Bab I pendahuluan menjelaskan latar belakang penelitian tentang pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme kepiting bakau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap konsumsi oksigen kepiting bakau pada berbagai kondisi. Manfaat penelitian ini diantaranya sebagai bahan informasi untuk budidaya kepiting bakau dan sebagai sumber belajar.
Skintoto: Mengeksplorasi Dunia Judi Online yang Menarik
Kepiting Bakau
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan
potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini
disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai
nutrien penting (Catacutan 2002). Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting
bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya
fluktuatif. Berdasarkan pertimbangan kontinyuitas produksi, maka perlu
dikembangkan budidaya kepiting bakau secara terkontrol. Guna menunjang usaha
budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis maka
perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat biologis kepiting bakau. Hal tersebut
dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya mem-berikan
pertumbuhan yang maksimal.
Seperti organisme perairan lainnya, pertumbuhan kepiting bakau hanya
dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi
dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian,
partumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya semakin
meningkat atau energi yang dimetabolisme tetap atau semakin menurun. Adanya
perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran energi yang dikonsumsi,
dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi yang dimetabolisme, sehingga hal
ini mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan energi tubuh.
2. 2
Metabolisme merupakan segala proses reaksi kimia yang terjadi di dalam
tubuh organisme yang meliputi anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen
merupakan salah satu parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir
laju metabolisme secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang
digunakan dalam proses oksidasi. Dalam proses ini mendapat, mengubah dan
memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan
hidup (Wirahadikusumah, 1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang
berpengaruh adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status
makanan dan karbondioksida. Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot,
aktivitas, jenis kelamin, reproduksi, dan molting (Kumlu et al. 2001; Verslycke dan
Janssen 2002; Villareal at al. 2003).
Salinitas merupakan masking factor bagi organisme akuatik yang dapat
memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang
berdampak terhadap organisme (Gilles dan Pequeux, 1983; Ferraris et al., 1986).
Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat
berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan
kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk
metabolisme dapat diminimalisir.
Pengetahuan masyarakat tentang pengaruh salinitas terhadap proses
metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) di perairan akuatik yang berada pada
substrat baik keras maupun yang lunak, masih sangat terbatas yaitu berupa
petunjuk-petunjuk teknis terkait peningkatan kepiting bakau (Scylla sp) dalam
3. 3
ekosistemnya, hal ini disebabkan karena masih kurangnya instansi atau lembaga
yang melakukan penelitian ini, khususnya di Kawasan Hutan Mangrove yang
terdapat di Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas guna mendapatkan gambaran
tentang laju metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) yang ada pada berbagai
salinitas maka dilakukan penelitian dengan formulasi judul:
”Pengaruh Salinitas Terhadap Laju Metabolisme Kepiting Bakau
(Scylla sp) Di Kawasan Perairan Akuatik Hutan Mangrove Desa Moluo
Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uaraian di atas maka penulis merumuskan masalah dalam
penelitian ini yaitu: Bagaimanakah pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme
dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan
rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo Utara.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu: Untuk mengetahui
pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting
bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik kawasan
hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
4. 4
1.2 Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilakukan, maka dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai salah satu bahan informasi bagi usaha pengembangan kepiting
bakau terutama aspek budidayanya.
2. Dapat memberikan imformasi ilmiah bagi petani kepiting (Scylla sp) dan
instansi terkait tentang pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam
konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan,
dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan
Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Biokimia tentang metabolisme
yaitu konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal,
makan, dan rutin.
4. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Fiswan tentang konsumsi
oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin.
5. Sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi untuk
melakukan penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
5. 5
2.1 Deskripsi Tentang Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang
surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan
dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove
mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas
(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap
keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.
Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang
diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera (Panthera tigris
sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo (Mycteria cinerea), bubut hitam
(Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilus javanicus, dan tempat
persinggahan bagi burung-burung migran.
2.1.3 Jenis-Jenis Mangrove
Banyak jenis mangrove yang sudah dikenal dunia, tercatat jumlah mangrove
yang telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan
75 spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita
tujukan (Tomlinson dan Field, 1986 dalam Irwanto, 2006).
Irwanto (2006), menyatakan bahwa ”Asia merupakan daerah yang paling
tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat
sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak
41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies
mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak tidak kurang
dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat
sebanyak 37 jenis”.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang
banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau
6. 6
(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.),
merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis
mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang berfungsi menangkap,
menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api atau di dunia
dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses
menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi
terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan
sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik. Mangrove
besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora spp.) merupakan jenis
kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap
arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2006).
Gambar Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove (Bengen,2002)
Menurut Zeinyta Azra Haroen dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
Hutan Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang terbesar di dunia.
Komunitas Mangrove membentuk pencampuran antra dua kelompok :
7. 7
1. Kelompok fauna daratan /terestial (arboreal) yang umumnya menempati
bagian atas pohon mangrove.
2. Kelompok fauna perairan /akuatik terdiri atas dua tipe yaitu:
Yang hidup di kolom air terutama jenis-jenis ikan dan udang.
Yang menempati substrat baik keras ( akar dan batang pohon
mangrove ) maupun yang lunak yaitu kepiting dan kerang.
2.2 Deskripsi Tentang Kepiting
Manusia tak sadar, kepiting begitu berjasa bagi kehidupannya. Mungkin
karena penelitian mengenai kepiting masih sedikit dilakukan, informasi mengenai
keberadaannya seolah “hilang”. Di Indonesia, kepiting hanya dikenal sebagai bahan
makanan semata. Padahal apabila dicermati lebih jauh lagi, kepiting tak hanya enak
dikonsumsi. Banyak manfaat lain yang bisa diambil. Kepiting bisa dinikmati secara
visual (sebagai kepiting hias), digunakan sebagai bioindikator logam berat dan
penangkal racun.
Bahkan kepiting bisa juga dipelihara sebagai hewan peliharaan yang lucu.
Lebih jauh lagi, apabila dilihat dari sisi ekologi, jumlahnya yang dominan di daerah
mangrove mampu mengatur keseimbangan ekosistem di daerah tersebut.
2.2.1 Fungsi Ekologis
Kepiting menjaga keseimbangan ekosistem dan memainkan peranan penting
di daerah mangrove. Daun yang dimangsa kepiting dan dikeluarkan dalam bentuk
faeces terbukti lebih cepat terurai dibandingkan dengan daun yang tidak dimangsa.
Hal ini menyebabkan proses perputaran energi berjalan cepat di mangrove. Selain
itu, keberadaan lubang-lubang kepiting, secara tidak langsung mampu mengurangi
8. 8
kadar racun tanah mangrove yang terkenal anoksik. Lubang-lubang ini membantu
terjadinya proses pertukaran udara di tanah mangrove.
2.2.2 Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp.
Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan-satu-satunya spesies dari famili
Portunidea yang memiliki assosiasi yang dekat dengan lingkungan mangrove/hutan
bakau, sehingga dikenal dengan nama kepiting bakau atau mud crab. Telah
dilakukan penelitian tentang keaneka ragaman jenis kepiting bakau dikawasan
mangrove sungai Lakatong, dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis
kepiting bakau dan memperoleh data deskriptor dari populasi-populasi kepiting
bakau dikawasan sungai Lakatong Kab.Takalar. Pengambilan sampel kepiting
dilakukan di tiga titik sampling sepanjang kawasan mangrove Sungai Lakatong,
dengan menggunakan alat tangkap rakkang.Titik.titik sampling dianggap mewakili
daerah ruaya kepiting bakau sehingga ukuran sampel kepiting terwakili.
2.2.3 Komposisi Spesies Kepiting Di Hutan Mangrove
Berbagai jenis krustasea yang hidup di mangrove menggali tanah sampai
water table, permukaan air. Kepiting Thalassina sp. yang merupakan indikator
adanya tanah sulfat masam menggali lubang hampir horisontal dengan percabangan
pada sisi-sisinya, sedangkan Upogebia sp. membentuk lubang seperti huruf “U”.
Kepiting Sesarma sp. menggali lubang yang lebih sederhana dengan ruangan yang
luas di dasarnya. Selanjutnya kepiting jenis Portunidae seperti Scylla serrata dapat
menggali lubang hingga 5 m ke luar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove.
Fungsi lubang bagi kepiting bervariasi, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai
tempat menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan
9. 9
organik seperti pada Thalassina sp., sebagai rumah atau daerah teritorial dalam
berpasangan dan kawin, tempat pertahanan, dan tempat mengerami telur atau
anaknya.
Campuran dari deposit organik dengan flora, bakteria, diatom, dan
mikroorganisme lainnya yang terdapat di dasar mangrove merupakan sumber
makanan bagi berbagai jenis kepiting. Kepiting Uca sp. betina mengambil lumpur
dengan kedua kaki capitnya yang kecil sehingga lebih cepat mengambil makanan
dibandingkan dengan Uca sp. jantan yang hanya mempunyai satu kaki capit yang
kecil, sedangkan kaki capit satu lagi ukurannya besar sehingga sulit untuk
mengambil makanan.
2.3 Keterkaitan Komunitas Dalam Perlindungan Ekosistem Mangrove
Burbridge and Maragos 1985 mengatakan bahwa ekosistem pesisir terkait
satu sama lain karena adanya aliran energi dan mineral. Meskipun hutan mangrove
ditemukan disepanjang garis pantai Queensland, penelitian-penelitian mengenai
komunitas ikan yang masuk ke habitat-habitat ini pada saat pasang masih sedikit
(Stephenson and Dredge1976 ; Morton 1990 ; Robertson and Duke1990 dalam
Halliday1996). Hal ini mengindikasikan bahwa kerugian habitat belum
diperhitungkan dalam produktivitas perikanan. Tekanan-tekanan untuk
membangun atau gangguan terhadap habitat kawasan pesisir.
Dari tahun 1974 sampai tahun 1987, 8.4 % dari hutan mangrove dan 10.5%
dari kawasan saitmarsh-claypan antara antara daerah Coolangatta dan caloundra di
bagian selatan timur Queensland telah hilang sebagai hasil dari pembangunan
pelabuhan,kanal,resor,galangan kapal dan perluasan dari bandara Brisbane.
10. 10
Dokumentasi dari penggunaan habitat oleh dan kemampuan untuk menyedia
pendugaan yang akurat sebagai dampak dari pembangunan kawasan pesisir adalah
kritis jika kawasan-kawasan yang memiliki nilai perikanan yang tinggi akan
dilestarikan (Halliday 1996)
Secara ekologis ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai daerah
pemijahan (spawning ground),daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari
makan (feeding ground). Sebagian besar jenis biota laut (ikan ,udang ,kepiting)
yang bernilai ekonomi penting. Menurut Snedaker 1978, bahwa sekitar 80% dari
jenis –jenis ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu
fase dalam daur hidupnya,didaerah pesisir berhutan mangrove. Dengan demikian,
ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber plasma nuftah dan biodiversity.
Selain itu hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daerah pesisir dari
gempuran ombak (abrasi),gelombang tsunami,dan angin taufan. Ekosistem
mangrove juga berperan besar dalam pemeliharaan kualitas perairan pesisir
melalui :
Penjebakan sedimen yang terdapat di kolom air.
Pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (steady-state equilibrium).
Ruslan 1986 menyimpulkan dari hasil penelitian yang dilakukan di pantai
timur Daerah Istimewa Aceh bahwa lebar jalur hijau mempunyai hubungan
yang nyata (sinifikan) dengan produksi udang dari tambak tradisional dan
populasi udang dari hasil tangkapan nelayan disekitarnya.
Perubahan pemanfaatan lahan pesisir yang merusak hutan mangrove
misalnya untuk tambak dapat mengakibatkan hilangnya komponen ssumberdaya
11. 11
hayati lain yang terkandung didalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah
perairan sekitarnya. Komponen sumberdaya tersebut memiliki nilai ekonomi,
sehingga perubahan hutan mangrove menjadi tambak mengakibatkan hilang nilai
ekonomi dan komponen hayati yang terkandung di dalamnya dan nilai ekonomi
sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya.
Adanya hubungan antara hutan, mangrove dengan seluruh produktivitas
ekosistem berarti argumen ekonomi yang kuat dapat dibuat untuk larangan
penebangan habis hutan mangrove. Beberapa pembatasan tebang habis hutan
mangrove akan optimal secara ekonomi bila terjadi hubungan ekologis yang kuat.
2.4 Ketergantungan Sumberdaya Pesisir Terhadap Mangrove
Banyak penelitian menunjukkan bahwa mangrove memainkan peran yang
penting bagi beberapa spesies ikan yang ada ,di pesisir. Kasus terbanyak adalah
udang, dimana udang dewasa yang berada di laut dan larva menuju ke pesisir
dengan aktif berenang dan secara pasif dibawa oleh arus pasang surut. Sebagai
fungsi tempat pembesaran, ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor:
tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan air,dan keanekaragaman yang terstruktur.
Pertama konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi pada ekosistem
estuary termasuk mangrove disebabkan karena adanya aliran air
tawar,sebagai penjebak zat hara,pencampuran air yang disebabkan oleh
adanya pasang surut dan terjadinya modulasi lingkungan (Knox 1986)
Semua faktor diatas menghasilkan produktivitas yang tinggi di ekosistem
ini. Dan hal ini merupakan dasar dari jaring makanan pada ekosistem
12. 12
mangrove dimana jenis-jenis larva udang,plankton dan juvenil ikan tersedia
melimpah dan beraneka ragam.
Kedua,kekeruhan yang terjadi di suatu perairan dapat mengakibatkan
menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah
tersebut dan memperluas daerah pembesaran ikan,dan akhirnya dapat
meningkatkan tingkat hidup dari ikan-ikan muda yang banyak terdapat pada
ekosistem tersebut.
Ketiga, struktur keanekaragaman dan tersedianya habitat yang sesuai
dengan ekosistem mangrove dalam penyediaan ruang yang lebih luas dan
adanya niche yang bertingkat merupakan hal yang penting dan
mengakibatkan banyaknya ikan-ikan muda yang tersedia di ekosistem ini
Penelitian di teluk Mexico menunjukkan bahwa sumberdaya ikan sangat
tergantung pada ekosistem mangrove. Hubungan keterkaitan antara ekosistem
mangrove dan lingkungannya dengan perikanan komersil juga diteliti di Australia
oleh Blaber pada tahun 1997 juga menyimpulkan hal yang sama yakni banyak
spesies adalah oportunis dan tidak bergantung pada estuary. Meskipun kondisi
lingkungan mangrove sangat disukai untuk ikan-ikan yang dipanen sekitar
pantai,ketergantungan ekologi dari ikan-ikan pesisir terhadap mangrove masih
sedikit yang dikuantifikasikan.
Dari semua hal tersebut hutan mangrove di Indonesia termasuk jenis yang
terbaik di dunia .Oleh karena itu banyak permintaan terhadap hutan mangrove
semakin meningkat, tidak saja dari segi produk, tetapi juga lahan yang sendiri.
Permintaan terhadap lahan hutan mangrove lebih berpotensi merusak karena pada
13. 13
akhirnya akan merusak lingkungan pada lokasi tersebut dan berdampak luas pada
lingkungan sekitarnya. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai
kepentingan tersebut maka diperlukan konsiderasi komunitas dalam perlindungan
dan pengelolaan serta rehabilitasi ekosistem mangrove secara optimal dan
berkelanjutan.
Untuk dapat melakukan pengelolaan secara lestari diperlukan pengetahuan
tentang nilai strategis karena keberadaan hutan mangrove bagi masyarakat
sekitarnya dan pengambilan kebijakan terkait. Konservasi ekosistem dan
sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-
perubahan yang nyata ,seperti sirkulasi air,salinitas,kimia dari substrat hidupnya
penting untuk di perhatikan bahwa banyak hal yang dapat mengubah faktor
tersebut,berasal dari dua ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan
pemanfaatan mangrove bergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi
dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Maka pengembangan
dan perlindungan serta kegiatan insidental yang mempengaruhi ekosistem
mangrove seharusnya, mencerminkan perencanaan dan pengelolaan yang baik.
Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini
dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di
perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai
Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya semuanya masih berbatasan dengan hutan
mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan. Besarnya peranan hutan
mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyak
14. 14
jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di sekitar pohon
mangrove.
Para ilmuan sebelumnya telah mengemukakan bahwa potensi perikanan di
wilayah hutan mangrove sangat meningkat, hal ini disebabkan adanya hubungan
yang terjadi secara kuantitatif antara mangrove dengan sumber daya perikanan
secara umum. Sebagaimana yang di utarakan oleh Zeinyta Azra Haroen dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa hutan mangrove di Indonesia memilliki
keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas mangrove membentuk
pencampuran antra dua kelompok fauna yaitu: Kelompok fauna daratan /terestial
(arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove. Dan kelompok
fauna perairan /akuatik yang terdiri atas dua tipe yaitu: yang hidup di kolom air
terutama jenis-jenis ikan dan udang dan yang menempati substrat baik keras (akar
dan batang pohon mangrove) maupun yang lunak seperti kepiting.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang
merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove.
Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme
diuraikan menjadi partikel partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan
makanan bagi hewan pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang
kecil/rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan,
udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi
makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan
ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi
kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995 dalam Suhaeb, 1999).
15. 15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Pengambilan Sampel Dan Lokasi Penelitian
16. 16
Pengambilan sampel untuk penelitian ini direncanakan di kawasan hutan
bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Lokasi
pengambilan sampel terdiri atas 2 stasiun pengamatan. Adapun penelitiannya akan
dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Jurusan Pendidikan Biologi F. MIPA
Universitas Negeri Gorontalo.
3.1.2 Waktu Pengambilan Sampel Dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilaksanakan selama 3 hari pada
Minggu pertama di Bulan Mei 2009. Dan untuk waktu penelitiannya akan
dilaksanakan selama 1 Minggu yaitu pada Minggu kedua di Bulan Mei 2009.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan kepiting bakau
(Scylla sp) pada perairan/akuatik yang hidup pada substrat baik keras maupun yang
lunak yang terdapat di kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo Utara.
3.3 Metode Pengambilan Sampel dan Metode Penelitian
3.3.1 Metode Pengambilan Sampel
Jenis pengambilan sampel untuk penelitian ini adalah natural ekperiment
(eksperimen alami) dengan menggunakan metode Line Transek dengan pendekatan
deskriptif. Karena wilayah penelitian (Kawasan hutan bakau yang terdapat di Desa
17. 17
Muolo Kecamatan Kwandang) ini memiliki luas 200 Ha, maka untuk pengambilan
sampel dibuat 2 stasiun pengamatan dengan masing-masing stasiun terdiri dari 2
transek dan masing-masing transek terdiri atas 3 plot pengamatan. Line transect
tersebut dibuat tegak lurus memotong garis pantai sedangkan panjang garis/line
transek 100 m yang terbagi dalam 3 plot/kuadrant dengan ukuran plot masing-
masing 10 x 10 meter.
3.3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan
demikian pada penelitian ini terdapat 12 unit percobaan. Analisis Data Metoda
statistik Analisis Ragam (ANOVA) Satu arah dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) akan digunakan untuk menganalisis masing-masing perlakuan (Sokal &
Rohlf 1981; Fowler & Cohen 1990). Analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan program komputer Minitab ®.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam.
Selanjutnya untuk Uji Tukey digunakan untuk membandingkan perbedaan antara
perlakuan (Steel dan Torrie, 1993). Sebagai alat bantu untuk melaksanakan uji
statistik tersebut digunakan paket program SPSS versi 13.0.
3.4 Alat Dan Bahan
3.4.1 Alat Dan Bahan Pengambilan Sampel Penelitian
Dalam pengambilan sampel penelitian ini alat dan bahan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1. Role Meter, untuk membuat plot (kuadrant)
18. 18
2. Salino meter, untuk mengukur salinitas/kadar garam air laut.
3. GPS (Global Position System), untuk menetukan titik koordinat wilayah
pengambilan sampel di peta.
4. Sling Psikometer, untuk menentukan kelembaban udara dari wilayah sampel
5. Soil tester, untuk menetukan pH tanah dari wilayah pengambilan sampel
6. Lux Meter, untuk menetukan intensitas cahaya dari wilayah sampel
7. Kunci Determinasi/identifikasi untuk jenis kepiting bakau (Scylla sp)
8. Kamera alat untuk dokumentasi.
9. Peta Wilayah, untuk mengetahui wilayah tempat pengambilan sampel.
10. Alat pengukur tekstur tanah yang digunakan untuk analisis sifat tekstur
tanah.
3.4.2 Alat Dan Bahan Dalam Penelitian
Dalam penelitian ini alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wadah berupa stoples plastik bervolume 16 L yang dirancang dengan
sistem sirkulasi,
2. Dissolve Oxygen Meter (DO-Meter), alat ukur laju konsumsi oksigen
kepiting,
3. Spektrofotometer, untuk mengukur besar kandungan amoniak (nitrit),
4. Magnetic Stirrer, alat pengaduk,
5. Termostat alat pengukur suhu,
6. Hewan uji adalah kepiting bakau (S serrata) berukuran bobot 20, 40, 60,
dan 80 gram,
7. Air laut bersalinitas 35 ppt,
19. 19
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel Penelitian
Sebelum melaksanakan prosedur penelitian di Laboratorium, terlebih dahulu
melaksanakan prosedur kerja dalam pengambilan sampel penelitian, adapun
prosedur kerja yang akan dilaksanakan pada pengambilan sampel penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Observasi:
2. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keandaan atau kondisi
kepiting bakau (Scylla sp) di kawasan hutan bakau di Daerah Muolo
Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3. Melakukan tahap pengambilan sampel penelitian:
Adapun tahap-tahap pengambilan sampel penelitian yang akan dilakukan
antara lain sebagai berikut:
a. Menentukan titik masing-masing wilayah yang menjadi wilayah sampel
penelitian dan menentukan titik koordinatnya pada peta dengan
menggunakan GPS (Global Position System).
b. Membuat jalur transek sepanjang 100 m dengan menggunakan role
meter dengan ukuran masing-maisng Plot/kuadrant 10 x 10 meter, 5 x 5
meter dan 1 x 1 meter.
c. Mengambil data jenis kepiting bakau (Scylla sp) pada masing-masing
zonasi hutan mangrove.
20. 20
d. Menentukan jenis-jenis kepiting bakau (Scylla sp) dengan menggunakan
kunci determinasi/kunci identifikasi.
e. Mengukur kelembaban udara dari wilayah sampel yang menjadi lokasi
penelitian dengan menggunakan slingk Meter.
f. Mengukur intensitas cahaya dari dari wilayah sampel yang menjadi
lokasi penelitian dengan menggunakan lux Meter.
g. Mengukur pH tanah dari wilayah sampel yang menjadi lokasi penelitian
dengan menggunakan Soil Tester.
h. Mengukur salinitas air pada setiap zonasi hutan mangrove dengan
menggunakan salino meter.
Sampling Desain
Gambar Garis Transek
Arah Transek
Gambar Ukuran Plot
10 m
5m 10 m
1m
1m 5m
21. 21
3.5.2 Prosedur Kerja Penelitian Di Laboratorium
Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan
demikian pada penelitian ini terdapat 12 unit percobaan.
Penelitian ini menggunakan wadah berupa stoples plastik bervolume 16 L
yang dirancang dengan sistem sirkulasi. Wadah tersebut dilengkapi dengan alat
pengatur suhu (termostat). Sebagai hewan uji adalah kepiting bakau (S. serrata)
berukuran bobot 20, 40, 60, dan 80 gram. Kepiting ditebar dengan kepadatan 1 ekor
per wadah pada setiap perlakuan berdasarkan bobot tubuh kepiting. Sumber air
yang digunakan terdiri atas air laut bersalinitas 35 ppt, yang diperoleh di pesisir
pantai kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten
Gorontalo Utara. Untuk mendapatkan media perlakuan sesuai dengan salinitas yang
diinginkan maka dilakukan teknik pengenceran dengan air tawar.
Sebagai perlakuan adalah perbedaan salinitas media yaitu : (A) 5; (B) 15;
(C) 25 dan (D) 35 ppt. Peubah yang diukur adalah konsumsi oksigen pada kondisi
basal, kenyang, dan rutin, Konsumsi oksigen pada kondisi basal ditentukan melalui
pengukuran tingkat konsumsi oksigen setelah kepiting uji terlebih dahulu
dipuasakan selama 48 jam. Untuk kondisi kenyang, pengukuran konsumsi oksigen
dilakukan pada saat sesudah kepiting makan kenyang (feeding maximun) dan
dipantau selama 24 jam, sedangkan untuk aktivitas rutin diukur dalam keadaan
kepiting tetap diberi pakan dan melakukan aktivitas hariannya. Pakan yang
diberikan adalah ikan rucah sebanyak 5% dari bobot tubuh. Frekuensi pemberian
dilakuan dua kali sehari.
22. 22
Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa parameter
fisika kimia air media penelitian meliputi: suhu, pH, amoniak, dan nitrit.
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer, pH dengan pH
meter dan amoniak dengan menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran Konsumsi Oksigen
Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan dengan cara mengukur oksigen
terlarut di dalam air wadah percobaan sesudah hewan uji dimasukkan. Pengukuran
tersebut menggunakan quot;Dissolve Oxygen Meterquot; (DO-Meter). Sebelum
pengukuran, hewan uji akan ditempatkan di dalam wadah percobaan yang beraerasi
dan dilengkapi dengan pengaduk (Magnetic Stirrer) dengan perlakuan yang
berbeda-beda untuk setiap wadah selama waktu yang telah ditentukan sebagai
periode aklimatisasi pengukuran. Setelah periode tersebut, kemudian oksigen
terlarut di dalam wadah diukur dan hasilnya dicatat sebagai data oksigen terlarut
awal (C aw ). Selanjutnya, wadah ditutup rapat dengan menggunakan penjepit
(dimungkinkan tidak ada udara yang keluar masuk di dalam wadah selama
percobaan). Dalam keadaan ini hewan uji dibiarkan (tanpa gangguan) selama waktu
yang ditetapkan untuk setiap perlakuan. Pada akhir waktu yang telah ditetapkan,
oksigen terlarut diukur kembali dan hasilnya dicatat sebagai data oksigen terlarut
akhir (C ak ).
3.2 Prosedur Analisis Data
Paramater laju metabolisme konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp)
yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan laju konsumsi oksigen (R)
23. 23
yang diperoleh dari data pengukuran oksigen terlarut (awal dan akhir). Laju
Konsumsi oksigen (R) tersebut dihitung dengan menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Johnson (1973), sebagai berikut:
R = [ (C aw – C ak ) . V. 700] . [ t . w ] -1, dimana:
R adalah laju konsumsi oksigen (L. h -1 . g -1 berat bersih),
C aw adalah nilai konsentrasi oksigen terlarut awal (ppm),
C ak adalah nilai konsentrasi oksigen terlarut akhir (ppm),
700 adalah faktor konversi (untuk oksigen, 1 ppm = 700 L/L),
V adalah volume air dalam wadah (liter),
T adalah waktu (jam), dan
w adalah berat bersih.
Analisis Data Metoda statistik Analisis Ragam (ANOVA) Satu arah dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) akan digunakan untuk menganalisis masing-
masing perlakuan (Sokal & Rohlf 1981; Fowler & Cohen 1990). Analisis data akan
dilakukan dengan menggunakan program komputer Minitab ®.
Hipotesis sederhana yang dikemukakan pada percobaan ini adalah Ho
Perlakuan tidak memberi pengaruh nyata pada konsumsi oksigen; H1 : Perlakuan
memberi pengaruh nyata pada konsumsi oksigen. Jika hasil analisis menunjukkan
adanya pengaruh perlakuan yang berbeda secara nyata atau sangat nyata maka akan
dilanjutkan dengan Uji-Tukey menurut petunjuk Fowler & Cohen (1991) untuk
menentukan perlakuan mana yang berbeda nyata dengan control.
24. 24
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Hutan Mangrove. http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs-
mangrove.htm (6 Februari 2008)
Basyuni, Mohamad. 2002. Panduan Restorasi Hutan Mangrove Yang Rusak
(Degrated). http://library.usu.ac.id/modules.php?
op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=24 (6
Februari 2008)
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut
Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Dahuri, Rohmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara.
Jakarta. 155 hal.
Hardjosuwarno, S. 1994. Metode Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta
Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove.
www.irwantoshut.com (6 Februari 2008).
Nyabakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia.
Jakarta.
Rochana, Erna. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia.
www.irwantoshut.com. (20 Februari 2008).
Clark,R.J.1996. Coastal Zona Management Hand Book.CRC.Lewis Publishers.
Boca Rato.Florida,USA.
25. 25
D.G.Bengen.2001.Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan,IPB.Bogor.
D.G.Bengen. 2001.Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut.Pusat Kajian Sumberdaya dan Laut,IPB.Bogor.
Dahuri R, J.Rais, S.P.Ginting dan M.J.Sitepu.1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.Prodya Paramita.Jakarta.
Dixon,J.A.1989.Valuation of Mangrove Trop. Coast .Area Mgt.
Fakhrudin,Ahmad.1996 .Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kab.Subang.
Hamilton,Snedaker.1984.Hand Book For Mangrove Area Management. IUCN and
UNESCO.
Nontji,A.1987.Laut Nusantara.Penerbit Djambatan.Jakarta.
Nybakken,J.W.1992.Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis.Penerbit
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Naamin, N and A.Hardja Mulia.1990.Potensi Pemanfaatan dan Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Indonesia,Praseding Puslitbangka.Jakarta.
Odum,W.E.1982.The Ekologi of The Mangrove of South Florida a Community
Profile.Washington D.C.
Soemordihardjo,S.& I.Soerianegara.1989.The Status of Mangrove Forest in
Indonesia.In Soerianegara,I.,D.M.Sitompul ,&U.Rosalina
(Eds).Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and
Economic Consideration Biotrop Special Publication.
Knox.G.A.1986.Estuarine Ecosystems: A System Approach.CRC Press.INC.Boca
Raton.Florida.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau#Perkembangbiakan
http://tumoutou.net/702_04212/zeinyta_a_h.htm