Teks tersebut membahas polarisasi masyarakat kesenian di Madura yang terbentuk dari perbedaan orientasi budaya antara kelompok yang berorientasi pada tradisi Islam dan kelompok yang berorientasi pada tradisi Madura. Polarisasi ini dipengaruhi oleh proses islamisasi di Madura yang membuat Islam menjadi identitas utama masyarakat namun juga menyebabkan kesenian tradisional Madura ditekan.
1. Kembang, kembang malatè
Ètamena è Kebunagung
Rassana bedhe sè gaggar
Duh Paman
kembang ponapa
….1
(Kembang, kembang melati
Akan ditanam di Kebunagung,
Terasa ada yang jatuh
Duh Paman
kembang apa gerangan
….)
Lahir dari keluarga guru agama (Islam) dan tumbuh di lingkungan pesantren di Madura, saya
menyukai kesenian tradisi Madura sejak kecil. Di awal tahun 1970-an, ketika usia saya kira-kira
5 tahun, saya suka sekali nonton ludruk, topeng, dan tandha’, misalnya. Sementara
pertunjukan tandha’ biasanya diadakan dalam pesta perkawinan, pertunjukan ludruk dan topeng
dulu sering diadakan di Lapangan Sepakat Lenteng Timur, Sumenep, tidak jauh dari rumah
orangtua saya. Pertunjukan itu biasanya berkarcis. Sekeliling lapangan ditutup
dengan saksak (rajutan bambu berukuran kira-kira 80 cm x 2,5 m untuk menjemur tembakau)
setinggi kira-kira 2,5 meter. Karcis bisa dibeli di loket-loket yang tersedia. Tentu, hanya orang
yang memiliki karcis yang boleh memasuki lapangan. Orang di luar lapangan tidak bisa
menyaksikan pertunjukan, meskipun tentu saja bisa mendengarkannya karena setiap
pertunjukan pastilah menggunakan pengeras suara. Ada kalanya pertunjukan kesenian diadakan
juga di tempat-tempat lain di sekitar desa, yang bisa saya tempuh cukup dengan jalan kaki.
Orangtua saya tidak pernah melarang saya menonton kesenian-kesenian tersebut, bahkan
mendorong saya dengan menyediakan uang karcis, uang jajan, dan seorang pendamping karena
pasti pulang larut malam setiap kali nonton. Jika diperkirakan pulang larut malam dan tempat
pertunjukan agak jauh dari rumah, pendamping saya tak lupa membawa kalarè (daun kelapa
kering). Seusai pertunjukan, dia -seorang ibu-ibu tetangga saya- membakarnya sebagai obor
sepanjang jalan pulang. Sepanjang jalan pulang, dia mengulang atau menirukan beberapa
bagian adegan pertunjukan yang baru saja kami tonton, yang bagi saya kadangkala lebih
menyenangkan dibanding pertunjukan yang sebenarnya. Demikianlah saya menikmati kesenian
tradisi Madura, meskipun dalam banyak hal tidak paham betul apa isinya.
Tetapi, hubungan keluarga saya dengan kesenian tradisi Madura ini ternyata tidak berjalan
“mulus”. Belakangan saya tahu bahwa jenis-jenis kesenian ini sebenarnya kurang diinginkan dan
cenderung dihindari. Bagi keluarga kami, jenis-jenis kesenian ini ternyata merupakan sesuatu
yang sedikit-banyak bersifat “asing”. Meskipun tak pernah melarang, setahu saya orangtua saya
tak pernah menontonnya. Dari pembicaraan dan sikapnya, terasa bahwa bagi orangtua saya,
2. ludruk, wayang, dan tandha’ paling tidak bukanlah jenis-jenis kesenian yang dianjurkan. Ini
berbeda misalnya dengan kesenian hadrah, samroh, atau samman, yang terasa lebih diterima
dalam keluarga kami. Jenis-jenis kesenian terakhir ini bukanlah sesuatu yang “asing”, melainkan
sesuatu yang kurang-lebih dianjurkan. Maka, dalam menonton hadrah, samroh, atau samman, saya
tidak perlu pendamping khusus, sebab saya akan berangkat dengan anggota keluarga yang juga
akan menyaksikan pertunjukan kesenian itu.
Bagi saya, pengalaman masa kecil ini ternyata merupakan miniatur atau puncak gunung es dari
polarisasi dan psiko-sosial kesenian dalam masyarakat Madura secara umum. Pertalian kompleks
antara Islam, kesenian, dan pola hubungan sosial di Madura merupakan perkembangan dari
sistem simbol yang dianut oleh masyarakat Madura sendiri. Jika Islam merupakan sistem simbol
melalui mana masyarakat menemukan personifikasinya pada ulama lokal sebagai lembaga yang
mengatur dan mempersatukan jalinan sosial yang terpencar-pencar, maka kesenian dalam batas
tertentu juga berfungsi sebagai sistem simbol yang melembaga sebagai faktor yang
mempersatukan diversifikasi sosial. Tetapi, karena masyarakat Madura bagaimanapun menerima
Islam sebagai sistem kepercayaan, dan proses islamisasi terus berlangsung di tengah
masyarakat, maka secara umum masyarakat Madura cenderung mensubordinasi kesenian.
Perkembangan kesenian dan masyarakat (kesenian) di Madura bersifat unik, yang secara mikro
terlihat pada pengalaman masa kecil saya tadi, dan secara makro akan kita lihat dalam
perkembangannya dewasa ini. Secara makro pula kita akan menelusuri aspek-aspek historisnya
di masa silam, di mana polarisasi masyarakat (kesenian) dewasa ini merupakan dampak-
lanjutan dari konfigurasi sosial keagamaan dan kolonialisme, dengan ulama lokal sebagai
institusi sentrumnya. Sudah tentu dalam perjalanannya yang panjang telah terjadi pergeseran
dan perubahan polarisasi masyarakat kesenian di Madura, yang -seperti akan kita lihat nanti-
bersinggungan dengan proses islamisasi di Madura sendiri secara umum. Namun, paling tidak
dalam jangka pendek dan menengah, polarisasi itu tampaknya bersifat permanen, karena
islamisasi di Madura lebih berupaya menawarkan alternatif terhadap kebudayaan Madura, bukan
mengisi dan memperkaya kebudayaan yang ada. Kecenderungan islamisasi seperti itu
menyisakan sekat psiko-sosial masyarakat kesenian, apalagi Islam cenderung
mensubordinasikan kesenian itu sendiri.
Islam dan Polarisasi Kesenian
Islamisasi di Madura berlangsung relatif “tuntas”. Sedemikian “tuntas” islamisasi itu, sehingga
Islam menjadi identitas dan tradisi masyarakat Madura dalam hampir semua lapisannya, kecuali
di kalangan kecil warga non-muslim. Ini tidak berarti Islam sebagai sistem nilai dijalankan secara
murni dan konsekuen oleh masyarakat Madura. Bagaimanapun, proses islamisasi dan
institusionalisasi Islam dalam masyarakat Madura sendiri, yakni gerakan atau usaha menuju
nilai-nilai Islam yang sejati, masih terus berlangsung. Sudah tentu dalam proses tersebut terjadi
tarik-menarik, saling rebut pengaruh, bahkan kerap terjadi ketegangan, baik terbuka maupun
3. diam-diam. Namun hampir seluruh fenomena sosial-agama dan pola sosial-budaya di Madura
berlangsung dalam ranah atau bazar kebudayaan masyarakat muslim.2
Meskipun demikian, diversifikasi sosial-budaya dalam masyarakat Madura tetaplah kompleks,
dan dalam batas tertentu berimplikasi pada corak kesenian dan pola sosial masyarakat Madura
itu sendiri. Kompleksitas diversifikasi sosial masyarakat Madura antara lain menyangkut
perbedaan orientasi budaya mereka, yang sebagian termanifestasi atau bahkan termaterialisasi
dalam kesenian. Pada gilirannya, polarisasi masyarakat kesenian di Madura terbentuk atas dasar
perbedaan orientasi budaya mereka. Satu kelompok berorientasi pada kebudayaan yang sejauh
mungkin berhubungan dengan tradisi Islam; kelompok lain berorientasi pada tradisi Madura
tanpa mempersoalkan kaitannya dengan tradisi Islam. Polarisasi ini merupakan dinamika dari
masyarakat muslim Madura yang sesungguhnya relatif homogen, namun diversifikasi sosial
mereka telah mendorong perbedaan orientasi budaya dan manifestasi konkretnya di lapangan
kebudayaan. Dalam konteks ini maka Islam sebagai orientasi budaya kerapkali sangat longgar,
meskipun seringkali sangat kuat sebagai identitas budaya.
Polarisasi masyarakat kesenian ini dapat dijelaskan lebih jauh lewat kelompok atau kelas sosial
di Madura. Di antara kelompok atau kelas sosial yang sangat berpengaruh dalam masyarakat
Madura adalah ulama lokal atau kiai. Untuk sebagian hal ini merupakan konsekuensi dari
islamisasi Madura yang relatif “tuntas” tadi. Karena islamisasi berlangsung baik di hampir semua
kelompok dan kelas sosial dengan ulama sebagai institusi sentrumnya, maka ulama memiliki
posisi sentral dalam struktur sosial masyarakat Madura di hampir semua tingkatannya. Posisi
mereka tampak kian kuat dan luas dari waktu ke waktu. Belakangan, konfigurasi politik nasional
dan lokal memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem nasional, dimana
ulama menduduki posisi tertinggi dalam birokrasi negara tingkat lokal, suatu hal yang sulit
terjadi sejak zaman kolonial hingga zaman Orde Baru.
Pada kenyataannya, ulama atau kiai merupakan lingkaran agama, sosial, ekonomi, politik, dan
budaya, yang kebanyakan berbasis di pesantren. Lingkaran-lingkaran ulama ini seringkali
melampaui batas-batas fisik pesantren yang dipimpinnya; seringkali pula bersentuhan dengan
lingkaran agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya ulama lain dalam berbagai tingkatannya.
Persentuhan antara lingkaran sosial seorang ulama dengan lingkaran sosial ulama lain secara
kultural membangun lingkungan budaya tersendiri, yang ingin saya sebut dengan lingkungan
budaya pesantren. Pesantren di sini tidak menunjuk pada lembaga pendidikan sebagaimana lazim
dipahami, melainkan pada tradisi dan orientasi budaya yang secara umum bersifat keislaman.
Dengan demikian, pesantren di sini lebih merupakan kategori sosial-budaya daripada lembaga
pendidikan atau agama.
Khususnya dalam bidang kesenian, lingkungan budaya pesantren adalah ranah tempat jenis-
jenis kesenian yang bersumber atau berakar pada tradisi Islam (pernah) hidup dan berkembang.
Jenis-jenis kesenian itu antara lain syi’ir (sastra), diba’, hadrah, gambus, samroh (musik), samman,
4. ruddad, zaf (tari), dan drama al-Badar (teater). Akar kesenian tersebut tertanam jauh di jantung
kebudayaan Islam -jika bukan isi setidaknya bentuk- yang ditransmisi ke lingkungan budaya
Madura melalui berbagai jalan, yaitu pendidikan, budaya, dan tasawuf (tarekat). Syi’ir, bentuk
puisi tradisional Arab yang biasanya bermitrum aaaa atau aabb, misalnya, diajarkan di
pesantren-pesantren melalui contoh-contoh puisi karya para ulama terkenal. Karena itu, bagi
masyarakat lingkungan budaya pesantren, bentuk syi’ir Madura terasa lebih akrab dibanding
pantun atau puisi bebas.3 Jenis-jenis kesenian lainnya (musik, tari, dan teater), jika tidak secara
langsung menimba inspirasi dari khazanah Islam, pastilah bertalian atau mendapat pengaruh
dari tradisi Islam itu sendiri.4
Karena semua jenis kesenian tersebut merefleksikan wawasan atau pengaruh Islam, maka ia
tumbuh dalam lingkungan budaya pesantren dimana lingkaran sosial ulama lokal menyentuh
lapisan sosial yang relatif jauh dari sentrum institusi ulama itu sendiri. Semakin jauh lingkaran
sosial budaya pesantren dari sentrum institusi ulama dimana kesenian mendapatkan tempatnya,
maka kesenian tersebut kian menunjukkan asimilasinya dengan kebudayaan Madura non-
pesantren. Kelompok drama Al-Badar barangkali dapat dijadikan contoh asimilasi kebudayaan
pesantren dan non-pesantren di Madura. Di samping mementaskan skenario atau kisah yang
tidak ditemukan akarnya di lingkungan budaya pesantren, mereka mementaskan kisah nabi-nabi
yang jelas mengakar di lingkungan pesantren. Yang sangat terkenal di antaranya adalah cerita
Nabi Yusuf a.s., sebuah kisah tragis seorang nabi, lengkap dengan kisah-abadi tentang cinta
antara Yusuf dan Zulaikha, dan secara keseluruhan memperlihatkan kemenangan iman atas
kezaliman.5
Berdampingan dengan lingkungan budaya pesantren itu, hidup dan berkembang pula -untuk
gampangnya saya sebut saja- lingkungan budaya non-pesantren. Lingkungan budaya terakhir ini
juga merupakan lingkaran-lingkaran sosial, ekonomi, dan budaya, bahkan dalam batas tertentu
merupakan lingkaran agama atau kepercayaan tradisional juga. Perbedaan antara keduanya
terletak pada sistem simbol yang mereka ambil dalam kehidupan sosial mereka masing-masing.
Sistem simbol lingkungan budaya pesantren adalah agama (Islam); sistem simbol lingkungan
budaya non-pesantren adalah kesenian Madura. Sebagaimana Islam sebagai sistem simbol
menyatukan kelompok-kelompok sosial yang terpencar ke dalam lingkungan budaya pesantren,
kesenian tradisional Madura sebagai sistem simbol menyatukan kelompok-kelompok sosial yang
lain ke dalam lingkungan budaya non-pesantren.
Harus ditekankan bahwa dengan polarisasi ini tidak berarti agama (Islam) sama sekali tidak
penting bagi lingkungan budaya non-pesantren. Telah dikemukakan bahwa islamisasi di Madura
secara kultural telah berlangsung dengan relatif “tuntas”. Maka itu, masyarakat dalam
lingkungan budaya non-pesantren bagaimanapun secara umum adalah muslim, hidup dengan
tradisi Islam, bahkan kadangkala juga dengan fanatisme sangat tinggi terhadap Islam. Namun
bagi mereka, di samping sebagai identitas, Islam merupakan agama yang relatif longgar dan
sangat terbuka. Dengan kata lain, bagi mereka, Islam tampaknya lebih merupakan identitas
5. dimana mereka menemukan eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, namun mereka tetap
mewarisi dan mengembangkan kesenian tradisi Madura dimana mereka menemukan sistem
simbol bagi kehidupan sosial mereka.
Karena perbedaan sistem simbol tersebut, yang berarti juga perbedaan orientasi budaya, maka
lingkaran-lingkaran dua lingkungan budaya itu kadangkala bersinggungan. Pada titik itu,
ketegangan -terutama dalam bentuknya yang sangat halus- seringkali tak terhindarkan. Namun,
secara umum ketegangan tampaknya ingin dihindari. Sejauh pengalaman dan kesan saya,
ketegangan akibat persinggungan dua lingkungan budaya ini tak pernah melebihi ketegangan
yang timbul dalam internal lingkungan budaya pesantren sendiri. Tarik-menarik antara ortodoksi
(Islam “murni”) dan heterodoksi (bid’ah) dalam sosio-relijius Islam di Madura, misalnya, juga
ketegangan antara Islam tradisional dan Islam modern, pernah menimbulkan ketegangan yang
melampau batas-batas harmoni sosial masyarakat pesantren. Oleh karena itu, meskipun
masing-masing lingkungan budaya terasa “asing” bahkan cenderung tidak bisa saling menerima
satu sama lain, sejauh saya tahu, ketegangan yang terjadi tampaknya tidak begitu berarti.
Sebagaimana telah dikatakan, sistem simbol lingkungan budaya non-pesantren adalah kesenian
Madura. Yakni kesenian yang hidup di Madura sejak pra-Islam, diperkaya dengan pengaruh
kesenian Jawa, dan relatif steril dari pengaruh Islam. Jenis-jenis kesenian yang hidup dalam
lingkungan budaya non-pesantren ini antara lain pantun, mamaca, kol-okol (sastra), ludruk, tandha’,
ketoprak, topeng (teater), saronen, gamelan, okol (musik/nyanyian), tayub, sandur (tari).6 Tentu saja,
polarisasi kesenian ini tidak selalu definitif. Dalam beberapa hal, terjadi tumpang-tindih antara
kesenian dalam lingkungan budaya pesantren dan non-pesantren. Terjadinya tumpang-tindih itu
untuk sebagian menunjukkan terjadinya proses asimilasi kultural antara kedua lingkungan
budaya yang masih terus berlangsung.
Tabel 1
Polarisasi Masyarakat Kesenian Madura
Jenis
No.
Kesenian Pesantren Non-Pesantren
Sastra/
1. Syi’ir Puisi, pantun, mamaca
Tradisi Lisan
Ludruk, tandke’, ketoprak,
2. Al-Badar
Teater topeng
Diba’, hadrah, Saronen, gamelan,
3.
Musik/ Nyanyian gambus, samroh thongthong, okol
4.
Tari Samman, ruddad, zaf Tayuban, sandur
6. Tabel 1 adalah bagan polarisasi masyarakat kesenian dan jenis-jenis kesenian dua lingkungan
budaya Madura seperti diuraikan di atas. Karena tulisan ini merupakan pengalaman dan kesan
pribadi, maka jenis-jenis kesenian tidak disebutkan secara lengkap. Jenis-jenis kesenian dipilih
secara acak berdasarkan kedekatannya dengan satu lingkungan budaya sekaligus menunjukkan
perbedaannya, bahkan kontrasnya, dengan kesenian dalam lingkungan budaya yang lain.
Kolonialisme dan Polarisasi Masyarakat
Polarisasi kesenian dan masyarakat kesenian di Madura -sebagaimana diuraikan di atas-
menemukan paralelismenya dalam polarisasi masyarakat Madura di zaman kolonial. Karena itu,
polarisasi masyarakat kesenian Madura dewasa ini dapat dipandang sebagai berakar pada, atau
sekurang-kurangnya merupakan dampak-tak langsung dari polarisasi masyarakat Madura zamal
kolonial tersebut. Untuk sebagian, akar-akar polarisasi di zaman kolonial ini dapat menjelaskan
kuatnya lingkungan budaya pesantren “menutup diri” terhadap kebudayaan luar, dan lambannya
lingkungan budaya pesantren menerima modernitas. Dalam konteks itu, tampak ada gejala atau
pola yang relatif permanen, namun pastilah terjadi juga pergeseran yang sangat berarti. Tentu
saja, baik gejala permanen maupun pergeseran sosial-budaya tersebut berdampak juga pada
psiko-sosial masyarakat Madura yang terpolarisasi itu hingga sekarang.
Polarisasi masyarakat Madura bermula sejak paroh kedua abad ke-19, ketika Belanda
mendirikan sekolah pribumi dan sekolah Eropa untuk anak-anak Belanda di Pamekasan pada
tahun 1862. Sekolah-sekolah sejenis didirikan juga di Bangkalan dan Sumenep dua tahun
kemudian. Mata pelajaran meliputi membaca, menulis, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa
pengantar yang digunakan adalah bahasa Madura, Jawa, dan Melayu, sedangkan huruf yang
digunakan adalah huruf Jawa dan Latin. Tujuan pendidikan terutama diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan personel di bagian administrasi untuk mengembangkan struktur kantor-
kantor pemerintah. Namun secara umum sekolah-sekolah pribumi ini dipandang kurang berhasil,
antara lain karena para bangsawan enggan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah pribumi.
Para bangsawan lebih tertarik mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah Eropa. Karena itu,
sementara jumlah siswa sekolah pribumi terus menurun, jumlah siswa sekolah Eropa terus
meningkat hingga akhir abad ke-19 (Kuntowijoyo 2002a: 187-194). Bisa dipastikan, bahasa
pengantar dan huruf yang digunakan di sekolah Eropa adalah bahasa Belanda dan huruf Latin.
Sekolah model Barat ini diperkenalkan kepada pribumi ketika pendidikan tradisional
agamalanggar dan pesantren sudah dikenal luas di tengah masyarakat. Bahkan di akhir abad ke-19
itu, pesantren menunjukkan pengaruh sosialnya yang semakin luas, dan banyak pesantren
tengah giat-giatnya mengembangkan diri. Kiai Umrah Zubair (w. 1890) di Sumberanyar
(Pamekasan), Kiai Khalil (w. 1923 [1925?])7 di Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Itsbat (w. 1926) di
Banyuanyar (Pamekasan), Kiai Syarqawi (w. 1910) di Guluk-guluk (Sumenep), dan Kiai Chatib
(w. 1930) di Prenduan (Sumenep) adalah sebagian kiai-kiai pesantren yang sangat berpengaruh
7. pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dan, terutama sebagai gerakan sosial-
keagamaan di tingkat lokal, aktivitas mereka tampak sangat agresif.
Pengaruh mereka bahkan tidak hanya terbatas di kalangan masyarakat Madura, melainkan juga
masyarakat Jawa. Sebagai contoh, di samping berasal dari Madura sendiri, sebagian santri Kiai
Umrah Zubair -dia melanjutkan kepemimpinan pesantren yang dirintis orangtuanya- berasal dari
Bondowoso dan Panarukan (Iik Arifin Mansurnoor 1990: 43). Lingkup pengaruh sosial Kiai Khalil
Bangkalan pasti lebih luas lagi, sebab banyak santrinya kelak mendirikan pesantren -yang
kemudian menjadi pesantren-pesantren besar- di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
Jawa Barat (Abdurrahman Mas‟ud 2004: 162). Tentu saja, luasnya pengaruh para kiai ini dengan
segera memapankan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional agama di tingkat rakyat
kebanyakan.
Dengan konstelasi seperti itu, maka pendidikan terpolarisasi ke dalam pendidikan agama
(pribumi) dan pendidikan kolonial (Belanda). Hal tersebut kemudian menentukan pola hubungan
selanjutnya antara ulama dan para santrinya di satu pihak dengan pemerintahan kolonial dan
para kolaborator lokalnya di pihak lain. Kecenderungan ini terus berlangsung, kemudian
menimbulkan keengganan masyarakat desa terhadap sekolah buatan Belanda, sekaligus
melanggengkan kecurigaan pemerintah kolonial terhadap pesantren (Iik Arifin Mansunoor 1990:
43). Polarisasi pendidikan ini kian nyata dan kian keras, didorong pula oleh kemarahan
masyarakat desa terhadap pemerintah kolonial dan para kolaborator lokalnya di kota, yang
bukan saja merugikan, melainkan juga memeras mereka melalui sistem perpajakan, pengerjaan
tanah garapan, dan lain-lain. Hampir dalam semua hal, ketentuan sistem perpajakan dan
terutama sistem pengelolaan lahan pertanian ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pada
abad ke-19, keadaan sedemikian buruk: rakyat Madura “hidup dalam keadaan „mendekati
perbudakan‟” (Huub de Jonge 1989: 77).
Tidaklah mengherankan kalau para ulama kemudian menjadi pusat-pusat perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial. Perlawanan yang terorganisasi relatif baik untuk pertama kali pecah pada
akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1895, di desa Prajan, subdistrik Darmacamplong, Sampang,
ketika Kiai Semantri atau Kiai Lanceng dicurigai Belanda sebagai menghembuskan perasaan
antipenguasa kolonial kepada penduduk desa (Kuntowijoyo 2002: 337-345). Belanda beberapa
kali mengutus bawahannya dengan tugas menangkap Kiai Semantri, namun masyarakat desa
berhasil melindunginya dan berhasil pula mengusir utusan Belanda itu. Hingga akhirnya Belanda
mengirimkan tentara dengan missi khusus menangkap Kiai Semantri. Bersembunyi di balik tikar
di langgarnya dan dilindungi oleh pengikut-pengikutnya, Kiai Semantri akhirnya tertangkap
setelah perkelahian sengit beberapa saat berlangsung. Semantri ditangkap bersama seorang
perempuan dan 4 orang santrinya, lalu dijebloskan ke penjara di Pamekasan.
Perlawanan terus berlanjut pada awal abad ke-20. Tapi tampaknya semangat melawan lebih
besar dibanding kekuatan yang sesungguhnya. Kiai Khalil Bangkalan ditangkap kolonial pada
8. dekade pertama abad ke-20, dan tak lama kemudian dibebaskan (Abdurrahman Mas‟ud 2004:
175). Namun, perlawanan terorganisasi di awal abad ke-20 dilakukan terutama oleh gerakan-
gerakan Sarekat Islam (SI), seperti terjadi di Sapudi, Sumenep, pada tahun 1913 dan di Duko,
Pamekasan, pada tahun 1919, dimana tokoh SI di dua daerah itu juga akhirnya ditangkap
(Kuntowijoyo 2002: 511-523).
Meskipun seringkali menderita kekalahan, api perlawanan ulama terhadap pemerintah kolonial
tak pernah padam. Hingga pertengahan abad ke-20, perlawanan terus dilancarkan, diperkuat
dengan organisasi dari tingkat lokal hingga nasional. K.H.A. Djauhari Chotib dari Prenduan,
Sumenep, misalnya, mendirikan sejumlah organisasi. Pada tahun 1947, Kiai Djauhari membuka
cabang Hizbullah di Prenduan. Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah adalah organisasi militer
pemuda Majelis Muslimin Indonesia (Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala
itu (Huub de Jonge 1989: 256). Di samping itu, Kiai Djauhari mendirikan Angkatan Muda
Prenduan (AMP), Barisan Sabilillah, Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Keamanan Nasional
Indonesia (KNI), dan Barisan Pertahanan Rakyat Indonesia (BPRI). Semua ini dilakukan Kiai
Djauhari untuk memobilisasi pengikutnya bergerilya melawan pasukan kolonial. Berkali-kali
melakukan perlawanan antara tahun 1940-1950, Kiai Djauhari akhirnya ditangkap dan dipenjara
berturut-turut di Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, dan Surabaya (Jamaluddin Kafie et all. 1997:
44-50).
Dalam pada itu, tahun 1947 adalah tahun yang mencekam di Guluk-guluk, sekitar 15 km arah
utara Prenduan. Pertempuran melawan Belanda di bawah komando K.H. Abdullah Sajjad segera
akan pecah. Kiai Abdullah menghentikan untuk sementara aktivitas pendidikan di pesantren
Annuqayah yang dipimpinnya. Komandan Laskar Sabilillah ini memobilisasi pengikutnya dan
mengatur strategi perang. Pada mulanya, pasukan Laskar Sabilillah berhasil menahan pasukan
Belanda masuk Guluk-guluk. Tapi pada suatu malam lepas Maghrib, ketika dia menerima
sejumlah tamu di rumahnya, mendadak sembilan serdadu kompeni masuk dan menangkap
paksa Kiai Abdullah. Anak pendiri pesantren Annuqayah, Kiai Syarqawi, ini kemudian diseret ke
Kemisan, 1 km utara pesantren. Kiai Abdullah mencegah orang-orang mengawalnya. Dan,
Minggu ketiga bulan Oktober 1947 itu benar-benar mencekam: Kiai Abdullah Sajjad gugur di
ujung bedil tentara Belanda di lapangan Kemisan (Abdurachman 1988: 68; Bisri Effendy 1990:
58; Syafiq 2006: 44-17).8
Kemarahan dan kebencian rakyat terhadap pemerintah kolonial dan kolaborator lokalnya terus
memuncak, apalagi dengan tewasnya ulama mereka dalam pertempuran melawan kaum
kolonial. Maka perlawanan sebisa mungkin terus dilancarkan. Bagaimanapun ulama adalah
lingkaran pesantren yang kian luas, sehingga meskipun kerapkali menderita kekalahan terhadap
lingkaran kolonial yang lebih kuat, mereka tidak mudah menyerah. Lebih dari itu, kemarahan
dan kebencian tak hanya diekspresikan melalui pertempuran, melainkan juga melalui dunia
simbolik, yaitu membangun simbol-simbol identitas mereka sendiri, yang secara diametral
9. berbeda dengan simbol-simbol identitas penguasa kolonial. Inilah perlawanan kultural terhadap
kaum kolonial.
Dunia simbolik tersebut setidaknya meliputi pendidikan, basis geografis, keilmuan, pakaian, dan
penguasaan bahasa asing (lihat tabel 2). Simbol-simbol identitas lingkungan pesantren adalah
langgar, pondok atau pesantren (pendidikan), desa (basis geografis), ilmu agama Islam
(keilmuan), sarung dan songkok (pakaian), dan bahasa Arab (bahasa asing). Berbanding terbalik
dengan itu, simbol identitas lingkungan kolonial adalah sekolah model Barat (pendidikan), kota
(basis geografis), ilmu umum (keilmuan), pantalon, celana, dasi, jas (pakaian), bahasa Belanda
(bahasa asing). Simbol-simbol identitas adalah pagar pembatas yang membedakan sekaligus
memisahkan sejauh mungkin dua lingkungan masyarakat (pesantren dan kolonial) yang tak
mungkin berdamai dalam hal apa pun.
Tabel 2
Polarisasi Masyarakat Madura Zaman Kolonial
Simbol Identitas Simbol Identitas
No. Lingkaran Pesantren Lingkaran Kolonial
Langgar, pondok, Sekolah pribumi,
1. pesantren sekolah model Barat
Pendidikan
2. Desa Kota
Basis
3. Agama Islam Umum
Keilmuan
4. Sarung, songkok Pantalon (celana), dasi, jas
Pakaian
5. Arab Belanda
Bahasa Asing
Dengan simbol-simbol identitas itu, menjadi nyata bahwa polarisasi kini bukan lagi sekadar
polarisasi pendidikan sebagaimana terjadi di akhir abad ke-19, melainkan polarisasi masyarakat
secara keseluruhan. Dan, dunia simbolik telah turut memperluas sekaligus memperkeras
polarisasi tersebut. Karena dunia simbolik merupakan ekspresi kemarahan dan sikap
permusuhan (terhadap kaum kolonial), dan permusuhan itu bersifat politis bahkan ideologis,
maka dunia simbolik itu pun jadi ideologis pula. Adalah masuk akal jika terjadi proses
ideologisasi dunia simbolik di kalangan masyarakat, baik secara lunak maupun keras. Hal itu
kadangkala diperkuat dengan argumen agama, misalnya hadis Nabi Muhammad bahwa orang
yang menyerupai satu kaum berarti dia bagian dari mereka (man tasyabbaha bi qawm-in fa huwa
minhum). Maka orang yang menggunakan simbol identitas kaum kolonial -misalnya celana atau
dasi- akan dipandang sebagai bagian dari kaum kolonial itu sendiri.9 Sedemikian kuat corak
10. ideologis dunia simbolik zaman kolonial ini, sehingga ia tetap terasa hingga zaman
kemerdekaan, bahkan sampai sekarang. Tapi bagaimanapun corak ideologis dunia simbolik
pesantren itu kini sudah mencair, jika tidak hilang sama sekali.
Polarisasi masyarakat Madura zaman kolonial ternyata paralel dengan polarisasi masyarakat
kesenian dewasa ini. Jenis-jenis kesenian yang hidup dalam lingkungan budaya pesantren,
dalam coraknya yang lunak merupakan simbol identitas lingkungan budaya pesantren itu sendiri.
Inilah gejala permanen dari dunia pesantren: ia hidup dengan dunia simboliknya sendiri sejak
zaman kolonial hingga sekarang. Ketika simbol-simbol identitas pesantren zaman kolonial sudah
mencair, pesantren kemudian mengkristalisasi simbol-simbol identitasnya yang lain di bidang
kesenian. Ini memang bisa menguntungkan bagi masyarakat kesenian pesantren, sebab dengan
begitu khazanah kesenian pesantren yang khas terwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
turut memperkaya khazanah kebudayaan Madura. Namun demikian, memegang kesenian
sebagai simbol identitas pesantren secara kaku tampak telah menghambat proses pengayaan
kesenian masyarakat pesantren itu sendiri, menghambat juga proses asimilasi kesenian dan
kebudayaan pesantren ke dalam lingkungan budaya non-pesantren.
Dalam pada itu, dengan runtuhnya kolonialisme, konfigurasi sosial bagaimanapun telah berubah.
Kini yang berdiri di seberang “sana” bukan lagi kaum kolonial dengan kolaborator-kolaborator
lokalnya, melainkan lingkungan budaya non-pesantren yang secara sosio-keagamaan duduk di
majelis agama yang sama, sehingga secara kultural pun keduanya bisa duduk berdampingan.
Demikianlah maka pergeseran ini mengubah pula psiko-sosial lingkungan-lingkungan budaya di
Madura. Jika simbol identitas pesantren zaman kolonial merupakan ekspresi politik dan ideologi
melawan kaum kolonial, kesenian masyarakat pesantren kini merupakan ekspresi agama dalam
lapangan kebudayaan -sehingga bisa dikatakan juga sebagai ekspresi budaya, sama halnya
dengan kesenian masyarakat non-pesantren. Dalam konteks ini, maka saling melunakkan diri
tampaknya merupakan masa depan kesenian dan kebudayaan Madura, dimana masing-masing
lingkungan budaya terus menggali dan memperkaya ekspresi budayanya di satu pihak, dan
saling meresapkan diri satu sama lain dalam batas-batas yang mungkin dan dapat diterima di
pihak lain. Pada taraf itu, Islam akan menerima bahkan merangkul kebudayaan “asli” Madura
sekaligus mewarnainya dengan corak keagamaan yang dapat dipandang sebagai khazanah
kebudayaan Islam Madura yang khas.
Madura di Aras Kebangsaan
Memandang Madura, keislamannya, keseniannya, dan kebudayaannya, pada akhirnya adalah
memandang Indonesia, keislamannya, keseniannya, dan corak umum kebudayaannya.
Pergumulan atau dinamika Islam di Madura, adalah pergumulan keislaman, kemaduraan, dan
akhirnya juga keindonesiaan. Apa yang menarik dari dinamika Islam di Madura sebagaimana
diuraikan di atas, adalah perbedaan orientasi kebudayaan suatu masyarakat yang sesungguhnya
relatif homogen, yaitu orientasi keislaman di satu sisi dan orientasi kemaduraan di sisi lain. Yang
11. pertama sejauh mungkin mengacu pada sumber-sumber (kebudayaan) Islam; yang kedua
mengacu pada tradisi “asli” Madura tradisi yang steril dari pengaruh kebudayaan Islam.
Perbedaan orientasi ini tentu saja dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk membuka diri terhadap
berbagai kemungkinan guna mengembangkan diri sebaik mungkin. Dalam konteks ini,
membatasi pilihan-pilihan yang tersedia sebagai sumber pengembangan kebudayaan hanya akan
membatasi ruang gerak dan akhirnya akan memperlambat juga laju kemajuannya. Maka pilihan
hanya harus dijatuhkan pada saling menerima dan saling memberi dalam batas doktrin, norma,
dan nilai yang bisa diterima. Demikianlah misalnya Islam bisa memberikan nilai moral dan
spiritual pada tradisi “asli” Madura, sehingga melahirkan kesenian dan kebudayaan yang
bercorak kemaduraan sekaligus keislaman.
Perbedaan orientasi kebudayaan masyarakat Madura berikut dinamika sosial dan kultural di
dalamnya, hanyalah satu eksemplar dari berbagai orientasi kebudayaan Indonesia yang pastilah
jauh lebih kompleks. Jika dalam masyarakat Madura yang relatif homogen saja terdapat
perbedaan orientasi kebudayaan, maka perbedaan orientasi kebudayaan Indonesia yang
majemuk pastilah merupakan suatu hal yang niscaya. Pastilah lebih kompleks pula tarik-
menarik, saling rebut pengaruh, dan gesekan-gesekan yang ditimbulkannya. Tetapi,
bagaimanapun, semua perkembangan itu dapat ditempatkan sebagai dinamika suatu komunitas
relijius yang terus-menerus berusaha menemukan wujud kebudayaan mereka sendiri di tengah
tersedianya sumber-sumber kebudayaan yang melimpah. Dalam konteks ini, maka kemaduraan
adalah merawat tradisi “asli” Madura dalam batas-batas maknanya yang relevan bagi
masyarakat Madura sendiri khususnya; keislaman adalah menggali sumber nilai-nilai moral,
relijius, dan spiritual demi memberi isi dan relevansi baru pada kemaduraan yang pastilah terus
bergerak; dan keindonesiaan adalah wujud kebudayaan “baru” yang bercorak kemaduraan
sekaligus keislaman, yang mau tak mau mengikatkan diri pada Indonesia sebagai suatu
komunitas kebangsaan.
Kontekstualisasi Islam di Indonesia dengan demikian menemukan relevansinya dalam
mengakarnya Islam itu sendiri dalam kebudayaan-kebudayaan lokal melalui asimilasi dan
akulturasi yang saling menghidupi, memperkaya, memperdalam, dan memperluas, sehingga
saling menguntungkan. Dengan kebudayaan Islam yang terekspresikan dalam kebudayaan-
kebudayaan lokal yang melimpah, yang berarti meresapkan nilai-nilai moral, relijius, dan
spiritualnya ke dalam kebudayaan lokal itu sendiri di satu sisi dan menyertakan kebudayaan
“asli” Islam ke dalamnya di sisi lain, maka kebudayaan Islam Indonesia adalah wujud
kebudayaan yang sedemikian kayanya, dan secara keseluruhan akan menjadi kebudayaan
“baru” dengan maknanya yang relevan bagi suatu komunitas relijius masyarakat Muslim terbesar
di dunia ini. Dengan orientasi kebudayaan yang secara bersama-sama mengaitkan keislaman,
kedaerahan, dan keindonesiaan itulah masa depan Indonesia akan hadir sebagai sebuah wujud
kebudayaan yang kokoh dengan kekayaan yang melimpah.
12. Dari sudut pandang kesenian dan dunia simbolik, pengalaman Islam di Madura menunjukkan,
bahwa belum tuntasnya proses integrasi keislaman dalam kemaduraan di tengah relatif “tuntas”-
nya islamisasi Madura sendiri bagaimanapun sedikit-banyak menyisakan sekat psiko-sosial yang
kerap menginterupsi keutuhan entitas dan identitas suatu komunitas budaya di suatu daerah.
Ditarik ke aras kebangsaan, pengalaman itu sesungguhnya merupakan sebuah dinamika sosial
yang sedang berproses mendewasakan dan mematangkan diri. Identitas kebangsaan pada
akhirnya sangat ditentukan oleh dialog kreatif antara sumber nilai keagamaan dan kedaerahan,
yang secara bersama-sama dapat mengusung keindonesiaan sebagai suatu entitas dan identitas
budaya yang majemuk. Keindonesiaan dengan demikian sejatinya berakar pada, dan dibangun di
atas sumber-sumber primordial dan tradisional yang tersedia, dan secara terbuka berproses
untuk saling mematangkan diri melalui dialog budaya yang kreatif lagi produktif.
Setidaknya demikian saya berharap. Maka harapan hanyalah agar kita mencoba menanam
kembang melati di Kebunagung, meskipun kita tahu: setiap kali menanam kembang, terasa ada
yang jatuh dari tangan tanpa selalu kita tahu kembang yang mana.***
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman
1988 Sejarah Madura Selayang Pandang. T.tp.: t.p.
Bouvier, Hélène
2002 Lèbur!: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Effendy, Bisri
1990 Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura. Jakarta: P3M.
Imrom, D. Zawawi
1989 “Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti” dalam Jonge, Huub de (ed.), Agama,
Kebudayaan, dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers
Jonge, Huub de
1989 Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: Gramedia
Kafie, Jamaluddin, et all.
1997 Biografi K.H.A. Djauhari Chothib 1905-1971. Prenduan: Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan
Kuntowijoyo
1989 “Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal di Madura, 1913-1920″
dalam Huub de Jonge (ed.), Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers
Kuntowijoyo
2002 Perubahan Sosisal dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. terjemahan Machmoed
Effendhie dan Punang Amaripuja. Yogyakarta: Bentang
13. Mahayana, Maman S.
2005 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening
Mansurnoor, Iik Arifin
1990 Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Mas‟ud, Abdurrahman
2004 Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS
Syafiq
2006 Peran K.H. Abdullah Sajjad dalam Kepemimpinan Keagamaan di Desa Guluk-guluk, Sumenep, Madura
(1923-1947). Skripsi pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel
Surabaya.
Wiyata, A Latief
2002 Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS
1 Lirik lagu Madura, dinyanyikan oleh Hamzah Miftah dan Wawan Irawan. Tidak disebutkan
penulis lirik maupun pencipta lagu. Dimuat dalam kaset berjudul Sholawat Rasul (1999).
2 Bahkan tidur pun, orang Madura tidur dengan “cara Islam”. Bagi orang Madura, tidur adalah ”
… „mati sementara‟. Oleh karena itu, posisi tidur harus sama dengan posisi ketika mayat orang
Madura dikuburkan. … posisi tidur seperti itu untuk mengingatkan orang Madura -sebagai
penganut agama Islam- bahwa pada suatu saat mereka pasti akan mati.” (A. Latief Wiyata
2002: 41-42).
3 Tentang syi’ir Madura lihat misalnya D. Zawawi Imron (1989). Syi’ir-syi’ir Madura beredar dari
tangan ke tangan melalui tulis tangan atau foto copy, dalam cetakan relatif terbatas, juga lewat
kaset. R. Moh. Aminollah, misalnya, menyanyikan syi’ir-syi’ir Madura dalam 2 kaset yang beredar
umum.
4 Uraian terinci tentang jenis-jenis kesenian ini lihat Hélèn Bouvier (2002).
5 Kisah Nabi Yusuf yang dimainkan oleh kelompok drama Madura, Al-Badar Jaya pimpinan Rasuk
Al-Kumar, direkam dalam 4 kaset, dan beredar umum.
6 Uraian terinci tentang jenis-jenis kesenian ini lihat Hélèn Bouvier (2002)
7 Iik Arifin Mansurnoor menyebut tahun wafatnya Khalil Bangkalan 1923 (1990: 43); sedangkan
Abdurrahman Mas‟ud menyebut 1925 (2004: 153)
8 Abdurachman tidak menyebutkan tahun gugurnya Kiai Abdulla Sajjad. Sementara Bisri Effendy
menyebut tahun 1948, Syafiq menyebut tahun 1947 lengkap dengan hari dan bulannya.
9 Di awal tahun 1970-an di desa saya, saya ingat, memakai pantalon (celana panjang) terasa
asing secara sosial, sementara memakai peci dan sarung sangat dianjurkan, bahkan merupakan
keharusan waktu melaksanakan shalat dan acara-acara keagamaan. Shalat dengan memakai
pantalon bukan saja asing, melainkan dianggap keliru secara sosial. Dalam batas yang lebih
longgar hal itu masih terasa sampai sekarang, saya kira di banyak daerah di Madura.
14. Tambahan lagi, di tahun 1980 saya mukim (tinggal dan belajar di pesantren selama bulan
Ramadhan) di sebuah pesantren di Pamekasan. Untuk mengisi waktu kosong di sela-sela
aktivitas bulan Ramadhan, saya membaca roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, terbitan
Balai Pustaka (Jakarta). Buku itu saya pinjam dari seorang kawan. Saya terkejut ketika ternyata
kiai melarang saya membaca buku tersebut. Tidak jelas kenapa, dan tentu saya tidak bertanya.
Saya pun berhenti membaca buku itu. Dilihat dari konteks pembicaraan tulisan ini, khususnya
menyangkut dunia simbolik kaum kolonial, saya mengerti: membaca buku terbitan Balai Pustaka
itu berarti menggunakan simbol identitas kaum kolonial. Sebab, Balai Pustaka adalah penerbit
yang didirikan oleh Belanda di tahun 1917, untuk menerbitkan buku-buku sastra demi
kepentingan kolonial Belanda tentu saja (tentang bagaimana kolonialisme Belanda beroperasi
lewat buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka, lihat misalnya Maman S. Mahayana 2005: 400-
409). Di samping itu, lepas dari kritik-kritiknya terhadap kolonialisme Belanda, Marah Rusli
bekerja sebagai redaktur pada Balai Pustaka. Sekali lagi dilihat dari konteks pembicaraan tulisan
ini, maka dia dapat dipandang sebagai kolaborator kaum kolonial di tingkat nasional.