Makalah ini membahas evaluasi terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia dengan menekankan pentingnya belajar dari pengalaman masa lalu untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar mengubah modelnya. Evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi masalah mendasar agar dapat mengambil langkah konkret untuk transformasi demokrasi lokal."
1. Purwo Santoso2
Makalah ini menawarkan evaluasi terhadap Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) yang berlangsung di negeri ini. Namun, sebelum membicarakan Pilkada itu
sendiri, perlu diingatkan arah pembicaraan bisa kesana-kemari kalau misi evaluasi itu
sendiri tidak ditegaskan dari awal.3 Secara harfiah, evaluasi adalah perbandingan
antara apa yang dirancang (dikehendaki) dengan yang senyatanya laksanakan.
Evaluasi tidak banyak berarti sekiranya rancangan itu sendiri dibangun di atas asumsi
atau pijakan yang salah. Jadi, kalaulah kita merujuk kembali misi yang ditetapkan,
misi itu sendiri masih bisa dipersoalkan. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah
lesson drawing: menarik pelajaran dari pengalaman.
Yang kita evaluasi (Pilkada) adalah sistem yang keharusnya mengikat diri kita
semua. Dalam mengevaluasi hal seperti ini, seyogyanya kita memerankan diri sebagai
‘orang dalam’, bukan hanya sebagai stake holders dengan enaknya menuntut ini dan
itu. Evaluasi kita perlukan agar dapat secara cerdas berkontribusi dalam memperbaiki
keadaan, dengan kerelaan mengakui kealphaan yang sempat terjadi. Kalaulah acuan
dari evaluasi terhadap Pilkada harus dikembalikan kepada misi diselenggarakannya
Pilkada itu sendiri, kitalah yang semestinya memastikan misi itu terjadi. Dengan
begitu kita dapat mendudukan persoalan secara tepat atau propossional, mengambil
pelajaran dari kesalahan dan kesalahfahaman di masa lalu, dan dalam dinamika yang
terjadi, meniti masa depan secara lebih cerdas.
1
Makalah dipresentasikan pada Seminar Hari: Pemilihan Gubernur dan
Demokrasi Lokal yang diselenggarakan oleh Angkatan Muda Pembaharu
Indonesia (AMPI) Provinsi NTT, di Kupang, pada tanggal 10 Nopember 2011.
Penyiapan makalah ini dibantu oleh Joash Tapiheru. Penulis menyampaikan
terimasih atas bantuannya, namun dia sama sekali tidak bertanggung jawab
terhadap isi tulisan ini.
Guru besar Ilmu Pemerintahan, sekaligus Ketua Jurusan Politik dan
2
Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Selain bisa menyeret kita ke dalam godaan untuk mencari-cari
3
kesalahan para pelaku, evaluasi juga sekedar menjadi dalih untuk mencari
pengganti dari status quo.
2. A. EVALUASI UNTUK MEMPERBAIKI KEADAAN
Agar dapat mengambil pelajaran secara mendasar, evaluasi sebaiknya
dlakukan secara reflektif. Sebagaimana kita ketahui, kita telah memiliki pengalaman
penyelenggarakan Pilkada dalam dua model: (1) Pilkada tidak langsung, dimana yang
melakukan pemilihan adalah para wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD); dan (2) Pilkada Langsung, dimana pemilihnya adalah
seluruh rakyat di daerah yang bersangkutan, yang secara teknis memiliki hak pilih.
Sehubungan dengan adanya dua model itu, perlu ditegaskan bahwa evaluasi yang
dilakukan di sisini tidak dimaksudkan sekedar untuk melakukan judgement model
mana yang lebih baik. Mengapa begitu ? Karena model pemilihan itu sebetulnya
hanyalah komponen kecil dari sistem yang lebih besar: model pemerintahan yang
menjadi sandaran publik dalam mengelola nasibnya. Dalam evaluasi ini pilihan
model (langsung ataukah tidak langsung) perlu kita kembalikan pada disain besar
penataan pemerintahan yang hendak kita wujudkan.
Sebagaimana nanti ditunjukkan, persoalan kita dalam penyelenggaraan
Pilkada sebetulnya bukan pada pilihan model, melainkan pada ketidaksiapan
memenuhi persyaratan-persyaratan bagi berlangsungnya model yang kita pilih.
Perubahan sistem pemilihan, termasuk pemilihan kepala daerah, dimotori para pakar
yang menekuni bidang kajian electoral reform kalau bukan electoral engeenering.
Mereka begitu yakin bahwa dengan mengubah peraturan perundang-undangan sesuai
dengan setumpuk textbook dan sederet artikel jurnal, kualitas demokrasi akan
berubah. Titik berangkatnya adalah kondisi ideal yang tersirat dibalik serangakaian
proposisi teoritik, dan dengan berbekal hal itu perilaku sehari-hari kita diharapkan
dapat mereka ubah. Karena driving force dari perubahan yang dicanangkan adalah
teori, maka kegagalannya dalam memberlakukan suatu teori (atau model) diikuti
dengan percobaan untuk memberlakukan teori atau model lain. Dalam konteks ini,
secara diam-diam kita diperlakukan sebagai obyek dari eksperimentasi untuk menguji
kebenaran teori yang mereka pelajari. Bukan maksud tulisan ini untuk menolak
penggunaan teori, melainkan untuk menegaskan bahwa demokrasi ataupun pilkada
yang baik tidak, akan terwujud kalau hal itu kita biarkan sekedar sebagai hajatnya
para ahli electoral reform atau electoral engeenering, bukan hajat kita.
Evaluasi sederhana ini diharapkan memicu berkesinambunganya upaya
mengidentifikasikan kecerobohan cara berfikir yang pada gilirannya menuntun kita
ke jalan yang realistik untuk memperbaiki kesalahan. Namun yang lebih penting dari
itu semua adalah adanya langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki keadaan.
Antusiasme kita berdebat bukanlah alasan untuk tidak bertindak: tidak mempraktekan
hal yang kita yakini baik dan perlu.
Kenginan untuk berganti-ganti model pemilihan, bisa ditengarai sebagai
kamuflase untuk menyembunyikan keengganan untuk memenuhi persyaratan bagi
pemberlakukan model tertentu. Kalau model yang satu menguntungkan fihak tertentu,
dan model yang lain menguntungkan fihak yang lain, maka negeri ini akan
terombang-ambil dalam pemilihan model. Model yang manapun tidak akan
menyediakan basis dalam mengelola nasib publik karena selalu masing-masing dari
Purwo Santoso 2
3. kita sebetulnya merongrong model yang berlaku dengan hanya mau ambil sisi
enaknya saja. Hal ini perlu dikedepankan mengingat belakangan ini sangat santer
beredar wacana untuk mengembalikan Pilkada ke model lama: model pemilihan tidak
langsung. Buru-buru perlu ditegaskan bahwa makalah ini tidak secara apriori
menolak berlakunya model pemilihan tidak langsung, melainkan menolak untuk
terbentur sekali lagi pada pintu yang sama, karena tidak belajar dari masa lalu.
Agar bisa memandu langkah-langkah praktis, bagian akhir makalah ini
mengajak kita melihat Pilkada, entah dilakukan dengan model apa, didedikasikan
bagi pengembangan penyelenggaraan pemerintahan lokal yang demokratis
(democratic local governance) dalam bingkai pemerintahan nasional. Tawaran utama
yang disampaikan dalam makalah ini adalah memutuskan ayunan ekstrem antara dua
model (langsung vs tidal langsung) melalui kontribusi dalam pengelolaan proses
transformasi menuju democratic local governance. Kuncinya adalah mendorong
adanya transformasi konstituen pemilih yang masing mewarisi watak floating mass
menjadi demos atau warga negara yang aktif. Demokrasi esensinya adalah kedaulatan
rakyat, dan apapun model pemilihan yang diberlakukan tidak ada artinya kalau tidak
ada demos. Teka-teki yang harus dikerjakan bangsa ini adalah mengembangkan
demos sedemikian sehingga nasib publik ada di tangannya, bukan sebaliknya
terombang-ambing oleh retorika para tokoh.
Terkait dengan keberadaan AMPI sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan
yang memiliki afiliasi dengan Partai Golongan Karya (Golkar), saat ini terbentang
kesempatan emas untuk menunjukan makna dan manfaat berdemokrasi, khsusnya
dalah menyelenggarakan pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah yag
baik. Langkah strategis untuk itu adalah menjamin adanya kepemimpinan lokal yang
kompeten sekaligus representatif. Kompetensi kepemimpinan di tingkat lokal ini
merujuk tidak hanya pada kompetensinya untuk meraih kemenangan dalam proses
pilkada. Lebih dari itu kompetensi diukur dari kemampuannya mentransformasikan
political setting di mana pilkada itu dilaksanakan. Kepada AMPI dan organisasi-
organisasi sejenisnya terbentang peluang untuk memetik keuntungan politik dari
perannya dalam proses transformasi. Inilah yang dalam makalah ini disebut sebagai
“menang dengan cara baru”. Pada bagian akhir makalah akan memaparkan peran
spesifik apa yang potensial untuk dilakukan oleh organisasi sosial seperti AMPI
dalam proses transformasi yang diproyeksikan. Peran yang potensial dijalankan oleh
AMPI yang dibahas di sini dilihat baik dari posisi AMPI sebagai organisasi sosial
tersendiri dan posisi AMPI sebagai elemen dari sebuah partai politik bernama Partai
GOLKAR.
B. JANGAN LAGI TEROMBANG-AMBIL OLEH PILIHAN
MODEL
Kita tahu bahwa Pilkada diselenggarakan untuk memastikan adanya kepala
daerah yang bisa diandalkan dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan
daerah, dan dalam rangka mengatasi masalah-masalah nasional yang berlangsung di
Purwo Santoso 3
4. daerah. Persoalan Pilkada tidak bisa direduksi sebagai persoalan persaingan antar
kandidat hingga hingga ada salah satu dari kontestan yang dinyatakan sebagai
pemenang yang siap di lantik. Komisi Pemilihan Umum Daerah boleh saja
mendefinisikan Pilkada dengan cara ini, karena cakupan tugasnya memang hanya
sampai di situ. Namun, kita sebagai warga negara tidaklah semestinya mengadopsi
cara pandang seperti ini. Para kontestas bisa saja mencurahkan perhatian pada upaya
pemenangan dirinya, namun kitalah yang harus memaksa para kandidat memperlebar
horizonnya. Justru reduksi makna itulah yang menjadi sumber persoalan. Oleh karena
itu, sebelum menelaah prakrek Pilkada Langsung namun Pilkada tidak langsung,
terlebih dahulu akan dipaparkan kerangka analisis yang dipakai dalam makalah ini.
Penyelenggaraan perlu dievaluasi secara seksama karena adanya ironi. Pada
saat ini diberlakukan Pilkada langsung, dimana rakyat yang memiliki hak pilih
memilih kandidat yang ditetapkan. Pilkada langsung ini diberlakukan karena
ketidakpuasan terhadap skema lama (Pilkada Tidak Langsung) dimana Kepada
Daerah dipilih oleh wakil wakyat (anggota-anggota DPRD). Skema pemilihan
langsung yang tadinya dianggap lebih baik inipun menuai ketidakpuasan. Kalau di
masa lalu yang ditengarai terlibat praktek jual-beli suara hanya para anggota DPRD
kita fihak yang terlibat jaug lebih luas. Oleh karena itu belakangan ini semakin
lantang aspirasi untuk mengembalikan Pilkada ke skema lama, skema tidak langsung.
Sungguh sangat ironis, kita hendak kembali ke tatanan yang sudah dari awal, ingin
kita tinggalkan. Hal ini mengisyaratkan adanya persoalan mendasar yang tidak
kunjung kita atasi. Pergantian skema pemilihan itu sama sekali tidak akan mengatasi
pokok persoalan. Sekali lagi, evaluasi harus membantu menemukenali persoalan
tersebut, dan mengusulkan langkah-langkah agar tidak terombang-ambing dalam
penentuan cara mengisi orang yang menduduki jabatan kepala daerah.4
Agar tidak terombang-ambing, kedua skema atau model pemilihan kepala
daerah yang ada perlu diletakkan dalam konteks perpolitikan dan pemerintahan pada
jamannya. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung diberlakukan saat
Indonesia mengadopsi sistem politik dan pemerintahan yang sentralistis, dimana
kepala daerah diharapkan menjadi kepanjangan tangan pemerintahan pusat untuk
mencapai sejumlah tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu pemilihan kepala
daerah secara langsung dilakukan untuk mengekpresikan semangat partisipasi dalam
menentukan jalannya pemerintahan. Dengan mengedepankan hal ini, evaluasi ini
diharapkan tidak terjebak dalam nalar proseduralisme. Penelaahan kritis tentang
Pemilihan kepala daerah akan dibahas dalam political set-up yang berlaku, karena
sangat boleh jadi persoalan yang membelitnya adalah bersoalan yang melekat dalam
set up tersebut. Adapun set up yang penting untuk dicatat adalah sebagai berikut.
4 Perlu ditegaskan bahwa ketidakpuasan yang mengemuka bukanlah
pada tekniklitas penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Ketidakpuasan terkait
dengan hal-hal yang melingkupi Pilkada, misalnya praktek suap atau vote
buying. Oleh karena itu, evaluasi yang disajikan dalam makalah ini akan
menggunakan kerangka yang lebih luas, lebih dari sekedar teknikalitas
penyelenggaraannya. Pilkada dalam makalah ini dibahas dalam kerangka
pengembangan sistem pemerintahan efektif namun demokratis.
Purwo Santoso 4
5. Pertama, terjebakna penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (dan pemilihan
umum) dalam pemaknaan demokrasi yang proseduralistik. Hal ini ditandai oleh
dominannya pendekatan legalistik. Di masa Orde Baru, legalisme dilakukan demi
memastikan kesan demokrasi ada dibalik proses pemilihan, sedangkan di masa kini
legalisme diusung sekedar untuk mengesankan rakyat memiliki hak memilih dan
dipilih. Padalah, kalau kita kembalikan pada esensinya, pemilihan kepala daerah
adalah proses penentunan pejabat publik yang menjadi pertaruan nasional mapun
lokal dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan. Dari kedua bentuk legalisme
ini, demokrasi direduksi sekedar sebagai problem teknis semata.
Kedua, pemilihan kepala daerah diperlakukan sebagai ekspresi dari demokrasi
yang sudah mapan, bukan sebagai proses bertahap untuk mematangkan kualitas
demokrasi. Para ahli electoral reform maupun electoral engeenering dengan
entengnya menggunakan referensi yang disarikan dari perjalan sejarah negara-negara
yang telah dewasa dalam berdemokrasi, khususnya dalam berdemokrasi liberal. Ini
adalah ilusi massal yang menyesatkan.
Pada masa Orde Baru, dimana sistem pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung diberlakukan, dikesankan sudah ada demokrasi yang sudah mapan,
namanya Demokrasi Pancasila. Diasumsikan bahwa para anggota DPRD adalah
mengemban amanat rakyat, bukan amanat atasan ataupun kolega, dalam memilih
kepala daerah. Amanat rakyat untuk memilih kepala daerah, ternyata bisa terbelokkan
menjadi amanat untuk mematuhi transaksi. Minimnya kontrol publik menjadikan
pembelokan amanat ini akhirnya menjadi praktek yang dianggap normal, dan oleh
karenanya tidak ada agenda untuk memperbaiki kualitas pemilihan kepala daerah.
Pada saat ini, ketika Pilkada melibatkan rakyat secara langsung, diasumsikan
individu-individu yang memiliki hak pilih telah sadar akan hak-haknya, dan sadar
bahwa sistem politik terbentuk dari akomulasi penggunaan hak mereka. Nyatanya,
hal ini jarang ditemui di mayoritas masyarakat Indonesia. Ketika preskripsi
demokratisasi yang digariskan secara legal-formal diberlakukan, preskripsi tersebut
dimaknai berbeda, sesuai dengan apa menjadi nalar masyarakat setempat yang
basisnya bisa apapun, selain hak sebagaimana dipahami dalam individual masing-
masing. Sistem pemilihan yang demokratis tidak terwujud karena pemilih, tepatnya
pemegang hak pilih, merasa boleh menjual hak yang dimiliki. Rakyat ternyata
memilih untuk mengkomersialisasikan haknya, dan praktek vote buying akhirnya
menjadi kewajaran. Di sini kita merasakan bahwa kedua model pemilihan kepala
daerah terjebak dalam persoalan yang setara. Pada level individual, kita menyaksikan
bahwa penyelenggaraan Pilkada tidak diikuti dengan penguatan komitmen etis pada
aktor yang terlibat. Ada problem etika politik yang tidak pernah menjadi kehirauan
kita dalam penyelenggaraan pilkada, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari kedua hal tersebut di atas, jelaslah bahwa yang menjadi pokok persoalan
sebetulnya bukan cara memilih kepala daerah, melainkan prasayata agar masing-
masing model menghasilkan praktek yang kondusif bagi jalannya pemerintahan.
Yang jelas, imajinasi pemerintahan daerah yang diidealkan oleh Orde Baru berbeda
dengan yang diidealkan pada masa kini. Kegagalan dalam mewudjukan hal itu
menjadikan kita sibuk mencari alternatif, bukan memperbaiki kelemahaan yang sudah
Purwo Santoso 5
6. ada. Pemilihan kepada daerah lebih dimaknai sebagai perberlakukan ketentuan
perundang-undangan, bukan ekpresi kedaulatan rakyat sebagaimana dipidatokan.
C. KEALPHAAN KOLEKTIF: MEMBERLAKUKAN MODEL
TANPA MEMENUNI PRA-SYARAT.
Perlu dicatat bahwa pergantian sistem pemelihan kepala daerah di negeri ini
adalah bagian tak terpisahkan dari penggantian model pemerintahan di negeri ini.
Dengan kata lain, kita tidak bisa memahami nalar penyelenggaraan pilkada kalau kita
tidak memahami setting politik yang melingkupinya. Sebagaimana divisualisasikan
dalam Tabel 1, skema pemilihan kepala daerah tidak langsung diberlakukan saat
Indonesia sedang getol-getolnya memberlakukan skema yang lebih besar skalanya,
yakni skema state-led economic development (pembangunan ekonomi berbasis
kendali negara). Pemerintah nasional berkepentingan untuk memastikan siapapun
yang dipilih menjadi kepala daerah, dia bisa diandalkan untuk mewujudkan state-led
economic development di daerahnya masing-masing. Artinya, pengisian jabatan
kepala daerah lebih merupakan pertaruhan kepentingan pemerintah nasional dari pada
kepentingan lokal. Hal ini kontras dengan pengisian jabatan kepala daerah di era
reformasi, yang dibingkai dengan gagasan democratic local governance. Kepala
daerah diharapkan memimpin penyelenggaraan otonomi daerah, yang oleh konstitusi,
ditetapkan bersifat seluas-luasnya. Oleh Undang-undang No. 22 tahun 1999,
Gubernur bahkan tidak diposisikan sebagai atasan dari Bupati/Walikota.
Gubernurpun tidak dilengkapi dengan perangkat kelembagaan untuk menjalankan
kewenangan pemerintah nasional di daerah (aparat dekonsentrasi).
Pada masa berlangsungnya sistem pemerintahan sentralistis Orde Baru,
prosedur pemilihan kepala daerah pada dasarnya adalah penempatan (deployment)
pejabat yang ditugasi memimpin daerah. Meskipun ada persaingan diantara para
kandidat yang disiapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang jenjangnya
lebih tinggi, namun Presiden memalui Kementerian Dalam Negeri memegang kendali
siapa yang disiapkan untuk menjadi kepala daerah, dan siapa yang menduduki
“nomor jadi”. Telah ada kesepakatan informal, sebelum digelar proses formal yang
disebut sebagai “pemilihan” kepala daerah. Dari sisi ini terlihat ketidaksediaan kita
“membayar” demokrasi prosedural, karena pemilihan kepala daerah dikendalikan
memalui mekanisme informal yang secara subtantif tidak dipertanggungjawabkan
kepada publik. Keputusan informal dilegalisir oleh lembaga formal: DPRD. Pada
masa itu, DPRD memang dikondisikan sebagai legalisasi dari keputusan informal
tersebut. Kendali militer terhadap proses pemilihan dilakukan melalui Fraksi ABRI
yang ada di DPRD setempat.
Hal tersebut di atas bukan tanpa alasan. Pilkada di masa Orde Baru dilakukan
dalam model pemilihan tidak langsung, karena Kepala Daerah, sekaligus juga
berperan sebagai Kepala Wilayah. Dalam kedudukan sebagai sebagai Kepala
Wilayah, dia menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Kalaulah dia dipilih oleh
Purwo Santoso 6
7. Tabel 1.
KARAKTER SET-UP POLITIK
ERA ORDE BARU DAN REFORMASI
Orde Baru Reformasi
Model Pilkada TIDAK LANGSUNG LANGSUNG
Logika pemerintahan Sentralisasi Desentralisasi
State-led economic Decentralizzed and
Rujukan utama
development democratic Governance
Nalar yang
memotivasi Kompetensi lebih penting Representasi lebih penting
pemilihan kepala daripada representasi daripada kompetensi
daerah
Peran kepala wilayah lebih Peran kepala daerah lebih
Posisi dari kepala
mengedepan daripada besar daripada kepala
daerah
kepala daerah wilayah
• Ketidakjelasan peran
kepala wilayah
• Konteks spesifik lokal
Kelemahan yang yang harus • Representasi cenderung
terindikasi secara dinomorduakan oleh bergeser menjadi
kuat kepentingan nasional di popularitas
daerah
• Munculnya politik biaya
tinggi
Posisi dari publik
Floating mass Demos
pemilih
DPRD, dia harus dipastikan bisa menjadi orang kepercayaan Menteri Dalam Negeri,
kapai bukan Presiden. Ini dilakukan dalam logika pemerintahan yang sentralistis di
mana kepala daerah yang dicari adalah kepala daerah yang memiliki kompetensi
menjalankan rencana nasional yang ditentukan di level pusat di daerah yang
dipimpinnya. Rencana nasional ini dibingkai dalam program pembangunan ekonomi
berskala nasional yang didorong negara. Wacana ini merupakan wacana hegemonik
selama era Orde Baru. Dalam konteks ini, ‘representasi politik’ menjadi kriteria
sekunder dibandingkan dengan ‘kompetensi’.
Purwo Santoso 7
8. Dalam konteks Orde Baru ‘pilkada’ dimaknai lebih sebagai bagian dari proses
teknokratis pelaksanaan pembangunan daripada sebagai sebuah proses politik.5
Karenanya, posisi publik tidak dipahami sebagai konstituen, namun lebih sebagai
floating mass. Tidak heran aspek representasi dikesampingkan. Hal ini merupakan
konsekuensi dari paradigma yang menggerakkan political setting yang dikonstruksi
Orde Baru yang melihat proses politik sebagai sesuatu yang harus diminimalisir
karena kontra-produktif terhadap proyek pembangunan ekonomi yang mensyaratkan
stabilitas.
Karena pemilihan lebih dimaksudkan untuk melegitimasi penunjukkan kalau
bukan penugasan, maka pemilihan bukan sekedar bersifat tidak langsung (dalam hal
tidak melibatkan rakyat) namun juga sifat “tertutup”. Yang penting untuk dicatat,
sifat tertutup ini menjadikan proses tersebut rentan manipulasi, rentan terhadap
dominasi kalangan tertentu. Sungguhpun demikian, ruang manupulasi masih
terkendali oleh standar kualifikasi yang diberlakukan pada saat itu. Yang jelas, pada
masa itu, jabatan Gubernur dan Kepala Daerah kebanyakan diisi oleh kalangan
militer. Ketidakpuasan terhadap hal ini beredar di kalangan terdidik namun tidak
merebak menjadi pengetahuan publik pada saat itu.
Political setting di Indonesia mengalami perubahan ekstrim setelah jatuhnya
Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini mengubah peta perpilitikan secara mendasar,
tanpa kita sempat melakukan refleksi. Ketidaksukaan terhadap Orde Baru meluap
secara besar-besaran sehingga apapun yang diasosiasikan dengan Orde Baru hendak
diubah, termasuk didalamnya sistem pemilihan kepala daerah.
Pendulum politik menghendaki proses politik dan aspek representasi lebih
dikedepankan setelah krisis ekonomi Asia Tenggara tahun 1997 dijadikan alasan
kegagalan model pemilihan yang mengedepankan aspek kompetensi dalam kerangka
pembangunan ekonomi yang terpusat dan teknokratis. Pilihan terhadap model pilkada
yang dilakukan melalui pemilihan langsung, diinisiasi sejak pemilihan presiden tahun
2004, yang merupakan tindak lanjut dari Amandemen Undang-undang Dasar yang
semakin menegaskan sosok sistem pemerintahan presidensial. Salah satu inti
gagasannya adalah, posisi Presiden itu kuat dan untuk menunjukkan kekuatan
dukungan terhadap kepemimpinan dilakukanlah pemilihan Presiden secara langsung.
Dengan begitu, tidak ada alasan bagi DPR untuk menjatuhkan Presiden, sebagaimana
sempat dilakukan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Sejalan dengan hal itu,
dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung.
Perlu dicatat juga bahwa perubahan sistem pemilihan tersebut di atas lebih
digerakkan oleh konstelasi politik dari pada oleh kesiapan rakyat untuk berdemokrasi.
Kajian kebijakan publik mencatat bahwa situasi krisis memungkinkan perubahan
kebijakan secara radikal. Dalam konteks ini, di Indonesia terjadi pembalikan nalar
yuridis yang dijabarkan ke dalam serangkaian perubahan ketentuan perundang-
5
Proses politik sendiri direduksi semata pada proses pemilihan umum
untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik di tingkat
nasional maupun lokal.
Purwo Santoso 8
9. undangan. Repotnya, perubahan ini tidak seiring dengan perubahan perilaku politik
masyarakat maupun pejabat.
Tidak mudah membongkar midset yang sudah terpateri dalam perilaku sehari-
hari. Padahal, rakyat yang diharapkan berpartisipasi dalam penyelenggaraan
Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah rakyat yang telah berhasil dipolakan
Orde Baru sebagai massa mengambang (floating mass). Bisa dibayangkan apa yang
terjadi ketika massa mengambang ini diberi kebebasan yang sangat luas untuk
menggunakan hak-hak politik yang dijamin undang-undang. Bisa dubayangkan
bagaimana penggunaan hak-hak tersebut manakala tidak ada penyiapan agar massa
mengambang ini bertansformasi menjadi demos atau warga negara yang aktif, yang
menjadi penentu, kalau bukan penanggungjawab, dari bekerjanya sistem
pemerintahan yang demokratis. Masyarakat tidak faham, dalam batas tertentu juga
tidak peduii, implikasi dari penggunaan hak-hak politiknya secara salah. Demi
berebut jabatan kepala daerah kandidat tidak merasa bersalah ketika membagi-
bagikan uang, barang dan jasa dengan harapan hal itu bisa diperoleh kembali saat
menjabat. Di sisi lain, masyarakat merasa boleh menjual hal pilih. Tidak sedikit
warga masyarakar justru “memeras” kandidat dengan pertimbangan kalau dia terpilih
akan dapat memperoleh kembali semasa memegang jabatannya. Dalam konteks ini
kita melihat adanya ‘penggadaian jabatan’ atau ‘sistem ijon’, dan hal ini disebabkan
oleh kenaifan dalam mengembangkan demokrasi.
Demokrasi diasumsikan bisa terbentuk tanpa etika politik yang kondusif bagi
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Demokrasi diasumsikan dapat
dengan serta-merta terlaksana karena pasal-pasal dalam undang-undang. Demokrasi
tidak mungkin terwujud tanpa demokrat yang berperilaku demokratis. Demokrasi
mensyaratkan tegaknya aturan main, dan tegaknya aturan main itu mensyaratkan
kejujuran dalam berkompetisi. Kinerja pilkada langsung dalam hal ini belum terlalu
menggembirakan karena dalam banyak kasus, persaingan dalam pilkada bermuara
pada sengketa dipengadilan. Masing-masing kandidat tahu kecurangan lawannya, dan
yang kalau hampir selalu selalu mempersoalkan kemenangan rivalnya melalui
pengadilan.
Yang jelas, perubahan ketentuan yang mengatur pemilihan Kepala Daerah
diartikulasikan sebagai konsekuensi dari political setting yang mengedepankan aspek
‘representasi’ dalam kerangka mewujudkan democratic governance baik di level
nasional maupun lokal.6 Proses ini berjalan secara beriringan dengan proses lain yang
juga diartikulasikan sebagai ekspresi dari demokratisasi di Indonesia, yaitu
desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam setting ini, Gubernur (dan
Bupati/Walikota) diposisikan lebih dari sebagai pejabat publik dari suatu daerah yang
otonom, ketimbang sekedar kepanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah.
Karena itu yang dituntut dari seorang kepala daerah adalah merepresentasikan
6
Sulistiyanto Priyambudi, “Pilkada in Bantul District: Incumbent,
Populism, and the Decline of Royal Power” dalam Erb, Maribeth dan
Priyambudi Sulistiyanto, 2009, Deepening Democracy in Indonesia? Direct
Elections for Local Leader (PILKADA), Singapore: ISEAS Publishing, p.190
Purwo Santoso 9
10. kepentingan publik pemilih didaerahnya dalam kerangka otonomi yang disediakan
oleh desentralisasi. Untuk mencapai ideal yang diimajinasikan dari pengadopsian
demokrasi dan desentralisasi di Indonesia dibutuhkan kepemimpinan yang punya
imajinasi, kreatifitas, dan inovatif untuk mewujudkan apa yang menjadi kehendak
publik ketika memilih si kepala daerah. Namun sayang sekali, hal ini tidak pernah
menjadi agenda publik yang serius.
Menjadikan pilkada sebagai instrument untuk mendorong serta memperdalam
demokrasi ternyata lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Representasi dengan
mudah terpeleset menjadi popularitas. Popularitas cenderung dikonstruksi dengan
cara mudah; redistribusi kesejahteraan yang banal, atau bahasa lainnya bagi-bagi
uang. Ini membuat fenomena vote buying menjadi marak di Indonesia setelah model
pilkada langsung diadopsi. Hal ini tentunya memunculkan kecenderungan hanya
orang-orang tertentu yang bisa mengakses sumber-sumber kesejahteraan,
darimanapun asalnya, yang bisa menikmati kemenangan politik kompetisi pemilu
ataupun pilkada.7 Sementara mayoritas publik pemilih tidak lebih dijadikan sebagai
alat untuk melegitimasi kekuasaan segelintir orang tersebut. Segelintir orang tersebut
sering disebut sebagai elit dan demokrasi yang sedang dipraktekkan di Indonesia ini
sering juga disebut elite captured democracy.8 Gejala ini sebetulnya tidak jauh
berbeda dengan yang terjadi semasa Orde Baru, yakni jabatan Kepala Daerah
dikuasai lapis elit. Yang berbeda adalah mekanisme.
Pemberlakuan undang-undang baru yang mengatur cara berdemokrasi, tak
pelak mendapat respon khas dari publik, termasuk kalangan elitenya. Publik
memanfaatkan kesempatan yang terbuka sesuai dengan nalar dan kepeduliannya
masing-masing. Artinya, kalaulah secara konseptual perubahan sistem pemilihan
dimaksudkan untuk mewujudkan tatanan pemerintahan lokal yang lebih demokratis,
namun pengamatan sejauh ini menunjukkan bahwa tidak ada agenda pengembangan
kualitas berdemokrasi melalui perubahan model pemilihan kepala daerah.
Dengan makin banyaknya elite yang bertarung dalam kompetisi politik,
publik pemilih berusaha mendapatkan bagian dari kesejahteraan yang redistribusikan,
sehingga ada perlombaan di antara para elite yang berkompetisi untuk
menggelontorkan kesejahteraan yang lebih banyak dengan harapan lebih menarik
simpati publik pemilih. Fenomena semacam inilah yang berujung pada politik biaya
tinggi, dan pada gilirannya membuat para elite tersebut rawan terjerumus dalam
7
Lihat Samadi, W.P. dan Nicolaas Warouw, “A Decade of Reformasi:
Unsteady Democratisation” dalam Journal PCD Publication Online - Volume
Volume I Number 1-2 (Double Issues), Published by Power, Conflict and
Democracy Publishing, http://www.pcd.ugm.ac.id/pcd6Maret09/index.php?mod=
detailc&content_id=3&volume_id=1; Nov 3, 2011, 11:13am
8
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz, 2004, Reorganising Power in
Indonesia: the Politics of Oligarchy in the Age of Market, Routledge; lihat juga
Hidayat, Syarif, “Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten” in
Nordholt, Henk Schulte et.al. (eds.), 2007, Politik Lokal di Indonesia –
(translated from Renegotiating Boundaries, local politics in post-Soeharto
Indonesia by Bernard Hidayat), Jakarta: YOI and KITLV
Purwo Santoso 10
11. perilaku korup. Ini membuat demokrasi dan desentralisasi di Indonesia bagi sebagian
orang menunjukkan gejala-gejala penyimpangan,9 di mana pengadopsian prosedur
serta mekanisme demokrasi dan desentralisasi ternyata tidak menghasilkan situasi
demokratis sebagaimana diharapkan.
Dari evaluasi singkat yang dipaparkan di atas, permasalahan yang kita temui
adalah adanya wrong mixture antara kompetensi dan representasi. Pada model yang
dimana gubernur atau kepala daerah lain dipilih oleh DPRD kompetensi
dikedepankan dengan meminggirkan representasi. Pada model pilkada langsung
representasi digenjot habis-habisan dengan melupakan kompetensi. Indonesia
terombang-ambing di antara dua kutub esktrim ini sementara peralihan dari satu
kutub ke kutub lain tidak disertai pembelajaran dari pengalaman sebelumnya untuk
menjaga agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama atau lebih memaksimalkan
hal-hal yang baik dari model sebelumnya.
Wrong mixture terjadi karena kita hanyut dalam teknikalitas proseduralisme,
seolah-oleh dengan mengikuti teknikalitas maka sistem akan terbentuk dengan
sendirinya. Pemilihan umum, termasuk pilkada, dilaksanakan dalam pengertian
seakan-akan itu adalah ekspresi dari masyarakat yang sudah demokratis, bukan upaya
untuk mendemokratisasikan masyarakat yang baru lepas dari rezim autoritarian.
Pendekatan yang dilakukan dalam mendorong transformasi menuju demokrasi
di Indonesia lebih menekankan pada pendekatan legalistik. Ini mengasumsikan
bahwa kalau aturannya sudah ada maka orang akan patuh pada aturan tersebut,
dengan logika seperti dikehendaki oleh orang yang membuat aturan tersebut. Ini
tentunya mengabaikan kemungkinan adanya upaya untuk meng-akal-i peraturan yang
ada, seperti yang dilakukan oleh para elite di Indonesia. Padahal dalam konteks
Indonesia, orang-orang inilah yang mendapatkan posisi istimewa dalam periode
sebelumnya dan menguasai sumber-sumber kekuasaan. Kalau kemudian mereka
membajak demokrasi, yang berpotensi membuat mereka kehilangan posisi
istimewanya, bukankah sebetulnya itu adalah sesuatu yang hampir bisa dipastikan
terjadi.
Penekanan pada teknikalitas dan prosedur inilah yang mendorong orang
dalam perilaku pragmatis. Logika yang bekerja dalam mempraktekan demokrasi
dalam kehidupan sehari-hari tereduksi menjadi sekedar “asal sudah sesuai aturan”.
Pragmatisme ini pula yang dihasilkan oleh political setting yang bekerja pada periode
Orde Baru akibat dari logika pemerintahan yang sentralistis dan juga berpotensi
menggerogoti aspek kompetensi dari kepala daerah karena kepala daerah menjadi
takut untuk berinisiatif.
9
Olle Tornquist menggunakan istilah demokrasi yang defisit atau
deficit democracy untuk menggambarkan demokrasi di Indonesia. Namun
Olle juga mengatakan bahwa yang defisit inilah yang menjadi normalitas
demokrasi di Indonesia. lihat Tornquist, Olle, “Introductions and Conclusions:
From Liberal and Social Democratic Peace to Indonesian Normalisation” in
Tornquist, Olle; Stanley Adi Prasetyo and Teresa Birks (eds.), 2011, Aceh: the
Role for Peace and Reconstruction, Yogyakarta: PCD Press – CESSAS UGM
Purwo Santoso 11
12. Di level publik pengalaman kita dengan kedua model tersebut juga sama-sama
menghasilkan pragmatism. Di masa Orde Baru, sama seperti elitenya, publik pemilih
sebagai publik yang politis sengaja dipinggirkan dan direduksi hanya dalam masa-
masa menjelang dan momen pemilu. Artikulasi politis dari kepentingan kelas, etnis,
dsb. akan segera mendapatkan respon keras dari negara. Sebagai kompensasinya,
Orde Baru menjanjikan kemakmuran ekonomi. Ini membuat publik pada periode itu
menjadi pragmatis. Seperti diilustrasikan di atas, praktek politik normal di Indonesia
pada era reformasi sekarang juga bermuara pada pragamatisme yang sama. Di sini
kita bisa melihat depolitisasi dan politisasi publik pemilih berujung pada situasi yang
sama. Publik pemilih tetap menjadi floating mass dan bukan warga negara yang sadar
akan hak politiknya dan secara aktif terlibat dalam proses politik sebagai karakter
utama demokrasi.
Dari refleksi atas pengalaman Indonesia mempraktekkan kedua model
tersebut, didapati bahwa proses pilkada ternyata tidak menghasilkan situasi
sebagaimana diinginkan oleh masing-masing political setting yang membingkainya.
Selalu ada kepincangan yang terjadi akibat wrong-mixture yang menghasilkan
kepincangan, baik ketika dipinggirkan adalah aspek kompetensi maupun representasi.
Sederhananya, jalan yang diambil untuk keluar dari situasi ini adalah, apapun model
yang dipilih, yang menjadi tujuan adalah menyeimbangkan aspek kompetensi dan
aspek representasi dalam pilkada, karena keduanya bukanlah dua hal yang beroposisi
secara diametral. Bagian berikut dari tulisan ini akan membahas bagaimana
menciptakan keseimbangan tersebut melalui tranformasi publik pemilih dari floating
mass yang pragmatis menjadi publik warga negara yang aktif secara politik, yaitu
demos.
Sebagai prasyarat awal untuk bisa menyeimbangkan aspek kompetensi dan
representasi tersebut, diperlukan pendekatan baru untuk melengkapi pendekatan legal
yang selama ini mendominasi wacana demokrasi dan demokratisasi di Indonesia.
Pendekatan itu adalah pendektan kultural. Transformasi wrong-mixture menjadi local
democratic governance mensyaratkan transformasi yang berhasil/tidaknya diukur dari
terlembaga/tidak terlembaga-nya nilai-nilai demokrasi dalam perilaku keseharian
publik. Pengendapan nilai untuk terekspresi secara spontan dalam perilaku keseharian
menuntut pendekatan yang bersifat kultural, disamping juga pendekatan legal.
D. WHAT IS TO BE DONE?
Melalui makalah ini, penulis merekomendasikan satu solusi untuk keluar dari
permasalahan kegagalan model pilkada menghasilkan pemimpin yang kompeten dan,
lebih luas lagi, kegagalan mewujudkan demokrasi. Sejalan dengan semangat untuk
keluar dari proseduralisme yang melatarbelakangi penulisan makalah ini, solusi yang
ditawarkan juga tidak ingin terjebak dalam dikotomi dua model pilkada yang seakan-
akan menjadi opsi either-or dalam wacana yang sedang kita bangun sekarang ini.
Alternatif solusi yang ditawarkan di sini adalah mentransformasikan wrong mixture
Purwo Santoso 12
13. yang selama ini dihasilkan oleh model-model pilkada yang kita adopsi menjadi local
democratic governance.
Pilkada dalam konteks ini merupakan instrument untuk menjaring dan
menghasilkan kepemimpinan lokal yang kompeten. Kompetensi di sini dimaknai,
pertama, sebagai kapasitas dari pemimpin tersebut untuk menjaring berbagai isu yang
beredar di masyarakat dan menterjemahkannya menjadi substansi kebijakan.
Kompetensi yang lain adalah kompetensi pemimpin untuk mengelola berbagai
kepentingan yang ada di masyarakat yang saling bertarung satu sama lain untuk
diagendakan sebagai agenda publik. Selain itu, kompetensi di sini juga mencakup
kemampuan dari pemimpin tersebut untuk mengendalikan dan menggerakkan mesin
birokrasi. Dalam pengertian di atas, kompetensi bukanlah sesuatu yang harus
dibangun dengan mengorbankan representasi.
Di sini partai politik, sebagai aktor politik utama dalam political setting di era
reformasi ini, mampu memfasilitasi upaya memunculkan aktor politik yang kompeten
di tingkat lokal. Namun, sejauh ini partai politik dinilai masih gagal dalam
menjalankan fungsi ini dan cenderung disibukkan dalam berbagai aktifitas politik
yang, disadari atau tidak, melembagakan politik biaya tinggi yang diilustrasikan di
atas.
Partai politik perlu ditransformasikan untuk berfokus pada fungsi penjaringan
isu. Pada saat yang sama, isu yang berhasil dijaring ini digunakan menyeleksi calon-
calon pemimpin politik dengan melihat apa yang bisa ditawarkan oleh para kandidat
untuk menjawab berbagai isu tersebut. Kemudian partai politik membawanya isu-isu
tersebut ke dalam forum publik, seperti parlemen, untuk diperjuangkan menjadi
bagian dari agenda kebijakan publik.
Sama seperti proses elite captured democracy, kegagalan partai politik dalam
menjalan fungsi-fungsi ini dipandang sebagai sesuatu yang hampir bisa dipastikan
akan terjadi dalam konteks Indonesia saat ini. Malahan, partai politik ini jugalah yang
berkontribusi pada munculnya fenomena pembajakan demokrasi oleh elite, karena
mekanisme pengkaderan dan kandidasi yang lebih mengedepankan kemampuan calon
kader dan kandidat untuk mengakses sumber daya, yang berkorelasi positif dengan
kemampuan kadernya melakukan vote buying.
Dalam situasi seperti ini, publik pemilih sebetulnya memainkan peran
strategis untuk mendorong dan menggiring partai politik dan para politisi untuk
menjalankan fungsi-fungsi seperti di atas. Namun demikian, untuk melakukan fungsi
tersebut publik pemilih harus terlebih dahulu ditransformasikan menjadi publik warga
negara atau demos. Padahal, transformasi semacam ini mensyarakat adanya partai
politik yang memiliki kapasitas pengakaran – party rooting sementara sebagian besar
partai politik yang ada telah terjebak dalam arus pragmatism yang dihasilkan oleh
wrong mixture praktek demokrasi di Indonesia.
Hal ini tentunya memunculkan situasi dilematis ketika kita ingin mewujudkan
democratic local governance. Dalam situasi dilematis seperti ini, committed agent
menempati posisi yang strategis. Karena bagaimanapun juga, dalam pragmatism yang
menjadi norma demokrasi di Indonesia saat ini masih banyak orang atau kelompok
orang yang memlihat bahwa apa yang terjadi saat ini adalah suatu situasi yang
pincang, yang menuntut solusi lebih dari sekedar perubahan aturan atau prosedur.
Purwo Santoso 13
14. Kesempatan yang muncul dari situasi dilematis inilah yang diharapkan oleh penulis
bisa dimainkan secara strategis oleh organisasi sosial seperti AMPI. Pemanfaatan
peluang ini secara strategis diartikan sebagai kapasitas AMPI untuk memenangkan
kompetisi politik dengan strategi baru yang sama sekali jauh dari pragmatisme politik
dan praktek patronase dengan segala ikutnnya. Peta jalan yang bisa dimanfaatkan
oleh organisasi sosial seperti AMPI akan dibahas di bagian kesimpulan berikut ini.
Generasi muda di Indonesia diidentikan sebagai kelompok pionir
pembaharuan. Dalam narasi sejarah Indonesia, berbagai titik krusial yang menandai
perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa selalu memposisikan pemuda
sebagai penggagas ataupun penggeraknya. Organisasi sosial kepemudaan, seperti
AMPI, tentunya diharapkan mewarisi semangat pembaharuan yang selama ini
dilekatkan pada generasi muda tersebut.
Dalam situasi dilematis untuk mewujudkan democratic local governance,
semangat dan peran pembaharu dari generasi muda itulah yang diharapkan dari
organisasi sosial kepemudaan seperti AMPI. Lebih dari itu, jika AMPI ingin
berkembang, justru harus sanggup mengantisipasi hal itu. AMPI harus membuktikan
kemampuanya untuk menjadi pembaharu, sebagaimana tersurat dari namanya.
Dalam sejarahnya AMPI didirikan oleh cikal bakal dari sebuah rezim yang
menguasai Indonesia selama lebih dari tiga dekade melalui sebuah system
pemerintahan yang sangat terpusat. Dalam periode itu AMPI sempat sekedar menjadi
instrumen dari penguasa, sehingga semangat pembaharuan yang diharapkan dari
kepemudaan AMPI terpinggirkan oleh tuntutan melestarikan (lawan kata
pembaharuan) kekuasaan. Karena itu, sebelum mengupayakan perubahan political
setting seperti yang akan dikemukakan berikut ini, perlu disadari bahwa itu semua
hanya mungkin dilakukan jika AMPI mampu mentransformasikan dirinya menjadi
AMPI Baru. AMPI Baru ini adalah AMPI yang mampu mengekspresikan kembali
semangat kepemudaan dan pembaharuan.
Posisi organisasi sosial kepemudaan sepertai AMPI sesungguhnya sangat
strategis karena organisasi seperti ini menjadi salah satu supplier utama para
pemimpin dari kalangan masyarakat sipil. Dalam hal ini posisi AMPI menjadi lebih
strategi lagi karena adanya saluran yang membawa kader-kader yang dihasilkan
AMPI masuk dalam kancah politik melalui Partai Golkar.
Dengan adanya pemuda-pemuda yang mendidik diri untuk menjadi politisi
muda di dalam wadah AMPI inilah sebetulnya AMPI bisa memainkan peran strategis
untuk mentransformasikan floating mass menjadi demos. Pemuda-pemuda ini
nantinya akan menjadi politisi dan memegang kepemimpinan politik. Kalaulah
mereka telah memiliki kesadaran sebagai bagian dari demos, tentunya mereka akan
menjalankan praktek politik dengan cara tersebut. Pada gilirannya, mereka akan
mengajak publik pemilih untuk melakukan praktek politik dalam kesadaran posisinya
sebagai demos atau warga negara yang sadar akan haknya dan terlibat secara aktif
dalam permasalahan publik. Dengan cara ini, politik biaya tinggi akan bisa direduksi
sampai ke level minimal.
Perlu digarisbawahi bahwa politik murah di sini tidak berarti murahan.
Malahan sesungguhnya politik yang dilakukan dalam kesadaran sebagai demos ini
meminta biaya yang sangat tinggi karena investasi awal yang harus dilakukan tidak
Purwo Santoso 14
15. hanya investasi finansial ekonomi. Lebih dari itu investasi yang dilakukan di sini
adalah investasi sosial dan investasi politik. Mempersiapkan kader-kader muda calon
politisi menjadi kader yang berkesadaran sebagai warga negara adalah sebuah
investasi sosial ketika sebagian besar masyarakat yang lain masih berpikir dan
bertindak dalam logika pragmatisme. Menjadikan mereka sebagai jagoan dalam
kompetisi politik di tengah sistem politik yang pragmatis seperti sekarang ini adalah
sebuah pertaruhan politik. Tetapi dari situlah pembaharuan itu diawali. Tidak
melakukan ini sama saja mempertaruhkan semangat pembaharuan yang menjadi label
generasi muda, termasuk AMPI.
Ukuran efektif tidaknya langkah pembaharuan yang dilakukan oleh generasi
muda, khususnya dalam konteks AMPI, salah satunya bisa dilihat dalam kriteria
elektabilitas yang menentukan menang/kalahnya seorang kader dalam kompetisi
politik. Kompetisi politik ini tidak hanya dalam even yang disebut pilkada atau
pemilu, tetapi juga proses kompetisi politik dalam internal AMPI maupun dalam
internal partai politik.
Di internal organisasi dan partai politik, AMPI bisa memulai melembagakan
nilai-nilai kewarganegaraan dan mengajak partai politik menang dengan cara baru
untuk memenangkan pilkada dalam bingkai demokrasi yang bottom up. AMPI bisa
memulai dengan skema mekanisme penentuan kepemimpinan dan kebijakan di
internal organisasinya dan mendorong ini menjadi sebuah best practice untuk
kemudian direkomendasikan untuk diadopsi oleh partai politik. Ini berarti kesadaran
sebagai demos ini meluas tidak hanya menjadi aturan bersama bagi anggota AMPI
tetapi juga aturan bersama bagi seluruh anggota partai politik. Dengan cara ini pula
kader-kader AMPI bisa memaksimalkan elektabilitasnya untuk terpilih sebagai kader,
atau kandidat, yang diusung partai politik karena mereka adalah produk utama dari
sistem yang diadopsi oleh partai politik.
Di wilayah eksternal, jika suatu saat AMPI dan Golkar berhasil menang
dengan cara baru ini, cepat atau lambat ini akan mentransformasi partai-partai politik
lain dan pada akhirnya political set-up yang bekerja. Kemenangan dalam pemilu
maupun pilkada tidak akan mengangkat nama si pemenang tetapi juga cara yang
digunakan oleh si pemenang untuk meraih kemenangannya. Ketika nilai dan norma
berbasis kesadaran demos ini berhasil diadopsi untuk meraih kemenangan bagi
Golkar, sebagai partai politik cantolan AMPI, tentunya nilai dan norma tersebut akan
diadopsi oleh yang partai politik lain yang juga ingin mengikuti jejak Golkar untuk
memenangi pemilu atau pilkada. Ini akan menggiring pada perubahan perilaku yang
pada gilirannya mendorong pada perubahan political setting.
Hal ini bahkan bisa dimulai ketika AMPI dan GOLKAR tidak berada dalam
posisi sebagai bagian dari partai atau koalisi partai yang memerintah. Ketika AMPI
maupun GOLKAR berperan sebagai oposisi, transformasi bisa dilakukan dengan
mendiseminasikan kesadaran sebagai demos pada kadernya dan publik yang lebih
luas, AMPI dan GOLKAR bisa menggalang pengembangan kapasitas kontrol publik
warga negara dalam keterlibatan politik untuk mewujudkan democratic local
governance, misal membatasi korupsi; menuntut transparansi proses kebijakan
pemerintah di tingkat lokal.
Purwo Santoso 15
16. Kapasitas diseminasi dan transformasi nilai ini mensyaratkan adanya
kapasitas untuk memproduksi dan mereproduksi wacana yang kuat dari AMPI
maupun GOLKAR. Untuk itu perlu dikembangkan suatu think tank di internal AMPI.
Think tank ini tidak harus menjadi organ tersendiri, di mana hanya orang-orang yang
termasuk didalamnya yang boleh ikut berwacana. Sebaliknya kapasitas memproduksi
wacana ini harus tesebar secara merata di seluruh elemen AMPI dan GOLKAR.
Kalaupun ada organ think tank tersendiri, tugasnya adalah menangkap isu yang
bertebaran di publik, membawanya menjadi bahan diskusi dan perdebatan di internal
AMPI maupun GOLKAR, dan mengelola pengetahuan yang dihasilkan dari
perdebatan tersebut sebagai potensial input untuk pembuatan kebijakan.
Ketika kesadaran sebagai demos sudah terdiseminasi dan terlembaga dalam
perilaku keseharian publik, perdebatan tentang model pilkada seperti apa yang lebih
menjamin terpilihnya kepala daerah yang representatif menjadi lebih substantif dan
tidak lagi berkutat di kisaran prosedur. Ini untuk menjaga agar kita tidak lagi terjebak
dalam kesalahan wrong-mixture sebagaimana ditunjukkan oleh hasil refleksi atas
pengalaman Indonesia mempraktekkan dua model tersebut. Karena jika yang ingin
dicapai adalah tata pemerintahan yang demokratis, yang dibutuhkan adalah
transformasi yang lebih subtantif, yaitu transformasi tata nilai dan perilaku yang
menstruktur cara berpikir dan berperilaku dari publik yang hendak berdemokrasi
tersebut.
Demikianlah evaluasi terhadap dua model pilkada yang saya tuangkan dalam
makalah ini. Saya harap, pemikiran yang ada di sini bermanfaat bagi terwujudnya
cita-cita kita bersama akan Indonesia yang lebih adil dan demokratis dan AMPI serta
GOLKAR mampu memainkan peran yang krusial dan positif didalamnya.
D. KESIMPULAN
Evaluasi yang diselenggarakan dalam telaah ini menunjukkan bahwa kita
telah menyerahan nasib publik ditangan para ahli yang menguasai peraturan
perundang-undangan. Agenda reformasi, termasuk didalamnya agenda electoral
reform atau electoral engeenering kita biarkan menjadi praktikum ilmiah para ahli.
kondisi yang diidealkan para ahli tidak kunjung terwujud karena kita, secara diam-
diam, ternyata sanggup menggagalkanya dengan tidak memenuhi kualifikasi yang,
seharusnya dipersyaratkan oleh para reformer atupun engeener. Para pakar electoral
engeenering sepertinya berbaiksangka, bahwa kita dapat mengidentifikasi kesalahan-
kesalahan yang kira perbuat manakala aturan main berkompetisi menjala kepala
daerah mereka ubah, lalu dikukuhkan oleh para wakil rakyat. Tapi nyatanya, selama
ini kita tidak melakukannya. Apakah kita harus minta kepada electoral engeeners dan
electoral reformers untuk membenturkan kita pada kesalahan lama secara berulang-
ulang ? Tidak !
Purwo Santoso 16
17. Apapun model pemilihan kepala daerah yang diberlakukan, stock pemimpin
yang berkualitas harus diperbaiki dan diperbanyak. Yang jelas, praktek demokrasi
yang mensyaratkan kompetisi diantara para kandidat akan membentuk elitisme, yang
tidak lain adalah cacat bawaan demokrasi liberal.10 Elitlah yang pada gilirannya
memanfaatkan demokrasi secara lebih maksimal. Sehubungan dengan santernya
wacana untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke model lama, model pemilihan
tidak langsung, hal ini dapat dibaca sebagai upaya untuk menekan biasa pemenangan,
namun sama sekali tidak menjamin terwujudnya demokrasi lokal.
Agar peluang elite untuk mencurangi massa bisa ditekan, maka
pengembangan demos adalah keniscayaan. Tanpa itu, demokrasi akan menjadi
formalisme untuk penyembunyian dominasi elit. Ini adalah amanat yang harus
diemban oleh organisasi politik dan kemasyarakatan, tidak terkecuali AMPI. Hal ini
tidak harus memnjadi beban sepihak kalau AMPI dan organisasi sejenis sanggup
memperlakukannya sebagai peluang untuk menang sambil memperbaiki demokrasi
kita.
Selamat berjuang. Selamat merebut kemenangan dengan cara baru !
10 Thomas R. Dye, Harmon Ziegler, Late; The Irony of Democracy: An
Uncommon Introduction to American Politics, Wadsworth Cengage Learning,
Forteenth Edition, 2009.
Purwo Santoso 17
18. BIBLIOGRAPHY
Erb, Maribeth dan Priyambudi Sulistiyanto, 2009, Deepening Democracy in
Indonesia? Direct Elections for Local Leader (PILKADA), Singapore:
ISEAS Publishing, p.190
Dye, Thomas R., Harmon Ziegler, Late; The Irony of Democracy: An Uncommon
Introduction to American Politics, Wadsworth Cengage Learning,
Fourteenth Edition, 2009.
Nordholt, Henk Schulte et.al. (eds.), 2007, Politik Lokal di Indonesia – (translated
from Renegotiating Boundaries, local politics in post-Soeharto Indonesia
by Bernard Hidayat), Jakarta: YOI and KITLV
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz, 2004, Reorganising Power in Indonesia: the
Politics of Oligarchy in the Age of Market, Routledge;
Samadi, W.P. dan Nicolaas Warouw, “A Decade of Reformasi: Unsteady
Democratisation” dalam Journal PCD Publication Online - Volume
Volume I Number 1-2 (Double Issues), Published by Power, Conflict and
Democracy Publishing, http://www.pcd.ugm.ac.id/pcd6Maret09/
index.php?mod=detailc&content_id=3&volume_id=1; Nov 3, 2011,
11:13am
Tornquist, Olle; Stanley Adi Prasetyo and Teresa Birks (eds.), 2011, Aceh: the Role
for Peace and Reconstruction, Yogyakarta: PCD Press – CESSAS UGM.
Purwo Santoso 18