Tiga faktor utama yang mendorong terjadinya korupsi oleh para pemimpin yaitu faktor politik seperti money politics, faktor hukum seperti aturan yang tidak jelas dan memihak pelaku korupsi, serta faktor ekonomi seperti pendapatan yang tidak memadai. Korupsi sulit diberantas karena eratnya kaitan antara korupsi dan kekuasaan.
1. A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai bangsa yang besar dan luas dengan kekayaan sumber daya alam
yang melimpah ruah tersebar dari sabang sampai merauke tidak berdaya mengalami
keterpurukan yang sampai detik ini belum berubah, belum ada tanda-tanda mampu bangkit
dari keterpurukannya bahkan semakin menjadi-jadi dan menggila yang muncul bukan upaya
mencari solusi bangsa dari keterpurukan, tetapi praktek korupsi mulai bermunculan yang
dilakukan dari mulai bupati, gubernur dan para wakil rakyat yang terhormat.
Bagaimana mau bangkit kalau korupsi semakin merajalela yang dilakukan oleh para
pemimpin birokrat dengan tega hati dan nekad melakukan korupsi besar-besaran sungguh
amat sangat keterlaluan. Indonesia sebagai negara yang mencapai ranking pertama di negara
asia dalam prestasi korupsinya, konon dibeberapa media di tulis korupsi sudah mencapai
stadium III.
Bahaya laten korupsi semakin menggila. Tak terbantahkan lagi, korupsi benar-benar
menjadi ancaman terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Korupsi tidak lagi dipahami sebagai
kejahatan konvensional biasa, bahkan ia ingin disebut sebagai kejahatan luar biasa dan
memiliki watak jahat menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh
Baudrillard dalam bukunya The Perfect Crime (1992), kejahatan menjadi hiper ketika ia
melampaui realitas (hukum, moralitas, akal sehat dan budaya), dan terdapat watak jahat yang
berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna.
Di berbagai diskusi dan seminar, kejahatan korupsi merupakan topik yang hampir
tidak terlewatkan mendapat komentar bahkan kritik. Mencari akar kejahatan korupsi tentu
tidak mungkin hanya dapat dijawab oleh hukum, sebab hukum hanya diberi tugas dalam
aspek normatif saja. Untuk itu, kepemimpinan nasional sangat menentukan tegak apa tidaknya
kedaulatan hukum yang mengarah pada budaya anti korupsi.
B. KORELASI ANTARA KORUPSI dengan KEKUASAAN PEMIMPIN
Kepemimpinan nasional merupakan aspek krusial dalam menjaga kualitas sistem
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini kita arahkan pada empat pilar kebangsaan
(pancasila, UUD 45, NKRI dan bhinneka tunggal ika), maka kepemimpinan nasional sedang
mengemban tugas ideologis, yaitu melawan kekuasaan yang secara perlahan-lahan merusak
tatanan nilai-nilai kebangsaan, apalagi kalau bukan korupsi.
Tak terbantah lagi, bila korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa menggerogoti
setiap lini kehidupan. Korupsi semakin membuat kita kelelahan dan binggung sendiri
bagaimana? dengan apa? memberantasnya. Harapan dengan hadirnya UU Anti Korupsi, KPK,
bahkan pengadilan tipikor dapat mengurangi penderitaan akibat korupsi. Ternyata fakta itu
tidak cukup, kejahatan korupsi semakin menggila, ia bagaikan angin yang dapat dirasakan
tapi sulit dilihat bahkan digenggam oleh tangan.
Lalu, mengapa kok sangat sulit diberantas, barangkali alasannya karena korupsi
diawali oleh "kekuasaan" dan dikaburkan pula dengan "kekuasaan". Kalau kemudian Lord
Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887,
menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal "power tends to
corrupt and absolute power corrupts absolutely", hal ini menjadi jelas bahwa erat sekali
kaitannya antara korupsi dengan kekuasaan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles
itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan
sebabnya.
Kaitannya antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang ini menjadi inti defenisi
tentang korupsi baik yang dipahami dalam masyarakat Indonesia maupun masyarakat
Internasional. Untuk itulah bila korupsi hanya dijawab dengan KPK, UU Anti Korupsi, dan
pengadilan tipikor rasanya upaya itu belumlah cukup. Jika korupsi dilakukan dengan
kekuasaan, maka harus pula dilawan dengan kekuasaan yang anti korupsi.
Disitu menunjukkan betapa penting keteladanan pemimpin dalam menggunakan
kekuasaannya untuk memerangi kekuasaan yang korup. Pendeknya, pemberantasan korupsi
akan menjadi norma yang kosong tanpa isi, bila tidak digerakkan oleh kepemimpinan yang
mengabdi pada kedaulatan hukum.
2. Bilamana kita bercermin pada landasan filosofi konstitusi, bahwa bangsa ini ingin
sampai pada tujuan kemerdekaan, sejahtera, cerdas, damai, berkeadilan sosial dalam
kehidupan. Hal itu merupakan harga mati dalam menjaga martabat bangsa serta menjaga
keutuhan nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa. Jika demikian tak ada kata toleransi
terhadap kejahatan korupsi, sebab ia secara perlahan-lahan akan mengkerdilkan semangat
berbangsa dan bernegara.
Bahkan tidak hanya itu, perilaku korupsi sebenarnya secara tidak sadar membelenggu
konstitusi yang ingin membahagiakan rakyatnya untuk merdeka, sejahtera, cerdas, damai dan
berkeadilan sosial. Lantas tidak berlebihan bila koruptor disebut sebagai penghianat
konstitusi, sebab mereka telah berupaya sepakat untuk tidak bersepakat menjalankan
kekuasaannya secara tidak konstitusional.
C. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI PEMIMPIN
Salah satu pokok masalah korupsi yang begitu mengakar dan kronis sulit untuk
diberantas di negeri ini adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan.
Kedaulatan rakyat tidak pernah dimaknai sebagai tersedianya perangkat politik dan
mekanisme hukum bagi tiap warga negara untuk mengontrol proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, serta untuk memeriksa dan menguji integritas dan akuntabilitas
pejabat dan badan-badan publik.
Menurut Jeremy Pope korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan
untuk kepentingan pribadi. Dalam pengertian itu korupsi adalah sebuah perilaku buruk,
penghianatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan serta penyalahgunaan kekuasaan
untuk kepentingan pribadi. Perbuatan korupsi adalah perbuatan yang dilandasi ketidakjujuran
dan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan sehingga timbul penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan yang ada padanya demi keuntungan pribadi.
Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena justifikasi kekuasaan negara yang telah
menjadi dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada
kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah
begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif, dan proteksionis.
Sehingga tercipta kondisi, mekanisme, dan regulasi yang memungkinkan pemerintah
mengisolasi proses penyelenggaraan pemerintahan dari keterlibatan publik. Konsekuensi ini
menunjukkan hanya sedikit yang dapat diketahui publik tentang kinerja birokrasi, ihwal
lahirnya sebuah kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pejabat
pemerintah, dan lainnya.
Transformasi dalam tatanan korupsi di tingkat elite, sering dengan terjadinya
perubahan kekuasaan politik. Di era orde baru, korupsi berpusat di istana, pembagian wilayah
dan batas-batas korupsi di kendalikan secara terpusat. Proyek-proyek lahan basah hampir
tidak mungkin lepas dari genggaman keluarga istana. Kasus korupsi dengan motif apapun
pada waktu itu tidak akan pernah mencuat, karena dapat dilegalisasi lewat keputusan Presiden
atau Menteri, bahkan Undang-undang sekalipun. Pada level ini kita dihadapkan oleh rezim
otoriter yang berlindung atas justifikasi kekuasaan terhadap frekuensi abause of power
(penyalahgunaan kekuasaan).
Mengapa dan faktor apa yang mendorong orang melakukan praktik korupsi? Tidak
mudah memang untuk menjawab pertanyaan itu dengan satu atau dua kata argumen, karena
masalah ini menyangkut berbagai dimensi kehidupan bangsa, baik ekonomi, politik, sosial,
budaya dan sebagainya. Namun, praktik korupsi antara lain didorong oleh rendahnya indeks
kesejahteraan gaji pegawai negeri, walaupun prihal kesejahteraan sudah dapat dibantah
dengan kasus korupsi Gayus pegawai pajak negara. Pendapatan gaji yang tidak memadai
untuk memenuhi kebutuhan dasar, dapat menjadi faktor keterpaksaan yang mendorong
seseorang melakukan perbuatan korupsi.
Kemampuan ekonomi yang sangat terbatas, sementara kebutuhan hidup semakin
meningkat telah mendorong sebagian pejabat publik untuk menambah income dengan
memanfaatkan berbagai peluang yang ada disekitar tempat mereka bertugas, baik secara
sendirian maupun bersama-sama. Motifnya pun beragam, ada yang melakukannya dengan
memanipulasi nota pembelian, dan ada pula yang memanfaatkan jabatan mereka dengan
melakukan pungutan liar dan sebagainya. Praktik seperti inilah yang memunculkan berbagai
istilah baru dalam masyarakat, seperti uang pengganti kertas, uang rokok, uang kopi, ongkos
administrasi dan sebagainya.
Tentu tidak semua pejabat publik terlibat dalam praktik seperti itu. Selain peluang
yang serba terbatas, mungkin juga karena nilai-nilai moral dasar yang mereka miliki begitu
kokoh dan tidak mudah goyah dengan godaan kehidupan. Artinya pada sudut pandang ini,
3. faktor moral juga mendasari kecenderungan manusia untuk berkelakuan baik atau
menyimpang.
Pada dasarnya cukup tidaknya gaji atau penghasilan pegawai negeri tentu sangat
relatif dalam pandangan tertentu, bahkan sering tidak mudah untuk menentukan nilai
kesejahteraan di tiap-tiap level kepegawaian. Mungkin dalam ukuran umum yang berlaku,
dengan jumlah gaji tertentu, sudah dipandang cukup untuk hidup secara wajar. Namun, dalam
keadaan yang lain mungkin saja gaji dengan jumlah yang sama dianggap kurang memadai.
Dalam kondisi yang demikian, tampaknya faktor mentalitas menjadi penentu, yang
berlandaskan pada sifat tamak/keserakahan.
Terlepas dari berbagai pandangan diatas, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah
penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi,
disebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik,
(2) faktor hukum, dan (3) faktor ekonomi dan birokratik
Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi karena
banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Edmund
Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang
sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu
Ahmad Attory Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada
berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli suara, menyogok
calon-calon pemilih atau anggota-anggota partai supaya memenangkan si pemberi uang.
Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering muncul karena
undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Bahkan, dalam
praktik, tidak jarang peserta pemilihan umum membeli suara pemilih. Untuk pemilihan kepala
daerah, misalnya, disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk
mendapatkan dukungan partai politik.
Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyebab terjadinya korupsi.
Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertayaan: mengapa begitu sulit
mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus di Indonesia, misalnya, banyak kalangan
berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya
aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi. Sebut
saja formulasi sanksi pidana mati dan pembebanan pembuktian terbalik bagi koruptor tak
lebih hanya menjadi asesoris UU Anti Korupsi. Sebab sedari awal formulasi pasal tersebut
sudah dibuat tidak imperatif penerapannya.
Belum lagi keberadaan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan
Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi lorong
gelap dalam upaya pemberantasan korupsi. UU Pemda khusus pada Pasal 36, merupakan
celah untuk mengisolasi kekuasaan dari sentuhan hukum. Bagamaina tidak, dengan hadirnya
Pasal 36 tersebut membuat kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat perlakuan khusus
ketika ia terduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebab untuk dimulainya proses
penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi wajib mendapat izin atau persetujuan dari
Presiden. Walaupun aturan tersebut tidak berlaku bagi KPK, hanya mengikat pada Jaksa dan
Polisi sebagai penyidik tindak pidana korupsi.
Ijin Presiden akan sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Secara norma,
ketentuan dalam Pasal 36 UU Pemda tersebut memiliki prosedur izin yang berlapis.
Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan
sederhana sulit terwujud. Pendapat tersebut pernah terlontar ketika pihak Litbang Kejaksaan
Agung meminta penulis untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian terkait Pasal 36
tersebut. Pihak kejaksaan merasa dihambat dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan
adanya prosedur izin ke Presiden ketika ada pihak kepala daerah/wakil kepala daerah
terindikasi melakukan korupsi. Dalam konteks itu, hukum belum sepenuhnya mereformasi
dirinya dalam mempersiapkan melawan kekuasaan yang korup. Bahkan hukum yang
diharapkan dapat sebagai palu pengadil terhadap pelaku-pelaku koruptif, justru menjadi
bagian yang membuat penegakan korupsi semakin jalan di tempat. Tak sedikit contoh, hakim,
jaksa dan polisi ikut mencicipi uang kotor dari para koruptor. Dalam level itu sering disebut
dengan korupsi penegakan hukum.
Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin tumbuh subur di
negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Kekuasaan
negara, digabungkan dengan informasi orang dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan
bagi para pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau
kepentingan para sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan
faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi pemerintah
4. dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif,
transparan, dan bertanggung jawab.
Beberapa faktor diatas merupakan hukum sebab akibat lahirnya perilaku koruptif. Bila
sudah demikian, maka menghadapinya tidak bisa dengan cara-cara yang sekedar obral janji
atau memberikan harapan palsu anti korupsi kepada rakyat. Bangsa ini memerlukan
pemimpin yang tidak peragu dalam mengambil keputusan memerangi korupsi. Sebab KPK
dan UU Anti Korupsi akan semakin kuat, bila ia di kawal oleh kepemimpinan yang kokoh
untuk melawan korupsi. Sebab, kekuasaan yang korup hanya bisa dilawan oleh
kepemimpinan yang anti korupsi.
D. MEMIMPIN DENGAN KONSTITUSI
UUD 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum
tertinggi. Oleh karena itu kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi harus dilaksanakan sesuai
dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."
Dasar keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia adalah
kesepa¬katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh
warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata
kunci¬nya adalah konsensus yang kemudian diwujudkan dalam konstitusi dapat dipahami
substansinya melalui kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of
society or general acceptance of the same philosophy of government).
Kesepakatan (consensus) tersebut berkenaan de¬ngan cita-cita bersama sangat
menentukan tegaknya konsti¬tusi dan konsti¬tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita
bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung¬kin mencerminkan kesamaan-
kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus
hidup di tengah pluralisme atau kema¬jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk
menjamin ke¬ber¬samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe¬rumusan
tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju¬ga disebut sebagai falsafah
kenegaraan.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut
sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau
mewu¬judkan empat tujuan bernegara sebagaimana menjadi bagian dari UUD 1945 pada
bagian Pembukaan. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia,
(iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan
empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum, (ii)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Tujuan atau cita-cita bernegara
dan dasar-dasar negara tersebut dijabarkan secara operasional dalam ketentuan-ketentuan
UUD 1945.
Hambatan terbesar dalam mencapai tujuan dan cita-cita bernegara dalam konteks
kekinian dikarenakan oleh kejahatan korupsi. Perjuangan untuk sejahtera, sehat, damai,
cerdas, adil dan makmur menjadi semu bila kepemimpinan mengabdi pada kekuasaan yang
korup. Maka tak ada tawar-menawar, kepemimpinan nasional penting untuk selalu berpijak
pada kesepakatan luhur dan cita-cita serta tujuan kita bernegara berdasarkan konstitusi.
Oleh karena itu, upaya mewujudkan kepemimpinan nasional anti korupsi,
sesungguhnya adalah upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan cara
menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya
telah digariskan dalam konstitusi dan juga UU Anti Korupsi.
5. Dalam fungsinya yang demikian, konstitusi dapat disebut sebagai sumber kekuasaan
yang harus dipatuhi. Dengan demikian memimpin dengan konstitusi, sama halnya sedang
menyelamatkan bangsa ini dari kubangan patologi korupsi akut. Sebab konstitusi secara
ideologis dan subtantif memiliki tujuan dan cita-cita yang luhur dan mulia.
Konsep kepemimpinan anti korupsi dalam hal ini tidak harus dimaknai sebagai figur
personal, tetapi lebih pada sesuatu yang memberikan pedoman dan keteladanan bagi
rakyatnya. Karena konstitusi tidak pernah mengajarkan untuk berfikir dan berjuang sendiri.
Lebih dari itu, untuk melawan kekuasaan yang korup mesti melibatkan partisipasi masyarakat.
Paling tidak hal itu harus dimulai dari pemimpin tertinggi negara ini, tidak saja tajam dalam
kata "anti korupsi", tapi juga perlu langkah nyata melawan korupsi.
E. PENUTUP
Bila kita dapat memahami makna korupsi diawali dari pintu kekuasaan, maka
mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas politik kekuasaan negara. Sebab negara tak
mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Sejatinya jalan
pintas atas perilaku koruptor di era reformasi ini dapat ditebus dengan kemauan politik
negara. Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa ini dapat dikelola dengan baik melalui
kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan presepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif
dan yudikatif untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada koruptor. Bahkan merubah
dan merivisi segala kemungkinan aturan hukum yang menghambat upaya pemberantasan
korupsi.
Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan
mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil
memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar
menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol
perlawanan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali menjatuhkan vonis mati kepada pelaku
korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat
menjadi bagian politik hukum bangsa ini.
Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui
pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi sosial dengan mengasingkan mereka dari interaksi
fisik. Sanksi sosial semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari para pejabat atau pemimpin
di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistik: meniru apa yang
dilakukan petinggi.
Barangkali sanksi yang sangat berat akan secara perlahan menghentikan perbuatan
korupsi seperti apa yang sering menjadi tontonan publik akhir-akhir ini. Disamping itu pula,
perlu adanya kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh melawan kekuasaan yang korup
dengan kekuasaan yang berpijak pada konstitusi dan hukum. Tentu harapan itu hanya bisa
disandarkan pada kepemimpinan nasional yang anti korupsi. Bila itu dapat dilakukan, mereka
sedang menyelamatkan bangsa ini.