Laporan ini membahas teknik pembenihan ikan baung di Balai Benih Ikan Sentral Sei Tibun Kabupaten Kampar. Teknik pembenihan meliputi pemeliharaan dan seleksi induk ikan baung, pemijahan, penetasan telur, dan perawatan larva. Proses pemijahan dilakukan dengan menyuntikkan hormon Ovaprim pada induk betina dan jantan, kemudian dilakukan striping untuk melepaskan telur. Telur dibuahi dan diletakkan di akuarium unt
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) dengan ...
Marsidi laporan
1. 1
LAPORAN PRAKTEK MAGANG
TEHNIK PEMBENIHAN IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V) DI
BALAI BENIH IKAN SENTRAL SEI TIBUN DESA PADANG
MUTUNG KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
OLEH
MARSIDI SABAR S
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010
2. 2
LAPORAN PRAKTEK MAGANG
TEKNIK PEMBENIHANIKAN BAUNG (mystus nemurus C.V) DI
BALAI BENIH IKAN SENTRAL SEI TIBUN DESA PADANG
MUTUNG KABUPATEN KAMPAR PROVPINSI RIAU
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Ahli Madya
perikanan Pada Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan
Universitas Riau
OLEH :
MARSIDI SABAR S
PROGRAM STUDI DIPLOMA III BUDIDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010
3. 3
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di kabupaten kampar pada tanggal 22
maret 1987 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak
Jainal ST dan Ibu Hellen Tina.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 026 Desa pandau jaya tahun 2000,
kemudian SMPN pada tahun 2003 masing-masing di Kabupaten kampar dan pada
tahun 2006 menyelesaikan pedidikan tingkat SLTA di Sekolah Usaha Perikan
Menengah (SUPM) Internasional di Dumai dengan jurusan Budidaya Perikanan.
Melalaui jalur ujian lokal (Non Reguler) masuk perguruan tinggi negeri,
penulis diterima di Fakultas Perikanan Universitas Riau Pada program Studi
Budidaya Perairan D3. Diselala-sela kesibukannya sebagai mahasiswa penulis
juga aktif melakukan beberapa kegiatan budidaya ikan dengan berbagai jenis ikan
air tawar, selain itu juga aktif di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
sebagai tenaga penyuluh perikanan.
Pada tanggal 27 Maret 2009 penulis melaksanakan Praktek Magang di
Desa Padang Mutung Kabupaten Kampar Provinsi Riau dengan judul “Teknik
Pembenihan Ikan Baung (Mystus nemurus CV)” dan Pada tanggal 30 maret 2010
diyatakan lulus ujian praktek magang di bawah bimbingan Ir. Nuraini, MS.
4. 4
RINGKASAN
Marsidi Sabar (0604131403) Tehnik Pembenihan Ikan Baung (Mystus
nemurus CV) Di Balai Benih Ikan Sentral Sei Tibun Desa Padang Mutung
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. (Dibawah Bimbingan Ir. Nuraini, MS.)
Secara taksonomi ikan baung diklasifikasikan kedalam filum Chordata,
kelas Pisces, Sub kelas teleostei, Ordo Silunformes, Sub ordo Siluroidae, Famili
Bragridae, Genus Mystus dan spesies mistus nemurus CV. Pemeliharaan induk
ikan baung dilakukan di kolam penampungan dengan menggunakan keramba
ukuran 5 x 2 m. Dengan kedalaman 1,5 m padat tebar 230 ekor dengan bobot 400-
900 gr/ ekor. Kualitas air kolam induk adalah: pH 6,8 suhu 28-31 ºC. Kolam
pemeliharaan dilengkapi dengan sirkulasi air yang berguna untuk meningkatkan
kadar oksigen terlarut dalam air.
Untuk mengetahui induk ikan baung betina yang telah matang gonad dapat
dilihat dari bentuk perutnya yang relatip membesar dan permukaan kulit lembut
dapat juga dengan mengurut perut ikan tersebut bila telur yang keluar sewaktu
pengurutan berbentuk bulat penuh, berwarna agak kecoklatan maka induk dalam
kondisi siap pijah. Untuk mengetahui kematangan gonad ikan jantan dapat dilihat
papilanya yang terletak dibelakang anus mendakati sirip anus, bila pipilnya
dibagian ujung berwarna merah dan menyebar ke arah pangkal, maka ikan
tersebut telah matang kelamin. Hormon yang digunakan yaitu Ovaprim dengan
dosis 0,7 ml/kg pada induk betina dan 0,5 ml/kg induk jantan.
Penyuntikan Induk betina dilakukan sebanyak dua kali, Penyuntikan
pertama dilakukan setengah dosis, dan penyuntikan kedua juga setengah dosis.
Ponyuntikan kedua dilakukan 6 jam setelah penyuntikan pertama. Sedangkan
5. 5
induk jantan penyuntikan dilakukan hanya satu kali saja yaitu pada waktu
penyuntikan kedua induk betina.
Tipe pemijahan pada ikan baung bersifat Partial spawning yaitu spesies
ikan yang mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode
pemijahan, dalam proses pemijahannya telur ikan tidak dikeluarkan semua secara
serentak tetapi hanya mengeluarkan telur TKG V Telur sisa merupakan telur yang
berkembang kemudian menjadi besar dan apabila tidak dipijahkan akan diserap
kembali (atresia).
Penetasan telur ikan baung yang telah difertilisasi dilakukan dengan sistem
air tenang dalam wadah berupa aquarium berukuran 80 x 60 x 40 sebanyak tiga
buah aquarim, dalam keadaan steril. Suhu air sangat berpengaruh terhadap
lamanya penetasan, telur ikan baung yang telah terbuahi akan mengalami
perkembangan embryogenesis, pada suhu 27-31 ºC, pH 6,5-7,5 telur menetas
dalam waktu 24 jam.
Pada hari kedua dan ketiga baru diberi pakan tambahan berupa nauplius
artemia selanjutnya pada hari ke 3 hingga hari ke 10 larva diberi pakan berupa
cacing tubifek dengan metode pemberian pakan adbilitum, frekwensi pemberian
pakan di lakukan 3 kali perhari yaitu pada pukul 07.30 pukul 12.00 dan pada
pukul 16.30 WIB.
Larva baung mempunyai kebiasaan menyebar pada malam hari dan hidup
berkelompok serta membentuk gumpalan terutama pada Siang hari, sehingga
dapat menyebabkan kematian larva yang berada di bagian dalam karena
kekurangan oksigen. Karena itu sistem aerasi harus selalu diperhatikan agar
kandungan oksigen terlarut di dalam air akuarium pemeliharaan larva tetap tinggi.
6. 6
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah rabbal alamin, segala puji hanya untuk allah SWT berkat
rahamat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktek magang
ini dengan judul “Teknik Pembenihan IKan Baung ( mystus nemurus ) Di Balai
Benih Ikan Sentral Sungai Tibun Desa Padang Mutung Kabupaten Kampar.
Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak mendapatkan bantuan, dorongan,
dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapakan rasa terima
kasih kepada:
1. Ayahanda, Jainal ST dan Ibunda Hellen Tinna beserta Kakaku Dewi
mariana, dan seluruh keluarga besarku yang telah memeberikan kasih
sayang dorongan do’a yang tiada henti.
2. Bapak Prof. Dr. Bustari Hasan Selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau.
3. Ibu Ir. Hj. Nuraini, MS Selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
4. Bapak Soloan ringo-ringo SE di jaya pura (papua) terimakasih yang
sebesar-besarnya atas kritik, saran, motivasi dan dukungannya selama
penyusunan laporan ini.
5. Terimakasih kepada rekan-rekan D3 06 yang memberikan petunjuk dan
arahan.
7. 7
6. Terimakasih kepada Hadra Fi Ahlina, Murita Ria Pratiwi, Parmin Sos,
Nana samudara aris BSc, Afrianto dn, fatma yani, Awang, beserta seluruh
teman-teman alumnni SUPP-SUPM Dumai Internasional domisili
pekanbaru.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah penulis
harapkan untuk mencapai kesempurnaan laporan. Akhirnya penulis mengucapkan
terima kasih.
Pekanbaru, Maret 2010
MARSIDI SABAR. S
8. 8
DAFTAR ISI
Isi Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
LEMBARAN PENGESAHAN ................................................................... v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
III. BAHAN DAN METODE ..................................................................... 11
3.1. Waktu dan Tempat .......................................................................... 11
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................ 11
3.3. Metode Praktek ............................................................................... 12
3.4. Prosedur Magang ............................................................................. 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum ............................................................................... 18
4.1.1. Sejarah Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Kampar ................... 18
4.1.2. Posisi dan Keadaan Iklim ........................................................ 18
4.1.3. Tugas dan Fungsi Balai ........................................................... 19
4.2. Struktur Organisasi .......................................................................... 21
4.2.1. Sumberdaya Manusia .............................................................. 22
4.2.2. Fasilitas Bangunan Balai Benih Ikan Sentral Kampar .............. 23
4.3. Sarana dan Prasarana ....................................................................... 24
4.3.1. Panti Benih (Hatchery) ............................................................ 24
4.4. Teknik Pemeliharaan Induk Ikan Baung .......................................... 27
4.4.1. Pemeliharaan Induk ................................................................ 27
4.4.2. Seleksi Induk .......................................................................... 28
4.4.3. Teknik Pemijahan ................................................................... 30
4.4.4. Penetasan Telur ....................................................................... 34
4.4.5. Perawatan Larva ..................................................................... 36
4.4.6. Kualitas Air ............................................................................ 39
4.4.7. Hama dan Penyakit ................................................................. 40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 41
5.2. Saran ................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA
9. 9
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah Pegawai Balai Benih Ikan Sentral Sei Tibun Tahun 2009
Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Profesi ........................................ 22
2. Alat Penunjang Yang Digunakan Untuk Pembenihan Ikan Baung
(Mystus nemurus C.V) di BBIS Sei Tibun Kab. Kampar ............... 24
3. Jumlah Luas dan Jenis Kolam di BBIS Kampar........................................... 25
4. Kisaran Kualitas Air Pembenihan Ikan Baung di BBBIS Kampar................ 26
5. Kandungan Nutrisi Pakan Induk Ikan Baung ............................................... 28
6. Data Hasil Seleksi Induk Ikan Baung Betina BBIS Kampar......................... 29
7. Dosis Hormon, Waktu Penyuntikan dan Striping .......................................... 30
7. Fersentase Pembuahan Telur Ikan Baung .................................................... 33
8. Hasil Perhitungan Penetasan Telur Ikan Baung ........................................... 35
9. Tingkat Kelulushidupan Larva Ikan Baung Setelah 15 Hari......................... 37
10. Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva Ikan Baung ............................ 39
10. 10
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Organisasi Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Kampar ...................... 21
2. Penyuntikan Induk Ikan Baung Matang Gonad.......................................... 31
3. Proses Striping Induk Ikan Baung Yang Siap Ovulasi .............................. 32
4. Fertilisasi Telur Induk Ikan Baung YangTelah Ovulasi ............................. 32
5. Akuarium Sebagai Wadah Penetasan Telur Induk Ikan Baung .................. 34
6. Larva Ikan Baung Setelah 15 Hari Penetasan ............................................ 38
11. 11
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usaha pembenihan merupakan usaha yang sangat penting pada sektor
budidaya perikanan, karena dalam faktor penyediaan benih adalah mutlak.
Kekurangan benih ikan adalah kendala bagi peningkatan produksi. Secara umum
dapat dikemukakan bahwa kelemahan kegiatan pembenihan terletak pada
rendahnya kelangsungan hidup yang biasanya disebabkan oleh kekurangan
makanan, adanya perubahan suhu yang besar, faktor cahaya, salinitas, dan kadar
oksigen terlarut. Salah satu faktor yang juga merupakan kelemahan dalam
pembenihan adalah besarnya kisaran temperatur antara siang dan malam hari.
Kegiatan yang benar-benar terkontrol tidak boleh lebih dari 32˚C. Persiapan
pembenihan merupakan langkah awal pendukung tercapainya peningkatan suatu
usaha perikanan. Sesuai dengan tuntutannya upaya yang dilakukan untuk
mempersiapkan pembenihan sangat erat kaitanya dengan penyediaan induk ikan,
bahan penempel telur dan wadah pemijahan. Penyedian benih ikan dalam kualitas
yang memadai merupakan salah satu syarat mutlak yang dapat menentukan suatu
keberhasilan usaha pembenihan (Rohadi, 1996)
Pengelolaan usaha pembenihan meliputi beberapa kegiatan yaitu; seleksi
induk, pemijahan, penetasan, perawatan larva, dan pendederan (Pribadi et., al
dalam Miswanto, 2002).
Dalam pembangunan usaha budidaya perikanan, maka penyedian benih
yang bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau oleh
petani ikan sangat diperlukan, karena itu mendirikan balai benih ikan dalam skala
12. 12
kecil tidak saja dapat dilakukan oleh pemerintah tapi juga pihak swasta (Dahril
dalam Sarisman, 2002)
Benih ikan yang diperoleh dengan cara pembenihan tradisional, tingkat
keberhasilan masih sangat terbatas (rendah), dimana kemampuan petani masih
terbatas. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dalam usaha budidaya ikan,
pengolahannya perlu ditingkatkan dengan cara memijahkan induk secara buatan
dan telur yang diperoleh ditetaskan secara terkontrol untuk mendapatkan benih
yang lebih banyak dan berkualitas baik.
Menurut Susanto (1996) upaya menunjang keberhasilan usaha ikan baung,
salah satu faktor yang menentukan adalah ketersediaan benih yang memenuhi
syarat baik kualitas, kuantitas maupun kontiniutasnya. Dengan demikian
ketersediaan benih merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha budidaya
air tawar.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktek magang ini adalah untuk memperoleh gambaran
tentang pembenihan ikan baung (Mystus nemurus CV) secara buatan di Balai
Benih Ikan Sentral Sei Tibun Desa Padang Mutung Kabupaten Kampar. Selain itu
menemukan permasalahan yang ada dan mencari alternatif pemecahan masalah
tersebut.
Dari hasil praktek magang ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan, sehingga ilmu yang diperoleh bisa dijadikan bekal
ke masyarakat dalam menyongsong dunia kerja.
13. 13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi dan Ekologi Ikan Baung (Mystus nemurus CV)
Secara taksonomi ikan baung diklasifikasikan kedalam filum Chordata,
kelas Pisces, Sub kelas teleostei, Ordo Silunformes, Sub ordo Siluroidae, Famili
Bragridae, Genus Mystus dan spesies Mistus nemurus CV ( Kottelat et,al., 1996).
Ciri morfologi ikan baung menurut Djuanda (1981), adalah mempunyai
empat sungut peraba, sepasang diantaranya panjang sekali dan terletak di sudut
rahang atas dan mencapai dubur. Sirip punggung mempunyai dua buah jari-jari
keras dan runcing menjadi patil. Kepala besar dengan warna tubuh abu-abu
kehitaman, pungggung lebih gelap dan perut lebih cerah serta panjang tubuhnya
dapat mencapai 50 cm.
Calon induk untuk ikan baung mempunyai kisaran berat antara 200 -750
gr memerlukan waktu 2-3 tahun dengan ciri-ciri yaitu untuk ikan betina yang telah
matang gonad dapat dilihat dari bentuk perutnya yang relatif membesar dan
permukaan kulit lembut dapat juga dengan mengurut perut ikan tersebut, bila telur
yang keluar sewaktu pengurutan berbentuk bulat penuh, berwarna agak
kecoklatan maka induk dalam kondisi siap pijah. Untuk mengetahui kematangan
gonad ikan jantan dapat dilihat papilanya yang terletak di belakang anus
mendekati sirip anus, bila pipilnya di bagian ujung berwarna merah dan menyebar
ke arah pangkal, maka ikan tersebut telah matang kelamin.
14. 14
2.2. Pemijahan Ikan Baung (Mystus nemurus CV)
Ciri-ciri ikan baung jantan adalah lubang genital agak memanjang dan
terdapat bagian yang agak meruncing ke arah ekor. Alat ini mungkin sebagai alat
bantu dalam mentransfer sperma saat melakukan pemijahan, sedangkan pada ikan
betina lubang genital berbentuk bulat. Lubang ini akan bewarna kemerahan bila
mengandung telur yang telah matang (Alawi et al., 1990).
Dalam hal reproduksi dan perkembangannya, ikan baung (Mystus nemurus
CV) tergolong phytopil, telur-telur yang bersifat adhesive melekat pada tumbuhan
perairan atau benda lainnya. Memiliki dinding telur yang relatif tebal dan rongga
perivifellin yang relatif sempit. Embrio yang baru menetas melekatkan diri pada
tanaman dan menggunakan kelenjar tertentu. ikan baung (Mystus nemurus CV)
melakukan pembuahan diluar tubuh (external spawning). Telur ikan baung
(Mystus nemurus CV) yang telah dibuahi oleh sperma akan bewarna jernih
dengan kisaran garis tengah 1,4-2,04 mm (Hoda dan Tsukahara, dalam Widiyati,
1983).
Bila telur tidak dibuahi akan bewarna putih keruh karena kuning telur
pecah dan menutupi ruang perivitellin akhirnya telur tersebut akan mati. Kematian
telur atau embrio selain disebabkan tidak terbuahi juga karena adanya serangan
jamur, bakteri, dimakan predator atau karena kondisi lingkungan yang tidak
memungkinkan berkembangnya telur. Telur yang mati segera akan ditumbuhi
jamur yang dapat membahayakan telur yang masih hidup (Woynarovich dan
Horvath, 1984).
Setelah kolam pemijahan disiapkan dan diberi kakaban yang diletakkan
melayang di dalam kolam yang telah diseleksi dengan perbandingan 1 : 1.
15. 15
Terjadinya pemijahan ditandai dengan kejar mengejar sepasang induk, kemudian
seperti berpelukan dan saat itulah telur dan sperma dikeluarkan oleh masing-
masing induk. Proses pemijahan berlangsung 10-15 kali dengan waktu 3-6 jam.
Setelah telur kelihatan menempel di kababan induk-induk ikan tersebut
dipindahkan (Susanto,1992).
Waktu yang paling tepat untuk pembuahan telur ikan adalah segera setelah
sel telur keluar dari alat kelamin betina dan dinyatakan pula bahwa telur yang
sudah matang tiba di air, telur segera mengembang karena masuknya air.
Kemudian mikropil akan terbuka jika sperma yang aktif. Bagian kepala sperma
akan masuk sedangkan bagian ekornya akan lepas. Setelah sperma melebur
dengan inti sel telur protoplasma akan mengalir ke tempat spermatozoa masuk,
kemudian akan terjadi pembelahan sel (Effendie, 1997).
Hardjamulia et al,. (1982), menyatakan bahwa kecuali faktor lingkungan,
kematian telur ikan baung juga disebabkan oleh sifat adhesif dari telur tersebut.
Sering dijumpai telur ikan baung satu sama lainnya melekat dan membentuk
gumpalan yang dapat mengurangi daya tetas telur. Gumpalan tersebut
mengganggu perkembangan telur dengan baik sehinga sukar untuk mendapatkan
oksigen yang cukup. Keadaan ini yang menyebabkan telur tersebut mati,sehingga
telur yang menetas sedikit.
Jhingran dan Pullin (1988) menyatakan bahwa sifat adhesive ini dapat
dihilangkan dengan menggunakan larutan 30 gr Urea ditambah 40 gr NaCL dalam
10 liter air selama 0,5 jam dan setiap 5 menit dilakukan pergantian larutan
pencuci.
16. 16
2.3. Penetasan dan Pendederan
Nuraini (2001) menyatakan bahwa proses penutupan blastopor kemudian
masuk kepada fase perkembangan embrio. Tanda-tanda aktifitas embrio ikan
terlihat dari pergerakan dan sering kali merupakan bagian yang penting dalam
proses penetasan. Proses ini terlihat bila embrio telah lebih panjang dari lingkaran
kuning telur. Selama penetasan, larva bergerak-gerak sampai lepas dari kapsul
telur, dan membutuhkan suhu yang cocok dan suplai oksigen yang cukup.
Penetasan telur merupakan proses pemisahan larva ikan dari cangkangnya
yang sering terjadi pada waktu yang sama dan dipengaruhi oleh keberadaan
oksigen, cangkang telur yang dapat menghambat filter penyakit, kualitas air dan
sifat alami larva yang berenang secara aktif dan tidak aktif. Selanjutnya larva
berkembang, dimana saat menetas tidak memiliki mulut, gelembung renang belum
terisi, alat pencernaan belum sempurna dan ukuran yolk berpacu pada
perkembangannya, serta selalu tanpa figmentasi. Setelah larva berkembang
disiapkan fasilitas penampungan larva seperti aquarium, bak, happa, incubator
besar, dan kolam kecil serta lingkungan harus kaya oksigen, bersih, bebas dari
predator, serta temperatur stabil (Alawi, 1995).
Arie (1996) menyatakan wadah penetasan untuk menetaskan telur dan
perawatan larva dalam aquarium. Aquarium ini berukuran panjang 60 cm, lebar
40 cm, dan tinggi 50 cm. sebelum digunakan aquarium dibersihkan dan diisi air
bersih setinggi 30 cm, diberi aerasi dan pemanas air.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), aquarium tersebut dapat
dibersihkan dengan menggunakan larutan Kalium Permanganat (PK) dosis (3-20
17. 17
ppm)atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yaitu dengan menggunakan
senyawa chlorine yang banyak dijual toko kimia.
Susanto dan Amri (2001) menyatakan telur disebarkan di dalam aquarium
yang disiapkan sebelumnya, yang diberi air bersih dan diaerasi. Selanjutnya
diusahakan telur ikan jangan sampai menumpuk karena berakibat telur akan
membusuk, oleh karena itu telur disebarkan dengan menggunakan bulu ayam agar
telur tidak pecah.
Menurut Susanto (1996), untuk mengatur suhu tempat penetasan agar tetap
konstan dapat digunakan heater dan thermostat pada tempat penetasan atau dapat
juga dilakukan dengan cara memasukkan air segar ketempat penetasan sehingga
akan menstabilkan suhu air.
Pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan larva ikan baung umur 10
hari sampai ukuran benih yang siap untuk disebarkan. Kegiatan pendederan
meliputi persiapan kolam, penebaran benih, pengelola rutin dan pemanenan (Arie,
1996).
Pemeliharaan di kolam pendederan berlangsung selama 14 hari, kemudian
dipanen dengan cara menyurutkan air kolam secara perlahan-lahan sampai batas
ketinggian tertentu. Benih diambil sedikit dan ditampung di bak. Benih yang
berukuran 1-2 inchi (Pittaros dan Sitasit, 1976).
18. 18
2.4. Makanan
Vitamin E mempunyai peranan yang sangat penting dalam fisiologi
reproduksi ikan. Telah diuji pengaruh pakan yang mengandung vitamin E
terhadap kandungan vitamin E dalam tubuh, pemijahan, daya tetas telur dan
mortalitas larva yang menetas. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada
kelompok ikan yang diberi pakan yang mengandung vitamin E yang rendah,
sepertiga dari jumlah induk ikan betina tidak memijah sedangkan yang lainnya
memijah secara keseluruhan. Vitamin E yang berasal dari pakan, dibawa dan akan
diakumulasikan ditelur dan sangat membantu kelangsungan hidup larva (Tang,
2000).
Makanan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan
ikan. Untuk merangsang pertumbuhan, diperlukan jumlah dan mutu makanan
yang tersedia dalam keadaan cukup serta sesuai dengan kondisi perairan (Asmawi,
1986).
Makanan yang didapat oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup,
kelebihannya baru untuk pertumbuhan. Jadi kalau menginginkan pertumbuhan
yang baik maka yang diperhatikan sejumlah makanan yang melebihi kebutuhan
untuk pemeliharaan tubuh (Jangkaru, 1974).
Ikan baung tergolong kepada ikan pemakan segala (omnivore), tetapi lebih
cenderung suka kepada jenis insekta air dan ikan mengarah kepada pemakan
daging (karnivora). Hal ini juga terlihat besarnya mulut ikan baung yang
merupakan ciri-ciri dari ikan pemangsa atau predator. Insekta air yang banyak
dimakan oleh ikan baung adalah family cyprinidae yaitu insekta air sejenis
kumbang yang hidup di perairan tenang atau ikan motan (Tynnichthys sp), kapiek
19. 19
(Puntius sp), dan selais (Siluroides sp), disamping itu ikan baung juga memakan
cacing air (Tubifex sp), udang (Macrobranchium sp), lipas air dan detritus (Alawi
et. al, 1990).
2.5. Kualitas Air
Menurut Tang (2000), suhu 270C (suhu kamar) memberikan hasil terbaik
bagi kelangsungan larva ikan baung. Hasil ini memberikan harapan bagi kegiatan
pembenihan skala rumah tangga, karena tidak diperlukan alat khusus untuk
meningkatkan suhu air. Demikian juga dengan salinitas kisaran optimal ialah 0-3
ppt.
Air sebagai media hidup haruslah diperoleh dengan mudah dan mengalir
dalam sejumlah yang cukup sepanjang tahun dengan kualitas yang baik, namun
jumlah tidak boleh berlebihan yang dapat mengakibatkan banjir (Suseno,1977).
Menurut Lesmana (2001), gas yang dapat larut dalam air ada berbagai
macam, yaitu oksigen (02), karbondioksida atau asam arang (CO2), nitrat (NO3),
nitrit (NH3), ammonium (NH4) dan asam sulfide (H2S).
Menurut Susanto (1996), batas toleransi berbagai parameter kualitas air
yang tidak membahayakan untuk ikan-ikan yang berada di daerah tropis adalah
suhu air yang optimum berkisar antara 25-300C, sedangkan perbedaan siang dan
malam hari tidak boleh lebih dari 50C. pH air yang optimum 6-8,6 atau berkisar
antara 4-9, oksigen terlarut berkisar antara 5-6 ppm, phospat lebih kecil dari 0,02
ppm dan mengandung Nitrogen dalan NH3 kurang dari 1,5 ppm.
20. 20
Kualitas air memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap survival dan
pertumbuhan larva. Menurut Sulistidjo, Nontji dan Soergiarto (1980), rendahnya
reproduksi benih ikan karena sifat fisika dan kimia air yang digunakan pada
tempat pembenihan kurang baik. Beberapa parameter fisika dan kimia perairan
yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah suhu, konsentrasi oksigen
terlarut, karbondioksida, amoniak, pH, alkalinitas dan kekeruhan.
2.6. Hama Dan Penyakit
Sunyoto (1994) menyatakan bahwa penyakit didefinisikan sebagai
gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat tubuh atau sebagian alat tubuh.
Penyakit dapat menyebabkan kematian, kekerdilan, periode pemeliharaan lebih
lama, tingginya konfersi makanan pada padat penebaran yang lebih rendah dan
hilangnya atau menurunnya produksi.
Suyatno (1983) dalam Rita (2003), menyatakan telur ikan sangat mudah
terserang jamur. Pencegahanya dapat dilakukan dengan menggunakan Malachite
Green yaitu setelah pemijahan, kakaban yang telah dilekati telur-telur ikan
dipindahkan dari tempat pemijahan, kemudian direndam dalam larutan Malachite
green. Waktu perendaman 0,5-1 jam dengan dosis 1 gram serbuk Malachite Green
yang dilarutkan dalam 1,5 liter air.
21. 21
III. BAHAN DAN METODE
3. 1. Waktu dan Tempat
Praktek magang ini dilaksanakan pada tanggal 27 Maret hingga 27 Juni
2009 bertempat di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Sungai Tibun Desa Padang
Mutung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktek magang pembenihan ikan
Baung di Balai Benih Ikan Sungai Tibun, Padang Mutung Kabupaten Kampar
meliputi: a). Peralatan pemijahan, seperti : alat suntik, baki, timbangan, baskom,
ember, kain lap, gelas ukur, gunting, bulu ayam, serokan, jaring, bak fiber,
akuarium, blower, dan pompa air. b). Peralatan panen, seperti : ember, hapa,
serokan, jaring, cangkul, saringan, dan skop net. c). Peralatan pengepakan,
seperti : plastik, karet gelang, dan tabung oksigen. d). Peralatan penunjang,
seperti : Termometer, dan heater. Bahan yang digunakan untuk proses
pemijahan adalah: Induk ikan Baung (Mystus nemurus C.V), Zat perangsang
(ovaprim), Larutan fisiologis (NaCL 0,9%), Pelet dan pakan hidup.
Peralatan ini sebelum dan sesudah digunakan terlebih dahulu dibersihkan
dengan menggunakan air bersih, dikeringkan dan disimpan pada tempat yang
kering, terutama peralatan pemijahan tcrlebih dahulu disterilkan untuk
menghindari adanya bibit penyakit. Peralatan dan bahan ini dipersiapkan untuk
membantu memperlancar kegunaan pemijahan yang telah dipersiapkan
22. 22
sebelumnya. Fasilitas dan bahan-bahan ini telah tersedia dalam panti benih
sebagai tempat pelaksanaan kegiatan pembenihan Baung tersebut.
3. 3. Metode Praktek
Metode praktek yang digunakan adalah metode survei dan praktek
langsung, dimana pengamatan, pelaksanaan praktek dan pengambilan data
dilakukan secara langsung di lapangan. Teknik pembenihan pada ikan Baung ini
meliputi pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan, dan perawatan benih.
Selain itu juga melakukan wawancara dengan petugas lapangan berdasarkan
daftar kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dimana metode tersebut
termasuk kedalam data primer.
Perhitungan persentase telur terbuahi dilakukan dengan metode sampling
yaitu dengan cara akuarium yang telah dipersiapkan untuk tempat menebar telur
yang telah dibuahi pada bagian bawahnya dibagi kolom sebanyak 10 kolom
dengan menggunakan spidol berwarna hitarn, setelah dilakukan penebaran telur
kemudian dihitung pada 5 bagian kolom saja kemudian dikali dengan banyaknya
kolum.
Telur ikan Baung menetas lebih kurang 25 jam. Setelah telur menetas,
panen larva dilakukan dengan cara menyipon larva dari akuarium ke dalam
baskom penampungan dan dipisahkan dari telur yang tidak menetas. Agar larva
tidak stres panen dilakukan secara perlahan dan baskom tempat penampungan
larva diberikan aerasi agar larva tidak kekurangan oksigen. Larva yang telah
ditampung ke dalam baskom penampungan, dihitung dan selanjutnya dimasukkan
kedalam akuarium pemeliharaan yang berukuran 80 x 60 x 40 cm, sebelum
23. 23
dimasukkan ke dalam akuarium terlebih dahulu akuarium dilakukan penyiponan
untuk membuang telur yang tidak terbuahi dan dilakukan juga penggantian air.
Metode yang digunakan dalam perhitungan kelulusan hidup larva ikan
Baung adalah dengan metode sensus yaitu perhitungan dilakukan secara satu
persatu dari larva.
Untuk menghitung persentase pernbuahan, penetasan telur dan kelulusan
hidup larva dihitung berdasarkan rumus yang dikemukanan Alawi (1994) yaitu :
a. Fertilisasi Rate (FR)
Jlh Telur yang Terbuahi
FR (%) = x 100 %
Jlh Telur Sampel
b. Hatching Rate (FR)
Jlh Telur Menetas
HR (%) = x 100%
Jlh Telur Terbuahi
c. Survival Rate (SR)
Nt
SR (%) = x 100 %
No
Keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah larva akhir pengamatan (ekor)
No = Jumlah larva awal pengamatan (ekor
3. 4. Prosedur Magang
3.4.1. Bak Penampungan
Bak penampungan berupa fiber bulat berdiameter 1,5 m dengan
volume air 1000 liter air yang digunakan untuk menampung induk sementara
24. 24
sebelum induk dipijahkan. Sebelum digunakan fiber dibersihkan terlebih
dahulu kemudian diisi air, lalu diberi aerasi selama 1 hari.
3.4.2. Akuarium
Akuarium digunakan sebagai tempat penetasan telur. Sebelum
digunakan akuarium terlebih dahulu dibersihkan kemudian diisi air, diberikan
aerasi selama 1 hari. Akuarium yang digunakan terbuat dari kaca dengan
ukuran (80 x 60 x 40) cm³.
3.4.3. Pengelolaan Induk
Proses pemijahan tidak terlepas dari persedian induk, dimana dalam
pembenihan ketersedian induk yang baik dan sehat akan menghasilkan benih yang
baik pula. Induk yang dipijahkan dalam praktek magang ini berasal dari koleksi
induk yang ada di Balai Benih ikan Padang Sentral Sei Tibun Mutung Kab.
Kampar.
Pemeliharaan induk ikan baung dilakukan di kolam penampungan dengan
menggunakan keramba ukuran 5 x 2 x 1,5 m3. Kolam pemeliharaan dilengkapi
dengan sirkulasi air yang berguna untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut
dalam air. Selama pemeliharaan induk ikan diberi pakan buatan berupa pelet
tengggelam mengandung kadar protein 29-30 %, sebanyak 3-5 % dari total
biomasa dengan frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari yakni pada pagi hari
pukul 08.00 WIB.
3.4.4. Seleksi Induk Matang Gonad
Kegiatan seleksi induk adalah memilih induk yang baik dan siap untuk
dipijahkan untuk mendapatkan induk yang benar-benar siap dipijahkan perlu
dilakukan pemberokan hal ini bertujuan untuk mengurangi kandungan lemak yang
25. 25
ada pada tubuh induk ikan yang dapat mengganggu proses keluarnya telur pada
saat proses striping. Selain itu berfungsi juga untuk mengetahui induk yang benar-
benar matang gonad atau hanya kekenyangan sehingga bagian perut membesar.
Selama proses pemberokan induk ikan tidak diberi makan atau dipuasakan selama
3 hari, setelah pemberokan induk yang buncit lantaran kekenyangan bakal
mengempis perutnya, sedangkan induk yang benar-benar siap memijah tetap
membesar.
Perbedaan antara ikan baung jantan dan ikan baung betina dapat diketahui
dengan cara; pada ikan baung jantan lubang genital agak memanjang dan terdapat
bagian yang meruncing ke arah caudal, organ ini berperan sebagai alat bantu
untuk mengeluarkan sperma saat melakukan pemijahan. Sedangkan pada ikan
betina, lubang genital bulat berwarna kemerahan bila ikan tersebut telah
mengandung telur pada tingkat kematangan gonad IV ( Alawi et al., 1992).
Lebih jelasnya lagi untuk mengetahui tanda kematangan gonad induk ikan
baung dapat dilihat dengan adanya bagian perut relatif membesar, ikan betina
yang matang gonad bila diurut telur yang keluar bulat sempurna berwarna
kecoklatan, sedangkan pada ikan jantan yang matang gonad papilanya berwarna
merah, tidak selalu mengeluarkan sperma apabila diurut.
4.4.5. Pemijahan
Induk yang telah ditangkap dan diseleksi diadaptasikan terlebih dahulu di
dalam bak fiber sebelum dilakukan pemijahan, sedangkan hormon yang
digunakan pada pemijahan ini yaitu dengan menggunakan hormon ovaprim.
Dilakukan dua kali penyuntikan yaitu Penyuntikan I pada pukul 21.00 malam
dan penyuntikan II dilakukan pada pukul 03.00 subuh. Waktu ovulasi terjadi
26. 26
berkisar antara 6-8 jam setelah penyuntikan ke II. Dosis hormon yang di
gunakan yaitu 0,7 cc/kg induk ikan betina dan 0,5 cc/kg ikan jantan.
3.4.6. Penetasan telur
Penetasan telur merupakan proses pemisahan larva ikan dari cangkangnya
yang sering terjadi pada waktu yang sama dan dipengaruhi oleh keberadaan
oksigen, cangkang telur yang dapat menghambat filter penyakit, kualitas air dan
sifat alami larva yang berenang secara aktif dan tidak aktif. Selanjutnya larva
berkembang, dimana saat menetas tidak ada mulut, gelembung renang belum
terisi, alat pencernaan belum sempurna dan ukuran yolk berpacu pada
perkembangannya, serta selalu tanpa figmentasi. Setelah larva berkembang
disiapkan fasilitas penampungan larva seperti aquarium, bak, happa, inkubator
besar, dan kolam kecil serta lingkungan harus kaya oksigen, bersih, bebas dari
predator, serta temperatur stabil (Alawi, 1995).
Pada saat kemampuan larva masih sangat terbatas ternyata kuning
telur merupakan sumber nutrien dan energi utama bagi larva. Oleh karena itu
volume kuning telur, ukuran tubuh dapat menunjukkan keberhasilan larva
melewati fase kritis dalam siklus hidupnya (Tang, 2000).
3.4.7. Pemeliharaan larva
Pemeliharaan larva dilakukan dalam akuarium. Larva berusia dua hari
diberi pakan berupa pakan alami yaitu artemia, dan pada usia tiga hari diberi
pakan berupa Tubifek selama sepuluh hari, dosis pemberian pakan 0,5 % dari
berat tubuh, dengan frekwuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari yaitu
pagi, siang, dan sore hari. Kekurangan pakan selama pemeliharaan diketahui
27. 27
sebagai penyebab kematian ikan. Oleh karena itu dalam pemeliharaan larva
lebih membutuhkan perhatian yang intensif.
3.4.8. Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara melakukan penyiponan
sekali dalam sehari yaitu setiap pagi hari sebelum diberi pakan dan
pengontrolan suhu air antara 28-31°C yang dilakukan setiap saat dan pH 6,5-
7.
3.4. 9 Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil magang ditabulasi dalam bentuk tabel,
kemudian dianalisa secara deskridtif untuk memberikan gambaran tentang tehnik
pembenihan, Kemudian dicari pemecahan terhadap permasalahan yang ditemui
serta dibahas sesuai dengan permasalahan yang ada.
28. 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum
4.1.1. Sejarah Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Kampar
Balai Benih Ikan Sentral Sungai Tibun Secara struktural berada dibawah
Balai benih Perikanan (BBIP) terbentuk berdasarakan peraturan daerah (PERDA)
No. 12 Tahun 2001 tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau yang berada di daerah Sungai Tibun Desa
Padang Mutung Kabupaten Kampar.
4.1.2. Posisi dan keadaan Iklim
Secara geografis daerah kabupaten kampar terletak pada bahagian tengah,
memanjang dari punggung Bukit Barisan sebelah Barat sampai ke Pantai Timur
pulau Sumatera, mengikuti aliran Sungai Kampar dengan posisi berada antara 1º
25’ LU dan 02’ LS serta 100º 42’ dan 103º 28 BT. Batas admistratif daerah
Kampar adalah.
Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Riau
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hilir.
Pusat pemerintahan kabupaten Kampar adalah Bangkinang yang berjarak 64
km dari ibu kota Provinsi Riau Pekanbaru. Daerah ini terdiri dari 19 kecamatan
dan 384 desa/kelurahan, dengan luas daerah keseluruhannya sekitar 30.563,79
km² atau sekitar 29 % dari luas Provinsi Riau.
29. 29
Iklim di daerah Kabupaten Kampar hampir sama dengan daerah lain di
Provinsi Riau yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh angin musim, dimana
pada bulan Desember sampai bulan Maret bertiup angin laut, sedangkan pada
bulan Mei sampai Bulan Oktober bertiup angin Barat Daya. Rata-rata cuaca hujan
hanya sebanyak 2.868,7 mm pertahun dengan curah hujan tertinggi terjadi di
daerah bukit barisan dan semakin menurun ke arah pantai.
Kabupaten Kampar merupakan daerah yang sebahagian besar wilayah
adalah daratan Rendah 75% yang membentang sepanjang aliran Sungai Kampar,
sedangkan sisanya 25% merupakan daratan tinggi yang terletak di daerah
bahagian barat berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.
Di kabupaten ini ditemukan tiga buah sungai yang tergolong besar yaitu:
Sungai Rokan (Rokan Kiri dan Rokan Kanan), sungai kampar (Kampar Kiri dan
Kampar Kanan) serta Sungai tapung yang merupakan bagian hulu dari Sungai
Siak, dan banyak sekali anak-anak sungai yang bermuara pada Sungai besar
tersebut. Disamping itu terdapat juga sejumlah danau tapak kuda dan genangan
air yang terbentuk sebagai akibat dari bendungan irigasi. Diperkirakan areal yang
tergenang secara periodik adalah 291.482 Ha dan tergenang secara terus menerus
1.938 Ha.
4.1.3. Tugas dan Fungsi Balai
Balai Benih Ikan Sentral Sei Tibun sebagai unit peleksana Dinas
Perikanan dan Kelautan mempunyai Tugas pokok; melaksanakan penerapan
teknik pembudidayaan ikan air tawar, pelestarian sumberdaya induk dan benih
ikan serta lingkungan. Dalam melaksanakan tugas BBIS kampar
menyelenggarakan Fungsi:
30. 30
a. Pengembangan SDM aparatur pemerintahan bidang perikanan
b. Pengadaan sarana dan prasarana
c. Rekayasa teknologi pembenihan ikan
d. Penyediaan induk dan benih ikan air tawar yang berkualitas
e. Pengembangan sertifikat benih ikan air tawar
f. Pengembangan system informasi perikanan khususnya untuk para
pembenih
g. Penerapan teknologi pembenihan ikan yang ramah lingkungan
h. Kerja sama dengan stakehorder
i. Peningkatan penerimaan Negara Bukan Pajak
Disamping adanya kepala balai benih dan seksi-seksi diatas, tenaga
pelaksana juga berperan penting dan sangat dibutuhkan demi kelancaran serta
kemudahan dalam menjalakan tugas. Di Balai Benih Ikan Kampar jumlah tenaga
pelaksana berjumlah sepuluh orang orang. Tenaga tersebut kurang mencukupi
jumlahnya bila dibandingkan dengan banyaknya kegiatan yang ada sehingga
masih membutuh banyak tenaga.
31. 31
4.2. Struktur Organisasi
KEPALA BALAI
BAGIAN LAYANAN BAGIAN TATA
TEKNIK USAHA
Gambar 1. Bagan Organisasi Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Kampar
Secara struktur organisasi Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Sei Tibun
berada di bawah Balai Benih Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Riau, terdiri dari kepala balai, tata usaha, dan bagian pelayanan teknik.
Dalam melaksanakan tugasnya, Balai Benih Ikan Sei Tibun memiliki
susunan organisasi agar dapat berjalan dengan lancar. Organisasi tersebut di
pimpin oleh bapak Ir. Masril M.Si selaku kepala balai dan dibantu oleh seksi-
seksi, sub bagian tata usaha, dan bagian pelayanan teknik.
a.Tata Usaha
Bagian tata usaha mempunyai tugas melaksanankan penyusunan rencana
program dan angaran, pengolahan administrasi keuangan, kepegawaian,
persuratan dan pengaturan penggunaan barang milik negara.
b. Bagian pelayanan teknik
Bagian pelayanan teknik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
standar teknik, alat dan mesin pembenihan, pembudidayaan, pengendalian hama
dan penyakit ikan air tawar, pengendalian lingkungan dan sumberdaya induk dan
benih ikan air tawar, kegiatan pengkajian, penerapan teknik dan pemantauan, serta
pengawasan pembenihan dan pembudidayaan ikan air tawar.
32. 32
4.2.1. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia sebagai tenaga pelaksana sangat berpengaruh
terhadap kerberhasilan usaha budidaya air tawar. Dalam melaksanakan tugas
teknik maupun administrasi, Balai Benih Ikan Kampar menggunakan system
pemilihan sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing-masing karyawan
Tingkat pendidikan merupan salah satu faktor penting yang mana sangat
menentukan kemampuan seseorang tenaga kerja dalam menyerap perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi baik itu secara umum maupun secara khusus
terutama dalam usaha pembenihan dan budidaya ikan.
Tabel 1. Jumlah Pegawai Balai Benih Ikan Sentral Sei Tibun Tahun 2009
Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Profesi
Pendidikan
No Status Jumlah
S II SI SLTA SMP
1 PNS 1 1 1 - 3
2 Honor - - 7 1 8
Sumher : Laporan Tahunan Balai Benih Ikan Sei Tibun , 2009
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di
Balai Benih Ikan Sei Tibun Kampar bervariasi, mulai (SMP) sampai Perguruan
Tinggi atau Strata 2 (S2). Dilihat dari tingkat pendidikannya pegawai BBIS
Kampar ini didominasi oleh Tenaga kerja yang berpendidikan SLTA.
Disamping adanya kepala balai benih dan seksi-seksi diatas, tenaga
pelaksana juga berperan penting dan sangat dibutuhkan demi kelancaran serta
kemudahan dalam menjalankan tugas. Di Balai Benih Ikan Kampar jumlah tenaga
pelaksana berjumlah sepuluh orang. Tenaga tersebut kurang mencukupi
jumlahnya bila dibandingkan dengan banyaknya kegiatan yang ada sehingga
33. 33
masih membutuh banyak tenaga kerja agar mampu memproduksi serta
melestarikan berbagai spesies ikan yang memiliki nilai ekonomis.
4.2.2. Fasilitas Bangunan Balai Benih Ikan Sentral Kampar
Pengadaan barang inventaris di Balai Benih Ikan Sentral Kampar berasal
dari dana APBD dan APBN yang dikelola oleh unit Balai Benih Perikanan (BBP)
sesuai struktur organisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau.
Pengelolaan barang inventaris tersebut diserahkan kepada pegawai yang ditunjuk
tugasnya menerima, menyimpan, memelihara serta mendistribusian kepada
pegawai yang menggunakannya.
Balai Benih Ikan Sentral Kampar memiliki fasilitas –fasilitas pendukung
kerja seperti: alat transportasi berupa kendaraan roda empat dan roda dua.
Kemudian yang dilengkapi dengan penerangan melalui jaringan listrik dan
sebagai antisipasi disediakan genset apabila jaringan PLN padam. Fasilitas
laboratorium yang dimiliki Balai Benih Ikan Sentral Kampar adalah Laboratorium
pakan alami sebagai tempat untuk mengkultur pakan alami, laboratorium parasit
dan penyakit ikan sebagai tempat untuk memeriksa hama dan penyakit ikan.
Selain itu terdapat fasilitas bangunan sebagai sarana pendukung Kantor, Mess
Operator, Gudang pakan, Aula pertemuan, Rumah dinas.
Alawi ( 1994), menyatakan bahwa fasilitas pembenihan memerlukan
peralatan yang cukup, terutama bangsal heatchery, bak induk, bak pemijahan, bak
penetasan, bak pemeliharaan larva, bak makanan aerator, bak pembagian air, bak
pengendapan air, heater serta kantor.
34. 34
4.3. Sarana dan Prasarana
Untuk mendukung kegiatan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Kampar
secara keseluruhan, maka BBIS Kampar dilengkapi dengan berbagai sarana
dan prasarana. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BBI Kampar sampai
tahun 2009 meliputi :
4.3.1. Panti Benih (Hatchery)
Pada BBIS Sei Tibun Kampar terdapat satu unit Hatchery dimana
sarana ini difungsikan sebagai panti pembenihan untuk semua komunitas
perikanan air tawar seperti: ikan baung, ikan patin, dan ikan lele. dengan
Fasilitas penunjang yang ada di hatchery adalah sebagai berikut;
b. Alat Penunjang
Untuk menunjang dalam operasional produksi ikan Baung di Balai
Benih Ikan Di desa Padang Mutung diperlukan beberapa alat sebagai sarana
tambahan. Sarana tambahan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Alat Penunjang Yang Digunakan Untuk Pembenihan IkanBaung
(Mystus nemurus C.V) di BBIS Sei Tibun Kab. Kampar
Keperluan Alat Ukuran
Pemindahan benih Scoopnet 450-500 mikron
Nampan 40 x 30 cm
Sendok plastik 3 buah
Pemberian pakan Ember 5 liter
Gayung 1 liter
Ayakan tepung 450 mikron
Gelas ukur 250 ml
Alat sipon wadah Selang 0,5; I dan 3 cm
Pemindahan air Pompa air 1 buah
Pengukur suhu Thermometer Celcius
Pembersih wadah Spon 3 buah
35. 35
Sarana penunjang dalam suatu usaha budidaya merupakan hal yang
sangat mempengaruhi proses produksi. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa
jumlah sarana yang digunakan sebagai penunjang hatchery di BBIS Kampar
cukup memadai atau sudah memenuhi syarat untuk melakukan pembenihan.
a. Sistem Aerasi
Dalam kegiatan pembenihan ikan Baung diperlukan sistem aerasi
untuk menjaga agar kadar oksigen terlarut selalu baik (>1 ppm). Aerasi yang
diperoleh berasal dari blower dengan kapasitas 85 watt, dimana
penggunaannya dilengkapi pipa PVC berdiameter ½ inch sebagai penyalur
yang dihubungkan dengan selang aerasi yang dilengkapi dengan stop kran
dan batu aerasi ke setiap wadah budidaya.
c. Perkolaman
Sedangkan fasilitas perkolaman serta luas kolam di BBIS Sei Tibun Kab.
Kampar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah, Luas dan Jenis Kolam di BBIS Kampar.
No. Macam kolam Satuan Luas Jenis Kolam
Jumlah
M2 (Unit)
1. Kolam penampungan 4.250 Beton 1
2. Kolam pengendapan 1.400 Beton 1
3. Kolam Pendederan 3/50 Beton 10
4. Kolam induk 4/00 Beton 5
5. Kolam calon induk 4.50 Beton 3
6. Bak Pembenihan 2.18 Beton 6
7. Kolam pembesaran 400 Beton 5
Total Kolam: 31 Unit
Sumber : Balai Benih Ikan Sentral Sei. Tibun Padang Mutung Kab. Kampar
Berdasarkan tabel 3, jumlah kolam dan macam kolam yang ada di Balai
Benih Ikan Sentral Sei Tibun Kabupaten Kampar telah mencukupi dan memenuhi
syarat untuk pembenihan ikan.
36. 36
d. Sumber Air
Air merupakan komponen utama dalam kegiatan pembenihan ikan.
Sumber air untuk kegiatan pembenihan berasal dari resapan air sungai sekitar
Balai Benih Ikan yang ditampung dalam waduk/reservoir melalui beberapa
tahapan. Tahap pertama dari sumber air yang kemudian dialirkan ke bak
penampungan, lalu ke bak pengendapan berupa bak semen berukuran 1.400 m².
Kolam memiliki saluran pemasukan dan pengeluran berupa pipa paralon
berdiameter 6 inchi. Saluran keluar diarahkan ke dasar kolam dengan
menyambungkan paralon berbentuk huruf L. Air untuk pembenihan digunakan
Air jernih kualitas air pembenihan ikan baung di BBIS kampar dapat dilihat pada
Tabel 4
Tabel 4. Kisaran Kualitas Air Pembenihan Ikan Baung di BBBIS Kampar
No. Parameter Air Penetasan Perawatan Larva
1. Suhu 28 - 30 ºC 27-29 ºC
2. Oksigen terlarut 6 – 7 ppm 6 - 7 ppm
3. pH 6,5 - 7 6,5-7,5
Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa kualitas air Pembenihan iakan baung
di BBIS sangat mendukung untuk usaha pembenihan, karena hasil pengukuran
parameter kualitas air yang dilakukan setiap harinya hampir sama dengan
pendapat Murtidjo et al., dalam Rita. (2003) besarnya pH yang baik untuk
kehidupan ikan berkisar 6,5-7.
37. 37
4.4. Teknik Pemeliharaan Induk Ikan Baung
4.4.1. Pemeliharaan induk
Proses pemijahan tidak terlepas dari persedian induk, dimana dalam
pembenihan ketersedian induk yang baik dan sehat akan menghasilkan benih yang
baik pula. Induk yang dipijahkan dalam praktek magang ini berasal dari koleksi
induk yang ada di BBIS Padang Mutung Kab. Kampar.
Sebelum induk ikan baung dipijahkan, terlebih dahulu induk tersebut
dipelihara dan dirawat sebaik mungkin agar menghasilkan benih yang berkualitas
baik. Ikan baung diperkirakan memijah pada sekitar bulan Oktober sampai
Desember seperti halnya sebagian ikan memijah diperairan umum pada awal atau
sepanjang musim penghujan, misalkan ikan-ikan catfish (Bardach, Ryther dan
melamey; (1972)
Pemeliharaan induk ikan baung dilakukan di kolam penampungan dengan
menggunakan keramba ukuran 5 x 2 m. Dengan kedalaman 1,5 m padat tebar 230
ekor dengan bobot 400-900 gr/ ekor. Kualitas air kolam induk adalah: pH 6,8
suhu 28-31 ºC. Kolam pemeliharaan dilengkapi dengan sirkulasi air yang berguna
untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air. Selama pemeliharaan induk
ikan diberi pakan buatan berupa pellet tengggelam mengandung kadar protein 29-
30%, sebanyak 3-5 % dari total biomasa dengan frekuensi pemberian pakan 1 kali
sehari yakni pada pagi hari pukul 08.00 WIB.
Dari hasil pengamatan saat praktek magang, pada waktu pemberian pakan
ikan baung akan menyambar setiap makanan yang diberi. Meskipun ikan baung
tergolong aktif malam hari (nocturnal), namun telah dibiasakan untuk makan pada
pagi hari, sehingga hal ini tidak lagi menjadi masalah bagi pegawai Balai Benih
38. 38
Ikan Sentral Sei Tibun Kab Kampar dalam mengatasi pemberian pakan ikan
baung yang bersifat nocturnal.
Table 5. Kandungan Nutrisi Pakan Induk Ikan Baung
Komposisi Jumlah (%)
Protein 29-30%
Lemak -4 %
Serat -8%
Abu -12%
Kadar Air -12%
Sumber: Label Kemasan Pakan 888-S PT.Central Proteina Prima
4.4.2. Seleksi Induk
Untuk mendapatkan induk yang benar-benar siap dipijahkan perlu
dilakukan pemberokan hal ini bertujuan untuk mengurangi kandungan lemak pada
induk ikan yang dapat mengganggu proses keluarnya telur saat distriping. Selain
itu berfungsi juga untuk mengetahui induk yang benar-benar matang gonad atau
hanya kekenyangan sehingga bagian perut membesar. Selama proses pemberokan
induk ikan tidak diberi makan atau dipuasakan selama 3 hari, setelah pemberokan
induk yang buncit lantaran kekenyangan bakal mengempis perutnya, sedangkan
induk yang benar-benar siap memijah tetap buncit
Sebelum melakukan penyuntikan, perlu dilakukan penyeleksian terhadap
induk yang akan disuntik. Penyeleksian induk ditujukan untuk mendapatkan induk
yang telah matang gonad TKG IV dan siap untuk disuntik agar terjadi ovulasi
pada ikan betina dan spermiasi pada ikan jantan.
Perbedaan antara ikan baung jantan dan ikan baung betina dapat diketahui
dengan cara; pada ikan baung jantan lubang genital agak memanjang dan terdapat
bagian yang meruncing ke arah caudal, organ ini berperan sebagai alat bantu
39. 39
untuk mengeluarkan sperma saat melakukan pemijahan. Sedangkan pada ikan
betina, lubang genital bulat berwarna kemerahan bila ikan tersebut telah
mengandung telur pada tingkat kematangan gonad IV ( Alawi et al., 1992). Lebih
jelasnya lagi untuk mengetahui tanda kematangan gonad induk ikan baung dapat
dilihat dengan adanya bagian perut relatip membesar, ikan betina yang matang
gonad bila diurut telur yang keluar bulat sempurna berwarna kecoklatan,
sedangkan pada ikan jantan yang matang gonad papilanya berwarna merah, tidak
selalu mengeluarkan sperma apabila diurut.
Menurut Sukendi (2001), ciri-ciri induk Baung yang telah matang gonad
adalah: a. Induk Betina, Perut relativ lebih besar dengan permukaan yang
lembut, Ujung lubang genital berwarna merah, dan Bila diurut telur akan keluar
berwarna agak kecoklatan. B. Induk jantan, Perut lebih langsing, ujung lubang
genital meruncing, dan bila diurut akan mengeluarkan cairan semen yang
berwarna bening.
Setelah dilakukan penyeleksian induk matang gonad, induk-induk ikan
tersebut ditimbang untuk menentukan dosis hormon yang digunakan untuk
penyuntikan. Induk yang berhasil diseleksi sebanyak tiga ekor induk betina,
sedangkan induk jantan sebanyak 7 ekor.
Tabel 6. Data Hasil Seleksi Induk Ikan Baung Betina BBIS Kampar
No. Uraian Induk 1 (gr) Induk 2(gr) Induk 3 (gr)
1. Berat (gram) 700 700 450
2 Panjang Total (cm) 40 cm 43 cm 40
3. Warna telur Kuning kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan
4. Keseragaman telur Tidak seragam Seragam Seragam
5. Keadaan perut Besar Besar Besar
40. 40
Dari Tabel 6 diketahui ada 2 kriteria warna telur ikan baung yaitu kuning
kecoklatan dan kecoklatan, sedangkan warna telur induk ikan baung yang berada
pada tingkat kematangan gonad IV yaitu berwarna kecoklatan, dan ukurannya
seragam.
4.4.3. Teknik Pemijahan
Pemijahan ikan baung di BBIS Kampar dilakukan secara buatan yaitu
dengan rangsangan hormon, penyuntikan dilakukan secara intramuscular (Di
dalam otot atau daging) yang dilakukan persis di belakang pangkal sirip pungung
dengan kemiringan jarum suntik 45º. Hormon yang digunakan yaitu Ovaprim
dengan dosis 0,7 ml/kg pada induk betina dan 0,5 ml/kg induk jantan, alasan
penggunaan hormon ini yaitu biaya, waktu dan tenaga dapat lebih hemat, hormon
ini juga selalu tersedia dalam kemasan yang steril.
Tabel 7. Dosis Hormon Waktu Penyuntikan dan Striping
Induk Jenis Berat Dosis Hormon dan Waktu Waktu
Hormon Induk Penyuntikan (ml) Striping
(gr) I Waktu II Wakt
(wib) u
Betina Ovaprim 700 0,49 21.00 0,49 03.00 09.00
Betina Ovaprim 700 0,49 21.05 0,49 03.07 09.07
Betina Ovaprim 450 O,31 21.11 0,31 03.15 09.17
Jantan Ovaprim 850 - - 0,42 03.00 09.15
Jantan Ovaprim 750 - - 0,37 03.07 09.10
Jantan Ovaprim 900 - - 0,45 03.12 09.00
Jantan Ovaprim 850 - - 0,42 03.15 09.03
Penyuntikan Induk betina dilakukan sebanyak dua kali, Penyuntikan
pertama dilakukan setengah dosis, dan penyuntikan kedua juga setengah dosis.
Ponyuntikan kedua dilakukan 6 jam setelah penyuntikan pertama. Sedangkan
41. 41
untuk induk jantan penyuntikan dilakukan hanya satu kali saja yaitu pada waktu
penyuntikan kedua induk betina.
Gambar 2. Penyuntikan Induk Ikan baung Matang Gonad
Penyuntikan dilakukan dengan dua orang, satu orang melakukan
penyuntikan satu orang lagi memegang ikan agar tidak terlepas dari jarum suntik.
Ikan yang telah disuntik dimasukkan ke dalam happa berukuran 1,5 m x 1 m yang
dialiri air mengalir, setelah 6 jam dari penyuntikan ke dua kemudian induk
distriping. Induk yang siap distriping menunjukkan tanda-tanda, ikan menjadi
kurang aktif berenang, selalu berada di permukaan air.
Sebelum melakukan striping terlebih dahulu mengelap air yang ada pada
tubuh induk hal ini ditujukan agar tubuh ikan tidak licin. Proses Striping induk
betina dilakukan dengan cara pengurutan, dimulai dengan menekan perut ke arah
lubang kelamin, dilakukan berulang–ulang hingga telur benar-benar habis.
Sebelumnya terlebih dahulu dipersiapkan alat-alatnya seperti, bulu ayam untuk
mengaduk telur, mangkok untuk menampung telur yang diovulasi, sebelum alat
tersebut digunakan harus dalam keadaan kering dan steril.
42. 42
Gambar 3. Proses Striping Induk Ikan Baung Yang Siap Ovulasi
Proses pengeluaran semen dari induk jantan dilakukan secara bersamaan
dengan striping pada induk betina. Cara yang digunakan hampir sama dengan
proses pengambilan telur induk betina, induk dipegang oleh dua orang. Seorang
memegang di bagian ekor dan seorang lagi di bagian kepala. Sperma dikeluarkan
dengan cara memijat bagian perutnya ke arah kelamin (Gambar 3), telur dan
sperma ditampung dalam sebuah mangkuk kering dan steril. Setelah telur dan
semen diperoleh dengan cara striping, selanjutnya dilakukan Fertilisasi
secepatnya.
Gambar 4. Fertilisasi Telur Induk Ikan Baung Yang Telah Ovulasi
43. 43
Fertilisasi dilakukan dengan cara mencampurkan sperma yang diperoleh
dari induk baung jantan dengan telur yang diperoleh dari induk baung betina
(gambar 4). Pada waktu yang bersamaan dilakukan pengenceran sperma dengan
cara penambahan larutan NaCl fisiologis 0,9% sebanyak 100 ml yang bertujuan
untuk memperbesar volume sperma, telur diaduk secara berlahan-lahan dengan
mengunakan bulu ayam. Selanjutnya telur yang telah dibuahi ditaruh pada media
penetasan aquarium berukuran 80 x 60 x 40 penebaran telur dilakukan dengan
mengunakan bulu ayam, pada saat penebaran aerasi harus sudah dalam keadaan
mati hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penggumpalan telur yang
mengakibatkan telur tidak menetas dan membusuk.
Tabel 8. Fersentase Pembuahan Telur Ikan Baung
No. Jumlah Telur Sample Jmlh Telur Terbuahi Jmlh Tidak Terbuahi FR %
1. 2.815 2015 800 71 %
2. 2.224 1734 543 78 %
3. 1.021 823 198 80 %
Dari Tabel 8 dapat dilihat hasil perhitungan jumlah telur yang terbuahi.
Pada penghitungan fertilisasi telur ikan baung dilakukan dengan cara menghitung
satu persatu, ciri-ciri telur ikan yang terbuahi yaitu; berwarna transparan
sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih keruh. Faktor penyebab tidak
terbuahinya telur ikan baung pada akuarium I, II dan III diperkirakan disebabkan
oleh adanya telur athersia. Bardasarkan hasil wawancara yang dilakukan bersama
pegawai balai menjelaskan bahwa, perkembangan gonad ikan baung digolongkan
dalam lima tahap yaitu TKG I, II, III, IV, dan V tipe pemijahan pada ikan baung
bersifat Partial spawning yaitu spesies ikan yang mengeluarkan telur matang
44. 44
secara bertahap pada satu kali periode pemijahan, dalam proses pemijahannya
telur ikan tidak dikeluarkan semua secara serentak tetapi hanya mengeluarkan
telur TKG V Telur sisa merupakan telur yang berkembang kemudian menjadi
besar dan apabila tidak dipijahkan akan diserap kembali (atresia).
4.4.4. Penetasan dan perawatan Larva
Penetasan telur ikan baung yang telah difertilisasi dilakukan dengan sistem
air tenang dalam wadah berupa aquarium berukuran (80 x 60 x 40) m³ sebanyak
tiga buah aquarim, dalam keadaan steril (Gambar 5). Menurut Susanto dalam Rita
(1996) bahwa syarat utama keberhasilan penetasan telur ikan sangat tergantung
pada kualitas air penetasan. Oleh sebab itu selama dalam upaya penetasan telur-
telur harus mendapat suplay oksigen yang cukup.
Gambar 5. Akuarium Sebagai Wadah Penetasan Telur Induk Ikan Baung
Suhu air sangat berpengaruh terhadap lamanya penetasan, telur ikan baung
yang telah terbuahi akan mengalami perkembangan embryogenesis, pada suhu 27-
31 ºC, pH 6,5-7,5 telur menetas dalam waktu 24 jam. Alat yang digunakan untuk
mengukur suhu penetasan telur ikan baung di BBIS Kampar yaitu dengan
mengunakan thermometer, Untuk menjaga kestabilan air penetasan digunakan alat
pemanas heater.
45. 45
Tang (2000), menyatakan suhu 270C (suhu kamar) memberikan hasil
terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan baung. Hasil ini memberikan harapan
bagi kegiatan pembenihan skala rumah tangga, karena tidak diperlukan alat
khusus untuk meningkatkan suhu air.
Telur-telur yang tidak menetas kerap mengeluarkan bau busuk dan
mempengaruhi kualitas air. Jika dibiarkan, hal ini akan meningkatkan angka
kematian larva. Untuk mencegah hal tersebut telur yang tidak menetas harus
segera dikeluarkan dari wadah penetasan. Untuk mengetahui jumlah telur ikan
baung yang menetas dilakukan perhitungan satu persatu terhadap larva yang
menetas. Hasil perhitungan sample larva dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Perhitungan Penetasan Telur IKan Baung
No. Penetasan Jumlah Telur Terbuahi HR %
Media 1 1500 2015 74 %
Media 2 973 1734 56 %
Media 3 450 823 54 %
Dari Tabel 9 dapat dilihat hasil persentase penetasan tertinggi, yaitu pada
media pertama sebesar 74 % dari 2.015 telur yang terbuahi, dan penetasan
terendah pada media ketiga yakni 54% dari 8.23 telur yang terbuahi rata-rata
pentasan 61,3 % . Rendahnya persentase penetasan telur ikan baung di media ke II
dan III disebabkan oleh kualitas telur yang kurang baik, kualitas telur yang jelek
disebabkan oleh pemberian pakan yang tidak efisien, pakan yang diberikan
kepada induk ikan yaitu pakan buatan (Pelet) yang bersifat tenggelam dengan
prekuwensi 1 kali sehari pada pagi hari pukul 08.00 WIB. Pakan yang diberikan
46. 46
tidak termanfaatkan secara baik oleh induk ikan, dan berdampak pada proses
pematangan gonad.
Telur ikan baung memiliki sifat aldesif dapat melekat pada sesuatu benda,
hal ini mempengaruhi keberhasilan penetasan apabila pada saat penebaran telur
tidak dilakukan dengan hati-hati. Kegagalan penetasan pada telur ikan baung
disebabkan oleh faktor suhu yang tidak stabil, dan adanya penumpukan telur.
4.4.5. Perawatan Larva
Pemeliharaan dilakukan setelah panen larva yaitu setelah telur dianggap
sudah menetas secara keseluruhan. Panen larva dilakukan dengan mengunakan
selang plastik atau serok halus yang ditampung ke dalam baskom selanjutnya
dilakukan perhitungan satu persatu. Guna mengetahui jumlah yang menetas,
selanjutnya di lakukan penebaran di media pemeliharaan.
Larva yang menetas di pelihara dalam akuarium ukuran (80 x 60 x 40) cm³
sebayak 3 unit. Setiap akuarium diisi air bersih dan jernih yang telah diaerasi
dengan bantuan blower. Hari pertama penetasan larva tidak diberi makan karena
larva yang baru menetas memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Pada
hari kedua dan ketiga baru diberi pakan tambahan berupa nauplius artemia
selanjutnya pada hari ke 3 larva diberi pakan berupa cacing tubifek dengan
metode pemberian pakan adbilitum, frekwensi pemberian pakan di lakukan 3
kali perhari yaitu pada pukul 07.30 pukul 12.00 dan pada pukul 16.30 WIB.
Menurut pengalaman para staf pembenihan yang ada dibalai Benih Ikan
Sentral Sei Tibun, pemberian pakan larva ikan baung setelah tiga hari menetas
dapat menimbulkan sifat kanibal, oleh sebab itu untuk mencegah hal tersebut
larva diberi pakan perkenalan berupa nauplius artemia pada hari kedua.
47. 47
Sedangkan cacing tubifek diberikan pada umur tiga hari hingga usia sepuluh hari,
namun dari hasil pengamatan yang dilakukan selama praktek magang larva ikan
baung belum dapat memakan cacing secara utuh. Untuk memudahkan dalam
proses pencernaan, cacing tubifek terlebih dahulu dicincang hingga halus sebelum
diberikan.
Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyiponan kotoran yang
mengendap di dasar wadah pemeliharaan, hal ini dilakukan sebelum pemberian
pakan.
Tabel 10. Tingkat Kelulushidupan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus)
Setelah 15 Hari
Jumlah Larva Jumlah Larva Awal TingkatKelangsungan
Aquarium Akhir pengamatan pengamatan Hidup (%)
(ekor) (ekor)
I 850 1.500 56,66
II 758 973 77,90
III 400 450 88,88
Dari Tabel 10 dapat dilihat tingkat kelulus hidupan larva ikan baung
selama 15 hari pemeliharaan, tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah
88,88%, sedangkan tingkat kelulus hidupan terendah adalah sebesar 56,66 %.
Menurut Azhar (2003) tingkat kelulus hipupan larva ikan Baung selama
pemeliharaan 15 hari adalah sebesar 65 %. Secara keseluruhan penyebab kematian
larva ikan baung selama pemeliharaan disebabkan oleh keterlambatan pemberian
pakan sehingga menimbulkan sifat kanibalisme larva. Hal ini terbukti dengan
adanya temuan sisa bagian tubuh larva pada saat penyiponan. Selain itu kematian
larva yang tinggi dikarenakan pada fase kritis stadia larva, terjadi peralihan
48. 48
pemanfaatan makanan dari kuning telur (endogenous feeding) ke pemanfaatan
pakan dari luar (exogenous feeding).
Pakan mempunyai peranan penting pada pertumbuhan individu, untuk
meransang pertumbuhan yang baik dan cepat di perlukan pakan yang cukup, mutu
yang baik serta kondisi perairan yang mendukung pertumbuhan ikan, ketersedian
gizi dalam pakan seperti protein, karbohidrat, vitamin dan air dalam jumlah yang
tepat akan menghasilkan pertumbuhan yang baik (Mujiman, 2001).
Hutapea (2001) menyatakan bahwa besarnya nilai mortalitas larva ikan
baung terjadi saat masa kuning telur habis dan larva mulai mencari makanan dari
luar. Jenis makanan yang baik dan pemberian pakan tepat waktu merupakan
keberhasilan pembenihan.
Gambar 6. Larva Ikan Baung Setelah 15 Hari Penetasan
Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup dapat dihitung berdasarkan
Rumus yang dikemukakan oleh Alawi (1994) Yaitu:
SR (%) Jumlah larva akhir pengamatan x 100 %
Jumlah larva Awal Pangamatan
49. 49
4.4.6. Kualitas Air
Salah satu faktor yang penting dalam pemeliharaan larva ikan adalah
kualitas air, karena air merupakan media hidup bagi larva yang hidup di dalamya
juga terdapat bakteri yang sewakru-waktu dapat menyebabkan penyakit pada larva
ikan. Dari hasil pengamatan dilapangan didapatkan bahwa kualitas air
pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 11
Tabel 11. Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva Ikan Baung
Aquarium
Parameter
I II III
Suhu 28-30 C 0 0
28-30 C 28-31 0C
pH 6-7 6-7 6-7
Kisaran suhu pada saat pengamatan pada tiap aquarium pemeliharaan larva
0
ikan baung antara 28-30 C, pH 6,5- 7,1. Adanya perubahan suhu yang tidak
stabil berpengaruh terhadap kehidupan larva ikan baung, bahkan hal dapat
menyebabkan kematian. Dengan demikian kisaran suhu selama melakukan
praktek magang telah memenuhi standar untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhsn ikan.
Larva baung mempunyai kebiasaan menyebar pada malam hari dan hidup
berkelompok serta membentuk gumpalan terutama pada Siang hari, sehingga
dapat menyebabkan kematian larva yang berada di bagian dalam karena
kekurangan oksigen. Karena itu sistem aerasi harus selalu diperhatikan agar
kandungan oksigen terlarut di dalam air akuarium pemeliharaan larva tetap tinggi.
Selain itu, agar kualitas air tetap baik dilakukan penyifonan kotoran yang
50. 50
mengendap di dasar akuarium. Penyiponan dilakukan 1 kali sehari, pada pagi hari
sebelum pemberian pakan.
4.4.7. Hama dan Penyakit
Salah satu faktor penghambat dalam usaha budidaya adalah hama dan
penyakit yang sering kali menyerang ikan sehingga dapat menyebabkan
terhentinya usaha budidaya. Menurut Sunyoto (1994) penyakit didefinisikan
sebagai gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat tubuh atau sebagian alat
tubuh. Penyakit dapat menyebabkan kematian, kekerdilan, periode pemeliharaan
lebih lama, tingginya konversi makanan pada padat penebaran yang lebih rendah
dan hilangnya atau menurunnya produksi.
Selama pelaksanaan praktek magang di BBIS Sei Tibun Kampar tidak
ditemui adanya penyakit yang menyerang pada larva ikan Baung yang dapat
menyebabkan kematian. Kematian larva Baung selama pemeliharaan disebabkan
karena sifat kanibalisme ikan, karena pada saat penyiponan ditemukan ikan yang
sudah mati dan pada bagian badan tertentu sudah tidak ada seperti bagian ekor
yang hilang, atau yang tinggal hanya bagian kepalanya saja.
Dari hasil wawancara yang dilakukan bersama petugas balai mengatakan
Penyakit yang sering menyerang ikan baung adalah Ichthyopthirius multifiliis
atau lebih dikenal dengan white spot (bintik putih). Pencegahan, dapat dilakukan
dengan persiapan kolam yang baik, terutama pengeringan dan pengapuran.
Pengobatan dilakukan dengan menebarkan garam dapur sebanyak 200 gr/m3
setiap 10 hari selama pemeliharan atau merendam ikan yang sakit ke dalam
larutan Oxytetracyclin 2 mg/liter.
51. 51
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pemijahan ikan baung (Mysrus nemurus) yang dilakukan di Balai Banih
Ikan Sentral Sei Tibun yaitu menerapkan sistem pemijahan secara buatan
penyuntikan hormon Ovaprim dengan dosis 0,7 ml/kg induk betina dan 0,5 ml/kg
induk jantan, hasil praktek magang menunjukan bahwa hasil rata-rata FR: 76,3 %
HR: 61,3 SR 15 hari: 73,6 % pakan yang di berikan pada larva yaitu artemia dan
tubifek.
5.2. Saran
Disarankan untuk memenuhi kebutuhan pakan alami agar mengkultur
pakan alami seperti cacing tubifek, kutu air, dan jentik nyamuk, dan tidak lagi
bergantung pada alam disamping itu juga disarankan untuk memberikan pakan
tambahan. Agar lebih efisen dalam pemberian pakan sebaiknya Induk ikan baung
diberi pakan dengan frekuwensi 3 kali sehari.
52. 52
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, 2000. Pengaruh Pekan Dengan Kadar Protein Yang Berbeda
Terhadap Pertumbuhan Dan Sekresi Amonia Ikan Baung (Mysyus
nemurus CV). Lembaga Penelitian Universitas Riau. Pekanbaru. 35
hal (tidak diterbitkan)
Afriyanto, E dan Liviawati., 1992. Pengendalian Hama Dan Penyakit Ikan.
Penerbitan Kanisius, Yogyakarta, 20 hal.
Alawi, H, M. Ahmad., C. Pulungan dan Rusliadi., 1990, Beberapa Aspek Biologi
Ikan Baung (Mystus nemurus C.V) Yang Tertangkap di Perairan
Kampar. Pusat Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru. 30 Hal
(tidak diterbitkan).
Arie, U. 1996. Teknik Pemijatan Lele Bangkok Alias Sijambal Siam. Koran
Pertanian Sinar Tani, nomor 25 17 – tahun XXVI. Hal V.
Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Cetakan kedua. PT.
Gramedia, Jakarta. 44 hal.
Azhar, Al., 2003 Teknologi Pemijahan Dan pemeliharaan Larva Ikan Baung
(Mystus nemurusC.V) di Instalasi Riset Plasma Nutfah Air Tawar
Cijeruk Jawa Barat. Laporan Praktek Magang. Fakultas Perikanan
dan Ilmu kelautan. Universitas Riau. 41 hal (Tidak diterbitkan)
Bardach, J. E., J. H. Ryther and W.O. Mclerney. 1972. Aquculture The Farming
and Husbanfry Of Freshwater And Merine Organism. Second
Edition. Jhon Willey Son. Ny
Cesilia, F. 2002. Pertumbuhan dan Kelulusan Larva Baung Dengan Pakan
Artemia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Pekanbaru.
Djuanda, T., 1981. Dunia Ikan Armico, Bandung. 130 hal.
Efendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Bagian I, Study Natural History. Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 105 hal.
53. 53
Hutapea, S., 2001. Biologi Reproduksi Dan Penegendalian Dalam Upaya
Pembenihan Ikan Baung (Mystus nemurusC.V) Di Perairan Sungai
Kampar. Riau. Disertai Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 217
hal.
Jangkaru, Z. 1974. Makanan Ikan Lembaga Penelitian Perikanan Barat. Direktorat
Jenderal Perikanan, Bogor. 49 hal.
Jhingran, V. G and R. S. V. Pullin. 1988. A Hatchery Manual For Command,
Chinese and Indian Major carp. ICLARM Studie and Reviews 11.
Manila. 199 p.
Kotellat, M. A. J. Whitten S. N Kartikasar dan. Wirjoatmojo., 1993. Ikan Air
Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi, Periplus Edition.
Bogor. 3 hal.
Lagler, K. F. J. E Bardach, R. R Willer and D. R. N Passino. 1977. Lehtylogy
Secon Edition. Bogor. 3 hal.
Lesmana, S. A dan Dermawan, I., 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer.
Penebar Swadaya. 160 hal
Miswanto, 2002. Perbenihan Ikan Mas (Cyprinus Carpo L). Laporan Magang
Fakultas Perikanan UNRI. 59 hal (tidak diterbitkan).
Mujiman, A ., 2001 . Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 190 hal.
Nuraini, 2001. Penuntun Praktikum Manajemen Produksi Pembenihan Ikan.
Pekanbaru. 38 hal.
Pittaros, M dan P. Sitasit. 1976. Induced Spawning of Pangasius Sutchii
Department of Fisheries Bangkok, Thailang. 14 P
Rohadi, 1996. Studi Makan dan Habitat Ikan Baung (Mystus nemurus C.V) di
Bandung Kuring Waduk Jati Luhur Kabupaten Karawaci. Skripsi
Fakultas Perikanan IPB, Bogor (tidak diterbitkan).
Sarwisman, 2002. Pembenihan Ikan Jambal Siam. Laporan Magang Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI. 52 hal (tidak diterbitkan).
Sulistidjo, A. Nontji dan Soegiarto. 1980. Potensi dan Usaha Pengembangan
Bididaya Perairan di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumber
Daya Ekonomi. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI. Jakarta. 154
hal.
54. 54
Sumantadinata, K. 1993. Pengembangbiakan Ikan-ikan Pemeliharaan di Indonesia
Sastra Budaya, Bogor. 132 hal.
Suyatno, R. S. 1983 Parasit Ikan dan Cara-Cara Pemberantasannya. Penebar
Swadaya . Jakarta
Sunyoto, P. 1994 Pembesaran Kerupu. Penerbit Swadaya. Jakarta. 65 hal.
Susanto, H. 1992. Membuat Budidaya Ikan di Pekarangan. Penerbit Penebar
Swadaya, Jakarta. 88 hal.
____________. 1996. Teknik Kawin Suntik Ikan Ekonomis. Penebar Swadaya,
Jakarta. 45 hal.
____________. dan K, AMRI. 2001 Budidaya Ikan Patin, Penebaran Swadaya,
Jakarta. 89 hal.
Suseno, S. 1977. Dasar-Dasar Perikanan Umum. CV. Yasaguna, Jakarta. 60 hal.
Sutisna, D. H dan R. Sutarmanto. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius,
Yogyakarta. 135 hal.
Tang U. M. 2000. Teknik Budidaya Ikan Baung (Mystus nemurus C.V). 76
hal.(tidak diterbitkan).
Widyati, A. 1983. Pengaruh Waktu Dalam Penyimpanan Telur Ikan Baung
(Mystus nemurus C.V) Terhadap Keberhasilan Penetasan dan
Kelangsungan Larva. Skripsi Fakultas Perikanan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 45 hal.
Woynarrovich, E. and L. Horvath. 1984. The Artificial Propagation of Warm -
Water Fin Fish - A Manual for Extenstion. FAO Fish. Tech. Pap.
183 p.