Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di itr)
1. www.futurumcorfinan.com
Page 1
Isu-isu Penentuan Tarif Royalti dalam
Transfer Pricing
Pendahuluan
Awal September 2010 lalu, Direktur Jenderal Pajak telah menelurkan suatu
peraturan bernomor PER-43/PJ./2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa (selanjutnya disebut PER-43). Dalam aturan ini,
Dirjen Pajak telah merinci metode penentuan harga transfer yang dapat diterapkan,
yaitu comparable uncontrolled price (CUP), cost plus method (CPM) dan
transactional net margin method (TNMM).
Ketiga metode tersebut, pada dasarnya berpijak pada analisa kesebandingan.
Namun dalam perkembangannya, sejauh menyangkut tarif royalti terdapat
penekanan pada apakah penggunaan suatu Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau
aktiva tidak berwujud, memberikan manfaat bagi perusahaan Wajib Pajak, atau
secara umum dikenal sebagai uji manfaat (benefit test).
Dalam Pasal 17 ayat (1) PER-43/PJ./2010 terdapat penyebutan manfaat ekonomis
atau komersial, namun tidak terdapat rincian lebih lanjut. Interpretasi umum yang
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
2. www.futurumcorfinan.com
Page 2
ada menunjukkan eksistensi manfaat terletak pada adanya harga premium produk
yang dapat dijual, pangsa pasar yang lebih tinggi, penghematan biaya, kurva
pembelajaran yang lebih singkat, atau nama merek yang kuat.
Definisi royalti sendiri, dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (UU PPh), mengacu pada imbalan atas penggunaan atau hak
menggunakan berbagai HAKI maupun pengetahuan, peralatan/perlengkapan
industrial, film, dan sebagainya. Jadi, kata kuncinya adalah imbalan. Di mana,
tampaknya pihak Dirjen Pajak melihat bahwa pembayaran royalti tersebut sangat
terkait dengan pengembalian investasi.
Konteks dari pembayaran royalti ini pada umumnya didapatkan pada dunia bisnis.
Dapat disimpulkan bahwa ada motif profit-seeking dari pembayaran royalti. Bisnis
sendiri merupakan serangkaian kegiatan dan aktiva yang digunakan dan dikelola
untuk tujuan mendatangkan imbal hasil kepada investor. Dengan demikian, adalah
logis bahwa pembayaran royalti terkait dengan pemberian imbal hasil kepada
investor, sehubungan dengan penggunaan atau hak untuk menggunakan HAKI
(Smith dan Parr, 2000). Penggunaan atau hak menggunakan HAKI sendiri adalah
satu satu input dalam proses bisnis untuk menghasilkan pendapatan yang dapat
diidentifikasi.
Pendapatan yang dapat diidentifikasi tersebut berarti: (1) Ada probabilitas (secara
umum di atas 50%) bahwa manfaat ekonomis yang terkait dengan transaksi tersebut
akan mengalir kepada perusahaan, dan (2) Jumlah pendapatan itu sendiri dapat
diukur dengan handal. Oleh karenanya, tidak mengherankan bahwa tarif royalti pada
umumnya ditentukan persentase tertentu dari penjualan, margin kotor, atau
volume/kuantitas penjualan.
Di samping itu, mengingat konteks pembayaran royalti dalam dunia bisnis masih
terkait dengan imbal hasil di atas, diharapkan dari penggunaan HAKI tersebut, bisnis
tersebut akan menghasilkan pendapatan dan laba. Laba (sebelum beban royalti dan
pajak) inilah yang akan dibagi di antara pemegang HAKI dengan pihak yang
membayar royalti. Namun, bicara bagi-hasil pun bisa menjadi rumit, karena laba
yang dihasilkan dari suatu bisnis merupakan hasil kontribusi dari seluruh input-input
yang ada, termasuk modal kerja, aktiva tetap, dan aktiva tidak berwujud lainnya,
3. www.futurumcorfinan.com
Page 3
termasuk goodwill, jaringan distribusi, bahkan lokasi. Pertanyaannya kemudian,
bagaimana mengetahui berapa besar kontribusi penggunaan HAKI, atas mana
pembayaran royalti, dilakukan terhadap laba yang ada.
Tantangan lainnya adalah pemeriksaan oleh pihak fiskus. Pada umumnya
pemeriksaan pajak dilakukan atas satu tahun pajak dan uji manfaat yang ditekankan
menjadi problematik. Pasalnya, seperti kita ketahui, suatu investasi atau usaha
pemasaran tidak secara otomatis manfaatnya dapat dinikmati atau terlihat pada
tahun terjadinya pengeluaran, termasuk pembayaran royalti.
Di samping itu, perlu diingat bahwa jangka waktu perjanjian royalti adalah untuk
jangka panjang, bahkan dalam beberapa perjanjian, tidak memiliki batas waktu.
Dengan kata lain, tarif royalti ditentukan di muka (misalnya 5% dari tingkat
penjualan) dan tarif ini dapat berlaku sampai, misalnya, 20 tahun tanpa perubahan.
Jadi, dapat disimpulkan secara implisit, perjanjian royalti adalah untuk manfaat yang
kemungkinan besar hanya dapat dianalisis untuk beberapa tahun pajak.
Keputusan penentuan tarif royalti adalah keputusan bisnis yang disepakati pada saat
perjanjian dibuat dan pemeriksaan pajak dapat saja tidak terjadi sampai beberapa
tahun kemudian. Tentunya, selama periode tersebut dapat terjadi laba perusahaan
mengalami kenaikan dan penurunan sejalan dengan konjungtur ekonomi, siklus
produk (pengenalan, pertumbuhan, matang, dan penurunan, atau bahkan ada tahap
inovasi berkelanjutan), kondisi internal perusahaan (arus barang, pabrik, tenaga
kerja, overhead, dan sebagainya), kondisi vendor (jadwal pengiriman barang yang
tidak tepat waktu), dan sebagainya. Pada saat yang sama OECD Transfer Pricing
Guidelines tidak memperbolehkan penggunaan pengetahuan hindsight dalam
analisa transfer pricing.
Pemeriksaan pajak atas tarif royalti yang tidak mencakup beberapa periode akan
selalu mendatangkan tantangan tersendiri bagi pihak Wajib Pajak untuk memberikan
justifikasi atas tarif royalti yang dibayar. Apalagi, dokumentasi transfer pricing untuk
keperluan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak dipersiapkan pada
umumnya beberapa bulan menjelang batas akhir penyampaian SPT. Sedangkan
keputusan penentuan tarif royalti dapat terjadi beberapa tahun sebelumnya, dimana,
kondisi bisnis, asumsi bisnis, indikator makro ekonomi, ekspektasi imbal hasil market,
dan sebagainya, dapat sangat berbeda.
4. www.futurumcorfinan.com
Page 4
Dengan demikian, Wajib Pajak kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam
menjelaskan dengan gamblang mengenai tarif royalti, bahkan melalui analisa
kesebandingan dan metode-metode penentuan harga wajar yang ada (CUP, CPM,
dan TNMM). Risiko terburuknya, tarif royalti dapat dikoreksi menjadi nihil atau
dianggap tidak memberikan manfaat apapun kepada bisnis Wajib Pajak.
Semua tantangan di atas, baik untuk fiskus maupun Wajib Pajak, timbul karena
memang elemen kunci dari pengenaan pajak atas aktiva tidak berwujud atau HAKI
yang menimbulkan sengketa pajak belum disepakati antar pihak yang
berkepentingan. Untuk tujuan perpajakan, wajib diperjelas apakah hanya legally
enforceable/protected intangible asset saja yang dapat diakui biaya royalti-nya?
Bagaimana dengan aktiva tidak berwujud yang bersifat “de facto” atau yang
“commercially transferrable” walaupun tidak “legally protected intangible asset”.
Dengan kata lain, hanya dicakup oleh perjanjian/kontrak antar dua pihak.
Marketing intangible sendiri menimbulkan tantangan tersendiri karena Wajib Pajak
mengeluarkan seluruh biaya pemasaran dan promosi untuk membawa suatu
marketing intangible ke pasar domestik. Di mana, biaya tersebut dibebankan
seluruhnya pada laporan laba rugi (mengurangi Penghasilan Kena Pajak), tetapi
pada saat bersamaan, Wajib Pajak membayar biaya royalti untuk intangible ke pihak
licensor. Dengan bahan marketing yang diperoleh Wajib Pajak dari perusahaan
licensor, dan strategi dan sumberdaya (promosi penjualan, iklan, tenaga penjualan,
jaringan distribusi) yang dikembangkan Wajib Pajak, dapat memberikan
pertumbuhan bisnis yang tinggi. Yang menjadi isu adalah apakah Wajib Pajak
berhak mengambil bagian atas laba yang dihasilkan dari pertumbuhan yang tinggi
tersebut? Dalam kasus sengketa perpajakan, misalnya Maruti Suzuki (India), otoritas
perpajakan beragumentasi bahwa biaya-biaya marketing yang dikeluarkan Wajib
Pajak adalah untuk membawa manfaat bagi perusahaan licensor dan bukan Wajib
Pajak, sehingga biaya-biaya tersebut tidak dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak Wajib Pajak.
Bagaimana dengan manufacturing intangible sendiri? Item-item atau atribut apa saja
yang dapat diterima oleh pihak fiskus yang memang dianggap memberikan
kontribusi kepada penjualan? Misalnya, know-how, inovasi manufaktur, formula,
layout pabrik, dan sebagainya. Bagaimana mengaitkan masing-masing item dengan
peningkatan penjualan?
5. www.futurumcorfinan.com
Page 5
Mengingat bahwa intangible itu sendiri nilainya tidak terkait dengan bentuk fisiknya,
maka dengan mudah intangible dapat dipecah-pecah dan dipegang oleh pihak-pihak
di negara-negara yang memang diarahkan ke perencanaan pajak. Misalnya, suatu
intangible di negara A, dipecah menjadi dua intangible, satu marketing intangible,
ditransfer ke negara B dan intangible lainnya di transfer ke negara C. Di mana pada
akhirnya, semua royalti yang diterima oleh negara B dan negara C akan ditransfer ke
negara A juga. Dengan kata lain, pada waktu ada konflik antara beneficial ownership
dan uji pengendalian praktis, di mana posisi fiskus? Bagaimana dengan pembayaran
atas produk/jasa di mana pembayaran tersebut juga untuk pembayaran royalti yang
digabungkan ke dalam pembayaran atas produk/jasa?
Jadi, dapat disimpulkan ada tiga permasalahan yang meliputi royalti dalam transfer
pricing, yaitu (1) Esensi pembayaran royalti itu sendiri? Apakah valid?, (2) Tarif
royalti yang dibayar, dan (3) Pihak penerima royalti dipertanyakan apakah memang
sebagai beneficial owner atau legal owner?
Untuk masalah (1) dan (3), transaksi atas intangible menjadi persoalan tersendiri. Di
mana, transaksi atas intangible biasanya melibatkan intangible yang unik, yang pada
umumnya tidak akan ditransaksikan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa. Apalagi mengingat adanya transaksi di mana hak atau know-
how yang berharga atau unik tersebut di-bundle dan ditransfer/dilisensikan, di mana
akan terbatas bagi pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Analisis kesebandingan berupa perbandingan pasar dengan sendirinya tidak akan
dapat ditemukan untuk intangible yang memang di-bundle atau bahkan pendekatan
biaya (cost to replicate) sekalipun belum dapat diandalkan. Transaksi-transaksi
intangible juga banyak yang merupakan “closely linked” sehingga evaluasi transaksi-
transaksi tersebut tidak dapat dilakukan secara memadai apabila secara terpisah-
pisah.
Untuk permasalahan ke-2, Pasal 6.20 dan Pasal 9.59 OECD Transfer Pricing
Guideline memberikan kemungkinan penggunaan penghitungan net present value
dan metode discounted cash flow (DCF) diterima juga oleh OECD dengan
melakukan analisis dua keadaan, yaitu “as is” dan “after transaction”. Dengan
demikian, nilai kini dari keadaan “sebelum transaksi” dan “sesudah transaksi”
diperbandingkan untuk melihat apakah kondisi Wajib Pajak pembayar royalti akan
6. www.futurumcorfinan.com
Page 6
lebih baik atau lebih buruk.
Pendekatan DCF juga memiliki keunggulan karena dapat disesuaikan dengan isi
persyaratan dan kondisi perjanjian, sifat dari intangible, maupun untuk transaksi
package deal atau yang di-bundle. Tentunya, yang menjadi tantangan ke depan
adalah apakah metode DCF yang dikenal di dunia penilaian, baik untuk pelaporan
keuangan maupun untuk manajemen keuangan, harus dilakukan penyesuaian pada
saat diterapkan ke dalam penilaian tarif royalti untuk tujuan transfer pricing?
~~~~~~ ####### ~~~~~~