
metode manual aktif untuk evaluasi kualitas udara
secara ad-hoc di sejumlah tempat sesuai peraturan
yang berlaku, serta pemantauan secara pasif dengan
passive sampler.
Pemantauan secara pasif merupakan metode murah
dan tidak rumit, sehingga cocok untuk monitoring
jangka panjang di banyak tempat untuk melihat variasi
spasial. Pemantauan pasif ini dilakukan Kementerian
Lingkungan Hidup sejak 2005, untuk parameter
NO2
dan SO2
di 33 ibukota provinsi. Tujuannya:
mendapatkan tren kualitas udara secara umum. Mulai
2011, untuk mendapat variasi spasial nasional yang
lebih baik, pemantauan NO2
dan SO2
dengan metode
ini diperluas di 248 kabupaten.
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
(A)
(B)
Gambar 2.3 Tren rata-rata tahunan pengukuran metode pasif (a) NO2
; (b) SO2
di 33 ibukota provinsi
30. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
12
Hingga kini, pemantauan secara pasif telah dilakukan
empat kali setahun, dengan durasi satu minggu setiap
pengamatan. Di setiap kabupaten/kota ditetapkan
empat titik pemantauan berdasarkan tata guna lahan:
jalan (transportasi), wilayah industri, pemukiman
dan wilayah komersial. Kelebihan metode ini adalah
kemampuannya memberikan informasi dengan resolusi
spasial yang tinggi dengan biaya rendah, sehingga cocok
untuk membandingkan konsentrasi antar-wilayah—
antar-kabupaten/kota, 400 lebih lokasi. Pembandingan
dengan baku mutu dapat dilakukan dengan baku mutu
jangka panjang, dengan syarat nilai rata-ratanya dapat
mewakili konsentrasi rata-rata tahunan.
Secara kualitatif, data dari 33 ibukota provinsi
selama 2006 – 2012 menunjukkan konsentrasi NO2
cenderung naik (Gambar 2.3a). Hal itu mungkin karena
pembakaran bahan bakar fosil yang terus meningkat,
terutama dari kendaraan bermotor. Hal ini dapat
dilihat pada penjelasan berikutnya (Gambar 2.4).
Pada parameter SO2
, tren kenaikannya belum terlihat,
justruterlihatmenurun(Gambar2.3b),walaupunsecara
statistik pemakaian batubara dan solar meningkat.
Penyebab fenomena ini, selain terkait dengan emisi,
juga adanya konversi fisik-kimia gas SO2
di atmosfer
menjadi aerosol sulfat (SO4
) yang tidak terdeteksi oleh
pemantau gas, termasuk oleh passive sampler yang
mempunyai prinsip difusi gas. Hal itu dapat dideteksi
dari adanya sulfat dalam air hujan maupun partikel
aerosol.
Selain pembandingan kualitas udara antar-kota/
kabupaten secara umum, pemantauan pasif juga
memberi informasi perbandingan relatif kualitas
udara tiap tata guna lahan yang dipantau. Gambar 2.4.
menyajikan kota-kota yang padat penduduk punya
konsentrasi NO2
lebih besar. Sedangkan kota dengan
aktivitas industri menunjukkan konsentrasi SO2
relatif
tinggi dibandingkan kota-kota lainnya.
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Gambar 2.4 Sebaran konsentrasi rata-rata NO2
dan SO2
di 248 kota/kabupaten di Indonesia
31. 13
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Gambar 2.5 Konsentrasi SO2
dan NO2
dari sektor transportasi tahun 2011
Gambar 2.6 Konsentrasi SO2
dan NO2
dari sektor pemukiman tahun 2011
32. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
14
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Gambar 2.7 Konsentrasi SO2
dan NO2
dari sektor komersial tahun 2011
Gambar 2.8 Konsentrasi SO2
dan NO2
dari sektor industri tahun 2011
34. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
16
Balikpapan
BandarLampung
Bandung
Banjarmasin
Bekasi
Bogor
Denpasar
Depok
JakartaBarat
JakartaPusat
JakartaSelatan
JakartaTimur
JakartaUtara
KotaBatam
Makasar
Malang
Medan
Padang
Palembang
Pekanbaru
Samarinda
Semarang
Surabaya
Surakarta
Tangerang
Yogyakarta
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Gambar 2.13 Konsentrasi road side monitoring SO2
tahun 2011-2012
2011 2012 Baku Mutu SO2
KonsentrasiSO2
(ug/Nm3
)
K o t a
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Balikpapan
BandarLampung
Bandung
Banjarmasin
Bekasi
Bogor
Denpasar
Depok
JakartaBarat
JakartaPusat
JakartaSelatan
JakartaTimur
JakartaUtara
KotaBatam
Makasar
Malang
Medan
Padang
Palembang
Pekanbaru
Samarinda
Semarang
Surabaya
Surakarta
Tangerang
Yogyakarta
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
2011 2012 Baku Mutu TSP
KonsentrasiTSP(ug/Nm3
)
Gambar 2.12 Konsentrasi road side monitoring TSP tahun 2011-2012
K o t a
36. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
18
Pemantauan kualitas udara juga dilakukan melalui
Program Langit Biru dengan Evaluasi Kualitas Udara
Perkotaan (EKUP). Salah satu kegiatan EKUP: memantau
kualitas udara yang bersumber dari transportasi
kendaraanbermotor(roadsidemonitoring).Berdasarkan
kategori kota, tiga kota metropolitan dengan nilai
Langit Biru tertinggi adalah: Tangerang, Jakarta
Selatan, dan Medan; untuk kota besar: Kota Batam,
Denpasar, dan Manado; serta untuk kota sedang dan
kecil: Serang, Manokwari, dan Mataram.
EKUP telah digelar pada 2007 – 2008 dan 2011 - 2012.
Jumlah kota yang dievaluasi pada 2012 mencapai
45 kota di 33 provinsi, meningkat dari 26 kota pada
2011—yang juga dievaluasi kembali pada 2012. Hasil
uji emisi kendaraan bermotor menunjukkan naiknya
tingkat kelulusan rerata untuk kendaraan bensin: dari
85 persen pada 2011, menjadi 88 persen pada 2012.
Namun, untuk kendaraan solar, tingkat kelulusan
rerata menurun: 47 persen pada 2011, menjadi 43
persen pada 2012.
Pengukuran kualitas udara di jalan raya meliputi
parameter Karbon monoksida (CO), hidrokarbon
(HC), SO2
, TSP, Ozon, dan Nitrogen dioksida (NO2
).
Dibandingkan hasil pemantauan pada 2011 di 22 kota,
konsentrasi CO cenderung menurun, kecuali di empat
kota (Gambar 2.10). Namun, konsentrasi NO2
terjadi
sebaliknya, cenderung meningkat pada 2011 dan 2012
(Gambar 2.11). Kecenderungan serupa juga terjadi
untuk konsentrasi TSP (Gambar 2.12) dan SO2
(Gambar
2.13). Sementara itu, hidrokarbon telah melebihi
baku mutu di 8 kota, walaupun cenderung menurun
dibandingkan pada 2011 (Gambar 2.14). Penurunan
juga terjadi untuk parameter ozon (Gambar 2.15).
Pemantauan udara jalan raya sejumlah kota besar
pada 2012 memberikan informasi beberapa pencemar
udara meningkat. Hal ini berarti kualitas udara
menurun, yang berdampak buruk bagi kesehatan,
pertumbuhan hutan, mengurangi jarak pandang, dan
merusak bangunan—karena hujan asam.
Selain menimbulkan asap hitam, bau tidak sedap, iritasi
mata dan infeksi pernafasan, pencemaran udara juga
memicu risiko kematian dini, produktivitas kerja menurun,
dan gangguan produksi pertanian. Dapat dilihat pada
studi Asian Development Bank (ADB) pada 2002 yang
mengidentifikasikan, dampak kesehatan karena udara
tercemar di Jakarta menelan biaya Rp 1,8 triliun.
Di beberapa provinsi dan kota besar, kendaraan
bermotor menjadi penyumbang terbesar konsentrasi
NO2
, SO2
dan CO di udara, hingga melebihi 50 persen.
Jika gas NO2
terhirup, akan merusak paru-paru. Jika
bereaksi dengan asap bensin yang tidak terbakar
sempurna dan zat hidrokarbon lain, NO2
akan
membentuk ozon rendah atau smog—kabut coklat
kemerahan yang telah menyelimuti beberapa kota
lain di dunia.
Risiko lain adalah particulate matter (PM), yang
mempunyai pengaruh lebih besar bagi manusia
dibandingkan pencemar udara lain. Komponen utama
Tabel 2.1 Pemantauan PM10 dan PM2,5 di 10 Kota Indonesia Tahun 2012
Lokasi Pemantauan
Rata-rata PM10
(µg/m3
)
Rata-rata PM2,5
(µg/m3
)
N
Periode
Pemantauan 2012
1. Yogyakarta 23.63 10.33 50 Jan – Des
2. Semarang 29.91 9.28 30 Mar – Des
3. Surabaya 51.14 19.66 13 Mar – Jun, Sep, Okt
4. Palangkaraya 27.63 11.87 52 Jan – Des
5. Pekanbaru 49.92 18.63 42 Mar - Des
6. Bandung 43.89 17.21 52 Jan – Des
7. Jakarta 51.14 19.72 30 Jan – Des
8. Tangerang 27.64 11.56 42 Jan – Des
9. Denpasar 43.65 15.31 10 Sep – Nov
10. Makassar 24.33 7.69 17 Okt – Des
Baku Mutu Udara Ambien PP No. 41 tahun 1999:
Waktu Pengukuran 24 jam PM10 = 150 µg/m3.
Waktu Pengukuran 24 jam PM2,5 = 65 µg/m3; 1 tahun = 15 µg/m3
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
37. 19
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Gambar 2.16 Konsentrasi rata-rata PM10
dan PM 2,5
di sepuluh kota Indonesia tahun 2012
Konsentrasi(ug/m3
)
60
50
40
30
20
10
0
Yogyakarta
Semarang
Surabaya
Palangkaraya
Pekanbaru
Bandung
Jakarta
Tangerang
Denpasar
Makasar
PM 2,5
PM 10
BM PM 2,5
PM adalah sulfat, nitrat, amonia, natrium klorida,
karbon, debu mineral dan air. Particulate matter
terdiri dari campuran yang kompleks antara partikel
padat dan cair dari bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi di udara. Beberapa penelitian
menunjukkan, lebih banyak kematian karena PM2,5
(PM
di bawah 2,5 µm) dibandingkan PM10
(PM di bawah 10
µm). Namun, partikel antara 2,5 – 10 µm juga berisiko,
jika dikaitkan dengan asma dan infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA).
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara telah menetapkan
baku mutu untuk PM10
dan PM2,5
. Kementerian
Lingkungan Hidup telah memantau udara secara
kontinyu (AQMS), termasuk particulate matter, di 10
kota. Namun hanya tiga kota yang aktif, yaitu Jakarta,
Surabaya, dan Palangkaraya (KLH, 2011). Mulai 2012
juga dilakukan pemantauan dengan GENT Stacked
Filter Unit Sampler untuk pengukuran PM10
dan PM2,5
.
Yogyakarta
Semarang
Surabya
Palangkaraya
Pekanbaru
Bandung
Jakarta
Tangerang
Denpasar
Makasar
Na Mg AI K Ca Ti V Cr Mn Fe Co Ni Cu Zn As Pb Sb
700
600
500
400
300
200
100
0
Konsentrasi(ug/m3
)
Gambar 2.17 Kandungan logam berat (ng/m3
) dalam PM tahun 2012
38. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
20
Konsentrasi PM2,5
tahunan yang melebihi baku mutu
terlihat di Surabaya, Pekanbaru, Bandung, dan Jakarta.
Rasio PM2,5
terhadap PM10
berkisar antara 0,3 sampai
0,48. Jika mengacu pada WHO Air Quality Guidelines
2005, rekomendasi untuk waktu pengukuran 24
jam PM10
adalah 50 µg/m3
dan 1 tahun sebesar 20
µg/m3
. Sedangkan untuk waktu pengukuran 24
jam PM2,5
sebesar 25 µg/m3
dan 1 tahun sebesar 10
µg/m3
. Kualitas udara di kota-kota tersebut perlu
mendapatkan perhatian.
Filter juga digunakan untuk menganalisis kandungan
hampir 20 unsur logam dalam PM. Emisi sumber
bergerak adalah faktor utama yang berkontribusi
terhadap Fe dan Zn di perkotaan. Fe juga dapat berasal
dari resuspensi debu alami. Untuk parameter timbal
(Pb), dibandingkan kota-kota lain, Surabaya terdeteksi
memiliki kadar Pb tertinggi, diikuti Tangerang dan
Jakarta. Kondisi itu berasal dari emisi industri,
sedangkan Na, Al, K, dan Ca berasal dari tanah.
Calon pengguna angkutan umum menutup hidungnya dari polusi (asap) kendaraan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta
Foto: TEMPO/ Arie Basuki
39. 21
Hujan Asam/Deposisi Asam
“Hujan asam”adalah istilah umum untuk menjelaskan
berbagai cara senyawa asam jatuh dari atmosfer.
Istilah yang lebih tepat adalah “deposisi asam”, yang
terdiri dari deposisi basah dan deposisi kering.
Deposisi asam terjadi ketika emisi SO2
dan NOx di
udara bereaksi dengan air, O2
, dan oksidan sehingga
terbentuk senyawa asam yang jatuh ke Bumi dalam
bentuk kering (gas, partikel) maupun basah (hujan,
salju, kabut). pH air hujan normal berkisar 5,6
sehingga di bawah nilai itu berpotensi terjadi hujan
asam. Hujan asam terjadi bila pH di bawah 4,5.
Deposisi asam tidak hanya menjadi masalah lokal,
tetapi regional karena melampaui batas nasional
(transboundary atmospheric pollution). Acid
Deposition Monitoring Network in East Asia (EANET)
didirikan sebagai inisiatif kerja sama regional,
Indonesia menjadi salah satu anggota yang aktif
sejak 1998. Ada lima lokasi di Indonesia yang menjadi
bagian kerja sama ini: Jakarta, Serpong, Kototabang,
Bandung, dan Maros. Sepanjang 2001 – 2011, pH
rata-rata air hujan di lima lokasi itu cenderung di
bawah air hujan normal (pH 5,6) dan beberapa justru
mendekati 4. Terlihat potensi terjadinya hujan asam.
Hal itu diperkuat dengan meningkatnya anion sulfat
dan nitrat dalam air hujan, yang merupakan prekursor
hujan asam.
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jakarta
Serpong
Kotota-
bang
Bandung
Maros
Tahun
KonsentrasiSulfat(mg/L)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jakarta
Serpong
Kototabang
Bandung
Maros
Tahun
KonsentrasiNitrat(mg/L)
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
Gambar 2.18 Konsentrasi Sulfat (µmol/L)air hujan rata-rata tahunan, 2001-2011
Gambar 2.19 Konsentrasi nitrat (µmol/l) air hujan rata-rata tahunan, 2001-2011
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
40. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
22
Deposisi asam dapat menyebabkan tanah dan
badan air menjadi asam, sehingga tidak layak untuk
kehidupan ikan dan hewan liar. Selain itu, dapat
merusak pepohonan—terutama pada elevasi tinggi,
merusak bangunan, monumen dan benda bersejarah.
Deposisi asam dapat berdampak global, yang dapat
mengganggu keseimbangan ekosistem, antara lain:
• Keasaman air danau membuat berkurangnya
spesies tertentu. Jenis plankton dan invertebrata
adalah makhluk yang paling cepat terpengaruh
pengasaman. Jika pH danau di bawah 5, lebih
dari 75 persen spesies ikan akan hilang karena
pengaruh rantai makanan. Hal ini berdampak pada
kelangsungan ekosistem.
• Deposisi asam akan menghilangkan nutrisi yang
dibutuhkan tanah. Deposisi asam juga dapat
membebaskan senyawa beracun alamiah dalam
tanah—seperti aluminium dan merkuri. Akibatnya,
sungai, air tanah, dan tumbuhan di sekitarnya akan
teracuni.
• Deposisi asam yang larut bersama nutrisi
tanah akan menghilangkan nutrisi itu sebelum
dimanfaatkan pepohonan untuk tumbuh.
Sementara senyawa beracun yang larut akan
menghambat pertumbuhan, daun cepat gugur,
pohon terserang penyakit, kekeringan dan mati.
Menurut Soemarmoto (1992), daun yang terkena
deposisi asam berkadar magnesium rendah—salah
satu nutrisi esensial bagi tanaman. Kekurangan
magnesium lantaran unsur ini tercuci dari tanah
karena pH yang rendah.
• Karena rentan perubahan ekstrim, spesies hewan
renik dalam tanah akan langsung mati pada
saat pH tanah meningkat. Spesies hewan lain
juga terancam mati, karena jumlah produsen
(tumbuhan) semakin sedikit. Berbagai penyakit
juga akan menyerang, karena kulit hewan terpapar
air asam.
• Berdasarkan penelitian, SO2
dari hujan asam dapat
bereaksi kimia di udara, yang menyebabkan
penyakit pernapasan. Selain itu, risiko terkena
kanker kulit juga meningkat, jika kulit terpapar
langsung dengan senyawa sulfat dan nitrat.
• Deposisi asam dapat mempercepat proses
pengaratan dari beberapa material, seperti batu
kapur, pasir besi, marmer, batu pada dinding beton
dan logam. Hujan asam merusak batuan dengan
melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan
kristal pada batuan.
• Deposisi asam, baik basah maupun kering, dapat
merusak bangunan, patung, kendaraan bermotor
dan benda dari batu, logam atau material lain bila
diletakkan di area terbuka dalam waktu lama.
Gambar 2.20. foto dampak deposisi asam Foto: Istimewa
41. 23
AIR
Ada tiga masalah klasik air yang disebut 3T: too much,
too little, too dirty. Too much berarti di suatu tempat,
air terlalu berlebih. Too little berarti di suatu tempat,
air sangat kurang. Dan too dirty yang berarti air terlalu
kotor. Hal terakhir menunjukkan adanya polusi air
karena kebiasaan membuang sampah dan limbah
industri ke badan air (Kodoatie R.J, 2011).
Secara global, pencemaran air berasal dari limbah
cair domestik dan industri tidak dikelola, sampah
domestik, pemakaian air berlebihan, dan penataan
fungsi lahan yang tidak baik. Ini diperparah dengan
30 persen masyarakat yang masih buang air besar
sembarangan di badan air. Setiap hari sekitar 14.000
ton tinja manusia belum dikelola dengan benar.
Sehingga berdampak pada kualitas air yang menurun.
Tidak hanya itu, ketersediaan air juga terganggu,
akibat alih fungsi lahan yang meningkatkan aliran
permukaan (run-off) di kawasan hilir, yang berpotensi
menimbulkan banjir.
Antara 2006 sampai 2011, secara nasional persentase
rumah yang dilengkapi tangki septik meningkat dari
40,67 persen menjadi 60,33 persen. Pada 2011, DKI
Jakarta menjadi provinsi tertinggi dengan jumlah
rumah dengan tangki septik, yakni 93,90 persen.
Sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah
Papua: 28,42 persen (BPS, Indikator Pembangunan
Berkelanjutan 2012).
Kualitas air yang buruk dan ganjilnya siklus hidrologi,
berpotensi mengganggu kesehatan, seperti terlihat
pada gambar 2.21 Penyakit diare misalnya, identik
dengankualitasairyangburuk,kurangnyaketersediaan
air bersih, dan diperburuk dengan perilaku tidak
higienis.
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
2,44
2,16
1,89
2,94
1,74
0,4
2,12
Gambar 2.21 Case fatality rate KLB diare di Indonesia tahun 2005-2012
Sumber: Kementerian Kesehatan, 2012
1,74
42. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
24
Kualitas Air Sungai
Sampai saat ini pencemaran air masih menjadi masalah
penting di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Tingkat
pencemaran air dievaluasi dengan metode Storet.
Metode ini merupakan salah satu metode untuk
menganalisis status pencemaran air yang diterapkan
di Indonesia. Gambar 2.22 menyajikan meningkatnya
persentase titik pantau dengan status tercemar berat
selama 2008 – 2012. Hal ini berarti perlindungan dan
pemulihan kualitas air sungai-sungai utama, khususnya
di perkotaan, belum berhasil.
Hasil pemantauan 2008 – 2012 tersebut menunjukkan
kualitas air sungai cenderung menurun, terutama
di Pulau Jawa dan Sumatera, seperti terlihat pada
gambar 2.23 Sumber utama pencemar berasal dari
aktivitas domestik, yang terlihat dari parameter
organik (proporsi BOD/COD dan kandungan Coliform)
terutama di Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sumatera
Utara—terlihat pada gambar 2.24 Kualitas air sungai
sebagian besar provinsi memiliki nilai kandungan
organik melebihi baku mutu (diwakili parameter
COD), yaitu sebesar 25 mg/l—berdasarkan PP Nomor
82/2001. Nilai organik tertinggi terpantau di Jawa
Barat. Hal ini berkaitan dengan tingkat sanitasi rendah.
Meskipun begitu, persentase mutu air cemar berat
sudah berkurang dari 82 persen pada 2011, menjadi
75,2 persen pada 2012—terlihat pada gambar 2.25.
Khusus Pulau Jawa, terlihat ada tendensi menurunnya
kualitas air dari perindustrian. Sumber pencemar dari
pertanian belum bisa diidentifikasi karena monitoring
rutin pencemar spesifik sektor ini belum dilakukan.
Gambar 2.22 Persentase titik pantau air sungai di Indonesia dengan
status tercemar berat berdasarkan Kriteria mutu Air Kelas II PP 82 Tahun 2001
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Persen%
2008 2009 2010 2011 2012
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Foto: Indarto
43. 25
Keterangan: Tulisan provinsi warna hijau menunjukan kualitas air sungai yang membaik, tulisan provinsi warna putih menunjukan
kualitas air sungai tetap, sedangkan tulisan provinsi warna merah menunjukan kualitas air sungai menurun.
Gambar. 2.23 Penurunan Kualitas Sungai di Indonesia (peta 2008 ).
Gambar. 2.23 Penurunan Kualitas Sungai di Indonesia (peta 2012 ).
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
44. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
26
Penurunan Beban Pencemaran
Pengawasan secara intensif melalui Program Peringkat
Kinerja Perusahaan (PROPER) dan sistem perizinan telah
berhasil menurunkan beban pencemaran lingkungan.
Selama 2010 – 2012 beban pencemaran air yang bisa
diturunkan dari industri mencapai 19.885.997.416 kg
atau 52,3 persen dari total air limbah organik industri.
Sementara untuk emisi gas rumah kaca dari industri,
telah berhasil menurunkan beban pencemaran sebesar
51.019.189 kg-setara-CO2
atau sebesar 1,32 persen.
Tantangan terbesar adalah mengurangi pencemaran
dari rumah tangga, yang baru berhasil menurunkan
139.693.010 kg atau 5,4 persen dari total beban yang
dihasilkan setiap hari. Termasuk beban pencemaran
dari pertanian, seiring makin banyaknya pemakaian
pupuk dan pestisida.
Gambar 2.24 Sebaran nilai rasio BOD/COD dan nilai
pencemar organik berdasarkan provinsi
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Parameter
70
60
50
40
30
20
10
00
2008
2009
2010
2011
2012
pH
TDS
TSS
DO
BOD
COD
NO2
NO3
T-P
Fenol
Minyak&Lemak
Detergen
KlorinBebas
H2S
FecalColi
TotalColi
Persen%
Gambar 2.25 Persentase parameter kualitas air 2008-2012 yang tidak memenuhi Kriteria Mutu Air Kelas II PP 82/2001
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
45. 27
Kualitas Air Danau
Pemantauan kualitas air di 15 danau utama pada 2011
menunjukkan, sebagian besar masuk dalam kategori
eutrof, kondisi terestrial daerah tangkapan air
terancam, dan kondisi sempadan danau terancam—
lihat tabel 2.2.
Pada 2012, pemantauan di lima danau, terdapat
dua danau, Danau Batur dan Danau Singkarak, yang
menunjukkan sedikit perbaikan, seperti terlihat pada
tabel 2.3.
Eutrofikasi disebabkan peningkatan kadar unsur
hara, terutama Nitrogen dan Fosfor pada air danau
ataupun waduk. Kondisi Oligotrof adalah status trofik
air danau atau waduk yang mengandung kadar unsur
hara rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih
bersifat alamiah, belum tercemar Nitrogen dan Fosfor.
Sementara itu, Eutrof adalah status air danau atau
waduk yang memiliki kadar unsur hara yang tinggi.
Status ini menunjukkan air telah tercemar karena
naiknya kadar Nitrogen dan Fosfor. Status terakhir,
Hypereutrof adalah status trofik air danau atau waduk
yang mengandung kadar unsur hara sangat tinggi.
Artinya, air telah tercemar berat kadar Nitrogen dan
Fosfor—dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.3 Status trofik dan kualitas air danau
No. Danau Status Trofik Kualitas Air
1
Danau Toba
Cemar Ringan- Berdasarkan Total P Eutrof
- Berdasarkan Total N Oligotrof
- Berdasarkan rata-rata Klhorofil Eutrof
2
Danau Tempe
Cemar Berat
- Berdasarkan Total P Hypertrof
- Berdasarkan Total N Oligotrof
3 Danau Batur Mesotrofik Cemar Ringan
4
Danau Singkarak
Cemar
- Berdasarkan Total N dan P (inlet) Eutrofik
- Berdasarkan Total N dan P (tengah) Mesotrofik
5
Danau Kerinci
Cemar Ringan
- Berdasarkan Total N dan P Eutrof
Tabel 2.2 Status Ekosistem 15 Danau 2011
No. Nama Danau
Status Ekosistem
Terestrial Daerah
Tangkapan Air Sempadan Danau Status Trofik
(Perariran Danau)
1. Toba Terancam Terancam Eutrof
2. Singkarak Terancam Terancam Eutrof
3. Maninjau Rusak Rusak Hypereutrof
4. Kerinci Terancam Terancam Eutrof
5. Rawa Danau Terancam Terancam Eutrof
6. Rawa Pening Rusak Rusak Hypereutrof
7. Batur Terancam Terancam Eutrof
8. Tempe Rusak Rusak Eutrof
9. Matano Terancam Terancam Oligotrofik
10. Poso Terancam Terancam Eutrof
11. Tondano Rusak Rusak Eutrof
12. Limboto Rusak Rusak Eutrof
13. Mahakam (Semayang, Melintang,Jempang) Terancam Terancam Eutrof
14. Sentarum Rusak Terancam Eutrof
15. Sentani Terancam Terancam Eutrof
Sumber: Data diolah Kementerian Lingkungan Hidup (2011)
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
46. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
28
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup 2009, Modifikasi OECD 1982, MAB 1989; UNEP-ILEC, 2001
Berbagai Danau dengan Status Trofiknya
Danau Toba memiliki luas permukaan 1.124 km2
(112.400 hektar) dengan panjang tepi danau sekitar
428,7 km; panjang dan lebar maksimum danau:
50,2 km dan 26,8 km. Total luas daerah tangkapan
air (DTA) adalah 186.720.121 m2
. Pencemar danau
ini bersumber dari aktivitas domestik, peternakan,
pertanian, kehutanan, dan perikanan. Penyumbang
utama pencemar Nitrogen dan Fosfor adalah
budidaya perikanan, peternakan dan domestik.
Status trofik Danau Toba, berdasarkan kadar rata-
rata Khlorofil-a, adalah Eutrof sampai Hipereutrof.
Danau Batur terletak di kaki Gunung Batur, Bali.
Danau terbesar di pulau Bali ini terbentuk dari
kawah besar akibat letusan Gunung Batur ribuan
tahun lalu. Air danau mengalir ke hampir seluruh
sungai besar di Bali, seperti Sungai Unda di Bali
Selatan; Sungai Suni di Bali Barat; dan Sungai
Bayumala di Bali Utara.
Berdasarkan analisis beberapa parameter kualitas
air dengan status mutu kelas 1, terlihat beban
pencemaran di Danau Batur tergolong ringan.
Hal ini terlihat dari hasil perhitungan Indeks
Pencemaran (IP) yang menunjukkan angka rata-
rata 1,806. Status trofik Danau Batur menunjukkan
status Mesotrof – Eutrof, dengan konsentrasi Fosfat:
79 µg/l dan kandungan Khlorofil-a: 3,2–7,1 µg/l.
Danau Kerinci terletak di Kerinci, Jambi, seluas
5.000 m2
dengan ketinggian 783 m dpl, di kaki
Gunung Raja. Analisis beberapa parameter kualitas
air dengan status mutu kelas 2 menunjukkan beban
pencemaran Danau Kerinci tergolong ringan. Hal ini
terlihat dari hasil perhitungan Indeks Pencemaran
(IP) dengan parameter-parameter BOD, H2
S dan NO2
.
Danau Kerinci berstatus Eutrof, dengan kadar total
Fosfat sebesar 45-57 µg/l; tingkat kecerahan sebesar
1,5 m; dan kadar Khlorophyl-a sebesar 0,5- 4,0 µg/l.
Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau
Kerinci berdasarkan karakteristik morfometriknya
sebesar 55,13 ton Fosfat per tahun. Namun beban
pencemaran air pada saat ini telah melebihi nilai
DTBPA, diperkirakan sebesar 130 ton Fosfat per
tahun, bersumber dari aktivitas penduduk, pertanian
dan keramba jaring apung.
Danau Tempe di bagian barat Kabupaten Wajo,
Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Tempe,
sekitar 7 km dari Sengkang menuju tepi Sungai
Walanae. Danau seluas sekitar 13.000 hektar ini
terletak di atas lempeng benua Australia dan Asia.
Danau ini merupakan salah satu danau tektonik di
Indonesia. Sumber air danau berasal dari Sungai
Bila dan anak sungai Bulu Cenrana. Danau Tempe
mengalami pendangkalan akibat tingginya erosi
di bagian hulu. Hasil pengukuran kualitas air,
khususnya total Fosfat, pada 2012 menunjukkan
danau ini berstatus Hipertrofik.
Tabel 2.4 Kriteria Status Trofik Danau
Status Trofik
Kadar Rata-Rata
Total - N (ug/l)
Kadar Rata-Rata
Total - P (ug/l)
Kadar Rata-Rata
Klorofil-a (ug/l)
Kecerahan Rata-Rata
(m)
Oligotrof < 650 < 10 < 2.0 > 10
Mesotrof < 750 < 30 < 5.0 > 4
Eutrof < 1900 < 100 < 15 > 2.5
Hipereutrof > 1900 > 100 > 200 < 2.5
47. 29
Dampak Penurunan Kualitas Air
Hampir seluruh sungai utama di Indonesia mengalami
penurunan kualitas air, sehingga air sungai tak dapat
digunakan langsung sebagai sumber air bersih. Hal
tersebutmembuatjumlahpendudukyangtidakmampu
mendapatkan air bersih cukup besar, yaitu sekitar 119
juta. Sedangkan, sebagian besar masyarakat yang
punya akses terhadap air bersih, memperolehnya dari
PDAM, penyalur air komersial dan sumur air dalam.
Di Kalimantan Barat misalnya, hasil Susenas 2011
menunjukkanhanya24persenrumahyangmemilikiakses
air bersih. Air bersih itu berupa air kemasan, air isi ulang,
air PDAM, sumur bor, sumur dan mata air terlindung—
jarak ke penampungan akhir tinja sekurangnya 10 meter.
Sementara di DKI Jakarta, penduduk yang memakai air
bersih untuk keperluan harian sudah mencapai 91,54
persen. Selama 2006 - 2011, persentase rumah tangga
yang memakai air bersih menunjukkan peningkatan, dari
49,69 persen pada 2006, menjadi 62,65 persen pada 2011
(BPS, Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2012).
Menurut survei tahunan BPS, volume air bersih yang
disalurkan perusahaan air bersih kepada pelanggan
pada 2006 sebesar 3,79 miliar m3
, sedangkan pada
2010 tersalurkan 2,44 miliar m3
. Total volume air
bersih terbesar yang disalurkan perusahaan air bersih
pada 2010 terdapat di DKI Jakarta (417,98 juta m3
)
dan Jawa Timur (368,92 juta m3
). Sedangkan distribusi
total volume terkecil terjadi di Bangka Belitung.
Jumlah pelanggan perusahaan air bersih juga masih
terbatas. Sebagai contoh, pada 2010 terdapat 9,57
juta pelanggan di Indonesia. Pelanggan perusahaan
air bersih terbanyak ada di Jawa Timur (1,53 juta
pelanggan), diikuti Jawa Barat (1,39 juta), dan DKI
Jakarta (1,20 juta) (BPS, Indikator Pembangunan
Berkelanjutan, 2012).
Gambar 2.26 menyajikan data akses terhadap air
minum layak di perkotaan dan perdesaan, yang masih
di bawah target MDGs. Dengan begitu, diperlukan
kerja serius dalam penyediaan sumber air bersih.
Sumber: Ditjen SDA, Kementeriaan Pekerjaan Umum, 2012
Target MDG’s
68,9 %
75,3 %
65,8 %
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Persentase
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
50,6
51,5
51,7
53,8
54,9
52,7
53,0
46,0
59,5
58,2
57,3
56,8
55,6
54,6
54,1
50,2
49,8
37,7
37,7
38,0
41,3
42,7
42,0
42,2
37,5
48,7
48,3
47,7
48,8
47,6
47,8
48,3
46,5
47,7
31,6
30,8
30,7
34,5
35,9
35,6
35,2
31,3
40,4
40,3
41,0
42,9
41,5
42,7
43,9
43,0
45,7
Gambar 2.26 Proporsi rumah tangga dengan akses
terhadap air minumlayak (perkotaan dan perdesaan)
Persentase + Perdesaan Urban + Rural
Perkotaan Urban
Perdesaan Rural
48. 30
Kuantitas Air
Ketersediaan air di Indonesia mencapai 16.800 m3
per kapita per tahun. Jumlah ini jauh lebih besar dari
ketersediaan air rata-rata di dunia, yang hanya 8.000
m3
per kapita per tahun (KLH, 2011). Pada saat ini,
ketersediaan air tidak tersebar merata, baik secara
spasial maupun temporal. Distribusi air di setiap pulau
tidak sebanding dengan sebaran jumlah penduduknya.
Kalimantan memiliki total potensi air terbesar, tetapi
populasinya sedikit. Sebaliknya, Pulau Jawa dengan
populasi yang besar memiliki total potensi air yang
kecil, terlihat pada gambar 2.27. Dengan kondisi
tersebut, Indonesia sering menghadapi masalah
ketersediaan air (Kementerian Pekerjaan Umum,
2012).
Menurut laporan Kelompok Kerja Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Indonesia, pada tahun 2000
ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750 m3
per kapita
setiap tahun. Angka itu akan terus menurun hingga
1.200 m3
per kapita setiap tahun pada 2020. Padahal,
standar kecukupan minimal sebanyak 2.000 m3
.
Gambar 2.28 menggambarkan ketersediaan air pada
musim hujan sangat banyak, terutama di Pulau
Sumatra, Kalimantan dan Papua; masing-masing
sebesar 384.744,40 m3
, 389.689,30 m3
dan 381.763,90
m3
. Sementara kebutuhan air di tiga pulau itu hanya
9.485,80 m3
di Sumatera; 2.505,80 m3
di Kalimantan;
dan di Papua hanya 117,10 m3
. Kebutuhan air
terbanyak terdapat di Pulau Jawa, yaitu 31.487,10 m3
(KLH, 2011).
Ketersediaan air berkaitan dengan tingkat curah hujan
di suatu kawasan. Gambar 2.29 menunjukkan tinggi
curah hujan tiap tahun untuk beberapa pulau. Curah
hujan tertinggi ada di Kalimantan dan Papua, sehingga
potensi airnya juga tinggi. Curah hujan rata-rata di
Indonesia 2.347 mm setiap tahun, dengan curah hujan
tertinggi di Papua sebesar 3.190 mm per tahun.
Potensi air setiap pulau merupakan hasil interaksi
antara air hujan, air tanah dan air permukaan. Jumlah
hujan yang menjadi air larian (run-off) jauh lebih
besar daripada air hujan yang masuk ke dalam tanah
(air tanah) dan aliran mantap (baseflow). Air hujan
yang menjadi aliran mantap hanya 4-30 persen dan
run-off sebesar 47-78 persen. Keadaan makin buruk
dengan keseimbangan massa air siklus hidrologis yang
terganggu: jumlah air yang masuk ke tanah semakin
kecil. Hal tersebut berarti jumlah air di permukaan
semakin besar. Akibatnya, meningkatkan potensi
banjir, longsor dan kekeringan (Kodoatie R. J, 2011).
Air tanah menjadi sumber air penting dan potensial
karena kapasitasnya paling besar, mencapai 30,61
persen, dibandingkan dengan sumber air tawar
lain (Dandel E, 2011). Sebagian besar masyarakat
di berbagai wilayah memanfaatkan air tawar yang
berasal dari air tanah. Potensi cekungan air tanah di
beberapa pulau cukup besar, dengan total 723.629 km2
dan kapasitas total cekungan: 308.288 m3
(Kodoatie
R. J, 2011). Tetapi karena kapasitasnya terbatas dan
pemakaiannya bertambah besar membuat air tanah
rusak. Dampaknya sangat besar bagi masyarakat
(Dandel E, 2011).
Tidak seperti air permukaan, pemulihan air tanah yang
menurun mutu dan jumlahnya, perlu keahlian tinggi,
mahal, dan waktu lama. Air tanah yang dimanfaatkan
tetapi mengabaikan kelestarian, akan berdampak
negative seperti degradasi air tanah yang merusak
lingkungan.
Kali Adem Sebelum Letusan Merapi
Foto: Arnold Parsaulian
49. 31
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2012
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
Gambar: 2.27 Potensi Air dan Ketersediaan Air per Kapita
Total : 3.221 milyar m3
/tahun 16,8 m3
/kapita/tahun
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Jawa
Bali &
Nusa Tenggara
Maluku
& Papua
738
18,4
1.008
98,8
247
18,3
187
1,6
60
5,5
981
251,5
Total Potensi
(milyar m3
/tahun)
Per Kapita
(1.000 m3
/kapita/tahun)
Gambar 2.28 Sumber daya air per pulau pada musim hujan
400.000,00
350.000,00
300.000,00
250.000,00
200.000,00
150.000,00
100.000,00
50.000,00
0,00
387.744,40
9.485,80
101.160,80
31.487,10
389.689,30
2.505,80
129.400,20
6.921,70
37.940,40
1.552,50
49.420,80
106,20
381.763,90
117,10
Sumatera Jawa & Bali Kalimantan Sulawesi NTT Maluku Papua
Ketersediaan
Kebutuhan
Gambar 2.29 Tinggi curah hujan di tiap pulau (mm/tahun)
3.500
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
2.820
2.680
2.120
1.440
1.200
2.990
2.340 2.370
3.190
2.347
Sumatera
Jawa
Bali
NTB
NTT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Rata-Rata
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
50. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
32
Dampak Perubahan Kuantitas Air
Selain kualitas air, ketersediaan jumlah air juga terkena
dampak aktivitas domestik dan industri. Khusus di
Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, jumlah daerah
aliran sungai (DAS) yang kritis bertambah cepat. Data
selama 1984 – 2005, menunjukkan jumlah DAS kritis
bertambah dari 22 menjadi 62—bertambah 3 kali
lipat. Pertambahan DAS kritis ini, dikarenakan alih
fungsi lahan di kawasan hulu menjadi area pertanian.
Penentuan DAS kritis, salah satunya didasarkan pada
rasio Q maks dan Q min. Di beberapa DAS, rasio ini
mencapai lebih dari 20. Beberapa gambaran DAS kritis
dapat dilihat pada gambar 2.32
Gambar 2.30 Sebaran DAS Kritis pada Tahun 1992
sebanyak 39 DAS Kritis
Sumber: Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian PU
Gambar 2.30 Sebaran DAS Kritis pada Tahun 1984
sebanyak 22 DAS Kritis
Gambar 2.30 Sebaran DAS Kritis pada Tahun 2005
sebanyak 62 DAS Kritis
51. 33
Banjir dan kekeringan karena DAS yang kritis
mengancam ketahanan pangan nasional. Hal ini terjadi
karena alih fungsi lahan irigasi teknis rata-rata 40.000
hektare per tahun. Dalam jangka 2001 – 2003, tercatat
610.590 hektar lahan irigasi teknis telah berubah
fungsi. Lahan itu juga sangat rawan kekeringan dan
banjir, karena dari 7,7 juta hektar lahan, hanya 0,8
juta hektar yang terjamin pasokan airnya dari waduk.
Sehingga, gagal panen di lahan-lahan pertanian sering
terjadi. Hampir setiap tahun kekeringan dan banjir
terjadi pada rata-rata 90.000 hektar lahan.
Banjir dan kualitas air buruk menyebabkan menurunnya
kesehatan masyarakat, ditambah tingkat cakupan
fasilitas sanitasi layak yang sangat rendah. Buruknya
sanitasi berdampak nyata: 1 dari 100 bayi yang lahir
meninggal karena diare. Di Indonesia, 2 juta lebih bayi
lahir setiap hari, yang berarti diare mengancam 20.000
bayi setiap tahun. Angka kematian bayi (AKB) adalah
salah satu indikator yang mencerminkan derajat
kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Tabel
2.5 memperlihatkan angka kematian bayi, jumlah
kematian, angka fertilitas total dan jumlah kelahiran
menurut provinsi di Indonesia pada 2011.
Gambar 2.32 Beberapa potret DAS kritis
1.000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010 2010/2011
JumlahTerjadinyaBanjir
Tahun
150
186 191
297
399
130
607
672
962
409
Gambar 2.31 Jumlah kejadian banjir di Indonesia
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2012
Foto : Kementerian Lingkungan Hidup
52. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
34
Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia 2005 - 2015, Badan Pusat Statistik
Tabel 2.5 Angka Kematian Bayi, Jumlah Kematian, Angka Fertilitas Total
dan Jumlah Kelahiran menurut Provinsi 2011
No PROVINSI Angka Kematian Bayi
Jumlah Kematian
(000)
Angka Fertilitas Total
Jumlah
Kelahiran (000)
1 NAD 30,50 27,00 2,30 93,60
2 Sumatera Utara 20,40 70,70 2,38 288,20
3 Sumatera Barat 23,20 31,10 2,35 98,40
4 Riau 20,00 22,00 2,28 108,00
5 Jambi 24,60 15,70 2,25 57,00
6 Sumatera Selatan 22,80 39,10 2,15 144,40
7 Bengkulu 25,40 9,40 2,15 32,50
8 Lampung 21,40 43,60 2,23 145,70
9 Bangka Belitung 24,20 7,00 2,14 21,10
10 Kepulauan Riau 19,30 6,30 2,28 46,60
11 DKI Jakarta 7,60 34,90 1,49 129,10
12 Jawa Barat 24,20 272,30 2,16 769,10
13 Jawa Tengah 18,00 248,10 1,97 516,40
14 DI Yogyakarta 7,70 26,30 1,38 39,60
15 Jawa Timur 21,20 298,70 1,65 476,40
16 Banten 28,90 57,90 2,27 206,60
17 Bali 11,90 23,70 1,64 46,30
18 NTB 38,00 29,70 2,33 96,00
19 NTT 27,20 30,20 2,66 114,10
20 Kalimantan Barat 25,40 24,00 2,36 94,60
21 Kalimantan Tengah 20,90 10,00 2,18 40,10
22 Kalimantan Selatan 30,10 22,60 2,13 65,50
23 Kalimantan Timur 14,80 13,50 2,18 61,80
24 Sulawesi Utara 9,40 13,30 1,88 33,20
25 Sulawesi Tengah 31,20 15,40 2,25 50,30
26 Sulawesi Selatan 24,20 51,70 2,22 159,30
27 Sulawesi Tenggara 25,60 11,70 2,49 51,70
28 Gorontalo 26,40 6,10 2,21 18,00
29 Sulawesi Barat 24,20 6,80 2,22 20,30
30 Maluku 28,60 8,40 2,62 31,80
31 Maluku Utara 29,70 5,50 2,58 22,70
32 Papua Barat 27,50 3,50 2,62 16,00
33 Papua 27,00 10,20 2,62 47,50
Dari Tabel 2.5. dapat dilihat AKB terbesar terdapat di
Nusa Tenggara Barat yaitu 38 kejadian, sedangkan angka
terendah di DKI Jakarta adalah 7,6 kejadian kematian
bayi sebelum usia setahun setiap seribu kelahiran hidup.
Sementara, jumlah penderita penyakit TB Paru di
masyarakat meningkat 33.000 kejadian. Tetapi kejadian
penyakit diare mengalami penurunan, walaupun masih
terbilang tinggi. Tabel 2.5. memperlihatkan jumlah
pasien TB Paru BTA positif dan Diare menurut provinsi
pada 2009 – 2010.
Perubahan lingkungan air juga mempengaruhi kejadian
penyakit bawaan vektor, seperti demam berdarah dengue
dan malaria. Di beberapa daerah penderita demam
berdarah dengue pada 2010 menurun dibandingkan
tahun 2009, tetapi di Bali danYogyakarta justru meningkat
cukup signifikan, seperti terlihat pada Tabel 2.6.
Kondisi sebaliknya terlihat pada jumlah penderita
malaria pada 2010 yang meningkat dibanding 2008
dan 2009. Peningkatan penderita malaria tertinggi
tercatat di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
53. 35
Tabel 2.6 Jumlah Pasien TB Paru Positif dan Diare
menurut Provinsi 2009 - 2010
No PROVINSI
TB Paru BTA Positif Diare
2009 2010 2009 2010
1 NAD 3.065 3.670 45 121
2 Sumatera Utara 13.897 16.078 - -
3 Sumatera Barat 3.732 4.156 - 51
4 Riau 2.880 2.996 86 116
5 Jambi 2.745 3.149 - -
6 Sumatera Selatan 5.181 5.705 - -
7 Bengkulu 1.588 1.784 - -
8 Lampung 4.943 5.139 11 -
9 Bangka Belitung 951 1.130 - -
10 Kepulauan Riau 784 917 - -
11 DKI Jakarta 7.989 7.944 - -
12 Jawa Barat 31.433 32.649 1.425 1.068
13 Jawa Tengah 16.906 19.190 95 35
14 DI Yogyakarta 1.155 1.193 - -
15 Jawa Timur 22.598 23.350 - 1.181
16 Banten 8.134 8.018 351 385
17 Bali 1.517 1.449 - -
18 NTB 3.089 3.151 1.147 -
19 NTT 3.369 3.755 416 -
20 Kalimantan Barat 4.156 4.634 - -
21 Kalimantan Tengah 1.339 1.323 - -
22 Kalimantan Selatan 2.891 3.253 - -
23 Kalimantan Timur 2.065 2.210 - -
24 Sulawesi Utara 3.988 4.546 - -
25 Sulawesi Tengah 1.918 2.307 437 817
26 Sulawesi Selatan 6.428 7.820 37 169
27 Sulawesi Tenggara 2.296 3.185 - -
28 Gorontalo 1.370 1.617 - -
29 Sulawesi Barat 942 1.149 423 -
30 Maluku 2.014 2.175 - -
31 Maluku Utara 708 792 205 -
32 Papua Barat 638 635 605 37
33 Papua 2.504 2.297 473 224
INDONESIA 169.213 183.366 5.756 4.204
Sumber : Badan Pusat Statistik
54. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
36
Catatan : 1) Tingkat Kejadian per 100.000 penduduk
Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2010, Kementerian Kesehatan
Tabel 2.7 Jumlah Pasien, Tingkat Kefaalan, dan Tingkat Kejadian
Penyakit Demam Berdarah menurut Provinsi, 2008 - 2010
No PROVINSI
Jumlah Pasien Tingkat Kefatalan Tingkat Kejadian1
2008 2009 2010 2008 2009 2010 2008 2009 2010
1 NAD 2.436 1.573 2.834 1,31 1,27 0,92 54,76 36,36 63,71
2 Sumatera Utara 4.454 4.697 8.889 1,10 1,23 0,98 34,49 35,70 67,25
3 Sumatera Barat 1.907 2.813 1.795 0,58 0,64 0,28 42,67 59,75 38,13
4 Riau 828 1.563 991 1,21 1,73 2,62 15,96 29,29 18,27
5 Jambi 245 254 178 3,67 1,97 0,56 8,64 8,55 5,99
6 Sumatera Selatan 2.360 1.854 1.161 0,13 0,32 0,43 34,75 25,67 16,07
7 Bengkulu 339 260 609 0,29 3,08 2,13 19,39 15,44 35,36
8 Lampung 4.807 1.862 1.716 0,83 1,07 1,63 68,83 24,85 25,59
9 Bangka Belitung 34 349 205 - 4,58 4,39 3,07 31,54 18,52
10 Kepulauan Riau 1.724 1.828 1.507 1,28 0,77 0,93 133,07 115,60 88,37
11 DKI Jakarta 28.361 28.032 19.273 0,09 0,11 0,17 317,09 313,40 227,44
12 Jawa Barat 23.248 37.861 25.727 0,99 0,81 0,66 54,23 89,41 59,54
13 Jawa Tengah 19.235 17.881 19.871 1,19 1,39 1,26 58,45 54,81 60,46
14 DI Yogyakarta 2.119 2.203 4.997 0,99 0,68 0,68 61,72 63,89 144,92
15 Jawa Timur 16.589 18.631 26.020 0,99 0,99 0,90 44,68 50,03 68,92
16 Banten 3.954 5.250 5.544 1,34 1,33 2,15 46,16 56,39 55,27
17 Bali 6.254 5.810 11.697 0,30 0,15 0,29 181,31 167,40 337,04
18 NTB 777 615 2.096 0,51 0,65 0,57 18,10 13,72 51,02
19 NTT 279 399 1.459 2,87 1,75 1,03 7,07 8,44 30,60
20 Kalimantan Barat 947 9.792 589 3,38 1,75 2,72 22,29 228,30 13,86
21 Kalimantan Tengah 531 1.309 1.394 1,32 1,22 0,50 27,11 65,25 62,82
22 Kalimantan Selatan 576 1.113 1.134 1,91 1,80 2,91 15,69 29,30 29,86
23 Kalimantan Timur 5.762 5.244 5.610 1,82 1,30 0,75 220,03 173,80 167,31
24 Sulawesi Utara 1.430 1.640 2.091 1,12 1,22 1,91 63,58 68,79 87,70
25 Sulawesi Tengah 1.389 952 2.098 1,22 0,74 1,38 55,25 36,50 81,80
26 Sulawesi Selatan 3.545 3.411 4.083 0,76 0,67 0,81 46,46 44,71 49,02
27 Sulawesi Tenggara 1.006 692 986 0,89 1,73 1,32 46,21 31,86 45,28
28 Gorontalo 172 91 467 2,33 2,20 1,71 18,74 9,19 46,14
29 Sulawesi Barat 37 149 144 0 0 0 3,65 13,74 14,19
30 Maluku 0 0 6 0 0 16,67 0 0 0,42
31 Maluku Utara 250 384 347 2,80 1,82 3,46 25,25 38,89 33,61
32 Papua Barat 510 204 298 0,39 0,98 - 90,41 28,21 52,83
33 Papua 228 196 270 0,44 1,53 2,96 13,47 10,93 15,05
INDONESIA 136.333 158.912 156.086 37,54 41,48 59,68 1.852,58 1.979,71 2.112,36
55. 37
HUTAN
DAN LAHAN
Hutan tropis merupakan ekosistem yang kaya akan
keanekaragaman hayati, berperan dalam penyediaan
jasa lingkungan dan tempat bergantung masyarakat
di yang hidup di sekitar hutan. Selain itu, hutan
tropis merupakan ekosistem yang menyimpan
karbon terrestrial dalam jumlah yang sangat besar.
Deforestasi dan degradasi hutan akan menyebabkan
pelepasan emisi karbon dioksida ke atmosfer,
sehingga mempengaruhi iklim secara global. Pada
tahun 2008, emisi dunia dari proses deforestasi dan
degradasi hutan mencapai 4,4 Giga ton CO2
atau 11%
dari total emisi emisi anthropogenik (UNEP, 2012),
karena itu perlindungan hutan tropis menjadi agenda
internasional dalam rangka mitigasi perubahan
iklim melalui mekanisme Reduction Emission from
Deforestation and Forest Degradation (REDD+). REDD+
telah disepakati dalam Conference On Parties 16
(COP 16) di Cancun, tahun 2010. Indonesia dan Brasil
berperan penting dalam upaya mitigasi REDD + karena
memiliki hutan yang sangat luas.
Dari penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+, 2000 -
2011, luas tutupan hutan mengalami penurunan, dari
104.747.566 hektar pada 2000, menjadi 98.242.002
hektar pada 2011 (Gambar 2.33). Dengan kata lain,
terjadi deforestasi seluas 6,5 juta hektar selama 11
tahun.
Sebelum 2009, sebagian besar provinsi mengalami
deforestasi, kecuali Jawa Timur. Selama periode 2009
– 2011, tiga provinsi mengalami reforestasi yaitu Jawa
Timur, Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Penyumbang
penurunan hutan terbanyak adalah Riau, Jambi,
Kalimantan Tengah, Sumatra Utara dan Bengkulu,
dengan deforestasi lebih dari 1 persen per tahun
seperti pada Tabel 2.9. & Gambar 2.36.
Gambar 2.33 Penurunan luasan hutan pada periode 2000 – 2011
Luas Hutan
2000
2003
2006
2009
2011
105.000.000
104.000.000
103.000.000
102.000.000
101.000.000
100.000.000
99.000.000
98.000.000
97.000.000
96.000.000
95.000.000
94.000.000
Sumber: Kementerian Kehutanan
56. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
38
Dinamika deforestasi terkait dengan berbagai faktor, baik
secara langsung (agent) maupun tidak langsung (driving
force) (Sunderlin, W.D. & Resosudarmo, 1996). Faktor
penyebab ada dua: langsung dan tidak langsung. Faktor
langsung berarti pelaku dan penyebab secara langsung
mengubah tutupan hutan menjadi peruntukan lain,
misalnya kebakaran hutan, ekspansi lahan pertanian,
perumahan dan pertambangan. Faktor secara tidak
langsung berupa kondisi sosial, ekonomi dan politik
pada skala nasional, regional maupun global.
Mencermati perubahan tutupan hutan selama 2000 –
2011, sebenarnya sejak 2003 laju deforestasi semakin
mengecil. Laju deforestasi per tahun pada periode
2000 – 2003: 344.657 hektar (0,33 persen); 2003 – 2006:
808.754 hektar (0,78 persen); 2006 – 2009: 747.754
hektar (0,74 persen); dan 2009 – 2011: 401.253 hektar
(0,41 persen).
Sebelum 2003 adalah masa transisi otonomi yang
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam kasus
penyerobotan kawasan hutan. Selama transisi (1999-
2001), terjadi 205 kasus penyerobotan kawasan hutan;
pada 2002-2003 kasus menurun menjadi 66 (Wulan,
et al. 2004). Prasetyo (2008) juga menemukan kasus
perambahan kawasan konservasi yang lebih luas
pada masa transisi itu dibandingkan periode sebelum
otonomi.
Tabel 2.9 Laju Perubahan Tutupan Hutan per Tahun per Provinsi pada Periode 2000 - 2011
Provinsi
Laju Perubahan Hutan (%)
2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011
Riau -2,06 -3,62 -4,29 -3,54
Jambi -0,20 -1,39 ¬ -1,94
Kalimantan Tengah -0,47 -0,86 -1,48 -1,34
Sumatera Utara -0,19 -0,97 -1,61 -1,22
Bengkulu -1,43 -0,32 -0,43 -1,06
Kalimantan Barat -0,22 -1,84 -1,42 -0,70
Sumatera Barat -0,23 -0,95 -1,71 -0,68
Maluku Utara -0,32 -0,27 -0,11 -0,44
Sulawesi Tengah -0,35 -0,60 -0,17 -0,40
Kalimantan Selatan -1,33 -1,88 -1,09 -0,32
Sulawesi Utara -2,34 -1,40 -0,20 -0,26
Kalimantan Timur -0,32 -0,96 -0,60 -0,24
Daerah Istimewa Yogyakarta 0,00 -2,80 -0,14 -0,24
Daerah Istimewa Aceh -0,08 -0,36 -1,18 -0,20
Lampung 0,21 0,00 -0,37 -0,18
Gorontalo -0,33 -2,05 -0,25 -0,17
Jawa Tengah -0,02 0,00 -0,54 -0,12
Bangka Belitung -0,31 -1,17 -3,23 -0,11
Nusa Tenggara Timur -0,01 -0,46 -0,01 -0,09
Banten -0,11 -0,39 -2,41 -0,08
Papua -0,08 -0,38 -0,14 -0,04
Maluku -0,06 -0,12 -0,16 -0,03
Nusa Tenggara Barat -1,53 -0,75 -0,11 -0,01
Sulawesi Tenggara -0,10 -0,79 -0,18 -0,01
Papua Barat -0,01 -0,01 -0,03 0,00
Sulawesi Selatan -0,65 -0,62 -0,43 0,00
Bali -1,67 0,00 -0,53 0,00
DKI Jakarta 0,00 0,00 0,00 0,00
Jawa Timur -0,26 -0,14 0,07 0,06
Jawa Barat 0,02 -0,63 -1,18 0,51
Sumatera Selatan -0,73 -0,08 -1,47 2,28
Grand Total -0,33 -0,78 -0,74 -0,41
Sumber: Kementerian Kehutanan
57. 39
Analisis lebih rinci menunjukkan tutupan hutan
pada 2000 seluas 102 juta hektar, yang 31,33 persen
telah berubah menjadi lahan tidak produktif; 10,34
persen dibuka untuk pertanian; dan 2,69 persen
untuk perkebunan (Gambar 2.34). Sedangkan hutan
mangrove sebagian besar masih utuh, hanya sebagian
kecil dieksploitasi. Tetapi hutan ini dibiarkan terlantar,
berupa semak dan lahan terbuka (5,35 persen), sebagian
kecil untuk tambak udang ataupun ikan (2,55 persen)
(Gambar 2.35).
Laju perubahan hutan primer mendapat perhatian
pemerintah dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor
10 tahun 2011 tentang penundaan izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan
gambut. Secara spasial, lokasi dalam Inpres ini dilengkapi
dengan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) yang
direvisi secara reguler. Kebijakan ini digunakan untuk
Gambar 2.34 Persentase perubahan hutan pada
periode 2000 - 2011
Sumber: Kementerian Kehutanan
Hutan
Pertanian
Perkebunan
Semak&LahanTerbuka
Tambak
Pertambangan
Lahan Terbangun
Lainnya
49,78%
0,11%
1,53% 0,53%
3,67%
10,34%
2,69%
31,33%
Sumber: Kementerian Kehutanan
Gambar 2.35 Persentase perubahan hutan
mangrove pada periode 2000 – 2011
Mangrove
Pertanian
Semak & LahanTerbuka
Badan Air
Tambak
Lahan Terbangun
Pertambangan
0,28 %
0,32 % 2,55 %
0,02 %
0,02 %
5,35 %
91,39 %
menekan laju alih fungsi lahan, terutama pada hutan
primer dan lahan gambut, sebagai langkah mengurangi
emisi gas rumah kaca.
Faktor lain yang secara langsung mempengaruhi
tutupan hutan adalah kebakaran. Jumlah kejadian dan
luas kebakaran hutan berfluktuasi, tergantung pola
perubahan iklim. Pada periode ENSO (El Nino Southern
Oscilation) jumlah kebakaran cenderung meningkat.
Peristiwa El Nino tahun 1982 luas kebakaran diperkirakan
mencapai 3,5 juta hektar dan 1997 mencapai 9,75 juta
hektar (Bappenas-ADB 1999 dalam Tacconi, 2003).
Jumlah kebakaran setelah 2002 cenderung menurun.
Bila dirinci, periode 2005 – 2011 kebakaran lebih sering
terjadi di kawasan konservasi dibandingkan dengan
kawasan hutan yang lain.
Penyebab kebakaran hutan selalu menjadi perdebatan
panjang. Sebagian pihak mempercayai kebakaran
disebabkan cuaca. Namun Syaifuna menjelaskan
kebakaran hutan mayoritas disebabkan perbuatan
manusia (Syaufina, 2008). Hal ini bisa dimengerti, karena
petani maupun perkebunan masih memakai api dalam
persiapan lahan. Pemerintah juga telah menghimbau
untuk tidak lagi memakai api dalam persiapan lahan.
Bagi masyarakat tradisional, secara turun-temurun
api digunakan sebagai alat untuk persiapan lahan.
Kearifan tradisional ini merupakan teknik pembakaran
terkendali sebagai respon petani tradisional terhadap
keterbatasan teknologi, sumberdaya, dan dana. Bila
dilakukan dengan benar, api tidak akan meluas.
Selain itu, luas lahan yang dibuka untuk bercocok tanam
juga terbatas sesuai siklus pembukaan yang teratur.
Jika dilakukan dengan benar, api tidak akan membesar
menjadi kebakaran yang tidak terkendali. Sampai saat ini,
kearifan tradisional ini masih dipraktikkan, karena belum
ada alternatif pengganti. Kebakaran hutan justru semakin
merajalela setelah perkebunan besar juga memanfaatkan
teknik pembakaran tradisional untuk persiapan lahan.
Sebagai deteksi dini kebakaran hutan, Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menggunakan
satelit NOAA untuk memantau titik api. Jumlah titik api
(hotspot) sepanjang 2005-2011 sangat bervariasi. Di
beberapa provinsi menunjukkan jumlah hotspot yang
tinggi, yaitu Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Lima
provinsi itu memiliki jumlah hutan dan perkebunan yang
tinggi (Tabel 2.11).
64. 46
Tabel 2.10 Perkembangan Kebakaran Hutan di Berbagai Fungsi Hutan
Fungsi Hutan
Estimasi Kebakaran Hutan (Ha)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Hutan Lindung 4.002,12 355,00 228,00 155,00 803,00 191,50 99,50
Hutan Produksi 82,00 1.508,34 987,10 592,52 245,80 19,50 184,95
Hutan Suaka Alam 651,80 508,70 349,60 631,02 1441,13 57,00 1.091,29
Taman Wisata Alam 4,50 350,50 40,00 55,50 311,50 13,62 32,49
Taman Nasional 595,05 1.324,55 5.256,42 5.338,79 4.589,78 3.213,50 996,36
Taman Hutan Raya 30,00 4,00 2,00 1,00 25,00
Hutan Penelitian 2,00
Hutan Kota 85,00 7,00 5,00
Taman Buru 162,50 86,00 15,00 100,00 161,50
Hutan Kemasyarakatan 82,00 23,60 3,25 112,00 21,00
Total 5.502,47 4.241,59 6.974,72 6.793,08 7.611,21 3.500,12 2.612,09
Sumber : (Statistik Kehutanan 2011 & 2010).
Tabel 2.11 Jumlah Pantauan Hotspot pada Periode 2005-2011
No PROPINSI 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 ACEH 560 1.667 261 924 654 285 592
2 SUMATERA UTARA 3.565 3.581 936 871 1.172 532 893
3 SUMATERA BARAT 494 1.231 427 770 495 171 546
4 RIAU 20.538 11.526 4.169 3.943 7.756 1.707 3.536
5 KEPULAUAN RIAU - 215 101 53 99 55 33
6 JAMBI 985 6.948 3.120 1.970 1.733 603 1.523
7 SUMATERA SELATAN 1.182 21.734 5.182 3.055 3.891 1.481 4.705
8 BANGKA BELITUNG 248 1.202 764 523 1.058 143 317
9 BENGKULU 218 474 255 204 192 84 320
10 LAMPUNG 399 3.747 1.639 218 395 123 635
11 BANTEN 99 155 38 52 76 33 193
12 DKI JAKARTA 25 26 77 15 14 4 10
13 JAWA BARAT 306 1.160 325 869 253 114 766
14 DI YOGYAKARTA 20 99 35 34 13 10 18
15 JAWA TENGAH 237 1.746 268 1.082 147 64 498
16 JAWA TIMUR 315 2.032 1.503 2.643 691 259 1.019
17 BALI 7 59 57 154 7 14 48
18 NUSA TENGGARA BARAT 23 568 903 844 476 - -
19 NUSA TENGGARA TIMUR 42 1.147 1.140 2.289 489 - -
20 KALIMANTAN BARAT 3.485 29.266 7.561 5.528 10.144 1.785 4.720
21 KALIMANTAN TENGAH 3.126 40.897 4.800 1.240 4.640 831 4.285
22 KALIMANTAN SELATAN 870 6.469 928 199 1.270 111 1.292
23 KALIMANTAN TIMUR 745 6.603 2.082 2.231 2.307 974 1.482
24 GORONTALO - 586 93 16 83 24 46
25 SULAWESI UTARA 53 114 35 26 34 14 30
26 SULAWESI TENGAH 31 562 182 132 367 165 255
27 SULAWESI BARAT - 364 145 30 84 25 98
28 SULAWESI SELATAN 123 1.201 551 525 519 175 344
29 SULAWESI TENGGARA 159 749 288 148 396 94 270
30 MALUKU 35 48 26 21 4 - -
31 MALUKU UTARA 6 88 13 7 4 - -
32 PULAU PAPUA - - 5 0 0 - -
JUMLAH TOTAL 37.896 146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 28.474
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2012
65. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
47
Lahan Kritis
Tantangan lingkungan hidup juga menghadapi
persoalan lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan
yang secara fisik telah rusak sehingga tidak dapat
berfungsi dengan baik sebagai media produksi atau
pengatur tata air. Perkembangan lahan kritis seiring
dengan deforestasi dan degradasi hutan. Selama
2000 - 2011, lahan kritis bertambah 4 juta hektar,
dengan kontribusi setiap provinsi yang berbeda-beda.
Kalimantan Tengah menyumbang jumlah lahan kritis
terbesar, diikuti Jambi, Sumatra Utara dan Sulawesi
Tenggara. Beberapa provinsi berhasil memperbaiki
kondisi lahannya, seperti di Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi tengah dan
Sulawesi Selatan (Tabel 2.12).
Tabel 2.12 Luas Lahan Kritis di Indonesia 2000 - 2011
No. PROVINSI
Luas Lahan Kritis
2000 2011 Perubahan
1 Aceh 351.015 744.955 393.940
2 Sumatera Utara 469.143 1.135.341 666.198
3 R i a u 334.868 840.658 505.790
4 Kep. Riau 0 254.749 254.749
5 Sumatera Barat 131.155 509.977 378.822
6 Jambi 716.147 1.420.602 704.455
7 Bengkulu 578.543 642.587 64.044
8 Sumatera Selatan 3.461.840 3.886.062 424.222
9 Bangka Belitung 0 114.836 114.836
10 Lampung 299.157 589.229 290.072
11 Banten 0 67.503 67.503
12 DKI Jakarta 0 0 0
13 Jawa Barat 368.794 483.945 115.151
14 Jawa Tengah 360.827 159.853 -200.974
15 DI Yogyakarta 34.667 33.559 -1.108
16 Jawa Timur 1.302.379 608.913 -693.466
17 Kalimantan Barat 3.065.728 3.169.491 103.763
18 Kalimantan Tengah 1.758.833 4.636.890 2.878.057
19 Kalimantan Timur 1.778.782 318.836 -1.459.946
20 Kalimantan Selatan 575.383 786.911 211.528
21 Sulawesi Utara 235.092 276.056 40.964
22 Gorontalo 0 257.176 257.176
23 Sulawesi Tengah 413.221 317.769 -95.452
24 Sulawesi Tenggara 241.811 885.463 643.652
25 Sulawesi Selatan 1.032.802 920.452 -112.350
26 Sulawesi Barat 0 113.960 113.960
27 B a l i 33.425 48.052 14.627
28 Nusa Tenggara Barat 278.698 91.859 -186.839
29 Nusa Tenggara Timur 1.356.757 1.041.688 -315.069
30 Maluku Utara 0 611.107 611.107
31 Maluku 694.911 762.324 67.413
32 Papua 3.368.903 1.076.699 -2.292.204
33 Papua Barat 0 487.343 487.343
Total 23.242.881 27.294.845 4.051.964
Sumber: Kementerian Kehutanan
66. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
48
Kerusakan hutan dan lahan menyebabkan tata air
terganggu: melimpah di musim hujan, kekeringan
di musim kemarau. Hal ini membuat perbandingan
antara jumlah debit maksimum dengan jumlah debit
minimum menjadi sangat besar. Hal ini menjadi
indikasi tingkat kerusakan lahan pada suatu daerah
aliran sungai (DAS) tertentu. Di beberapa provinsi,
kerusakan itu menyebabkan bencana alam. Sepanjang
2012, BNPB mencatat 730 kejadian bencana alam, yang
menelan 487 orang meninggal dunia dan memaksa
675.798 orang mengungsi.
Bencana alam juga menyebabkan 33.847 rumah rusak
berat; 4.587 rumah rusak sedang; dan 21.369 rusak ringan.
Yang harus menjadi perhatian adalah terjadi peningkatan
bencana alam hidrometeorologi: banjir, banjir disertai
tanah longsor, tanah longsor, serta kekeringan. Bencana
kekeringan telah melonjak tajam. Jika selama 2010, BNPB
mencatat hanya 2 bencana kekeringan,
pada 2011 tercatat 217 kekeringan.
Pada 2010, hanya Nusa Tenggara
Timur yang menderita kekeringan,
sementara pada tahun berikutnya
hampir seluruh wilayah Indonesia
dilanda kekeringan. Bencana
banjir juga meningkat dua kali
lipat dibandingkan pada 2010.
Bencana tanah longsor dan banjir
yang disertai tanah longsor juga
meningkat hampir dua kali
lipat, dari 191 kejadian
pada 2010 menjadi
352 pada 2011.
Foto: Donang Wahyu
67. 49
Gambar 2.37 Sebaran Kejadian Bencana Banjir & Bencana Banjir yang
Disertai Longsor Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun 2011.
Gambar 2.38 Sebaran Kejadian Kekeringan Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun 2011
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana
68. 2 Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia
50
PESISIR
DAN LAUT
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan
13.466 pulau yang memiliki nama, Indonesia memiliki
banyak sumber daya perairan dan kelautan. Perairan
negara ini yang mempunyai uas 5,8 juta kilometer
persegi menyimpan potensi perikanan yang besar.
Pesisir lautnya menyimpan cadangan minyak, gas,
mineral dan bahan tambang. Di ekosistem pesisir,
hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang
juga memiliki banyak manfaat. Luas terumbu karang
mencapai 75.000 km persegi atau sekitar 12 – 15 persen
dari luas terumbu dunia, yang mencapai 284.300 km2
.
Terumbu karang menyediakan bahan makanan, obat-
obatan dan manjaga pantai dari deburan ombak.
Padang lamun juga bernilai ekonomi untuk bahan
baku obat-obatan, pupuk, kasur, makanan, penyaring
limbah kertas, dan bahan kimia. Hamparan lamun
mampu mengurangi tenaga gelombang dan arus,
menyaring sedimen air laut dan menstabilkan dasar
sedimen (BPS, 2012).
Pendapatan yang bisa dihasilkan dari terumbu karang
diperkirakan mencapai US$ 1,6 miliar per tahun. Total
nilai potensi ekonomi bisa menyentuh US$ 61,9 miliar
setiap tahun. Hanya saja, potensi terumbu karang
yang besar diiringi dengan ancaman eksploitasi yang
mengkhawatirkan. Berdasarkan pemantauan Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI pada 2012 di 1.133 lokasi,
hanya sekitar 5,30 persen terumbu karang dalam
kondisi sangat baik. Lalu, 27,19 persen dalam keadaan
baik; 37,25 persen cukup baik; dan 30,45 persen
kurang baik.
Dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer,
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas kedua
dunia setelah Brazil. Tumbuh di zona peralihan,
antara ekosistem laut dan daratan, hutan mangrove
melindungi pantai, menahan endapan lumpur dan
menjaga keseimbangan lingkungan.
Pada 2006, Kementerian Kehutanan mencatat luas
hutan mangrove mencapai 7,7 juta hektar. Tetapi
pada saat ini luasnya menurun pada 2011 menjadi
5,5 juta hektar. Dari total luas hutan mangrove itu,
56,91 persen masih baik dan 7,21 persen rusak berat.
Hutan mangrove juga terancam alih fungsi untuk
berbagai kepentingan, seperti perkebunan, tambak
dan pemukiman.
Gambar 2.39 Kondisi terumbu karang di Indonesia (%)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Sumber: Coremap.or.id