Pemberian kompos leguminosa dengan menggunakan bioaktivator Trichoderma sp. dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai melalui peningkatan kesuburan tanah dan aktivitas mikroba. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis kompos leguminosa terbaik untuk tanaman cabai varietas SSP IPB.
PPT DENIES SUSANTO AHLI MADYA BANGUNAN PERAWATAN GEDUNG 1.pptx
Presentation1
1. PROPOSAL
APLIKASI BEBERAPA DOSIS KOMPOS LEGUMINOSA DENGAN PENGGUNAAN BIO-AKTIVATOR
Trichoderma sp. TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI (Capsicum
annuum L
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pelajaran Aplikasi Komputer
Dosen Pembimbing : Rahmat Novrianda, ST
Disusun oleh ;
Eka Agustina (1501006)
SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN
Jl. Demang IV Pakjo
Palembang 30136
2015/2016
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul “Aplikasi Beberapa
Dosis Kompos Leguminosa dengan Penggunaan Bio-Aktivator Trichoderma sp. Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum Annuum L)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Fifi Puspita, MP sebagai dosen pembimbing I dan Ir.
Armaini, M.Si sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk
dan motivasi sampai selesainya usulan penelitian ini.
Tidak lupa pula buat seluruh rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis di dalam
penyelesaian usulan penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Tidak ada yang
pantas diberikan, selain balasan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk kemajuan kita semua dalam
menghadapi masa depan nanti.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan agar usulan penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan
dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian.
Palembang, 06 Juni 2016
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN STIPER SRIWIGAMA
PALEMBANG
2016
3. Rendahnya produktivitas cabai di Riau salah satunya disebabkan petani cabai yang belum menggunakan benih cabai varietas unggul,
padahal dengan penggunaan varietas unggul tanaman cabai produksinya bisa mencapai 15-20 ton/ha (Suseno, 2002). Varietas cabai
SSP IPB yang digunakan dalam penelitian ini merupakan salah satu varietas cabai yang dikeluarkan oleh Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB yang memiliki rasa pedas (kandungan kapsaicin 967 ppm) dengan panjang buah 12-15 cm, bobot per buah 8-10
gram, produktivitas 700-800 gram/tanaman dan umur panen 72-78 hari setelah tanam, dimana untuk umur panen varietas ini lebih
cepat dibandingkan dengan varietas cabai pada umumnya.
Selain itu, rendahnya produktivitas cabai di Riau juga disebabkan penggunaan pupuk anorganik ( Urea, TSP, KCL ) secara terus
menerus yang tidak di imbangi dengan pupuk organik, sehingga dapat merusak tanah (Suseno, 2002). Pupuk anorganik sangat sedikit
ataupun hampir tidak mengandung unsur hara mikro, oleh sebab itu perlu di imbangi dengan penggunaan pupuk organik atau kompos
yang banyak mengandung hara mikro terutama kompos yang berasal dari daun-daunan seperti kompos leguminosa (Pracaya,
2001)
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan oleh petani cabai, karna bahan dasar kompos ini mudah
didapatkan serta tidak banyak mengeluarkan biaya, sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu sumber hara organik
alternatif yang dapat digunakan oleh petani cabai secara langsung (Krishnawati, 2003).
Kompos Leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman leguminosa oleh jasad renik (mikrobia) yang dalam penelitian ini
menggunakan Bio-
BAB.I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia dan
dibutuhkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, sehingga volume peredarannya di pasaran sangat besar. Secara umum cabai
memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Kabohidrat, Kalsium, Vitamin A, B1 dan
Vitamin C (Rukmana, 1995).
Menurut Badan Pusat Statistik (2012) produksi cabai merah di Provinsi Riau pada tahun 2011 adalah 15.909 ton dengan luas areal
panen 3.488 hektar dan produktivitas rata-rata 4,56 ton/hektar. Produktivitas cabai di Riau ini masih tergolong rendah jika
dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang ada di Indonesia pada umumnya seperti Sumatera Barat yang mencapai 65.108 ton
dengan luas areal panen 8.196 hektar dengan produktivitas rata-rata 7,94 ton/hektar, sedangkan Sumatera Utara 245.773 ton dengn
luas areal panen 22.129 hektar dan produktivitas rata-rata 11,11 ton/hektar
4. Aktivator Trichoderma sp. Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun juga
berperan dalam memperbaiki struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur hara dan memberikan makanan bagi
jasad renik yang ada dalam tanah, sehingga meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan
kompos leguminosa ini juga relatif mudah. Keunggulan lainnya adalah mudah terurai di dalam tanah sehingga mempercepat
penyiapan unsur hara bagi tanaman. Oleh sebab itu penggunaan kompos leguminosa diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Kartini, 2007).
Berdasarkan uraian dapat di identifikasi beberapa permasalahan rendahnya produktivitas cabai di Riau, disebabkan karena petani
cabai yang belum menggunakan benih cabai varietas unggul, penggunaan pupuk anorganik ( Urea, TSP, KCL ) secara terus
menerus yang tidak di imbangi dengan pupuk organik, sehingga di asumsikan penggunaan kompos leguminosa yang
memanfaatkan bioaktivator Trichoderma sp. dengan penggunaan varietas cabai SSP IPB, menjadi salah satu alternatif dalam
mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas cabai di Riau.
Berdasarkan dari penjelasan dan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi Beberapa
Dosis Kompos Leguminosa dengan Penggunaan Bio-Aktivator Trichoderma sp. Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman Cabai (Capsicum Annuum L)”.
1.2. Tujuan Penelitian
5. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh aplikasi beberapa dosis kompos leguminosa yang memanfaatkan bioaktivator
Trichoderma sp. dan mendapatkan dosis kompos leguminosa yang terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman cabai (Capsicum Annuum L).
1.3. Hipotesis
Pemberian kompos leguminosa dengan dosis 150 gram/tanaman atau setara dengan 30 ton/ha merupakan pemberian dosis terbaik
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Capsicum Annuum L).
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan (solanaceae) yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai
berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk
Negara Indonesia, mereka memanfaatkan tanaman berbuah pedas tersebut sebagai bumbu penyedap masakan (Prajnanta, 1999).
Dari masa ke masa, tanaman cabai mengalami perkembangan. Perkembangan ini bisa dikatakan sejalan dengan perkembangan
penduduk, kemajuan teknologi dan kemampuan berevolusi dan beradaptasi dari tanaman itu sendiri. Perkembangan penduduk
antara lain menyebabkan peningkatan permintaan akan cabai. Kemajuan teknologi yang ditopang oleh kemajuan berevolusi dan
beradaptasi, antara lain berhasil memurnikan varietas cabai yang ada (Pracaya, 2001).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh aplikasi beberapa dosis kompos leguminosa yang memanfaatkan
bioaktivator Trichoderma sp. dan mendapatkan dosis kompos leguminosa yang terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan
dan produksi tanaman cabai (Capsicum Annuum L).
1.3. Hipotesis
Pemberian kompos leguminosa dengan dosis 150 gram/tanaman atau setara dengan 30 ton/ha merupakan pemberian dosis
terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Capsicum Annuum L).
6. Di Indonesia sendiri, penanaman cabai bermacam-macam tergantung daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama
lain, misalnya, lombok, cengis, cengek, dan masih banyak lagi sebutan lainnya (Prajnanta, 1999). Dalam tata nama ilmiah,
menurut Suseno (2002) tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum, dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut : Kingdom
: Plantae, Divisi : Magnolioyt, Kelas : Magnoliopsida, Sub kelas : Asteridae, Ordo : Solanales, Famili : Solanaceae, Genus : Capsicum.
Tanaman cabai mempunyai akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar lateral, akar lateral mengeluarkan serabut,
mampu menembus kedalaman tanah sampai 50 cm dan melebar sampai 45 cm (Prihmantoro, 2001). Tanaman cabai merupakan
tanaman perdu dengan batang berkayu, batang akan tumbuh sampai ketinggian 120 cm, kemudian membentuk banyak
percabangan, dengan lebar tajuk tanam sampai 90 cm (Suseno, 2002).
Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang yang telah tua (biasanya batang paling
bawah), akan muncul warna coklat seperti kayu, ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim
(Prajnanta, 1999).
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk oval dan ada juga yang berbentuk
lonjong. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan (Prihmantoro, 2001).
7. 2.2. Syarat Tumbuh
Cabai dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 200 m dpl. Tetapi bila udara sangat dingin sampai embun membeku (frost)
mungkin tanaman akan mati (Prihmantoro, 2001). Penanaman cabai pada waktu musim kemarau dapat tumbuh dengan baik, asal
mendapat penyiraman yang cukup, temperatur yang baik untuk cabai adalah sekitar 200-250C. Bila temperatur sampai 350C maka
pertumbuhan kurang baik, sebaliknya bila temperatur di bawah 100C, pertumbuhan kurang baik bahkan dapat mematikan (Suseno,
2002).
Curah hujan pada waktu pertumbuhan tanaman sampai akhir pertumbuhan yang baik sekitar 600-1250 mm/tahun. Bila curah hujan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit, terbentuknya buah kurang dan banyak buah yang rontok (Prihmantoro, 2001). Tanah yang
tergenang air walaupun dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menyebabkan rontoknya buah. Kekurangan hujan dan tidak ada
pengairan juga dapat membuat tanaman cabai menjadi kerdil. Kelembaban yang rendah dan temperatur yang tinggi menyebabkan
penguapan tinggi, sehingga tanaman akan kekurangan air. Akibatnya kuncup bunga dan buah yang masih kecil banyak yang rontok
(Suseno, 2002). Tanah yang asam kurang baik untuk pertumbuhan cabai, maka perlu ditaburi kapur dan pupuk organik, tanah yang baik
bila mempunyai (pH) sekitar 6,5 (Wirakusumah, 1999).
2.3. Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (β-Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang
dapat bekerja secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik. Jamur
Permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus
dan ada pula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm berbentuk lonjong
(Pracaya, 2001).
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman
cabai termasuk dalam sub kelas Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal
atau bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga tanaman cabai warnanya
bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan dan ungu. Diameter bunga antara 5-20 mm (Panah Merah, 1999).
Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan
bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan
sendiri. Namun untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena itu, tanaman cabai
yang ditanam dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan tanaman cabai yang ditanam sendirian (Prajnanta,
1999).
Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki banyak variasi. Menurut Sutedjo (2002)
varietas dengan tipe elongate memiliki rasa yang sangat pedas, serta memiliki ukuran buah ± 12x0,8 cm, dan memiliki berat 5-6
gram.
8. Trichoderma sp. ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos, karna jamur ini dapat mempercepat proses dekomposisi bahan-
bahan organik yang akan digunakan sebagai pembuatan kompos juga menjadikan kompos yang kaya unsur hara baik makro maupun
mikro (Yulensri, Lucida dan Henny, 2007).
Hasil penelitian Puspita, Elfina dan Imelda (2007) menunjukan bahwa perlakuan Tricho-kompos pada dosis 30 gram/polybag bibit
kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit dan mengendalikan penyakit G.Boninense. Menurut Puspita
dkk (2009) menyatakan bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada dosis 50 gram/polybag ukuran 5 kg dapat menghambat intensitas
serangan G.Boninense sebesar 77,19 % dan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit.
2.4. Kompos Leguminosa
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan oleh petani cabai karna tanaman leguminosa mudah
didapatkan serta tidak banyak mengeluarkan biaya sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu sumber hara organik
alternatif yang dapat digunakan oleh petani cabai secara langsung (Krishnawati, 2003).
Kompos leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman leguminosa oleh jasad renik (mikrobia) dengan menggunakan
Bio-Aktivator Trichoderma sp. yaitu suatu jasad renik (mikrobia) dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (β-
Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang dapat
Trichoderma sp. dapat mengurangi bahan organik seperti karbohidrat terutama selulosa ( Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2003).
Trichoderma sp. merupakan salah satu jamur antagonis terhadap patogen tular tanah dan merupakan salah satu jamur tanah yang
termasuk Divisi: Eumycota, Sub divisi: Deuteromycotina, Kelas: Ascomycetes, Sub kelas: Hypocreacea, Ordo: Moniliales, Genus: Trichoderma
dan Spesies: Harzianum (Agrios, 1997). Trichoderma sp. secara alami merupakan parasit yang menyerang banyak jamur patogen tanaman
dan merupakan jamur yang terlibat dalam kompetisi alami sesama jamur. Benang-benang hifa dari jamur patogenik akan terpotong-
potong karna terlilit oleh hifa Trichoderma sp. (Novizan 2002). Menurut Rifai (1969) hifa Trichoderma sp. bercabang membentuk koloni
yang berbentuk atau seperti kapas dan berhubungan dengan pertumbuhan dan struktur konidiofornya, sebagian koloni membentuk
zona mirip dengan cincin yang khas dan jelas.
Trichoderma sp. dapat hidup pada kisaran suhu yang cukup luas yaitu pada suhu 15°C-37°C (Hardar, Harman dan Taylor, 1984).
Pertumbuhan optimum dari T.harzanium dan T.koningi adalah 25°C - 30°C. Pertumbuhan akan lambat pada pH 2-8 (Hardar, Harman dan
Taylor, 1984). Menurut Rifai (1969) Trichoderma sp. berkembang secara optimal pada pH 4,5 dan suhu 25°C. Selain itu jamur Trichoderma
sp. mempunyai keunggulan diantaranya mudah dalam aplikasi, harga terjangkau, tidak menghasilkan racun (toksin), ramah lingkungan,
tidak mengganggu organisme lain terutama yang berada di dalam tanah, serta tidak meninggalkan residu pada tanaman maupun di
tanah (Mardiansyah dan Widyastuti, 2007).
9. bekerja secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik atau pengomposan (Dinas Tanaman
Pangan Provinsi Riau, 2003).
Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun juga berperan dalam
memperbaiki struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur hara dan memberikan makanan bagi jasad renik
yang ada dalam tanah sehingga meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan
kompos leguminosa ini juga relatif mudah (Kartini, 2007).
Kompos leguminosa mengandung nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan kompos non leguminosa karna tanaman
leguminosa mempunyai bintil akar, dimana di dalam bintil akar ini hidup bakteri yang mampu menambat N2 dari udara.
Karenanya bintil akar pada tanaman leguminosa dapat dipandang sebagai sumber hara nitrogen alami (Krishnawati, 2003).
Dengan kemampuannya menambat nitrogen dari udara tersebut, kompos leguminosa menjadi sumber unsur hara nitrogen
bagi ekosistem tanah. Keunggulan lainnya adalah mudah terurai di dalam tanah sehingga mempercepat penyiapan unsur hara
bagi tanaman (Kartini, 2007).
10. Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang yang telah tua (biasanya batang paling bawah),
akan muncul warna coklat seperti kayu, ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim (Prajnanta,
1999).
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk oval dan ada juga yang berbentuk
lonjong. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan (Prihmantoro, 2001).
Permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus
dan ada pula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm berbentuk lonjong
(Pracaya, 2001).
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai
termasuk dalam sub kelas Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau
bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga tanaman cabai warnanya
bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan dan ungu. Diameter bunga antara 5-20 mm (Panah Merah, 1999).
Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan
bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan
sendiri. Namun untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena itu, tanaman cabai
yang ditanam dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan tanaman cabai yang ditanam sendirian (Prajnanta, 1999).
Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki banyak variasi. Menurut Sutedjo (2002)
varietas dengan tipe elongate memiliki rasa yang sangat pedas, serta memiliki ukuran buah ± 12x0,8 cm, dan memiliki berat 5-6
gram.
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan (solanaceae) yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai
berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia,
mereka memanfaatkan tanaman berbuah pedas tersebut sebagai bumbu penyedap masakan (Prajnanta, 1999).
Dari masa ke masa, tanaman cabai mengalami perkembangan. Perkembangan ini bisa dikatakan sejalan dengan perkembangan penduduk,
kemajuan teknologi dan kemampuan berevolusi dan beradaptasi dari tanaman itu sendiri. Perkembangan penduduk antara lain menyebabkan
peningkatan permintaan akan cabai. Kemajuan teknologi yang ditopang oleh kemajuan berevolusi dan beradaptasi, antara lain berhasil
memurnikan varietas cabai yang ada (Pracaya, 2001).
Di Indonesia sendiri, penanaman cabai bermacam-macam tergantung daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama lain,
misalnya, lombok, cengis, cengek, dan masih banyak lagi sebutan lainnya (Prajnanta, 1999). Dalam tata nama ilmiah, menurut Suseno (2002)
tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum, dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut : Kingdom : Plantae, Divisi : Magnolioyt, Kelas
: Magnoliopsida, Sub kelas : Asteridae, Ordo : Solanales, Famili : Solanaceae, Genus : Capsicum.
Tanaman cabai mempunyai akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar lateral, akar lateral mengeluarkan serabut, mampu
menembus kedalaman tanah sampai 50 cm dan melebar sampai 45 cm (Prihmantoro, 2001). Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan
batang berkayu, batang akan tumbuh sampai ketinggian 120 cm, kemudian membentuk banyak percabangan, dengan lebar tajuk tanam sampai
90 cm (Suseno, 2002).
11. 2.3. Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (β-Glukanase), proteinase dan enzim kitinase
yang dapat bekerja secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik. Jamur Trichoderma sp. dapat
mengurangi bahan organik seperti karbohidrat terutama selulosa ( Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2003).
2.2. Syarat Tumbuh
Cabai dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 200 m dpl. Tetapi bila udara sangat dingin sampai embun membeku
(frost) mungkin tanaman akan mati (Prihmantoro, 2001). Penanaman cabai pada waktu musim kemarau dapat tumbuh dengan baik,
asal mendapat penyiraman yang cukup, temperatur yang baik untuk cabai adalah sekitar 200-250C. Bila temperatur sampai 350C
maka pertumbuhan kurang baik, sebaliknya bila temperatur di bawah 100C, pertumbuhan kurang baik bahkan dapat
mematikan (Suseno, 2002).
Curah hujan pada waktu pertumbuhan tanaman sampai akhir pertumbuhan yang baik sekitar 600-1250 mm/tahun. Bila curah hujan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit, terbentuknya buah kurang dan banyak buah yang rontok (Prihmantoro, 2001). Tanah yang
tergenang air walaupun dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menyebabkan rontoknya buah. Kekurangan hujan dan tidak ada
pengairan juga dapat membuat tanaman cabai menjadi kerdil. Kelembaban yang rendah dan temperatur yang tinggi menyebabkan
penguapan tinggi, sehingga tanaman akan kekurangan air. Akibatnya kuncup bunga dan buah yang masih kecil banyak yang
rontok (Suseno, 2002). Tanah yang asam kurang baik untuk pertumbuhan cabai, maka perlu ditaburi kapur dan pupuk organik,
tanah yang baik bila mempunyai (pH) sekitar 6,5 (Wirakusumah, 1999).
12. Trichoderma sp. merupakan salah satu jamur antagonis terhadap patogen tular tanah dan merupakan salah satu jamur tanah yang
termasuk Divisi: Eumycota, Sub divisi: Deuteromycotina, Kelas: Ascomycetes, Sub kelas: Hypocreacea, Ordo: Moniliales, Genus:
Trichoderma dan Spesies: Harzianum (Agrios, 1997). Trichoderma sp. secara alami merupakan parasit yang menyerang banyak
jamur patogen tanaman dan merupakan jamur yang terlibat dalam kompetisi alami sesama jamur. Benang-benang hifa dari jamur
patogenik akan terpotong-potong karna terlilit oleh hifa Trichoderma sp. (Novizan 2002). Menurut Rifai (1969) hifa Trichoderma
sp. bercabang membentuk koloni yang berbentuk atau seperti kapas dan berhubungan dengan pertumbuhan dan struktur
konidiofornya, sebagian koloni membentuk zona mirip dengan cincin yang khas dan jelas.
Trichoderma sp. dapat hidup pada kisaran suhu yang cukup luas yaitu pada suhu 15°C-37°C (Hardar, Harman dan Taylor,
1984). Pertumbuhan optimum dari T.harzanium dan T.koningi adalah 25°C - 30°C. Pertumbuhan akan lambat pada pH 2-8 (Hardar,
Harman dan Taylor, 1984). Menurut Rifai (1969) Trichoderma sp. berkembang secara optimal pada pH 4,5 dan suhu 25°C. Selain
itu jamur Trichoderma sp. mempunyai keunggulan diantaranya mudah dalam aplikasi, harga terjangkau, tidak menghasilkan racun
(toksin), ramah lingkungan, tidak mengganggu organisme lain terutama yang berada di dalam tanah, serta tidak meninggalkan
residu pada tanaman maupun di tanah (Mardiansyah dan Widyastuti, 2007).
Trichoderma sp. ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos, karna jamur ini dapat mempercepat proses dekomposisi
bahan-bahan organik yang akan digunakan sebagai pembuatan kompos juga menjadikan kompos yang kaya unsur hara baik makro
maupun mikro (Yulensri, Lucida dan Henny, 2007).
Hasil penelitian Puspita, Elfina dan Imelda (2007) menunjukan bahwa perlakuan Tricho-kompos pada dosis 30 gram/polybag bibit
kelapa sawit dapat meningkatkan
13. Hasil penelitian Puspita, Elfina dan Imelda (2007) menunjukan bahwa perlakuan Tricho-kompos pada dosis 30 gram/polybag
bibit kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit dan mengendalikan penyakit G.Boninense. Menurut
Puspita dkk (2009) menyatakan bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada dosis 50 gram/polybag ukuran 5 kg dapat menghambat
intensitas serangan G.Boninense sebesar 77,19 % dan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit.
2.4. Kompos Leguminosa
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan oleh petani cabai karna tanaman leguminosa mudah
didapatkan serta tidak banyak mengeluarkan biaya sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu sumber hara organik
alternatif yang dapat digunakan oleh petani cabai secara langsung (Krishnawati, 2003).
Kompos leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman leguminosa oleh jasad renik (mikrobia) dengan menggunakan
Bio-Aktivator Trichoderma sp. yaitu suatu jasad renik (mikrobia) dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (β-
Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang dapat bekerja secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan
organik atau pengomposan (Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2003).
Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun juga berperan dalam memperbaiki
struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur hara dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam
tanah sehingga meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan kompos leguminosa ini juga
relatif mudah (Kartini, 2007).
Kompos leguminosa mengandung nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan kompos non leguminosa karna tanaman leguminosa
mempunyai bintil akar, dimana di dalam bintil akar ini hidup bakteri yang mampu menambat N2 dari udara.
14. BAB. III BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kassa Fakultas Pertanian Universitas Riau, Kampus Bina Widya km 12,5 Kelurahan Simpang Baru,
Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Waktu pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, dimulai dari bulan Januari sampai bulan
April 2014.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain Trichoderma sp, tanah topsoil inceptisol, bibit cabai Varietas SSP IPB, polybag berukuran 50 cm
x 40 cm dan polybag berukuran 10 cm x 6 cm, kompos leguminosa, pestisida nabati, pupuk kandang sapi, pupuk Urea, pupuk SP36, pupuk
TSP, pupuk KCL dan pupuk Dolomit.
Alat yang digunakan adalah mesin pencincang atau pencacah leguminosa, cangkul, garu, parang, timbangan, timbangan digital, timbangan
analitik, ayakan, ember plastik, gembor, seedbed, meteran dan alat tulis.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan
dengan 3 ulangan, pada setiap satuan percobaan terdiri dari 2 tanaman dan semua tanaman dijadikan sampel, sehingga diperoleh jumlah
keseluruhan 30 satuan percobaan.
Sebagai perlakuan yang diberikan adalah kompos leguminosa (K) yang terdiri dari 5 perlakuan :
K0 = Tanpa pemberian tricho-kompos leguminosa.
K1 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 20 ton/ha setara dengan 100 gram/10 kg tanah (1 polybag).
K2 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 30 ton/ha setara dengan 150 gram/10 kg tanah (1 polybag).
K3 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 40 ton/ha setara dengan 200 gram/10 kg tanah (1 polybag).
K4 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 50 ton/ha setara dengan 250 gram/10 kg tanah (1 polybag).
15. 3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persemaiaan dan Pemeliharaan Bibit
Media persemaian merupakan campuran dari pupuk kandang sapi dan tanah topsoil inceptisol yang telah diayak dengan
perbandingan 1 : 1. Benih yang telah disediakan direndam terlebih dahulu dalam air hangat dengan suhu 500C selama 10 menit guna
untuk melihat biji yang bernas serta memecah dormansi benih, setelah itu lakukan seleksi benih, benih yang terapung tidak digunakan
dan benih yang tenggelam ditiriskan untuk disemai kedalam media persemaian yang terbuat dari polybag kecil berukuran 10 cm x 6
cm, penyemaian dilakukan dengan menanam satu benih pada satu polybag. Bibit yang telah ditanam selanjutnya dilakukan
pemeliharaan dengan melakukan penyiraman pada pagi dan sore hari secara rutin. Pemindahan bibit ke polybag berukuran 50 cm x 40
cm dilakukan setelah bibit tanaman cabai berumur 38 hari setelah semai dan ditandai dengan jumlah daun dewasa sebanyak 4-6
lembar.
3.4.2. Persiapan Tempat Penelitian
Persiapan tempat penelitian dilakukan setelah penyemaian benih, tempat penelitian ini menggunakan Rumah Kassa Fakultas Pertanian
Universitas Riau, sebelum digunakan terlebih dahulu rumah kassa dibersihkan.
3.4.3. Persiapan Medium Tanam
Medium yang digunakan adalah tanah inceptisol yang diambil dari tanah kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau
pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah, tanah yang diambil dimasukan kedalam polybag berukuran 50 cm x 40 cm, setelah itu
polybag disusun di rumah kassa sesuai rancangan penelitian.
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam dengan model linear sebagai berikut :
Yij = µ + ƫi + ɛij
Keterangan :
Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke -i pada ulangan ke -j
µ = Pengaruh nilai tengah
ƫi = Pengaruh tricho-kompos leguminosa pada perlakuan ke -i
ɛij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke -i pada ulangan ke –j
Hasil data yang diperoleh setelah dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam dilanjutkan dengan uji Duncan’s
New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% (Steel and Torrie,1994).
16. 3.4.6.4. Penyiangan
Pelaksanaan penyiangan disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan gulma yang ada disekitar medium dalam Polybag. Penyiangan
dilakukan dengan cara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh di dalam polybag, dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak
perakaran tanaman cabai.
3.4.6.5. Perempelan
Perempelan merupakan kegiatan pemeliharaan dengan membuang beberapa bagian tanaman muda. Apabila tidak dilakukan
perempelan, tanaman akan mempunyai bentuk yang kurang baik dan mengurangi kemampuan produksi tanaman. Perempelan
dilakukan terhadap tunas samping yang muncul sebelum pembungaan agar tanaman tumbuh besar terlebih dahulu. Perempelan
dilakukan pada daun-daun tua, bunga pertama dan seluruh tunas yang keluar dari ketiak daun di bawah percabangan pertama.
Perempelan dilakukan pada pagi hari karena tunas tersebut masih mudah dipotong.
3.4.4. Pemberian Perlakuan
Pemberian perlakuan kompos leguminosa dalam medium tanam diberikan 7 hari sebelum tanam sebanyak 40% dari dosis
perlakuan, 7 hari setelah tanam sebanyak 30% dari dosis perlakuan dan 35 hari setelah tanam sebanyak 30% dari dosis perlakuan.
Pemberian dilakukan dengan mencampur ke lubang tanam pada medium tanam dalam polybag pada aplikasi pertama, untuk
aplikasi selanjutnya diberikan dengan membuat lubang disekitar tanaman.
3.4.5. Penanaman
Penanaman dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi. Setiap satu lubang tanam pada
polybag ditanami satu bibit cabai. Penanaman dilakukan dengan melepaskan medium dalam polybag pembibitan, bibit beserta
tanah dalam polybag dimasukan kedalam lubang tanam diameter 6 cm dengan kedalaman 10 cm pada polybag berukuran 50 cm x
40 cm. Setelah dilakukan penanaman, selanjutnya dilakukan penyiraman dengan dosis penyiraman yang sama per polybag nya.
3.4.6. Pemeliharaan
3.4.6.1. Penyiraman
Tanaman cabai membutuhkan pengairan yang cukup terutama pada saat fase pertumbuhan vegetatif dan pembesaran buah,
oleh sebab itu dilakukan penyiraman secara rutin pada pagi dan sore hari dengan dosis penyiraman yang sama per polybag nya.
3.4.6.2. Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman cabai apabila ada bibit yang mengalami pertumbuhan abnormal, layu dan terserang hama
atau penyakit. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengganti tanaman tersebut dengan tanaman yang berumur sama serta memiliki
perlakuan yang sama yang telah dipersiapkan sebelumnya. Waktu penyulaman adalah minggu pertama setelah pindah tanam dan
dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi.
3.4.6.3. Pemupukan
Pada percobaan ini pupuk anorganik diberikan 14 hari setelah tanam yaitu sebanyak 50% dari rekomendasi yang dianjurkan,
dimana pupuk Urea diberikan 2 gram/tanaman, SP36 5 gram/tanaman dan KCL 5 gram/tanaman (Pracaya, 2001).
17. 3.5.2. Umur panen (HSS)
Pengamatan umur panen dilakukan dengan menghitung jumlah hari dari persemaian hingga mencapai panen pertama.
Tanaman cabai dikatakan sudah mencapai umur panen bila 50% dari seluruh sampel telah memiliki buah masak pada percabangan
pertama.
3.5.3. Tinggi tanaman (cm)
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi tanaman.
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setelah panen kedua.
3.5.4. Tinggi dikotomus (cm)
Dikotomus adalah percabangan pertama yang muncul dari batang utama. Pengamatan tinggi dikotomus diukur dari pangkal
batang sampai cabang dikotomus. Pengamatan tinggi dikotomus dilakukan satu kali setelah panen kedua.
3.4.6.6. Pemasangan turus
Pemasangan turus dilakukan setelah tanaman cabai berumur 30 hari setelah tanam, dengan jarak kira-kira 10 cm dari
batang tanaman. Tanaman cabai memerlukan turus supaya tidak rebah karena tiupan angin.
3.4.6.7. Pengendalian Hama
Pengendalian hama dilakukan pada pagi hari dengan cara penyemprotan Insektisida nabati berbahan dasar daun tanaman
nimba, dilakukan antara pukul 0700–1000.
3.4.7. Panen
Panen dilakukan pada pagi hari terhadap buah cabai yang telah memenuhi kriteria panen. Adapun kriteria panen meliputi
warna cabai sudah merah merata dengan bentuk buah padat atau tidak lunak. Pemanenan dilakukan dengan cara mendorong
tangkai buah keatas atau kearah berlawanan dari tangkai buah. Pemanenan dilakukan 3 hari sekali sampai 6 kali panen.
3.5. Pengamatan
Pengamatan dilakukan menggunakan standar Descriptors for Capsicum (IPGRI, 1995), parameter yang diamati sebagai berikut :
3.5.1. Umur berbunga (HSS)
Umur berbunga diamati dengan cara menghitung jumlah hari yang di butuhkan tanaman untuk berbunga, mulai dari
persemaian hingga muncul nya bunga pertama. Tanaman cabai dikatakan sudah mencapai umur berbunga bila 50% dari seluruh
sampel telah berbunga.
18. 3.5.5. Diameter batang (mm)
Pengamatan diameter batang dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Diameter batang diukur pada batang utama 5 cm
diatas permukaan tanah. Pengamatan diameter batang dilakukan setelah panen kedua.
3.5.6. Lebar tajuk (cm)
Pengamatan lebar tajuk dilakukan dengan cara mengukur dari satu titik ke titik yang lain pada bagian tajuk terlebar dengan
menggunakan meteran. Pengamatan lebar tajuk dilakukan setelah panen kedua.
3.5.7. Bobot per buah (g)
Pengamatan bobot per buah dilakukan dengan cara menimbang bobot semua buah dan dibagi dengan jumlah buah dari tanaman
sampel mulai dari panen pertama sampai panen terakhir.
3.5.8. Panjang buah (cm)
Pengamatan panjang buah dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal buah sampai pada ujung buah pada 10 buah dari
tanaman sampel yang diambil secara acak dari panen pertama sampai panen terakhir lalu dihitung rata-ratanya. Pengamatan panjang buah
dilakukan setelah panen kedua.
3.5.9. Diameter buah (mm)
Pengamatan diameter buah dilakukan dengan menggunakan jangka sorong, dimana diameter buah diukur pada 10 buah dari
tanaman sampel yang diambil secara acak dari panen pertama sampai panen terakhir lalu dihitung rata-ratanya. Pengamatan diameter
buah dilakukan setelah panen kedua.
3.5.10. Bobot buah per tanaman (g)
Pengamatan bobot buah pertanaman dilakukan dengan menimbang buah dari panen pertama hingga panen terakhir. Nilai bobot
buah per tanaman didapatkan dengan menjumlahkan bobot buah tiap panen dibagi dengan jumlah tanaman sampel.
19. BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan berita diatas dapat kita simpulkan bahwa bumi kita kaya akan tumbuhan dan vitamin mari lestarikan tanam-tanaman
seperti cabai dll. Selain itu, rendahnya produktivitas cabai di Riau juga disebabkan penggunaan pupuk anorganik ( Urea, TSP, KCL )
secara terus menerus yang tidak di imbangi dengan pupuk organik, sehingga dapat merusak tanah (Suseno, 2002). Pupuk anorganik
sangat sedikit ataupun hampir tidak mengandung unsur hara mikro, oleh sebab itu perlu di imbangi dengan penggunaan pupuk
organik atau kompos yang banyak mengandung hara mikro terutama kompos yang berasal dari daun-daunan seperti kompos
leguminosa (Pracaya, 2001)
B. Saran
Dari penulis untuk para pembaca adalah ada baiknya mulai sekarang kita memula
untuk turut andil dalam menanam cabai. Menggunakan pupuk organik agar kesehatan kita terjamin. Saran dari pembaca sangat
berguna bagi saya, agar proposal yang saya buat ini, menjadi lebih sempurna dan baik lagi. Atas perhatiannya penulis mengucapkan
terima kasih.