Dokumen tersebut membahas pentingnya peran perempuan dalam politik di Indonesia. Meskipun jumlah penduduk perempuan Indonesia lebih besar, keterwakilan mereka dalam lembaga politik masih sangat rendah. UU Partai Politik baru mensyaratkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai dan legislatif, namun capaian saat ini masih jauh di bawah target. Dokumen ini mendorong peningkatan peran politik perempuan.
1. PEMENUHAN DAN PENINGKATAN KETERWAKILAN
PEREMPUAN/KESETARAAN GENDER DAN KEPEMIMPINAN
DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK
Dr. R. Siti Zuhro, MA
Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI
(wiwieqsz@yahoo.com.au; r.siti.zuhro@lipi.go.id)
Dipresentasikan dalam Seminar ”Optimalisasi Implementasi UU No. 2/2008 tentang
Partai Politik untuk Meningkatkan Peran, Fungsi, dan Tanggung Jawab Partai
Politik dalam Kehidupan Demokrasi secara Konstitusional”. Diselenggarakan oleh
Pusat Studi Otonomi Daerah, Jakarta, Hotel Golden Boutique, 25-26 Februari 2008
2. Pemenuhan dan Peningkatan Keterwakilan Perempuan/ Kesetaraan
Gender dan Kepemimpinan dalam Kepengurusan Partai Politik
Oleh Dr. R. Siti Zuhro, MA
(Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI)
Pengantar
Kesadaran terhadap gender equality dari periode ke periode menunjukkan perkembangan
yang cukup menggembirakan. Meskipun gambaran secara umum memperlihatkan bahwa
keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia masih menghadapi kendala (internal
dan eksternal), secara kuantitas ada peningkatan jumlah perempuan di lembaga-lembaga
politik (MPR, DPR, DPD, DPRD I, DPRD II). Selama periode 1998-2008 atau sepuluh
tahun reformasi Indonesia ditandai perubahan cukup signifikan (meskipun belum
komplit) partisipasi kaum perempuan dalam kancah politik.
Kaum perempuan tidak hanya duduk di lembaga legislatif pusat, tapi juga daerah.
Demikian pula dalam kompetisi pilkada baik di provinsi maupun kabupaten/kota kaum
perempuan ikut berlaga dan beberapa dari mereka mampu menunjukkan kualitas dan
memenangkan pilkada. Di pemerintahan, baik nasional maupun lokal kaum perempuan
juga mampu menampilkan kemampuannya untuk meningkatkan kinerja pemerintahan.
Namun, hanya puas dengan capaian ”terbatas” sebagaimana ditunjukkan dalam angka
statistik yang ada tidak akan mendorong lebih lanjut peningkatan peran perempuan dalam
politik. Kesetaraan dan keadilan gender antara lain dapat dicapai melalui reformasi dalam
partai politik. Dalam kaitan ini, sangat diharapkan perbaikan atas AD/ART partai, sistem
pencalonan anggota legislatif dan pemilihan pengurus partai agar menjamin peningkatan
keterwakilan perempuan.
Disahkannya UU 2/2008 tentang Partai Politik yang mencantumkan secara jelas pasal
tentang penyertaan 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan pembentukan
partai dan dalam kepengurusan partai politik tingkat pusat merupakan langkah maju.
Sekarang tergantung bagaimana perempuan merespons UU tersebut. Dan tak kalah
pentingnya adalah konsistensi partai untuk memegang amanah kedua pasal penting
tersebut.
Pentingnya Peran Perempuan dalam Politik
Setengah dari jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan, namun bisa dikatakan
berperan maksimal khususnya di lembaga politik. Perbaikan ini diharapkan dapat
dilakukan melalui sistem kepartaian Indonesia yang ramah gender atau pro-gender.
Perempuan masih sangat terpinggirkan dalam politik. Meskipun pemerintah telah
menunjukkan keinginan baiknya (good will) untuk memerhatikan masalah kesetaraan
3. gender di dunia publik, dalam kenyataannya keinginan baik tersebut bersifat setengah
hati. Masalah kuota keterwakilan 30% perempuan dalam parlemen, misalnya, masih
sebatas kertas. Jumlah anggota legislatif perempuan di parlemen pada tahun 2004 tak
meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun 1999. Bila tahun 1999
jumlahnya mencapai 9%, pada tahun 2004 meningkat sedikit menjadi 11,09% (Kompas,
6 Agustus 2004). Kenyataan ini dapat dipahami karena Undang-Undang Pemilu tak
secara tegas menyatakan komitmennya atas kuota keterwakilan perempuan dalam
parlemen. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata ’dapat’ dan bukan ’wajib’ dalam
pasal yang mengatur tentang hal tersebut (bandingkan dengan jumlah anggota DPR dan
MPR menurut jenis kelamin (bandingkan dengan periode sebelumnya, lihat tabel 1).1
Tabel 1
Jumlah Anggota DPR dan MPR Menurut Jenis Kelamin
Periode Nama Perempuan Laki-laki Laki-laki dan
Badan Perempuan
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1992 – DPR 80 12,19 434 87,85 494 100.00
1997
MPR 0 0 0 0 0 0
1997 DPR 56 11,20 444 88,80 500 100,00
-1999
MPR 62 12,40 438 87,60 500 100,00
1999 – DPR 44 8,80 456 91,20 500 100,00
2004
MPR 19 9,74 176 90,26 195 100,00
Sumber: Sekjen MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia 1999, BPS)
Masalah Politik dan Demokrasi
Konsep-konsep politik seperti demokrasi dan kewarganegaraan sering dipandang sebagai
konsep yang netral. Dalam kenyataannya konsep tersebut mengandung bias gender. Hal
ini dikarenakan adanya sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah yang mempersulit
perempuan untuk memperoleh akses yang sama dengan laki-laki dalam politik. Pada
masa Orde Baru, misalnya, kesempatan perempuan untuk berpartisipasi secara lebih aktif
dan bermakna di pemerintahan dan politik sering terhambat oleh keberadaan organisasi
Dharma Wanita. Keberadaan organisasi tersebut telah mempertegas fungsi utama
perempuan sebagai istri yang berkewajiban untuk mendukung karier suami.
1
Dalam pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Pemilu tahun 2003 dikatakan bahwa ”setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calong anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”
4. Pada era reformasi sekarang ini potensi perempuan di bidang politik dan pemerintahan
sering terhambat oleh praktik kolusi dan nepotisme. Disadari atau tidak, isu kolusi dan
nepotisme acapkali menjadi alat legitimasi penyingkiran perempuan dalam pemerintahan
dan politik. Dominasi laki-laki dalam struktur kepengurusan partai politik dan
pemerintahan telah menyingkirkan perempuan karena kuatnya politik perkoncoan
(pertemanan). Sebaliknya, masuknya perempuan dalam parlemen dan dalam jabatan
penting pemerintahan sering dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai hasil
nepotisme (berkat suami atau orang tua) dan bukan hasil kapabilitasnya.
Lepas dari itu, partisipasi perempuan merupakan salah satu prasyarat bagi demokrasi,
karena demokrasi tidak eksis bila masih ada pengingkaran terhadap kesetaraan gender:
perempuan dan laki-laki. Demokrasi yang sebenarnya adalah yang anggota masyarakat
mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan didengar. Peran politik sangat
penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan
dengan kehidupan perempuan.
Hak Politik
Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia
merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Oleh karena itu, melibatkan perempuan dan
laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam
demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan - pria. Tapi
pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisasi dan di mobilisasi atas nama
demokrasi.
Dengan terpenuhinya quota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen minimal ada
dua gejala yang dapat ditimbulkan dari ekses tersebut. Pertama, adanya kesungguhan
perempuan untuk berupaya mau terjun ke dunia politik, minimal mewakili partai politik.
Selain itu, kesadaran perempuan itu sendiri bahwa politik adalah bidang kebijakan
kenegaraan yang mengatur arah dan tujuan negara, sehingga proses pengambilan
kebijakan dapat dilakukan secara politis oleh semua komponen bangsa termasuk
perempuan.
Kedua, kesadaran masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk
tidak saja memilih tetapi juga dipilih. Hal ini tentu akan lebih banyak memberikan
peluang kepada perempuan untuk berkiprah di bidang politik. Jadi adanya ketentuan
quota 30 persen dalam UU Pemilu menunjukan kemajuan untuk memberi arahan agar
benar-benar ada upaya partai politik meningkatkan keterwakilan perempuan di (struktur)
partai dan di parlemen. Angka 30 persen dalam pengertian sebagaimana dimaksud dalam
UU Pemilu, tidak serta merta bersifat mutlak. Dapat saja keterwakilan perempuan oleh
partai tidak mencapai angka 30 persen. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di
antaranya adalah bahwa tidak adanya rumusan yang mengharuskan pemenuhan quota
tersebut, karena MPR/DPR melihat bahwa jika partai politik diharuskan memenugi target
angka quota, maka suatu partai politik bisa didiskualifikasi kalau gagal memenuhi
ketentuan tersebut.
5. Dengan disahkannya UU Pemilu yang menyepakati quota 30 persen untuk calon
perempuan di legislatif, peluang perempuan untuk berkiprah di dunia politik praktis telah
terbuka lebar. Atas dasar inilah maka kemampuan politik Indonesia akan menjadi
semakin kompleks dan sempurna. Kompleks karena proses pengambilan kebijakan/
keputusan politis semakin beragam. Masuknya kaum perempuan akan menambah
khasanah berpikir bagi pengambilan keputusan. Sempurna, sebagaimana diketahui bahwa
penduduk Indonesia 50 persen lebih adalah perempuan, artinya keterwakilan perempuan
dalam menyuarakan hak politiknya menyebabkan komposisi dan proporsi telah sempurna
karena melibatkan segenap komponen bangsa.
Keberadaan Perempuan dalam Politik
Ke depan dinamika perempuan dalam politik cenderung menjanjikan. Meskipun ada
kesan seolah hak untuk mendapatkan peluang itu dipaksanakan, tapi inilah jalan yang
harus dilalui. Karena tanpa kebijakan yang tertuang secara jelas dan tiadanya payung
hukum yang melindungi hak-hak politik perempuan, agaknya mustahil mereka
memainkan peran penting dalam politik. Sejarah politik Indonesia membuktikan dengan
sangat jelas bahwa kaum perempuan harus berjuang secara terus menerus untuk
mendapatkan hak-haknya, baik di bidang politik, hukum maupun ekonomi dll.
Sudah saatnya kaum perempuan menduduki jabatan publik karena profesionalisme dan
kompetensinya, dan bukan karena alasan gender. Kaum perempuan harus berani tampil
dalam dunia politik praktis yang selama ini identik dengan dunia laki-laki. Penguasaan
terhadap sektor-sektor publik harus dilakukan melalui tahap-tahap demokrasi dengan
memandang persaingan yang sehat sebagai sebuah keniscayaan kehidupan. Hanya kaum
perempuan sendirilah yang tahu masalah-masalah yang berkaitan dengan mereka,
sehingga dalam setiap kebijakan publik seharusnya memperhatikan juga kepentingan
kaum perempuan sebagai bagian dari objek kebijakan itu sendiri.
Dalam konteks tersebut, perempuan Indonesia perlu banyak belajar dari kaum perempuan
di Swedia, dimana partisipasi mereka di parlemen mencapai 40% sehingga komposisi
anggota parlemen antara yang laki-laki dengan perempuan, relatif berimbang.
Pengalaman di parlemen Swedia memperlihatkan bahwa, keterlibatan kaum perempuan
di sektor-sektor publik secara cukup signifikan telah membawa perubahan yang sangat
penting dalam tata kelola pemerintahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Keterlibatan kaum perempuan di sektor publik ini lebih ditujukan untuk memperbaiki
kinerja institusi publik. Data UNDP tahun 2002, memperlihatkan bahwa ketika Peru
melakukan re-strukturisasi birokrasi pemerintahannya dengan memasukkan 30%
perempuan ke dalam struktur baru, maka tingkat korupsi secara signifikan turun pula
sebesar 30% (Eva K. Sundari, 2003).
Apa yang terjadi di Swedia dan Peru, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita sehingga
bisa mendorong kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam dunia politik praktis. Sudah
saatnya kaum perempuan mampu dan mau menentukan kebijakannya sendiri sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan kaum perempuan itu sendiri.
6. Lepas dari itu, menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000,
jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi
atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan
Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah
keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di
Indonesia, sebagaimana tampak dalam beberapa tabel berikut:
Tabel 2: Jumlah Perempuan di Lembaga Politik Indonesia
Presentase
Jumlah Jumlah
Lembaga Jumlah
Perempuan Laki-laki
Perempuan
MPR 18 177 9,2%
DPR 45 455 9%
MA 7 40 14,8%
BPK 0 7 0%
DPA 2 43 4,4%
KPU 2 9 18,1%
GUBERNUR
0 30 0%
(Dati I)
BUPATI
5 331 1,5%
(Dati I)
Data diolah dari berbagai sumber: 2001
Tabel 3: Perempuan dalam Lembaga-Lembaga Politik Formal
Tahun 2002
Lembaga Perempuan Laki-Laki
Jenis lembaga Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase
MPR 18 9,2 117 90,8
DPR 44 8,8 445 91,2
MA 7 14,8 40 85,2
BPK 0 0 7 100
DPA 2 4,4 43 95,6
KPU 2 4,4 9 81,9
Gubernur 0 0 30 100
Walikota/bupati 5 1,5 331 38,5
Eselon IV dan III 1.883 7,0 25,110 93,0
7. Hakim 536 16,2 2,775 83,8
PTUN 35 23,4 150 76,6
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Tabel 4: Anggota Komisi-Komisi DPR menurut Jenis Kelamin
Tahun 2002
Komisi Jumlah % Jumlah Laki- %
Perempuan Laki
I Hankam 4 7,0 53 93,0
II Hukum dan 3 4,9 53 95,1
dalam Negeri
III Pangan dan 3 5,7 49 94,3
Pertanian
IV Transportasi 4 7,2 51 92,8
dan Prasarana
V Industri dan 6 9,6 50 90,4
Perdagangan
VI Agama, 6 12,5 42 87,5
Pendidikan dan
Kebudayaan
VII Kesehatan dan 11 25,0 33 75,0
Pendudukan
VIII Iptek dan 4 7,2 51 92,8
Lingkungan
Hidup
IX Keuangan dan 3 5,4 52 94,5
Pembangunan
Total (100%) 44 8,5 439 91,5
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Tabel 5: Persentase Perempuan di DPR dari Periode ke Periode
Jenis
Perempuan Laki-laki
kelamin
Periode Jumlah % Jumlah %
1950-1955 9 3,8 236 96,2
(DPR
Sementara)
1955 – 1960 17 6,3 272 93,7
Konstituante 25 5,1 488 94,9
8. : 1956-1959
1971-1977 36 7,8 460 92,2
1977 – 1982 29 6,3 460 93,7
1982 – 1987 39 8,5 460 91,5
1987 – 1992 65 13,0 500 87,0
1992 – 1997 65 12,5 500 87,5
1997 – 1999 54 10,8 500 89,2
1999 – 2004 45 9,0 500 91,0
2004 – 2009 11 10,7 550 89,3
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Tabel 6: Jumlah Perempuan yang Duduk di Legislatif
Hasil Pemilu 2004
DPR DPD DPRD Tingkat I
10,7 21% 9%
550 128 1.849
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Langkah-Langkah Strategis yang Perlu Diambil
Setidak-tidaknya ada dua agenda besar yang harus dilakukan oleh perempuan Indonesia
untuk dapat terlibat secara aktif dalam menghadapi Pemilu 2009 mendatang. Pertama,
pendidikan politik untuk perempuan. Seperti kita ketahui hak politik perempuan adalah
menjadi tujuan perjuangan perempuan Indonesia. Program politik perempuan adalah
mendorong perempuan untuk mau berkecimpung dalam dunia politik praktis. Pandangan
bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki harus segera didekonstruksi menjadi bahwa
dunia politik adalah strategi perjuangan untuk memajukan dan memakmurkan negeri, jadi
setiap komponen bangsa berhak untuk turut serta termasuk perempuan.
Kedua, advokasi kepada partai politik. Advokasi bertujuan agar setidaknya masing-
masing partai politik konsisten dengan UU Partai Politik, yaitu memiliki keterwakilan
perempuan. Artinya, jangan sampai quota perempuan sebagaimana yang diharapkan
dalam undang-undang partai politik gagal. Nilai krusial dari UU Parpol adalah
diakomodirnya rumusan quota 30 persen bagi perempuan dalam kepengurusan patai.
Advokasi kepada partai politik juga bertujuan untuk memberikan dukungan kepada partai
politik agar tidak lagi ada diskriminasi gender dalam merekrut calon anggota legislatif.
Prioritas yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas perempuan yang aktif di
partai politik, agar mampu dan siap menjadi pengurus partai dan anggota legislatif.
9. Dalam menyongsong Pemilu 2009 politisi perempuan harus mampu menempatkan diri
sebagai garda depan dalam mengaksentuasikan gerakan sadar politik kepada masyarakat.
Sebab meskipun proyek tersebut telah menjadi peran strategis partai politik, akan tetapi
peran tersebut tidak dijalankan secara optimal oleh partai politik. Oleh karenanya
perempuan dalam institusi politik menjadi suatu keharusan untuk membidani lahirnya
gerakan perempuan yang sadar politik.
Prospek dan Peluang Kesetaraan Gender
Persoalan gender pada dasarnya bukan persoalan perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan yang bersifat natural. Persoalan gender merupakan persoalan ketidakadilan
peran-peran sosial. Sebagai hasil produksi sosial, peran-peran sosial laki-laki dan
perempuan yang diharapkan masyarakat tidak seyogyanya didasarkan atas faktor
biologis, tetapi atas dasar kapabilitas tiap-tiap individu. Berbeda dengan faktor biologis,
kapabilitas individu bukanlah hasil bawaan (ascribed status), melainkan hasil prestasinya
(achieved status).
Persepsi umum masyarakat yang mengaitkan masalah gender dengan faktor biologis telah
merugikan partisipasi perempuan di dunia publik, termasuk di pemerintahan dan
khususnya di partai. Secara umum, jabatan struktural di pemerintahan (PNS) didominasi
laki-laki mulai dari eselon V sampai I. Pada tahun 2005 persentase jabatan struktural
yang diduduki laki-laki 10,81%, sedangkan perempuan hanya 3,81%. Demikian pula
pada jabatan fungsional umum, yakni 46,96% untuk laki-laki dan 33,31% untuk
perempuan. Hanya pada jabatan fungsional tertentu persentase perempuan lebih baik
dibandingkan dengan laki-laki. Persentase perempuan mencapai 63,09%, sedangkan laki-
laki 42,23% (bandingkan dengan jumlah PNS berdasar gender tahun 2005 (lihat tabel 8 di
bawah).
Tabel 7
Jumlah PNS berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan
Keadaan September 2005
JENIS KELAMIN
TINGKAT
Laki-laki Perempuan
PENDIDIKAN
JML % JML % JUMLAH
SD 108,424 4.96% 5,937 0.39% 114,361
SLTP 105,117 4.81% 16,216 1.05% 121,333
SLTA 805,667 36.84% 568,212 36.85% 1,373,879
DIPLOMA I 26,395 1.21% 34,125 2.21% 60,520
DIPLOMA II 256,914 11.75% 353,149 22.90% 610,063
DIPLOMA III 161,282 7.37% 137,828 8.94% 299,110
DIPLOMA IV 6,353 0.29% 2,368 0.15% 8,721
Strata I/S-1 641,519 29.33% 399,009 25.88% 1,040,528
Strata II/S-2 68,010 3.11% 23,451 1.52% 91,461
10. Strata III/S-3 7,224 0.33% 1,668 0.11% 8,892
100.00 100.00
Jumlah 2,186,905 % 1,541,963 % 3,728,868
Sumber: Badan Kepegawaian Negara
Meskipun data tersebut secara jelas masih menunjukkan tingginya tingkat diskriminasi
gender, peluang dan prospek perempuan dalam memperoleh hak-haknya cukup
menggembirakan. Sebagai produk sosial, perempuan telah memperlihatkan
kemampuannya di dunia publik. Sulit dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang menimpa
Indonesia di penghujung tahun 1990-an telah memberikan pengakuan bahwa perempuan
memiliki daya tahan yang lebih kuat dalam mempertahankan subsistensi ekonomi
keluarganya ketimbang laki-laki. Sebagai reserved army mereka merupakan tim SAR
keluarga yang sangat tangguh. Ketika banyak laki-laki yang terpuruk dalam krisis
ekonomi, banyak perempuan yang tampil sebagai penyelamat. Kenyataan ini seharusnya
menjadi modal penting yang perlu dipertimbangkan sebagai bargaining power
perempuan dalam politik. Demokrasi tak mungkin bisa mengesampingkan partisipasi
perempuan karena ongkos sosial dan politik yang harus ditanggung negara dan
masyarakat menjadi sangat mahal.
Penutup
Di era demokrasi dewasa ini peluang perempuan untuk memperoleh kesetaraan gender
seharusnya lebih terbuka. Kemajuan ekonomi, teknologi dan politik merupakan isu yang
bisa dijadikan argumen bagi perempuan dalam upayanya untuk menghilangkan sekat
dikotomi publik dan privat. Dalam sistem ekonomi kapitalis kehadiran perempuan di
dunia publik merupakan sebuah kebutuhan agar ekonomi keluarga bisa berlangsung.
Oleh sebab itu, sebuah keluarga perlu dibangun atas dasar kemitraan dengan memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi di dunia publik sesuai dengan kapabilitasnya masing-
masing. Dengan demikian dikotomi publik – privat menjadi tidak relevan karena status
peran ganda yang selama ini disandang perempuan merupakan sebuah ketidakadilan
gender.
Usaha ke arah tersebut jelas tidak semudah membalik telapak tangan. Perjuangan
kesetaraan gender di Indonesia masih harus melalui jalan berliku dan penuh tantangan.
Dalam hubungan ini peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan perlu
memperoleh perhatian, khususnya pendidikan. Secara umum, keterbukaan politik yang
berlangsung sejak 1998 memberikan peluang yang makin besar bagi partisipasi
perempuan. Sebuah sistem politik dan pemerintahan yang makin demokratis akan makin
menguatkan tingkat kesetaraan gender. Oleh karena itu, partisipasi perempuan dalam
partai politik dan perannya dalam kepengurusan serta kepemimpinan merupakan sesuatu
yang harus diperjuangkan, terutama oleh kaum perempuan karena ini menjadi prasyarat
penting bagi berlangsungnya demokratisasi di Indonesia.
Melalui UU Partai politik yang baru, diharapkan peluang perempuan untuk berkiprah di
partai akan semakin besar. Kaum perempuan mestinya dapat merespons secara serius
11. peluang tersebut. Dua pasal penting dalam UU Parpol menyebutkan bahwa: “Pendirian
dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan”.
“Kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-
kurangnya 30% keterwakilan perempuan”. Bila dua pasal tersebut konsisten di tataran
praksisnya, maka tidak ada alasan untuk tetap meminggirkan kaum perempuan dalam
kepengurusan partai dan dalam kepemimpinan partai. Kaum perempuan Indonesia sudah
saatnya ikut mewarnai sistem kepartaian di Indonesia.
oo0oo