SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
A. PENDAHULUAN

       Indonesia sebagai bangsa yang besar dan luas dengan kekayaan sumber daya alam
yang melimpah ruah tersebar dari sabang sampai merauke tidak berdaya mengalami
keterpurukan yang sampai detik ini belum berubah, belum ada tanda-tanda mampu bangkit
dari keterpurukannya bahkan semakin menjadi-jadi dan menggila yang muncul bukan upaya
mencari solusi bangsa dari keterpurukan, tetapi praktek korupsi mulai bermunculan yang
dilakukan dari mulai bupati, gubernur dan para wakil rakyat yang terhormat.
        Bagaimana mau bangkit kalau korupsi semakin merajalela yang dilakukan oleh para
pemimpin birokrat dengan tega hati dan nekad melakukan korupsi besar-besaran sungguh
amat sangat keterlaluan. Indonesia sebagai negara yang mencapai ranking pertama di negara
asia dalam prestasi korupsinya, konon dibeberapa media di tulis korupsi sudah mencapai
stadium III.
       Bahaya laten korupsi semakin menggila. Tak terbantahkan lagi, korupsi benar-benar
menjadi ancaman terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Korupsi tidak lagi dipahami sebagai
kejahatan konvensional biasa, bahkan ia ingin disebut sebagai kejahatan luar biasa dan
memiliki watak jahat menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh
Baudrillard dalam bukunya The Perfect Crime (1992), kejahatan menjadi hiper ketika ia
melampaui realitas (hukum, moralitas, akal sehat dan budaya), dan terdapat watak jahat yang
berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna.
        Di berbagai diskusi dan seminar, kejahatan korupsi merupakan topik yang hampir
tidak terlewatkan mendapat komentar bahkan kritik. Mencari akar kejahatan korupsi tentu
tidak mungkin hanya dapat dijawab oleh hukum, sebab hukum hanya diberi tugas dalam
aspek normatif saja. Untuk itu, kepemimpinan nasional sangat menentukan tegak apa tidaknya
kedaulatan hukum yang mengarah pada budaya anti korupsi.
B. KORELASI ANTARA KORUPSI dengan KEKUASAAN PEMIMPIN

       Kepemimpinan nasional merupakan aspek krusial dalam menjaga kualitas sistem
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini kita arahkan pada empat pilar kebangsaan
(pancasila, UUD 45, NKRI dan bhinneka tunggal ika), maka kepemimpinan nasional sedang
mengemban tugas ideologis, yaitu melawan kekuasaan yang secara perlahan-lahan merusak
tatanan nilai-nilai kebangsaan, apalagi kalau bukan korupsi.
         Tak terbantah lagi, bila korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa menggerogoti
setiap lini kehidupan. Korupsi semakin membuat kita kelelahan dan binggung sendiri
bagaimana? dengan apa? memberantasnya. Harapan dengan hadirnya UU Anti Korupsi, KPK,
bahkan pengadilan tipikor dapat mengurangi penderitaan akibat korupsi. Ternyata fakta itu
tidak cukup, kejahatan korupsi semakin menggila, ia bagaikan angin yang dapat dirasakan
tapi sulit dilihat bahkan digenggam oleh tangan.
        Lalu, mengapa kok sangat sulit diberantas, barangkali alasannya karena korupsi
diawali oleh "kekuasaan" dan dikaburkan pula dengan "kekuasaan". Kalau kemudian Lord
Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887,
menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal "power tends to
corrupt and absolute power corrupts absolutely", hal ini menjadi jelas bahwa erat sekali
kaitannya antara korupsi dengan kekuasaan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles
itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan
sebabnya.
       Kaitannya antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang ini menjadi inti defenisi
tentang korupsi baik yang dipahami dalam masyarakat Indonesia maupun masyarakat
Internasional. Untuk itulah bila korupsi hanya dijawab dengan KPK, UU Anti Korupsi, dan
pengadilan tipikor rasanya upaya itu belumlah cukup. Jika korupsi dilakukan dengan
kekuasaan, maka harus pula dilawan dengan kekuasaan yang anti korupsi.
       Disitu menunjukkan betapa penting keteladanan pemimpin dalam menggunakan
kekuasaannya untuk memerangi kekuasaan yang korup. Pendeknya, pemberantasan korupsi
akan menjadi norma yang kosong tanpa isi, bila tidak digerakkan oleh kepemimpinan yang
mengabdi pada kedaulatan hukum.
Bilamana kita bercermin pada landasan filosofi konstitusi, bahwa bangsa ini ingin
sampai pada tujuan kemerdekaan, sejahtera, cerdas, damai, berkeadilan sosial dalam
kehidupan. Hal itu merupakan harga mati dalam menjaga martabat bangsa serta menjaga
keutuhan nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa. Jika demikian tak ada kata toleransi
terhadap kejahatan korupsi, sebab ia secara perlahan-lahan akan mengkerdilkan semangat
berbangsa dan bernegara.
        Bahkan tidak hanya itu, perilaku korupsi sebenarnya secara tidak sadar membelenggu
konstitusi yang ingin membahagiakan rakyatnya untuk merdeka, sejahtera, cerdas, damai dan
berkeadilan sosial. Lantas tidak berlebihan bila koruptor disebut sebagai penghianat
konstitusi, sebab mereka telah berupaya sepakat untuk tidak bersepakat menjalankan
kekuasaannya secara tidak konstitusional.

C. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI PEMIMPIN

         Salah satu pokok masalah korupsi yang begitu mengakar dan kronis sulit untuk
diberantas di negeri ini adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan.
Kedaulatan rakyat tidak pernah dimaknai sebagai tersedianya perangkat politik dan
mekanisme hukum bagi tiap warga negara untuk mengontrol proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, serta untuk memeriksa dan menguji integritas dan akuntabilitas
pejabat dan badan-badan publik.
         Menurut Jeremy Pope korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan
untuk kepentingan pribadi. Dalam pengertian itu korupsi adalah sebuah perilaku buruk,
penghianatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan serta penyalahgunaan kekuasaan
untuk kepentingan pribadi. Perbuatan korupsi adalah perbuatan yang dilandasi ketidakjujuran
dan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan sehingga timbul penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan yang ada padanya demi keuntungan pribadi.
         Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena justifikasi kekuasaan negara yang telah
menjadi dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada
kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah
begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif, dan proteksionis.
Sehingga tercipta kondisi, mekanisme, dan regulasi yang memungkinkan pemerintah
mengisolasi proses penyelenggaraan pemerintahan dari keterlibatan publik. Konsekuensi ini
menunjukkan hanya sedikit yang dapat diketahui publik tentang kinerja birokrasi, ihwal
lahirnya sebuah kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pejabat
pemerintah, dan lainnya.
         Transformasi dalam tatanan korupsi di tingkat elite, sering dengan terjadinya
perubahan kekuasaan politik. Di era orde baru, korupsi berpusat di istana, pembagian wilayah
dan batas-batas korupsi di kendalikan secara terpusat. Proyek-proyek lahan basah hampir
tidak mungkin lepas dari genggaman keluarga istana. Kasus korupsi dengan motif apapun
pada waktu itu tidak akan pernah mencuat, karena dapat dilegalisasi lewat keputusan Presiden
atau Menteri, bahkan Undang-undang sekalipun. Pada level ini kita dihadapkan oleh rezim
otoriter yang berlindung atas justifikasi kekuasaan terhadap frekuensi abause of power
(penyalahgunaan kekuasaan).
         Mengapa dan faktor apa yang mendorong orang melakukan praktik korupsi? Tidak
mudah memang untuk menjawab pertanyaan itu dengan satu atau dua kata argumen, karena
masalah ini menyangkut berbagai dimensi kehidupan bangsa, baik ekonomi, politik, sosial,
budaya dan sebagainya. Namun, praktik korupsi antara lain didorong oleh rendahnya indeks
kesejahteraan gaji pegawai negeri, walaupun prihal kesejahteraan sudah dapat dibantah
dengan kasus korupsi Gayus pegawai pajak negara. Pendapatan gaji yang tidak memadai
untuk memenuhi kebutuhan dasar, dapat menjadi faktor keterpaksaan yang mendorong
seseorang melakukan perbuatan korupsi.
         Kemampuan ekonomi yang sangat terbatas, sementara kebutuhan hidup semakin
meningkat telah mendorong sebagian pejabat publik untuk menambah income dengan
memanfaatkan berbagai peluang yang ada disekitar tempat mereka bertugas, baik secara
sendirian maupun bersama-sama. Motifnya pun beragam, ada yang melakukannya dengan
memanipulasi nota pembelian, dan ada pula yang memanfaatkan jabatan mereka dengan
melakukan pungutan liar dan sebagainya. Praktik seperti inilah yang memunculkan berbagai
istilah baru dalam masyarakat, seperti uang pengganti kertas, uang rokok, uang kopi, ongkos
administrasi dan sebagainya.
         Tentu tidak semua pejabat publik terlibat dalam praktik seperti itu. Selain peluang
yang serba terbatas, mungkin juga karena nilai-nilai moral dasar yang mereka miliki begitu
kokoh dan tidak mudah goyah dengan godaan kehidupan. Artinya pada sudut pandang ini,
faktor moral juga mendasari kecenderungan manusia untuk berkelakuan baik atau
menyimpang.
         Pada dasarnya cukup tidaknya gaji atau penghasilan pegawai negeri tentu sangat
relatif dalam pandangan tertentu, bahkan sering tidak mudah untuk menentukan nilai
kesejahteraan di tiap-tiap level kepegawaian. Mungkin dalam ukuran umum yang berlaku,
dengan jumlah gaji tertentu, sudah dipandang cukup untuk hidup secara wajar. Namun, dalam
keadaan yang lain mungkin saja gaji dengan jumlah yang sama dianggap kurang memadai.
Dalam kondisi yang demikian, tampaknya faktor mentalitas menjadi penentu, yang
berlandaskan pada sifat tamak/keserakahan.
         Terlepas dari berbagai pandangan diatas, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah
penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi,
disebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik,
(2) faktor hukum, dan (3) faktor ekonomi dan birokratik
         Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi karena
banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Edmund
Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang
sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu
Ahmad Attory Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada
berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli suara, menyogok
calon-calon pemilih atau anggota-anggota partai supaya memenangkan si pemberi uang.
         Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering muncul karena
undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Bahkan, dalam
praktik, tidak jarang peserta pemilihan umum membeli suara pemilih. Untuk pemilihan kepala
daerah, misalnya, disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk
mendapatkan dukungan partai politik.
         Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyebab terjadinya korupsi.
Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertayaan: mengapa begitu sulit
mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus di Indonesia, misalnya, banyak kalangan
berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya
aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi. Sebut
saja formulasi sanksi pidana mati dan pembebanan pembuktian terbalik bagi koruptor tak
lebih hanya menjadi asesoris UU Anti Korupsi. Sebab sedari awal formulasi pasal tersebut
sudah dibuat tidak imperatif penerapannya.
         Belum lagi keberadaan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan
Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi lorong
gelap dalam upaya pemberantasan korupsi. UU Pemda khusus pada Pasal 36, merupakan
celah untuk mengisolasi kekuasaan dari sentuhan hukum. Bagamaina tidak, dengan hadirnya
Pasal 36 tersebut membuat kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat perlakuan khusus
ketika ia terduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebab untuk dimulainya proses
penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi wajib mendapat izin atau persetujuan dari
Presiden. Walaupun aturan tersebut tidak berlaku bagi KPK, hanya mengikat pada Jaksa dan
Polisi sebagai penyidik tindak pidana korupsi.
         Ijin Presiden akan sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Secara norma,
ketentuan dalam Pasal 36 UU Pemda tersebut memiliki prosedur izin yang berlapis.
Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan
sederhana sulit terwujud. Pendapat tersebut pernah terlontar ketika pihak Litbang Kejaksaan
Agung meminta penulis untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian terkait Pasal 36
tersebut. Pihak kejaksaan merasa dihambat dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan
adanya prosedur izin ke Presiden ketika ada pihak kepala daerah/wakil kepala daerah
terindikasi melakukan korupsi. Dalam konteks itu, hukum belum sepenuhnya mereformasi
dirinya dalam mempersiapkan melawan kekuasaan yang korup. Bahkan hukum yang
diharapkan dapat sebagai palu pengadil terhadap pelaku-pelaku koruptif, justru menjadi
bagian yang membuat penegakan korupsi semakin jalan di tempat. Tak sedikit contoh, hakim,
jaksa dan polisi ikut mencicipi uang kotor dari para koruptor. Dalam level itu sering disebut
dengan korupsi penegakan hukum.
         Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin tumbuh subur di
negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Kekuasaan
negara, digabungkan dengan informasi orang dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan
bagi para pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau
kepentingan para sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan
faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi pemerintah
dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif,
 transparan, dan bertanggung jawab.
        Beberapa faktor diatas merupakan hukum sebab akibat lahirnya perilaku koruptif. Bila
 sudah demikian, maka menghadapinya tidak bisa dengan cara-cara yang sekedar obral janji
 atau memberikan harapan palsu anti korupsi kepada rakyat. Bangsa ini memerlukan
 pemimpin yang tidak peragu dalam mengambil keputusan memerangi korupsi. Sebab KPK
 dan UU Anti Korupsi akan semakin kuat, bila ia di kawal oleh kepemimpinan yang kokoh
 untuk melawan korupsi. Sebab, kekuasaan yang korup hanya bisa dilawan oleh
 kepemimpinan yang anti korupsi.

D. MEMIMPIN DENGAN KONSTITUSI

         UUD 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum
 tertinggi. Oleh karena itu kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi harus dilaksanakan sesuai
 dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan
 ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Kedaulatan berada di tangan rakyat
 dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."

         Dasar keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia adalah
 kesepa¬katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas rakyat mengenai
 bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh
 warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
 dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata
 kunci¬nya adalah konsensus yang kemudian diwujudkan dalam konstitusi dapat dipahami
 substansinya melalui kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of
 society or general acceptance of the same philosophy of government).

        Kesepakatan (consensus) tersebut berkenaan de¬ngan cita-cita bersama sangat
 menentukan tegaknya konsti¬tusi dan konsti¬tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita
 bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung¬kin mencerminkan kesamaan-
 kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus
 hidup di tengah pluralisme atau kema¬jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk
 menjamin ke¬ber¬samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe¬rumusan
 tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju¬ga disebut sebagai falsafah
 kenegaraan.

        Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut
 sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau
 mewu¬judkan empat tujuan bernegara sebagaimana menjadi bagian dari UUD 1945 pada
 bagian Pembukaan. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke-
 Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia,
 (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
 Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

        Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan
 empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia
 dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum, (ii)
 mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
 kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Tujuan atau cita-cita bernegara
 dan dasar-dasar negara tersebut dijabarkan secara operasional dalam ketentuan-ketentuan
 UUD 1945.

         Hambatan terbesar dalam mencapai tujuan dan cita-cita bernegara dalam konteks
 kekinian dikarenakan oleh kejahatan korupsi. Perjuangan untuk sejahtera, sehat, damai,
 cerdas, adil dan makmur menjadi semu bila kepemimpinan mengabdi pada kekuasaan yang
 korup. Maka tak ada tawar-menawar, kepemimpinan nasional penting untuk selalu berpijak
 pada kesepakatan luhur dan cita-cita serta tujuan kita bernegara berdasarkan konstitusi.

         Oleh karena itu, upaya mewujudkan kepemimpinan nasional anti korupsi,
 sesungguhnya adalah upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan cara
 menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya
 telah digariskan dalam konstitusi dan juga UU Anti Korupsi.
Dalam fungsinya yang demikian, konstitusi dapat disebut sebagai sumber kekuasaan
  yang harus dipatuhi. Dengan demikian memimpin dengan konstitusi, sama halnya sedang
  menyelamatkan bangsa ini dari kubangan patologi korupsi akut. Sebab konstitusi secara
  ideologis dan subtantif memiliki tujuan dan cita-cita yang luhur dan mulia.

          Konsep kepemimpinan anti korupsi dalam hal ini tidak harus dimaknai sebagai figur
  personal, tetapi lebih pada sesuatu yang memberikan pedoman dan keteladanan bagi
  rakyatnya. Karena konstitusi tidak pernah mengajarkan untuk berfikir dan berjuang sendiri.
  Lebih dari itu, untuk melawan kekuasaan yang korup mesti melibatkan partisipasi masyarakat.
  Paling tidak hal itu harus dimulai dari pemimpin tertinggi negara ini, tidak saja tajam dalam
  kata "anti korupsi", tapi juga perlu langkah nyata melawan korupsi.

E. PENUTUP

          Bila kita dapat memahami makna korupsi diawali dari pintu kekuasaan, maka
  mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas politik kekuasaan negara. Sebab negara tak
  mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Sejatinya jalan
  pintas atas perilaku koruptor di era reformasi ini dapat ditebus dengan kemauan politik
  negara. Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa ini dapat dikelola dengan baik melalui
  kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan presepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif
  dan yudikatif untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada koruptor. Bahkan merubah
  dan merivisi segala kemungkinan aturan hukum yang menghambat upaya pemberantasan
  korupsi.

         Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan
  mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil
  memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar
  menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol
  perlawanan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali menjatuhkan vonis mati kepada pelaku
  korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat
  menjadi bagian politik hukum bangsa ini.

          Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui
  pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi sosial dengan mengasingkan mereka dari interaksi
  fisik. Sanksi sosial semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari para pejabat atau pemimpin
  di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistik: meniru apa yang
  dilakukan petinggi.

         Barangkali sanksi yang sangat berat akan secara perlahan menghentikan perbuatan
  korupsi seperti apa yang sering menjadi tontonan publik akhir-akhir ini. Disamping itu pula,
  perlu adanya kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh melawan kekuasaan yang korup
  dengan kekuasaan yang berpijak pada konstitusi dan hukum. Tentu harapan itu hanya bisa
  disandarkan pada kepemimpinan nasional yang anti korupsi. Bila itu dapat dilakukan, mereka
  sedang menyelamatkan bangsa ini.

More Related Content

What's hot

Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)
Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)
Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)Tajdidatul Khiyaroh
 
Etika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikEtika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikSiti Sahati
 
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsiBab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsinatal kristiono
 
Contoh kasus dalam perusahaan
Contoh kasus dalam perusahaanContoh kasus dalam perusahaan
Contoh kasus dalam perusahaanPutrii Wiidya
 
(Presentasi) Strategi Bisnis
(Presentasi) Strategi Bisnis(Presentasi) Strategi Bisnis
(Presentasi) Strategi BisnisNoor Adn
 
(ppt) company profile PT ULTRAJAYA
(ppt) company profile PT ULTRAJAYA(ppt) company profile PT ULTRAJAYA
(ppt) company profile PT ULTRAJAYAPutri Sanuria
 
Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...
Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...
Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...IdhamMaulanaOktora1
 
BISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadun
BISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadunBISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadun
BISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadunMOSES HADUN
 
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantenAnalisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantennurfitriyah1712
 
Parfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis Makalah
Parfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis MakalahParfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis Makalah
Parfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis MakalahM Abdul Aziz
 
Instrumen evaluasi kinerja
Instrumen evaluasi kinerjaInstrumen evaluasi kinerja
Instrumen evaluasi kinerjaArief Anzarullah
 
Presentasi business plan (popeye crispy)
Presentasi business plan (popeye crispy)Presentasi business plan (popeye crispy)
Presentasi business plan (popeye crispy)Ria Vinola
 
Masalah dan Tantangan MSDM
Masalah dan Tantangan MSDMMasalah dan Tantangan MSDM
Masalah dan Tantangan MSDMReza Aprianti
 

What's hot (20)

Masyarakat digital dan era bisnis digital
Masyarakat digital dan era bisnis digitalMasyarakat digital dan era bisnis digital
Masyarakat digital dan era bisnis digital
 
Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)
Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)
Rapat Bisnis Lengkap - Komunikasi Bisnis (4EA21 Kelompok 4)
 
Etika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikEtika Administrasi Publik
Etika Administrasi Publik
 
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsiBab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsi
 
Contoh kasus dalam perusahaan
Contoh kasus dalam perusahaanContoh kasus dalam perusahaan
Contoh kasus dalam perusahaan
 
Pengembangan UMKM
Pengembangan UMKM  Pengembangan UMKM
Pengembangan UMKM
 
(Presentasi) Strategi Bisnis
(Presentasi) Strategi Bisnis(Presentasi) Strategi Bisnis
(Presentasi) Strategi Bisnis
 
(ppt) company profile PT ULTRAJAYA
(ppt) company profile PT ULTRAJAYA(ppt) company profile PT ULTRAJAYA
(ppt) company profile PT ULTRAJAYA
 
Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...
Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...
Sistem Informasi Manajemen Perusahaan E-Commerce Studi Kasus pada: Shopee Ind...
 
BISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadun
BISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadunBISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadun
BISNIS PLAN Tugas kewirausahaan moses hadun
 
Etika Bisnis
Etika BisnisEtika Bisnis
Etika Bisnis
 
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantenAnalisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
 
Parfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis Makalah
Parfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis MakalahParfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis Makalah
Parfum Isi Ulang “Reiffell Parfume” - Pengantar Bisnis Makalah
 
Manajemen Dana Bank
Manajemen Dana BankManajemen Dana Bank
Manajemen Dana Bank
 
Instrumen evaluasi kinerja
Instrumen evaluasi kinerjaInstrumen evaluasi kinerja
Instrumen evaluasi kinerja
 
Kualitas informasi
Kualitas informasiKualitas informasi
Kualitas informasi
 
Presentasi business plan (popeye crispy)
Presentasi business plan (popeye crispy)Presentasi business plan (popeye crispy)
Presentasi business plan (popeye crispy)
 
Masalah dan Tantangan MSDM
Masalah dan Tantangan MSDMMasalah dan Tantangan MSDM
Masalah dan Tantangan MSDM
 
Business plan saleh pisang
Business plan saleh pisangBusiness plan saleh pisang
Business plan saleh pisang
 
Aspek sdm ppt
Aspek sdm pptAspek sdm ppt
Aspek sdm ppt
 

Similar to KORUPSI PEMIMPIN

12 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 4112 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 41fahmialzie
 
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaPresentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaARY SETIADI
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasnetieli
 
Pancasila integitas antikorupsi
Pancasila integitas antikorupsiPancasila integitas antikorupsi
Pancasila integitas antikorupsierza m
 
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...Rudy Harland
 
Makalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraanMakalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraanjellysihite
 
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-daTito Mizteriuz
 
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja kerasMakalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja kerasDebyNurulSyafda
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiYuni Sist
 
Ciri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan Sosiologis
Ciri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan SosiologisCiri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan Sosiologis
Ciri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan SosiologisSatrio Arismunandar
 
Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6
Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6
Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6heninur2
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaBunda Violyn
 
Negara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorNegara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorRosim Nyerupa
 
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRKORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRZaitun Hakimiah NS
 

Similar to KORUPSI PEMIMPIN (20)

12 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 4112 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 41
 
Panca no 1
Panca no 1Panca no 1
Panca no 1
 
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaPresentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uas
 
Pancasila integitas antikorupsi
Pancasila integitas antikorupsiPancasila integitas antikorupsi
Pancasila integitas antikorupsi
 
Bab i,234
Bab i,234Bab i,234
Bab i,234
 
Korups
KorupsKorups
Korups
 
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
 
Makalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraanMakalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraan
 
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
 
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSILANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
 
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja kerasMakalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja keras
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
 
Ciri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan Sosiologis
Ciri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan SosiologisCiri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan Sosiologis
Ciri-ciri, Tipologi, Jenis-jenis Korupsi, Pendekatan Sosiologis
 
Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6
Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6
Analisis korupsi pengadaan al quran 2011-2012 klmpk 6
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesia
 
Ppkn artikel ii
Ppkn artikel iiPpkn artikel ii
Ppkn artikel ii
 
Negara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorNegara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptor
 
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRKORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
 
1
11
1
 

KORUPSI PEMIMPIN

  • 1. A. PENDAHULUAN Indonesia sebagai bangsa yang besar dan luas dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah tersebar dari sabang sampai merauke tidak berdaya mengalami keterpurukan yang sampai detik ini belum berubah, belum ada tanda-tanda mampu bangkit dari keterpurukannya bahkan semakin menjadi-jadi dan menggila yang muncul bukan upaya mencari solusi bangsa dari keterpurukan, tetapi praktek korupsi mulai bermunculan yang dilakukan dari mulai bupati, gubernur dan para wakil rakyat yang terhormat. Bagaimana mau bangkit kalau korupsi semakin merajalela yang dilakukan oleh para pemimpin birokrat dengan tega hati dan nekad melakukan korupsi besar-besaran sungguh amat sangat keterlaluan. Indonesia sebagai negara yang mencapai ranking pertama di negara asia dalam prestasi korupsinya, konon dibeberapa media di tulis korupsi sudah mencapai stadium III. Bahaya laten korupsi semakin menggila. Tak terbantahkan lagi, korupsi benar-benar menjadi ancaman terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Korupsi tidak lagi dipahami sebagai kejahatan konvensional biasa, bahkan ia ingin disebut sebagai kejahatan luar biasa dan memiliki watak jahat menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Baudrillard dalam bukunya The Perfect Crime (1992), kejahatan menjadi hiper ketika ia melampaui realitas (hukum, moralitas, akal sehat dan budaya), dan terdapat watak jahat yang berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna. Di berbagai diskusi dan seminar, kejahatan korupsi merupakan topik yang hampir tidak terlewatkan mendapat komentar bahkan kritik. Mencari akar kejahatan korupsi tentu tidak mungkin hanya dapat dijawab oleh hukum, sebab hukum hanya diberi tugas dalam aspek normatif saja. Untuk itu, kepemimpinan nasional sangat menentukan tegak apa tidaknya kedaulatan hukum yang mengarah pada budaya anti korupsi. B. KORELASI ANTARA KORUPSI dengan KEKUASAAN PEMIMPIN Kepemimpinan nasional merupakan aspek krusial dalam menjaga kualitas sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini kita arahkan pada empat pilar kebangsaan (pancasila, UUD 45, NKRI dan bhinneka tunggal ika), maka kepemimpinan nasional sedang mengemban tugas ideologis, yaitu melawan kekuasaan yang secara perlahan-lahan merusak tatanan nilai-nilai kebangsaan, apalagi kalau bukan korupsi. Tak terbantah lagi, bila korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa menggerogoti setiap lini kehidupan. Korupsi semakin membuat kita kelelahan dan binggung sendiri bagaimana? dengan apa? memberantasnya. Harapan dengan hadirnya UU Anti Korupsi, KPK, bahkan pengadilan tipikor dapat mengurangi penderitaan akibat korupsi. Ternyata fakta itu tidak cukup, kejahatan korupsi semakin menggila, ia bagaikan angin yang dapat dirasakan tapi sulit dilihat bahkan digenggam oleh tangan. Lalu, mengapa kok sangat sulit diberantas, barangkali alasannya karena korupsi diawali oleh "kekuasaan" dan dikaburkan pula dengan "kekuasaan". Kalau kemudian Lord Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887, menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", hal ini menjadi jelas bahwa erat sekali kaitannya antara korupsi dengan kekuasaan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan sebabnya. Kaitannya antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang ini menjadi inti defenisi tentang korupsi baik yang dipahami dalam masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional. Untuk itulah bila korupsi hanya dijawab dengan KPK, UU Anti Korupsi, dan pengadilan tipikor rasanya upaya itu belumlah cukup. Jika korupsi dilakukan dengan kekuasaan, maka harus pula dilawan dengan kekuasaan yang anti korupsi. Disitu menunjukkan betapa penting keteladanan pemimpin dalam menggunakan kekuasaannya untuk memerangi kekuasaan yang korup. Pendeknya, pemberantasan korupsi akan menjadi norma yang kosong tanpa isi, bila tidak digerakkan oleh kepemimpinan yang mengabdi pada kedaulatan hukum.
  • 2. Bilamana kita bercermin pada landasan filosofi konstitusi, bahwa bangsa ini ingin sampai pada tujuan kemerdekaan, sejahtera, cerdas, damai, berkeadilan sosial dalam kehidupan. Hal itu merupakan harga mati dalam menjaga martabat bangsa serta menjaga keutuhan nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa. Jika demikian tak ada kata toleransi terhadap kejahatan korupsi, sebab ia secara perlahan-lahan akan mengkerdilkan semangat berbangsa dan bernegara. Bahkan tidak hanya itu, perilaku korupsi sebenarnya secara tidak sadar membelenggu konstitusi yang ingin membahagiakan rakyatnya untuk merdeka, sejahtera, cerdas, damai dan berkeadilan sosial. Lantas tidak berlebihan bila koruptor disebut sebagai penghianat konstitusi, sebab mereka telah berupaya sepakat untuk tidak bersepakat menjalankan kekuasaannya secara tidak konstitusional. C. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI PEMIMPIN Salah satu pokok masalah korupsi yang begitu mengakar dan kronis sulit untuk diberantas di negeri ini adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan rakyat tidak pernah dimaknai sebagai tersedianya perangkat politik dan mekanisme hukum bagi tiap warga negara untuk mengontrol proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta untuk memeriksa dan menguji integritas dan akuntabilitas pejabat dan badan-badan publik. Menurut Jeremy Pope korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Dalam pengertian itu korupsi adalah sebuah perilaku buruk, penghianatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan serta penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Perbuatan korupsi adalah perbuatan yang dilandasi ketidakjujuran dan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan sehingga timbul penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang ada padanya demi keuntungan pribadi. Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena justifikasi kekuasaan negara yang telah menjadi dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif, dan proteksionis. Sehingga tercipta kondisi, mekanisme, dan regulasi yang memungkinkan pemerintah mengisolasi proses penyelenggaraan pemerintahan dari keterlibatan publik. Konsekuensi ini menunjukkan hanya sedikit yang dapat diketahui publik tentang kinerja birokrasi, ihwal lahirnya sebuah kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pejabat pemerintah, dan lainnya. Transformasi dalam tatanan korupsi di tingkat elite, sering dengan terjadinya perubahan kekuasaan politik. Di era orde baru, korupsi berpusat di istana, pembagian wilayah dan batas-batas korupsi di kendalikan secara terpusat. Proyek-proyek lahan basah hampir tidak mungkin lepas dari genggaman keluarga istana. Kasus korupsi dengan motif apapun pada waktu itu tidak akan pernah mencuat, karena dapat dilegalisasi lewat keputusan Presiden atau Menteri, bahkan Undang-undang sekalipun. Pada level ini kita dihadapkan oleh rezim otoriter yang berlindung atas justifikasi kekuasaan terhadap frekuensi abause of power (penyalahgunaan kekuasaan). Mengapa dan faktor apa yang mendorong orang melakukan praktik korupsi? Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan itu dengan satu atau dua kata argumen, karena masalah ini menyangkut berbagai dimensi kehidupan bangsa, baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Namun, praktik korupsi antara lain didorong oleh rendahnya indeks kesejahteraan gaji pegawai negeri, walaupun prihal kesejahteraan sudah dapat dibantah dengan kasus korupsi Gayus pegawai pajak negara. Pendapatan gaji yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar, dapat menjadi faktor keterpaksaan yang mendorong seseorang melakukan perbuatan korupsi. Kemampuan ekonomi yang sangat terbatas, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat telah mendorong sebagian pejabat publik untuk menambah income dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada disekitar tempat mereka bertugas, baik secara sendirian maupun bersama-sama. Motifnya pun beragam, ada yang melakukannya dengan memanipulasi nota pembelian, dan ada pula yang memanfaatkan jabatan mereka dengan melakukan pungutan liar dan sebagainya. Praktik seperti inilah yang memunculkan berbagai istilah baru dalam masyarakat, seperti uang pengganti kertas, uang rokok, uang kopi, ongkos administrasi dan sebagainya. Tentu tidak semua pejabat publik terlibat dalam praktik seperti itu. Selain peluang yang serba terbatas, mungkin juga karena nilai-nilai moral dasar yang mereka miliki begitu kokoh dan tidak mudah goyah dengan godaan kehidupan. Artinya pada sudut pandang ini,
  • 3. faktor moral juga mendasari kecenderungan manusia untuk berkelakuan baik atau menyimpang. Pada dasarnya cukup tidaknya gaji atau penghasilan pegawai negeri tentu sangat relatif dalam pandangan tertentu, bahkan sering tidak mudah untuk menentukan nilai kesejahteraan di tiap-tiap level kepegawaian. Mungkin dalam ukuran umum yang berlaku, dengan jumlah gaji tertentu, sudah dipandang cukup untuk hidup secara wajar. Namun, dalam keadaan yang lain mungkin saja gaji dengan jumlah yang sama dianggap kurang memadai. Dalam kondisi yang demikian, tampaknya faktor mentalitas menjadi penentu, yang berlandaskan pada sifat tamak/keserakahan. Terlepas dari berbagai pandangan diatas, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, disebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, dan (3) faktor ekonomi dan birokratik Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Edmund Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu Ahmad Attory Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli suara, menyogok calon-calon pemilih atau anggota-anggota partai supaya memenangkan si pemberi uang. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Bahkan, dalam praktik, tidak jarang peserta pemilihan umum membeli suara pemilih. Untuk pemilihan kepala daerah, misalnya, disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk mendapatkan dukungan partai politik. Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyebab terjadinya korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertayaan: mengapa begitu sulit mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus di Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi. Sebut saja formulasi sanksi pidana mati dan pembebanan pembuktian terbalik bagi koruptor tak lebih hanya menjadi asesoris UU Anti Korupsi. Sebab sedari awal formulasi pasal tersebut sudah dibuat tidak imperatif penerapannya. Belum lagi keberadaan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi lorong gelap dalam upaya pemberantasan korupsi. UU Pemda khusus pada Pasal 36, merupakan celah untuk mengisolasi kekuasaan dari sentuhan hukum. Bagamaina tidak, dengan hadirnya Pasal 36 tersebut membuat kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat perlakuan khusus ketika ia terduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebab untuk dimulainya proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi wajib mendapat izin atau persetujuan dari Presiden. Walaupun aturan tersebut tidak berlaku bagi KPK, hanya mengikat pada Jaksa dan Polisi sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Ijin Presiden akan sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Secara norma, ketentuan dalam Pasal 36 UU Pemda tersebut memiliki prosedur izin yang berlapis. Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan sederhana sulit terwujud. Pendapat tersebut pernah terlontar ketika pihak Litbang Kejaksaan Agung meminta penulis untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian terkait Pasal 36 tersebut. Pihak kejaksaan merasa dihambat dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan adanya prosedur izin ke Presiden ketika ada pihak kepala daerah/wakil kepala daerah terindikasi melakukan korupsi. Dalam konteks itu, hukum belum sepenuhnya mereformasi dirinya dalam mempersiapkan melawan kekuasaan yang korup. Bahkan hukum yang diharapkan dapat sebagai palu pengadil terhadap pelaku-pelaku koruptif, justru menjadi bagian yang membuat penegakan korupsi semakin jalan di tempat. Tak sedikit contoh, hakim, jaksa dan polisi ikut mencicipi uang kotor dari para koruptor. Dalam level itu sering disebut dengan korupsi penegakan hukum. Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin tumbuh subur di negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Kekuasaan negara, digabungkan dengan informasi orang dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan bagi para pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau kepentingan para sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi pemerintah
  • 4. dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab. Beberapa faktor diatas merupakan hukum sebab akibat lahirnya perilaku koruptif. Bila sudah demikian, maka menghadapinya tidak bisa dengan cara-cara yang sekedar obral janji atau memberikan harapan palsu anti korupsi kepada rakyat. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang tidak peragu dalam mengambil keputusan memerangi korupsi. Sebab KPK dan UU Anti Korupsi akan semakin kuat, bila ia di kawal oleh kepemimpinan yang kokoh untuk melawan korupsi. Sebab, kekuasaan yang korup hanya bisa dilawan oleh kepemimpinan yang anti korupsi. D. MEMIMPIN DENGAN KONSTITUSI UUD 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Dasar keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia adalah kesepa¬katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci¬nya adalah konsensus yang kemudian diwujudkan dalam konstitusi dapat dipahami substansinya melalui kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). Kesepakatan (consensus) tersebut berkenaan de¬ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti¬tusi dan konsti¬tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung¬kin mencerminkan kesamaan- kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema¬jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke¬ber¬samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe¬rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju¬ga disebut sebagai falsafah kenegaraan. Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara sebagaimana menjadi bagian dari UUD 1945 pada bagian Pembukaan. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke- Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum, (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Tujuan atau cita-cita bernegara dan dasar-dasar negara tersebut dijabarkan secara operasional dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945. Hambatan terbesar dalam mencapai tujuan dan cita-cita bernegara dalam konteks kekinian dikarenakan oleh kejahatan korupsi. Perjuangan untuk sejahtera, sehat, damai, cerdas, adil dan makmur menjadi semu bila kepemimpinan mengabdi pada kekuasaan yang korup. Maka tak ada tawar-menawar, kepemimpinan nasional penting untuk selalu berpijak pada kesepakatan luhur dan cita-cita serta tujuan kita bernegara berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu, upaya mewujudkan kepemimpinan nasional anti korupsi, sesungguhnya adalah upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya telah digariskan dalam konstitusi dan juga UU Anti Korupsi.
  • 5. Dalam fungsinya yang demikian, konstitusi dapat disebut sebagai sumber kekuasaan yang harus dipatuhi. Dengan demikian memimpin dengan konstitusi, sama halnya sedang menyelamatkan bangsa ini dari kubangan patologi korupsi akut. Sebab konstitusi secara ideologis dan subtantif memiliki tujuan dan cita-cita yang luhur dan mulia. Konsep kepemimpinan anti korupsi dalam hal ini tidak harus dimaknai sebagai figur personal, tetapi lebih pada sesuatu yang memberikan pedoman dan keteladanan bagi rakyatnya. Karena konstitusi tidak pernah mengajarkan untuk berfikir dan berjuang sendiri. Lebih dari itu, untuk melawan kekuasaan yang korup mesti melibatkan partisipasi masyarakat. Paling tidak hal itu harus dimulai dari pemimpin tertinggi negara ini, tidak saja tajam dalam kata "anti korupsi", tapi juga perlu langkah nyata melawan korupsi. E. PENUTUP Bila kita dapat memahami makna korupsi diawali dari pintu kekuasaan, maka mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas politik kekuasaan negara. Sebab negara tak mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Sejatinya jalan pintas atas perilaku koruptor di era reformasi ini dapat ditebus dengan kemauan politik negara. Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa ini dapat dikelola dengan baik melalui kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan presepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada koruptor. Bahkan merubah dan merivisi segala kemungkinan aturan hukum yang menghambat upaya pemberantasan korupsi. Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol perlawanan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali menjatuhkan vonis mati kepada pelaku korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat menjadi bagian politik hukum bangsa ini. Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi sosial dengan mengasingkan mereka dari interaksi fisik. Sanksi sosial semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari para pejabat atau pemimpin di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistik: meniru apa yang dilakukan petinggi. Barangkali sanksi yang sangat berat akan secara perlahan menghentikan perbuatan korupsi seperti apa yang sering menjadi tontonan publik akhir-akhir ini. Disamping itu pula, perlu adanya kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh melawan kekuasaan yang korup dengan kekuasaan yang berpijak pada konstitusi dan hukum. Tentu harapan itu hanya bisa disandarkan pada kepemimpinan nasional yang anti korupsi. Bila itu dapat dilakukan, mereka sedang menyelamatkan bangsa ini.