3. Terjadinya malaise yang melanda negara-negara industri dan nonindustri pada
tahun 1929 menyebabkan Indonesia juga terpengaruh oleh depresi ini baik
kehidupan ekonomi rakyat maupun kehidupan politik. Penderitaan dan
kemiskinan rakyat meluas sampai jauh dibawah batas subsitensi sehingga
dipandang tidak manusiawi lagi, sedangkan para pemimpin pergerakan
dijauhkan dari pendukungnya. Mereka dikenakan larangan bicara, dibuang
keluar Jawa, atau kepengasingan yang sulit mempin kembali massanya
(Suhartono, 1994: 85).
Oleh karena itu fokus utama kajian penulisan makalah ini adalah mengungkap
peristiwa-peristiwa seputar kebijakan-kebijakan represif yang dikenakan
terhadap gerakan nasionalis terutama dalam pengaruh krisis ekonomi dan
politik yang melanda dunia dalam pergerakan nasional di Indonesia.
Latar Belakang
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
4. A. Nationale Fractie
Pada saat pemimpin-pemimpin politik beraksi terhadap
penangkapan Soekarno dengan berbagai cara. Di dalam
Volksraad, pada bulan Januari 1930, Muhammad H.
Thamrin (1894-1941), pemimpin Kaum Betawi,
membentuk kelompok Nasional (Natonale fractie)
dengan anggota-anggota dari Jawa maupun luar Jawa.
Tujuannya adalah untuk memperjuangkan semacam
bentuk otonomi Indonesia di dalam kerja sama dengan
Belanda (M.C Ricklefs, 2008: 403).
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
5. B. Persatuan Bangsa Indonesia (PBI)
Di Surabaya, pada bulan oktober 1930, Sutomo mereorganisasi
Study Clubnya dan mengubahnya menjadi Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI), yang dipandang dengan sangat curiga oleh
pemerintah. Bila Taman Siswa memberi tantangan terhadap Islam
di bidang pendidikan, maka PBI memberi tantangan di bidang
sosial dan ekonomi (M.C Ricklefs, 2008: 403-404).
PBI dikritik sebagai organisasi yang tidak mempunyai karakter
karena sikap politiknya koperatif dan sifatnya insidentil, artinya
kalau memang tidak cocok dengan politik pemerintah organisasi ini
tidak segan-segan mengundurkan diri dari perwakilan
(Pringgodigdo, 1964: 112).
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
6. C. Pembentukkan Partindo dan PNI-Baru
Tindakan pemerintah tanggal 1 Agustus 1933 yang
menginstruksikan larangan rapat partai, baik rapat umum maupun
bukan rapat umum kepada partai-partai nonkooperatif seperti
Partindo, PNI Baru dan PSI telah menjadi sebuah petaka bagi
organisasi tersebut untuk berkembang. Kebijakan itu tidak ubahnya
sebagai larangan eksistensi dari partai-partai politik, karena
larangan terbatas itu ternyata juga dikenakan secara ketat kepada
pers ( Ingelson, 246). Pembreidelan organ-organ pers seperti organ
PSI dan Partindo dan PNI Baru merupakan sebuah bukti bahwa
pemerintah memang sudah tidak menghendaki berkembangnya
partai-partai yang berhaluan nonkooperatif.
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
7. D. Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO)
Bekas-bekas pimpinan Partindo ternyata tidak tinggal diam dan untuk
mempertahankan eksistensi gerakan nasional mereka mendirikan Gerindo di
Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937. Diantara pemimpinnya adalah Drs. A.K. gani,
Mr. Mohamad Yamin, dan Sartono. Sudah tentu partai ini ingin menjadi partai
rakyat dan lebih luas daripada Parindra. Organisasi ini mempunyai azaz kopersi,
jadi mau bekerjasama dengan pemerintah, para anggotanya boleh duduk dalam
badan perwakilan. Organisasi ini bercorak internasional dan sosialitis.
Perjuangan melawan pemerintah kolonial sama dengan perjuangan untuk
memepertahankan demokrasi dari ancaman fasis. Oragnisasi ini dengan teguh
mempertahankan demokrasi (Suhartono, 1994: 91).
Pemimpin Gerindo tidak setuju dengan sebagian kaum nasionalis yang
mengatakan bahwa lebih baik merdeka dengan fasisme daripada dijajah dengan
demokrasi.
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
8. E. PKN (Perkumpulan Kaula Ngayogyakarta)
Ketika kaum terpelajar kota sedang berusaha mencari bentuk-
bentuk baru bagi organisasi politik dalam menghadapi oposisi
Belanda, gerakan politik yang terbesar di Indonesia didirikan oleh
suatu jenis kepemimpinan yang berbeda. Pada bulan Juni 1930,
seorang tokoh Kharismatik, seorang pangeran yang sangat
tradisional dan kurang berpendidikan dari Yogyakarta, Pangeran
Surjodiningrat, mendirikan PKN (Pakempalan Kaula Ngayogyakarta,
”Perkumpulan Warga Yogyakarta”).
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
9. F. Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Dilumpuhkannya gerakan nonkoperasi pada tahun 1930-an mempercepat
perkembangan kerja sama PBI dan BU. Pada tahun 1935 kedua partai itu
membentuk Parindra dan ikut didalamnya Sarikat Selebes, Sarikat Sumatera,
Sarikat Ambon, Perkumpulan Kaum Betawi dan Tirtayasa yang terus
melanjutkan politik koperasi moderatnya. Dengan terbentuknya
Parindra berarti persatuan golongan koperasi semangkin kuat. Pada tahun 1936
partai itu mempunyai 57 cabang dengan 3.425 anggota. Memang tujuan
Parindra tidak jauh berbeda dengan PBI yang menginkan Indonesia Mulia dan
sempurna. Dalam politiknya bersikap nonkoperasi yang insidentil artinya apabila
ada kejadian yang sangat mengecewakan organisasi itu, maka diputuskan untuk
sementara menarik wakil-wakilnya dari dalam perwakilan (Suhartono, 1994: 90).
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
10. . G. Petisi Sutarjo
Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan
karena terjadinya perubahan situasi. Gerkan-gerakan nonkoperatif
jelas tidak mendapatkan kesempatan dari pemerintah, sedangkan
gerakan koperatif harus ada dibawah persetujuan pemerintah
Hindia belanda. Tetapi ternyata masih ada jalan untuk meneruskan
perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai politik masih ada
kesempatan untuk melakukan aksi bersama sehingga muncullah
sebutan petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942
11. H. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan ”Indonesia Berparlemen”
Untuk mengatasi krisis kekuatan nasional ini, M.H. Thamrin mencari jalan keluar
yang ditempuhnya melalui pembentukan organisasi baru yaitu mendirikan Gapi
pada bulan Mei 1939. organisasi ini adalah gabungan dari Parindra, Gerindo,
Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Pasundan
dan PSII. Dari banyaknya partai yang tergabung jelas bahwa organisasi ini
membentuk suatu kekuatan baru yang lebih banyak menguntungkan daripada
bergerak sendiri-sendiri. Kerjasama ini dapat direalisasikan jika rakyat Indonesia
diberi hak-hak baru. Itu semua adalah dorongan dari dalam yang ingin
membentuk wadah bersama guna memobilisasikan kekuatan massa, sedangkan
dari luar berupa ancaman perang yang segera timbul karena Jepang sudah
bergerak kearah selatan setelah menyerbu Mancuria pada 1937. Dunia
pergerakan Indonesia merasakan campur baur antara ancaman dan kesempatan
(Swantoro, 1995).
Organisasi Pergerakan Nasional
1929-1942