SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 88
Downloaden Sie, um offline zu lesen
Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan):
           GAPRI/OXFAM, Jakarta 2003 (www.gapri.org)

                                            BAB I

                                     PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang

      Berdasarkan indikator kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yakni
pendapatan US$ 2.00 per hari sesuai Purchasing Power Parity (PPP), jumlah penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan per tahun 2006 mencapai 110 juta jiwa. Itu
berarti jumlah penduduk miskin mencapai hampir separuh dari keseluruhan jumlah
penduduk. Sementara angka yang dikeluarkan BPS tahun 2007, penduduk miskin
berjumlah 16,68 persen atau sekitar 37,17 17 juta jiwa.

     Kondisi objektif tersebut mendorong pemerintah untuk lebih serius
menanggulangi persoalan kemiskinan dan pemiskinan. Upaya pemerintah terhadap
persoalan ini adalah merancang suatu Strategi Nasional Penanggulangan
Kemsikinan (SNPK). Proses penyusunan SNPK memakan waktu tak kurang dari 5
tahun, dari proses persiapan(termasuk kelembagaan) hingga diluncurkannya pada
12 Oktober 2005. Proses penyusunan SNPK juga melibatkan masyarakat luas
(termasuk kaum miskin), sehingga tidak mengherankan jika penuh dinamika. Di
samping itu, partisipasi masyarakat secara luas bisa menimbulkan di dalam diri
mereka rasa memiliki (sens of belonging) yang kuat atas upaya pemerintah dalam
menanggulangi persoalan kemiskinan melalui SNPK.

      Kemauan politik pemerintah yang kuat untuk Penanggulangan Kemiskinan
(PK) terbukti dengan diadopsikannya SNPK ke dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005 – 2010, yang tertuang dalam Bab XVI.
Dengan demikian posisi SNPK cukup strategis, tidak hanya sekadar dokumen
strategi nasional, melainkan terintegrasi ke dalam RPJMN. Jadi, tidak ada alasan
untuk tidak melaksanakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan sesuai
dengan substansi SNPK.

     Adapun tujuan penyusunan SNPK1 (1) mempertegas komitmen pemerintah
(pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
swasta, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah
kemiskinan, (2) membangun konsensus bersama untuk mengatasi kemiskinan
melalui pendekatan hak-hak dasar (right based approach) serta pendekatan partisipatif
dan kemitraan dalam perumusan strategi dan kebijakan, (3) Menegaskan komitmen
dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG’s) dan (4)
menyelaraskan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh



1
 Lihat Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat juga
SNPK, 2005
pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, swasta, lembaga internasional, dan pihak lain yang peduli.

      Sesuai kerangka legal kelembagaan dan penyusunan SNPK (Inpres 5 tahun
2003, Perpres 54/2005, SK TKPK 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006, SE Mendagri
412.6/2179/SJ) serta status RPJMN (Bab XVI), daerah perlu menyusun Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) menurut proses dan prinsip
penyusunan SNPK. SPKD juga harus diintegrasikan ke dalam RPJM Daerah
(propinsi/kabupaten/kota) sesuai dengan RPJMN.

Bagan 1.1 Hubungan MDGs, SNPK dan RPJM
     MDGs                 SNPK                                RPJM


•   Tujuan               •Menggunakan
                           pendekatan hak dasar
                                                       •Penjabaran visi, misi dan
                                                         program Presiden
                                                                                         Renstra
                                                                                    Kementrian/Lemb
    Pembangunan
                           sebagai pendekatan            selama 5 tahun ke           aga Pemerintah
    Millenium yang
                           utama                         depan
    ingin dicapai pada
    tahun 2015           •hak- dasar meliputi hak-     •Menjadi acuan bagi 1)
                           hak atas 1) pangan; 2)        Kementrian/Lembaga
•   Angka kemiskinan       pendidikan; 3) kesehatan;     dalam menyusun
    dan kelaparan          4) pekerjaan; 5)              Rencana Strategis
    ditargetkan            perumahan dan                 Kementrian/Lembaga;         RPJM Daerah
                           permukiman; 6) tanah; 7)      2) Pemerintah Daerah
    mengalami
                           air bersih dan aman; 8)       dalam menyusun RPJM
    penurunan menjadi      SDA dan LH; 9) rasa           Daerah; dan 3)
    7,5% pada tahun        aman: dan 9) hak untuk        Pemerintah dalam
    2015                   berpartisipasi                menyusun Rencana
                                                                                     Rencana Kerja
                         •Pemenuhan hak dasar            Kerja Pemerintah
                           dilakukan secara            •Kemiskinan menjadi          Pemerintah (RKP)
                           bertahap melalui tiga         salah satu sasaran
                           tingkatan, yaitu              dalam utama dalam
                           penghormatan,                 agenda peningkatan
                           perlindungan dan              kesejahteraan rakyat
                           pemenuhan
                         •Menjadi acuan bagi
                           stakeholders dalam
                           melakukan PK



Sumber : Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat
juga SNPK, 2005

      Setelah peluncuran SNPK, selain pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang lebih bersifat teknis
kelembagaan dan bersifat koordinatif, ternyata belum ada rujukan resmi
menyangkut proses dan substansi penyusunan SPKD serta proses integrasinya ke
dalam Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD). Mengingat
strategisnya penyusunan SPKD, karena tidak semata merupakan pembelajaran
penyususnan Strategi PK melainkan juga sebagai pembelajaran dalam rangka
pembuatan kebijakan publik yang melibatkan publik secara luas, termasuk peran
kaum miskin, maka diperlukan sumber bacaan yang berguna bagi masyarakat sipil
dalam melakukan advokasi SPKD.

     Dalam penyusunan SPKD hendaknya tetap mengacu pada SNPK sebagai arah
pandu. Adapun hal-hal mendasar yang perlu disimak dalam proses dan substansi
penyusunan SNPK adalah:

Kotak 1.1 Substansi SNPK
Kemiskinan multidimenasi
      Pelibatan Si dan Kaum Miskin dalam formulasi kebijakan
      Pendekatan berbasis HAK
      Diagnosis kemiskinan
      Kajiulang kebijakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan
      Strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan
      Skenario dan rencana aksi penanggulangan kemiskinan 5 tahun (pembiayaan)
      Mekanisme pelaksanaan rencana aksi
      Sistem monitoring dan evaluasi
Sumber : SNPK, 2005


      Hal-hal tersebut jelas merupakan paradigma baru dalam penanggulangan
kemiskinan sejak Indonesia merdeka. Implikasi dari paradigma baru ini
menimbulkan beragam respon pada tataran pemerintah daerah, seperti halnya
terjadi dalam proses penyusunan SNPK. Di situ terjadi tarik-menarik kepentingan
akibat intrepretasi yang berbeda-beda pada hal-hal di atas. Belajar dari pengalaman
tersebut, agar tidak terulang kembali kesalahan intrepretasi, dibutuhkan panduan
umum advokasi SPKD.

1.2    Maksud dan Tujuan

      Panduan ini dimaksudkan untuk menjadi bahan rujukan bagi organisasi
masyarakat sipil (CSOs) yang melakukan advokasi dengan isu kemiskinan,
khususnya dalam kerangka penyusunan SPKD atau dokumen strategis tentang anti
kemiskinan-pemiskinan di daerah, baik sektoral, isu maupun lintas. Saat ini bahan
rujukan untuk advokasi ini masih sangat terbatas, kecuali juklak/juknis dari suatu
program atau proyek penanggulangan kemiskinan yang ada selama ini. Di samping
maksud tersebut, secara khusus panduan ini bertujuan agar pembaca :
    1. mengerti dan memahami mengenai berbagai isu kemiskinan
    2. mengetahui proses penyusunan SPKD yang berbasis suara orang miskin
    3. melakukan advokasi baik proses, substansi penyusunan maupun
       implementasi SPKD

1.3    Keterbatasan Bacaan Ini

      Keterbatasan utama dari bahan bacaan ini adalah data-data yang digunakan
bukan data terbaru. Kami sadar data terbaru akan (mungkin) menghasilkan analisis
yang berbeda dengan data yang relatif lebih lama. Sebagai masyarakat sipil kami
juga sadar bahwa tidak mudah mendapatkan data dari pemerintah. Ada saja alasan
untuk tidak memberikan data-data tersebut. Ini juga dapat menjadi refleksi bersama,
kenapa masyarakat sipil kesulitan menemukan data, sementara lembaga penelitian,
akademisi, dan donor dapat dengan mudah memperoleh data yang mereka
inginkan.

       Keterbatasan lainnya, panduan ini telah digagas sejak awal tahun 2005, namun
karena berbagai hal belum dapat diterbitkan. Konteks tentu telah berubah, namun
dengan segala keterbatasan yang ada, kami berusaha menyesuaikan data dengan
realitas. Kami berharap, semoga bacaan ini memberi manfaat bagi semua yang
membacanya.
BAB II

                      RAGAM PANDANG KEMISKINAN
                         (Konteks dan Perspektif)


2.1   Ragam Pandang

      Konsep dan definisi kemiskinan merupakan titik tolak pembahasan yang
penting, karena konsep kemiskinan melatarbelakangi pendekatan yang digunakan
dalam menanggulangi kemiskinan dan pilihan indikator-indikator untuk memantau
kondisi kemiskinan. Pengertian dan definisi tentang kemiskinan sangat beragam
sesuai evolusi ilmu pengetahuan atau perkembangan ilmu sosial. Seorang ekonom
akan mendefinisikan kemiskinan secara berbeda dengan ilmuwan lain; definisi
seorang marxian akan berbeda dengan seorang weberian. Inilah fakta yang harus
disadari sejak awal, bahwa definisi dari seorang teoretis mengandung paradigma
atau ideologi tertentu sehingga tak ada kesempurnaan sejati, baik dalam hal konsep,
pendekatan maupun modelnya. Namun demikian tidak berarti bahwa definisi,
konsep dan model tersebut tidak ada gunanya, minimal menjadi sumber untuk
memahami realitas dan bagaimana cara untuk menghadapi realitas kemiskinan.

     Ragam pandang tersebut secara umum dapat kita kategorikan menjadi
sepuluh pengertian yang meliputi:
   a. kemiskinan dilihat dari hubungan dengan proses (alamiah vs ciptaan sosial
      atau ketersisihan)
   b. kemiskinan sebagai gejala sosial (kultural vs struktural)
   c. kemiskinan ditandai oleh faktor ekonomis (kebutuhan dasar vs kebutuhan
      aktualisasi)
   d. kemiskinan dilihat dari bobot dan derajatnya (kronis, rentan dan sementara)
   e. Kemiskinan dipandang dari sudut penilai (subjektif vs objektif)
   f. Kemiskinan ditengarai sebagai gejala penilaian matematis (absolut vs relatif)
   g. Kemiskinan ditinjau dari geopolitik (keterisolasian vs keterbelakangan dan
      ketergantungan)
   h. Kemiskinan ditelaah dari aset (fenomena kehidupan vs hak dasar)
   i. Kemiskinan dalam perspektif ruang (lokal vs global)
   j. Kemiskinan secara individual (laki-laki vs perempuan; orang tua vs anak)

      Dan mungkin lebih banyak lagi variannya bila kita karakteristikkan lebih rinci,
seperti kemiskinan berkaitan dengan kelembagaan, sejarah, dan nilai-nilai. Namun
secara umum, kemiskinan biasa didefinisikan sebagai kondisi keterbatasan
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Definisi ini
mengandung dua kata kunci, yaitu keterbatasan kemampuan dan hidup secara
layak. Bentuk keterbatasan kemampuan sangat bervariasi, dan antara lain dapat
berupa keterbatasan ketrampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi dan
keterbatasan informasi. Sedangkan ukuran hidup secara layak akan sangat bervariasi
tergantung pada norma dan kesepakatan sosial.


2.2   Pemahaman Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, bukan
hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan
orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi
miskin. Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi,
sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat
diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya
penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus
dilakukan adalah elaborasi pengertian kemiskinan secara komprehensif.

      Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan
sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di
bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami
deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat.
John Friedman, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan
untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi
(tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan,
peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial danm
politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial
untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang
memadai dan informasi yang berguna (Friedmann, 1979: 101).

      Pengertian kemiskinan memiliki dimensi meliputi ekonomi, sosial-budaya dan
politik. Dimensi kemiskinan yang bersifat ekonomi memandang kemiskinan
sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material manusia seperti
pangan, sandang, papan dan sebagainya. Dimensi ini dapat diukur dengan nilai
uang meskipun harganya akan selalu berubah tergantung pada tingkat inflasi yang
terjadi.

      Dimensi sosial dan budaya memandang kemiskinan sebagai pelembagaan dan
pelestarian nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan sebagainya.
Dalam kategori ini, lapisan masyarakat miskin akan membentuk kantong-kantong
kebudayaan kemiskinan. Sedangkan dimensi politik melihat kemiskinan sebagai
ketakmampuan masyarakat dalam mengakses proses-proses politik karena tidak
adanya lembaga yang mewakili kepentingan mereka menyebabkan terhambatnya
kelompok masyarakat memperjuangkan aspirasinya. Dimensi kemiskinan
berimplikasi pada upaya untuk mendefinisikan kemiskinan, termasuk ukuran-
ukuran yang digunakan. Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial2
mendefinisiikan kemiskinan sebagai berikut :

         “Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya
         produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat
         kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya;
         kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat
         tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan social.
         Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan
         dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.”


    Office of the High Commissioner for Human Rights, United Nations menyatakan
bahwa kemiskinan terjadi karena adanya pengingkaran hak-hak manusia, karena itu

2 World Summit for Social Development , Maret 1995 di Kopenhagen, dikutip dari: “Dokumen Interim Strategi

Penanggulangan Kemiskinan (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) Sebuah Kerangka Proses Penyusunan
Strategi Penanggulangan Kemiskinan jangka Panjang”. Komite Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta, Januariu 2003,
hal. 6.
kemiskinan tidak mungkin diatasi tanpa realisasi hak-hak manusia. Asian
Development Bank – ADB (1999) memahami masalah kemiskinan sebagai perampasan
terhadap aset-aset dan kesempatan-kesempatan penting dimana individu pada
dasarnya berhak atasnya. Dalam pendekatan baru ini diakui adanya hambatan-
hambatan struktural yang menyebabkan tidak terealisasinya hak-hak orang miskin.

       Secara umum definisi-definisi tentang kemiskinan di atas menggambarkan
kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan:
“kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup menurut standar-standar tertentu,
ketidakmampuan atau keterbatasan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses
dalam memperoleh pelayanan minimal dalam berbagai bidang kehidupan, serta
sulit atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan”.

       Berbagai pemikiran baru tentang kemiskinan yang memasukkan aspek
ketidakberdayaan (powerlessness) dan keterkucilan (isolation), kerentanan
(vulnerability) dan keamanan (security) muncul sebagai konsep yang banyak
dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu juga dikembangkan pemahaman mengenai
penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Ellis, 1998). Amartya Sen
kemudian menekankan perlunya meningkatkan kemampuan individu yang
memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan dalam masyarakat. Belakangan juga
dimasukkannya relasi gender dalam konsep kemiskinan. Akhirnya, pada 1990an
konsep kemiskinan diperluas dengan munculnya gagasan mengenai kesejahteraan
(well-being) dan ketersisihan sosial (social exclusion). Oleh karenanya, untuk dapat
memahami kemiskinan secara utuh diperlukan pemahaman mengenai seluruh
dimensi kehidupan manusia. Sifat multidimensi dari kemiskinan inilah yang dicoba
untuk ditangkap melalui berbagai macam konsep kemiskinan.

      Sejalan dengan perkembangan tersebut, pengertian kemiskinan telah
melangkah ke arah hak asasi. GAPRI memandang kemiskinan sebagai sebuah
pelanggaran hak asasi. Gagasan tersebut kemudian digunakan untuk
mempengaruhi substansi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK),
2004), yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi
hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air
bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan
hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

                                               Kemiskinan Absolut dan Relatif
         Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu
pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup
seseorang/keluarga. Kedua istilah itu merujuk pada perbedaan sosial (social
distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan.
Perbedaannya adalah pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu
ditentukan dengan angka-angka nyata dan atau indikator atau kriteria yang
digunakan, sementara pada kemiskinan relatif, kategorisasi kemiskinan ditentukan
berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk. Kategori ini
dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan konsumsi maupun kemiskinan
keterbelakangan yang bersifat multidimensi.
Dalam kemiskinan absolut, standar kemiskinan dihitung berdasarkan nilai
uang yang dibutuhkan untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan
untuk hidup sehat dan kebutuhan non-makanan tertentu; Tingkat pendidikan yang
dianggap tertinggal ditetapkan berdasarkan kemampuan membaca/menulis (melek
huruf) atau kelulusan dari sekolah dasar. Standar-standar ini tidak akan berubah
meskipun tingkat kemakmuran masyarakat berubah. Standar kemiskinan absolut
digunakan untuk menganalisis angka kemiskinan oleh dunia dengan menetapkan
garis kemiskinan $ 1 per orang per hari dan angka kemiskinan yang dihitung Badan
Pusat Statistik (BPS).

     Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat
kemakmuran masyarakat. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar 20% dari rata-rata
pendapatan penduduk di suatu daerah; Ketertinggalan pendidikan diukur
berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas.

  Garis                Kontribusi konsumsi 20% penduduk pengeluaran terendah
  kemiskinan     =     Kontribusi konsumsi 20% penduduk pengeluaran tertinggi


       Standar ini dapat berubah antar-waktu dan antar-tempat, sehingga seolah-
olah kemiskinan akan selalu ada sepanjang waktu. Kemiskinan relatif dianggap
sebagai alat penting untuk melihat isu ketimpangan yang sering mendapat sorotan
dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemiskinan absolut dapat dihapuskan, isu
kemiskinan akan tetap disoroti jika standar hidup layak suatu masyarakat
meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat.

                                           Kemiskinan Objektif dan Subjektif
      Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat dengan
perkembangan pendekatan kualitatif-partisipatoris. Kemiskinan bersifat subjektif
ketika standarnya ditekankan pada selera dan pilihan-pilihan seseorang atau
sekelompok orang dalam menilai pentingnya barang-barang dan jasa bagi mereka.
Sebagai pembanding adalah kemiskinan objektif yang melihat kemiskinan
berdasarkan penilaian normatif secara umum tentang apa yang dianggap sebagai
unsur-unsur kemiskinan dan apa yang dibutuhkan untuk mengangkat masyarakat
dari kemiskinan.

      Kemiskinan dapat dipahami sebagai kondisi objektif ketika ditekankan pada
kebutuhan untuk dapat memperbandingkan kondisi kemiskinan antar daerah,
walaupun masyarakat di daerah-daerah tersebut mempunyai preferensi yang
berbeda-beda. Pendekatan ini banyak digunakan para ekonom, misalnya melalui
pengukuran kebutuhan nutrisi (kalori) meskipun pilihan jenis-jenis makanan yang
dianggap penting atau yang dinilai lebih berharga akan berbeda-beda antarindividu
atau antarkelompok masyarakat.

      Kemiskinan subjektif lebih menekankan pemahaman pada konsep kemiskinan
dari sudut pandang masyarakat miskin. Perkembangan ini distimulasi
ketakmampuan pendekatan objektif dalam menangkap fenomena kemiskinan secara
utuh. Pendekatan ini didukung oleh pengembangan analisis kemiskinan
partisipatoris dimana kelompok miskin dilibatkan untuk menjawab dan
menganalisis keadaannya sendiri, dan pada akhirnya untuk bersama-sama
menentukan program penanggulangannya.
BPS menggunakan pendekatan objektif dengan menetapkan nilai uang untuk
membeli makanan setara 2.100 dan satu set konsumsi non-makanan sebagai batasan
garis kemiskinan. Di samping itu, untuk keperluan sensus kemiskinan ditetapkan 8
indikator yang meliputi luas lantai rumah, jenis lantai, jenis jamban, sumber air
bersih, kepemilikan aset, konsumsi lauk-pauk, pembelian pakaian dan keikutsertaan
dalam rapat RT/desa. Rumah tangga yang tidak memenuhi lima kriteria di atas
dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Sedangkan kriteria kemiskinan yang
digunakan oleh masyarakat sendiri, sebagaimana disajikan pada Kotak 2.1
didasarkan pada indikator yang berbeda-beda sesuai realitas daerah masing-masing.

             Kemiskinan sebagai Keterbelakangan Fisiologis dan Sosiologis
      Konsep kemiskinan sebagai keterbelakangan fisiologis menitikberatkan
standar kemiskinan yang masih berbasis konsumsi dan pemenuhan kebutuhan
dasar. Kemiskinan konsumsi didasarkan pada kegagalan pemenuhan kebutuhan
makanan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya (pakaian, transportasi, pendidikan,
kesehatan dan lain-lainnya). Konsep kemiskinan konsumsi melatarbelakangi
munculnya kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan, baik melalui
penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, atau peningkatan
produktivitas, serta kebijakan untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh
orang miskin, seperti subsidi harga barang kebutuhan pokok dan penyediaan
pelayanan pendidikan dan kesehatan murah. Konsep kemiskinan yang mengacu
pada kegagalan pemenuhan kebutuhan dasar juga menyoroti tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan mendasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih.
Konsep ini cenderung mencetuskan upaya penyediaan pelayanan-pelayanan dasar
yang murah dan terjangkau oleh penduduk miskin. Konsep ini beranjak dari
pemikiran tentang ketimpangan struktural dan diskriminasi sebagai penyebabnya.
Pemikiran ini dilandasi oleh kenyataan bahwa meskipun sumberdaya yang cukup
besar telah disalurkan ke sektor-sektor yang didominasi masyarakat miskin, tetapi
mereka tidak mendapat keuntungan dari sumberdaya tersebut karena adanya
struktur yang menjadi penghalang. Penghalang utama berasal dari struktur
kekuasaan dan tata pemerintahan, serta ketimpangan dan ketersisihan yang
diciptakan melalui kebijakan ekonomi makro dan sistem distribusi. Konsep
kemiskinan ini lebih dikenal sebagai konsep kemiskinan struktural yang cenderung
mencetuskan perlunya perubahan-perubahan kebijakan dan struktur kekuasaan.

      Konsep ini memandang sebagai kegagalan kapabilitas (human capability
approach) menekankan peningkatan kemampuan masyarakat miskin untuk
memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Secara spesifik ini tidak hanya menyoroti
kondisi keterbelakangan yang diderita masyarakat miskin, tetapi juga kurangnya
peluang-peluang nyata akibat adanya hambatan sosial dan faktor-faktor individual.
Dalam konsep ini pendapatan hanya merupakan salah satu komponen dari
penguasaan sumber daya ekonomi. Komponen lainnya adalah penguasaan atas
barang dan jasa yang disediakan publik (pemerintah); akses terhadap sumber daya
yang dimiliki atau dikelola komunal; dan penguasaan terhadap sumberdaya yang
dapat disediakan melalui jaringan dukungan formal dan informal. Untuk
meningkatkan kapabilitas dalam menanggulangi kemiskinan, kebijakan harus
diarahkan pada upaya-upaya pemberdayaan dan fasilitasi partisipasi masyarakat
miskin dalam kegiatan masyarakat supaya tercipta peluang bagi mereka untuk
meningkatkan taraf hidup. Konsekuensi dari konsep ini mengarah pada upaya
pemberdayaan, partisipasi dan penciptaan iklim yang kondusif akan menciptakan
tantangan baru bagi strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Salah satu
tantangannya adalah belum adanya kesepakatan tentang bentuk pemberdayaan dan
partisipasi yang ideal. Selain itu, isu-isu struktural seringkali dipandang
mengaburkan permasalahan kemiskinan fisiologis yang ada. Oleh sebab itu, banyak
pihak menyarankan untuk tidak mencampuradukkan kebijakan fisiologis dan
kebijakan sosiologis dalam program pemberantasan kemiskinan.

                                                        Kemiskinan Sebagai Proses
       Syaifuddin (2007), membagi cara berpikir yang memandang kemiskinan
sebagai gejala absolut; dan, sebagai gejala relatif. Cara berfikir (model) mengenai
kemiskinan sebagai gejala absolut memandang kemiskinan sebagai kondisi serba
berkekurangan materi, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sarana
untuk mendukung kehidupan sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua
cara pandang, yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model)
struktural. Kemudian, bermula pada tahun 1990an, terjadi perkembangan baru
dalam pendekatan terhadap kemiskinan, yakni memandang kemiskinan sebagai
proses. Pendekatan proses mengenai kemiskinan baru saja dikenal di Indonesia.
Untuk sebagian besar, pendekatan yang digunakan di ruang ilmiah maupun praktis
masih didominasi pendekatan kebudayaan dan struktural sebagaimana dibicarakan
di atas. Kedudukan dan otoritas peneliti – dan pemerintah dalam konteks praktis –
dominan dalam pendekatan kebudayaan (lihat, Lewis 1961, 1966) dan struktural
(lihat, Valentine 1968) mengenai kemiskinan. Dengan kata lain, “orang miskin”
dalam kedua model kemiskinan ini dilihat sebagai obyek, baik sebagai sasaran
penelitian maupun sebagai sasaran program kebijakan.

      Dalam pendekatan proses, peneliti berupaya mengungkapkan kemiskinan
menurut apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas empirik. Orang miskin
diposisikan sebagai subyek yang berpikir dan bertindak, mengembangkan strategi-
strategi dan kiat-kiat agar bertahan hidup. Mengikuti cara berfikir proses tersebut,
maka masalah penelitian ini adalah bahwa orang miskin – sebagaimana halnya
orang yang tidak miskin – mengembangkan hubungan-hubungan sosial khusus di
antara sesama orang miskin maupun orang-orang yang tidak miskin berdasarkan
kompleks kepentingan satu sama lain, yakni mempertahankan hidup (dalam hal ini
berarti memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendasar). Penulis berasumsi bahwa:
Pertama, kompleks keterjalinan hubungan-hubungan sosial yang khas ini
membangun suatu integrasi sosial orang-orang miskin dan tidak miskin sedemikian,
sehingga batas-batas golongan miskin yang diasumsikan dalam pendekatan
kebudayaan dan struktural di atas menjadi baur. Kedua, sebagai konsekuensi dari
hubungan-hubungan sosial yang khas tersebut, maka akumulasi totalitas hubungan
sosial dan tindakan sosial yang terwujud berimplikasi mundurnya kondisi
kehidupan perkotaan, karena hubungan-hubungan sosial yang tidak formal semakin
penting, dan bahkan kadang-kadang lebih penting daripada aturan-aturan formal
dalam menentukan arah tindakan.

2.3   Konsep-Konsep

                                                       Ketimpangan (Inequality)
      Kemiskinan dan ketimpangan adalah konsep yang berbeda, tetapi keduanya
seringkali digunakan bersamaan dalam analisis kemiskinan karena adanya
keterkaitan yang erat antara keduanya. Kemiskinan mengacu pada kondisi
keterbelakangan dalam berbagai bentuk (pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar,
dan kapabilitas), sedangkan ketimpangan mengacu pada distribusinya di antara
anggota suatu kelompok masyarakat dan daerah. Dalam banyak kasus kemiskinan
dipengaruhi oleh ketimpangan distribusi ekonomi baik oleh struktural maupun
natural. Penggabungan indikator kemiskinan dan ketimpangan seringkali diwujudkan
dalam analisis dan menilai kemiskinan, misalnya berdasarkan kelompok, gender,
wilayah, atau etnis. Penggabungan ini merupakan keniscayaan karena memang
kemiskinan tidak berdiri sendiri. Mencermati ketimpangan pada gilirannya akan dapat
memotret seberapa besar gap antara satu kelompok, wilayah, gender dengan kelompok
lainnya. Hasil yang diperoleh dari analisis keduanya adalah tingkat kedalaman dan
keparahan kemiskinan.

       Secara kuantitatif, Kedalaman kemiskinan berarti mengukur secara rata-rata
seberapa jauh jarak orang miskin dari garis kemiskinan. Secara singkat, pengukuran
ini melihat seberapa miskinnya si miskin. Jika secara rata-rata konsumsi orang
miskin hanya sedikit di bawah garis kemiskinan, maka kedalaman kemiskinan lebih
kecil daripada jika rata-rata konsumsi orang miskin jauh di bawah garis kemiskinan.
Secara kualitatif, kedalaman kemiskinan juga dapat ditunjukkan dengan gak antara
klasifikasi kaum termiskin dengan kelompok-kelompok diatasnya. Demikian pula
dengan Keparahan kemiskinan, secara kuantitatif dapat mengukur ketimpangan
distribusi di antara orang miskin. Penghitungan kedalaman dan keparahan
kemiskinan diperlukan karena ada beberapa program yang mungkin tidak terlalu
berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan tetapi mengurangi kedalaman maupun
keparahan kemiskinan. Sementara ukuran secara kualitatif ketika kaum miskin tidak
lagi hidup seperti biasanya, misalnya terpaksa makan nasi aking, mendorong
anaknya bekerja, dan lainnya. Penggabungan indikator kemiskinan dengan ukuran
ketimpangan mempertajam dan memperkaya gambaran mengenai sebaran
permasalahan kemiskinan, sekaligus perilaku kaum miskin itu sendiri.

                                                     Kerentanan (Vulnerability)
      Kemiskinan merupakan konsep yang selalu bergerak. Seseorang menjadi
miskin sangat tergantung dari indikator yang ditetapkan, basis yang dimilki dan
kebijakan pemerintah. Secara ekononomik, kemiskinan memiliki garis yang dapat
berubah kapan saja, dan kelompok masyarakat yang tingkat pengeluarannya berada
di sekitar garis kemiskinan akan cenderung keluar-masuk kategori miskin jika
terjadi gejolak harga atau gejolak penghasilan. Kelompok ini ini biasanya disebut
kemiskinan sementara (transient). Sementara masyarakat miskin yang lebih sering
miskin dalam waktu yang lama dan mempunyai kecenderungan untuk dibawah
garis tersebut disebut kemiskinan kronis. Adapun keluarga miskin yang sama sekali
tidak pernah keluar dari kemiskinan dalam jangka waktu yang sangat lama disebut
kemiskinan berkanjang (persistently poor). Keluar-masuknya kelompok sementara
tersebut pada garis kemiskinan munculnya konsep kerentanan (vulnerability).
Namun secara dominan kerentanan tersebut lebih didominasi faktor eksternal,
terutama kebijakan pemerintah.

     Kebijakan pemerintah misalnya menaikkan BBM jelas akan membuat
kelompok sementara tersebut dapat menjadi miskin. Sementara yang sudah miskin
akan bertambah menjadi miskin. Konsep kerentanan dilandasi bahwa guncangan
ekonomi maupun non-ekonomi dapat memperparah permasalahan kemiskinan,
misalnya krisis ekonomi. Kerentanan dapat diakibatkan oleh faktor eksternal seperti
bencana alam yang terjadi sesaat, seperti gunung meletus dan tsunami; gejolak alam
yang bersifat musiman, seperti kekeringan, banjir atau datangnya ombak besar; gejolak
ekonomi makro yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau naiknya harga-
harga barang kebutuhan pokok; dan gangguan keamanan atau gejolak politik yang
mengganggu kestabilan aktivitas kerja; serta kematian atau sakitnya anggota keluarga.
Kerentanan juga dapat disebabkan oleh faktor internal berupa kondisi kesehatan,
pendidikan dan ketrampilan yang kurang memadai, ataupun perilaku dan kebiasaan
yang cenderung mengakibatkan terjadinya kemiskinan seperti kebiasaan berjudi atau
pola hidup yang terlalu konsumtif dan tidak adanya kebiasaan menabung. Namun,
dominan hal tersebut disebabkan oleh pihak eksternal, terutama pemerintah.

      Konsep kerentanan pada akhirnya harus dipahami oleh pemerintah, sehingga
dalam pembuatan kebijakannya mendasarkan kondisi yang ada. Perhatian terhadap
peluang dan risiko yang ditimbulkan oleh berbagai bentuk guncangan
mempengaruhi penyusunan kebijakan. Dalam kaitan dengan isu ketahanan pangan
(food security), konsep kerentanan mengarahkan kebijakan ketahanan pangan agar
tidak hanya memperhatikan masalah kekurangan gizi, tetapi juga pada ketersediaan
pangan sepanjang musim atau peluang seseorang atau sekelompok orang untuk
tidak mempunyai pangan yang mencukupi pada musim tertentu. Konsekuensi
serupa juga dapat diaplikasikan pada isu-isu lainnya, seperti peluang putus sekolah,
menderita penyakit atau tidak bekerja pada saat-saat tertentu.

      Pemahaman tentang risiko dan kerentanan akan mempengaruhi sikap dan
perilaku masyarakat rentan, dan membantu pemerintah menyusun kebijakan yang
efektif untuk menanggulangi kemiskinan. Masyarakat dengan pendapatan rendah
dan mempunyai kerentanan yang tinggi akan cenderung mempertahankan tingkat
kehidupan subsisten dengan tidak memanfaatkan peluang untuk melakukan
kegiatan yang berorientasi pasar, yang cenderung lebih fluktuatif. Fenomena
semacam ini seringkali membuat frustrasi pembuat kebijakan yang berupaya
meningkatkan kegiatan ekonomi berupa peningkatan produksi yang berorientasi
pasar. Dengan adanya pemahaman tentang persepsi masyarakat terhadap
kerentanan, kebijakan peningkatan produksi akan menjadi lebih efektif dengan
menanggulangi kerentanan endemis di kalangan masyarakat rentan. Fenomena
semacam ini dapat lebih dipahami melalui analisis kualitatif.

      Analisis kualitatif mampu menjawab variabel-variabel yang tidak mampu
dijelaskan melalui analisis kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memberikan gambaran
yang representatif dan dapat digunakan untuk generalisasi karena ketepatannya
dapat dihitung. Namun, ada variabel-variabel yang dapat menjelaskan penyebab
kemiskinan tapi sulit dikuantifikasi (dengan menggunakan teknik-teknik statistik),
misalnya: kultur/budaya, perilaku, identitas, persepsi, kepercayaan, nilai-nilai, ‘trust
and reciprocity’. Kebijakan dan program untuk mengurangi angka kematian ibu dan
meningkatkan kesehatan reproduktif perempuan misalnya, perlu memperhatikan
hubungan jender dalam masyarakat dimana kebijakan dan program tersebut
dilaksanakan. Jika dalam masyarakat tersebut suami (laki-laki secara umum)
memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengambilan keputusan baik dalam
ranah domestik (rumah tangga) maupun dalam ranah publik maka para
suami/bapak juga harus menjadi sasaran program tersebut. Dengan demikian
penyuluhan tidak hanya dilakukan terhadap para istri/ibu tetapi juga harus
dilakukan terhadap para suami/bapak sekalipun materinya bisa berbeda sesuai
dengan strategi dan kebutuhan.

                                                             Ketersisihan (Exclusion)
       Konsep ketersisihan sosial mengacu pada berbagai norma dan proses yang
menghalangi (tidak mengikutsertakan) seseorang atau sekelompok orang untuk
berpartisipasi secara efektif dan sederajat dalam berbagai aspek kehidupan sosial,
ekonomi, kultural dan politik di masyarakat. Konsep ini pada awalnya tumbuh dari
konteks welfare state. Di sini, ketersisihan sosial dikaitkan dengan kelompok yang tidak
punya akses terhadap berbagai program perlindungan sosial (asuransi kesehatan,
pensiun/ jaminan hari tua, subsidi pendidikan, asuransi kecelakaan kerja) dan pelayanan
publik. Namun belakangan ini, konsep social exclusion sering digunakan secara lebih luas
dengan mencakup juga ketersisihan dari berbagai institusi ekonomi, sosial dan politis.
Oleh sebab itu, konsep ini berguna untuk memahami berbagai bentuk keterbatasan
(deprivation) yang disebabkan oleh diskriminasi terhadap kelompok sosial tertentu.

      Ketersingkiran seseorang atau sekelompok orang atau setidaknya adanya
perasaan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak diikutsertakan dalam berbagai
aspek kehidupan sosial menyebabkan terjadinya kondisi ketersisihan sosial.
Ketersisihan dapat terjadi di sektor tenaga kerja, sistem pendidikan, dan berbagai
macam pelayanan publik atau partisipasi politik. Bentuk dan alasan ketersisihan dapat
dilatarbelakangi oleh faktor gender, umur, ras, agama, etnis, lokasi, pekerjaan, penyakit,
atau hirarki sosial.

      Hubungan antara kemiskinan dan ketersisihan sangat variatif tergantung
bagaimana keduanya didefinisikan. Jika kemiskinan didefinisikan sebatas
kemiskinan material atau keterbelakangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,
maka ketersisihan berbeda dengan kemiskinan, meskipun ketersisihan dapat
menjadi salah satu penyebab dan dampak yang berkaitan erat dengan kemiskinan.
Namun, jika kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan kapabilitas yang
menekankan pada berbagai aspek kemampuan fisik, material, pengetahuan, dan
sosial, maka ketersisihan merupakan salah satu unsur kemiskinan, karena
ketersisihan mencerminkan keterbatasan kapabilitas untuk terlibat penuh dan
memanfaatkan peluang yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat.

     Pemahaman tentang fenomena ketersisihan sangat penting dalam analisis
kemiskinan karena peranannya dalam memperlihatkan bagaimana relasi dan interaksi
akan mempengaruhi kondisi kemiskinan. Pengaruh relasi dan interaksi ini tidak akan
mampu ditangkap dari analisis yang hanya melihat kondisi keterbelakangan materi
atau pemenuhan kebutuhan dasar semata. Pemahaman tentang relasi dan interaksi
yang banyak digali dari analisis kualitatif ini banyak dipromosikan sebagai masukan
yang sangat berharga dalam penyusunan kebijakan agar mampu menyentuh akar
permasalahan kemiskinan yang lebih banyak terkait dengan kemiskinan dari sudut
pandang sosiologis.

                                                                 Budaya Kemiskinan
     Oscar Lewis, mengembangkan konsep ‘budaya kemiskinan’ pada tahun 1959.
Ia adalah ahli antropologi, yang melakukan penelitian di komunitas slum di
Meksiko. Konsep ini menjelaskan bahwa kelompok miskin cenderung
mengembangkan ‘budaya kemiskinan’ untuk melindungi diri dari ideologi
akumulasi yang umumnya dianut oleh kelompok kelas menengah dan atas. Orang-
orang yang terjerat kemiskinan dari generasi ke generasi tahu bahwa mereka hanya
memiliki posisi pinggiran (marginal) dalam masyarakat yang individualistis dan
terkotak-kotak dalam jenjang sosial. Kelompok miskin juga tahu bahwa masyarakat
luas tidak menawarkan prospek kepada mereka untuk menaikkan posisi sosial-
ekonomi. Untuk bertahan hidup, kelompok miskin mengembangkan strategi
tersendiri karena masyarakat luas cenderung mengabaikan mereka. Strategi ini
berupa seperangkat nilai, norma, pola perilaku yang berbeda dengan pola yang
diikuti secara luas. Dalam pandangan Lewis, sekali budaya kemiskinan berkembang
maka budaya itu akan berulang dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

      Konsep budaya kemiskinan telah diperdebatkan secara panjang lebar selama
beberapa dekade. Dalam pandangan Lewis, kultur kemiskinan bukanlah sesuatu
yang telah ada secara intrinsik pada masyarakat miskin, melainkan suatu bentuk
adaptasi yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu (yaitu kemiskinan yang parah
dan lama). Yang menarik untuk dicacat adalah bahwa adaptasi ini tampaknya bisa
memecahkan masalah dalam jangka waktu pendek tapi justru merugikan dalam
jangka waktu panjang. Ini dapat menyebabkan orang terjerat kemiskinan. Saat
adaptasi itu disosialisasikan pada generasi berikutnya, maka mereka mendapat
tranfer minus (yaitu belajar strategi bertahan hidup yang tidak bisa membantu
keluar dari kemiskinan).

                                                                             Gender
      Konsep jender mengacu pada hal-hal yang lebih luas dan kompleks dari
sekedar perbedaan jenis kelamin (laki-laki – perempuan). Konsep ini berusaha
mengangkat berbagai pembedaan yang dikaitkan dengan bagaimana menjadi ‘laki-
laki’ dan ‘perempuan’ baik diranah publik maupun ranah domestik, dalam suatu
konteks sosial, ekonomis, politis dan kultural tertentu. Pembedaan ini bisa
diwujudkan dalam berbagai bentuk dilakukan dengan berbagai cara dan diterapkan
oleh berbagai institusi sosial. Berbagai literatur kemiskinan berargumen bahwa
perempuan cenderung lebih terpuruk dalam kemiskinan dibanding laki-laki. Dalam
perdebatan ini muncul konsep ‘feminisasi kemiskinan’ (feminization of poverty) yang
berisi berbagai pemikiran dimana perempuan lebih sering mengalami kemiskinan
lebih parah dari pada oleh laki-laki.

                                                           Adaptasi dan Modal Sosial
         Konsep adaptasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang menempatkan
manusia sebagai pelaku berupaya mencapai tujuan-tujuannya atau kebutuhan-
kebutuhannya, untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-
ubah agar tetap bertahan. Sedang dalam proses adaptasi atau untuk mencapai tujuan
dan kebutuhan secara individuil atau kelompok, ia dapat memobilisasi dan
memanfaatkan sumber-sumber sosial, material, tehnologi serta pengetahuan
kebudayaan yang dimiliki. Cara-cara yang dipilih biasanya mengadakan hubungan-
hubungan sosial baik dengan pihak-pihak yang berada di dalam maupun di luar
komunitas. Hubungan-hubungan tersebut selanjutnya dikenal dengan modal sosial.
Putnam (1993:167) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan
('trust’), aturan-aturan ('norms') dan jaringan-jaringan kerja ('networks’) yang dapat
memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan
yang terkordinasi. Lebih lanjut dikatakan Putman bahwa kerjasama lebih mudah
terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam
bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik danjaringan-jaringan kesepakatan
antar warga.

      Menurut Tonkiss (2000) bahwa modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau
dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-
sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha,
dan meminimalkan biaya transaksi. Lebih jauh, Tonkiss mengatakan pula bahwa
pada kenyataannya, jaringan sosial tidaklah begitu saja menciptakan modal fisik dan
modal finansial yang belum pernah ada. Biasanya penduduk miskin memiliki
pertalian-pertalian sosial yang kuat, namun ini terisolasi dari jaringan ekonomi dan
sosial yang mendominasi (mainstream). Maka, dalam hal ini, “jaringan kemiskinan”
tidaklah menunjuk kepada tiadanya atau lemahnya jaringan-jaringan sosial,
melainkan karena menunjuk kepada sulitnya untuk mengakses peluang dan sumber
daya melalui jaringan-jaringan yang ada.

Derajat Kemiskinan

       Pada saat tertentu kondisi kemiskinan seseorang dapat berubah dari 0o
menjadi 180o. Situasi paling ringan disebut sebagai kemiskinan potensial (potential
poor) atau hampir miskin (near poor). Sementara itu orang yang tengah mengalami
kemiskinan ada dua macam: pertama, mereka mengalami kemiskinan untuk
sementara waktu karena kondisi eksternal yang membawanya ke situasi seperti itu
(kemiskinan sementara). Kedua, mereka mengalami dalam waktu yang lama dan
sulit diubah ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi (kemiskinan kronis).

      Kemiskinan potensial (potential poor), yaitu orang yang pendapatannya berada
sedikit di garis kemiskinan dan tidak melakukan investasi yang memadai, sehingga
sedikit saja goncangan eksternal membuat mereka kehilangan pekerjaan atau
berkurang perolehan pendapatannya sehingga jatuh dalam situasi kemiskinan yang
lebih buruk. Orang yang berada pada situasi pendapatan seperti ini disebut hampir
miskin (near poor). Potensi menjadi miskin rentan terjadi pada mereka yang memiliki
latar pendidikan rendah, ketrampilan kerja terbatas,atau kemampuan inovasi atau
produksi yang juga terbatas.Potensi menjadi miskin bisa juga berasal dari faktor-
faktor eksternal, seperti tempat tinggal yang rentan terhadap bencana alam (banjir,
tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, badai tsunami, dan sebagainya).Tatanan
sosial yang rusak sehingga rentan mengalami konflik horisontal juga dapat menjadi
potensi untuk terjadinya kemiskinan yang lebih buruk.

      Kebijakan politik dan ekonomi yang mengguncang kemapanan sekaligus
berpengaruh pada menurunnya atau bahkan hilangnya pekerjaan (PHK, bangkrut,
menurunnya produksi dan pendapatan). Kebijakan perusahaan dalam hubungan
kerja kontraktual yang tidak setara, bencana alam yang datangnya tak diduga-duga
dan secara langsung menghilangkan pekerjaannya, konflik sosial politik, dan kondisi
kesehatan manusia yang semakin menurun, di tengah tiadanya jaminan sosial yang
memadai bagi keberlangsungan kehidupan seseorang/keluarga, menjadi faktor-
faktor krusial yang membuat seseorang atau keluarga rentan terhadap kemiskinan.

      Kerentanan kemiskinan mengancam rakyat miskin karena ketidakjelasan
sistem dan kondisi yang tidak memihak kepada rakyat miskin. Tidak adanya
jaminan sosial yang memadai atau adanya sistem kontrak kerja yang ditentukan
sepihak oleh pemilik lapangan kerja/pemilik modal dimana pekerja tak memiliki
posisi tawar setara di hadapan majikannya (atau dengan kata lain tetap berlangsung
pola hubungan buruh majikan yang tidak setara sehingga setiap saat buruh
terancam di-PHK. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berakibat buruk pada
ketersediaan lapangan kerja dan pada gilirannya akan menciptakan kerentanan
penduduk untuk menjadi miskin.

      Kemiskinan sementara (transient poverty), adalah kemiskinan yang terjadi
dalam waktu relatif sementara. Kemiskinan ini dialami oleh orang (keluarga) yang
sebelumnya tidak miskin, tetapi karena kondisi eksternal tertentu (perang, konflik
horisonatal dalam masyarakat, bencana alam, kecelakaan dan sebagainya), orang
atau keluarga tersebut jatuh miskin. Mereka mungkin mempunyai latar belakang
pendidikan dan ketrampilan yang cukup memadai, atau memiliki etos kerja dan
daya inovasi yang tinggi. Orang atau keluarga seperti ini dengan mudah dapat
terbebas dari situasi miskin jika kondisi eksternal berubah ke arah yang lebih positif.

        Kemiskinan kronis (cronic poverty). Kemiskinan dapat berlangsung secara
terus-menerus, atau lebih bersifat permanen. Di sini orang lahir dari keuarga
miskin, hidup di masyarakat miskin, mungkin dengan kultur kemiskinan
(fatalisme), atau tinggal di tempat yang tidak menguntungkan (tanah tandus,
miskin sumber daya alam, terisolisasi secara spasial), sehingga sedikit kesempatan
tersedia baginya untuk meningkatkan kualitas hidup. Kemiskinan kronis dapat
diperparah oleh kebijakan negara yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin
atau daerah tertinggal, atau oleh sistem pasar yang tidak memberi ruang bagi
mereka untuk masuk sebagai tenaga kerja atau untuk menjual produk-produk
mereka karena tidak bisa bersaing dengan produk-poruduk lain di pasar bebas.

2.4   Indikator dan Instrumen

      Ukuran kemiskinan menjadi sangat penting. Selain untuk mengetahui tingkat
kemiskinan, status kemiskinan suatu keluarga juga memiliki berbagai fungsi.
Pertama, sebagai alat penargetan program-program penanggulangan kemiskinan.
Kedua, sebagai alat untuk mengukur dampak suatu program penanggulangan
kemiskinan. Jenis data yang dibutuhkan untuk ketiga jenis tujuan pengukuran
kemiskinan di atas dapat berbeda, meskipun seluruhnya membutuhkan data pada
tingkat keluarga dan/atau lingkungan. Selain itu, data yang dikumpulkan juga
dapat berbeda menurut jenis metode pengukuran yang dipilih.

      Jika ragam pandang di atas diterjemahkan ke dalam indikator dan instrumen,
maka dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni model matematis-statistik yang
lebih bersifat kuantitatif dan model analitis yang lebih bersifat kualitatif.

2.4.1 Model Matematis-Statistik

      Awalnya kemiskinan hanya diukur dari aspek makanan atau konsumsi,
dimana seseorang dikatakan miskin bila makanannya tidak memenuhi kriteria
minimum yang dibutuhkan. Jumlah pemenuhan kebutuhan pangan yang minimum
ini disebut garis kemiskinan. Kemudian bukan sekadar makanan, melainkan pada
keperluan hidup lainnya, yang kemudian pada tahun 70-an berkembang dengan
pengukuran kebutuhan dasar yang terdiri dari makanan dan non makanan. Jadi
kemiskinan dipandang sebagai persoalan konsumsi atau ekonomis semata.
Sayogyo misalnya, pada pertengahan tahun 70-an menggunakan metode
daya beli beras untuk menghitung kemiskinan berdasarkan dugaan pengukuran
pendapatan. Konsumsi beras merupakan ukuran yang digunakan untuk mengukur
kesejahteraan dan kekayaan rumah tangga. Perbedaan desa-kota dilakukan dengan
mendorong garis kemiskinan ke atas sebesar 50%. Berdasarkan metode itu
kemiskinan rumah tangga dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: i) sangat
miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai
240 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan, ii) miskin, yaitu
rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai 320 kg beras
untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan, iii) hampir miskin, yaitu rumah
tangga dengan pendapatan perkapita tahunan dengan nilai antara 320-480 kg beras
untuk pedesaan dan 480-720 kg beras untuk perkotaan, iv) tidak miskin, yaitu
rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di atas nilai 480 kg beras
untuk pedesaan dan 720 kg beras untuk perkotaan.

      Sementara Badan Pusat Statistik menggunakan metode objektif untuk
mengukur kemiskinan dengan mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Garis
kemiskinan BPS dibentuk oleh sejumlah rupiah untuk memenuhi kebutuhan 2.100
kalori perkapita per hari ditambah dengan kebutuhan dasar lainnya seperti
pendidikan,kesehatan, transportasi dan sebagainya. Dalam menghitung garis
kemiskinan, BPS menggunakan sumber data Modul Konsumsi Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan yang dihasilkan mencakup garis
kemiskinan nasional, provinsi, perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan
Kabupaten/Kota dikembangkan dari garis kemiskinan propinsi3.

      Sedangkan Bank Dunia (IBRD), merilis garis kemiskinan setara dengan US $
1dan US $ 2 berdasar PPP. Kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) mengembangkan ukuran dalam program-program peningkatan
kesejahteraan keluarga. Berdasarkan kriteria yang dikembangkan BKKBN terdapat
empat katogori keluarga, yaitu keluarga prasejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2,
sejahtera 3 dan sejahtera 3 plus. Kategori keluarga pra-sejahtera atau kelompok
miskin, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
minimal yang secara operasional tidak mampu memenuhi salah satu dari indikator
sebagai berikut: (a) menjalankan ibadah sesusai dengan agamanya, (b) makan
minimal dua kali sehari, (c) pakaian lebih dari satu pasang, (d) sebagain besar lantai
rumah tidak dari tanah, dan (e) jika sakit dibawa ke sarana kesehatan.

      Pengukuran kemiskinan kemudian dikembangkan lebih maju. bila
sebelumnya hanya bertumpu pada garis kemiskinan, pengukuran lainnya
menggunakan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan atau P1 dan P2.
Tidak puas dengan pendekatan yang sudah ada, karena ternyata realitas
kemiskinan masih lebih kompleks dari ukuran tersebut, UNDP, pada tahun 1990-
an, dengan mempertimbangkan gagasan yang berkembang tentang kemiskinan
menciptakan model Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang hanya mengukur
standar pendapatan, harapan hidup dan melek huruf. Kemudian IPM
disempurnakan dengan mengubah indikator IPM itu sendiri dan memasukkan
Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), dan Indeks Pembangunan Gender yang sampai
saat ini digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan tingkat kesejahteraan

3
    Lihat penjelasan teknis Data Kemiskinan, BPS, 2004.
dalam bentuk peringkat, baik pemda maupun antar bangsa. IKM merupakan indeks
komposit yang mengukur keterbelakangan dalam tiga dimensi yaitu lamanya hidup
yang memiliki indikator penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang,
pengetahuan yang memiliki indikator ketertinggalan dalam pendidikan, dan
standar hidup layak yang memiliki indikator keterbatasn akses terhadap layanan
dasar.

      Indikator pertama diukur dengan peluang populasi untuk tidak bertahan
kurang dari 40 tahun, sedangkan indikator kedua adalah angka buta huruf dewasa
atau penduduk usia 15 tahun ke atas. Adapun keterbatasan akses pelayanan dasar
diukur dengan persentase penduduk tanpa akses air bersih, penduduk yang tidak
memiliki akses ke sarana pedesaan dan persentase balita yang tergolong dalan
status gizi rendah dan menengah.

                                                                Profil Kemiskinan
      Profil kemiskinan dapat ditinjau dari beragam indikator, seperti pendapatan
rendah, kondisi kesehatan buruk, pendidikan rendah dan keahlian terbatas, akses
terhadap tanah dan modal rendah, sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, bencana
alam, konflik sosial dan resiko lainnya, partisipasi rendah dalam proses pengambilan
kebijakan, serta keamanan individu yang sangat kurang. Selain itu, profil
kemiskinan juga dapat ditelaah dari tipologi kemiskinan di tingkat komunitas atau
wilayah. Berikut penjelasan ringkas tentang indikator-indikator profil kemiskinan,
dengan beberapa ilustrasi data dan intrepretasi.

       Profil kemiskinan penting sebagai bahan kajian deskriptif yang memberikan
informasi tentang keterkaitan kemiskinan (correlates of poverty) dengan karakteristik
lain. Profil kemiskinan dapat ditinjau melalui kajian dua peubah (bi-variate analysis)
yang membandingkan status kemiskinan rumahtangga atau individu menurut
masing-masing kategori dalam setiap karakteristik tertentu dari rumahtangga atau
individu tersebut.

      Insiden atau angka kemiskinan. Insiden atau angka kemiskinan meliputi
informasi tentang jumlah dan persentase penduduk miskin atau tingkat kemiskinan
(head-count ratio atau P0), indeks ketimpangan kemiskinan (poverty gap index atau P1)
dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index atau P2). Ketiga indikator ini
dihitung dengan menggunakan formula Foster, Greer, dan Thorbecke (FGT).
Berdasarkan hitungan tersebut kita dapat mengetahui jumlah penduduk miskin,
atau rata-rata pengeluaran konsumsi bulanan mereka di bawah garis kemiskinan.
Selain itu kita juga dapat mengetahui kita juga dapat mengetahui head-count ratio
baik yang tertinggi maupun yang terendah, mengatahui indeks ketimpangan (P1)
dan keparahan kemiskinan (P2) yang terjadi antar daerah. Formula FGT juga dapat
dimanfaatkan untuk estimasi alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk mengangkat
taraf hidup semua penduduk miskin sampai dengan senilai garis kemiskinan di
suatu daerah. Perlu dicatat bahwa besarnya alokasi bantuan tidak hanya tergantung
pada jumlah absolut penduduk miskin, tetapi juga sangat tergantung pada garis
kemiskinan, dan rata-rata ketimpangan kemiskinan di suatu wilayah.

      Distribusi pendapatan. Analisis tentang pola distribusi pendapatan atau
pengeluaran konsumsi dapat menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan
(income inequality) di suatu negara, wilayah atau sub-kelompok penduduk, seperti
yang diindikasikan oleh koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini berkisar
antara 0, yang mengindikasikan suatu kemerataan sempurna (perfect equality), dan 1,
yang berarti suatu ketimpangan total (perfect inequality) dalam distribusi pendapatan
atau pengeluaran. Distribusi pengeluaran dapat digolongkan sebagai ketimpangan
rendah (less inequality) bila koefisien di bawah 0,35, sebagai ketimpangan sedang
(medium inequality) jika koefisien berkisar antara 0,35 dan 0,50, dan sebagai
ketimpangan tinggi (high inequality) jika koefisien di atas 0,50. Distribusi pengeluaran
dalam suatu grafik juga berguna untuk melihat pola kemiringan distribusi sesuai
dengan kecenderungan pengelompokan penduduk menurut kelas-kelas
pengeluaran.

     Karakteristik kemiskinan. Kajian deskriptif ini dapat menunjukkan perbandingan
angka kemiskinan antara kategori-kategori atau klasifikasi dalam setiap indikator
atau karakteristik yang diteliti. Misalnya indikator ukuran keluarga, tingkat
kemiskinan di antara rumah tangga dengan ukuran kecil cenderung lebih rendah
daripada rumah tangga dengan ukuran besar. Interpretasi serupa juga berlaku untuk
membandingkan tingkat kemiskinan antar kategori-kategori pada karakteristik-
karakteristik lainnya, misalnya pendidikan, kondisi rumah, akses air, pekerjaan.

     Pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga berguna untuk
melihat komposisi belanja rutin rumah tangga selama sebulan sebelum waktu
survei. Kajian ini juga dapat memperlihatkan kecenderungan pengeluaran konsumsi
rumah tangga apakah lebih besar untuk kebutuhan makanan atau bukan makanan
yang sesuai dengan status kesejahteraannya.

      Kemiskinan komunitas dan wilayah. Kajian kuantitatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Pertama menggunakan pemetaan kemiskinan (poverty mapping)
melalui sensus lengkap secara langsung, atau model regresi untuk estimasi angka
kemiskinan di setiap wilayah (misalnya desa atau kecamatan) berdasarkan
gabungan beberapa sumber data sekunder, seperti sensus penduduk dan survei-
survei rumah tangga. Ini memungkinkan kita untuk memperoleh jumlah dan
persentase penduduk miskin sampai dengan tingkat wilayah desa/kelurahan.
Kedua mengidentifikasi kemiskinan atau ketertinggalan wilayah adalah berdasarkan
data sekunder tentang potensi desa. Dari hasil PODES, misalnya, informasi yang
diperoleh antara lain jumlah dan nama desa/kelurahan yang tergolong miskin
karena sebagian besar penduduknya miskin, atau kumuh dari aspek lingkungan
pemukiman penduduknya, atau tertinggal dari aspek pembangunan infrastruktur
dasar di suatu wilayah. Sementara kemiskinan wilayah bermanfaat untuk melihat
profil kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat desa/kelurahan. Lebih
penting lagi, hasil kajian ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi desa-desa
miskin dan tertinggal menurut tipologinya. Dengan mempertimbangkan tipologi
kemiskinan wilayah yang berbeda, hasil kajian ini tidak hanya memberikan
informasi tentang jumlah desa/kelurahan miskin yang semestinya dicakup dalam
program bantuan, tetapi kajian juga memungkinkan kita untuk mengembangkan
program bantuan dengan fokus yang lebih spesifik. Kajian tentang kemiskinan
wilayah juga bisa ditinjau dari berbagai aspek kewilayahan lainnya, seperti letak
geografis, status daerah (perkotaan dan pedesaan). Perbandingan tingkat
kemiskinan wilayah juga menarik untuk dikaji dengan melihat karakteristik sosial-
demografi, ketersediaan sarana atau infrastruktur dasar dan potensi ekonomi desa,
seperti jumlah penduduk, tingkat pendidikan sebagian besar penduduk,
ketersediaan fasilitas gedung sekolah dan fasilitas kesehatan, prasarana transportasi,
pasar, sumber penghidupan sebagian besar penduduk desa, dan lain-lain.

                                                           Faktor-faktor Penyebab
        Program penanggulangan kemiskinan dan kebijakan di Indonesia belum
banyak menggunakan kajian yang mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab
kemiskinan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan data dengan cakupan
sampel yang memadai yang memuat informasi cukup komprehensif tentang
kemiskinan dan faktor-faktor penentunya. Satu-satunya sumber data yang memadai
untuk analisis determinan kemiskinan di Indonesia dapat ditemui pada Susenas Kor,
meskipun cakupan datanya terbatas bahkan untuk kajian tingkat kabupaten/kota.
Selain itu, kompleksitas dinamika kemiskinan di negara dengan keragaman sosial-
budaya dan ekonomi seperti Indonesia. Di satu sisi, faktor-faktor sosial dan ekonomi
yang terukur, seperti ukuran keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, status
pekerjaan, akses terhadap air bersih, sanitasi dan listrik, serta kualitas bangunan
tempat tinggal memungkinkan untuk dihitung derajat hubungan kausalnya dengan
kemiskinan. Sebaliknya, faktor-faktor sosial-budaya seperti norma tradisional yang
berlaku di suatu komunitas tentang kebersamaan dalam hidup senang dan susah
(shared poverty), nilai ekonomi anak, modal sosial untuk kesejahteraan bersama
sangat sulit diukur dampaknya secara kuantitatif terhadap perbedaan tingkat
kemiskinan antar komunitas atau wilayah.

      Analisis determinan kemiskinan digunakan untuk menelaah mengapa suatu
rumah tangga dikategorikan miskin. Unit analisisnya adalah rumah tangga atau
individu yang dicakup dalam observasi. Pada prinsipnya, kajian determinan
kemiskinan dibedakan atas dua pendekatan. (1) Kajian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi atau menjelaskan adanya variasi (perbedaan) tingkat kemiskinan
antar sub-kelompok penduduk atau wilayah. Unit analisis dalam kajian untuk
pendekatan pertama ini adalah daerah, misalnya perbandingan antara
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. (2) Analisis faktor-faktor penentu
(determinan) yang menyebabkan terjadinya kemiskinan rumah tangga atau
individu. Metode analisis yang digunakan untuk kedua pendekatan pada dasarnya
tidak berbeda, yaitu umumnya dengan analisis regresi ganda (multi-regression
analysis) baik secara linier maupun non-linier.

      Analisis bivariate perlu dilakukan untuk melihat arah dan derajat asosiasi
antara tingkat kemiskinan dan berbagai indikator sosial-ekonomi. Setelah itu bisa
digunakan analisis regresi ganda untuk mengidentifikasi faktor determinan
kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kemiskinan
semakin rendah indeks pembangunan manusia di suatu wilayah. Sebagai catatan,
indikator-indikator yang mempunyai asosiasi kuat dengan kemiskinan, seperti IFS,
TANAH, FOOD dan IPM seringkali dapat dipastikan akan muncul sebagai peubah-
peubah penentu terhadap perubahan pada angka kemiskinan dalam analisis lanjutan
regresi ganda.

      Analisis regresi ganda juga bisa dilakukan dengan menggambarkan scatter
diagram hubungan antara keduanya. Kajian diagram sebar ini sangat sederhana
tetapi berguna untuk melihat kasus-kasus yang termasuk dalam trendline (best-fitted
model dari hubungan tersebut), dan yang menyimpang jauh dari trendline.
Jika unit analisis adalah rumah tangga atau individu, bisa menerapkan analisis
korelasi. Satu hal yang perlu diingat bahwa semua peubah yang dicakup dalam
matriks korelasi harus diusahakan bersifat ordinal, di mana nilai atau kategorisasi
peubah berbentuk urutan dari nilai terendah sampai dengan tertinggi. Beberapa
contoh peubah dalam analisis korelasi kemiskinan pada tingkat individu: status
kesejahteraan (tidak miskin -0, miskin -1), kelompok pengeluaran rumah tangga
(<100.000, 100.000-199.999, 200.000-299.999, 300.000-399.999, 400.000-499.999 dst),
ukuran keluarga (≤2, 3, 4-5, ≥6), tingkat pendidikan (<SD -0, SD -1, SLTP -2, SLTA+ -
3), dan sebagainya.

      Sementara kajian dua peubah memberikan hasil yang terbatas karena hanya
menunjukkan arah dan derajat hubungan antara kemiskinan dengan karakteristik
tertentu pada suatu waktu tertentu. Kajian ini tidak mempertimbangkan
kompleksitas faktor penyebab kemiskinan. Perlu dicatat, korelasi adalah hubungan
antara dua faktor, tetapi tidak selalu berarti bahwa faktor yang satu menyebabkan
perubahan atas faktor yang lain (causality). Oleh karena itu, analisis regresi ganda
diterapkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang secara statistik
mempengaruhi kemiskinan.

      Nilai peubah tidak bebas yang diprediksi oleh model regresi tidak selalu
mendekati nilai estimasi sesungguhnya. Model regresi dihitung berdasarkan pola
sebaran hubungan antara peubah tidak bebas dan peubah prediktornya. Oleh sebab
itu, penghitungan ini menghasilkan suatu model yang paling cocok (best-fitted model)
dengan pola sebaran data tersebut. Sebagai konsekuensinya, hanya sebagian kasus
akan mempunyai nilai model yang mendekati dengan nilai estimasi survei,
sedangkan sebagian kasus-kasus yang lain memiliki nilai-nilai model yang
menyimpang dari nilai estimasinya.

      Model ini dapat dimanfaatkan untuk prediksi angka kemiskinan berdasarkan
berbagai skenario tentang nilai-nilai prediktor terpilih yang diharapkan dalam suatu
kebijakan penanggulangan kemiskinan.

      Prinsip dasar dari model ini menggunakan bentuk variabel biner yang
membedakan dua situasi atau kategori secara eksklusif terpisah: ‘miskin’ dengan
nilai 1 dan ‘tidak miskin’ dengan nilai 0. Model regresi logit atau probit bertujuan
untuk mengkonstruksi profil kemiskinan dalam suatu bentuk regresi dari status
kemiskinan terhadap berbagai karakteristik sosio-demografi dan ekonomi
rumahtangga. Status kemiskinan (miskin dan tidak miskin) didefinisikan sebagai
peubah tidak bebas yang akan diprediksi oleh karakteristik-karakteristik
rumahtangga sebagai peubah-peubah bebas.

2.4.2 Analisis Kualitatif

     Pendekatan kualitatif dalam kajian kemiskinan adalah pendekatan untuk
menggali pendapat masyarakat (subjektif), termasuk kelompok miskin, mengenai
kemiskinan, aspek-aspek sosial dari perilaku dan pengalaman kelompok miskin, dan
mengetahui secara mendalam gaya hidup komunitas dan pengalaman yang berarti
pada kelompok tersebut. Pendekatan ini secara umum digunakan untuk mencari
jawaban tentang how-bagaimana dan why-mengapa. Pendekatan yang sering
digunakan para ahli sosial dan antropologi ini merupakan pendekatan aras mikro,
yaitu pada wilayah terbatas, namun mendalam.

      Analisis kualitatif sangat kaya dengan varibel indikator karena bertolak dari
individual dan kelompok beserta lapisan-lapisan relasinya, misalnya dalam relasi
antar individual, keluarga ataupun hubungan produksi. Sebagai sebuah sistem
kehidupan, analisis ini setidaknya akan menyangkut struktur, fungsi dan formasi
masyarakat dalam kaitannya dengan kuasa dan kontrol dalam keluarga atau rumah
tangga, serta dalam dinamika harmoni atau konflik. Analisis ini biasanya
mengedepankan citra lokal yang kuat dan bercorak spesifik pada komunitas
tertentu.

       Dalam analisis kualitatif ada beberapa teknik analisis yang dapat dilakukuan,
diantara, yaitu: i) pemeringkatan (ranking, scoring), yaitu penilaian berdasarkan
nilai tertentu, misalnya peringkat kesejahteraan (wealth ranking) merupakan sebuah
cara untuk mengidentifikasi dan melakukan pemilahan rumah tangga di suatu
komunitas ke dalam jenjang-jenjang berdasar aset atau kekayaannya. Dalam Kajian
Kemiskinan Partisipatif, pemeringkatan ini adalah upaya untuk menggali kategori-
kategori yang sesuai dengan pemahaman lokal. Pemeringkatan misalnya besarnya
kekayaan, tingkat kesejahteraan, prioritas, pilihan/ preferensi; ii) qualitative qoding’,
yaitu prosedur pemilahan (klasifikasi) data atau informasi ke dalam suatu kode yang
umumnya berupa tema/topik/isu/kategori tertentu. Sekumpulan informasi tersebut
bisa berbentuk rekaman video observasi, rekaman wawancara, transkrip wawancara,
gambar/foto, atau benda-benda lain yang bisa diinterpretasikan; iii) matriks
hubungan (aktifitas, sumberdaya, akses, pengaruh, kontrol), yaitu beberapa kolom
yang mencoba memotret hubungan antara satu bagian dengan bagian lain yang
berhubungan dengan kaum miskin; iv) diagram hubungan, lebih banyak dipahami
sebagai hubungan sebab akibat antara satu dengan yang lain. Perlu ditegaskan
bahwa hubungan dalam diagram tidak selalu sebab akibat, tetapi terkadang
bersama, timbal-balik.

Tema-tema Umum
      Dalam analisis kualitatif agar lebih mudah dijalankan dan dipahami biasanya
menggunakan tema umum. Tema umum ini selanjutnya diturunkan lebih spesifik
agar lebih mendalam lagi dan seterusnya. Namun demikian tema-tema ini sifatnya
hanya sebagai panduan saja karena konteks lapangan bisa saja berbeda dengan
pikiran awal. Tema-tema umum paling tidak dapat digambarkan sebagai berikut:

      Sosial-Budaya. Potret kemiskinan dapat dinalisis dari aspek budaya dengan
mengkaji dan memahami kenyataan kemiskinan-pemiskinan dari sudut pandang
kultur masyarakat, misalnya tentang kebiasaan, adat istiadat, sikap mental, bahasa
yang digunakan, simbol, kepercayaan, pengaruh alam, dan bagaimana masyarakat
menyikapi hal-hal yang mistis. Kemiskinan akan membentuk cara hidup tertentu
yang membentuk kebudayaan kaum miskin. Konsep ini sering disebut sebagai
budaya kemiskinan, Lewis (1959). Budaya kemiskinan pada satu sisi merupakan
strategi adaptif, dan pada sisi lain merupakan perlawanan yang bisa mereka
lakukan.

       Melalui kajian budaya, setidaknya kita dapat memotret dan memahami latar
belakang terjadinya kemiskinan dari sudut pandang adat dan kebiasaan serta sikap
mental dan kepercayaan masyarakat dan komunitas. Juga memahami ekspresi
simbol dan konstruksi kebudayaan yang terjadi dan terus-menerus dikembangkan
oleh golongan miskin, baik laki-laki maupun perempuan.

      Relasi Sosial. Salah satu kelemahan mendasar analisis kuantitatif karena tidak
bisa menjelasakan relasi sosial dengan kemiskinan. Kalaupun ada, studi tersebut
hanya berupa angka yang kadang sangat jauh dari realitas sosial, menafikan setting
dan tidak mendalam. Memetakan relasi sosial dalam masyarakat menjadi faktor
penting untuk merumuskan aktor-aktor yang berkontribusi pada kemiskinan
seseorang atau satu komunitas. Dengan demikian analisis relasi sosial sangat efektif
digunakan untuk memahami bentuk-bentuk atau pola-pola hubungan antar-
individu ataupun antar-kelompok yang terlibat dalam suatu situasi kemiskinan-
pemiskinan.

         Kajian mendalam relasi sosial ini diarahkan untuk menemukan aktor-aktor
maupun lembaga, struktur sosial, pola hubungan yang ada, pola kemiskinan yang
terjadi, pihak yang diuntungkan, strategi dan siasat yang digunakan dan dirugikan
sekaligus kemungkinan terjadinya kolaborasi aktor dalam menyelesaikan atau
bahkan melanggengkan kemiskinan yang terjadi.

       Konteks Sejarah. Kemiskinan dapat dipahami dengan menelisik sejarah kaum
miskin. Kita tahu (meski tidak semua) bahwa mereka yang terlanjur miskin agak
sulit keluar dari kemiskinan karena telah mewarisi gaya hidup sebagai kaum miskin
(tergenarasi). Melalui analisis sejarah diharapkan dapat mengungkapkan fakta-fakta
sejarah yang menjadi tonggak terjadinya situasi kemiskinan-pemiskinan, bagaimana
itu terjadi, pengaruh-pengaruh cerita dan peristiwa-peristiwa penting kamiskinan-
pemiskinan.

      Ekonomi. Hal lain yang penting dilihat dalam analisis kualitatif juga masalah
ekonomi. Analisis ini menelaah aktivitas ekonomi kaum miskin dan ekonomi yang
dekat dengan realitas mereka. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa
sebuah situasi kemiskinan-pemiskinan terjadi dari sudut pandang ketimpangan
akses, kontrol, distribusi, dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi. Dengan
analisis ini, kita dapat mengetahui peta sumberdaya yang selama ini digunakan
untuk tetap hidup, aktor-aktor yang terlibat, keadilan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan dan kontribusinya pada kehidupan keseharian mereka.

      Politik. Kondisi kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari partisipasi politik,
terutama politik di tingkat lokal. Tema politik diangkat dalam rangka menemukan
hubungan antara kemiskinan dan politik yang terjadi pada suatu golongan
masyarakat. Pemetaan politik penting untuk mengetahui pola hubungan yang
terjadi antar kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan besar-kecilnya
‘kekuasaan’ dan ‘kepentingan’ yang dimiliki sebagai usaha untuk menguraikan
aspek kehidupan politik yang berkaitan dengan kekuasaan dan pengambilan
keputusan tentang pranata kehidupan masyarakat, misalnya dalam perencanaan
pembangunan.

     Gender. Kemiskinan dinyatakan sangat berwajah perempuan mengingat
proporsi kemiskinan terbesar ada di pihak perempuan. Mendalami dimensi gender
dalam konteks kemiskinan menjadi sangat penting, terutama untuk menemukan
penyebab dan tawaran-tawaran strategis. Telah banyak bukti bahwa intervensi
selama ini seringkali gagal karena ketidakmampuan dalam mengungkap dimensi
perempuan-laki laki yang memang berbeda dari sisi kebutuhan.

      Analisis gender adalah usaha menguraikan relasi kekuasaan laki-laki dan
perempuan untuk mengetahui struktur budaya patriarkal-matriarkal yang
dikembangkan, pembagian yang terjadi, kebutuhan dan masalah perempuan secara
khusus, akses dan kontrol kaum perempuan dan kelompok lain dalam pengambilan
keputusan yang mulai dari diri perempuan, keluarga, pranata sosial dan negara
serta menggali perbedaan pandangan antara perempuan dan laki-laki dalam
menghadapi kemiskinan-pemiskinan dan strategi yang mereka kembangkan
masing-masing.

       Di kalangan NGO, analisis semacam ini dikenal dengan analisis sosial
(berperspektif gender/feminis), di mana perangkat dominan yang digunakan adalah
variabel kualitatif yang berhubungan dengan nilai, persepsi, kelembagaan dan relasi
struktur atau lapisan serta proses-proses dominasi, eksploitasi dan hegemoni yang
ada. Upaya-upaya untuk membumikan analisis ini mengalami kemandegan sejak
tahun 90-an awal, di mana forum aliansi aktivis dan ilmuwan untuk upaya
indiginisasi menjadi berantakan, namun setidaknya mereka memperkenalkan 4 pilar
penting yakni: indiginisasi, partisipasi, konsientisasi dan emansipasi. INSIST yang
berupaya mengisi kekosongan ruang ini juga mengalami langkah yang tersendat-
sendat dan belum melangkah lebih jauh sekalipun produknya lebih meluas
ketimbang forum ilmu sosial transformatif sebelumnya.
Bab III
                     KEMISKINAN DAN PEMISKINAN


3.1   Kemiskinan Indonesia

      Awalnya, kemiskinan merupakan pilihan hidup seseorang atau sekawanan
komunitas atau sekte untuk memilih realitas kepapaan berdasarkan pandangan nilai
tertentu. Kemiskinan yang semula sebagai pilihan sukarela menjadi pilihan terpaksa
akibat berbagai hal yang bersifat kelembagaan dan spesialisasi kerja atau karena
ketertundukkan secara fisik. Maka kemiskinan pun semakin menjadi rumit. Di
zaman feodal, di mana kerajaan-kerajaan bertumbuh-kembang, fenomena
kemiskinan semakin kompleks.

       Kemiskinan di masa Hindia Belanda mulai menunjukkan wajah ekstrimnya,
di mana banyak terjadi enclave. Politik tanam paksa dan komoditisas perkebunan
telah menimbulkan penurunan kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Di wilayah-
wilayah dengan sistem perkebunan dengan modal besar terdapat daerah-daerah
kantong kemiskinan dan bahkan di beberapa daerah terjadi kelaparan. Berbagai
laporan dan studi dilakukan pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian
membuahkan kebijakan politik etis. Programnya, seperti diketahui, memang dalam
beberapa hal menghilangkan kelaparan yang ekstrim, namun kemerosotan
kesejahteraan terus berlanjut apalagi di masa malaise ekonomi. Kantong buruh
makin banyak dan meluas, tidak hanya di Jawa. Di daerah Sumatera Timur juga
berlangsung proletarisasi.

       Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan sekadar sebagai
gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia yang sedang
bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diboncengi kolonialisme dan imperialisme.
Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekadar manifestasi lebih lanjut
dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan juga akibat kebijakan
Hindia Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global yang sedang ganas-
ganasnya berkembang. Dan pada masa selanjutnya sistem itu semakin berkembang
pesat, sekalipun pernah dihambat melalui Program Banteng dan Nasionalisasi
Perusahaan Asing di masa orde sebelum rezim Soeharto.

        Dari masa Soeharto hingga SBY-JK, yang mengusung tema ”Melawan
Kemiskinan melalui Washington Consensus”, jerat kapitalisme global semakin
mencengkeram Indonesia ke dalam arus Neo Liberalisme (atau lazim disebut
neokolim). Hutang luar negeri semakin menggerogoti kekayaan bangsa, bahkan
untuk membiayai penanggulangan kemiskinan terpaksa bangsa kita harus
mengutang. Perekonomian kita semakin distir oleh asing, dan karena itu kedaulatan
sebagai negara-bangsa menjadi buram dan sulit dikenali untuk tidak menyebutkan
tiada. Kekayaan kita telah dikuras oleh imperium asing, juga oleh antek-antek atau
komparador asing melalui bisnis illegal di seluruh sektor ataupun oleh pengusaha
nasional yang tidak bertanggung jawab yang kini melarikan diri ke luar negeri.

3.1.1 Realitas Kemiskinan Kontemporer
Wajah kemiskinan Indonesia sungguh memprihatinkan. Bentuknya tidak
hanya sekadar kemiskinan ekonomi tetapi juga sampai pada perendahan martabat
manusia. Ragam persepsi kemiskinan menurut kaum miskin seperti yang dilaporkan
KIKIS merekam sketsa kemiskinan Indonesia kontemporer seperti berikut ini:

Tabel 3.1 Persepsi dan Bentuk Kemiskinan
   Sektor                       Persepsi Kemiskinan                               Bentuk Kemiskinan
                   1. Kemiskinan adalah kondisi ketidak-berdayaan    Miskin Informasi
                      dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga          Kekurangan Pangan
                      karena tidak adanya jaminan penghasilan.       Rendahnya percaya diri
                   2. Kemiskinan adalah kondisi ketidak-mampuan      Miskin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
                      memenuhi kebutuhan hidup karena hidup          Miskin Pendidikan (secara Formal)
    Lahan Kering




                      sebatang kara dan karena hubungan keluarga     Berkurangnya ruang partisipasi.
                      yang tidak harmonis.
                   3. Kemiskinan adalah ketidak-mampuan
                      memanfaatkan peluang memperbaharui
                      keadaan yang datang dari dalam dan luar
                      akibat kemandegan dan kemenduaan
                      (hipokrit) fungsi kepemimpinan dan
                      kelembagaan masyarakat desa.
                   1. Kemiskinan adalah kondisi hidup yang serba     Menyempitnya kepemilikan lahan petani kebun.
                      terbatas, terisolasi dari dunia luar, tidak    Hilangnya keberanian mengintroduksi
                      adanya sarana pendidikan, kesehatan dan        pelembagaan komoditi lain
                      prasarana ekonomi, serta kesempatan            Rentan terhadap faktor harga pasar komoditi,
                      berusaha dan bekerja hanya mengandalkan        terhadap faktor alam (hama penyakit tanaman),
                      kebaikan dari pabrik.                          bencana alam.
                   2. Kemiskinan lebih merupakan bentuk ketidak-     Lemahnya fungsi kelembagaan sosial.
                      adilan atas tata kuasa terhadap tanah (lahan   Ketergantungan sangat tinggi pada sarana
                      produksi) dan tata kelola atas pilihan jenis   produksi.
                      komoditas apa yang sebaiknya diusahakan        Lemahnya kontrol dan perlindungan kesehatan
                      dan teknologi apa yang cocok dan adaptif       Rendahnya akses pendidikan
    Perkebunan




                      terhadap tradisi dan lingkungan sosial         Rendahnya derajat nutrisi/gizi pangan..
                      pedesaan                                       Hilangnya akses permodalan
                   3. Kemiskinan merupakan derajat perampasan        Rendahnya kualitas kesuburan tanah.
                      hak-hak manusia yang paling hakiki, tidak      Hilangnya kemampuan mengembangkan
                      adanya pengakuan martabat dan harga diri       keterampilan alternatif yang menunjang sumber
                      manusia melalui perlindungan dan jaminan       pendapatan
                      sosial.
                   4. Kemiskinan lebih merupakan hancurnya
                      kepercayaan, kelembagaan dan jaringan
                      sosial dan kerusakan ekosistem (lingkungan)
                      sehingga harapan hidup lebih berorientasi
                      pada hal-hal yang mistik dan pragmatis.


                   1. Kehidupan orang atau komunitas yang situasi    Miskin informasi
                      hidupnya ditandai dengan tidak terpenuhinya    Miskin pada jaminan perlindungan sosial
                      kebutuhan hidup yang pokok sebagaimana itu     Miskin pada akses pelayanan publik
                      dialami oleh masyarakat secara normal,         Hilangnya akses pendidikan
    Miskin Kota




                      karena tidak berimbangnya pendapatan           Miskin pada akses pekerjaan dan permodalan
                      dengan jumlah kebutuhan yang dipenuhi          Hilangnya interaksi sosial dan relasi sosial
                      (Pontianak)
                   2. Kehidupan yang serba kekurangan atau tidak
                      mampu memenuhi kebutuhan dasar dan
                      posisinya direndahkan oleh banyak orang
                      (Medan)
1. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang            Semakin sempitnya lahan pertanian (Aceh dan
                              menggambarkan : terbatasnya aset yang           Lombok).
                              dimiliki (kepemilikan lahan, rumah tangga,      Luas lahan pertanian yang tetap (Kuningan – Jawa
                              modal); tidak memiliki mata pencaharian         Barat)
                              tetap; tidak adanya ketahanan pangan,           Menurunnya hasil produksi pertanian, karena
                              rendahnya pendapatan dan ketergantungan         turunnya produktivitas lahan (hasil panen 1 – 1,2
                              yang tinggi terhadap hutang.                    ton per Ha; kasus di Sambas Kalimantan Barat)
                           2. Kemiskinan juga terkait dengan terbatasnya      Meningkatnya jumlah pengangguran.
                              akses masyarakat terhadap pendidikan,           Rendahnya pendapatan yang diterima, sehingga
                              kesehatan dan informasi sehingga komunitas      kaum miskin tidak mampu menghadapi gejolak
                              hutan sangat akrab dengan sebutan               ekonomi.
           Pinggir Hutan



                              ‘masyarakat pinggiran’.                         Terbatasnya lapangan kerja, sehingga banyak
                           3. Kemiskinan terjadi karena kurangnya             masyarakat yang mencari kerja ke luar desa (Kota
                              perhatian pemerintah terhadap segala            dan Luar Negeri menjadi TKI/TKW).
                              perubahan yang terjadi terutama terkait         Keterbatasan modal sehingga adanya praktek ijon
                              dengan hal – hal yang menyangkut                dan ketergantungan yang tinggi terhadap hutang.
                              pengambilan keputusan dalam hubungannya         Intervensi terhadap kawasan hutan.
                              dengan pengelolaan kawasan hutan.               Adanya stigmatisasi masyarakat miskin sebagi
                           4. Kemiskinan di komunitas ini terjadi karena      masyarakat yang memiliki ‘etos kerja yang
                              tidak seimbangnya jumlah penduduk               rendah’.
                              (kelahiran dan migrasi) dengan lapangan kerja   Sulitnya akses terhadap sarana dan prasarana :
                              yang tersedia, kurangnya keterampilan di luar   pemasaran, pendidikan dan kesehatan.
                              sektor pertanian sehingga kawasan hutan         Miskin partisipasi.
                              menjadi alternatif masyarakat sebagai sumber
                              kehidupan.

                           1. Tidak terjaminnya dan semakin hilangnya hak     Rendahnya akses pelayanan pendidikan dan
                              Penguasaan Sumber Daya Alam dan aset            kesehatan
                           2. Tidak terjaminnya hak-hak dasar warga           Lemahnya akses pelayanan dalam memperolah
                              negara seperti : pendidikan, kesehatan,         permodalan yang sesuai dengan kebutuhan
                              informasi, sarana dan prasarana.                nelayan
    Nelayan




                           3. Tidak berpihaknya sistem hukum dan              Tidak mempunyai kekuatan dalam menetapkan
                              kebijakan terhadap nelayan miskin.              harga
                           4. Adanya sistem ekonomi yang timpang              Rendahnya akses terhadap pasar
                           5. Sistem sosial budaya yang menyudutkan           Terbatasnya penguasaan alat produksi
                              (stigmatisasi) si nelayan miskin.               Terbatasnya tempat/wilayah penangkapan karena
                                                                              keterbatasan alat produksi.

                           1. Kemiskinan adalah kondisi hilangnya motivasi    Kurangnya pelayanan kesehatan
                              mobilitas vertikal (keinginan untuk mencapai    Lemahnya solidaritas
                              status yang lebih tinggi),                      Tidak bisa menyuarakan kepentingan
                           2. Kemiskinan adalah ketidakmampuan                Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk
                              menjangkau pendidikan yang lebih tinggi,        menuntut hak-hak
    Buruh Industri




                           3. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan              Rentan terhadap PHK
                              memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi.          Rentan terhadap bentuk eksploitasi dan
                                                                              kekerasan (Fisik, psikologis, seksual) serta belum
                                                                              ada perlindungan hukum.
                                                                              Ruang partisipasi yang kurang
                                                                              Putting out system (tenaga kerja kontarakan) yang
                                                                              memperkecil peluang untuk menjadi buruh formal
                                                                              sehingga lemahnya perlindungan apabila terjadi
                                                                              pemutusan hubungan kerja
                           1. Kemiskinan adalah ketiadaan peluang kerja       Kurangnya pelayanan kesehatan
                              yang sesuai dengan kemampuan perempuan          Lemahnya solidaritas
                              dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya      Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk
                           2. Kemiskinan adalah tidak adanya sumber           menuntut hak-hak
                              penghasilan yang tetap                          Rentan terhadap bentuk eksploitasi dan
                           3. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan untuk        kekerasan (fisik, psikologis, seksual) serta belum
    Buruh Migran




                              menentukan pilihan jenis pekerjaan yang         ada perlindungan hukum.
                              diinginkan                                      Keterbatasan informasi
                           4. Kemiskinan adalah kerentanan trehadap           Terpaksa menjadi PRT (Pekerja Rumah Tangga),
                              eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan oleh   baik domestik maupun luar negeri
                              PJTKI dan Majikan
Sumber: Kikis, 2004

      Berikut ini kita melihat realitas kemiskinan di Indonesia baik melalui garis
kemiskinan yang diformulasikan BPS maupun berdasarkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan
Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 
pemberantasan korupsi di jepang
pemberantasan korupsi di jepangpemberantasan korupsi di jepang
pemberantasan korupsi di jepangReza Yudhalaksana
 
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publikBudaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publikDian Herdiana
 
Kisah Sukses Dana Desa 2017
Kisah Sukses Dana Desa 2017Kisah Sukses Dana Desa 2017
Kisah Sukses Dana Desa 2017Ahmad Abdul Haq
 
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional Dadang Solihin
 
Data Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan DaerahData Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan DaerahDadang Solihin
 
TUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdf
TUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdfTUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdf
TUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdfFajarYuniftiadi1
 
Identifikasi nilai nilai dasar pns
Identifikasi nilai nilai dasar pnsIdentifikasi nilai nilai dasar pns
Identifikasi nilai nilai dasar pnsAlfonsus Liguori
 
power point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNS
power point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNSpower point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNS
power point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNStemanna #LABEDDU
 
Modul 09 Logic Model
Modul 09 Logic ModelModul 09 Logic Model
Modul 09 Logic ModelArif Rahman
 
Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...
Background Study  untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...Background Study  untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...
Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...Indonesia Infrastructure Initiative
 
Pendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunanPendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunanQiu El Fahmi
 
Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD
Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD
Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD Dadang Solihin
 

Was ist angesagt? (20)

Inovasi Kepemerintahan Digital
Inovasi Kepemerintahan DigitalInovasi Kepemerintahan Digital
Inovasi Kepemerintahan Digital
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
 
Analisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan PublikAnalisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik
 
pemberantasan korupsi di jepang
pemberantasan korupsi di jepangpemberantasan korupsi di jepang
pemberantasan korupsi di jepang
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publikBudaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
 
Kisah Sukses Dana Desa 2017
Kisah Sukses Dana Desa 2017Kisah Sukses Dana Desa 2017
Kisah Sukses Dana Desa 2017
 
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
 
Data Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan DaerahData Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan Daerah
 
TUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdf
TUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdfTUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdf
TUGAS PERSEORANGAN ANALISIS ISU KONTEMPORER.pdf
 
Identifikasi nilai nilai dasar pns
Identifikasi nilai nilai dasar pnsIdentifikasi nilai nilai dasar pns
Identifikasi nilai nilai dasar pns
 
power point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNS
power point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNSpower point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNS
power point untuk presentasi Laporan Aktualisasi Habituasi Latsar CPNS
 
Beberapa teori ketenagakerjaan
Beberapa teori ketenagakerjaanBeberapa teori ketenagakerjaan
Beberapa teori ketenagakerjaan
 
Modul 09 Logic Model
Modul 09 Logic ModelModul 09 Logic Model
Modul 09 Logic Model
 
Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...
Background Study  untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...Background Study  untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...
Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Ba...
 
Pendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunanPendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunan
 
Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD
Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD
Sinkronisasi Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD
 
Makalah Pelayanan publik
Makalah Pelayanan publikMakalah Pelayanan publik
Makalah Pelayanan publik
 
Paradigma Pembangunan
Paradigma PembangunanParadigma Pembangunan
Paradigma Pembangunan
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 

Ähnlich wie Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan Penganggaran
Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan PenganggaranProgram Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan Penganggaran
Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan PenganggaranPSEKP - UGM
 
Presentasi launching pkkpm
Presentasi launching pkkpmPresentasi launching pkkpm
Presentasi launching pkkpmTubagus Enoy
 
Dokumen roadmap pnpm final
Dokumen roadmap pnpm finalDokumen roadmap pnpm final
Dokumen roadmap pnpm finalRisqi Tomy
 
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptxPEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptxdipoanugerahramadhan
 
Upaya Peningkatan Angka IPM Provinsi Papua
Upaya Peningkatan Angka IPM Provinsi PapuaUpaya Peningkatan Angka IPM Provinsi Papua
Upaya Peningkatan Angka IPM Provinsi Papuadaldukpapua
 
Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008
Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008 Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008
Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008 Dadang Solihin
 
implementasi kebijakan program penanggulangan kebijakan
implementasi kebijakan program penanggulangan kebijakanimplementasi kebijakan program penanggulangan kebijakan
implementasi kebijakan program penanggulangan kebijakanAnggit T A W
 
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah   Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah Perpus Maya
 
Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...
Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...
Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...Dadang Solihin
 
Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011
Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011
Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011ervinayulianti
 
Dampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesia
Dampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesiaDampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesia
Dampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesiaAngga Debby Frayudha
 
Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019
Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019
Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019Rusman R. Manik
 
Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016
Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016
Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016pandirambo900
 
Manajemen Pembangunan Indonesia
Manajemen Pembangunan IndonesiaManajemen Pembangunan Indonesia
Manajemen Pembangunan IndonesiaRandy Wrihatnolo
 
Pedoman umum urban poverty project 2 bab iii komponen proyek dan bantuan te...
Pedoman umum urban poverty project 2   bab iii komponen proyek dan bantuan te...Pedoman umum urban poverty project 2   bab iii komponen proyek dan bantuan te...
Pedoman umum urban poverty project 2 bab iii komponen proyek dan bantuan te...Advisory Specialist for P2KP
 
Perubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptx
Perubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptxPerubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptx
Perubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptxNovySetiaYunas
 
Buku Pekan MDGs Sumbar
Buku Pekan MDGs SumbarBuku Pekan MDGs Sumbar
Buku Pekan MDGs SumbarDR Irene
 

Ähnlich wie Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan (20)

Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan Penganggaran
Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan PenganggaranProgram Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan Penganggaran
Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Perencanaan Penganggaran
 
Presentasi launching pkkpm
Presentasi launching pkkpmPresentasi launching pkkpm
Presentasi launching pkkpm
 
Dokumen roadmap pnpm final
Dokumen roadmap pnpm finalDokumen roadmap pnpm final
Dokumen roadmap pnpm final
 
100067054 makalah-mdgs
100067054 makalah-mdgs100067054 makalah-mdgs
100067054 makalah-mdgs
 
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptxPEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
 
Upaya Peningkatan Angka IPM Provinsi Papua
Upaya Peningkatan Angka IPM Provinsi PapuaUpaya Peningkatan Angka IPM Provinsi Papua
Upaya Peningkatan Angka IPM Provinsi Papua
 
Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008
Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008 Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008
Sambutan meneg ppn musrenbangprov sulawesi selatan 15 april 2008
 
Community Development
Community DevelopmentCommunity Development
Community Development
 
implementasi kebijakan program penanggulangan kebijakan
implementasi kebijakan program penanggulangan kebijakanimplementasi kebijakan program penanggulangan kebijakan
implementasi kebijakan program penanggulangan kebijakan
 
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah   Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia - Asiah Hamzah
 
Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...
Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...
Menakar Implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Hubungan P...
 
Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011
Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011
Indeks pembangunan manusia kabupaten paser 2011
 
Dampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesia
Dampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesiaDampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesia
Dampak kemiskinan dan kebijakan pendidikan pada pekerja anak di indonesia
 
Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019
Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019
Materi Paparan pada FGD Penanggulangan Kemiskinan Kab. Kulon Progo 2019
 
Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016
Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016
Laporan pelaksanaan penganggulangan kemiskinan daerah 2016
 
Manajemen Pembangunan Indonesia
Manajemen Pembangunan IndonesiaManajemen Pembangunan Indonesia
Manajemen Pembangunan Indonesia
 
Pedoman umum urban poverty project 2 bab iii komponen proyek dan bantuan te...
Pedoman umum urban poverty project 2   bab iii komponen proyek dan bantuan te...Pedoman umum urban poverty project 2   bab iii komponen proyek dan bantuan te...
Pedoman umum urban poverty project 2 bab iii komponen proyek dan bantuan te...
 
Perubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptx
Perubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptxPerubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptx
Perubahan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Global.pptx
 
Buku Pekan MDGs Sumbar
Buku Pekan MDGs SumbarBuku Pekan MDGs Sumbar
Buku Pekan MDGs Sumbar
 
20201229023336_532.pptx
20201229023336_532.pptx20201229023336_532.pptx
20201229023336_532.pptx
 

Mehr von Oswar Mungkasa

Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Oswar Mungkasa
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Oswar Mungkasa
 
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingSudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingOswar Mungkasa
 
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Oswar Mungkasa
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Oswar Mungkasa
 
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAFakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAOswar Mungkasa
 
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku KepentinganTata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku KepentinganOswar Mungkasa
 
Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Oswar Mungkasa
 
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganMemudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganOswar Mungkasa
 
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...Oswar Mungkasa
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Oswar Mungkasa
 
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...Oswar Mungkasa
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranBekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranOswar Mungkasa
 
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...Oswar Mungkasa
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Oswar Mungkasa
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Oswar Mungkasa
 
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaPresentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaOswar Mungkasa
 
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiPengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiOswar Mungkasa
 
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Oswar Mungkasa
 

Mehr von Oswar Mungkasa (20)

Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
 
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingSudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
 
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
 
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAFakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
 
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku KepentinganTata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
 
Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama
 
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganMemudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
 
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
 
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranBekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
 
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
 
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaPresentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
 
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiPengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
 
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
 

Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

  • 1. Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan): GAPRI/OXFAM, Jakarta 2003 (www.gapri.org) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan indikator kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yakni pendapatan US$ 2.00 per hari sesuai Purchasing Power Parity (PPP), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan per tahun 2006 mencapai 110 juta jiwa. Itu berarti jumlah penduduk miskin mencapai hampir separuh dari keseluruhan jumlah penduduk. Sementara angka yang dikeluarkan BPS tahun 2007, penduduk miskin berjumlah 16,68 persen atau sekitar 37,17 17 juta jiwa. Kondisi objektif tersebut mendorong pemerintah untuk lebih serius menanggulangi persoalan kemiskinan dan pemiskinan. Upaya pemerintah terhadap persoalan ini adalah merancang suatu Strategi Nasional Penanggulangan Kemsikinan (SNPK). Proses penyusunan SNPK memakan waktu tak kurang dari 5 tahun, dari proses persiapan(termasuk kelembagaan) hingga diluncurkannya pada 12 Oktober 2005. Proses penyusunan SNPK juga melibatkan masyarakat luas (termasuk kaum miskin), sehingga tidak mengherankan jika penuh dinamika. Di samping itu, partisipasi masyarakat secara luas bisa menimbulkan di dalam diri mereka rasa memiliki (sens of belonging) yang kuat atas upaya pemerintah dalam menanggulangi persoalan kemiskinan melalui SNPK. Kemauan politik pemerintah yang kuat untuk Penanggulangan Kemiskinan (PK) terbukti dengan diadopsikannya SNPK ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005 – 2010, yang tertuang dalam Bab XVI. Dengan demikian posisi SNPK cukup strategis, tidak hanya sekadar dokumen strategi nasional, melainkan terintegrasi ke dalam RPJMN. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan substansi SNPK. Adapun tujuan penyusunan SNPK1 (1) mempertegas komitmen pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, swasta, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah kemiskinan, (2) membangun konsensus bersama untuk mengatasi kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar (right based approach) serta pendekatan partisipatif dan kemitraan dalam perumusan strategi dan kebijakan, (3) Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG’s) dan (4) menyelaraskan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh 1 Lihat Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat juga SNPK, 2005
  • 2. pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, swasta, lembaga internasional, dan pihak lain yang peduli. Sesuai kerangka legal kelembagaan dan penyusunan SNPK (Inpres 5 tahun 2003, Perpres 54/2005, SK TKPK 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006, SE Mendagri 412.6/2179/SJ) serta status RPJMN (Bab XVI), daerah perlu menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) menurut proses dan prinsip penyusunan SNPK. SPKD juga harus diintegrasikan ke dalam RPJM Daerah (propinsi/kabupaten/kota) sesuai dengan RPJMN. Bagan 1.1 Hubungan MDGs, SNPK dan RPJM MDGs SNPK RPJM • Tujuan •Menggunakan pendekatan hak dasar •Penjabaran visi, misi dan program Presiden Renstra Kementrian/Lemb Pembangunan sebagai pendekatan selama 5 tahun ke aga Pemerintah Millenium yang utama depan ingin dicapai pada tahun 2015 •hak- dasar meliputi hak- •Menjadi acuan bagi 1) hak atas 1) pangan; 2) Kementrian/Lembaga • Angka kemiskinan pendidikan; 3) kesehatan; dalam menyusun dan kelaparan 4) pekerjaan; 5) Rencana Strategis ditargetkan perumahan dan Kementrian/Lembaga; RPJM Daerah permukiman; 6) tanah; 7) 2) Pemerintah Daerah mengalami air bersih dan aman; 8) dalam menyusun RPJM penurunan menjadi SDA dan LH; 9) rasa Daerah; dan 3) 7,5% pada tahun aman: dan 9) hak untuk Pemerintah dalam 2015 berpartisipasi menyusun Rencana Rencana Kerja •Pemenuhan hak dasar Kerja Pemerintah dilakukan secara •Kemiskinan menjadi Pemerintah (RKP) bertahap melalui tiga salah satu sasaran tingkatan, yaitu dalam utama dalam penghormatan, agenda peningkatan perlindungan dan kesejahteraan rakyat pemenuhan •Menjadi acuan bagi stakeholders dalam melakukan PK Sumber : Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat juga SNPK, 2005 Setelah peluncuran SNPK, selain pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang lebih bersifat teknis kelembagaan dan bersifat koordinatif, ternyata belum ada rujukan resmi menyangkut proses dan substansi penyusunan SPKD serta proses integrasinya ke dalam Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD). Mengingat strategisnya penyusunan SPKD, karena tidak semata merupakan pembelajaran penyususnan Strategi PK melainkan juga sebagai pembelajaran dalam rangka pembuatan kebijakan publik yang melibatkan publik secara luas, termasuk peran kaum miskin, maka diperlukan sumber bacaan yang berguna bagi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi SPKD. Dalam penyusunan SPKD hendaknya tetap mengacu pada SNPK sebagai arah pandu. Adapun hal-hal mendasar yang perlu disimak dalam proses dan substansi penyusunan SNPK adalah: Kotak 1.1 Substansi SNPK
  • 3. Kemiskinan multidimenasi Pelibatan Si dan Kaum Miskin dalam formulasi kebijakan Pendekatan berbasis HAK Diagnosis kemiskinan Kajiulang kebijakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan Strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan Skenario dan rencana aksi penanggulangan kemiskinan 5 tahun (pembiayaan) Mekanisme pelaksanaan rencana aksi Sistem monitoring dan evaluasi Sumber : SNPK, 2005 Hal-hal tersebut jelas merupakan paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan sejak Indonesia merdeka. Implikasi dari paradigma baru ini menimbulkan beragam respon pada tataran pemerintah daerah, seperti halnya terjadi dalam proses penyusunan SNPK. Di situ terjadi tarik-menarik kepentingan akibat intrepretasi yang berbeda-beda pada hal-hal di atas. Belajar dari pengalaman tersebut, agar tidak terulang kembali kesalahan intrepretasi, dibutuhkan panduan umum advokasi SPKD. 1.2 Maksud dan Tujuan Panduan ini dimaksudkan untuk menjadi bahan rujukan bagi organisasi masyarakat sipil (CSOs) yang melakukan advokasi dengan isu kemiskinan, khususnya dalam kerangka penyusunan SPKD atau dokumen strategis tentang anti kemiskinan-pemiskinan di daerah, baik sektoral, isu maupun lintas. Saat ini bahan rujukan untuk advokasi ini masih sangat terbatas, kecuali juklak/juknis dari suatu program atau proyek penanggulangan kemiskinan yang ada selama ini. Di samping maksud tersebut, secara khusus panduan ini bertujuan agar pembaca : 1. mengerti dan memahami mengenai berbagai isu kemiskinan 2. mengetahui proses penyusunan SPKD yang berbasis suara orang miskin 3. melakukan advokasi baik proses, substansi penyusunan maupun implementasi SPKD 1.3 Keterbatasan Bacaan Ini Keterbatasan utama dari bahan bacaan ini adalah data-data yang digunakan bukan data terbaru. Kami sadar data terbaru akan (mungkin) menghasilkan analisis yang berbeda dengan data yang relatif lebih lama. Sebagai masyarakat sipil kami juga sadar bahwa tidak mudah mendapatkan data dari pemerintah. Ada saja alasan untuk tidak memberikan data-data tersebut. Ini juga dapat menjadi refleksi bersama, kenapa masyarakat sipil kesulitan menemukan data, sementara lembaga penelitian, akademisi, dan donor dapat dengan mudah memperoleh data yang mereka inginkan. Keterbatasan lainnya, panduan ini telah digagas sejak awal tahun 2005, namun karena berbagai hal belum dapat diterbitkan. Konteks tentu telah berubah, namun dengan segala keterbatasan yang ada, kami berusaha menyesuaikan data dengan realitas. Kami berharap, semoga bacaan ini memberi manfaat bagi semua yang membacanya.
  • 4. BAB II RAGAM PANDANG KEMISKINAN (Konteks dan Perspektif) 2.1 Ragam Pandang Konsep dan definisi kemiskinan merupakan titik tolak pembahasan yang penting, karena konsep kemiskinan melatarbelakangi pendekatan yang digunakan dalam menanggulangi kemiskinan dan pilihan indikator-indikator untuk memantau kondisi kemiskinan. Pengertian dan definisi tentang kemiskinan sangat beragam sesuai evolusi ilmu pengetahuan atau perkembangan ilmu sosial. Seorang ekonom akan mendefinisikan kemiskinan secara berbeda dengan ilmuwan lain; definisi seorang marxian akan berbeda dengan seorang weberian. Inilah fakta yang harus disadari sejak awal, bahwa definisi dari seorang teoretis mengandung paradigma atau ideologi tertentu sehingga tak ada kesempurnaan sejati, baik dalam hal konsep, pendekatan maupun modelnya. Namun demikian tidak berarti bahwa definisi, konsep dan model tersebut tidak ada gunanya, minimal menjadi sumber untuk memahami realitas dan bagaimana cara untuk menghadapi realitas kemiskinan. Ragam pandang tersebut secara umum dapat kita kategorikan menjadi sepuluh pengertian yang meliputi: a. kemiskinan dilihat dari hubungan dengan proses (alamiah vs ciptaan sosial atau ketersisihan) b. kemiskinan sebagai gejala sosial (kultural vs struktural) c. kemiskinan ditandai oleh faktor ekonomis (kebutuhan dasar vs kebutuhan aktualisasi) d. kemiskinan dilihat dari bobot dan derajatnya (kronis, rentan dan sementara) e. Kemiskinan dipandang dari sudut penilai (subjektif vs objektif) f. Kemiskinan ditengarai sebagai gejala penilaian matematis (absolut vs relatif) g. Kemiskinan ditinjau dari geopolitik (keterisolasian vs keterbelakangan dan ketergantungan) h. Kemiskinan ditelaah dari aset (fenomena kehidupan vs hak dasar) i. Kemiskinan dalam perspektif ruang (lokal vs global) j. Kemiskinan secara individual (laki-laki vs perempuan; orang tua vs anak) Dan mungkin lebih banyak lagi variannya bila kita karakteristikkan lebih rinci, seperti kemiskinan berkaitan dengan kelembagaan, sejarah, dan nilai-nilai. Namun secara umum, kemiskinan biasa didefinisikan sebagai kondisi keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Definisi ini mengandung dua kata kunci, yaitu keterbatasan kemampuan dan hidup secara layak. Bentuk keterbatasan kemampuan sangat bervariasi, dan antara lain dapat berupa keterbatasan ketrampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi dan keterbatasan informasi. Sedangkan ukuran hidup secara layak akan sangat bervariasi tergantung pada norma dan kesepakatan sosial. 2.2 Pemahaman Kemiskinan
  • 5. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus dilakukan adalah elaborasi pengertian kemiskinan secara komprehensif. Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. John Friedman, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial danm politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna (Friedmann, 1979: 101). Pengertian kemiskinan memiliki dimensi meliputi ekonomi, sosial-budaya dan politik. Dimensi kemiskinan yang bersifat ekonomi memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material manusia seperti pangan, sandang, papan dan sebagainya. Dimensi ini dapat diukur dengan nilai uang meskipun harganya akan selalu berubah tergantung pada tingkat inflasi yang terjadi. Dimensi sosial dan budaya memandang kemiskinan sebagai pelembagaan dan pelestarian nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan sebagainya. Dalam kategori ini, lapisan masyarakat miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan kemiskinan. Sedangkan dimensi politik melihat kemiskinan sebagai ketakmampuan masyarakat dalam mengakses proses-proses politik karena tidak adanya lembaga yang mewakili kepentingan mereka menyebabkan terhambatnya kelompok masyarakat memperjuangkan aspirasinya. Dimensi kemiskinan berimplikasi pada upaya untuk mendefinisikan kemiskinan, termasuk ukuran- ukuran yang digunakan. Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial2 mendefinisiikan kemiskinan sebagai berikut : “Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan social. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.” Office of the High Commissioner for Human Rights, United Nations menyatakan bahwa kemiskinan terjadi karena adanya pengingkaran hak-hak manusia, karena itu 2 World Summit for Social Development , Maret 1995 di Kopenhagen, dikutip dari: “Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) Sebuah Kerangka Proses Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan jangka Panjang”. Komite Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta, Januariu 2003, hal. 6.
  • 6. kemiskinan tidak mungkin diatasi tanpa realisasi hak-hak manusia. Asian Development Bank – ADB (1999) memahami masalah kemiskinan sebagai perampasan terhadap aset-aset dan kesempatan-kesempatan penting dimana individu pada dasarnya berhak atasnya. Dalam pendekatan baru ini diakui adanya hambatan- hambatan struktural yang menyebabkan tidak terealisasinya hak-hak orang miskin. Secara umum definisi-definisi tentang kemiskinan di atas menggambarkan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan: “kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup menurut standar-standar tertentu, ketidakmampuan atau keterbatasan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses dalam memperoleh pelayanan minimal dalam berbagai bidang kehidupan, serta sulit atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan”. Berbagai pemikiran baru tentang kemiskinan yang memasukkan aspek ketidakberdayaan (powerlessness) dan keterkucilan (isolation), kerentanan (vulnerability) dan keamanan (security) muncul sebagai konsep yang banyak dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu juga dikembangkan pemahaman mengenai penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Ellis, 1998). Amartya Sen kemudian menekankan perlunya meningkatkan kemampuan individu yang memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan dalam masyarakat. Belakangan juga dimasukkannya relasi gender dalam konsep kemiskinan. Akhirnya, pada 1990an konsep kemiskinan diperluas dengan munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) dan ketersisihan sosial (social exclusion). Oleh karenanya, untuk dapat memahami kemiskinan secara utuh diperlukan pemahaman mengenai seluruh dimensi kehidupan manusia. Sifat multidimensi dari kemiskinan inilah yang dicoba untuk ditangkap melalui berbagai macam konsep kemiskinan. Sejalan dengan perkembangan tersebut, pengertian kemiskinan telah melangkah ke arah hak asasi. GAPRI memandang kemiskinan sebagai sebuah pelanggaran hak asasi. Gagasan tersebut kemudian digunakan untuk mempengaruhi substansi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), 2004), yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan Absolut dan Relatif Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang/keluarga. Kedua istilah itu merujuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan. Perbedaannya adalah pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif, kategorisasi kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk. Kategori ini dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan konsumsi maupun kemiskinan keterbelakangan yang bersifat multidimensi.
  • 7. Dalam kemiskinan absolut, standar kemiskinan dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan kebutuhan non-makanan tertentu; Tingkat pendidikan yang dianggap tertinggal ditetapkan berdasarkan kemampuan membaca/menulis (melek huruf) atau kelulusan dari sekolah dasar. Standar-standar ini tidak akan berubah meskipun tingkat kemakmuran masyarakat berubah. Standar kemiskinan absolut digunakan untuk menganalisis angka kemiskinan oleh dunia dengan menetapkan garis kemiskinan $ 1 per orang per hari dan angka kemiskinan yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS). Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar 20% dari rata-rata pendapatan penduduk di suatu daerah; Ketertinggalan pendidikan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas. Garis Kontribusi konsumsi 20% penduduk pengeluaran terendah kemiskinan = Kontribusi konsumsi 20% penduduk pengeluaran tertinggi Standar ini dapat berubah antar-waktu dan antar-tempat, sehingga seolah- olah kemiskinan akan selalu ada sepanjang waktu. Kemiskinan relatif dianggap sebagai alat penting untuk melihat isu ketimpangan yang sering mendapat sorotan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemiskinan absolut dapat dihapuskan, isu kemiskinan akan tetap disoroti jika standar hidup layak suatu masyarakat meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat. Kemiskinan Objektif dan Subjektif Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat dengan perkembangan pendekatan kualitatif-partisipatoris. Kemiskinan bersifat subjektif ketika standarnya ditekankan pada selera dan pilihan-pilihan seseorang atau sekelompok orang dalam menilai pentingnya barang-barang dan jasa bagi mereka. Sebagai pembanding adalah kemiskinan objektif yang melihat kemiskinan berdasarkan penilaian normatif secara umum tentang apa yang dianggap sebagai unsur-unsur kemiskinan dan apa yang dibutuhkan untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan dapat dipahami sebagai kondisi objektif ketika ditekankan pada kebutuhan untuk dapat memperbandingkan kondisi kemiskinan antar daerah, walaupun masyarakat di daerah-daerah tersebut mempunyai preferensi yang berbeda-beda. Pendekatan ini banyak digunakan para ekonom, misalnya melalui pengukuran kebutuhan nutrisi (kalori) meskipun pilihan jenis-jenis makanan yang dianggap penting atau yang dinilai lebih berharga akan berbeda-beda antarindividu atau antarkelompok masyarakat. Kemiskinan subjektif lebih menekankan pemahaman pada konsep kemiskinan dari sudut pandang masyarakat miskin. Perkembangan ini distimulasi ketakmampuan pendekatan objektif dalam menangkap fenomena kemiskinan secara utuh. Pendekatan ini didukung oleh pengembangan analisis kemiskinan partisipatoris dimana kelompok miskin dilibatkan untuk menjawab dan menganalisis keadaannya sendiri, dan pada akhirnya untuk bersama-sama menentukan program penanggulangannya.
  • 8. BPS menggunakan pendekatan objektif dengan menetapkan nilai uang untuk membeli makanan setara 2.100 dan satu set konsumsi non-makanan sebagai batasan garis kemiskinan. Di samping itu, untuk keperluan sensus kemiskinan ditetapkan 8 indikator yang meliputi luas lantai rumah, jenis lantai, jenis jamban, sumber air bersih, kepemilikan aset, konsumsi lauk-pauk, pembelian pakaian dan keikutsertaan dalam rapat RT/desa. Rumah tangga yang tidak memenuhi lima kriteria di atas dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Sedangkan kriteria kemiskinan yang digunakan oleh masyarakat sendiri, sebagaimana disajikan pada Kotak 2.1 didasarkan pada indikator yang berbeda-beda sesuai realitas daerah masing-masing. Kemiskinan sebagai Keterbelakangan Fisiologis dan Sosiologis Konsep kemiskinan sebagai keterbelakangan fisiologis menitikberatkan standar kemiskinan yang masih berbasis konsumsi dan pemenuhan kebutuhan dasar. Kemiskinan konsumsi didasarkan pada kegagalan pemenuhan kebutuhan makanan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya (pakaian, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya). Konsep kemiskinan konsumsi melatarbelakangi munculnya kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan, baik melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, atau peningkatan produktivitas, serta kebijakan untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh orang miskin, seperti subsidi harga barang kebutuhan pokok dan penyediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan murah. Konsep kemiskinan yang mengacu pada kegagalan pemenuhan kebutuhan dasar juga menyoroti tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mendasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih. Konsep ini cenderung mencetuskan upaya penyediaan pelayanan-pelayanan dasar yang murah dan terjangkau oleh penduduk miskin. Konsep ini beranjak dari pemikiran tentang ketimpangan struktural dan diskriminasi sebagai penyebabnya. Pemikiran ini dilandasi oleh kenyataan bahwa meskipun sumberdaya yang cukup besar telah disalurkan ke sektor-sektor yang didominasi masyarakat miskin, tetapi mereka tidak mendapat keuntungan dari sumberdaya tersebut karena adanya struktur yang menjadi penghalang. Penghalang utama berasal dari struktur kekuasaan dan tata pemerintahan, serta ketimpangan dan ketersisihan yang diciptakan melalui kebijakan ekonomi makro dan sistem distribusi. Konsep kemiskinan ini lebih dikenal sebagai konsep kemiskinan struktural yang cenderung mencetuskan perlunya perubahan-perubahan kebijakan dan struktur kekuasaan. Konsep ini memandang sebagai kegagalan kapabilitas (human capability approach) menekankan peningkatan kemampuan masyarakat miskin untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Secara spesifik ini tidak hanya menyoroti kondisi keterbelakangan yang diderita masyarakat miskin, tetapi juga kurangnya peluang-peluang nyata akibat adanya hambatan sosial dan faktor-faktor individual. Dalam konsep ini pendapatan hanya merupakan salah satu komponen dari penguasaan sumber daya ekonomi. Komponen lainnya adalah penguasaan atas barang dan jasa yang disediakan publik (pemerintah); akses terhadap sumber daya yang dimiliki atau dikelola komunal; dan penguasaan terhadap sumberdaya yang dapat disediakan melalui jaringan dukungan formal dan informal. Untuk meningkatkan kapabilitas dalam menanggulangi kemiskinan, kebijakan harus diarahkan pada upaya-upaya pemberdayaan dan fasilitasi partisipasi masyarakat miskin dalam kegiatan masyarakat supaya tercipta peluang bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidup. Konsekuensi dari konsep ini mengarah pada upaya
  • 9. pemberdayaan, partisipasi dan penciptaan iklim yang kondusif akan menciptakan tantangan baru bagi strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Salah satu tantangannya adalah belum adanya kesepakatan tentang bentuk pemberdayaan dan partisipasi yang ideal. Selain itu, isu-isu struktural seringkali dipandang mengaburkan permasalahan kemiskinan fisiologis yang ada. Oleh sebab itu, banyak pihak menyarankan untuk tidak mencampuradukkan kebijakan fisiologis dan kebijakan sosiologis dalam program pemberantasan kemiskinan. Kemiskinan Sebagai Proses Syaifuddin (2007), membagi cara berpikir yang memandang kemiskinan sebagai gejala absolut; dan, sebagai gejala relatif. Cara berfikir (model) mengenai kemiskinan sebagai gejala absolut memandang kemiskinan sebagai kondisi serba berkekurangan materi, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sarana untuk mendukung kehidupan sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model) struktural. Kemudian, bermula pada tahun 1990an, terjadi perkembangan baru dalam pendekatan terhadap kemiskinan, yakni memandang kemiskinan sebagai proses. Pendekatan proses mengenai kemiskinan baru saja dikenal di Indonesia. Untuk sebagian besar, pendekatan yang digunakan di ruang ilmiah maupun praktis masih didominasi pendekatan kebudayaan dan struktural sebagaimana dibicarakan di atas. Kedudukan dan otoritas peneliti – dan pemerintah dalam konteks praktis – dominan dalam pendekatan kebudayaan (lihat, Lewis 1961, 1966) dan struktural (lihat, Valentine 1968) mengenai kemiskinan. Dengan kata lain, “orang miskin” dalam kedua model kemiskinan ini dilihat sebagai obyek, baik sebagai sasaran penelitian maupun sebagai sasaran program kebijakan. Dalam pendekatan proses, peneliti berupaya mengungkapkan kemiskinan menurut apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas empirik. Orang miskin diposisikan sebagai subyek yang berpikir dan bertindak, mengembangkan strategi- strategi dan kiat-kiat agar bertahan hidup. Mengikuti cara berfikir proses tersebut, maka masalah penelitian ini adalah bahwa orang miskin – sebagaimana halnya orang yang tidak miskin – mengembangkan hubungan-hubungan sosial khusus di antara sesama orang miskin maupun orang-orang yang tidak miskin berdasarkan kompleks kepentingan satu sama lain, yakni mempertahankan hidup (dalam hal ini berarti memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendasar). Penulis berasumsi bahwa: Pertama, kompleks keterjalinan hubungan-hubungan sosial yang khas ini membangun suatu integrasi sosial orang-orang miskin dan tidak miskin sedemikian, sehingga batas-batas golongan miskin yang diasumsikan dalam pendekatan kebudayaan dan struktural di atas menjadi baur. Kedua, sebagai konsekuensi dari hubungan-hubungan sosial yang khas tersebut, maka akumulasi totalitas hubungan sosial dan tindakan sosial yang terwujud berimplikasi mundurnya kondisi kehidupan perkotaan, karena hubungan-hubungan sosial yang tidak formal semakin penting, dan bahkan kadang-kadang lebih penting daripada aturan-aturan formal dalam menentukan arah tindakan. 2.3 Konsep-Konsep Ketimpangan (Inequality) Kemiskinan dan ketimpangan adalah konsep yang berbeda, tetapi keduanya seringkali digunakan bersamaan dalam analisis kemiskinan karena adanya
  • 10. keterkaitan yang erat antara keduanya. Kemiskinan mengacu pada kondisi keterbelakangan dalam berbagai bentuk (pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan kapabilitas), sedangkan ketimpangan mengacu pada distribusinya di antara anggota suatu kelompok masyarakat dan daerah. Dalam banyak kasus kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan distribusi ekonomi baik oleh struktural maupun natural. Penggabungan indikator kemiskinan dan ketimpangan seringkali diwujudkan dalam analisis dan menilai kemiskinan, misalnya berdasarkan kelompok, gender, wilayah, atau etnis. Penggabungan ini merupakan keniscayaan karena memang kemiskinan tidak berdiri sendiri. Mencermati ketimpangan pada gilirannya akan dapat memotret seberapa besar gap antara satu kelompok, wilayah, gender dengan kelompok lainnya. Hasil yang diperoleh dari analisis keduanya adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Secara kuantitatif, Kedalaman kemiskinan berarti mengukur secara rata-rata seberapa jauh jarak orang miskin dari garis kemiskinan. Secara singkat, pengukuran ini melihat seberapa miskinnya si miskin. Jika secara rata-rata konsumsi orang miskin hanya sedikit di bawah garis kemiskinan, maka kedalaman kemiskinan lebih kecil daripada jika rata-rata konsumsi orang miskin jauh di bawah garis kemiskinan. Secara kualitatif, kedalaman kemiskinan juga dapat ditunjukkan dengan gak antara klasifikasi kaum termiskin dengan kelompok-kelompok diatasnya. Demikian pula dengan Keparahan kemiskinan, secara kuantitatif dapat mengukur ketimpangan distribusi di antara orang miskin. Penghitungan kedalaman dan keparahan kemiskinan diperlukan karena ada beberapa program yang mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan tetapi mengurangi kedalaman maupun keparahan kemiskinan. Sementara ukuran secara kualitatif ketika kaum miskin tidak lagi hidup seperti biasanya, misalnya terpaksa makan nasi aking, mendorong anaknya bekerja, dan lainnya. Penggabungan indikator kemiskinan dengan ukuran ketimpangan mempertajam dan memperkaya gambaran mengenai sebaran permasalahan kemiskinan, sekaligus perilaku kaum miskin itu sendiri. Kerentanan (Vulnerability) Kemiskinan merupakan konsep yang selalu bergerak. Seseorang menjadi miskin sangat tergantung dari indikator yang ditetapkan, basis yang dimilki dan kebijakan pemerintah. Secara ekononomik, kemiskinan memiliki garis yang dapat berubah kapan saja, dan kelompok masyarakat yang tingkat pengeluarannya berada di sekitar garis kemiskinan akan cenderung keluar-masuk kategori miskin jika terjadi gejolak harga atau gejolak penghasilan. Kelompok ini ini biasanya disebut kemiskinan sementara (transient). Sementara masyarakat miskin yang lebih sering miskin dalam waktu yang lama dan mempunyai kecenderungan untuk dibawah garis tersebut disebut kemiskinan kronis. Adapun keluarga miskin yang sama sekali tidak pernah keluar dari kemiskinan dalam jangka waktu yang sangat lama disebut kemiskinan berkanjang (persistently poor). Keluar-masuknya kelompok sementara tersebut pada garis kemiskinan munculnya konsep kerentanan (vulnerability). Namun secara dominan kerentanan tersebut lebih didominasi faktor eksternal, terutama kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah misalnya menaikkan BBM jelas akan membuat kelompok sementara tersebut dapat menjadi miskin. Sementara yang sudah miskin akan bertambah menjadi miskin. Konsep kerentanan dilandasi bahwa guncangan ekonomi maupun non-ekonomi dapat memperparah permasalahan kemiskinan,
  • 11. misalnya krisis ekonomi. Kerentanan dapat diakibatkan oleh faktor eksternal seperti bencana alam yang terjadi sesaat, seperti gunung meletus dan tsunami; gejolak alam yang bersifat musiman, seperti kekeringan, banjir atau datangnya ombak besar; gejolak ekonomi makro yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau naiknya harga- harga barang kebutuhan pokok; dan gangguan keamanan atau gejolak politik yang mengganggu kestabilan aktivitas kerja; serta kematian atau sakitnya anggota keluarga. Kerentanan juga dapat disebabkan oleh faktor internal berupa kondisi kesehatan, pendidikan dan ketrampilan yang kurang memadai, ataupun perilaku dan kebiasaan yang cenderung mengakibatkan terjadinya kemiskinan seperti kebiasaan berjudi atau pola hidup yang terlalu konsumtif dan tidak adanya kebiasaan menabung. Namun, dominan hal tersebut disebabkan oleh pihak eksternal, terutama pemerintah. Konsep kerentanan pada akhirnya harus dipahami oleh pemerintah, sehingga dalam pembuatan kebijakannya mendasarkan kondisi yang ada. Perhatian terhadap peluang dan risiko yang ditimbulkan oleh berbagai bentuk guncangan mempengaruhi penyusunan kebijakan. Dalam kaitan dengan isu ketahanan pangan (food security), konsep kerentanan mengarahkan kebijakan ketahanan pangan agar tidak hanya memperhatikan masalah kekurangan gizi, tetapi juga pada ketersediaan pangan sepanjang musim atau peluang seseorang atau sekelompok orang untuk tidak mempunyai pangan yang mencukupi pada musim tertentu. Konsekuensi serupa juga dapat diaplikasikan pada isu-isu lainnya, seperti peluang putus sekolah, menderita penyakit atau tidak bekerja pada saat-saat tertentu. Pemahaman tentang risiko dan kerentanan akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat rentan, dan membantu pemerintah menyusun kebijakan yang efektif untuk menanggulangi kemiskinan. Masyarakat dengan pendapatan rendah dan mempunyai kerentanan yang tinggi akan cenderung mempertahankan tingkat kehidupan subsisten dengan tidak memanfaatkan peluang untuk melakukan kegiatan yang berorientasi pasar, yang cenderung lebih fluktuatif. Fenomena semacam ini seringkali membuat frustrasi pembuat kebijakan yang berupaya meningkatkan kegiatan ekonomi berupa peningkatan produksi yang berorientasi pasar. Dengan adanya pemahaman tentang persepsi masyarakat terhadap kerentanan, kebijakan peningkatan produksi akan menjadi lebih efektif dengan menanggulangi kerentanan endemis di kalangan masyarakat rentan. Fenomena semacam ini dapat lebih dipahami melalui analisis kualitatif. Analisis kualitatif mampu menjawab variabel-variabel yang tidak mampu dijelaskan melalui analisis kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memberikan gambaran yang representatif dan dapat digunakan untuk generalisasi karena ketepatannya dapat dihitung. Namun, ada variabel-variabel yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan tapi sulit dikuantifikasi (dengan menggunakan teknik-teknik statistik), misalnya: kultur/budaya, perilaku, identitas, persepsi, kepercayaan, nilai-nilai, ‘trust and reciprocity’. Kebijakan dan program untuk mengurangi angka kematian ibu dan meningkatkan kesehatan reproduktif perempuan misalnya, perlu memperhatikan hubungan jender dalam masyarakat dimana kebijakan dan program tersebut dilaksanakan. Jika dalam masyarakat tersebut suami (laki-laki secara umum) memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengambilan keputusan baik dalam ranah domestik (rumah tangga) maupun dalam ranah publik maka para suami/bapak juga harus menjadi sasaran program tersebut. Dengan demikian penyuluhan tidak hanya dilakukan terhadap para istri/ibu tetapi juga harus
  • 12. dilakukan terhadap para suami/bapak sekalipun materinya bisa berbeda sesuai dengan strategi dan kebutuhan. Ketersisihan (Exclusion) Konsep ketersisihan sosial mengacu pada berbagai norma dan proses yang menghalangi (tidak mengikutsertakan) seseorang atau sekelompok orang untuk berpartisipasi secara efektif dan sederajat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, kultural dan politik di masyarakat. Konsep ini pada awalnya tumbuh dari konteks welfare state. Di sini, ketersisihan sosial dikaitkan dengan kelompok yang tidak punya akses terhadap berbagai program perlindungan sosial (asuransi kesehatan, pensiun/ jaminan hari tua, subsidi pendidikan, asuransi kecelakaan kerja) dan pelayanan publik. Namun belakangan ini, konsep social exclusion sering digunakan secara lebih luas dengan mencakup juga ketersisihan dari berbagai institusi ekonomi, sosial dan politis. Oleh sebab itu, konsep ini berguna untuk memahami berbagai bentuk keterbatasan (deprivation) yang disebabkan oleh diskriminasi terhadap kelompok sosial tertentu. Ketersingkiran seseorang atau sekelompok orang atau setidaknya adanya perasaan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak diikutsertakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial menyebabkan terjadinya kondisi ketersisihan sosial. Ketersisihan dapat terjadi di sektor tenaga kerja, sistem pendidikan, dan berbagai macam pelayanan publik atau partisipasi politik. Bentuk dan alasan ketersisihan dapat dilatarbelakangi oleh faktor gender, umur, ras, agama, etnis, lokasi, pekerjaan, penyakit, atau hirarki sosial. Hubungan antara kemiskinan dan ketersisihan sangat variatif tergantung bagaimana keduanya didefinisikan. Jika kemiskinan didefinisikan sebatas kemiskinan material atau keterbelakangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, maka ketersisihan berbeda dengan kemiskinan, meskipun ketersisihan dapat menjadi salah satu penyebab dan dampak yang berkaitan erat dengan kemiskinan. Namun, jika kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan kapabilitas yang menekankan pada berbagai aspek kemampuan fisik, material, pengetahuan, dan sosial, maka ketersisihan merupakan salah satu unsur kemiskinan, karena ketersisihan mencerminkan keterbatasan kapabilitas untuk terlibat penuh dan memanfaatkan peluang yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat. Pemahaman tentang fenomena ketersisihan sangat penting dalam analisis kemiskinan karena peranannya dalam memperlihatkan bagaimana relasi dan interaksi akan mempengaruhi kondisi kemiskinan. Pengaruh relasi dan interaksi ini tidak akan mampu ditangkap dari analisis yang hanya melihat kondisi keterbelakangan materi atau pemenuhan kebutuhan dasar semata. Pemahaman tentang relasi dan interaksi yang banyak digali dari analisis kualitatif ini banyak dipromosikan sebagai masukan yang sangat berharga dalam penyusunan kebijakan agar mampu menyentuh akar permasalahan kemiskinan yang lebih banyak terkait dengan kemiskinan dari sudut pandang sosiologis. Budaya Kemiskinan Oscar Lewis, mengembangkan konsep ‘budaya kemiskinan’ pada tahun 1959. Ia adalah ahli antropologi, yang melakukan penelitian di komunitas slum di Meksiko. Konsep ini menjelaskan bahwa kelompok miskin cenderung mengembangkan ‘budaya kemiskinan’ untuk melindungi diri dari ideologi
  • 13. akumulasi yang umumnya dianut oleh kelompok kelas menengah dan atas. Orang- orang yang terjerat kemiskinan dari generasi ke generasi tahu bahwa mereka hanya memiliki posisi pinggiran (marginal) dalam masyarakat yang individualistis dan terkotak-kotak dalam jenjang sosial. Kelompok miskin juga tahu bahwa masyarakat luas tidak menawarkan prospek kepada mereka untuk menaikkan posisi sosial- ekonomi. Untuk bertahan hidup, kelompok miskin mengembangkan strategi tersendiri karena masyarakat luas cenderung mengabaikan mereka. Strategi ini berupa seperangkat nilai, norma, pola perilaku yang berbeda dengan pola yang diikuti secara luas. Dalam pandangan Lewis, sekali budaya kemiskinan berkembang maka budaya itu akan berulang dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep budaya kemiskinan telah diperdebatkan secara panjang lebar selama beberapa dekade. Dalam pandangan Lewis, kultur kemiskinan bukanlah sesuatu yang telah ada secara intrinsik pada masyarakat miskin, melainkan suatu bentuk adaptasi yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu (yaitu kemiskinan yang parah dan lama). Yang menarik untuk dicacat adalah bahwa adaptasi ini tampaknya bisa memecahkan masalah dalam jangka waktu pendek tapi justru merugikan dalam jangka waktu panjang. Ini dapat menyebabkan orang terjerat kemiskinan. Saat adaptasi itu disosialisasikan pada generasi berikutnya, maka mereka mendapat tranfer minus (yaitu belajar strategi bertahan hidup yang tidak bisa membantu keluar dari kemiskinan). Gender Konsep jender mengacu pada hal-hal yang lebih luas dan kompleks dari sekedar perbedaan jenis kelamin (laki-laki – perempuan). Konsep ini berusaha mengangkat berbagai pembedaan yang dikaitkan dengan bagaimana menjadi ‘laki- laki’ dan ‘perempuan’ baik diranah publik maupun ranah domestik, dalam suatu konteks sosial, ekonomis, politis dan kultural tertentu. Pembedaan ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk dilakukan dengan berbagai cara dan diterapkan oleh berbagai institusi sosial. Berbagai literatur kemiskinan berargumen bahwa perempuan cenderung lebih terpuruk dalam kemiskinan dibanding laki-laki. Dalam perdebatan ini muncul konsep ‘feminisasi kemiskinan’ (feminization of poverty) yang berisi berbagai pemikiran dimana perempuan lebih sering mengalami kemiskinan lebih parah dari pada oleh laki-laki. Adaptasi dan Modal Sosial Konsep adaptasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang menempatkan manusia sebagai pelaku berupaya mencapai tujuan-tujuannya atau kebutuhan- kebutuhannya, untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah- ubah agar tetap bertahan. Sedang dalam proses adaptasi atau untuk mencapai tujuan dan kebutuhan secara individuil atau kelompok, ia dapat memobilisasi dan memanfaatkan sumber-sumber sosial, material, tehnologi serta pengetahuan kebudayaan yang dimiliki. Cara-cara yang dipilih biasanya mengadakan hubungan- hubungan sosial baik dengan pihak-pihak yang berada di dalam maupun di luar komunitas. Hubungan-hubungan tersebut selanjutnya dikenal dengan modal sosial. Putnam (1993:167) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan ('trust’), aturan-aturan ('norms') dan jaringan-jaringan kerja ('networks’) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Lebih lanjut dikatakan Putman bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam
  • 14. bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik danjaringan-jaringan kesepakatan antar warga. Menurut Tonkiss (2000) bahwa modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber- sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Lebih jauh, Tonkiss mengatakan pula bahwa pada kenyataannya, jaringan sosial tidaklah begitu saja menciptakan modal fisik dan modal finansial yang belum pernah ada. Biasanya penduduk miskin memiliki pertalian-pertalian sosial yang kuat, namun ini terisolasi dari jaringan ekonomi dan sosial yang mendominasi (mainstream). Maka, dalam hal ini, “jaringan kemiskinan” tidaklah menunjuk kepada tiadanya atau lemahnya jaringan-jaringan sosial, melainkan karena menunjuk kepada sulitnya untuk mengakses peluang dan sumber daya melalui jaringan-jaringan yang ada. Derajat Kemiskinan Pada saat tertentu kondisi kemiskinan seseorang dapat berubah dari 0o menjadi 180o. Situasi paling ringan disebut sebagai kemiskinan potensial (potential poor) atau hampir miskin (near poor). Sementara itu orang yang tengah mengalami kemiskinan ada dua macam: pertama, mereka mengalami kemiskinan untuk sementara waktu karena kondisi eksternal yang membawanya ke situasi seperti itu (kemiskinan sementara). Kedua, mereka mengalami dalam waktu yang lama dan sulit diubah ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi (kemiskinan kronis). Kemiskinan potensial (potential poor), yaitu orang yang pendapatannya berada sedikit di garis kemiskinan dan tidak melakukan investasi yang memadai, sehingga sedikit saja goncangan eksternal membuat mereka kehilangan pekerjaan atau berkurang perolehan pendapatannya sehingga jatuh dalam situasi kemiskinan yang lebih buruk. Orang yang berada pada situasi pendapatan seperti ini disebut hampir miskin (near poor). Potensi menjadi miskin rentan terjadi pada mereka yang memiliki latar pendidikan rendah, ketrampilan kerja terbatas,atau kemampuan inovasi atau produksi yang juga terbatas.Potensi menjadi miskin bisa juga berasal dari faktor- faktor eksternal, seperti tempat tinggal yang rentan terhadap bencana alam (banjir, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, badai tsunami, dan sebagainya).Tatanan sosial yang rusak sehingga rentan mengalami konflik horisontal juga dapat menjadi potensi untuk terjadinya kemiskinan yang lebih buruk. Kebijakan politik dan ekonomi yang mengguncang kemapanan sekaligus berpengaruh pada menurunnya atau bahkan hilangnya pekerjaan (PHK, bangkrut, menurunnya produksi dan pendapatan). Kebijakan perusahaan dalam hubungan kerja kontraktual yang tidak setara, bencana alam yang datangnya tak diduga-duga dan secara langsung menghilangkan pekerjaannya, konflik sosial politik, dan kondisi kesehatan manusia yang semakin menurun, di tengah tiadanya jaminan sosial yang memadai bagi keberlangsungan kehidupan seseorang/keluarga, menjadi faktor- faktor krusial yang membuat seseorang atau keluarga rentan terhadap kemiskinan. Kerentanan kemiskinan mengancam rakyat miskin karena ketidakjelasan sistem dan kondisi yang tidak memihak kepada rakyat miskin. Tidak adanya jaminan sosial yang memadai atau adanya sistem kontrak kerja yang ditentukan sepihak oleh pemilik lapangan kerja/pemilik modal dimana pekerja tak memiliki
  • 15. posisi tawar setara di hadapan majikannya (atau dengan kata lain tetap berlangsung pola hubungan buruh majikan yang tidak setara sehingga setiap saat buruh terancam di-PHK. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berakibat buruk pada ketersediaan lapangan kerja dan pada gilirannya akan menciptakan kerentanan penduduk untuk menjadi miskin. Kemiskinan sementara (transient poverty), adalah kemiskinan yang terjadi dalam waktu relatif sementara. Kemiskinan ini dialami oleh orang (keluarga) yang sebelumnya tidak miskin, tetapi karena kondisi eksternal tertentu (perang, konflik horisonatal dalam masyarakat, bencana alam, kecelakaan dan sebagainya), orang atau keluarga tersebut jatuh miskin. Mereka mungkin mempunyai latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang cukup memadai, atau memiliki etos kerja dan daya inovasi yang tinggi. Orang atau keluarga seperti ini dengan mudah dapat terbebas dari situasi miskin jika kondisi eksternal berubah ke arah yang lebih positif. Kemiskinan kronis (cronic poverty). Kemiskinan dapat berlangsung secara terus-menerus, atau lebih bersifat permanen. Di sini orang lahir dari keuarga miskin, hidup di masyarakat miskin, mungkin dengan kultur kemiskinan (fatalisme), atau tinggal di tempat yang tidak menguntungkan (tanah tandus, miskin sumber daya alam, terisolisasi secara spasial), sehingga sedikit kesempatan tersedia baginya untuk meningkatkan kualitas hidup. Kemiskinan kronis dapat diperparah oleh kebijakan negara yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin atau daerah tertinggal, atau oleh sistem pasar yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk masuk sebagai tenaga kerja atau untuk menjual produk-produk mereka karena tidak bisa bersaing dengan produk-poruduk lain di pasar bebas. 2.4 Indikator dan Instrumen Ukuran kemiskinan menjadi sangat penting. Selain untuk mengetahui tingkat kemiskinan, status kemiskinan suatu keluarga juga memiliki berbagai fungsi. Pertama, sebagai alat penargetan program-program penanggulangan kemiskinan. Kedua, sebagai alat untuk mengukur dampak suatu program penanggulangan kemiskinan. Jenis data yang dibutuhkan untuk ketiga jenis tujuan pengukuran kemiskinan di atas dapat berbeda, meskipun seluruhnya membutuhkan data pada tingkat keluarga dan/atau lingkungan. Selain itu, data yang dikumpulkan juga dapat berbeda menurut jenis metode pengukuran yang dipilih. Jika ragam pandang di atas diterjemahkan ke dalam indikator dan instrumen, maka dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni model matematis-statistik yang lebih bersifat kuantitatif dan model analitis yang lebih bersifat kualitatif. 2.4.1 Model Matematis-Statistik Awalnya kemiskinan hanya diukur dari aspek makanan atau konsumsi, dimana seseorang dikatakan miskin bila makanannya tidak memenuhi kriteria minimum yang dibutuhkan. Jumlah pemenuhan kebutuhan pangan yang minimum ini disebut garis kemiskinan. Kemudian bukan sekadar makanan, melainkan pada keperluan hidup lainnya, yang kemudian pada tahun 70-an berkembang dengan pengukuran kebutuhan dasar yang terdiri dari makanan dan non makanan. Jadi kemiskinan dipandang sebagai persoalan konsumsi atau ekonomis semata.
  • 16. Sayogyo misalnya, pada pertengahan tahun 70-an menggunakan metode daya beli beras untuk menghitung kemiskinan berdasarkan dugaan pengukuran pendapatan. Konsumsi beras merupakan ukuran yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kekayaan rumah tangga. Perbedaan desa-kota dilakukan dengan mendorong garis kemiskinan ke atas sebesar 50%. Berdasarkan metode itu kemiskinan rumah tangga dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: i) sangat miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai 240 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan, ii) miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan, iii) hampir miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan dengan nilai antara 320-480 kg beras untuk pedesaan dan 480-720 kg beras untuk perkotaan, iv) tidak miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di atas nilai 480 kg beras untuk pedesaan dan 720 kg beras untuk perkotaan. Sementara Badan Pusat Statistik menggunakan metode objektif untuk mengukur kemiskinan dengan mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Garis kemiskinan BPS dibentuk oleh sejumlah rupiah untuk memenuhi kebutuhan 2.100 kalori perkapita per hari ditambah dengan kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan,kesehatan, transportasi dan sebagainya. Dalam menghitung garis kemiskinan, BPS menggunakan sumber data Modul Konsumsi Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan yang dihasilkan mencakup garis kemiskinan nasional, provinsi, perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan Kabupaten/Kota dikembangkan dari garis kemiskinan propinsi3. Sedangkan Bank Dunia (IBRD), merilis garis kemiskinan setara dengan US $ 1dan US $ 2 berdasar PPP. Kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengembangkan ukuran dalam program-program peningkatan kesejahteraan keluarga. Berdasarkan kriteria yang dikembangkan BKKBN terdapat empat katogori keluarga, yaitu keluarga prasejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3 dan sejahtera 3 plus. Kategori keluarga pra-sejahtera atau kelompok miskin, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yang secara operasional tidak mampu memenuhi salah satu dari indikator sebagai berikut: (a) menjalankan ibadah sesusai dengan agamanya, (b) makan minimal dua kali sehari, (c) pakaian lebih dari satu pasang, (d) sebagain besar lantai rumah tidak dari tanah, dan (e) jika sakit dibawa ke sarana kesehatan. Pengukuran kemiskinan kemudian dikembangkan lebih maju. bila sebelumnya hanya bertumpu pada garis kemiskinan, pengukuran lainnya menggunakan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan atau P1 dan P2. Tidak puas dengan pendekatan yang sudah ada, karena ternyata realitas kemiskinan masih lebih kompleks dari ukuran tersebut, UNDP, pada tahun 1990- an, dengan mempertimbangkan gagasan yang berkembang tentang kemiskinan menciptakan model Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang hanya mengukur standar pendapatan, harapan hidup dan melek huruf. Kemudian IPM disempurnakan dengan mengubah indikator IPM itu sendiri dan memasukkan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), dan Indeks Pembangunan Gender yang sampai saat ini digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan tingkat kesejahteraan 3 Lihat penjelasan teknis Data Kemiskinan, BPS, 2004.
  • 17. dalam bentuk peringkat, baik pemda maupun antar bangsa. IKM merupakan indeks komposit yang mengukur keterbelakangan dalam tiga dimensi yaitu lamanya hidup yang memiliki indikator penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang, pengetahuan yang memiliki indikator ketertinggalan dalam pendidikan, dan standar hidup layak yang memiliki indikator keterbatasn akses terhadap layanan dasar. Indikator pertama diukur dengan peluang populasi untuk tidak bertahan kurang dari 40 tahun, sedangkan indikator kedua adalah angka buta huruf dewasa atau penduduk usia 15 tahun ke atas. Adapun keterbatasan akses pelayanan dasar diukur dengan persentase penduduk tanpa akses air bersih, penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana pedesaan dan persentase balita yang tergolong dalan status gizi rendah dan menengah. Profil Kemiskinan Profil kemiskinan dapat ditinjau dari beragam indikator, seperti pendapatan rendah, kondisi kesehatan buruk, pendidikan rendah dan keahlian terbatas, akses terhadap tanah dan modal rendah, sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, bencana alam, konflik sosial dan resiko lainnya, partisipasi rendah dalam proses pengambilan kebijakan, serta keamanan individu yang sangat kurang. Selain itu, profil kemiskinan juga dapat ditelaah dari tipologi kemiskinan di tingkat komunitas atau wilayah. Berikut penjelasan ringkas tentang indikator-indikator profil kemiskinan, dengan beberapa ilustrasi data dan intrepretasi. Profil kemiskinan penting sebagai bahan kajian deskriptif yang memberikan informasi tentang keterkaitan kemiskinan (correlates of poverty) dengan karakteristik lain. Profil kemiskinan dapat ditinjau melalui kajian dua peubah (bi-variate analysis) yang membandingkan status kemiskinan rumahtangga atau individu menurut masing-masing kategori dalam setiap karakteristik tertentu dari rumahtangga atau individu tersebut. Insiden atau angka kemiskinan. Insiden atau angka kemiskinan meliputi informasi tentang jumlah dan persentase penduduk miskin atau tingkat kemiskinan (head-count ratio atau P0), indeks ketimpangan kemiskinan (poverty gap index atau P1) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index atau P2). Ketiga indikator ini dihitung dengan menggunakan formula Foster, Greer, dan Thorbecke (FGT). Berdasarkan hitungan tersebut kita dapat mengetahui jumlah penduduk miskin, atau rata-rata pengeluaran konsumsi bulanan mereka di bawah garis kemiskinan. Selain itu kita juga dapat mengetahui kita juga dapat mengetahui head-count ratio baik yang tertinggi maupun yang terendah, mengatahui indeks ketimpangan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) yang terjadi antar daerah. Formula FGT juga dapat dimanfaatkan untuk estimasi alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk mengangkat taraf hidup semua penduduk miskin sampai dengan senilai garis kemiskinan di suatu daerah. Perlu dicatat bahwa besarnya alokasi bantuan tidak hanya tergantung pada jumlah absolut penduduk miskin, tetapi juga sangat tergantung pada garis kemiskinan, dan rata-rata ketimpangan kemiskinan di suatu wilayah. Distribusi pendapatan. Analisis tentang pola distribusi pendapatan atau pengeluaran konsumsi dapat menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan (income inequality) di suatu negara, wilayah atau sub-kelompok penduduk, seperti
  • 18. yang diindikasikan oleh koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini berkisar antara 0, yang mengindikasikan suatu kemerataan sempurna (perfect equality), dan 1, yang berarti suatu ketimpangan total (perfect inequality) dalam distribusi pendapatan atau pengeluaran. Distribusi pengeluaran dapat digolongkan sebagai ketimpangan rendah (less inequality) bila koefisien di bawah 0,35, sebagai ketimpangan sedang (medium inequality) jika koefisien berkisar antara 0,35 dan 0,50, dan sebagai ketimpangan tinggi (high inequality) jika koefisien di atas 0,50. Distribusi pengeluaran dalam suatu grafik juga berguna untuk melihat pola kemiringan distribusi sesuai dengan kecenderungan pengelompokan penduduk menurut kelas-kelas pengeluaran. Karakteristik kemiskinan. Kajian deskriptif ini dapat menunjukkan perbandingan angka kemiskinan antara kategori-kategori atau klasifikasi dalam setiap indikator atau karakteristik yang diteliti. Misalnya indikator ukuran keluarga, tingkat kemiskinan di antara rumah tangga dengan ukuran kecil cenderung lebih rendah daripada rumah tangga dengan ukuran besar. Interpretasi serupa juga berlaku untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar kategori-kategori pada karakteristik- karakteristik lainnya, misalnya pendidikan, kondisi rumah, akses air, pekerjaan. Pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga berguna untuk melihat komposisi belanja rutin rumah tangga selama sebulan sebelum waktu survei. Kajian ini juga dapat memperlihatkan kecenderungan pengeluaran konsumsi rumah tangga apakah lebih besar untuk kebutuhan makanan atau bukan makanan yang sesuai dengan status kesejahteraannya. Kemiskinan komunitas dan wilayah. Kajian kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama menggunakan pemetaan kemiskinan (poverty mapping) melalui sensus lengkap secara langsung, atau model regresi untuk estimasi angka kemiskinan di setiap wilayah (misalnya desa atau kecamatan) berdasarkan gabungan beberapa sumber data sekunder, seperti sensus penduduk dan survei- survei rumah tangga. Ini memungkinkan kita untuk memperoleh jumlah dan persentase penduduk miskin sampai dengan tingkat wilayah desa/kelurahan. Kedua mengidentifikasi kemiskinan atau ketertinggalan wilayah adalah berdasarkan data sekunder tentang potensi desa. Dari hasil PODES, misalnya, informasi yang diperoleh antara lain jumlah dan nama desa/kelurahan yang tergolong miskin karena sebagian besar penduduknya miskin, atau kumuh dari aspek lingkungan pemukiman penduduknya, atau tertinggal dari aspek pembangunan infrastruktur dasar di suatu wilayah. Sementara kemiskinan wilayah bermanfaat untuk melihat profil kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat desa/kelurahan. Lebih penting lagi, hasil kajian ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi desa-desa miskin dan tertinggal menurut tipologinya. Dengan mempertimbangkan tipologi kemiskinan wilayah yang berbeda, hasil kajian ini tidak hanya memberikan informasi tentang jumlah desa/kelurahan miskin yang semestinya dicakup dalam program bantuan, tetapi kajian juga memungkinkan kita untuk mengembangkan program bantuan dengan fokus yang lebih spesifik. Kajian tentang kemiskinan wilayah juga bisa ditinjau dari berbagai aspek kewilayahan lainnya, seperti letak geografis, status daerah (perkotaan dan pedesaan). Perbandingan tingkat kemiskinan wilayah juga menarik untuk dikaji dengan melihat karakteristik sosial- demografi, ketersediaan sarana atau infrastruktur dasar dan potensi ekonomi desa, seperti jumlah penduduk, tingkat pendidikan sebagian besar penduduk,
  • 19. ketersediaan fasilitas gedung sekolah dan fasilitas kesehatan, prasarana transportasi, pasar, sumber penghidupan sebagian besar penduduk desa, dan lain-lain. Faktor-faktor Penyebab Program penanggulangan kemiskinan dan kebijakan di Indonesia belum banyak menggunakan kajian yang mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab kemiskinan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan data dengan cakupan sampel yang memadai yang memuat informasi cukup komprehensif tentang kemiskinan dan faktor-faktor penentunya. Satu-satunya sumber data yang memadai untuk analisis determinan kemiskinan di Indonesia dapat ditemui pada Susenas Kor, meskipun cakupan datanya terbatas bahkan untuk kajian tingkat kabupaten/kota. Selain itu, kompleksitas dinamika kemiskinan di negara dengan keragaman sosial- budaya dan ekonomi seperti Indonesia. Di satu sisi, faktor-faktor sosial dan ekonomi yang terukur, seperti ukuran keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, status pekerjaan, akses terhadap air bersih, sanitasi dan listrik, serta kualitas bangunan tempat tinggal memungkinkan untuk dihitung derajat hubungan kausalnya dengan kemiskinan. Sebaliknya, faktor-faktor sosial-budaya seperti norma tradisional yang berlaku di suatu komunitas tentang kebersamaan dalam hidup senang dan susah (shared poverty), nilai ekonomi anak, modal sosial untuk kesejahteraan bersama sangat sulit diukur dampaknya secara kuantitatif terhadap perbedaan tingkat kemiskinan antar komunitas atau wilayah. Analisis determinan kemiskinan digunakan untuk menelaah mengapa suatu rumah tangga dikategorikan miskin. Unit analisisnya adalah rumah tangga atau individu yang dicakup dalam observasi. Pada prinsipnya, kajian determinan kemiskinan dibedakan atas dua pendekatan. (1) Kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi atau menjelaskan adanya variasi (perbedaan) tingkat kemiskinan antar sub-kelompok penduduk atau wilayah. Unit analisis dalam kajian untuk pendekatan pertama ini adalah daerah, misalnya perbandingan antara kabupaten/kota di seluruh Indonesia. (2) Analisis faktor-faktor penentu (determinan) yang menyebabkan terjadinya kemiskinan rumah tangga atau individu. Metode analisis yang digunakan untuk kedua pendekatan pada dasarnya tidak berbeda, yaitu umumnya dengan analisis regresi ganda (multi-regression analysis) baik secara linier maupun non-linier. Analisis bivariate perlu dilakukan untuk melihat arah dan derajat asosiasi antara tingkat kemiskinan dan berbagai indikator sosial-ekonomi. Setelah itu bisa digunakan analisis regresi ganda untuk mengidentifikasi faktor determinan kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kemiskinan semakin rendah indeks pembangunan manusia di suatu wilayah. Sebagai catatan, indikator-indikator yang mempunyai asosiasi kuat dengan kemiskinan, seperti IFS, TANAH, FOOD dan IPM seringkali dapat dipastikan akan muncul sebagai peubah- peubah penentu terhadap perubahan pada angka kemiskinan dalam analisis lanjutan regresi ganda. Analisis regresi ganda juga bisa dilakukan dengan menggambarkan scatter diagram hubungan antara keduanya. Kajian diagram sebar ini sangat sederhana tetapi berguna untuk melihat kasus-kasus yang termasuk dalam trendline (best-fitted model dari hubungan tersebut), dan yang menyimpang jauh dari trendline.
  • 20. Jika unit analisis adalah rumah tangga atau individu, bisa menerapkan analisis korelasi. Satu hal yang perlu diingat bahwa semua peubah yang dicakup dalam matriks korelasi harus diusahakan bersifat ordinal, di mana nilai atau kategorisasi peubah berbentuk urutan dari nilai terendah sampai dengan tertinggi. Beberapa contoh peubah dalam analisis korelasi kemiskinan pada tingkat individu: status kesejahteraan (tidak miskin -0, miskin -1), kelompok pengeluaran rumah tangga (<100.000, 100.000-199.999, 200.000-299.999, 300.000-399.999, 400.000-499.999 dst), ukuran keluarga (≤2, 3, 4-5, ≥6), tingkat pendidikan (<SD -0, SD -1, SLTP -2, SLTA+ - 3), dan sebagainya. Sementara kajian dua peubah memberikan hasil yang terbatas karena hanya menunjukkan arah dan derajat hubungan antara kemiskinan dengan karakteristik tertentu pada suatu waktu tertentu. Kajian ini tidak mempertimbangkan kompleksitas faktor penyebab kemiskinan. Perlu dicatat, korelasi adalah hubungan antara dua faktor, tetapi tidak selalu berarti bahwa faktor yang satu menyebabkan perubahan atas faktor yang lain (causality). Oleh karena itu, analisis regresi ganda diterapkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang secara statistik mempengaruhi kemiskinan. Nilai peubah tidak bebas yang diprediksi oleh model regresi tidak selalu mendekati nilai estimasi sesungguhnya. Model regresi dihitung berdasarkan pola sebaran hubungan antara peubah tidak bebas dan peubah prediktornya. Oleh sebab itu, penghitungan ini menghasilkan suatu model yang paling cocok (best-fitted model) dengan pola sebaran data tersebut. Sebagai konsekuensinya, hanya sebagian kasus akan mempunyai nilai model yang mendekati dengan nilai estimasi survei, sedangkan sebagian kasus-kasus yang lain memiliki nilai-nilai model yang menyimpang dari nilai estimasinya. Model ini dapat dimanfaatkan untuk prediksi angka kemiskinan berdasarkan berbagai skenario tentang nilai-nilai prediktor terpilih yang diharapkan dalam suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan. Prinsip dasar dari model ini menggunakan bentuk variabel biner yang membedakan dua situasi atau kategori secara eksklusif terpisah: ‘miskin’ dengan nilai 1 dan ‘tidak miskin’ dengan nilai 0. Model regresi logit atau probit bertujuan untuk mengkonstruksi profil kemiskinan dalam suatu bentuk regresi dari status kemiskinan terhadap berbagai karakteristik sosio-demografi dan ekonomi rumahtangga. Status kemiskinan (miskin dan tidak miskin) didefinisikan sebagai peubah tidak bebas yang akan diprediksi oleh karakteristik-karakteristik rumahtangga sebagai peubah-peubah bebas. 2.4.2 Analisis Kualitatif Pendekatan kualitatif dalam kajian kemiskinan adalah pendekatan untuk menggali pendapat masyarakat (subjektif), termasuk kelompok miskin, mengenai kemiskinan, aspek-aspek sosial dari perilaku dan pengalaman kelompok miskin, dan mengetahui secara mendalam gaya hidup komunitas dan pengalaman yang berarti pada kelompok tersebut. Pendekatan ini secara umum digunakan untuk mencari jawaban tentang how-bagaimana dan why-mengapa. Pendekatan yang sering
  • 21. digunakan para ahli sosial dan antropologi ini merupakan pendekatan aras mikro, yaitu pada wilayah terbatas, namun mendalam. Analisis kualitatif sangat kaya dengan varibel indikator karena bertolak dari individual dan kelompok beserta lapisan-lapisan relasinya, misalnya dalam relasi antar individual, keluarga ataupun hubungan produksi. Sebagai sebuah sistem kehidupan, analisis ini setidaknya akan menyangkut struktur, fungsi dan formasi masyarakat dalam kaitannya dengan kuasa dan kontrol dalam keluarga atau rumah tangga, serta dalam dinamika harmoni atau konflik. Analisis ini biasanya mengedepankan citra lokal yang kuat dan bercorak spesifik pada komunitas tertentu. Dalam analisis kualitatif ada beberapa teknik analisis yang dapat dilakukuan, diantara, yaitu: i) pemeringkatan (ranking, scoring), yaitu penilaian berdasarkan nilai tertentu, misalnya peringkat kesejahteraan (wealth ranking) merupakan sebuah cara untuk mengidentifikasi dan melakukan pemilahan rumah tangga di suatu komunitas ke dalam jenjang-jenjang berdasar aset atau kekayaannya. Dalam Kajian Kemiskinan Partisipatif, pemeringkatan ini adalah upaya untuk menggali kategori- kategori yang sesuai dengan pemahaman lokal. Pemeringkatan misalnya besarnya kekayaan, tingkat kesejahteraan, prioritas, pilihan/ preferensi; ii) qualitative qoding’, yaitu prosedur pemilahan (klasifikasi) data atau informasi ke dalam suatu kode yang umumnya berupa tema/topik/isu/kategori tertentu. Sekumpulan informasi tersebut bisa berbentuk rekaman video observasi, rekaman wawancara, transkrip wawancara, gambar/foto, atau benda-benda lain yang bisa diinterpretasikan; iii) matriks hubungan (aktifitas, sumberdaya, akses, pengaruh, kontrol), yaitu beberapa kolom yang mencoba memotret hubungan antara satu bagian dengan bagian lain yang berhubungan dengan kaum miskin; iv) diagram hubungan, lebih banyak dipahami sebagai hubungan sebab akibat antara satu dengan yang lain. Perlu ditegaskan bahwa hubungan dalam diagram tidak selalu sebab akibat, tetapi terkadang bersama, timbal-balik. Tema-tema Umum Dalam analisis kualitatif agar lebih mudah dijalankan dan dipahami biasanya menggunakan tema umum. Tema umum ini selanjutnya diturunkan lebih spesifik agar lebih mendalam lagi dan seterusnya. Namun demikian tema-tema ini sifatnya hanya sebagai panduan saja karena konteks lapangan bisa saja berbeda dengan pikiran awal. Tema-tema umum paling tidak dapat digambarkan sebagai berikut: Sosial-Budaya. Potret kemiskinan dapat dinalisis dari aspek budaya dengan mengkaji dan memahami kenyataan kemiskinan-pemiskinan dari sudut pandang kultur masyarakat, misalnya tentang kebiasaan, adat istiadat, sikap mental, bahasa yang digunakan, simbol, kepercayaan, pengaruh alam, dan bagaimana masyarakat menyikapi hal-hal yang mistis. Kemiskinan akan membentuk cara hidup tertentu yang membentuk kebudayaan kaum miskin. Konsep ini sering disebut sebagai budaya kemiskinan, Lewis (1959). Budaya kemiskinan pada satu sisi merupakan strategi adaptif, dan pada sisi lain merupakan perlawanan yang bisa mereka lakukan. Melalui kajian budaya, setidaknya kita dapat memotret dan memahami latar belakang terjadinya kemiskinan dari sudut pandang adat dan kebiasaan serta sikap
  • 22. mental dan kepercayaan masyarakat dan komunitas. Juga memahami ekspresi simbol dan konstruksi kebudayaan yang terjadi dan terus-menerus dikembangkan oleh golongan miskin, baik laki-laki maupun perempuan. Relasi Sosial. Salah satu kelemahan mendasar analisis kuantitatif karena tidak bisa menjelasakan relasi sosial dengan kemiskinan. Kalaupun ada, studi tersebut hanya berupa angka yang kadang sangat jauh dari realitas sosial, menafikan setting dan tidak mendalam. Memetakan relasi sosial dalam masyarakat menjadi faktor penting untuk merumuskan aktor-aktor yang berkontribusi pada kemiskinan seseorang atau satu komunitas. Dengan demikian analisis relasi sosial sangat efektif digunakan untuk memahami bentuk-bentuk atau pola-pola hubungan antar- individu ataupun antar-kelompok yang terlibat dalam suatu situasi kemiskinan- pemiskinan. Kajian mendalam relasi sosial ini diarahkan untuk menemukan aktor-aktor maupun lembaga, struktur sosial, pola hubungan yang ada, pola kemiskinan yang terjadi, pihak yang diuntungkan, strategi dan siasat yang digunakan dan dirugikan sekaligus kemungkinan terjadinya kolaborasi aktor dalam menyelesaikan atau bahkan melanggengkan kemiskinan yang terjadi. Konteks Sejarah. Kemiskinan dapat dipahami dengan menelisik sejarah kaum miskin. Kita tahu (meski tidak semua) bahwa mereka yang terlanjur miskin agak sulit keluar dari kemiskinan karena telah mewarisi gaya hidup sebagai kaum miskin (tergenarasi). Melalui analisis sejarah diharapkan dapat mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang menjadi tonggak terjadinya situasi kemiskinan-pemiskinan, bagaimana itu terjadi, pengaruh-pengaruh cerita dan peristiwa-peristiwa penting kamiskinan- pemiskinan. Ekonomi. Hal lain yang penting dilihat dalam analisis kualitatif juga masalah ekonomi. Analisis ini menelaah aktivitas ekonomi kaum miskin dan ekonomi yang dekat dengan realitas mereka. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa sebuah situasi kemiskinan-pemiskinan terjadi dari sudut pandang ketimpangan akses, kontrol, distribusi, dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi. Dengan analisis ini, kita dapat mengetahui peta sumberdaya yang selama ini digunakan untuk tetap hidup, aktor-aktor yang terlibat, keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan dan kontribusinya pada kehidupan keseharian mereka. Politik. Kondisi kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari partisipasi politik, terutama politik di tingkat lokal. Tema politik diangkat dalam rangka menemukan hubungan antara kemiskinan dan politik yang terjadi pada suatu golongan masyarakat. Pemetaan politik penting untuk mengetahui pola hubungan yang terjadi antar kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan besar-kecilnya ‘kekuasaan’ dan ‘kepentingan’ yang dimiliki sebagai usaha untuk menguraikan aspek kehidupan politik yang berkaitan dengan kekuasaan dan pengambilan keputusan tentang pranata kehidupan masyarakat, misalnya dalam perencanaan pembangunan. Gender. Kemiskinan dinyatakan sangat berwajah perempuan mengingat proporsi kemiskinan terbesar ada di pihak perempuan. Mendalami dimensi gender dalam konteks kemiskinan menjadi sangat penting, terutama untuk menemukan penyebab dan tawaran-tawaran strategis. Telah banyak bukti bahwa intervensi
  • 23. selama ini seringkali gagal karena ketidakmampuan dalam mengungkap dimensi perempuan-laki laki yang memang berbeda dari sisi kebutuhan. Analisis gender adalah usaha menguraikan relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan untuk mengetahui struktur budaya patriarkal-matriarkal yang dikembangkan, pembagian yang terjadi, kebutuhan dan masalah perempuan secara khusus, akses dan kontrol kaum perempuan dan kelompok lain dalam pengambilan keputusan yang mulai dari diri perempuan, keluarga, pranata sosial dan negara serta menggali perbedaan pandangan antara perempuan dan laki-laki dalam menghadapi kemiskinan-pemiskinan dan strategi yang mereka kembangkan masing-masing. Di kalangan NGO, analisis semacam ini dikenal dengan analisis sosial (berperspektif gender/feminis), di mana perangkat dominan yang digunakan adalah variabel kualitatif yang berhubungan dengan nilai, persepsi, kelembagaan dan relasi struktur atau lapisan serta proses-proses dominasi, eksploitasi dan hegemoni yang ada. Upaya-upaya untuk membumikan analisis ini mengalami kemandegan sejak tahun 90-an awal, di mana forum aliansi aktivis dan ilmuwan untuk upaya indiginisasi menjadi berantakan, namun setidaknya mereka memperkenalkan 4 pilar penting yakni: indiginisasi, partisipasi, konsientisasi dan emansipasi. INSIST yang berupaya mengisi kekosongan ruang ini juga mengalami langkah yang tersendat- sendat dan belum melangkah lebih jauh sekalipun produknya lebih meluas ketimbang forum ilmu sosial transformatif sebelumnya.
  • 24. Bab III KEMISKINAN DAN PEMISKINAN 3.1 Kemiskinan Indonesia Awalnya, kemiskinan merupakan pilihan hidup seseorang atau sekawanan komunitas atau sekte untuk memilih realitas kepapaan berdasarkan pandangan nilai tertentu. Kemiskinan yang semula sebagai pilihan sukarela menjadi pilihan terpaksa akibat berbagai hal yang bersifat kelembagaan dan spesialisasi kerja atau karena ketertundukkan secara fisik. Maka kemiskinan pun semakin menjadi rumit. Di zaman feodal, di mana kerajaan-kerajaan bertumbuh-kembang, fenomena kemiskinan semakin kompleks. Kemiskinan di masa Hindia Belanda mulai menunjukkan wajah ekstrimnya, di mana banyak terjadi enclave. Politik tanam paksa dan komoditisas perkebunan telah menimbulkan penurunan kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Di wilayah- wilayah dengan sistem perkebunan dengan modal besar terdapat daerah-daerah kantong kemiskinan dan bahkan di beberapa daerah terjadi kelaparan. Berbagai laporan dan studi dilakukan pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian membuahkan kebijakan politik etis. Programnya, seperti diketahui, memang dalam beberapa hal menghilangkan kelaparan yang ekstrim, namun kemerosotan kesejahteraan terus berlanjut apalagi di masa malaise ekonomi. Kantong buruh makin banyak dan meluas, tidak hanya di Jawa. Di daerah Sumatera Timur juga berlangsung proletarisasi. Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan sekadar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diboncengi kolonialisme dan imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekadar manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan juga akibat kebijakan Hindia Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global yang sedang ganas- ganasnya berkembang. Dan pada masa selanjutnya sistem itu semakin berkembang pesat, sekalipun pernah dihambat melalui Program Banteng dan Nasionalisasi Perusahaan Asing di masa orde sebelum rezim Soeharto. Dari masa Soeharto hingga SBY-JK, yang mengusung tema ”Melawan Kemiskinan melalui Washington Consensus”, jerat kapitalisme global semakin mencengkeram Indonesia ke dalam arus Neo Liberalisme (atau lazim disebut neokolim). Hutang luar negeri semakin menggerogoti kekayaan bangsa, bahkan untuk membiayai penanggulangan kemiskinan terpaksa bangsa kita harus mengutang. Perekonomian kita semakin distir oleh asing, dan karena itu kedaulatan sebagai negara-bangsa menjadi buram dan sulit dikenali untuk tidak menyebutkan tiada. Kekayaan kita telah dikuras oleh imperium asing, juga oleh antek-antek atau komparador asing melalui bisnis illegal di seluruh sektor ataupun oleh pengusaha nasional yang tidak bertanggung jawab yang kini melarikan diri ke luar negeri. 3.1.1 Realitas Kemiskinan Kontemporer
  • 25. Wajah kemiskinan Indonesia sungguh memprihatinkan. Bentuknya tidak hanya sekadar kemiskinan ekonomi tetapi juga sampai pada perendahan martabat manusia. Ragam persepsi kemiskinan menurut kaum miskin seperti yang dilaporkan KIKIS merekam sketsa kemiskinan Indonesia kontemporer seperti berikut ini: Tabel 3.1 Persepsi dan Bentuk Kemiskinan Sektor Persepsi Kemiskinan Bentuk Kemiskinan 1. Kemiskinan adalah kondisi ketidak-berdayaan Miskin Informasi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga Kekurangan Pangan karena tidak adanya jaminan penghasilan. Rendahnya percaya diri 2. Kemiskinan adalah kondisi ketidak-mampuan Miskin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan memenuhi kebutuhan hidup karena hidup Miskin Pendidikan (secara Formal) Lahan Kering sebatang kara dan karena hubungan keluarga Berkurangnya ruang partisipasi. yang tidak harmonis. 3. Kemiskinan adalah ketidak-mampuan memanfaatkan peluang memperbaharui keadaan yang datang dari dalam dan luar akibat kemandegan dan kemenduaan (hipokrit) fungsi kepemimpinan dan kelembagaan masyarakat desa. 1. Kemiskinan adalah kondisi hidup yang serba Menyempitnya kepemilikan lahan petani kebun. terbatas, terisolasi dari dunia luar, tidak Hilangnya keberanian mengintroduksi adanya sarana pendidikan, kesehatan dan pelembagaan komoditi lain prasarana ekonomi, serta kesempatan Rentan terhadap faktor harga pasar komoditi, berusaha dan bekerja hanya mengandalkan terhadap faktor alam (hama penyakit tanaman), kebaikan dari pabrik. bencana alam. 2. Kemiskinan lebih merupakan bentuk ketidak- Lemahnya fungsi kelembagaan sosial. adilan atas tata kuasa terhadap tanah (lahan Ketergantungan sangat tinggi pada sarana produksi) dan tata kelola atas pilihan jenis produksi. komoditas apa yang sebaiknya diusahakan Lemahnya kontrol dan perlindungan kesehatan dan teknologi apa yang cocok dan adaptif Rendahnya akses pendidikan Perkebunan terhadap tradisi dan lingkungan sosial Rendahnya derajat nutrisi/gizi pangan.. pedesaan Hilangnya akses permodalan 3. Kemiskinan merupakan derajat perampasan Rendahnya kualitas kesuburan tanah. hak-hak manusia yang paling hakiki, tidak Hilangnya kemampuan mengembangkan adanya pengakuan martabat dan harga diri keterampilan alternatif yang menunjang sumber manusia melalui perlindungan dan jaminan pendapatan sosial. 4. Kemiskinan lebih merupakan hancurnya kepercayaan, kelembagaan dan jaringan sosial dan kerusakan ekosistem (lingkungan) sehingga harapan hidup lebih berorientasi pada hal-hal yang mistik dan pragmatis. 1. Kehidupan orang atau komunitas yang situasi Miskin informasi hidupnya ditandai dengan tidak terpenuhinya Miskin pada jaminan perlindungan sosial kebutuhan hidup yang pokok sebagaimana itu Miskin pada akses pelayanan publik dialami oleh masyarakat secara normal, Hilangnya akses pendidikan Miskin Kota karena tidak berimbangnya pendapatan Miskin pada akses pekerjaan dan permodalan dengan jumlah kebutuhan yang dipenuhi Hilangnya interaksi sosial dan relasi sosial (Pontianak) 2. Kehidupan yang serba kekurangan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan posisinya direndahkan oleh banyak orang (Medan)
  • 26. 1. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang Semakin sempitnya lahan pertanian (Aceh dan menggambarkan : terbatasnya aset yang Lombok). dimiliki (kepemilikan lahan, rumah tangga, Luas lahan pertanian yang tetap (Kuningan – Jawa modal); tidak memiliki mata pencaharian Barat) tetap; tidak adanya ketahanan pangan, Menurunnya hasil produksi pertanian, karena rendahnya pendapatan dan ketergantungan turunnya produktivitas lahan (hasil panen 1 – 1,2 yang tinggi terhadap hutang. ton per Ha; kasus di Sambas Kalimantan Barat) 2. Kemiskinan juga terkait dengan terbatasnya Meningkatnya jumlah pengangguran. akses masyarakat terhadap pendidikan, Rendahnya pendapatan yang diterima, sehingga kesehatan dan informasi sehingga komunitas kaum miskin tidak mampu menghadapi gejolak hutan sangat akrab dengan sebutan ekonomi. Pinggir Hutan ‘masyarakat pinggiran’. Terbatasnya lapangan kerja, sehingga banyak 3. Kemiskinan terjadi karena kurangnya masyarakat yang mencari kerja ke luar desa (Kota perhatian pemerintah terhadap segala dan Luar Negeri menjadi TKI/TKW). perubahan yang terjadi terutama terkait Keterbatasan modal sehingga adanya praktek ijon dengan hal – hal yang menyangkut dan ketergantungan yang tinggi terhadap hutang. pengambilan keputusan dalam hubungannya Intervensi terhadap kawasan hutan. dengan pengelolaan kawasan hutan. Adanya stigmatisasi masyarakat miskin sebagi 4. Kemiskinan di komunitas ini terjadi karena masyarakat yang memiliki ‘etos kerja yang tidak seimbangnya jumlah penduduk rendah’. (kelahiran dan migrasi) dengan lapangan kerja Sulitnya akses terhadap sarana dan prasarana : yang tersedia, kurangnya keterampilan di luar pemasaran, pendidikan dan kesehatan. sektor pertanian sehingga kawasan hutan Miskin partisipasi. menjadi alternatif masyarakat sebagai sumber kehidupan. 1. Tidak terjaminnya dan semakin hilangnya hak Rendahnya akses pelayanan pendidikan dan Penguasaan Sumber Daya Alam dan aset kesehatan 2. Tidak terjaminnya hak-hak dasar warga Lemahnya akses pelayanan dalam memperolah negara seperti : pendidikan, kesehatan, permodalan yang sesuai dengan kebutuhan informasi, sarana dan prasarana. nelayan Nelayan 3. Tidak berpihaknya sistem hukum dan Tidak mempunyai kekuatan dalam menetapkan kebijakan terhadap nelayan miskin. harga 4. Adanya sistem ekonomi yang timpang Rendahnya akses terhadap pasar 5. Sistem sosial budaya yang menyudutkan Terbatasnya penguasaan alat produksi (stigmatisasi) si nelayan miskin. Terbatasnya tempat/wilayah penangkapan karena keterbatasan alat produksi. 1. Kemiskinan adalah kondisi hilangnya motivasi Kurangnya pelayanan kesehatan mobilitas vertikal (keinginan untuk mencapai Lemahnya solidaritas status yang lebih tinggi), Tidak bisa menyuarakan kepentingan 2. Kemiskinan adalah ketidakmampuan Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menjangkau pendidikan yang lebih tinggi, menuntut hak-hak Buruh Industri 3. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan Rentan terhadap PHK memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi. Rentan terhadap bentuk eksploitasi dan kekerasan (Fisik, psikologis, seksual) serta belum ada perlindungan hukum. Ruang partisipasi yang kurang Putting out system (tenaga kerja kontarakan) yang memperkecil peluang untuk menjadi buruh formal sehingga lemahnya perlindungan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja 1. Kemiskinan adalah ketiadaan peluang kerja Kurangnya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan perempuan Lemahnya solidaritas dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk 2. Kemiskinan adalah tidak adanya sumber menuntut hak-hak penghasilan yang tetap Rentan terhadap bentuk eksploitasi dan 3. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan untuk kekerasan (fisik, psikologis, seksual) serta belum Buruh Migran menentukan pilihan jenis pekerjaan yang ada perlindungan hukum. diinginkan Keterbatasan informasi 4. Kemiskinan adalah kerentanan trehadap Terpaksa menjadi PRT (Pekerja Rumah Tangga), eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan oleh baik domestik maupun luar negeri PJTKI dan Majikan Sumber: Kikis, 2004 Berikut ini kita melihat realitas kemiskinan di Indonesia baik melalui garis kemiskinan yang diformulasikan BPS maupun berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).