1. Tanya Jawab Tentang
Ujian Nasional
25 April 2014AyoTolakUN
1. Perlukah kita akan sebuah Ujian yang berstandar Nasional?
Ya. perlu. Kita memiliki sebuah sistem pendidikan yang berstandar
nasional. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Standar Nasional tersebut mencakup
* Standar Kompetensi Lulusan
* Standar Isi
* Standar Proses
* Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
* Standar Sarana dan Prasarana
* Standar Pengelolaan
* Standar Pembiayaan Pendidikan
* Standar Penilaian Pendidikan
Baca di http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61
Jika kita telah memiliki standar pelayanan pendidikan yang berskala
nasional seperti ini maka kita juga memerlukan adanya sebuah ujian yang
berstandar nasional.
2. Perlukah Ujian Nasional (ujian yang berstandar atau berlevel nasional)
itu diterapkan di seluruh Indonesia (berskala nasional)?
Tentu saja tidak! Hanya daerah-daerah yang telah mampu menerapkan
semua standar nasional tersebut yang perlu diuji dengan sebuah ujian
nasional. Sekolah-sekolah yang belum bisa menerapkan ke delapan standar
pelayanan minimum tersebut tentu tidak perlu diuji dengan sebuah ujian
yang berstandar nasional. Ujian yang berstandar nasional SEMESTINYA
1
2. hanya boleh diberikan JIKA instrumen masukan dan proses pendidikannya
SUDAH berstandar nasional juga. Jadi Ujian Nasional itu UJUNG dari
sebuah proses panjang dari sebuah upaya peningkatan kualitas pendidikan
yang berstandar nasional pula. Jika instrumen masukan dan proses yang
diberikan tidak berstandar nasional maka mengukurnya dengan sebuah
ujian nasional adalah kesalahan fatal. Menjadikannya sebagai syarat
kelulusan adalah sebuah kekejaman dan ketidakadilan (bagi mereka yang
tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang berstandar nasional).
Di negara-negara maju dan besar seperti Amerika Serikat, Australia, New
Zealand, dan China TIDAK ADA ujian nasional yang diterapkan pada
semua siswa di semua negara bagian mereka. Negara dengan kualitas
pendidikan terbaik seperti Finlandia malah tidak punya ujian nasional dan
kelulusan siswa mereka ditentukan oleh sekolah masing-masing.
3. Siapa sajakah yang mesti ikut ujian nasional tersebut?
Hanya siswa-siswa yang telah mendapatkan pelayanan pendidikan
berstandar nasional saja yang SEMESTINYA boleh mengikuti ujian nasional
ini dan siswa-siswa dari sekolah yang belum mencapai standar minimal
seperti yang ditetapkan oleh BSNP ini selayaknya TIDAK
DIPERBOLEHKAN mengambil ujian nasional. Tapi di Indonesia ujian
nasional ini diwajibkan kepada semua siswa kelas 6, 9 dan 12 di seluruh
Indonesia tanpa perduli apakah siswa-siswa tersebut telah memperoleh
standar pendidikan yang nasional atau belum. Dan itu adalah sebuah
kesalahan fatal dalam prinsip pengujian atau evaluasi. Prinsip �test what
you teach� tidak digunakan dengan pemberlakuan ujian nasional kita saat
ini. Sebagian besar siswa di daerah-daerah terpencil (bahkan di P. Jawa)
belum memperoleh haknya akan sebuah pendidikan yang berstandar
nasional tapi mereka telah dievaluasi dengan sebuah ujian yang berstandar
nasional.
4. Apa tujuan dari Ujian Nasional?
Tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik
serta untuk mengukur mutu pendidikan dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten,
sampai tingkat sekolah.
5. Apakah Ujian Nasional bisa dipakai sebagai perangkat untuk
meningkatkan kualitas pendidikan?
Tidak. Ujian nasional adalah salah satu alat pengukuran output pendidikan
dan bukan perangkat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
2
3. 6. Apakah UN dapat memberikan gambaran kualitas pendidikan secara
komprehensif di sebuah sekolah (atau daerah)?
Tidak. UN hanya menunjukkan hasil pengukuran dari materi yang diujikan
saja. UN tidak dapat memberikan informasi tentang keimanan dan
ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa. UN juga tidak
menguji tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik. UN tidak tahu
bagaimana tanggung jawab anak dalam kehidupan di sekolah. UN tidak
mau tahu apakah siswa mampu berkejasama dalam tim atau tidak. UN
tidak memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. UN hanya mengukur pemahaman
kognitif siswa pada materi yang diujikan
7. “Pentingnya Ujian Nasional untuk menciptakan kultur kerja keras,
tidak lembek di kalangan peserta didik,” kata Bambang Sudibyo.
Ini berarti mengingkari fungsi dan tujuan sebuah evaluasi pendidikan. Jika
kita menginginkan agar peserta didik memiliki kultur kerja keras dan tidak
lembek maka jelas bukan ujian nasional resepnya. Itu hanya pendapat
pribadi yang tidak didukung oleh bukti. Tidak ada hasil riset yang
mendukung pernyataan tersebut. Jika UN bisa membuat peserta didik
memiliki kultur kerja keras dan tidak lembek coba terapkan itu pada
perguruan tinggi. Beri mereka sebuah ujian kesarjanaan yang berskala
nasional. Bukankah perguruan tinggi juga menginginkan lulusan yang
memiliki kultur kerja keras dan tidak lembek? Berdasarkan pernyataan
anggota BSNP Mungin Edi Wibowo “UN dilakukan untuk meningkatkan
pemetaan mutu program satuan pendidikan dan juga sebagai proses seleksi,
juga UN bisa sebagai bahan pertimbangan dan pemberian bantuan kepada
yang sudah lebih ataupun masih kurang,”
http://www.detiknews.com/read/2009/11/25/124428/1248524/10/bsnp-
un-penting-untuk-tingkatkan-mutu-pendidikan. Jadi tidak benar bahwa UN
digunakan untuk menciptakan kultur kerja keras.
8. Apakah untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia kita
HARUS menggunakan sebuah ujian yang berskala nasional pada SEMUA
siswa di seluruh Indonesia?
Tidak. Kita bisa menggunakan metoda sampling untuk keperluan pemetaan
kualitas pendidikan tersebut. Metoda sampling bisa kita lihat pada metode
�Quick Count� pilpres kapan hari. Dengan mengambil sample secara
tepat kita bisa melihat peta kualitas pendidikan Indonesia tanpa harus
melibatkan semua siswa di Indonesia. Dengan metoda sampling kita bisa
memperoleh hasil pemetaan kualitas pendidikan di tanah air dengan cepat,
murah dan tanpa ekses seperti sekarang ini. Lagipula bukankah kita sudah
3
4. melakukan pemetaan (UN) setiap tahun? Untuk apa pemetaan setiap tahun
jika tidak digunakan sebagai pertimbangan untuk mulai memperbaiki
kualitas sekolah yang buruk? Lagipula, jika hanya untuk kepentingan
pemetaan, mengapa harus mengikutsertakan SELURUH INDONESIA
dalam evaluasi tersebut? Metode sampling jauh lebih murah dan tidak kalah
efektifnya kalau hanya untuk mengetahui peta kualitas siswa.
9. Apakah UN adalah satu-satunya penentu kelulusan siswa?
Bukankah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan kelulusan siswa dinilai berdasarkan nilai ujian
nasional, ujian sekolah, kehadiran, dan sikap/akhlak mulia? Secara tertulis
memang dinyatakan bahwa UN hanyalah salah satu dari tiga syarat lainnya.
Tapi dalam faktanya UN adalah SATU-SATUNYA penentu kelulusan. Tidak
ada SATU PUN siswa yang lulus UN tapi tidak diluluskan oleh sekolahnya
karena tidak memenuhi salah satu dari tiga ketentuan lainnya. Jadi meski
siswa sering bolos, ujian sekolahnya jeblok, dan tidak berakhlak mulia, tapi
kalau ia lulus UN maka sekolahnya PASTI akan meluluskannya. Sebaliknya
kita bisa melihat banyak siswa yang sudah lulus semua persyaratan dari
sekolah bahkan dengan nilai baik dan sudah diterima di PMDK tapi karena
nilai matematikanya kurang sedikit saja dalam UN maka semua nilai-nilai
bagus yang diperolehnya di sekolah tidak bisa menolongnya untuk lulus.
Nilai UN menjadi SATU-SATUNYA penentu dalam hal ini.
10. Bukankah dalam syarat kelulusan sebanarnya UN berperan hanya 25
% alias satu dari empat?
Tidak. Memang tertulis 1 diantara 4 tapi bukan berarti bobotnya 25%. Meski
ada 4 persyaratan untuk lulus UN tapi UN tetap nilainya paling
menentukan. Jadi biar pun yang 3 sudah lolos tapi jika UN tidak lolos
(meski nilainya hanya kurang 0,1) maka siswa tetap tidak lulus. Kalau
bilang 25% itu artinya bobotnya sama. Faktanya tidak demikian.
11. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa
menghapuskan pelaksanaan ujian nasional (UN) akan membodohi jutaan
anak Indonesia.
Ini pendapat pribadi yang tidak didukung oleh riset sama sekali. Beliau juga
bukan seorang pakar pendidikan, apalagi dalam bidang psikometri. Dulu
beliau bisa menetapkan UN karena jabatannya wapres, yang menguasai
bidang social dan pendidikan, dan bukan karena pertimbangan akademik.
Jadi penetapan UN untuk seluruh Indonesia adalah petimbangan politik
(kekuasaan) dan bukan akademik. Sama sekali tidak ada riset yang
mendukung pernyataan tersebut.
4
5. 12. “Orang bisa menjadi pintar itu karena belajar. Kenapa belajar, karena
akan diujikan. Kalau tidak ada ujian dan semua bisa lulus, untuk apa
belajar?” kata Kalla.
Ini pernyataan yang tidak benar samasekali. Memang orang pintar karena
belajar, tapi orang tidak pintar karena mengikuti ujian. Jelas sekali bahwa
fungsi evaluasi pendidikan tidak difahaminya. Pendapat bahwa orang
belajar hanya karena ada ujian adalah tidak benar. Di negara lain tidak ada
UN dan mereka tetap belajar dengan baik. Bahkan di Finlandia, negara
dengan kualitas pendidikan terbaik, justru tidak menerapkan ujian nasional
bagi siswa-siswanya.
Bacahttp://satriadharma.wordpress.com/2005/10/05/kualitas-pendidikan-
terbaik-di-dunia/#more-114. Kita juga tidak belajar hanya karena akan diuji,
Tujuan belajar jelaslah bukan sekedar untuk diuji.
13. UN, lanjut JK, merupakan sarana untuk membuat seluruh siswa di
Indonesia sama pintarnya, karena memakai satu standar. “Siswa di
Kendari, Ternate, maupun di mana saja di seluruh pelosok negeri di-set
pengetahuannya sama dengan siswa di Jakarta maupun kota besar
lainnya,” ujarnya.
Bukan ujian yang membuat kualitas pendidikan meningkat tapi pelayanan
pendidikan yang berkualitas yang bisa membuat kualitas pendidikan
meningkat. UN itu hanya alat untuk MENGUKUR pencapaian materi siswa,
dan bukan alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ujian yang
standar tidak akan membuat pengetahuan siswa menjadi sama
pengetahuannya. Tidak mungkin input dan proses yang berbeda TIBA-TIBA
menjadi sama outputnya hanya karena diuji dengan pengukuran yang sama.
Juga tidak ada bukti bahwa setelah mendapat UN maka anak-anak daerah
BISA BERSAING dengan anak-anak P. Jawa. TIDAK ADA data yang bisa
digunakan untuk menyatakan bahwa dengan mengikuti UN akan bisa
membuat anak-anak daerah bisa bersaing dengan anak-anak di P. Jawa.
Belum pernah ada penelitian semacam itu karena menggunakan logika yang
salah. Ujian Nasional hanyalah alat ukur dan bukan obat atau solusi untuk
peningkatan kualitas pendidikan. Hal itu sama saja artinya dengan
menyatakan bahwa sejak digunakannya termometer maka penyakit demam
bisa dikurangi, atau lebih ekstrim lagi dengan menyatakan ‘Sejak
digunakannya termometer ini untuk mengukur panas anak-anak di Papua
maka alhamdulillah kesehatan anak-anak Papua sudah sama baiknya
dengan anak-anak P. Jawa!’ Tentu saja itu konyol. Jika anak-anak di daerah
ingin bisa bersaing dengan anak-anak di P. Jawa maka KUALITAS
PENDIDIKANNYA yang harus ditingkatkan (bukan standar ujiannya).
5
6. 14. Penghapusan UN adalah kemunduran, karena saat ini, negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, juga sudah mulai menerapkan UN. “Tanpa
itu, siswa akan santai-santai saja belajarnya. Mungkin akan ada yang stres
karena UN, tapi lebih baik beberapa yang stres daripada membuat jutaan
anak menjadi bodoh,” ucap JK.
Ini informasi yang tidak akurat. DI Amerika Serikat TIDAK ADA ujian
nasional yang berlaku untuk semua siswa di semua negara bagian. Meski
telah ada upaya untuk membuat sebuah standardized exit exams yang
ditawarkan kepada semua negara bagian tapi banyak negara bagian yang
tidak bersedia. Tak ada pakar pendidikan yang berani meramalkan bahwa
AS akan menerapkan sebuah UN yang berlaku untuk semua siswa di semua
negara bagian (Ujian Nasional AS) suatu saat. Lagipula karakteristik ‘ujian
nasional’ AS itu sungguh berbeda dengan UN di Indonesia yang
serampangan tersebut. Standardized exit exams yang berlaku di beberapa
negara bagian itu telah dimulai sejak kelas 10 dan bisa dilakukan 5 kali
selama di SLTA (1 kali di kelas 10, kalau tidak lulus bisa diulangi 2 kali di
kelas 11 dan 2 kali lagi di kelas 12). Kalau tetap tidak bisa lulus masih boleh
mengulangi setelah lulus SLTA kalau mau dapat sertifikat. Kalau tidak mau
ya gak
apa-apa dan tetap boleh lulus. Jadi ujian tersebut tidak digunakan untuk
MENGHUKUM siswa seperti UN-kita ini.
15. Mengapa kita tidak melihat upaya Pak JK itu sebagai usulan dan niat
baik yg positif untuk kemajuan pendidikan?
Ya, saya menghargai KEINGINAN BAIK dari JK tersebut tapi saya
menentang CARA yang dipilihnya. Tujuan baik yang dilakukan dengan cara
yang buruk akan berbuah buruk pula. Menerapkan sebuah standardixed
test yang high stakes sebagai exit exams bagi siswa kelas 6, 9, dan 12 sebagai
syarat keluluisan serta mewajibkannya ke seluruh tanah air dari Sabang
sampai Merauke adalah keputusan yang salah karena sangat gegabah.
16. Pendidikan di Papua, NTT dan Sumba harus sama dengan yang di
Jakarta. Itu sebabnya UN diperlukan.
Jelas bukan UN yang dibutuhkan oleh pendidikan Indonesia saat ini. UN itu
cuma instrumen untuk mengukur hasil pendidikan kita secara nasional
yang memang sangat tidak adil jika dipakai sebagai standar kelulusan yang
disamakan antara Jakarta dan Papua. Bagaimana mungkin Papua yang
masih menghadapi masalah buta huruf diwajibkan memiliki standar
kelulusan yang sama dengan Jakarta? Bagaimana mungkin kinerja sekolah
di pelosok Indonesia yang gedungnya mau roboh dan gurunya sangat
6
7. kurang dan jarang datang, tak punya buku, siswa-siswanya masih belum
lancar membaca diminta bisa bersaing dengan sekolah di Jakarta?
Semestinya Ujian Nasional pertama-tama dijadikan sebagai tolok ukur
untuk menilai kinerja pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) dalam
menyelenggarakan pendidikan. Jadi bukan untuk mengukur kinerja siswa
dulu. Siswa itu kan hanya menerima pelayanan pendidikan dan bukan
pelaku yang menentukan kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri. Lantas
kenapa siswa yang harus menerima resiko dan hukumannya jika pelayanan
pendidikan di daerah atau sekolahnya buruk? Kenapa bukan Dinas
Pendidikannya yang dicopot jabatannya lebih dahulu? Mereka lebih pantas
untuk menerima resiko dari buruknya pelayanan pendidikan kita
ketimbang siswanya yang tidak tahu harus berbuat apa agar bisa mengejar
ketertinggalan dengan siswa Jakarta.
Mayoritas Siswa Papua belum butuh UN agar dianggap setara dengan siswa
di Jakarta. Mereka masih berjuang untuk membuat siswanya bisa
membaca.http://tabloidjubi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=2408:tingginya-buta-aksara-di-
papua–hukum-karma-buat-guru&catid=82:lembar-olah-raga&Itemid=94
http://pendidikanpapua.blogspot.com/2009/07/230-ribu-orang-papua-
buta-aksara.html
Siswa si NTT juga sama nasibnya. Menurut Kepala Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan NTT, Drs. Ismail Kasim, NTT masih kekurangan 15 ribu hingga
20 ribu orang guru. http://dion-bata.blogspot.com/2009/03/menemukan-
masalah-pendidikan-di-ntt-1.html.
Lha kalau gurunya saja masih kurang (belum lagi kita bicara soal mutu dan
kompetensi gurunya) maka bagaimana kita bisa bicara kualitas (yang perlu
diukur dengan UN tersebut)?
Di daratan Pulau Sumba misalnya, banyak calon guru yang tidak memiliki
kompetensi dan kualifikasi untuk menjadi guru dan ini sudah berlangsung
sejak lama. Pemda NTT bahkan kesulitan untuk membuka unit sekolah baru
untuk tingkat sekolah dasar dan SMP karena tidak punya guru dan bahkan
jumlah gurunya terus menurun karena banyak guru yang memasuki masa
pensiun. Untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan guru yang pensiun,
maka diangkatlah guru SD dari tamatan SLTA non keguruan. Ini adalah
fakta yang terjadi di lapangan. Jadi di bagian Indonesia lain masalahnya
masih berkutat pada AKSES dan KEBUTUHAN DASAR pendidikan dan
belum bica bicara kualitas (yang perlu diukur dengan UN tersebut).
Lagipula… cermin apalagi yang kita butuhkan untuk melihat kualitas
7
8. pendidikan kita? Kita sudah sama-sama tahu wajah pendidikan kita tanpa
harus punya cermin bernama UN. Bukan cerminnya yang kita butuhkan
tapi penanganan langsungnya yang kita harapkan. Dan penanganan
tersebut akan sangat berbeda untuk setiap daerah. UN justru akan
mengaburkan upaya penanganannya. Hasil UN palsu (karena dicurangi
secara massif) justru akan dipakai sebagai dalih untuk menutupi kegagalan
kita di pendidikan. Bukankah setiap tahun nilai UN kita meningkat?
Bukankah itu bukti bahwa Depdiknas berhasil meningkatkan kualitas
pendidikan? Bukankah kualitas pendidikan kita sudah setara antara Papua
dan Jakarta? dst… dst…
Padahal kita semua tahu bahwa hasil UN tersebut tidak layak untuk
dijadikan rujukan karena diperoleh dengan hasil curang oleh
sekolah.http://regional.kompas.com/read/xml/2009/04/21/22142123/pra
ktik.kecurangan.un.meluas
17. Banyak anak yang masih tidak tahu perkalian sederhana tetapi tetap
diluluskan oleh sekolah. Jika tanpa UN apa jadinya kualitas pendidikan
kita?
Jika masih banyak anak yang tidak paham perkalian yang sederhana maka
itu bukan karena kesalahan pengukurannya/evaluasinya/ujiannya/testnya
tapi karena kesalahan PROSES pembelajarannya. Meski dites 1000X pun jika
PROSES PEMBELAJARANNYA tidak diperbaiki maka hasilnya akan tetap
sama. Ada istilah GIGO (garbage in garbage out). Jangankan begitu.
Meskipun batu intan tapi jika digosok dengan salah maka intan tersebut
tidak akan menjadi berlian yang berkualitas baik. Jadi bagaimana mungkin
siswa yang tidak punya guru yang bisa mengajar matematika dengan benar
akan lulus ujian hanya karena diberi UN? Kalau siswanya sudah
mendapatkan standar pendidikan yang nasional maka tidak ada masalah
jika mereka mau diuji dengan ujian yang berstandar nasional. Silakan! Tapi
kalau yang belum ya janganlah sampai mereka diwajibkan untuk ikut.
18. Mengapa menghindari drop out dengan meluluskan semua siswa?
Siswa pendidikan dasar TIDAK BOLEH drop out, apalagi didrop-outkan
dengan UN. Siswa harus tetap bersekolah untuk memperoleh pendidikan
dasar. Pendidikan dasar adalah hak setiap anak. Tolong baca artikel saya
agar Anda paham
di :http://satriadharma.wordpress.com/2008/09/18/tahukah-anda-bahwa-
pendidikan-gratis-dan-bermutu-adalah-hak-setiap-anak/
8
9. 19. Apakah sulit mencapai nilai 5,0 untuk soal-soal UN yang sudah ada
kisi-kisinya?
TIDAK ADA HUBUNGAN antara nilai UN dengan apakah sekolah
mengetahui kisi-kisi ujian atau tidak. Anda boleh saja hafal di luar kepala
kisi-kisi tersebut tapi itu TIDAK MENJAMIN bahwa sekolah Anda akan
mendapatkan nilai UN yang baik. Ini bukan persoalan apakah sekolah
sudah faham kisi-kisi atau tidak. Sebagai analogi, meskipun Anda nonton
sepakbola piala dunia setiap malam itu tidak akan menjamin bahwa Anda
akan bisa main sepakbola karenanya. Anda harus berlatih bermain
sepakbola agar bisa.
20. Bukankah sekolah tidak perlu laboratorium atau perpustakaan
canggih untuk bisa lulus UN?
Sekolah tanpa perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga pun bisa
membuat siswa lulus UN.
Kalau cuma untuk bisa mengerjakan soal UN bahkan siswa tidak perlu
sekolah. Serahkan saja ke bimbingan belajar! Apakah itu yang kita inginkan
(menyuburkan bimbingan belaajr)? Akhirnya bukan proses pembelajaran
yang diberikan pada siswa tapi kiat-kiat untuk mengerjakan soal UN. Apa
Anda tidak sadar betapa berbahayanya situasi yang dimunculkan oleh UN
ini? Ini akhirnya membuat sekolah-sekolah menjadi bimbingan belajar UN
semua dan tidak mengajarkan ketrampilan hidup untuk bekal mereka di
masa depan. Mereka akhirnya hanya mengajarkan kiat-kiat untuk
mengerjakan soal UN. Dari cara pandang demikian nampak bahwa UN ini
telah membuat kita mereduksi tujuan pendidikan. Kita sudah tidak perduli
lagi dengan tujuan pendidikan dan bagaimana proses tersebut dilakukan.
Yang penting bagaimana agar siswa kita semua bisa lolos dari UN tersebut.
Semua hasil kerja siswa selama tiga tahun, betapapun baiknya, tidak akan
kita perdulikan jika ia tidak mampu lolos dalam UN. UN telah menjadi
tujuan pendidikan itu sendiri. Dan ini justru sangat ditentang.
21. Apa salahnya jika siswa mengikuti bimbingan belajar?
Bukankah bimbingan belajar dapat meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan siswa?
Tidak. Bimbingan test tidak membuat siswa meningkat kemampuan
akademisnya secara nyata. Bimbingan test hanya akan mengarahkan
upayanya agar siswa dapat memilih jawaban yang benar dari pilihan yang
tersedia. Jika ini dilakukan di sekolah maka akibatnya adalah akan membuat
sekolah mempersempit kurikulumnya hanya pada materi yang akan
diujikan saja dan membuat guru dan siswa berkonsentrasi untuk
9
10. mengingat-ingat jawaban tertentu. Bimbingan test tidak akan
mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang fundamental maupun
yang lebih tinggi.
Soal pilihan berganda (multiple choice) adalah bentuk test yang cenderung
bersifat hafalan yang tidak akan bisa mengukur kemampuan untuk
mengorganisasikan dan mengkomunikasikan ide. Seseorang yang bisa
mendapatkan nilai tinggi dalam bahasa Inggris bahkan tidak perlu tahu
bagaimana membaca atau menulis dengan baik dalam bahasa tersebut. Ia
hanya perlu tahu mana satu jawaban yang tepat di antara empat pilihan
yang ada.
22. Untuk lulus UN cukup asal ada kemauan untuk belajar.
Tentu saja harus ada buku yang bisa dibaca. Banyak tersedia di pasaran,
yang mahal dan yang murah ada. Yang gratis download saja. Di internet
banyak tersedia gratisan. Dimana ada kemauan pasti ada jalan. jangan
manja ah…
Bicara �download� itu kan kalau daerahnya sudah ada internet. Kalau di
sekolah itu listrik saja belum ada lantas apa bisa sekolah download lewat
talang dan dimasukkan ember? Saya ingatkan sekali lagi, kita bicara skala
NASIONAL yang dari Sabang sampai Merauke, dari Jakarta Pusat sampai
Pulau Air, Batu Legong, Bulang (Anda pasti gak tahu kan dimana ini?).
Jangankan yang jauh seperti di Maluku dan Papua sana, sedangkan di Pulau
Madura yang suda punya jembatan Suramadu yang megah tersebut banyak
yang belum dapat listrik kok! Sekitar 34 persen wilayah pedesaan di empat
kabupaten di Pulau Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan Kabupaten Sumenep, hingga saat ini belum mendapat
aliran listrik.
Baca http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/21/brk,20091221
-214830,id.html
23. Kenapa tidak ada yang memprotes bila seorang siswa tidak naik kelas,
bukan ujian akhir, tapi tidak naik kelas, misal dari kelas 1 ke kelas 2.
Hakekatnya sama aja kok. Kenapa hanya UN yang diprotes?
Jelas itu tidak sama. Yang satu adalah satuan pendidikan (sekolah) dan
satunya N A S I O N A L (dari Sabang sampai Merauke). Pahami dulu
makna dan skala nasional ini baru tahu bedanya. Kalau ada sekolah yang
tidak menaikkan siswanya karena siswanya memang belum memenuhi
syarat ya silakan karena mereka yang tahu apa yang dajarkan dan apa yang
harus diujikan. Sementara dalam hal Ujian Nasional apakah Depdiknas tahu
dan yakin apa yang diajarkan di pulau-pulau di Maluku Utara sana
10
11. sehingga siswanya harus diberi ujian yang berstandar nasional?! Tentu
tidak.
24. Sekarang kenapa ujian harus bersifat nasional?
Hanya satu alasannya, standarisasi. Seorang lulusan SD diharapkan
menguasai bla bla bla… Lulusan SMP dan SMA pun begitu. Perlu ada
standar.
Jika Anda bicara soal penguasaan (atau standar kompetensi lulusan) maka
itu berarti bicara soal MASUKAN dan PROSES PENDIDIKANNYA (dan
bukan pengukurannya). Jika ingin mendapatkan lulusan yang bermutu
maka beri mereka fasilitas dan proses pembelajaran yang bermutu (bukan
ujan yang berstandar nasional). Ujian yang berstandar nasional
SEMESTINYA hanya boleh diberikan JIKA instrumen masukan dan proses
pendidikannya SUDAH berstandar nasional juga. Jadi Ujian Nasional itu
UJUNG dari sebuah proses panjang dari sebuah upaya peningkatan kualitas
pendidikan yang berstandar nasional pula. Jika instrumen masukan dan
proses yang diberikan tidak berstandar nasional maka mengukurnya
dengan sebuah ujian nasional adalah kebodohan. Menjadikannya sebagai
syarat kelulusan adalah sebuah kekejaman dan ketidakadilan (bagi mereka
yang tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang berstandar nasional).
25. “Ujian Nasional sangat penting. Tanpa Ujian Nasional kualitas tidak
bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja,” ujar Ketua BSNP Mungin
Edi Wibowo dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (25/11/2009).
Bisa! Kita bisa menggunakan metode lain untuk mengukur kualitas
pendidikan nasional kita, Metode sampling bisa digunakan untuk keperluan
tersebut.
26. Benarkah UN bisa meningkatkan kualitas pendidikan?
Tidak ada studi yang mendukung pendapat tersebut. Sebuah studi dari
Stanford University’s Institute for Research on Education Policy and Practice
mengungkapkan bahwa ujian kelulusan ini ternyata tidak mampu
memberikan penilaian tingkat ketrampilan dasar yang adil bagi anak-anak
minoritas, kulit berwarna, dan pelajar perempuan.
http://blogs.edweek.org/edweek/inside-school-research/high-school-exit-
exams/. Berdasarkan studi itu kebijakan UN ternyata lebih banyak
mudharatnya ketimbang manfaatnya utamanya bagi pelajar wanita dan
kulit berwarna �high school exit-exam policy may be doing more harm
than good for the state’s lowest-performing students�especially those who
are young women and students of color.�
Penemuan lainnya adalah bahwa ujian kelulusan ini TIDAK MEMOTIVASI
11
12. anak-anak minoritas, kulit berwarna dan pelajar perempuan. Meski ini
adalah kasus di AS tapi ini sebuah hasil studi yang membantah bahwa UN
akan membuat semua siswa menjadi termotivasi untuk belajar lebih keras.
Anda mungkin masih rancu dan megidentikkan antara KUALITAS
PENDIDIKAN dengan UJIAN NASIONAL. Itu adalah dua hal yang
berbeda.
Peningkatan mutu akademik terletak bukan pada UNAS, melainkan pada
banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan dalam jangka
panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan pendidikan
ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Selama kualitas
pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana pendidikan
miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna, korupsi
merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk sekolah
lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat akreditasi
baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh dengan
nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi faktor,
UNAS tak akan ada manfaatnya dan justru malah merugikan.
27. Bukankah semestinya apa yang seyogianya dikuasai siswa di Pulau
Jawa juga harus setara dengan yang terlahir dan bertumbuh di Pulau
Yamnea sana?
Semestinya memang begitu. Idealnya adalah agar semua siswa dapat
memperoleh pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh Indonesia.
Dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah banyak hal yang
perlu dilakukan a.l :
- meningkatkan kualitas dan kuantitas gurunya
- memberi fasilitas belajar yang layak
- memberikan buku-buku pelajaran dan bacaan yang berlimpah
- memperbaiki manajemen sekolah
- membuat sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi
siswa untuk belajar
- memberikan akses seluas-luasnya bagi anak tidak mampu untuk bisa
bersekolah
- mengembangkan kurikulum yang relevan dengan dunia masa kini
- dll
Adalah salah besar jika Pemerintah menganggap bahwa solusi atau obat
mujarab untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan
sebuah ujian yang berskala nasional. Dengan asumsi kalau siswa sudah
melakukan Ujian yang berstandar Nasional yang sama dengan di P. Jawa
12
13. maka kualitas pendidikan mereka akan berangsur-angsur setara dengan di
P. Jawa, meskipun seamburadul apa pun kualitas pelayanan pendidikannya.
28. Bukankah sistem UN tersebut dapat mendorong guru dan kepala
sekolah bekerja dengan baik?
UN akan memacu mereka untuk mengajar dengan lebih serius dan tekun.
Jika para guru menjadi lebih tekun dalam mengajarkan bagaimana caranya
agar siswa dapat mengerjakan soal-soal UN maka ini justru berbahaya
karena nantinya sekolah hanya akan memfokuskan diri pada bagaimana
mengerjakan soal UN dengan baik. Belajar di sekolah akan diarahkan
semata pada bagaimana agar bisa mengerjakan soal UN.
Lagipula kalau UN tersebut digunakan untuk mendorong guru dan kepala
sekolah bekerja dengan baik maka reward and punishmentnya ya mesti
diarahkan kesana. Jangan siswanya yang dijadikan taruhan (dengan
menjadikannya tidak lulus UN). Jika UN dijadikan sebagai pendorong
semangat sekolah maka
BSNP (Depdiknas) telah salah dalam menggunakan alat evaluasi. SALAH
SASARAN karena maunya mengukur kompetensi guru tapi ujiannya buat
siswa. Menggunakan UN sebagai alat ukur kemampuan guru juga tidak
tepat karena hanya mengukur bidang studi tertentu. Buknakah guru yang
bidang studinya tidak diUN-kan juga perlu diukur?! Selain itu juga
ukuran nilai UN hanya menunjukkan kemampuan menjawab soal belaka
dan tidak mengukur kompetensi siswa dalam menggunakan pengetahuan
dan ketrampilan yang diperolehnya dari guru. Kalau siswa bisa menjawab
UN belum merupakan bukti bahwa gurunya hebat atau kompeten.
29. Hal2 tertentu boleh memberikan mereka pilihan, tapi mengenai
menghilangkan ujian sehingga semua anak bisa lulus TANPA HARUS
BERJUANG KERAS, apa gunanya pendidikan?
Bahwa kita harus punya semangat bekerja keras kalau mau sukses memang
benar. Tapi apa betul UN (sendirian) bisa membuat orang bekerja keras?
Justru yang terjadi selama ini dengan adanya UN adalah terjadinya
kecurangan missal dalam pelaksanaan UN dan manipulasi nilai. Ini
menunjukkan bahwa UNAS bukan hanya gagal meningkatkan semangat
bekerja keras dan prestasi akademik, tapi justru menyebabkan kemerosotan
moral dan karakter pendidikan kita.
Bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah Penabur, Al-Azhar, atau
sekolah-sekolah unggulan lainnya mereka tidak perlu berjuang keras untuk
bisa lulus UN. Piece of cake, bagi mereka. Tapi untuk anak-anak di daerah-
daerah yang tidak punya listrik, tak ada buku dan gurunya juga sama tidak
13
14. pahamnya tentang Matematika dengan siswa maka bagaimana kira-kira
cara mereka BERJUANG KERAS agar bisa lulus UN? Kita harus berpikir
secara global tentang UN ini karena kebijakannya juga berlaku global. Kita
tidak bisa hanya melihat secara parsial dalam hal ini. Kita juga tidak bisa
mengasumsikan bahwa jika semua siswa bekerja keras maka mereka
TENTU BISA lulus ujian nasional dengan murni. Banyak faktor lain selain
bekerja keras agar bisa lulus UN. Untuk bisa lulus UN kerja keras bukan
prasyarat.
30. Kalo sekolah dengan gelar “berstandar nasional/internasional” masih
kesulitan lulus UN, berarti sekolah jelek. Sekolah baik tidak akan
kesulitan dengan UN mestinya. Anda tahu tidak statistik sekolah baik
dan sekolah buruk di Indonesia?
Berdasarkan statistik dari Depdiknas sendiri 1 dari 6 sekolah di Jateng (ini
pusatnya Jawa lho!) bermutu buruk dan 1 dari 2 sekolah di NTT
memprihatinkan.http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Res
ources/Publication/280016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-
1110769073153/education.pdf
Lha kalau sekolah buruk masih begitu banyak kok ya lantas mau diuji
dengan sebuah ujian standar yang hanya bisa dikerjakan oleh sekolah-
sekolah berkualitas baik! Sampeyan ini bicara skala nasional lho! Jangan
sembarangan menetapkan sebuah standar yang bakal digunakan untuk
SELURUH INDONESIA.
31. Kalau ada siswa yang tidak lulus bukankah itu hanya ekses yang tidak
perlu dibesar-besarkan?
Tidak. Kebanyakan justru lebih banyak yang menjadi �korban� (victim)
dari kebijakan. Korban dari kebijakan UN ini lebih banyak di daerah-daerah
daripada di kota besar seperti Jakarta. Kalau siswa tidak lulus matematika
karena tidak dapat sekolah yang layak, tanpa ada buku teks, tanpa
perpustakaan, dengan lantai dari tanah, atap dari seng yang bocor, guru
yang sering bolos karena sibuk mencari pekerjaan sampingan, dll. maka
mereka adalah korban.
32. Jika saya perhatikan materi UN, sekitar 60% di antaranya adalah
materi sangat dasar, ada dalam kisi-kisi baku, yang sudah seharusnya
diselesaikan oleh guru terkait. Jadi paling tidak wajar saja jika secara
nasional siswa harus mampu menjawab yang 60 % itu.
Pendapat ini valid dalam kondisi siswa SUDAH mempelajari 100% materi
14
15. yang diujikan. Dengan demikian kalau bisa menjawab 60% akan menjadi
wajar. Bagaimana kalau ternyata itu hanya ASUMSI tak berdasar? Selama
ini pemerintah hanya mengasumsikan bahwa SEMUA ANAK dari Sabang
sampai Merauke SUDAH mempelajari 100% materinya sehingga wajar jika
mereka harus mampu menjawab yang 60% tersebut.
Pertanyaannya adalah : Apakah benar bahwa siswa SELURUH INDONESIA
sudah mempelajari kurikulum NASIONAL tersebut sebanyak 100% (atau
mungkin dibawahnyalah!) sehingga mereka HARUS lulus 60% materi?
33. Mengapa kecurangan yang terjadi dalam penerjaan UN menjadi alasan
untuk menolak UN?
Ketidakjujuran itu berhubungan dengan faktor reliabilitas pengukuran. Jika
alat ukurnya tidak reliable maka angka-angka yang ditunjukkan ya tidak
bisa dipakai. Analoginya begini, jika termometer yang digunakan itu rusak
maka angka bacaan yang diberikannya tidak bisa kita jadikan sebagai
patokan. Di thermometer tertera 40 derajat Celsius tapi sebenarnya hanya 37
derajat Celsius. Karena termometer rusak dipakai sebagai patokan maka
anak yang sehat dianggap demam dan sebaliknya yang mesti masuk rumah
sakit disuruh pulang dan main-main. Jika UN-nya tidak reliable maka kita
tidak bisa menggunakannya sebagai rujukan kualitas pendidikan secara
nasional. Tujuan UN untuk memetakan dan meningkatkan kualitas
pendidikan di setiap daerah jelas tidak tercapai dengan adanya kecurangan
dalam skala masif tersebut. UN yang menghabiskan dana ratusan milyar
dan telah menyedot energi yang begitu besar tersebut menjadi mubazir dan
sebaliknya justru mendatangkan bencana berskala nasional, runtuhnya
moralitas pendidikan
34. Apakah kita telah mampu melaksanakan sebuah UN yang kredibel?
Secara teknis UNAS dianggap tidak layak dilakukan karena infrastruktur
pendidikan kita memang belum siap untuk melaksanakan ujian yang
berskala dan berstandar nasional. Bahkan untuk tingkat provinsi pun
sebenarnya kita belum benar-benar siap dalam mempersiapkan segala
perangkat sistemnya. Tidak ada standar baku bagaimana UNAS dapat
dilakukan dengan benar-benar bersih dari kecurangan. Tidak ada juklak dan
juknis yang mengatur sampai kepada hal-hal yang perlu diantisipasi.
Bahkan data pengawas pun tidak perlu dilaporkan ke panitia
penyelenggara! Manipulasi data pengawas oleh sekolah-sekolah jelas
menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang diterapkan masih sebatas
formalitas dan tidak sungguh-sungguh dilaksanakan. Dengan standar
pengawasan macam begini sebenarnya kita memang tidak siap untuk
melakukan perhelatan ujian secara nasional. Sungguh berbeda dengan
15
16. sistem yang berlaku pada Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)
yang ketat tersebut. Pengawasannya benar-benar ketat dan melibatkan
banyak pihak independen. Bandingkan dengan UN yang dilaksanakan di
sekolah sendiri dan hanya dijaga oleh para guru sekolah itu sendiri.
Mengharapkan ujian yang tanpa kecurangan adalah mustahil.
35. Apa hambatan utama dari penyelenggaraan UN yang jujur dan
kredibel?
Satu hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh Depdiknas adalah
pertimbangan moralitas aparat pendidikan yang sebenarnya tidak siap
untuk menerima kenyataan. Jelas sekali bahwa banyak daerah di luar Jawa
yang tidak siap untuk ikut �bertarung� dalam UN dan jika dipaksakan
maka jelas mereka akan �tumbang� dengan mengenaskan. Dan tidak ada
daerah yang ingin dinilai gagal dalam menyelenggarakan pendidikannya.
Jika nilai murni UN yang digunakan maka mungkin akan terjadi di mana
satu daerah hanya bisa meluluskan 30% siswanya. Nah, mungkinkah
pemerintah daerah (ataupun pusat) berani membiarkan lebih dari 70%
siswanya tidak lulus? Jika itu terjadi maka akan terjadi suasana kacau dan
amuk massal dari siswa yang tidak lulus dan ongkos sosial dan
ekonomisnya tentu akan terlalu besar untuk dapat ditanggung oleh
pemerintah, pusat maupun daerah. Jadi bagaimana jalan keluarnya? Tidak
ada cara lain selain �menyiasatinya�. Dan ini bisa berarti menggunakan
apapun cara yang memungkinkan. Tak salah jika kemudian kita mendengar
bahwa hampir setiap sekolah membuat berbagai skenario untuk membantu
para siswanya masing-masing.
36. Bukankah pemerintah Singapura juga melakukan UN bagi siswanya?
Tidak ada ujian nasional di Singapore. Yang ada ujian lokal, lokal Singapore
tentunya. Kalau mau membandingkan SKALA KEBIJAKAN dari UJIAN
NASIONAL ini sebaiknya jangan dengan Singapore, Vatikan atau Monaco.
Mereka adalah Negara yang terdiri dari hanya satu kota kecil. Perbandingan
makna ‘nasional’ antara Indonesia dengan Singapore itu sungguh tidak
sebanding. Per Desember 2004, Indonesia terdiri dari 349
kabupaten/kabupaten administrasi dan 91 kota/kota administrasi yang
tersebar di 33
provinsi.http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_wilayah_administratif_
di_Indonesia/Membandingkannya dengan Singapore sungguh seperti
membandingkan sebiji apel dengan buah se toko!
Kalau bicara Singapore itu sama artinya dengan mengusulkan agar semua
siswa di Jakarta atau Surabaya punya ujian yang sama. Sama saja dengan
berkata,:” Saya berharap agar setiap siswa di Jakarta soal ujiannya sama dan
16
17. tidak dibeda-bedakan (antara Jakarta Pusat dengan Selatan, umpamanya).”
Tak akan ada yang protes. Ini pun sebenarnya tidak ‘apple to apple’
mengingat bahwa kualitas pendidikan di Jakarta pun bisa sangat heterogen.
Bicara Indonesia dalam skala nasional adalah bicara dengan tingkat
perbedaan dan kesenjangan kondisi pendidikannya yang begitu luas dan
luar biasa kompleksnya. Itu sebabnya mengajukan satu ‘obat mujarab’ yang
bernama Ujian Nasional yang ‘one size fits all’ adalah sebuah ironi atau
minimal a joke yang tidak lucu.
37. Nggak usah jauh-jauh ke AS pak, lihat saja pelaksanaan UNAS di
Malaysia. Disini sifatnya wajib (UPSR untuk kelas 6 dan SPM untuk
kelas 11), Bukankah di Malaysia tetangga kita itu ada UN juga?
Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis kelulusan bagi siswa.
Director Malaysia Examinations Syndicate Ministry of Education
Mohammed Zakaria B Mohd Noor mengatakan, untuk murid sekolah dasar,
ujian UPSR tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan
berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa. Di tingkat yang lebih
tinggi ujian PMR juga dilakukan tapi digunakan untuk memasukkan siswa
sesuai dengan jurusannya.
“At the end of Form 3, the Penilaian Menengah Rendah (PMR, formerly
known as Sijil Pelajaran Rendah (SRP) or Lower Certificate of Education
(LCE)) or Lower Secondary Evaluation is taken by students. Based on choice,
they will be streamed into either the Science stream or Arts stream. The
Science stream is generally more desirable. Students are allowed to shift to
the Arts stream from the Science stream, but rarely vice-versa. Based on the
results and individual interest, students will be streamed into Science, Arts,
IT, or vocational streams for the following 2 years in the higher secondary
education level. The government aims for a ratio of 60 Science to 40 Arts
students.
At the end of Form 5, students are required to take the Sijil Pelajaran
Malaysia (SPM) or Malaysian Certificate of Education examination, before
graduating from secondary school. The SPM was based on the old British
�School Certificate� examination before it became General Certificate of
Education ‘O’ Levels examination, which became the GCSE (General
Certificate of Secondary Education).”
Meski demikian UPSR dan PMR juga sedang digugat untuk ‘dimansuhkan’
(dihapus). Jadi sementara Indonesia sedang menegakkan rezim UN dengan
menjadikan UN sebagai penentu kelulusan untuk semua jenjang dan
memvonis siswa, di Malaysia justru mau dihapus! Padahal toh di Malaysia
ujiannya bukan sebagai penentu kelulusan.
17
18. “Ada cadangan di Malaysia supaya peperiksaan di peringkat sekolah dasar
(Ujian Penilaian Sekolah Rendah = UPSR) dan di peringkat menengah
(Penilaian Menengah Rendah = PMR) ditiadakan.
http://www.bharian.com.my/m/BHarian/Thursday/Nasional/200705100
85725/Article/
38. Membandingkan AS dgn Indonesia, dalam hal di sana tidak ada UN,
menurut saya, tidak pada tempatnya. Di Jepang yang tidak kalah majunya
dengan AS, ada yang disebut UN.
Kalau membandingkan dengan AS tidak pada tempatnya lantas mengapa
Anda menyodorkan Jepang sebagai perbandingan? Bukankah ini juga
tidak pada tempatnya? Coba sodorkan negara lain sebagai perbandingan
yang lebih ‘apple to apple’. Jepang itu sungguh tidak apple to apple jika
dibandingkan dengan Indonesia yang membentang dari Sabang ke Merauke
karena tidak ada daerah di Jepang yang tertinggal, apalagi tidak punya
aliran listrik agar bisa setara dengan daerah lain. Untuk kasus Jepang
diasumsikan bahwa 100% siswa di Jepang telah memperoleh hak dan
pelayanan pendidikan yang berstandar nasional (Jepang) sehingga adalah
PATUT jika mereka diuji dengan Ujian Nasional (standar Jepang) dan lulus
dengan standar angka 60%. Coba bawa asumsi ini ke Pulau Madura saja.
Jangankan yang jauh, sedangkan di Pulau Madura yang sudah punya
jembatan Suramadu yang megah tersebut banyak yang belum dapat listrik
kok! Sekitar 34 persen wilayah pedesaan di empat kabupaten di Pulau
Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Kabupaten
Sumenep, hingga saat ini belum mendapat aliran listrik.
Baca http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/21/brk,20091221
-214830,id.html
Apakah Jepang menjadi cocok untuk dijadikan sebagai contoh dengan fakta
ini?
39. Bukankah UN meningkatkan kualitas pendidikan karena ada target
yang hendak dicapai dan itu membuat semua siswa dan sekolah berupaya
untuk mencapai target tersebut?
Jika memang demikian logikanya, mengapa tidak sekalian saja menaikkan
standarnya menjadi standar UI (Ujian Internasional)? Kalau dengan
diwajibkannya UN saja maka kualitas pendidikan kita meningkat maka
tentunya dengan mewajibkan ujian yang berstandar Internasional akan
membuat kualitas pendidikan kita langsung meroket menginternasional.
40. Bukankah kenaikan nilai UN dari tahun ke tahun merupakan bukti
meningkatnya kualitas pendidikan secara nasional?
Tidak benar. Peringkat kualitas pendidikan kita justru menurun dalam hasil
18
19. penilaian TIMSS (Trends in International Mathematics and Science) dan
PISA (Programme for International Student Assessment) yang berstandar
internasional.
Hasil penilaian TIMSS yang diselenggarakan setiap empat tahun dengan
tujuan mengetahui perkembangan kemampuan Matematika dan Sains bagi
para pelajar di berbagai negara hasilnya sangat mengecewakan. Untuk
tingkat delapan (setingkat SLTP), Indonesia berada di peringkat 36 dari 48
negara, jauh 16 tingkat dibawah Malaysia. Nilai yang didapat siswa
Indonesia pun sangat buruk yaitu hanya 397 sementara rata-rata nilai
seluruh negara yang disurvei adalah 452. Jadi di bawah rata-rata. TIMSS
dianggap sebagai ajang yang sesuai untuk mengukur dan menilai
kemampuan Matematika dan Sains para pelajar dari berbagai negara. TIMSS
bahkan diakui lebih representatif karena setiap negara peserta diwakili oleh
ribuan pelajar. Jangan bandingkan dengan IMO dan IPhO yang meruipakan
lomba individual karena hanya diwakili empat sampai enam siswa.
Indonesia mengikuti TIMSS pertama kali pada tahun 1999, menyusul
kemudian tahun 2003, dan terakhir tahun 2007. Dalam TIMSS 1999
misalnya, ternyata dari 38 negara peserta siswa SLTP kita hanya mampu
menduduki ranking ke-34. Empat negara di bawah kita hanyalah Chili,
Marocco, Filipina, dan Afrika Selatan. Lima negara terbaik saat itu adalah
Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Belgia. Bagaimana dengan
TIMSS 2003? Sama saja! Siswa Indonesia hanya berada pada ranking ke-35
dari 46 negara peserta yang melibatkan lebih dari 200.000 siswa. Untuk
bidang sains hasil survey TIMSS 2007 menempatkan Indonesia pada
peringkat 35 dari 46 negara peserta, tetap jauh (14 tingkat) dibawah
Malaysia.
Dari data tersebut terlihat bahwa kemampuan Matematika dan Sains siswa
Indonesia masih sangat rendah, jauh lebih rendah daripada siswa tetangga
seperti Malaysia dan Singapura. Kemenangan beberapa siswa Indonesia
dalam berbagai forum Olimpiade Internasional (IMO, IPhO dan sebagainya)
yang bersifat individual tidak bisa dijadikan sebagai bukti tingginya kualitas
pendidikan kita karena bersifat individual dibandingkan prestasi buruk
siswa Indonesia dalam forum TIMSS yang bersifat kolektif.
Dalam survei tiga tahunan Programme for International Student Assessment
(PISA) tahun 2003, Indonesia berada di urutan ke-40 dari 40 negara dalam
hal Matematika, IPA, maupun membaca. Dalam hal membaca, hanya 31
persen siswa Indonesia yang mampu menyelesaikan dengan cukup baik
sebagian besar soal yang diberikan.
Pada survei PISA tahun 2006, peringkat Indonesia untuk Matematika turun
19
20. dari 38 dari 40 negara (2003) menjadi urutan 52 dari 57 negara, dengan skor
rata-rata turun dari 411 (2003) menjadi hanya 391 (2006). Untuk IPA,
peringkat Indonesia turun dari 36 dari 40 negara (2003) menjadi 54 dari 57
negara dengan skor rata-rata turun dari 395 (2003) menjadi 393 (2006).
Untuk membaca, peringkat Indonesia turun dari 40 dari 40 negara menjadi
51 dari 56 negara.
Ini semua bukti bahwa kenaikan nilai UN dari tahun ke tahun tersebut tidak
�bunyi� di tingkat internasional.
41. Mengapa penerapan UN tidak bisa dijadikan sebagai resep untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional kita?
Memang tidak bisa. Akar persoalan pendidikan kita yang sebenarnya bukan
di ujian nasional. Bukan lemahnya sistem evaluasi dan kurikulum yang
menjadi permasalahan pendidikan kita tetapi karena rendahnya kualitas
guru secara umum dan tidak meratanya persebaran guru-guru profesional.
Menurut laporan Balitbang Depdiknas sendiri hanya sekitar 30 persen dari
keseluruhan guru SD di Indonesia yang memiliki kualifikasi untuk
mengajar. Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah,
terutama di lingkungan sekolah Depag. Data Departemen Agama (2006)
menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru madrasah tidak mempunyai
kualifikasi mengajar. Jadi inilah sebenarnya akar persoalan pendidikan kita,
buruknya mutu guru yang mengajar, dan bukan karena mereka perlu ujian
yang berstandar nasional.
42. Mengapa Ujian Nasional disebut sebagai �standardized test�?
�Standardized test� artinya sebuah tes yang didesain agar semua siswa
menjawab pertanyaan yang sama dalam kondisi yang serupa dan jawaban
mereka dinilai dengan cara yang sama. Biasanya soal dibuat dalam bentuk
pilihan berganda (multiple choice) dan hanya ada satu jawaban yang benar.
Jadi meskipun hanya berlaku untuk daerah tertentu saja, tes tersebut juga
disebut Tes Standar.
43. Apa kelemahan dari soal yang berbentuk multiple shoice?
Tes pilihan berganda adalah pengukur kinerja siswa yang buruk. Soal
pilihan ganda tidak bisa mengukur kemampuan siswa dalam menulis,
menggunakan matematika dalam kehidupan nyata, memahami metode
ilmiah atau konsep ilmu sosial, apalagi mengukur kemampuan siswa dalam
menggunakan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan nyata. Tes model
ini jelas tidak akan bisa mengukur ketrampilan siswa seperti berenang,
melukis, mengoperasikan komputer, mengorganisir, memimpin,
berpresentasi, dan semua jenis ketrampilan yang dibutuhkan oleh siswa.
20
21. Test standar tidak bisa mengukur inisiatif, kreatifitas, imajinasi, berpikir
konseptual, rasa ingin tahu, usaha, penilaian, komitmen, dll. Apa yang bisa
diukur oleh soal mulriple choice sangat… sangat terbatas!
44. Bukankah semua itu harus ada standarnya?
Ya. Tapi sebelum ujiannya yang distandarkan HARUSNYA fasilitas, jumlah
guru, kompetensi guru, kurikulum yang digunakan, dana operasional, dll
yang distandarkan dulu SECARA NASIONAL. Kalau semua persyaratan itu
belum standar secara nasional maka membuat standar ujian nasional yang
dipaksakan adalah HARAM hukumnya.
45. Mengapa UN sebagai �standardized test� dianggap tidak tepat
untuk diujikan pada seluruh siswa di seluruh Indonesia?
Sebuah tes standar baru layak dilakukan jika siswa yang akan diuji tersebut
telah mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan apa yang telah
diperolehnya (test what you teach). Setiap tes yang beresiko tinggi haruslah
hanya mencakup materi yang PERNAH dipelajari oleh siswa. Tak boleh ada
soal tes yang belum pernah dipelajari oleh siswa. Bagaimana mungkin kita
menerapkan sebuah tes yang standar bagi siswa yang tidak mendapatkan
pelayanan pendidikan yang standar? Apa yang mau diuji dan diketahui
dengan itu? Darimana pemerintah mengambil kesimpulan bahwa pelayanan
pendidikan DI SELURUH Indonesia telah sama standarnya dari Sabang
sampai Merauke sehingga layak untuk diuji dengan sebuah tes standar? Ini
sungguh gegabah dan di negara lain hal tersebut dapat membuat
pemerintah dituntut di pengadilan karena telah melakukan sebuah
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sungguh aneh bahwa tak ada
satu pun propinsi di Indonesia yang protes mendapat perlakuan sewenang-
wenang seperti ini. Ini juga menunjukkan bahwa pendidikan belum otonom
di Indonesia dan daerah juga belum tahu apa yang harus dilakukannya
tanpa pusat yang mendiktenya.
46. Mengapa dikatakan bahwa Ujian Nasional itu merupakan sebuah
�standardized test� yang �high-stakes�?
Ujian nasional adalah sebuah bentuk tes yang dikategorikan sebagai �high-
stakes� (berisiko tinggi atau berdampak luas) karena digunakan untuk
menjadi penentu utama dalam kelulusan siswa, dan memiliki konsekuensi
besar bagi siswa yaitu tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi jika mereka tidak lulus. Sebuah ujian berkategori
�beresiko tinggi� jika merupakan satu-satunya penentu kelulusan. Meski
Depdiknas selalu berkilah bahwa UN hanya 1 diantara 4 syarat kelulusan
tapi sebenarnya 3 persyaratan lain boleh dikata tidak berarti dibandingkan
21
22. dengan syarat nilai UN itu sendiri. Tanpa lulus UN ketiga syarat yang lain
tidak ada artinya.
47. Mengapa UN disebut sebagai �exit exams�?
�Exit exams� artinya adalah sebuah ujian standar (standardized test) yang
harus dilalui oleh siswa untuk lulus dari sekolah jenjang SLTA. Tujuannya
adalah untuk menjamin bahwa siswa yang lulus sekolah publik memiliki
kemampuan dasar yang ditetapkan dan biasanya dalam bidang bahasa dan
matematika. Siswa harus lulus ujian ini agar dapat memperoleh sertifikat
untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ujian yang bersifat
nasional semestinya hanya untuk memonitor dan menjaga standar
pendidikan. Hasil nilainya tidak boleh dijadikan “vonis” bagi siswa dan
menghukumnya. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang
menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
48. Bolehkah sebuah �standardized test digunakan sebagai penentu
kelulusan (exit exams)?
Sebagai satu-satunya penentu jelas tidak boleh. Ujian yang standar memang
semestinya hanya digunakan sebagai alat evaluasi dan bukan sebagai alat
penentu kelulusan. Pemerintah sudah mengingkari fungsi ujian nasional
yaitu untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia dan menjamin
mutu pendidikan nasional. Tak ada yang dilakukan oleh pemerintah dalam
hal itu
Selama ini hanya siswa SLTA (high-school) yang diwajibkan untuk
mengikuti exit exams dan tak ada siswa jenjang SD atau SLTP yang
diwajibkan untuk mengikutinya. Siswa SD dan SLTP memang HARUS
meneruskan pendidikannya karena itu adalah undang-undang. Umumnya,
di negara-negara lain ujian yang bersifat nasional adalah untuk memonitor
dan menjaga standar pendidikan dan bukan untuk memvonis siswa. Di
Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan.
Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Dan ini sudah bertentangan dengan undang-
undang.. Dengan UN ini Depdiknas berusaha mencegat siswa kelas 6 dan
kelas 9 yang tidak lolos dengan nilai tertentu untuk dapat meneruskan
pendidikannya ke jenjang berikutnya (kelas 7 dan kelas 10). Ini artinya
Depdiknas menerapkan �exit exams� bagi jenjang SD dan SMP. Tak ada
negara mana pun di dunia in yang menerapkan exit exams bagi jenjang SD
dan SMP. Tak ada negara yang mensyaratkan siswanya harus lulus ujian
tertentu sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya karena pendidikan
adalah sebuah kewajiban bagi setiap anak. Mereka HARUS meneruskan
22
23. pendidikannya dan tidak boleh putus sekolah. Jadi bagaimana mungkin
sebuah negara yang menetapkan pendidikan sebagai sebuah kewajiban
(compulsory) tapi menerapkan �exit exams� bagi siswa SD dan SMP-nya?
Bukankah ini justru bertolak belakang dengan prinsip wajib belajar bagi
anak-anak kita?
Bacahttp://satriadharma.wordpress.com/2008/09/18/tahukah-anda-
bahwa-pendidikan-gratis-dan-bermutu-adalah-hak-setiap-anak/. Di
Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis bagi siswa. Ujian tidak menjadi
syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat
pencapaian siswa.
49. Apa dampak buruk digunakannya ujian standar sebagai penentu
kelulusan?
National Academy of Sciences di Amerika dengan jelas menunjukkan hasil
studi bahwa ujian standar tidaklah seharusnya dijadikan sebagai penentu
utama dalam menilai hasil pendidikan. UN jelas menghukum siswa, dan
juga guru, atas hal yang di luar kuasa mereka. Hal ini mendorong mereka
meninggalkan pembelajaran dan beralih kepada latihan soal. Hal ini
menyebabkan kurikulum sekolah menjadi terkorupsi dan pembelajaran
menjadi tidak penting sehingga merugikan siswa dan pendidikan itu
sendiri. Sementara nilai UN dijadikan sebagai patokan kualitas siswa atau
sekolah, nilai UN itu sendiri bukanlah representasi dari kualitas siswa
ataupun sekolah sebenarnya. Tes yang diberikan dalam UN hanyalah
memotret sebagian kecil dari proses pendidikan yang begitu luas dan
beragam. Ujian Nasional lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya
50. Apakah sebuah tes standar yang �high-stakes� macam UN kita bisa
meningkatkan kualitas siswa dan kualitas pendidikan seperti yang
selama ini digembar-gemborkan?
Jelas tidak. Sama sekali tidak ada riset yang mendukung itu. Riset dari
National Academy of Sciences di Amerika justru menunjukan bahwa tes
standar yang �high-stakes� macam UN justru menyebabkan kerugian
baik pada siswa maupun pada pendidikan itu sendiri. Ada beberapa alasan,
yaitu :
1. Ujian Nasional sebagai Tes standar �high-stakes� tidak adil bagi siswa.
Siswa yang paling dirugikan adalah siswa yang bersekolah di sekolah yang
berkualitas buruk, tidak memiliki guru yang layak mengajar, tidak memiliki
fasilitas baik buku diktat, perpustakan, maupun laboratorium. Padahal
pemerintah sendiri mengakui bahwa sebagian besar sekolah kita adalah
berkualitas buruk!.Ujian nasional ini menghukum siswa atas masalah yang
di luar kontrol mereka. Banyak yang berpendapat bahwa tidak adil dan
23
24. tidak mendidik untuk meluluskan siswa jika mereka tidak layak untuk
diluluskan. Tapi jika siswa tidak memiliki akses pada pendidikan yang
layak maka bagaimana mungkin mereka bisa disalahkan? Sistemnya yang
salah dan bukan siswa yang harus dikorbankan dalam hal ini. Hasil tes juga
tidak mempertimbangkan faktor-faktor non-sekolah yang mempengaruhi
hasil belajar seperti kemiskinan, kelaparan, mobilitas siswa, kesehatannya ,
keselamatannya, pendidikan orang tua, dll yang sebenarnya turut
mempengaruhi hasil belajar siswa
2. Ujian Nasional menyebabkan sekolah mengerahkan hampir semua
sumber dayanya untuk mengajarkan bagaimana agar lulus UN. Ini tidak
bisa disangkal bahwa bahkan siswa sekolah berstandar nasional ataupun
internasional (SSN dan SSI) harus ikut bimbingan belajar agar bisa lulus UN.
Suatu kesia-siaan.
3. Ujian Nasional mendorong sekolah untuk menyusun kegiatan belajar
mengajarnya menjadi sekedar untuk dapat lulus UN dan bukan untuk
mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya apa yang tidak
diujikan akan ditinggalkan dan dinomor duakan. Pengajaran bahasa
(Indonesia ataupun Inggris) tidak lagi dirancang agar siswa menguasai
ketrampilan dalam berbicara, mendengar, membaca dan menulis, tapi
diarahkan agar siswa dapat menjawa soal-soal dalam UN yang sama sekali
tiak ada hubungannya dengan kebutuhan penguasaan bahasa itu sendiri.
Pendidikan telah direduksi menjadi sekedar bimbingan tes agar dapat lulus
UN. Yang terjadi adalah �test-coaching� dan bukan �learning�.
4. Ujian Nasional akan menyebabkan meningkatnya drop-out. Sebagian
besar siswa yang tidak lulus UN tidak kembali ke sekolah meneruskan
pendidikannya. Jika UN SD ini juga akan menjadi penentu kelulusan maka
bisa dipastikan akan banyak siswa yang tidak lulus tidak akan kembali ke
bangku sekolah.
5. Ujian Nasional membuat guru-guru baik harus mengubah strategi
mengajarnya agar dapat memenuhi tujuan kelulusan UN. Hal ini
menyebabkan kualitas pengajaran mereka menjadi buruk karena mereka
akhirnya hanya akan mengajar demi tercapainya ujuan UN tersebut..
6. Ujian Nasional memberikan gambaran kualitas pendidikan yang salah
kepada publik. Masyarakat berhak tahu bagaimana kualitas sekolahnya.
Hasil UN bukanlah representasi dari kualitas sekolah. Masyarakat akhirnya
akan menilai kualitas sekolah HANYA dari nilai UN yang diperoleh siswa
sekolah tersebut. Ini jelas menyesatkan.
51. Apakah kita perlu menerapkan satu Ujian Nasional (UN), standar tes
24
25. yang bersifat �high-stakes� untuk semua daerah di Indonesia?
Jelas tidak dan jika dilakukan maka itu jelas merupakan sebuah kesalahan
fatal. Baik Australia, New Zealand, Amerika Serikat, tidak menerapkan satu
standar tes yang berlaku untuk semua negara bagiannya karena ide
menerapkan satu ujian untuk semua negara bagian saja sudah mendapat
tentangan yang begitu besar, apalagi langsung menerapkannya seperti di
Indonesia ini. Setiap daerah atau negara bagian mempunyai karakteristik
pendidikan yang berbeda-beda dan sungguh tidak mudah untuk
menerapkan sebuah bentuk ujian yang adil, layak, perlu dan bermanfaat
bagi semua siswa. Jangankan lagi di Indonesia yang disparitas kualitas
pendidikannya begitu jauh antara satu daerah dengan daerah lainnya,
sedangkan di negara-negara maju pun hal ini menjadi pertentangan.
Padahal kalau dipikir semua negara bagian baik itu di AS, Australia, dan
New Zealand memiliki standar kualitas yang tidak terlalu jauh berbeda jika
mau dibandingkan dengan Indonesia. Sebuah penelitian di AS
menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan
mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan
akses terhadap pendidikan, sebab ujian yang distandardkan selalu
merefleksikan kultur mayoritas. Dan ini jelas merugikan bagi kultur yang
minoritas.
52. Bagaimana dengan negara besar lain?
Pemerintah Cina juga tidak melakukan ujian nasional yang berlaku untuk
semua daerah di daratan China. Mereka bahkan membuat sebuah
keputusan untuk mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah mereka
untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan ujian yang dibuat
oleh lembaga pendidikan Negara. Pemerintah China juga melarang
pemerintah daerah menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang
pendidikan lebih tinggi sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah.
Artinya bahkan China juga tidak percaya pada rezim ujian nasional
sehingga kita jadi tidak tahu sebenarnya Indonesia berkiblat pada negara
mana dalam hal ujian nasional ini. Menurut Yong Zhao, professor bidang
pendidikan di Michigan State University, dalam artikelnya �China and the
Whole Child� yang dimuat dalam majalah Education Leadership (Mei
2007), persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan di negeri Tirai
Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni pemberlakuan sistem ujian yang
distandarkan (standardized testing) secara nasional, yang kemudian
menghasilkan praktik pendidikan yang berorientasi pada tes (test-oriented
education). Adalah aneh bahwa jika pemerintah Cina mendorong sekolah-
sekolah dasar dan menengahnya untuk menyelenggarakan ujian kelulusan
25
26. sendiri, dan mengakhiri tirani ujian nasional, pemerintah Indonesia justru
berusaha mati-matian untuk melestarikannya.
Di Cina yang menentukan kelulusan siswa adalah sekolahnya. Departemen
Pendidikannya akan mengontrol dan mengawasi mana sekolah-sekolah
yang meluluskan siswanya sampai 100%,. Jika terdapat kecurangan, maka
sertifikasi untuk Guru dan Kepala Sekolahnya di cabut (kalo perlu seumur
hidup). Ujian nasional bukan penentu kelulusan, tapi sebagai standar
evaluasi. Kelulusan ditentukan oleh guru (pendidik). UN juga dijadikan
sebagai reward bagi siswa karena dapat digunakan sebagai bahan untuk
masuk PT dan untuk bekerja.
53. Apa kritik terhadap UN dalam metodologi pelaksanaannya?
Salah satu kelemahannya adalah metodologinya kurang mengikuti kaidah
pengelolaan sistem ujian yang baik. Jahja Umar, mantan Kepala Pusisjian
Depdiknas, menilai UN secara metodologis berkualitas rendah dan kurang
mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik. Sebagai contoh, skor
hasil ujian tidak menggunakan skala yang benar dan tanpa jaminan
komparabilitas secara ilmiah. Selain itu, manajemen ujian tidak dilakukan
oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas di bidang pengujian.
Semestinya pengujian ini dilakukan oleh lembaga yang otonom dan
independen. BSNP sendiri belum bisa dikatakan otonom dan independen.
54. Apa usulan kepada Depdiknas untuk memperbaiki sistem UN ini?
Pertama, jangan menjadikannya sebagai penentu kelulusan. Biarkan setiap
propinsi yang menentukan kriteria kelulusan siswa mereka masing-masing.
Mereka yang tahu bagaimana kualitas siswa mereka masing-masing tanpa
harus membandingkan dengan atau menetapkan standar yang sama dengan
propinsi yang lain. Kedua, serahkan tanggungjawab kontrol pendidikan ini
kepada masing-masing propinsi. Lakukan desentralisasi pendidikan.
Dengan menyerahkan tanggungjawab kualitas pendidikan kepada setiap
propinsi maka setiap propinsi akan berusaha untuk melakukan upaya
terbaiknya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-
masing tanpa harus didikte oleh pusat. Pusat hanya berperan dalam
membantu memberikan alternatif-alternatif perbaikan kualitas dan
mendorong setiap propinsi untuk mendayagunakan semua kapasitas yang
mereka miliki. Depdiknas juga akan mendorong agar setiap propinsi
berupaya untuk bersinergi dan bekerja sama dengan propinsi lain dalam
upaya peningkatan kualitas pendidikan tersebut. Ketiga, jika ingin dijadikan
sebagai exit exams bagi siswa SLTA maka lakukan beberapa kali dalam
masa tiga tahun seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain. Hal ini
akan memberi kesempatan bagi setiap sekolah untuk melakukan perbaikan
26
27. diri selama tiga tahun tersebut dan bukan menjadi vonis bagi siswa dan
sekolah.
Balikpapan 25 Desember 2009
Satria Dharma
Sumber: SatriaDharma.com
27