SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 95
Downloaden Sie, um offline zu lesen
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                    Bab VI



                                         BAB VI
      PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL


6.1 Pendahuluan
Kebijakan defisit anggaran dalam Rancangan APBN tahun 2011 selain ditujukan untuk
mendukung ekspansi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di
tengah situasi perekonomian global yang tengah dalam proses pemulihan; sekaligus juga
dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pengalaman mengajarkan, bahwa
ekspansi fiskal yang besar yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yang
dibiayai dengan utang, telah mengakibatkan beberapa negara Eropa, seperti Portugal,
Irlandia, Yunani, dan Spanyol mengalami krisis utang dan defisit fiskal yang berat. Dunia
bahkan mencemaskan krisis utang dan fiskal yang terjadi di sebagian kawasan Eropa tersebut
berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang dapat mengganggu proses pemulihan
perekonomian global yang tengah berlangsung.
Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan countercyclical, kebijakan ekspansi fiskal
yang diambil oleh berbagai negara di dunia dalam mengatasi dampak krisis keuangan global,
antara lain melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
dan melakukan konsolidasi fiskal melalui efisiensi jenis belanja tertentu untuk mengurangi
tekanan fiskal, dinilai cukup efektif dalam memperpendek lamanya krisis ekonomi. Hal ini
antara lain diindikasikan oleh adanya perbaikan sektor keuangan dan pemulihan kegiatan
sektor riil. Perbaikan di sektor keuangan, khususnya di Eropa sebagai pusat krisis antara
lain terlihat pada meningkatnya peminat lelang obligasi negara yang dilakukan oleh Spanyol,
Portugal, Irlandia, dan Yunani. Namun demikian, perbaikan kondisi sektor keuangan
negara-negara di kawasan tersebut, masih perlu diwaspadai mengingat belum sepenuhnya
kembali ke kondisi sebelum krisis, yang antara lain ditunjukan oleh masih tingginya volatilitas
yield obligasi, indikator pasar modal, dan nilai tukar.
Sebagaimana dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia, kebijakan pemberian stimulus
fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalam
menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis
ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal
ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008
dan 2010. Dibandingkan dengan dengan persentase defisit pada periode sebelum 2007,
besarnya defisit APBN-P pada tahun 2008 dan 2009 tersebut relatif lebih tinggi, yaitu berada
pada kisaran 2,1 persen dan 2,4 persen terhadap PDB.
Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskal
tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukan
melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu
hanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan oleh
beberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibat
krisis global justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisi
belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang
dianggarkan.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                VI-1
Bab VI                                                  Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


Dalam APBN-P tahun 2010, defisit anggaran direncanakan meningkat dari perkiraan APBN
2010 sebesar Rp98,0 triliun (1,6 persen dari PDB) menjadi Rp133,7 triliun (2,1 persen dari
PDB). Kenaikan defisit anggaran berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya: (i) naiknya
harga minyak dunia, yang menyebabkan meningkatnya beban subsidi energi yang harus
ditanggung oleh pemerintah, serta naiknya dana bagi hasil migas yang harus ditransfer ke
daerah; (ii) meningkatnya kebutuhan dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara,
dan dana bergulir pengadaan tanah untuk jalan tol (BPJT); (iii) dibentuknya dana
pengembangan pendidikan nasional; serta (iv) adanya pemberian pinjaman kepada PT PLN
(Persero) dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kenaikan defisit
anggaran tersebut akan dibiayai dari tambahan utang sebesar Rp12,8 triliun, dan pembiayaan
non-utang sebesar Rp22,9 triliun. Adanya berbagai pilihan sumber-sumber pembiayaan
anggaran tersebut mendorong perlunya disusun kebijakan pengelolaan dan strategi dalam
memanfaatkan sumber pembiayaan secara hati-hati dan terukur, dengan
mempertimbangkan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada
masa yang akan datang. Dalam melakukan pemilihan dari berbagai alternatif sumber-sumber
pembiayaan tersebut, diupayakan dengan terlebih dahulu mengoptimalkan sumber
pembiayaan non-utang. Dengan demikian, sumber pembiayaan yang berasal dari utang
dipilih sebagai alternatif terakhir pemenuhan defisit anggaran, mengingat adanya biaya
dan risiko yang melekat dalam sumber pembiayaan utang.
Selanjutnya, sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yang
ramah lingkungan, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, dalam tahun 2011, RAPBN
direncanakan mengalami defisit sebesar Rp115,7 triliun, atau sekitar 1,7 persen terhadap
PDB. Selain untuk memenuhi kebutuhan defisit anggaran, pembiayaan anggaran juga
diperlukan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti dana investasi pemerintah,
penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan
kewajiban penjaminan.
Dengan semakin terbatasnya sumber-sumber pemenuhan pembiayaan non-utang, maka
saat ini sumber pembiayaan defisit yang utama berasal dari utang. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya, pemerintah tetap mengedepankan pertimbangan efisiensi biaya,
kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang.

6.2 Realisasi Pembiayaan APBN
Sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal yang ditempuh oleh pemerintah, baik dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), menciptakan lapangan kerja untuk
mengatasi pengangguran (pro-job), dan mengentaskan kemiskinan (pro-poor), maupun
memberikan stimulus fiskal dalam memperkecil dampak krisis, dan menyelamatkan
perekonomian nasional dari krisis perekonomian global sejak tahun 2008, defisit anggaran
dalam kurun waktu 2005-2009 semula dirancang cenderung meningkat, dari 0,9 persen
terhadap PDB menjadi 2,4 persen terhadap PDB. Meskipun demikian, realisasi defisit
anggaran dalam kurun waktu 2005-2009 masih berada di bawah target yang ditetapkan.
Dalam periode tersebut, realisasi defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6
persen. Sebagai gambaran, target dan realisasi defisit anggaran dalam periode tahun 2005-
2009 dapat dilihat pada Grafik VI.1.
Realisasi defisit anggaran paling rendah dibandingkan dengan target defisit anggaran yang
ditetapkan dalam APBN-P terjadi pada tahun 2008, yaitu hanya sebesar 0,1 persen terhadap

VI-2                                                           Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                              Bab VI


PDB jika dibandingkan dengan target                                      GRAFIK VI.1
defisit anggaran dalam APBN-P 2008                  TARGET DAN REALISASI DEFISIT 2005-2009
sekitar 2,1 persen terhadap PDB.           3,0
                                                 % thd PDB


Rendahnya realisasi defisit anggaran                             APBN-P        LKPP
                                                                                             2,4
dalam kurun waktu tersebut, terutama       2,5
                                                                                    2,1
disebabkan oleh realisasi daya serap       2,0
                                                                                                       2,1

anggaran belanja negara rata-rata                                          1,5
                                           1,5                      1,3
hanya mencapai sekitar 96,3 persen                                                             1,6
                                                      0,9
dari pagu anggaran belanja negara yang     1,0                             1,3

ditetapkan dalam APBN-P, sementara         0,5
                                                                    0,9

realisasi anggaran pendapatan negara                  0,5
                                                                                        0,1
dan hibah rata-rata sesuai atau            0,0
                                                     2005          2006   2007      2008    2009   2010
memenuhi sasaran yang ditetapkan
                                         Sumbe r: Ke menterian Ke uangan
dalam APBN-P. Khusus untuk tahun
2008, rendahnya realisasi defisit anggaran terutama disebabkan terlampauinya realisasi
pendapatan negara dan hibah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN-P, sementara
realisasi belanja hanya mencapai 99,6 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P.
Lebih rendahnya realisasi anggaran belanja negara dari pagu yang ditetapkan dalam
APBN-P terutama disebabkan oleh realisasi anggaran belanja K/L hanya mencapai
Rp259,9 triliun atau 89,6 persen dari pagu dalam APBN-P sebesar Rp290,0 triliun. Di lain
pihak, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp981,6 triliun atau 9,7 persen
melampaui target yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp895,0 triliun. Untuk tahun
2009, rendahnya realisasi defisit disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja negara yaitu
sebesar Rp937,4 triliun atau hanya mencapai 93,7 persen dari target APBN-P sebesar
Rp1.000,8 triliun. Akibat dari rendahnya defisit yang tidak diimbangi dengan penyesuaian
pembiayaan adalah bertambahnya dana dalam rekening SAL Pemerintah.
6.2.1 Tren Pembiayaan Anggaran
Kebutuhan pembiayaan APBN dalam kurun waktu tahun 2005-2010 cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya defisit anggaran dan makin besarnya kebutuhan pengeluaran
pembiayaan. Kebutuhan pembiayaan anggaran tersebut dipenuhi, baik dari sumber-sumber
pembiayaan utang maupun pembiayaan non-utang. Mengingat kapasitas sumber
pembiayaan yang berasal dari non-utang semakin berkurang, maka dalam periode tersebut,
sumber pembiayaan utang masih mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaan
anggaran. Faktor yang mempengaruhi semakin terbatasnya kontribusi sumber pembiayaan
non-utang dalam periode 2005-2010, selain akibat kebijakan penerimaan privatisasi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
restrukturisasi BUMN bersangkutan, juga karena semakin terbatasnya aset eks restrukturisasi
perbankan yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN. Sementara itu, sumber
pembiayaan dari utang terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN),
baik melalui instrumen Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN). Selain SBN, penarikan pinjaman luar negeri terutama pinjaman yang sifatnya tunai
merupakan sumber pembiayaan utang yang juga memberikan kontribusi bagi pemenuhan
kebutuhan pembiayaan. Secara neto, dalam tahun 2005-2010, pembiayaan yang berasal
dari utang memberikan kontribusi rata-rata 75,1 persen dari total pembiayaan yang
diperlukan. Gambaran mengenai perkembangan defisit dan penggunaan sumber-sumber
pembiayaan anggaran disajikan sebagaimana terlihat pada Grafik VI.2.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                          VI-3
Bab VI                                                                 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


Apabila dilihat dari komponen pembiayaan secara bruto, struktur pembiayaan terbagi ke
dalam komponen pengeluaran dan penerimaan pembiayaan, baik yang berasal dari utang

                                                       GRAFIK VI.2
                                            TREND PEMBIAYAAN DEFISIT, 2005-2010
              triliun rupiah                                                              % thd PDB
                140                                                                        7,0
                                  Defisit
                120               Non-Utang Net                                            6,0
                                  SBN- net
                100               Pinjaman LN-net                                          5,0
                                  Defisit thd PDB
                 80                                                                        4,0

                 60                                                                        3,0

                 40                                                                        2,0

                 20                                                                        1,0

                   -                                                                       -

                (20)                                                                       (1,0)

                (40)                                                                       (2,0)
                             2005              2006   2007     2008    2009       2010*

           Catatan :
           *Angka 2010 me rupakan angka APBN-P 2010
           Sumbe r: Ke menterian Ke uangan




maupun non-utang. Komponen pengeluaran pembiayaan utang mencakup pembayaran
pokok utang jatuh tempo, dan pembelian kembali SBN sebelum jatuh tempo. Sementara
itu, komponen pengeluaran pembiayaan non-utang mencakup PMN, investasi pemerintah,
dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban-kewajiban
pemerintah lainnya sebagai konsekuensi dari kebijakan pemberian jaminan, terutama bagi
proyek-proyek infrastruktur. Dengan adanya keperluan untuk pengeluaran pembiayaan,
besaran kebutuhan pembiayaan secara total menjadi lebih besar dari pada kebutuhan defisit.
Dalam periode tersebut, bagian terbesar pembiayaan dipenuhi melalui penerbitan SBN.
6.2.2 Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran
Pemenuhan pembiayaan defisit anggaran pada dasarnya merupakan bagian integral dari
kebijakan fiskal sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi makro secara
keseluruhan. Dalam kurun waktu tahun 2005–2010, pembiayaan defisit anggaran
disesuaikan dengan strategi kebijakan fiskal, yang ditetapkan pemerintah dalam merespon
perkembangan kondisi perekonomian yang mempengaruhi pada saat itu. Dalam
perkembangannya, realisasi besaran defisit dan realisasi besaran pembiayaan tidak selalu
sama besar nilainya dengan rencana semula, sehingga mendorong timbulnya sisa lebih
pembiayaan anggaran (SiLPA) dalam hal terjadi kelebihan pembiayaan atas kebutuhan
untuk menutup defisit, atau sisa kurang pembiayan anggaran (SiKPA) dalam hal terjadi
kekurangan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit. Mengingat sebagian besar
sumber pembiayaan anggaran berasal dari utang, maka pengelolaan dan perencanaan APBN
yang tepat dan akurat menjadi hal yang penting, agar pengelolaan APBN bisa semakin
efisien, dan tidak membebani anggaran pada masa yang akan datang. Gambaran mengenai
perkembangan realisasi defisit dan pembiayaan anggaran tahun 2005–2010 sebagaimana
Tabel VI.1.
Dari tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara besaran realisasi defisit dan besaran
realisasi pembiayaan, sehingga menimbulkan SiLPA dan SiKPA. Dalam periode tersebut,
realisasi APBN mengalami SiKPA sebesar Rp3,3 triliun pada tahun 2005, dan sebesar

VI-4                                                                          Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                                                                                                            Bab VI


                                                            TABEL VI.1
                                 PERKEMBANGAN REALISASI DEFISIT DAN PEMBIAYAAN ANGGARAN, 2005-2010
                                                                             (triliun rupiah)

                                                          2005                    2006                   2007                   2008                   2009                    2010

                                                   APBN-P II     LKPP        APBN-P      LKPP      APBN-P       LKPP       APBN-P      LKPP       APBN-P       LKPP       APBN       APBN-P


A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH                        540,1       495,2        659,1     638,0       694,1       707,8       895,0      981,6       871,0      848,8       949,7      992,4

B. BELANJA NEGARA                                     565,1       509,6        699,1      667,1      752,4       757,6       989,5      985,7     1.000,8      937,4      1.047,7    1.126,1
C. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A - B)                   (24,9)       (14,4)      (40,0)     (29,1)     (58,3)      (49,8)      (94,5)       4,1       (129,8)    (88,6)       (98,0)    (133,7)
   % defisit thd PDB                                   (0,9)       (0,5)        (1,3)     (0,9)       (1,5)       (1,3)       (2,1)       0,1        (2,4)      (1,6)       (1,6)      (2,1)

D. PEMBIAYAAN                                          24,9         11,1       40,0       29,4        58,3        42,5        94,5       84,1       129,8      112,6        98,0      133,7
   I. NON-UTANG                                          7,7        (1,2)       19,5      20,0        12,3        11,9       (10,2)      16,6        43,3       28,7         2,5       25,4
      1.   Perbankan dalam negeri                         4,3        (2,6)       17,9      18,9        10,6         11,1      (11,7)      16,2        56,6       41,1         7,1       45,5
      2.   Privatisasi                                   (1,7)       (5,2)        1,0       0,4         2,0         0,3         0,5        0,1          0,0       0,0         0,0         1,2
      3.   Hasil pengelolaan aset                         5,1         6,6         2,6       2,7         1,7         2,4         3,9        2,8        (0,2)      (0,3)        1,2         1,2
      4.   Dana Investasi Pemerintah dan PMN             0,0          0,0        (2,0)     (2,0)       (2,0)       (2,0)       (2,8)      (2,5)      (12,1)     (12,1)       (3,9)     (12,9)
      5.   Dana Pengembangan Pendidikan Nasional         0,0          0,0         0,0       0,0         0,0         0,0         0,0        0,0          0,0       0,0         0,0       (1,0)
      6.   Kewajiban Penjaminan                          0,0          0,0         0,0       0,0         0,0         0,0         0,0        0,0         (1,0)      0,0        (1,0)       (1,1)
      7.   Pinjaman Kepada PT PLN (Persero)              0,0          0,0         0,0       0,0         0,0         0,0         0,0        0,0          0,0       0,0         0,0       (7,5)
   II. UTANG                                            17,2       12,3         20,5       9,4        46,0       30,6        104,7       67,5        86,5       83,9        95,5      108,3
      1. Surat Berharga Negara (neto)                    22,1       22,6         35,8      36,0         58,5      57,2        117,8       85,9        99,3        99,5      104,4      107,5
      2. Pinjaman                                        (4,8)     (10,3)       (15,3)    (26,6)       (12,5)    (26,6)       (13,1)     (18,4)      (12,7)      (15,5)      (8,9)       0,8
           i. Pinjaman Luar Negeri                       (4,8)     (10,3)       (15,3)    (26,6)       (12,5)    (26,6)       (13,1)     (18,4)      (12,7)      (15,5)      (9,9)      (0,2)
              -. Penarikan Pinjaman LN (bruto)          43,0        29,1         37,6      29,7         42,2      34,1         48,1       50,2        69,3        58,7       57,6       70,8
                 a. Pinjaman Program                     11,3       12,3          12,1     13,6         19,0      19,6         26,4       30,1        30,3       28,9        24,4       29,4
                 b. Pinjaman Proyek                      31,7       16,8         25,5       16,1        23,2      14,5         21,8       20,1        39,0        29,7       33,2       41,4
              -. Penerusan Pinjaman                      (7,4)      (2,2)         0,0      (3,6)         0,0      (2,7)         0,0       (5,2)      (13,0)       (6,2)      (8,6)     (16,8)
              -. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN        (40,4)      (37,1)       (52,8)    (52,7)      (54,8)     (57,9)       (61,3)     (63,4)       69,0      (68,0)      (58,8)     (54,1)
         ii. Pinjaman Dalam Negeri                        0,0        0,0          0,0        0,0         0,0       0,0          0,0        0,0         0,0         0,0        1,0        1,0
      3. Tambahan Pembiayaan Utang                        0,0        0,0          0,0        0,0         0,0       0,0          0,0        0,0         0,0         0,0        0,0        0,0
   KELEBIHAN/KEKURANGAN PEMBIAYAAN                      0,0        (3,3)        (0,0)      0,3         0,0        (7,4)        0,0      80,0          0,0       24,0        (0,0)       0,0

Sumber : Kementerian Keuangan


Rp7,4 triliun pada tahun 2007. Sebaliknya, pada tahun 2006 realisasi APBN mengalami
SilPA sebesar Rp0,3 triliun, tahun 2008 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar
Rp80,0 triliun, dan tahun 2009 mengalami SiLPA sebesar Rp24,0 triliun, yang dapat
digunakan untuk membiayai defisit anggaran pada tahun-tahun berikutnya.
Terjadinya SiKPA pada tahun 2005, disebabkan oleh realisasi pembiayaan lebih rendah
dibandingkan dengan realisasi defisit APBN. Rendahnya realisasi pembiayaan dalam tahun
tersebut terutama karena realisasi pembiayaan non-utang mengalami negatif sebesar
Rp1,2 triliun, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan target pembiayaan non-utang
sebesar Rp7,7 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan utang turun menjadi sebesar
Rp12,3 triliun dari target sebesar Rp17,2 triliun. Sementara itu, terjadinya SiLPA pada tahun
2006, terutama karena realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan target,
namun disisi lain realisasi defisit juga masih dibawah target yang ditetapkan. Berbeda dengan
tahun sebelumnya, realisasi pembiayaan non-utang mencapai Rp20,0 triliun, lebih besar
dibanding dengan target yang ditetapkan sebesar Rp19,5 triliun. Sementara itu, realisasi
utang menurun menjadi sebesar Rp9,4 triliun dari target sebesar Rp20,5 triliun.
Pada tahun 2007, kembali terjadi SiKPA sebagai akibat adanya kenaikan belanja negara
berkaitan dengan naiknya harga komoditas, yang berimbas pada naiknya beban subsidi.
Sedangkan terjadinya SiLPA sebesar Rp80,0 triliun pada tahun 2008, terutama disebabkan
rendahnya realisasi defisit anggaran, berkaitan dengan realisasi pendapatan negara yang
jauh melampai target yang ditetapkan, sementara realisasi anggaran belanja negara
mendekati pagu yang direncanakan. Di lain pihak, realisasi pembiayaan anggaran mendekati
target yang ditetapkan.
Pada tahun 2009, terjadinya SiLPA disebabkan realisasi pembiayaan anggaran lebih tinggi
dibandingkan realisasi defisit. Rendahnya realisasi defisit terutama berkaitan dengan realisasi
belanja negara hanya mencapai sebesar Rp937,4 triliun, lebih rendah Rp63,4 triliun bila
dibandingkan dengan pagu belanja negara yang direncanakan pada APBN-P 2009 sebesar
Rp1.000,8 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan anggaran, terutama pembiayaan

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                                                           VI-5
Bab VI                                                            Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


melalui utang mencapai Rp83,9 triliun, atau sekitar 97,0 persen dari target pembiayaan
utang yang ditetapkan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp86,5 triliun.
Perbedaan antara target dan realisasi pada sebagian besar sumber pembiayaan, baik non-
utang maupun utang, dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perbedaan antara target
dan realisasi pembiayaan, dijabarkan sebagai berikut.
6.2.2.1 Pembiayaan Non-utang
Kebutuhan pembiayaan non-utang dalam APBN selalu dipenuhi dari berbagai sumber
dengan jenis dan proporsi yang berbeda setiap tahunnya. Pemilihan sumber dan besaran
pembiayaan non-utang tersebut, selain ditentukan oleh ketersediaan sumber pemenuhannya,
juga ditentukan berdasarkan kemampuan penyediaan dana, manfaat, serta keuntungan
yang diperoleh. Perkembangan pembiayaan non-utang dapat dilihat pada Tabel VI.2.

                                    TABEL VI.2
                   PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN NON-UTANG, 2005-2010
                                  (triliun rupiah)
                                                                  Realisasi                         APBN-P
                    Uraian
                                              2005      2006        2007      2008       2009        2010
A. Perbankan Dalam Negeri                      (2,6)     18,9         11,1      16,2       41,1        45,5
   1. Rekening Pemerintah                          -      11,6         4,8       16,2       41,1         6,1
   a.l - Rekening Dana Investasi                   -       2,0         4,0        0,3        3,7         5,5
       - Rekening Pembangunan Hutan                -         -           -          -        0,6         0,6
       - Saldo Anggaran Lebih                      -         -         0,3          -       51,9        39,3
       - Rekening Pemerintah Lainnya               -       9,6         0,5       15,9      (15,1)          -
   2. Eks. Moratorium NAD dan Nias, Sumut          -       7,4         6,3          -          -           -
B. Non Perbankan Dalam Negeri                   1,4        1,1        0,7        0,4      (12,4)      (20,1)
   1. Privatisasi (neto)                        (5,2)      0,4         0,3        0,1          -          1,2
   2. Hasil Pengelolaan Aset                     6,6       2,7         2,4        2,8       (0,3)         1,2
   3. Dana Investasi Pemerintah dan PMN            -      (2,0)       (2,0)      (2,5)     (12,1)      (12,9)
   a.l i. Investasi Pemerintah                     -      (2,0)       (2,0)         -       (0,5)       (3,6)
       ii. Penyertaan Modal Negara                 -         -           -       (2,5)     (10,7)       (6,0)
       iii. Dana Bergulir                          -         -           -          -       (0,9)       (3,3)
   4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional        -         -           -          -          -        (1,0)
   5. Kewajiban Penjaminan                         -         -           -          -          -         (1,1)
   6. Pemberian Pinjaman kepada PT PLN             -         -           -          -          -        (7,5)
                      Jumlah                    (1,2)    20,0         11,9      16,6      28,7         25,4
Sumber: Kementerian Keuangan


A. Penggunaan saldo rekening Pemerintah
Pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah adalah penerimaan atau pengeluaran
pembiayaan yang terkait dengan penerimaan dan pengembalian dari rekening-rekening
Pemerintah lainnya yang dikelola atau dikuasai oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara (BUN). Penggunaan saldo rekening Pemerintah yang berada di perbankan
dalam negeri menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan yang digunakan untuk
membiayai APBN. Saldo rekening Pemerintah tersebut bersumber dari penerimaan Rekening
Dana Investasi (RDI)/Rekening Pembangunan Daerah (RPD), Rekening Pembangunan
Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening lainnya. Penggunaan saldo rekening
Pemerintah dalam setiap tahun anggaran dipengaruhi oleh jumlah akumulasi uang tunai/

VI-6                                                                       Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                              Bab VI


saldo yang ada di rekening Pemerintah sebagai hasil operasional penerimaan dikurangi
dengan pengeluaran dalam APBN tahun-tahun sebelumnya.
Tren penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005–2010 cenderung mengalami
peningkatan, kecuali tahun 2007 yang menunjukkan penurunan sebesar Rp6,8 triliun atau
58,5 persen dibandingkan dengan tahun 2006. Tren peningkatan penggunaan saldo rekening
Pemerintah dalam tahun 2006–2010 disebabkan meningkatnya kontribusi RDI/RPD dan
SAL.
Dalam tahun 2006, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp11,6 triliun atau
meningkat sebesar Rp14,1 triliun (553,2 persen) jika dibandingkan dengan tahun 2005.
Peningkatan ini disebabkan adanya setoran RDI sebesar Rp2,0 triliun dan rekening lain-
lain sebesar Rp9,6 triliun. Sedangkan tingginya jumlah saldo rekening lain-lain yang diterima
dalam tahun 2006 karena adanya penerimaan dari hasil penutupan rekening Pemerintah
di berbagai K/L yang mencapai Rp5,5 triliun. Penutupan rekening ini dilaksanakan dalam
rangka penertiban rekening-rekening yang kategorikan ke dalam rekening nonbudjeter.
Kemudian dalam tahun 2007, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp4,8 triliun
atau turun Rp6,7 triliun. Penurunan sebesar 58,5 persen ini disebabkan menurunnya
penerimaan yang berasal dari penutupan rekening Pemerintah di K/L, meskipun penerimaan
RDI meningkat cukup signifikan hingga mencapai 100 persen bila dibandingkan dengan
penerimaannya dalam tahun sebelumnya.
Sementara itu, penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2008 sebesar
Rp16,2 triliun atau meningkat Rp11,4 triliun (236,6 persen) bila dibandingkan dengan tahun
2007. Peningkatan ini disebabkan adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo
Rekening Khusus (Reksus) akibat selisih kurs sebesar Rp15,9 triliun.
Dalam tahun 2009 penggunaan saldo rekening Pemerintah untuk menutup kebutuhan
pembiayaan APBN melonjak cukup tinggi hingga mencapai Rp41,2 triliun. Peningkatan
penggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp24,9 triliun atau 154,1 persen bila
dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini sebagai akibat meningkatnya penerimaan RDI
sebesar Rp3,4 triliun (1.135,0 persen), RPH sebesar Rp621,0 miliar (100,0 persen), dan SAL
sebesar Rp51,9 triliun. Penggunaan SAL yang cukup signifikan dalam tahun 2009 berkenaan
dengan adanya SiLPA 2008 yang cukup besar. SiLPA tersebut disebabkan karena realisasi
pendapatan negara yang melebihi dari target yang ditetapkan dan realisasi belanja negara
yang lebih rendah dari pagu yang
                                                                    GRAFIK VI.3
ditetapkan, khususnya belanja subsidi              PENGGUNAAN SALDO REKENING PEMERINTAH TAHUN
karena realisasi harga minyak mentah                                 2005–2010
                                                                  (triliun rupiah)
(ICP) lebih rendah dari perkiraan semula.      8,0

Dalam APBN-P 2010, direncanakan                  7,0
                                                 6,0
penggunaan saldo rekening Pemerintah
                                                 5,0
mencapai Rp45,5 triliun atau meningkat           4,0
Rp4,4 triliun (10,8 persen) dibandingkan         3,0
tahun 2009. Peningkatan ini dikarenakan          2,0
meningkatnya penerimaan RDI sebesar              1,0
Rp1,8 triliun atau 48,6 persen bila              0,0
                                                         2005       2006   2007   2008   2009   2010 *
dibandingkan dengan tahun 2009. Selain      * APBN-P 2010
itu juga dikarenakan dalam tahun 2009       Sumber: Kementerian Keuangan




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                             VI-7
Bab VI                                                   Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


terdapat pengeluaran dari rekening Pemerintah terkait adanya penyesuaian penambahan
dan penurunan saldo Reksus akibat selisih kurs hingga mencapai Rp15,1 triliun. Dari segi
penggunaan SAL, dalam tahun 2010 direncanakan Pemerintah akan menggunakan SAL
untuk membiayai APBN sebesar Rp39,3 triliun atau turun Rp12,5 triliun (24,1 persen) bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih rendahnya penggunaan SAL dalam tahun
2010 dikarenakan lebih rendahnya SiLPA tahun 2009 jika dibandingkan dengan SiLPA tahun
2008. Perkembangan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005-2010 dapat
dilihat pada Grafik VI.3.
B. Privatisasi BUMN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak
lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi
negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.
Privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN, dilakukan bukan hanya dalam
rangka memperolah dana segar, melainkan juga untuk menumbuhkan budaya korporasi
dan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan manajemen dan pengawasan
berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Privatisasi saat ini tidak lagi
diartikan secara sempit sebagai penjualan saham Pemerintah semata ke pihak
nonPemerintah, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus,
termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan
struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif,
pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran
kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik (privatisasi diupayakan
dilakukan melalui metode initial public offering/IPO).
Dari program privatisasi tersebut, kemudian sebagian dana yang diperoleh dapat digunakan
sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dan sebagian lainnya masuk kas perusahaan
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Penerimaan pembiayaan
melalui privatisasi cenderung mengalami peningkatan terutama selama periode 2006-2007,
dan selanjutnya semakin menurun, sejalan dengan kebijakan Pemerintah yang tidak lagi
mengandalkan hasil privatisasi sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan.
Dalam periode 2005-2009, upaya privatisasi BUMN telah menghasilkan Rp5,5 triliun yang
dilakukan melalui IPO, strategic sales (SS), private placement, secondary offering (SO),
dan employee management buy out (EMBO). Sementara itu dalam tahun 2010, penerimaan
privatisasi diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.
Pada tahun 2005, tidak ada penerimaan pembiayaan yang berasal dari privatisasi, tahun
2006 sebesar Rp2,4 triliun yang berasal dari privatisasi PT Perusahaan Gas Negara
(PT PGN), tahun 2007 sebesar Rp3,0 triliun yang berasal dari privatisasi Bank BNI.
Sementara itu, pada tahun 2008 Pemerintah menyetujui program privatisasi terhadap 44
BUMN, yang antara lain bergerak pada sektor pekerjaan umum, perkebunan, industri dan
keuangan. Dari jumlah ini, sebanyak 38 perusahaan dengan kepemilikan negara mayoritas
dan 6 perusahaan dengan kepemilikan negara minoritas. Namun, karena kondisi pasar
keuangan yang tidak kondusif, program privatisasi pada tahun 2008 tidak dapat
dilaksanakan. Realisasi penerimaan privatisasi pada tahun 2008 sebesar Rp82,3 miliar yang
berasal dari penutupan saldo privatisasi Bank BNI tahun 2007.

VI-8                                                            Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                            Bab VI


Pada tahun 2009, Pemerintah tidak                                   GRAFIK VI.4
menargetkan         pembiayaan      dari              PENERIMAAN PRIVATISASI BUMN, 2005 - 2010
                                                                  (triliun rupiah)
privatisasi. Hal tersebut terkait dengan
                                                5,0
kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan
BUMN dan faktor-faktor eksternal, antara        4,0
lain krisis keuangan global yang belum
                                                3,0
mengalami perbaikan, fluktuasi harga
komoditi yang sulit diperkirakan, dan           2,0
faktor geopolitik yang tidak pasti.
                                                1,0
Sementara itu, pada tahun 2010
                                           0,0
Pemerintah menargetkan penerimaan
                                                    2005          2006 2007 2008    2009      2010
dari privatisasi BUMN sebesar
                                                                             APBN-P    Realisasi
Rp1,2 triliun. Setoran privatisasi dalam Sumbe r: Kementerian Keuangan
APBN-P tersebut direncanakan berasal
dari hasil penjualan saham greenshoe Bank BNI sebesar 3,1 persen atau setara dengan
473.895.270 lembar saham. Penjualan saham greenshoe Bank BNI tersebut dimaksudkan
untuk menstabilkan harga saham di secondary market pasca pelaksanaan privatisasi
26,9 persen saham Bank BNI yang telah dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007.
Perkembangan penerimaan privatisasi pada periode 2005-2010 dapat dilihat dalam Grafik
VI.4.
C. Hasil Pengelolaan Aset
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan
Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan
Pengelola Aset (Persero), Hasil Pengelolaan Aset (HPA) adalah setiap penerimaan tunai
yang berasal dari restrukturisasi, kerjasama dengan pihak lain, penagihan piutang, penjualan,
penyewaan, dividen, kupon/bunga dan/atau penerimaan lain yang berasal dari aset yang
dikelola dari transaksi yang sudah selesai. Oleh karena itu, di samping pembiayaan dari
penggunaan dana tunai yang ada di rekening Pemerintah, pembiayaan tunai non-utang
dalam APBN juga dibiayai dari HPA milik Pemerintah. Dalam periode 2005–2010 aset yang
dikelola Pemerintah dan dapat digunakan untuk pembiayaan APBN adalah aset yang dikelola
oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dan aset yang
dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Aset yang dikelola DJKN meliputi aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks kelolaan
PT PPA dan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset yang dikelola
DJKN tersebut dapat berupa aset kredit, aset properti, dan aset saham, yang dikelola dengan
cara: (1) penagihan, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (terhadap aset kredit),
(2) penjualan (terhadap aset properti dan saham), (3) pemanfaatan (terhadap aset properti),
(4) penetapan status penggunaan (terhadap aset properti) kepada K/L, dan (5) pelepasan
hak dengan pembayaran kompensasi terhadap aset properti yang dipergunakan untuk
kepentingan umum.
Sementara itu, PT PPA melaksanakan pengelolaan aset berdasarkan penugasan yang diterima
dari Kementerian Keuangan. Aset yang dikelola oleh PT PPA meliputi aset saham bank, aset
saham nonbank, aset kredit/hak tagih, serta aset saham dan kredit. Hasil pengelolaan aset
oleh PT PPA setiap tahun akan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan, dan selanjutnya


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                       VI-9
Bab VI                                                                    Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal



                     GRAFIK VI.5                              akan dilakukan perjanjian pengelolaan
          HASIL PENGELOLAAN ASET 2005-2010                    aset setiap tahunnya antara Kementerian
                   (triliun Rupiah)
                                                              Keuangan dan PT PPA untuk
    7,0
                                                              menentukan jenis dan jumlah aset yang
    6,0
                                                              akan dikelola oleh PT PPA. Pada tahun
    5,0                                                       2005 dan 2006, kontribusi pengelolaan
    4,0                                                       aset dalam penerimaan pembiayaan
    3,0
                                                              adalah      masing-masing        sebesar
                                                              Rp6,6 triliun dan Rp2,7 triliun.
    2,0
                                                              Sementara itu, pada kurun waktu tahun
     1,0
                                                              2007-2009,        pengelolaan        aset
    0,0                                                       memberikan kontibusi masing-masing
               2005         2006  2007 2008    2009   2010
                                                              sebesar Rp2,4 triliun, Rp2,8 triliun, dan
  Sumbe r: Ke menterian Ke uangan
                                        APBN-P      Realisasi sebesar negatif Rp309,7 miliar. HPA pada
                                                              tahun 2009 yang bernilai negatif
Rp309,7 miliar tersebut terdiri dari hasil penjualan aset sebesar Rp690,3 miliar dikurangi
dengan PMN untuk restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,0 triliun. Sedangkan pada APBN-P
tahun 2010, hasil pengelolaan aset diharapkan memberikan kontribusi sebesar Rp1,2 triliun.
Kontribusi pengelolaan aset yang cenderung menurun tersebut sejalan dengan makin
berkurangnya jumlah aset yang dikelola, baik oleh DJKN maupun oleh PT PPA (persero).
Perkembangan hasil pengelolaan aset pada periode 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik
VI.5.
D. Dana Investasi Pemerintah dan
Penyertaan Modal Negara                                                          GRAFIK VI.6
                                                           REALISASI DANA INVESTASI PEMERINTAH DAN PMN, 2005-2010
                                                                                (triliun rupiah)
Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan
Modal Negara (PMN) terdiri atas berbagai       14,0
                                               12,0
komponen, yaitu: (1) Investasi Pemerintah, (2) 10,0

PMN, dan (3) dana bergulir. Pada setiap tahun   8,0
                                                6,0
anggaran, tidak semua jenis alokasi ini ada     4,0
pada dana investasi Pemerintah dan PMN.         2,0

Dana Investasi Pemerintah dan PMN               0,0
                                                    2005        2006       2007  2008 2009      2010*

merupakan pengeluaran pembiayaan yang                 Investasi Pemerintah
                                                      * APBN-P 2010
                                                                                PMN     Dana Bergulir


tidak dilakukan secara reguler, namun                 Sumber: Ke menterian Ke uangan



merupakan kebijakan yang bersifat ad-hoc tergantung kepada kebutuhan atau kebijakan
Pemerintah dalam satu tahun anggaran seperti dukungan Pemerintah terhadap
pembangunan infrastruktur dan pendirian sebuah BUMN untuk menjalankan kebijakan
Pemerintah. Perkembangan dana Investasi Pemerintah dan PMN selama periode 2005-
2010 dapat dilihat pada Grafik VI.6.
Investasi Pemerintah
Dana Investasi Pemerintah merupakan dana yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam APBN
yang peruntukannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Investasi Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan nilai tambah dan memperoleh manfaat
ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah tersebut dapat dilakukan
dalam bentuk pembelian saham, surat utang maupun investasi langsung. Dalam mencapai
tujuan investasi Pemerintah dimaksud, arah kebijakan dana investasi Pemerintah
VI-10                                                                                  Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                               Bab VI


dititikberatkan pada bidang infrastruktur.
Pemerintah pada tahun 2005 belum menganggarkan dana investasi Pemerintah. Alokasi
dana investasi Pemerintah pada tahun anggaran 2006 dan 2007 masing-masing sebesar
Rp2,0 triliun. Pada tahun anggaran 2008, Pemerintah tidak menganggarkan Dana Investasi
Pemerintah. Namun pada tahun anggaran 2009 Pemerintah telah mengalokasikan kembali
Dana Investasi Pemerintah sebesar Rp500 miliar. Sementara itu, pada tahun 2010 Pemerintah
telah mengalokasikan dana untuk investasi Pemerintah sebesar Rp3,6 triliun, yang terdiri
dari: (1) Dana Investasi Pemerintah (reguler) Rp927,5 miliar, dan (2) Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan Rp2,7 triliun.
Alokasi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada APBN-P 2010 tersebut
berasal dari realokasi dana subsidi kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) yang
direncanakan untuk menjalankan kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Hal
tersebut berkenaan dengan perubahan skema subsidi untuk KPRSh menjadi kebijakan fasilitas
likuiditas pembiayaan perumahan, yang menyediakan dana murah jangka panjang untuk
dipadukan dengan dana bank pelaksana pemberi KPRSh.
Penyertaan Modal Negara (PMN)
Pengertian PMN menurut PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan
Terbatas (PT) adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula
merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk
diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN, BUMD, atau badan
hukum lainnya yang dimiliki negara.
Dalam upaya mewujudkan salah satu tujuan bernegara, yaitu meningkatkan kesejahteraan
umum, maka Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian
negara, antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi
dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban tersebut dapat
dilakukan sendiri oleh Pemerintah, baik melalui instansi Pemerintah maupun badan usaha
yang dibentuk oleh Pemerintah, dan dapat pula dilakukan oleh masyarakat.
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, maka Pemerintah dapat
melakukan PMN untuk mendirikan BUMN. Sementara itu, untuk menyelamatkan
perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan PMN ke dalam perusahaan yang
di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan
dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula
melakukan penambahan PMN.
Besarnya alokasi dana PMN dalam periode 2005-2010 adalah sebagai berikut: (1) Tahun
2005 sebesar Rp5,2 triliun antara lain untuk PT Sarana Multigriya Financial dan Lembaga
Penjaminan Simpanan, (2) Tahun 2006 sebesar Rp2,0 triliun antara lain untuk PT Garuda
Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Kertas Kraft Aceh, (3) Tahun 2007 sebesar
Rp2,7 triliun antara lain untuk PT Sarana Pengembangan Usaha, PT Asuransi Kredit
Indonesia, dan PT Pusri, (4) Tahun 2008 sebesar Rp2,5 triliun untuk PT PPA dalam rangka
restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,5 triliun, dan perusahaan perseroan di bidang pembiayaan
infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI) sebesar Rp1,0 triliun, (5) Tahun 2009
sebesar Rp10,7 triliun antara lain untuk PT Perkebunan Nusantara II, PT Penjaminan


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                          VI-11
Bab VI                                                  Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan PT Pertamina, (6) Tahun 2010 sebesar Rp6,0 triliun
antara lain untuk LPEI, PT PII, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, PT SMI, Perusahaan
Penerbit SBSN II dan III, PT Askrindo dan PT BPUI yang berasal dari hibah saham Bank
Indonesia.
Tidak semua PMN yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 2005-2010 berupa
fresh money. Beberapa PMN kepada BUMN dialokasikan sebagai bentuk konversi utang
pokok (utang RDI dan PNBP), maupun hibah saham dari pihak lain (bersifat in-out). Sebagai
contoh adalah PMN kepada PT Pertamina tahun 2009 yang terkait dengan hasil rekonsiliasi
utang piutang (PNBP) Pertamina dan Pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awal
Pertamina tahun 2003. Selain itu, PMN kepada PT Askrindo dan PT BPUI pada tahun 2010
berasal dari hibah saham Bank Indonesia.
Sementara itu, sejak tahun 2009 Pemerintah tidak lagi mengalokasikan PMN kepada BUMN
tertentu yang bertujuan untuk merestrukturisasi BUMN. Hal tersebut terkait dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang
Pengelolaan Aset, yang memberikan penugasan kepada PT PPA untuk melakukan
restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Dengan demikian, PMN diberikan kepada PT PPA,
dan selanjutnya BUMN dapat mengajukan permintaan restrukturisasi/revitalisasi kepada
PT PPA.
PMN yang berupa fresh money saat ini lebih banyak ditujukan untuk mendukung kebijakan
Pemerintah dalam bidang tertentu, seperti PMN kepada PT PII dan PT SMI yang ditujukan
untuk mendukung pembangunan infrastruktur, serta PMN kepada PT Askrindo dan Perum
Jamkrindo yang ditujukan untuk mendukung perluasan program KUR.
Dana Bergulir
Dana bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada
masyarakat oleh pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran yang bertujuan
meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Jenis dana bergulir yang dialokasikan
Pemerintah dalam setiap tahun anggaran tidak sama, tergantung pada kebutuhan penyediaan
dana yang akan digulirkan kepada masyarakat.
Suatu dana dikategorikan sebagai dana bergulir jika memenuhi karakteristik (1) merupakan
bagian dari keuangan negara, (2) dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan
negara, (3) dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA), (4) disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok
masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada
masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund), (5) ditujukan untuk perkuatan modal
koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya, dan (6) dapat ditarik kembali
pada suatu saat.
Sebelum tahun 2009, dana bergulir diklasifikasikan ke dalam belanja negara, baik belanja
bantuan sosial (bansos), subsidi, belanja hibah, maupun belanja modal nonfisik lainnya.
Dalam perkembangannya Pemerintah memandang dana bergulir tidak tepat diklasifikasikan
ke dalam belanja negara karena tidak sesuai dengan karakteristik dan sifat dana bergulir.
Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan
Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan
Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun

VI-12                                                          Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                               Bab VI


2008-2009, Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 99 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga tanggal 7 Juli 2008. Baru
kemudian dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan dana bergulir ke dalam
pembiayaan anggaran. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (1) PMK Nomor 99 Tahun 2008
yang menyatakan bahwa pengeluaran dana bergulir yang bersumber dari rupiah murni
dialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam APBN.
Dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir sebesar
Rp915,0 miliar yang digunakan untuk membiayai dana bergulir di bidang koperasi dan
usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) sebesar Rp290,0 miliar dan bidang kehutanan
sebesar Rp625,0 miliar. Realisasinya sampai dengan akhir tahun mencapai Rp911,0 miliar
atau 99,6 persen dibandingkan dengan alokasi anggarannya, yang terdiri dari realisasi dana
bergulir KUMKM sebesar Rp290,0 miliar (100,0 persen) dan realisasi dana bergulir
kehutanan sebesar Rp621,0 miliar (99,4 persen).
Dana bergulir di bidang koperasi dikelola oleh Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola
Dana Bergulir KUMKM (BLU LPDB KUMKM) yang merupakan satker di bawah
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pengalokasian anggaran
dana bergulir KUMKM ditujukan untuk (1) membantu perkuatan modal usaha guna
mengembangkan koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pengembangan ekonomi nasional,
(2) mengembangkan dan menyediakan akses pembiayaan bagi usaha KUMKM melalui pola
dana bergulir, dan (3) memperkuat pendanaan lembaga keuangan dalam rangka
memberdayakan lembaga keuangan dimaksud agar dapat memberikan layanan pembiayaan
secara mandiri bagi KUMKM yang belum memenuhi kriteria kelayakan perbankan umum
(not bankable).
Mekanisme penyaluran dana bergulir KUMKM dapat dilaksanakan melalui perantara atau
tanpa perantara. Mekanisme penyaluran dengan perantara yaitu apabila BLU pengelola
dana bergulir memberikan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) melalui
lembaga perantara. Lembaga perantara dimaksud dapat berupa lembaga keuangan bank
(LKB) atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) seperti koperasi primer, koperasi sekunder,
perusahaan modal ventura, dan lain-lain. Sedangkan mekanisme penyaluran dana bergulir
tanpa perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir menyalurkan dana bergulir kepada
pihak pengguna dana (end user) secara langsung tanpa melalui lembaga perantara.
Realisasi anggaran dana bergulir KUMKM tahun 2009 mencapai 100,0 persen.
Penyalurannya dilaksanakan melalui 6 koperasi sekunder, 33 koperasi primer, 22 perusahaan
modal ventura, dan 6 perbankan.
Beberapa kendala dalam penyaluran dana bergulir KUMKM tahun 2009 yaitu, (1) terbatasnya
jumlah tenaga account officer (AO) yang dimiliki BLU LPDB KUMKM, (2) tarif skim
pinjaman/pembiayaan masih dalam proses persetujuan Menteri Keuangan sehingga dana
bergulir yang ada belum bisa disalurkan sesuai dengan kelayakan dan kebutuhan KUMKM,
(3) informasi tentang keberadaan BLU LPDB KUMKM belum tersebar luas, (4) ketidaksiapan
lembaga perantara sebagai penyalur pinjaman kepada koperasi-koperasi, (5) pemberian
persetujuan pinjaman/pembiayaan dilakukan secara koligial direksi pada rapat komite
pinjaman, dan (6) kelemahan database koperasi yang layak untuk mendapatkan pinjaman.




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                         VI-13
Bab VI                                                             Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


Sementara itu, dana bergulir kehutanan merupakan dana yang bersumber dari alokasi APBN
dan sumber dana lainnya, yang dipinjamkan kepada pemegang ijin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) dan ijin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk pembangunan hutan
tanaman dengan suku bunga tertentu, yang harus digulirkan ke pemegang IUPHHK-HTR
dan IUPHHK-HTI lainnya jika jangka waktu pinjamannya berakhir atau diberhentikan.
Dana bergulir di bidang kehutanan dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan (BLU P3H) yang merupakan satker di bawah Kementerian
Kehutanan.
Pengalokasian anggaran dana bergulir kehutanan ditujukan untuk menyediakan dana bagi
membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan melalui skema pinjaman
dan bergulir kepada badan usaha berbadan hukum, koperasi, dan kelompok tani hutan.
Sumber pembiayaan dana bergulir kehutanan bersumber dari RPH, yang merupakan
rekening penampungan dana reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan menggunakan sistem pinjaman dan dikelola dengan sistem dana bergulir. Sedangkan
sumber dana RPH berasal dari (1) dana reboisasi, (2) sisa dana reboisasi setiap tahun dari
bagian Pemerintah Pusat setelah dikurangi alokasi ke Kementerian Kehutanan, (3) dana
reboisasi dari penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit beserta bunganya dari para
debitur, hasil divestasi, dividen, dan pungutan kayu sitaan, (4) dana reboisasi yang berada
di pihak ketiga, (5) bunga dan/atau jasa giro yang berasal dari RPH, dan (6) surplus (return)
bagian Pemerintah yang berasal dari BLU P3H.
Dalam APBN-P 2010, alokasi dana bergulir meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau
259,5 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2009. Peningkatan yang cukup
signifikan ini disebabkan oleh kenaikan alokasi dana bergulir KUMKM dari semula
Rp290,0 miliar dalam tahun 2009 menjadi Rp350,0 miliar dan adanya alokasi dana bergulir
baru untuk pengadaan tanah sebesar Rp2,3 triliun. Sedangkan dana bergulir kehutanan
dalam APBN-P 2010, alokasi anggarannya tetap sama seperti yang dialokasikan dalam tahun
2009 sebesar Rp625,0 miliar.
Tujuan pengalokasian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 sama
dengan tahun sebelumnya karena pada prinsipnya kebijakan pemberian dana bergulir
KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 merupakan kelanjutan dari tahun 2009.
                                                                    Sedangkan alokasi dana bergulir
                                      GRAFIK VI.7                   pengadaan tanah ditujukan
                              DANA BERGULIR 2009 - 2010
                                    (triliun rupiah)                untuk dana talangan dalam
      3,5                                                           rangka mempercepat proses
                  KUMKM
      3,0         Kehutanan
                                                                    penyelesaian pengadaan tanah
      2,5         Pengadaan Tanah
                                                                    untuk pembangunan 22 ruas
                  Total
                                                                    jalan tol. Dana bergulir ini dikelola
      2,0
                                                                    oleh Badan Layanan Umum
        1,5
                                                                    Badan Pengatur Jalan Tol (BLU
      1,0
                                                                    BPJT) yang merupakan satker di
      0,5
                                                                    bawah Kementerian Pekerjaan
          -                                                         Umum.
                                  2009                    2010 *
 * APBN-P 2010
 Sumber: Ke menterian Ke uangan




VI-14                                                                     Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                Bab VI


Sebagian anggaran yang digunakan untuk dana bergulir pengadaan tanah berasal dari
realokasi cadangan pembiayaan 2010 yang telah dianggarkan dalam APBN 2010 sebesar
Rp914,3 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp1,4 triliun merupakan tambahan anggaran
baru. Pemerintah memroyeksikan pembangunan 22 ruas jalan tol akan dapat diselesaikan
paling lambat tahun 2013 dalam upaya memenuhi target pembangunan infrastruktur jalan
berdasarkan program prioritas Pemerintah. Perkembangan realisasi dana bergulir tahun
2009 dan 2010 dapat dilihat pada Grafik VI.7.
E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan
untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan
program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban
antargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanisme
dana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untuk
mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam.
Pemerintah baru mengalokasikan dana pengembangan pendidikan nasional melalui
pembiayaan anggaran sebesar Rp1,0 triliun dalam APBN-P 2010. Sedangkan dalam tahun-
tahun sebelumnya, Pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk keperluan ini.
F. Kewajiban Penjaminan Untuk PT PLN (Persero) dan PDAM
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86
Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007
tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2006 tentang Pemberian
Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan
Batubara, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap
pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan
pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000
MW. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (Persero) dalam
memperoleh kredit yang diharapkan dapat menurunkan biaya modal proyek. Dengan
penjaminan tersebut diharapkan dapat membantu mempercepat penyelesaian Proyek
Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW dalam rangka mengatasi
kekurangan pasokan listrik nasional.
Sebagai konsekuensi pemberian jaminan ini, ketika PT PLN (Persero) tidak mampu
memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, maka Pemerintah wajib memenuhi
kewajiban tersebut. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah kepada kreditor ini akan
diperhitungkan sebagai utang PT PLN (Persero) kepada Pemerintah. Terhadap utang ini,
PT PLN (Persero) wajib melakukan pelunasan pada kesempatan pertama setelah dilakukan
penagihan atau langsung dilakukan pemotongan dari hak PLN atas subsidi harga listrik
yang dibayar Pemerintah. Dana kewajiban penjaminan mulai dianggarkan pada APBN
tahun 2007, tetapi sampai dengan akhir tahun 2009, realisasi dana kontijensi untuk
PT PLN (Persero) masih nihil. Hal ini dikarenakan PT PLN (Persero) masih mampu
membayar kewajibannya kepada kreditur dengan baik. Selanjutnya pada APBN-P 2010,
dana kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) kembali dialokasikan sebesar
Rp1,0 triliun.
Sementara itu, Pemerintah juga melakukan penjaminan terhadap kemungkinan gagal bayar
dari proyek PDAM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                          VI-15
Bab VI                                                Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan
Penyediaan Air Minum. Selain itu, kewajiban penjaminan untuk PDAM dialokasikan dalam
rangka percepatan penyediaan air minum yang merupakan salah satu kebutuhan dasar
penduduk yang perlu diupayakan agar senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup merata
dan mutu yang baik dalam rangka pencapaian millenium development goals (MDG’s),
sehingga perlu diberikan akses pembiayaan bagi PDAM untuk memperoleh kredit investasi
dari perbankan nasional. Dana kewajiban penjaminan untuk PDAM mulai dianggarkan
pada tahun 2010. Pada APBN-P 2010, Pemerintah mengalokasikan dana kewajiban
penjaminan untuk PDAM sebesar Rp50,0 miliar.
G. Pinjaman kepada PT PLN (Persero)
Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan,
selain memberikan penjaminan kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, Pemerintah
juga mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp7,5
triliun dalam APBN-P 2010. Dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah tidak
mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero).
Pinjaman ini merupakan pinjaman lunak dengan masa pengembalian antara 10 sampai
dengan 15 tahun dengan masa tenggang maksimal 5 tahun, jika dibayarkan secara
amortisasi. Selain itu, tingkat suku bunga yang dikenakan atas pinjaman ini juga rendah
guna mempertimbangkan pemenuhan covenant utang-utang PT PLN (Persero). Rencana
pemberian pinjaman tersebut akan digunakan PT PLN (Persero) untuk menutup financing
gap PT PLN (Persero) sebagai akibat dari pengadaan dan penggantian trafo, penguatan
instalasi transmisi dan distribusi serta investasi lainnya.
Untuk penyalurannya, Pemerintah memberikan penugasan kepada Badan Layanan Umum
Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) untuk melaksanakan pemberian pinjaman dengan
penerbitan Peraturan Presiden. Pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) juga mengikuti
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
6.2.2.2 Pembiayaan Utang
Utang merupakan instrumen pembiayaan yang hampir selalu digunakan oleh berbagai
negara di dunia untuk menutup defisit pembiayaannya. Hal ini disebabkan karena sumber
ini relatif tersedia baik dalam bentuk pinjaman maupun surat berharga. Pinjaman tersebut
dapat diberikan oleh lembaga pemberi pinjaman sebagai perantara (intermediaries) seperti
Bank Dunia atau bank pembangunan kawasan misalnya Asian Development Bank untuk
kawasan Asia Pasifik, African Development Bank untuk kawasan Afrika, European
Development Bank untuk kawasan Eropa, atau Inter American Development Bank untuk
kawasan Amerika Selatan, maupun diberikan oleh negara atau lembaga keuangan yang
mewakili sebuah negara. Di negara-negara yang telah maju industri keuangan dan pasar
modalnya, pembiayaan utang lebih banyak bersumber dari pasar atau investor pasar
keuangan melalui penerbitan surat berharga.
Pemerintah Indonesia menggunakan dua instrumen utang tersebut dalam memenuhi
pembiayaannya baik instrumen pinjaman maupun instrumen surat berharga. Secara bruto
pembiayaan utang meningkat dari Rp76,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp249,8 triliun
pada tahun 2010 atau meningkat lebih dari 3 kali. Seiring dengan peningkatan pembiayaan
utang¸ penarikan pinjaman juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Penarikan


VI-16                                                        Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                               Bab VI



                                         GRAFIK VI.8
                                PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN UTANG
                                       TAHUN 2005-2010
                      300,0 

                      250,0 
     triliun rupiah




                      200,0 

                      150,0 

                      100,0 

                       50,0 

                          ‐
                               2005    2006     2007     2008       2009        2010
     Total Utang               76,5    123,9    150,9    182,9      207,2       249,8 
    Penerbitan SBN             47,4    94,2     116,9    132,7      148,5       178,0 
    Penarikan PLN              29,1    29,7     34,1     50,2        58,7        70,8 
    Penarikan PDN               ‐        ‐        ‐        ‐          ‐          1,0 
  Sumbe r: Kementerian Ke uangan

pinjaman pada tahun 2005 sebesar Rp29,1 triliun meningkat menjadi Rp70,8 triliun pada
tahun 2010 untuk memanfaatkan pinjaman program dalam memenuhi kebutuhan
pembiayaan utang tunai. Hal ini dilakukan karena penggunaan dana pinjaman program
tidak terikat pada kegiatan tertentu atau lebih fleksibel, sehingga pemanfaatannya akan
lebih optimal sesuai dengan kebutuhan belanja Pemerintah. Namun demikian, kenaikan
penarikan pinjaman ini tidak sebanding dengan meningkatnya penerbitan SBN. Penerbitan
SBN pada tahun 2010 meningkat lebih dari 4 kali lipat dibandingkan tahun 2005, yaitu dari
Rp47,4 triliun ke Rp178,0 triliun. Peningkatan yang cukup besar tersebut lebih banyak
dipenuhi melalui penerbitan SBN domestik, hal ini dilakukan karena untuk meningkatkan
likuiditas dan kedalaman pasar dalam negeri serta untuk mengurangi risiko perubahan mata
uang. Perkembangan pembiayaan utang tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik.VI.8.
A. Penerbitan SBN neto
Sepanjang periode 2005–2009, perkembangan realisasi pembiayaan khususnya yang
bersumber dari penerbitan SBN cenderung semakin meningkat. Faktor utama yang
berkontribusi bagi peningkatan penerbitan SBN ini adalah (i) adanya kebijakan untuk
memprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestik dan mengurangi
ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri, (ii) adanya kebutuhan pembiayaan
kembali dan reprofiling utang.
Dalam upaya memenuhi target pembiayaan yang terus meningkat tersebut, penerbitan SBN
menghadapi berbagai tantangan yang cukup berat mengingat kondisi pasar SBN masih
perlu untuk terus dikembangkan dan masih cukup rentan apabila terjadi krisis.
Pada tahun 2005, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P ditetapkan sebesar Rp22,1


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                             VI-17
Bab VI                                                               Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal



                                            GRAFIK VI.9
                          REALISASI PEMBIAYAAN MELALUI PENERBITAN SBN
                                          (triliun rupiah)
          200,0

          150,0

          100,0

           50,0

            0,0
                       2005               2006   2007    2008             2009          2010*
          -50,0

         -100,0
          * APBN-P 2010
                                                        SBN (neto)     Penerbitan   Pokok Jatuh Tempo
          Sumbe r: KementerianKe uangan


triliun atau secara gross sebesar Rp43,3 triliun. Pada tahun ini kondisi pasar keuangan kurang
mendukung program penerbitan SBN akibat adanya krisis reksa dana. Dalam realisasinya,
penerbitan gross SBN pada tahun 2005 adalah sebesar Rp47,4 triliun yang digunakan untuk
membiayai defisit sebesar Rp22,6 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo
sebesar Rp24,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp22,5 triliun
dengan tenor rata-rata 9,2 tahun dan ON valas sebesar Rp24,8 triliun dengan tenor rata-
rata 15,0 tahun Walaupun kondisi pasar keuangan kurang mendukung, minat investor untuk
berinvestasi pada SBN masih cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bid to cover ratio sebesar
2,16 kali.
Pada tahun 2006 dan 2007, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat cukup
signifikan menjadi sebesar Rp35,8 triliun dan Rp58,5 triliun atau secara gross Rp90,5 triliun
dan Rp99,3 triliun. Peningkatan target penerbitan tersebut dapat dipenuhi dengan biaya
yang relatif rendah karena adanya upaya pengembangan instrumen SUN dan perluasan
basis investor yang didukung kondisi pasar keuangan yang sudah pulih dari krisis reksadana
dan kondisi makro ekonomi yang stabil. Hal ini terlihat dari tingginya likuiditas di pasar
keuangan yang tercermin pada indikator bid to cover ratio sebesar 2,32 kali di tahun 2006
dan 2,22 kali di tahun 2007. Realisasi penerbitan gross SBN pada tahun 2006 adalah sebesar
Rp94,2 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp42,6 triliun dengan tenor rata-rata
11,6 tahun dan ON valas sebesar Rp20,0 triliun dengan tenor rata-rata 20,3 tahun yang
digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp36,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN
jatuh tempo sebesar Rp58,3 triliun. Sedangkan pada tahun 2007, realisasi penerbitan gross
SBN adalah sebesar Rp116,9 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp71,7 triliun dengan
tenor 14,1 tahun, ON seri SPN sebesar Rp4,2 triliun dengan tenor rata-rata 1,0 tahun, ON
seri ZCB sebesar Rp10,5 triliun dengan tenor rata-rata 2 tahun dan ON valas sebesar Rp13,6
triliun dengan tenor 30 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp57, 2
triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp59,7 triliun. Pada paruh kedua
tahun 2007, pasar keuangan global diguncang oleh krisis keuangan yang dipicu oleh krisis
subprime mortgage di Amerika, namun dampak dari krisis global ini belum secara signifikan
mempengaruhi pasar SBN dalam negeri.
Pada tahun 2008, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat menjadi sebesar
Rp117,8 triliun atau secara gross sebesar Rp157,0 triliun. Pada tahun ini, dampak krisis
subprime morgage yang melanda Amerika Serikat mulai dirasakan oleh pasar keuangan


VI-18                                                                        Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                               Bab VI


domestik dan mencapai puncaknya pada paruh kedua tahun 2008. Dalam kondisi pasar
keuangan yang memburuk tersebut, mengingat pasar obligasi tidak dapat dipisahkan dengan
kondisi pasar keuangan pada umumnya, maka Pemerintah mengambil tindakan antara
lain dengan (i) menghentikan penerbitan SUN untuk menjaga kepercayaan investor dan
mengurangi kekhawatiran atas oversupply SUN dan (ii) melakukan program debt switch
dan buyback. Dengan demikian, realisasi penerbitan gross SBN hanya sebesar Rp132,7 triliun
yang diarahkan untuk membiayai defisit anggaran sebesar Rp86,0 triliun dan pembiayaan
kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp46,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR
sebesar Rp62,4 triliun dengan tenor rata-rata 9,6 tahun, ON seri VR sebesar Rp5,0 triliun
dengan tenor rata-rata 3 tahun, ON seri SPN sebesar Rp10,0 triliun dengan tenor rata-rata
0,9 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp9,6 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun dan ON valas
sebesar Rp39,3 triliun dengan tenor rata-rata 18,1 tahun.
Dalam rangka mengatasi dampak krisis yang semakin memburuk pada perekonomian
nasional, Pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan stimulus fiskal dalam APBN
2009. Hal ini berimplikasi kepada kenaikan target penerbitan SBN neto dari semula Rp54,7
triliun dalam APBN 2009 menjadi Rp99,3 triliun dalam APBN-P 2009 atau secara gross
sebesar Rp99,6 triliun menjadi Rp144,8 triliun. Menyadari bahwa kondisi pasar keuangan
dunia masih belum kondusif, pemenuhan target pembiayaan melalui penerbitan SBN tersebut
dikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara optimal. Beberapa faktor yang dinilai dapat
mempengaruhi tidak optimalnya penerbitan SBN pada saat itu antara lain adalah
(i) terbatasnya permintaan dari investor akibat perlambatan ekonomi yang berimbas pada
penurunan kapasitas investasi dan keterbatasan likuiditas, (ii) semakin banyaknya negara-
negara di dunia yang melakukan penambahan utang untuk menutup kebutuhan
penyelamatan perekonomian dan fiskal stimulus, dan (iii) potensi terjadinya crowding out
effect, yang dapat berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makin
mahalnya biaya yang harus ditanggung.
Sebagai respon terhadap tingginya target pembiayaan tahun 2009 di tengah kondisi pasar
yang kurang kondusif, Pemerintah melakukan pembicaraan secara intensif dengan pemberi
pinjaman konvensional baik multilateral maupun bilateral, mengenai kemungkinan untuk
memberikan fasilitas pinjaman siaga (contingency loan) dalam hal penerbitan SBN tidak
dapat dilakukan secara optimal. Tindak lanjut dari inisiatif ini, Pemerintah melakukan
penandatanganan perjanjian dengan empat development partners yaitu Bank Dunia, ADB,
Pemerintah Jepang melalui JBIC, dan Pemerintah Australia. Adapun masa laku dari
pinjaman siaga ini adalah selama 2 (dua) tahun, terhitung dari tahun 2009–2010. Pinjaman
ini bukan merupakan pinjaman yang bersifat stand-by sebagaimana halnya commited credit
line, yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam hal diperlukan dan dapat menjadi substitusi
dari alternatif pembiayaan yang telah ada. Bentuk dukungan pinjaman siaga dapat berupa
pemberian pinjaman, yang hanya dapat ditarik dalam hal 2 (dua) kondisi yang disepakati
antara Pemerintah dengan development partners secara simultan terpenuhi yaitu (i) target
pembiayaan Pemerintah dalam satu triwulan tertentu tidak dapat dipenuhi dan (ii) yield
obligasi Pemerintah yang diterbitkan melampaui threshold tertentu yang disepakati. Untuk
fasilitas dalam bentuk pinjaman ini tercakup dalam kerangka Public Expenditure Support
Facility (PESF) yang dalam pelaksanaannya memperoleh dukungan dari Bank Dunia, ADB,
dan Pemerintah Australia. Selain itu, pinjaman siaga dapat berupa pemberian jaminan
(guarantee) melalui kerangka Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh
Pemerintah Jepang. Dalam skema ini Pemerintah dapat melakukan penerbitan surat


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                         VI-19
Bab VI                                                   Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


berharga di pasar internasional, terutama pasar keuangan Jepang dengan mendapatkan
jaminan dari Pemerintah Jepang melalui JBIC. Sampai dengan pertengahan tahun 2009,
pinjaman siaga tersebut baru dimanfaatkan sebesar JPY35 miliar melalui penerbitan JBIC
guaranteed samurai bonds (shibosai) di pasar keuangan Jepang. Sedangkan pinjaman siaga
dalam kerangka PESF sampai saat ini belum dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena kondisi
pasar keuangan yang cenderung mengalami perbaikan sejak awal tahun 2009 sampai dengan
saat ini, sehingga 2 (dua) syarat dalam rangka penarikan pinjaman ini belum terlampaui.
Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2009 adalah sebesar Rp148,5 triliun
yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp99,5 triliun dan untuk pembiayaan
kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp 49,1 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR
sebesar Rp66,1 triliun dengan tenor rata-rata 10,7 tahun, ON seri VR sebesar Rp6,5 triliun
dengan tenor rata-rata 4,5 tahun ON seri SPN sebesar Rp25,2 triliun dengan tenor rata-rata
0,5 tahun dan ON valas sebesar Rp46,8 triliun dengan tenor rata-rata 8 tahun.
Sebagai salah satu respon terhadap kecenderungan meningkatnya target penerbitan SBN,
dan mempertimbangkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada awal tahun, Pemerintah
dalam melakukan penerbitan SBN menerapkan kebijakan front loading. Melalui kebijakan
ini, porsi jumlah penerbitan diatur sedemikian rupa sehingga jumlah penerbitan pada semester
I relatif lebih besar dari pada jumlah penerbitan semester II. Pertimbangan dilaksanakannya
kebijakan front loading ini antara lain adalah sebagai berikut:
   1. Memanfaatkan kondisi pasar yang relatif bullish pada awal tahun.
   2. Memberikan rasa aman bagi para pelaku pasar bahwa target penerbitan SBN
      Pemerintah relatif akan dapat dicapai.
   3. Tambahan biaya yang harus ditanggung Pemerintah untuk setiap peningkatan bid
      yang diterima pada saat lelang pada semester I umumnya lebih kecil daripada semester
      II.
   4. Praktik front loading merupakan praktik yang umum dilakukan oleh Debt Management
      Office (DMO) di banyak negara.
   5. Penerapan strategi front loading dalam pengelolaan utang yang prudent cenderung
      memberikan kontribusi positif pada stabilitas fiskal dan pasar keuangan dan diapresiasi
      oleh rating agencies.
Namun, pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara hati-hati dan terukur dengan
mempertimbangkan kondisi kas negara, kondisi pasar keuangan, dan rencana kebijakan
fiskal yang ditempuh sehingga kebijakan front loading yang dilakukan dapat mendorong
pengembangan pasar obligasi domestik. Dalam periode 2005-2009 gambaran hasil
pelaksanaan kebijakan ini dapat dilihat dalam Tabel VI.3.
Seiring dengan meningkatnya target pembiayaan defisit anggaran melalui penerbitan SBN,
diperlukan kondisi pasar SBN yang aktif, dalam, dan likuid. Dalam rangka meningkatkan
likuiditas dan kedalaman pasar SBN, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah melalui
pengembangan instrumen SBN, baik SBN domestik maupun SBN Valas. Pengembangan
instrumen SBN domestik yang telah dilakukan sepanjang tahun 2005-2010 diantaranya
adalah pengembangan obligasi ritel, pengembangan SBSN, sukuk ritel, SPN, obligasi tanpa
kupon (zero coupon bond–esZCB), dan sukuk dana haji Indonesia (SDHI). Produk obligasi
negara ritel yang lebih dikenal ORI diperkenalkan pada tahun 2006, yang ditujukan bagi

VI-20                                                           Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                                       Bab VI


                                   TABEL VI.3
              REKAPITULASI PENERBITAN SBN PER SEMESTER, 2005-2009
                                  (juta rupiah)

    Tahun                Semester I                     Semester II                           Total

                              29.072.000,0                     18.225.000,0                         47.297.000,0
     2005
                                        61,5%                           38,5%
                              44.054.000,0                     18.533.650,0                         62.587.650,0
     2006
                                        70,4%                           29,6%
                              57.508.200,0                     42.446.495,0                         99.954.695,0
     2007
                                        57,5%                           42,5%
                               95.668.565,0                    25.876.875,0                         121.545.440,0
     2008
                                        78,7%                            21,3%
                              84.925.000,0                     43.082.156,0                         128.007.156,0
     2009
                                        66,3%                            33,7%
Catatan: Penerbitan SBN termasuk dengan lelang dan private placement , tetapi belum termasuk SBSN
Sumber: Kementerian Keuangan


investor individu. Untuk itu, terms and condition produk obligasi ritel ini disesuaikan dengan
kebutuhan investor individu, diantaranya tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat bunga tabungan, maupun deposito dan pembayaran bunga yang dilakukan
secara bulanan. Selanjutnya pada tahun 2007, Pemerintah memperkenalkan instrumen ZCB
yang diarahkan untuk menyesuaikan pola investasi dari perusahaan asuransi dan dana
pensiun. Selanjutnya untuk mengisi kebutuhan pasar akan instrumen jangka pendek,
Pemerintah menerbitkan surat perbendaharaan negara (SPN) yang terutama ditujukan bagi
kalangan perbankan sebagai instrumen untuk menyelaraskan durasi. Pada awalnya SPN
dan ZCB kurang diminati oleh pasar karena adanya perlakuan pajak yang dinilai memberatkan
investor. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah mengkaji kembali perlakuan pajak atas kedua
instrumen tersebut dan melakukan penyesuaian sehingga instrumen tersebut menjadi lebih
menarik. Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan secara nyata dengan tingginya minat
investor setelah perlakuan pajak yang baru terhadap kedua instrumen tersebut terutama
SPN ditetapkan. Memasuki tahun 2008, setelah ditetapkannya UU tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN), Pemerintah melakukan penerbitan SBSN dengan tenor 7 dan 10
tahun di pasar domestik dan internasional. Penerbitan ini mendapat sambutan yang cukup
baik dengan terpenuhinya target penerbitan SBSN bahkan penawaran yang masuk lebih
tinggi dari target yang ditetapkan.
Berkenaan dengan mata uang SBN yang diterbitkan, sejak tahun 2004 Pemerintah mulai
menerbitkan SBN dalam denominasi valas dalam mata uang USD, sedangkan dalam mata
uang JPY baru dimulai pada tahun 2009. Tujuan penerbitan SBN valas adalah untuk
memenuhi pembiayaan dan untuk mengelola portofolio utang Pemerintah. Penerbitan SBN
dalam mata uang USD pada awalnya menggunakan program stand alone dengan format
reg S/144A, namun sejak tahun 2009 Pemerintah menerbitkan SBN Valas dengan format
GMTN (Global Medium Term Note). Penerbitan dengan format Reg S/144A memerlukan


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                  VI-21
Bab VI                                                   Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


waktu yang cukup panjang sehingga terbuka peluang untuk diprediksi oleh pasar yang pada
akhirnya cenderung mendorong yield ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan format GMTN
Pemerintah dapat melakukan penerbitan sampai dengan jumlah yang didaftarkan pada
program GMTN tersebut dan realisasi penerbitan dapat dilaksanakan setiap saat dalam
periode yang telah ditentukan, sesuai dengan kebutuhan pembiayaan. Dengan demikian
Pemerintah memiliki fleksibilitas dalam memilih waktu yang tepat untuk penerbitan yang
pada akhirnya dapat mengurangi noise di pasar keuangan. Pada tahun 2009 Pemerintah
mencoba menjajaki pasar Jepang dengan menerbitkan shibosai sebesar JPY 35 miliar yang
memanfaatkan fasilitas Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh
Pemerintah Jepang melalui JBIC. Penerbitan shibosai ini menggunakan mekanisme private
placement kepada investor Jepang yang potensial. Pada tahun 2010 direncanakan untuk
melakukan penerbitan shibosai pada semester II 2010, penerbitan ini ditujukan untuk
menambah likuiditas shibosai dengan menambah jumlah outstanding.
SBN valas juga diterbitkan dengan basis syariah (sukuk valas). Penerbitan pertama kali
dilakukan pada bulan April 2009 sebesar USD650 juta dengan akad Ijarah sale and lease
back. Penerbitan tersebut merupakan penerbitan straight sukuk terbesar di luar negara teluk
dan merupakan benchmark pertama kali sukuk valas di Asia sejak tahun 2007. Minat investor
terhadap instrumen ini cukup tinggi tercermin dari tingginya jumlah penawaran yang masuk
(over subscription) sebanyak 7,3 kali dari jumlah penerbitan.
Selain itu, Pemerintah berupaya untuk terus melakukan pengembangan pasar perdana
melalui peningkatan kualitas pengelolaan SBN salah satunya dengan meningkatkan aspek
certainty dan predictability bagi para investor. Melalui kedua aspek ini maka diharapkan
kualitas pengelolaan SBN dapat ditingkatkan. Salah satu initiatif yang telah dilakukan pada
tahun 2007, Pemerintah mengimplementasikan primary dealership system yang
memungkinkan terjadinya market making dalam pasar SBN. Kemudian tahun 2010,
pengembangan pasar antara lain dilakukan dengan menyusun jadwal pelaksanaan lelang
per triwulan yang meliputi indikasi waktu, jenis instrumen per tenor, dan rencana penerbitan
triwulanan. Meskipun jadwal ini sifatnya masih tentative, namun setidaknya dapat
memberikan gambaran bagi investor terhadap penyusunan rencana investasi di SBN
sepanjang tahun. Sedangkan dalam pengembangan pasar sekunder, telah ditetapkan crisis
management protocol sebagai mekanisme early warning dan prosedur dalama pengelolaan
jika terjadi krisis di pasar sekunder. Kemudian diperkenalkan metode securities lending and
borrowing bagi primary dealers, dan Pemerintah dapat melakukan stabilisasi pasar dengan
transaksi langsung melalui dealing room.
Dalam pengelolaan portofolio dan risiko utang, Pemerintah juga telah mengembangkan
berbagai operasi untuk memperbaiki struktur portofolio dan mengendalikan risiko yang
terkandung dalam utang. Sebagai salah satu contoh dalam pengendalian risiko refinancing,
Pemerintah telah melakukan operasi pasar melalui program cash buyback dan program
penukaran utang (debt switching). Konsep dasar kedua program tersebut adalah sama, yaitu
menukar utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek dengan utang yang memiliki
jangka waktu yang lebih panjang, atau dapat dilakukan dengan menerbitkan obligasi yang
dapat menjadi benchmark dan aktif ditransaksikan (on the run) untuk menggantikan obligasi
yang tidak aktif (off the run).
B. Penarikan Pinjaman
Meskipun secara neto besaran penarikan pinjaman luar negeri ditetapkan negatif dan

VI-22                                                           Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                                   Bab VI


perannya sebagai sumber pembiayaan sejak tahun 2004 sudah tidak lagi dominan, namun
pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri masih dipertahankan
sampai saat ini. Hal tersebut didasari oleh masih adanya kebutuhan untuk mendukung
pembiayaan kegiatan yang terkait langsung dengan belanja negara dan penerusan pinjaman,
maupun dalam bentuk pinjaman luar negeri tunai yang berfungsi sebagai budget support.
Dalam upaya mengurangi risiko nilai tukar yang melekat pada instrumen pinjaman luar
negeri serta mempertimbangkan ketersediaan sumber dalam negeri, Pemerintah
mengembangkan instrumen pembiayaan dari pinjaman yang bersumber dari dalam negeri.
Seiring dengan telah dipenuhinya kerangka infrastruktur peraturan perundangan maupun
peraturan operasional, pinjaman dalam negeri mulai digunakan sebagai instrumen
pembiayaan pada tahun 2010.
Sesuai dengan peruntukkannya,                                   GRAFIK VI.10
pinjaman dalam negeri hanya               PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI, 2005-2010
                                                               (triliun rupiah)
diarahkan untuk pembiayaan
kegiatan. Dengan demikian, 45,0                                                                     41,4
                                     40,0
terhitung mulai tahun 2010 dalam
                                     35,0                                            28,9 29,7 29,4
rangka     pembiayaan      defisit 30,0                                    30,1

anggaran, Pemerintah mempunyai       25,0                        19,6           20,1

dua instrumen pinjaman yaitu 20,0               16,8
                                                     13,6
                                                          16,1        14,5
                                     15,0  12,3
pinjaman luar negeri dan pinjaman    10,0
dalam negeri.                         5,0
                                            0,0
Pinjaman Luar Negeri                                 2005   2006   2007    2008       2009      2010*
                                          * APBN-P 2010
Dalam     periode    2005-2010, Sumber: KementerianKeuangan                 Pinjaman Program   Pinjaman Proyek

penarikan pinjaman luar negeri
dilakukan atas pinjaman proyek dan pinjaman tunai. Pinjaman proyek merupakan pinjaman
yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh K/
L sehingga tercakup dalam belanja K/L atau yang diteruspinjamkan kepada Pemerintah
Daerah atau BUMN. Sedangkan pinjaman tunai yang lebih dikenal dengan sebutan pinjaman
program merupakan pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan defisit (budget support)
yang syarat pencairannya adalah melalui pemenuhan policy matrix atau terlaksananya
sebuah kegiatan tertentu. Pada tahun 2005 – 2009, terdapat kecenderungan peningkatan
jumlah total penarikan pinjaman. Apabila dilihat secara rinci, perkembangan penarikan
pinjaman program mulai meningkat sejak tahun 2007 seiring dengan meningkatnya
kebutuhan pembiayaan utang tunai. Sedangkan penarikan pinjaman proyek dari tahun 2005-
2007 cenderung menurun, namun kembali meningkat pada tahun 2008 dan 2009.
Perkembangan pinjaman luar negeri tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.10.
Sebagaimana disebutkan di atas, realisasi penarikan pinjaman proyek dalam periode 2005-
2007 cenderung menurun, dan kemudian cenderung meningkat pada tahun 2008-2009.
Namun, apabila dibandingkan antara besaran realisasi dengan target yang ditetapkan dalam
APBN/APBN-P, realisasi penarikan pinjaman proyek pada periode 2005-2009 masih berada
di bawah target yaitu rata-rata hanya mencapai angka 72,9 persen. Relatif rendahnya realisasi
penarikan pinjaman proyek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain (1) adanya
kendala permasalahan di lapangan, misalnya kesulitan dalam pembebasan tanah dan/atau
tidak diperolehnya perijinan penggunaan lahan, (2) belum siapnya pelaksanaan kegiatan di
tahun pertama yang ditunjukkan dengan belum disediakannya dana pendamping/uang
muka, atau belum lengkapnya organ pelaksana kegiatan, (3) penyelesaian pengadaan yang

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                              VI-23
Bab VI                                                                                                               Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal


                          GRAFIK VI.11                                                                               tertunda akibat adanya persyaratan
        PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROYEK, 2005-2010
                         (triliun rupiah)
                                                                                                                     tertentu dari pemberi pinjaman
 40,0
                                                                                                                     (lender) atau karena barang yang
 30,0
                                                                                                                     diadakan memiliki karakteristik
                                                                                                                     sangat spesifik, (4) penyusunan
 20,0                                                                                                                besaran rencana penarikan yang
                                                                                                                     terlalu optimis, (5) adanya
 10,0
                                                                                                                     persyaratan administratif yang
  0,0                                                                                                                belum dipenuhi oleh pelaksana
                                                                                                                     kegiatan sehingga mengakibatkan
                  Realisasi




                                         Realisasi




                                                              Realisasi




                                                                                    Realisasi




                                                                                                         Realisasi
         APBN-P




                                APBN-P




                                                     APBN-P




                                                                          APBN-P




                                                                                                APBN-P
                                                                                                                     dana diblokir, dan lain-lain.
                  2005                   2006                 2007                 2008             2009
                                                                                                                     Perkembangan target dan realisasi
                                                                                                                     penarikan pinjaman proyek tahun
 Sumbe r: KementerianKeuangan
                                                                                                                     2005-2009 dapat dilihat pada
Grafik VI.11.
Dalam kurun waktu tahun 2005-2009, khususnya mulai tahun 2007 terdapat
kecenderungan peningkatan kebutuhan pemenuhan pembiayaan dari pinjaman tunai.
Besaran realisasi penarikan pinjaman tunai tersebut meningkat dua kali lipat yaitu pada
tahun 2005-2006 dibandingkan dengan 2008-2009. Hal ini dapat dipahami, mengingat
sumber pembiayaan dari pinjaman tunai luar negeri yang merupakan non market base
instrument diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada saat
terjadi krisis global.
Salah satu pertimbangan dimanfaatkannya pinjaman tunai ini adalah sifat penarikannya
yang single disbursement dan tidak earmark dengan belanja tertentu (khususnya bagi
pinjaman tunai di luar mekanisme refinancing modality), sehingga relatif fleksibel dalam
pemanfaatannya. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa pinjaman tunai memiliki
syarat pencairan yaitu policy matrix (untuk pinjaman program reguler) atau terlaksananya
sebuah kegiatan (dalam konteks refinancing modality). Selain itu, mengingat sifatnya yang
single disbursement, pinjaman tunai berpotensi mengurangi country limit/ single country
ceiling yang diterapkan oleh masing-masing lender. Hal ini akan mengurangi ruang dan
kapasitas negara peminjam untuk melakukan pinjaman baru, ataupun jika batasan ini dapat
dilampaui maka biaya pinjaman dapat berpotensi naik.
Sepanjang tahun 2005-2010, tidak semua pemberi pinjaman bersedia atau memiliki produk
yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai ini. Selama periode tersebut hanya empat pemberi
pinjaman yang secara konsisten menyediakan fasilitasnya yaitu Bank Dunia, ADB, Japan
International Cooperation Agency (JICA) dan Agence Française de Développement (AFD,
Perancis). Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan adanya lender lain yang menyediakan
fasilitas pinjaman tunai, namun terdapat potensi bahwa dana tunai yang disediakan memiliki
konsekuensi biaya yang relatif mahal.
Adapun dari sisi fokus program yang akan diterjemahkan dalam matriks kebijakan (policy
matrix) sebagai syarat penarikan, terdapat beberapa program yang secara generik dapat
menggambarkan pinjaman tunai dimaksud, antara lain kebijakan di bidang program
pembangunan, infrastruktur, dan climate change. Dalam pemenuhan policy matrix tersebut,
diperlukan upaya penyusunan berbagai kebijakan, baik yang berbentuk penetapan aturan
perundangan maupun aturan operasional, serta studi-studi yang mengarah pada reformasi


VI-24                                                                                                                       Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal                                                     Bab VI


kebijakan. Mengingat reformasi kebijakan tersebut dilakukan di segala bidang, maka dalam
pemenuhan syarat penarikan tersebut sangat diperlukan keterlibatan aktif setiap K/L yang
terkait langsung dengan masing-masing fokus area tersebut.
Kebijakan di bidang program pembangunan tercakup dalam Development Policy Loan (DPL)
yang merupakan produk pinjaman tunai dari Bank Dunia dan Development Policy Support
Program (DPSP), dengan ADB sebagai lender. JICA melakukan cofinancing dengan Bank
Dunia untuk program ini. Terdapat 3 area kebijakan publik yang menjadi perhatian
Pemerintah untuk pelaksanaan program ini yaitu perbaikan iklim investasi, penguatan
pengelolaan keuangan publik, dan pengentasan kemiskinan. Trigger Policy sesuai
karakteristik masing-masing area kebijakan publik tersebut, yaitu (i) perbaikan iklim investasi,
fokus kebijakan Pemerintah pada penyelesaian studi dalam pengurangan beban pajak bagi
wajib pajak tertentu, operasionalisasi sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) beserta
regulasi teknisnya dan pembenahan daftar negatif investasi (DNI), yang diikuti dengan
mendirikan sistem lisensi operasional investasi online (SPIPISE) dan pembentukan staf help-
desk untuk Indonesia National Single Window (INSW), (ii) penguatan pengelolaan keuangan
publik, diwujudkan dengan melakukan pengembangan kapasitas SDM untuk meningkatkan
fungsi procurement dalam Pemerintahan sehingga dapat meningkatkan kecepatan dan
efektifitas dalam melakukan procurement, kemudian menyempurnakan mekanisme untuk
meningkatkan kualitas K/L dalam melakukan cash and budget forecasting agar efisiensi
pengelolaan uang negara meningkat, dan pembentukan komite teknologi dan informasi serta
pemberlakuan pemakaian standar kebijakan dalam penggunaan teknologi informasi
Pemerintah; dan (iii) pengentasan kemiskinan, antara lain melalui pelaksanaan sensus secara
nasional untuk melakukan pemetaan terhadap kemiskinan yang dilanjutkan dengan
pelaksanaan kegiatan pengentasan kemiskinan di tahun 2011. Sejak tahun 2005–2009, total
penarikan pinjaman program di bidang program pembangunan yang telah dilakukan adalah
sebesar USD4.693 juta yang terdiri dari Bank Dunia sebesar USD3.100 juta, ADB sebesar
USD1.000 juta dan JICA sebesar equivalen USD593 juta.
Program pembangunan infrastruktur melalui Infrastructure Development Policy Loan
(IDPL) dengan lender dari Bank Dunia dan Infrastructure Reform Sector Development
Program (IRSDP) dengan ADB yang melakukan cofinancing dengan JICA sebagai lender.
Dalam program ini area utama kebijakan infrastruktur berfokus pada kebijakan untuk
mempertahankan alokasi dana APBN 2010 di bidang infrastruktur dan penyediaan listrik
yang stabil, efektif, dan berkesinambungan. Fokus kebijakan infrastruktur lainnya adalah
Public Private Partnership (PPP), yaitu upaya untuk mengutamakan peningkatan kerjasama
antara Pemerintah dan pihak swasta. Pinjaman program untuk program pembangunan
infrastruktur baru dimulai pada tahun 2006 dengan penarikan pinjaman dari ADB sebesar
USD400 juta. Sepanjang tahun 2006–2009, jumlah penarikan pinjaman program untuk
program pembangunan infrastruktur yang telah ditarik dari 3 lender ini adalah USD1,530
juta.
Program perubahan iklim melalui Climate Change Program Loan (CCPL) didukung
pembiayaannya oleh JICA dan AFD, Perancis. Program loan ini dimulai pada tahun 2008
dengan fokus sektor meliputi sektor kehutanan dengan target outcome mencegah
pengurangan luas hutan dan meningkatkan tingkat penyerapan CO2, sektor energi dengan
target outcome mengurangi emisi CO2 dan mendorong penggunaan energi terbarukan,
sektor sumber daya dan energi dan beberapa sektor lainnya. Untuk sektor kehutanan yang
menjadi perhatian utama adalah program Reducing Emissions from Deforestation and

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                               VI-25
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan Anggaran

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Kebijakan anggaran
Kebijakan anggaranKebijakan anggaran
Kebijakan anggaranDevyzein
 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian Indonesia
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian IndonesiaAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian Indonesia
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian IndonesiaSTIE EKUITAS BANDUNG
 
Kebijakan Fiskal
Kebijakan FiskalKebijakan Fiskal
Kebijakan FiskalSiti Sahati
 
Apbn investasi dan tabungan umi hanik
Apbn investasi dan tabungan umi hanikApbn investasi dan tabungan umi hanik
Apbn investasi dan tabungan umi hanikUmi Hanik
 
Bab 6 kebijakan fiskal & moneter
Bab 6 kebijakan fiskal & moneterBab 6 kebijakan fiskal & moneter
Bab 6 kebijakan fiskal & moneterxNet8
 
[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS
[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS
[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPSWashfa Aulia
 
Teori Kebijakan Fiskal di Indonesia
Teori Kebijakan Fiskal di IndonesiaTeori Kebijakan Fiskal di Indonesia
Teori Kebijakan Fiskal di IndonesiaDeviana Febrianti
 
hutang dan aset negara
hutang dan aset negarahutang dan aset negara
hutang dan aset negaraAry Efendi
 
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanikMengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanikUmi Hanik
 
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016iqbal haqiqi94
 
Pengantar ilmu ekonomi - Kebijakan Fiskal
Pengantar ilmu ekonomi - Kebijakan FiskalPengantar ilmu ekonomi - Kebijakan Fiskal
Pengantar ilmu ekonomi - Kebijakan FiskalOki16
 
Masalah dan Kebijakan Makro Ekonomi
Masalah dan Kebijakan Makro EkonomiMasalah dan Kebijakan Makro Ekonomi
Masalah dan Kebijakan Makro EkonomiPurnama Sari Hasan
 
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskalKebijakan fiskal
Kebijakan fiskalFerdi Ozom
 
Kebijakan fiskal presentasi
Kebijakan fiskal presentasiKebijakan fiskal presentasi
Kebijakan fiskal presentasiFerdi Ozom
 
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III mekon
 
Beberapa rincian tentang apbn 2013
Beberapa rincian tentang apbn 2013Beberapa rincian tentang apbn 2013
Beberapa rincian tentang apbn 2013Yesica Adicondro
 

Was ist angesagt? (20)

Kebijakan anggaran
Kebijakan anggaranKebijakan anggaran
Kebijakan anggaran
 
Tugas Kelompok
Tugas KelompokTugas Kelompok
Tugas Kelompok
 
Inflasi
InflasiInflasi
Inflasi
 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian Indonesia
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian IndonesiaAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian Indonesia
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Perekonomian Indonesia
 
Kebijakan Fiskal
Kebijakan FiskalKebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal
 
Apbn investasi dan tabungan umi hanik
Apbn investasi dan tabungan umi hanikApbn investasi dan tabungan umi hanik
Apbn investasi dan tabungan umi hanik
 
Bab 6 kebijakan fiskal & moneter
Bab 6 kebijakan fiskal & moneterBab 6 kebijakan fiskal & moneter
Bab 6 kebijakan fiskal & moneter
 
[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS
[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS
[Ekonomi] Kebijakan Fiskal XI IPS
 
Teori Kebijakan Fiskal di Indonesia
Teori Kebijakan Fiskal di IndonesiaTeori Kebijakan Fiskal di Indonesia
Teori Kebijakan Fiskal di Indonesia
 
hutang dan aset negara
hutang dan aset negarahutang dan aset negara
hutang dan aset negara
 
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanikMengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
 
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
 
Pengantar ilmu ekonomi - Kebijakan Fiskal
Pengantar ilmu ekonomi - Kebijakan FiskalPengantar ilmu ekonomi - Kebijakan Fiskal
Pengantar ilmu ekonomi - Kebijakan Fiskal
 
Masalah dan Kebijakan Makro Ekonomi
Masalah dan Kebijakan Makro EkonomiMasalah dan Kebijakan Makro Ekonomi
Masalah dan Kebijakan Makro Ekonomi
 
Fiskal
FiskalFiskal
Fiskal
 
Ekonomi Publik
Ekonomi PublikEkonomi Publik
Ekonomi Publik
 
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskalKebijakan fiskal
Kebijakan fiskal
 
Kebijakan fiskal presentasi
Kebijakan fiskal presentasiKebijakan fiskal presentasi
Kebijakan fiskal presentasi
 
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
 
Beberapa rincian tentang apbn 2013
Beberapa rincian tentang apbn 2013Beberapa rincian tentang apbn 2013
Beberapa rincian tentang apbn 2013
 

Ähnlich wie Pembiayaan Anggaran

ADM KEUANGAN LENA.docx
ADM KEUANGAN LENA.docxADM KEUANGAN LENA.docx
ADM KEUANGAN LENA.docxFadhielAchmad
 
Optimisme pemerintah lepas dari resesi
Optimisme pemerintah lepas dari resesiOptimisme pemerintah lepas dari resesi
Optimisme pemerintah lepas dari resesiMuhardi Karijanto
 
Adm Keuangan Ari.docx
Adm Keuangan Ari.docxAdm Keuangan Ari.docx
Adm Keuangan Ari.docxFadhielAchmad
 
Politik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptx
Politik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptxPolitik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptx
Politik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptxDahlan Tampubolon
 
Latihan soal uas fiskal
Latihan soal uas   fiskalLatihan soal uas   fiskal
Latihan soal uas fiskalRiyan Hidayat
 
Keefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisit
Keefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisitKeefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisit
Keefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisitCahya Andriawan
 
Catatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanik
Catatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanikCatatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanik
Catatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanikUmi Hanik
 
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTrifoniaApikaRirinPu1
 
Kemenkeu asumsi makro apbn 2013
Kemenkeu asumsi makro apbn 2013Kemenkeu asumsi makro apbn 2013
Kemenkeu asumsi makro apbn 2013Abdul Hadi Ilman
 
ANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.ppt
ANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.pptANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.ppt
ANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.pptSeptylytaRahmitaPutr
 
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]NhaAnawati
 
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAANKEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAANTri Damri
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020Arif Efendi
 
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxSPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxAdityaNugroho97
 

Ähnlich wie Pembiayaan Anggaran (20)

ADM KEUANGAN LENA.docx
ADM KEUANGAN LENA.docxADM KEUANGAN LENA.docx
ADM KEUANGAN LENA.docx
 
Optimisme pemerintah lepas dari resesi
Optimisme pemerintah lepas dari resesiOptimisme pemerintah lepas dari resesi
Optimisme pemerintah lepas dari resesi
 
Adm Keuangan Ari.docx
Adm Keuangan Ari.docxAdm Keuangan Ari.docx
Adm Keuangan Ari.docx
 
Politik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptx
Politik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptxPolitik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptx
Politik Anggaran Di Tengah Pandemi.pptx
 
T
TT
T
 
Latihan soal uas fiskal
Latihan soal uas   fiskalLatihan soal uas   fiskal
Latihan soal uas fiskal
 
Keefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisit
Keefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisitKeefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisit
Keefektifan kebijakan pemerintah dalam menekan anggaran defisit
 
ADM KEUANGAN 1.docx
ADM KEUANGAN 1.docxADM KEUANGAN 1.docx
ADM KEUANGAN 1.docx
 
Catatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanik
Catatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanikCatatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanik
Catatan kritis proses pembahasan ruu apbn 2009 umi hanik
 
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
 
hukum pajak.docx
hukum pajak.docxhukum pajak.docx
hukum pajak.docx
 
Kemenkeu asumsi makro apbn 2013
Kemenkeu asumsi makro apbn 2013Kemenkeu asumsi makro apbn 2013
Kemenkeu asumsi makro apbn 2013
 
ANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.ppt
ANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.pptANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.ppt
ANALISA KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER.ppt
 
Uu 01 2002 Pjls
Uu 01 2002 PjlsUu 01 2002 Pjls
Uu 01 2002 Pjls
 
Uu 02 2000 Pjls
Uu 02 2000 PjlsUu 02 2000 Pjls
Uu 02 2000 Pjls
 
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
 
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAANKEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
 
Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Lampiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
 
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxSPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
 

Mehr von Badan Kebijakan Fiskal

Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachBadan Kebijakan Fiskal
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingStudi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingBadan Kebijakan Fiskal
 

Mehr von Badan Kebijakan Fiskal (20)

Ministry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green PaperMinistry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green Paper
 
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APECPertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
 
Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approach
 
Pidato Menkeu
Pidato MenkeuPidato Menkeu
Pidato Menkeu
 
Indonesia oecd
Indonesia   oecdIndonesia   oecd
Indonesia oecd
 
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B IndonesiaRekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
 
Communique
CommuniqueCommunique
Communique
 
Pelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon IIPelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon II
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010
 
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
 
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
 
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingStudi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
 
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
 
PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008
 
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
 
PMK Nomor 30 Tahun 2007
PMK Nomor  30 Tahun 2007PMK Nomor  30 Tahun 2007
PMK Nomor 30 Tahun 2007
 
PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007
 
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
 

Kürzlich hochgeladen

manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxmanajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxMyusuf852079
 
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexPengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexquotex
 
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptmengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptharis916240
 
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxMATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxDenzbaguseNugroho
 
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxV5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxBayuUtaminingtyas
 
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptSIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptDenzbaguseNugroho
 
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisMenganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisGallynDityaManggala
 
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptxPPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptxsailimuna9
 
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANMENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANGallynDityaManggala
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptAchmadHasanHafidzi
 
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptxTeori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptxPutraAgung19
 
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaBAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaTriskaDP
 

Kürzlich hochgeladen (13)

manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxmanajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
 
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexPengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
 
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptmengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
 
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxMATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
 
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxV5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
 
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptSIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
 
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisMenganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
 
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptxANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
 
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptxPPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
 
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANMENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
 
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptxTeori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
 
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaBAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
 

Pembiayaan Anggaran

  • 1. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BAB VI PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL 6.1 Pendahuluan Kebijakan defisit anggaran dalam Rancangan APBN tahun 2011 selain ditujukan untuk mendukung ekspansi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di tengah situasi perekonomian global yang tengah dalam proses pemulihan; sekaligus juga dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pengalaman mengajarkan, bahwa ekspansi fiskal yang besar yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yang dibiayai dengan utang, telah mengakibatkan beberapa negara Eropa, seperti Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol mengalami krisis utang dan defisit fiskal yang berat. Dunia bahkan mencemaskan krisis utang dan fiskal yang terjadi di sebagian kawasan Eropa tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang dapat mengganggu proses pemulihan perekonomian global yang tengah berlangsung. Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan countercyclical, kebijakan ekspansi fiskal yang diambil oleh berbagai negara di dunia dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, antara lain melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan melakukan konsolidasi fiskal melalui efisiensi jenis belanja tertentu untuk mengurangi tekanan fiskal, dinilai cukup efektif dalam memperpendek lamanya krisis ekonomi. Hal ini antara lain diindikasikan oleh adanya perbaikan sektor keuangan dan pemulihan kegiatan sektor riil. Perbaikan di sektor keuangan, khususnya di Eropa sebagai pusat krisis antara lain terlihat pada meningkatnya peminat lelang obligasi negara yang dilakukan oleh Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Yunani. Namun demikian, perbaikan kondisi sektor keuangan negara-negara di kawasan tersebut, masih perlu diwaspadai mengingat belum sepenuhnya kembali ke kondisi sebelum krisis, yang antara lain ditunjukan oleh masih tingginya volatilitas yield obligasi, indikator pasar modal, dan nilai tukar. Sebagaimana dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008 dan 2010. Dibandingkan dengan dengan persentase defisit pada periode sebelum 2007, besarnya defisit APBN-P pada tahun 2008 dan 2009 tersebut relatif lebih tinggi, yaitu berada pada kisaran 2,1 persen dan 2,4 persen terhadap PDB. Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskal tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukan melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu hanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibat krisis global justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisi belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang dianggarkan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-1
  • 2. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Dalam APBN-P tahun 2010, defisit anggaran direncanakan meningkat dari perkiraan APBN 2010 sebesar Rp98,0 triliun (1,6 persen dari PDB) menjadi Rp133,7 triliun (2,1 persen dari PDB). Kenaikan defisit anggaran berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya: (i) naiknya harga minyak dunia, yang menyebabkan meningkatnya beban subsidi energi yang harus ditanggung oleh pemerintah, serta naiknya dana bagi hasil migas yang harus ditransfer ke daerah; (ii) meningkatnya kebutuhan dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dan dana bergulir pengadaan tanah untuk jalan tol (BPJT); (iii) dibentuknya dana pengembangan pendidikan nasional; serta (iv) adanya pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kenaikan defisit anggaran tersebut akan dibiayai dari tambahan utang sebesar Rp12,8 triliun, dan pembiayaan non-utang sebesar Rp22,9 triliun. Adanya berbagai pilihan sumber-sumber pembiayaan anggaran tersebut mendorong perlunya disusun kebijakan pengelolaan dan strategi dalam memanfaatkan sumber pembiayaan secara hati-hati dan terukur, dengan mempertimbangkan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang. Dalam melakukan pemilihan dari berbagai alternatif sumber-sumber pembiayaan tersebut, diupayakan dengan terlebih dahulu mengoptimalkan sumber pembiayaan non-utang. Dengan demikian, sumber pembiayaan yang berasal dari utang dipilih sebagai alternatif terakhir pemenuhan defisit anggaran, mengingat adanya biaya dan risiko yang melekat dalam sumber pembiayaan utang. Selanjutnya, sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yang ramah lingkungan, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, dalam tahun 2011, RAPBN direncanakan mengalami defisit sebesar Rp115,7 triliun, atau sekitar 1,7 persen terhadap PDB. Selain untuk memenuhi kebutuhan defisit anggaran, pembiayaan anggaran juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban penjaminan. Dengan semakin terbatasnya sumber-sumber pemenuhan pembiayaan non-utang, maka saat ini sumber pembiayaan defisit yang utama berasal dari utang. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pemerintah tetap mengedepankan pertimbangan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang. 6.2 Realisasi Pembiayaan APBN Sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal yang ditempuh oleh pemerintah, baik dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), menciptakan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran (pro-job), dan mengentaskan kemiskinan (pro-poor), maupun memberikan stimulus fiskal dalam memperkecil dampak krisis, dan menyelamatkan perekonomian nasional dari krisis perekonomian global sejak tahun 2008, defisit anggaran dalam kurun waktu 2005-2009 semula dirancang cenderung meningkat, dari 0,9 persen terhadap PDB menjadi 2,4 persen terhadap PDB. Meskipun demikian, realisasi defisit anggaran dalam kurun waktu 2005-2009 masih berada di bawah target yang ditetapkan. Dalam periode tersebut, realisasi defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6 persen. Sebagai gambaran, target dan realisasi defisit anggaran dalam periode tahun 2005- 2009 dapat dilihat pada Grafik VI.1. Realisasi defisit anggaran paling rendah dibandingkan dengan target defisit anggaran yang ditetapkan dalam APBN-P terjadi pada tahun 2008, yaitu hanya sebesar 0,1 persen terhadap VI-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 3. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI PDB jika dibandingkan dengan target GRAFIK VI.1 defisit anggaran dalam APBN-P 2008 TARGET DAN REALISASI DEFISIT 2005-2009 sekitar 2,1 persen terhadap PDB. 3,0 % thd PDB Rendahnya realisasi defisit anggaran APBN-P LKPP 2,4 dalam kurun waktu tersebut, terutama 2,5 2,1 disebabkan oleh realisasi daya serap 2,0 2,1 anggaran belanja negara rata-rata 1,5 1,5 1,3 hanya mencapai sekitar 96,3 persen 1,6 0,9 dari pagu anggaran belanja negara yang 1,0 1,3 ditetapkan dalam APBN-P, sementara 0,5 0,9 realisasi anggaran pendapatan negara 0,5 0,1 dan hibah rata-rata sesuai atau 0,0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 memenuhi sasaran yang ditetapkan Sumbe r: Ke menterian Ke uangan dalam APBN-P. Khusus untuk tahun 2008, rendahnya realisasi defisit anggaran terutama disebabkan terlampauinya realisasi pendapatan negara dan hibah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN-P, sementara realisasi belanja hanya mencapai 99,6 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P. Lebih rendahnya realisasi anggaran belanja negara dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P terutama disebabkan oleh realisasi anggaran belanja K/L hanya mencapai Rp259,9 triliun atau 89,6 persen dari pagu dalam APBN-P sebesar Rp290,0 triliun. Di lain pihak, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp981,6 triliun atau 9,7 persen melampaui target yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp895,0 triliun. Untuk tahun 2009, rendahnya realisasi defisit disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja negara yaitu sebesar Rp937,4 triliun atau hanya mencapai 93,7 persen dari target APBN-P sebesar Rp1.000,8 triliun. Akibat dari rendahnya defisit yang tidak diimbangi dengan penyesuaian pembiayaan adalah bertambahnya dana dalam rekening SAL Pemerintah. 6.2.1 Tren Pembiayaan Anggaran Kebutuhan pembiayaan APBN dalam kurun waktu tahun 2005-2010 cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya defisit anggaran dan makin besarnya kebutuhan pengeluaran pembiayaan. Kebutuhan pembiayaan anggaran tersebut dipenuhi, baik dari sumber-sumber pembiayaan utang maupun pembiayaan non-utang. Mengingat kapasitas sumber pembiayaan yang berasal dari non-utang semakin berkurang, maka dalam periode tersebut, sumber pembiayaan utang masih mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaan anggaran. Faktor yang mempengaruhi semakin terbatasnya kontribusi sumber pembiayaan non-utang dalam periode 2005-2010, selain akibat kebijakan penerimaan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan restrukturisasi BUMN bersangkutan, juga karena semakin terbatasnya aset eks restrukturisasi perbankan yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN. Sementara itu, sumber pembiayaan dari utang terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), baik melalui instrumen Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Selain SBN, penarikan pinjaman luar negeri terutama pinjaman yang sifatnya tunai merupakan sumber pembiayaan utang yang juga memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Secara neto, dalam tahun 2005-2010, pembiayaan yang berasal dari utang memberikan kontribusi rata-rata 75,1 persen dari total pembiayaan yang diperlukan. Gambaran mengenai perkembangan defisit dan penggunaan sumber-sumber pembiayaan anggaran disajikan sebagaimana terlihat pada Grafik VI.2. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-3
  • 4. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Apabila dilihat dari komponen pembiayaan secara bruto, struktur pembiayaan terbagi ke dalam komponen pengeluaran dan penerimaan pembiayaan, baik yang berasal dari utang GRAFIK VI.2 TREND PEMBIAYAAN DEFISIT, 2005-2010 triliun rupiah % thd PDB 140 7,0 Defisit 120 Non-Utang Net 6,0 SBN- net 100 Pinjaman LN-net 5,0 Defisit thd PDB 80 4,0 60 3,0 40 2,0 20 1,0 - - (20) (1,0) (40) (2,0) 2005 2006 2007 2008 2009 2010* Catatan : *Angka 2010 me rupakan angka APBN-P 2010 Sumbe r: Ke menterian Ke uangan maupun non-utang. Komponen pengeluaran pembiayaan utang mencakup pembayaran pokok utang jatuh tempo, dan pembelian kembali SBN sebelum jatuh tempo. Sementara itu, komponen pengeluaran pembiayaan non-utang mencakup PMN, investasi pemerintah, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban-kewajiban pemerintah lainnya sebagai konsekuensi dari kebijakan pemberian jaminan, terutama bagi proyek-proyek infrastruktur. Dengan adanya keperluan untuk pengeluaran pembiayaan, besaran kebutuhan pembiayaan secara total menjadi lebih besar dari pada kebutuhan defisit. Dalam periode tersebut, bagian terbesar pembiayaan dipenuhi melalui penerbitan SBN. 6.2.2 Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Pemenuhan pembiayaan defisit anggaran pada dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi makro secara keseluruhan. Dalam kurun waktu tahun 2005–2010, pembiayaan defisit anggaran disesuaikan dengan strategi kebijakan fiskal, yang ditetapkan pemerintah dalam merespon perkembangan kondisi perekonomian yang mempengaruhi pada saat itu. Dalam perkembangannya, realisasi besaran defisit dan realisasi besaran pembiayaan tidak selalu sama besar nilainya dengan rencana semula, sehingga mendorong timbulnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) dalam hal terjadi kelebihan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit, atau sisa kurang pembiayan anggaran (SiKPA) dalam hal terjadi kekurangan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit. Mengingat sebagian besar sumber pembiayaan anggaran berasal dari utang, maka pengelolaan dan perencanaan APBN yang tepat dan akurat menjadi hal yang penting, agar pengelolaan APBN bisa semakin efisien, dan tidak membebani anggaran pada masa yang akan datang. Gambaran mengenai perkembangan realisasi defisit dan pembiayaan anggaran tahun 2005–2010 sebagaimana Tabel VI.1. Dari tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara besaran realisasi defisit dan besaran realisasi pembiayaan, sehingga menimbulkan SiLPA dan SiKPA. Dalam periode tersebut, realisasi APBN mengalami SiKPA sebesar Rp3,3 triliun pada tahun 2005, dan sebesar VI-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 5. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.1 PERKEMBANGAN REALISASI DEFISIT DAN PEMBIAYAAN ANGGARAN, 2005-2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 APBN-P II LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN APBN-P A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 540,1 495,2 659,1 638,0 694,1 707,8 895,0 981,6 871,0 848,8 949,7 992,4 B. BELANJA NEGARA 565,1 509,6 699,1 667,1 752,4 757,6 989,5 985,7 1.000,8 937,4 1.047,7 1.126,1 C. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A - B) (24,9) (14,4) (40,0) (29,1) (58,3) (49,8) (94,5) 4,1 (129,8) (88,6) (98,0) (133,7) % defisit thd PDB (0,9) (0,5) (1,3) (0,9) (1,5) (1,3) (2,1) 0,1 (2,4) (1,6) (1,6) (2,1) D. PEMBIAYAAN 24,9 11,1 40,0 29,4 58,3 42,5 94,5 84,1 129,8 112,6 98,0 133,7 I. NON-UTANG 7,7 (1,2) 19,5 20,0 12,3 11,9 (10,2) 16,6 43,3 28,7 2,5 25,4 1. Perbankan dalam negeri 4,3 (2,6) 17,9 18,9 10,6 11,1 (11,7) 16,2 56,6 41,1 7,1 45,5 2. Privatisasi (1,7) (5,2) 1,0 0,4 2,0 0,3 0,5 0,1 0,0 0,0 0,0 1,2 3. Hasil pengelolaan aset 5,1 6,6 2,6 2,7 1,7 2,4 3,9 2,8 (0,2) (0,3) 1,2 1,2 4. Dana Investasi Pemerintah dan PMN 0,0 0,0 (2,0) (2,0) (2,0) (2,0) (2,8) (2,5) (12,1) (12,1) (3,9) (12,9) 5. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1,0) 6. Kewajiban Penjaminan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1,0) 0,0 (1,0) (1,1) 7. Pinjaman Kepada PT PLN (Persero) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (7,5) II. UTANG 17,2 12,3 20,5 9,4 46,0 30,6 104,7 67,5 86,5 83,9 95,5 108,3 1. Surat Berharga Negara (neto) 22,1 22,6 35,8 36,0 58,5 57,2 117,8 85,9 99,3 99,5 104,4 107,5 2. Pinjaman (4,8) (10,3) (15,3) (26,6) (12,5) (26,6) (13,1) (18,4) (12,7) (15,5) (8,9) 0,8 i. Pinjaman Luar Negeri (4,8) (10,3) (15,3) (26,6) (12,5) (26,6) (13,1) (18,4) (12,7) (15,5) (9,9) (0,2) -. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 43,0 29,1 37,6 29,7 42,2 34,1 48,1 50,2 69,3 58,7 57,6 70,8 a. Pinjaman Program 11,3 12,3 12,1 13,6 19,0 19,6 26,4 30,1 30,3 28,9 24,4 29,4 b. Pinjaman Proyek 31,7 16,8 25,5 16,1 23,2 14,5 21,8 20,1 39,0 29,7 33,2 41,4 -. Penerusan Pinjaman (7,4) (2,2) 0,0 (3,6) 0,0 (2,7) 0,0 (5,2) (13,0) (6,2) (8,6) (16,8) -. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN (40,4) (37,1) (52,8) (52,7) (54,8) (57,9) (61,3) (63,4) 69,0 (68,0) (58,8) (54,1) ii. Pinjaman Dalam Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 1,0 3. Tambahan Pembiayaan Utang 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 KELEBIHAN/KEKURANGAN PEMBIAYAAN 0,0 (3,3) (0,0) 0,3 0,0 (7,4) 0,0 80,0 0,0 24,0 (0,0) 0,0 Sumber : Kementerian Keuangan Rp7,4 triliun pada tahun 2007. Sebaliknya, pada tahun 2006 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar Rp0,3 triliun, tahun 2008 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar Rp80,0 triliun, dan tahun 2009 mengalami SiLPA sebesar Rp24,0 triliun, yang dapat digunakan untuk membiayai defisit anggaran pada tahun-tahun berikutnya. Terjadinya SiKPA pada tahun 2005, disebabkan oleh realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit APBN. Rendahnya realisasi pembiayaan dalam tahun tersebut terutama karena realisasi pembiayaan non-utang mengalami negatif sebesar Rp1,2 triliun, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan target pembiayaan non-utang sebesar Rp7,7 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan utang turun menjadi sebesar Rp12,3 triliun dari target sebesar Rp17,2 triliun. Sementara itu, terjadinya SiLPA pada tahun 2006, terutama karena realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan target, namun disisi lain realisasi defisit juga masih dibawah target yang ditetapkan. Berbeda dengan tahun sebelumnya, realisasi pembiayaan non-utang mencapai Rp20,0 triliun, lebih besar dibanding dengan target yang ditetapkan sebesar Rp19,5 triliun. Sementara itu, realisasi utang menurun menjadi sebesar Rp9,4 triliun dari target sebesar Rp20,5 triliun. Pada tahun 2007, kembali terjadi SiKPA sebagai akibat adanya kenaikan belanja negara berkaitan dengan naiknya harga komoditas, yang berimbas pada naiknya beban subsidi. Sedangkan terjadinya SiLPA sebesar Rp80,0 triliun pada tahun 2008, terutama disebabkan rendahnya realisasi defisit anggaran, berkaitan dengan realisasi pendapatan negara yang jauh melampai target yang ditetapkan, sementara realisasi anggaran belanja negara mendekati pagu yang direncanakan. Di lain pihak, realisasi pembiayaan anggaran mendekati target yang ditetapkan. Pada tahun 2009, terjadinya SiLPA disebabkan realisasi pembiayaan anggaran lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit. Rendahnya realisasi defisit terutama berkaitan dengan realisasi belanja negara hanya mencapai sebesar Rp937,4 triliun, lebih rendah Rp63,4 triliun bila dibandingkan dengan pagu belanja negara yang direncanakan pada APBN-P 2009 sebesar Rp1.000,8 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan anggaran, terutama pembiayaan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-5
  • 6. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal melalui utang mencapai Rp83,9 triliun, atau sekitar 97,0 persen dari target pembiayaan utang yang ditetapkan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp86,5 triliun. Perbedaan antara target dan realisasi pada sebagian besar sumber pembiayaan, baik non- utang maupun utang, dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perbedaan antara target dan realisasi pembiayaan, dijabarkan sebagai berikut. 6.2.2.1 Pembiayaan Non-utang Kebutuhan pembiayaan non-utang dalam APBN selalu dipenuhi dari berbagai sumber dengan jenis dan proporsi yang berbeda setiap tahunnya. Pemilihan sumber dan besaran pembiayaan non-utang tersebut, selain ditentukan oleh ketersediaan sumber pemenuhannya, juga ditentukan berdasarkan kemampuan penyediaan dana, manfaat, serta keuntungan yang diperoleh. Perkembangan pembiayaan non-utang dapat dilihat pada Tabel VI.2. TABEL VI.2 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN NON-UTANG, 2005-2010 (triliun rupiah) Realisasi APBN-P Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 A. Perbankan Dalam Negeri (2,6) 18,9 11,1 16,2 41,1 45,5 1. Rekening Pemerintah - 11,6 4,8 16,2 41,1 6,1 a.l - Rekening Dana Investasi - 2,0 4,0 0,3 3,7 5,5 - Rekening Pembangunan Hutan - - - - 0,6 0,6 - Saldo Anggaran Lebih - - 0,3 - 51,9 39,3 - Rekening Pemerintah Lainnya - 9,6 0,5 15,9 (15,1) - 2. Eks. Moratorium NAD dan Nias, Sumut - 7,4 6,3 - - - B. Non Perbankan Dalam Negeri 1,4 1,1 0,7 0,4 (12,4) (20,1) 1. Privatisasi (neto) (5,2) 0,4 0,3 0,1 - 1,2 2. Hasil Pengelolaan Aset 6,6 2,7 2,4 2,8 (0,3) 1,2 3. Dana Investasi Pemerintah dan PMN - (2,0) (2,0) (2,5) (12,1) (12,9) a.l i. Investasi Pemerintah - (2,0) (2,0) - (0,5) (3,6) ii. Penyertaan Modal Negara - - - (2,5) (10,7) (6,0) iii. Dana Bergulir - - - - (0,9) (3,3) 4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional - - - - - (1,0) 5. Kewajiban Penjaminan - - - - - (1,1) 6. Pemberian Pinjaman kepada PT PLN - - - - - (7,5) Jumlah (1,2) 20,0 11,9 16,6 28,7 25,4 Sumber: Kementerian Keuangan A. Penggunaan saldo rekening Pemerintah Pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah adalah penerimaan atau pengeluaran pembiayaan yang terkait dengan penerimaan dan pengembalian dari rekening-rekening Pemerintah lainnya yang dikelola atau dikuasai oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Penggunaan saldo rekening Pemerintah yang berada di perbankan dalam negeri menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan yang digunakan untuk membiayai APBN. Saldo rekening Pemerintah tersebut bersumber dari penerimaan Rekening Dana Investasi (RDI)/Rekening Pembangunan Daerah (RPD), Rekening Pembangunan Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening lainnya. Penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam setiap tahun anggaran dipengaruhi oleh jumlah akumulasi uang tunai/ VI-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 7. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI saldo yang ada di rekening Pemerintah sebagai hasil operasional penerimaan dikurangi dengan pengeluaran dalam APBN tahun-tahun sebelumnya. Tren penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005–2010 cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2007 yang menunjukkan penurunan sebesar Rp6,8 triliun atau 58,5 persen dibandingkan dengan tahun 2006. Tren peningkatan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2006–2010 disebabkan meningkatnya kontribusi RDI/RPD dan SAL. Dalam tahun 2006, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp11,6 triliun atau meningkat sebesar Rp14,1 triliun (553,2 persen) jika dibandingkan dengan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan adanya setoran RDI sebesar Rp2,0 triliun dan rekening lain- lain sebesar Rp9,6 triliun. Sedangkan tingginya jumlah saldo rekening lain-lain yang diterima dalam tahun 2006 karena adanya penerimaan dari hasil penutupan rekening Pemerintah di berbagai K/L yang mencapai Rp5,5 triliun. Penutupan rekening ini dilaksanakan dalam rangka penertiban rekening-rekening yang kategorikan ke dalam rekening nonbudjeter. Kemudian dalam tahun 2007, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp4,8 triliun atau turun Rp6,7 triliun. Penurunan sebesar 58,5 persen ini disebabkan menurunnya penerimaan yang berasal dari penutupan rekening Pemerintah di K/L, meskipun penerimaan RDI meningkat cukup signifikan hingga mencapai 100 persen bila dibandingkan dengan penerimaannya dalam tahun sebelumnya. Sementara itu, penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2008 sebesar Rp16,2 triliun atau meningkat Rp11,4 triliun (236,6 persen) bila dibandingkan dengan tahun 2007. Peningkatan ini disebabkan adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo Rekening Khusus (Reksus) akibat selisih kurs sebesar Rp15,9 triliun. Dalam tahun 2009 penggunaan saldo rekening Pemerintah untuk menutup kebutuhan pembiayaan APBN melonjak cukup tinggi hingga mencapai Rp41,2 triliun. Peningkatan penggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp24,9 triliun atau 154,1 persen bila dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini sebagai akibat meningkatnya penerimaan RDI sebesar Rp3,4 triliun (1.135,0 persen), RPH sebesar Rp621,0 miliar (100,0 persen), dan SAL sebesar Rp51,9 triliun. Penggunaan SAL yang cukup signifikan dalam tahun 2009 berkenaan dengan adanya SiLPA 2008 yang cukup besar. SiLPA tersebut disebabkan karena realisasi pendapatan negara yang melebihi dari target yang ditetapkan dan realisasi belanja negara yang lebih rendah dari pagu yang GRAFIK VI.3 ditetapkan, khususnya belanja subsidi PENGGUNAAN SALDO REKENING PEMERINTAH TAHUN karena realisasi harga minyak mentah 2005–2010 (triliun rupiah) (ICP) lebih rendah dari perkiraan semula. 8,0 Dalam APBN-P 2010, direncanakan 7,0 6,0 penggunaan saldo rekening Pemerintah 5,0 mencapai Rp45,5 triliun atau meningkat 4,0 Rp4,4 triliun (10,8 persen) dibandingkan 3,0 tahun 2009. Peningkatan ini dikarenakan 2,0 meningkatnya penerimaan RDI sebesar 1,0 Rp1,8 triliun atau 48,6 persen bila 0,0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 * dibandingkan dengan tahun 2009. Selain * APBN-P 2010 itu juga dikarenakan dalam tahun 2009 Sumber: Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-7
  • 8. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal terdapat pengeluaran dari rekening Pemerintah terkait adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo Reksus akibat selisih kurs hingga mencapai Rp15,1 triliun. Dari segi penggunaan SAL, dalam tahun 2010 direncanakan Pemerintah akan menggunakan SAL untuk membiayai APBN sebesar Rp39,3 triliun atau turun Rp12,5 triliun (24,1 persen) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih rendahnya penggunaan SAL dalam tahun 2010 dikarenakan lebih rendahnya SiLPA tahun 2009 jika dibandingkan dengan SiLPA tahun 2008. Perkembangan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.3. B. Privatisasi BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN, dilakukan bukan hanya dalam rangka memperolah dana segar, melainkan juga untuk menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan manajemen dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Privatisasi saat ini tidak lagi diartikan secara sempit sebagai penjualan saham Pemerintah semata ke pihak nonPemerintah, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik (privatisasi diupayakan dilakukan melalui metode initial public offering/IPO). Dari program privatisasi tersebut, kemudian sebagian dana yang diperoleh dapat digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dan sebagian lainnya masuk kas perusahaan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Penerimaan pembiayaan melalui privatisasi cenderung mengalami peningkatan terutama selama periode 2006-2007, dan selanjutnya semakin menurun, sejalan dengan kebijakan Pemerintah yang tidak lagi mengandalkan hasil privatisasi sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan. Dalam periode 2005-2009, upaya privatisasi BUMN telah menghasilkan Rp5,5 triliun yang dilakukan melalui IPO, strategic sales (SS), private placement, secondary offering (SO), dan employee management buy out (EMBO). Sementara itu dalam tahun 2010, penerimaan privatisasi diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun. Pada tahun 2005, tidak ada penerimaan pembiayaan yang berasal dari privatisasi, tahun 2006 sebesar Rp2,4 triliun yang berasal dari privatisasi PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN), tahun 2007 sebesar Rp3,0 triliun yang berasal dari privatisasi Bank BNI. Sementara itu, pada tahun 2008 Pemerintah menyetujui program privatisasi terhadap 44 BUMN, yang antara lain bergerak pada sektor pekerjaan umum, perkebunan, industri dan keuangan. Dari jumlah ini, sebanyak 38 perusahaan dengan kepemilikan negara mayoritas dan 6 perusahaan dengan kepemilikan negara minoritas. Namun, karena kondisi pasar keuangan yang tidak kondusif, program privatisasi pada tahun 2008 tidak dapat dilaksanakan. Realisasi penerimaan privatisasi pada tahun 2008 sebesar Rp82,3 miliar yang berasal dari penutupan saldo privatisasi Bank BNI tahun 2007. VI-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 9. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Pada tahun 2009, Pemerintah tidak GRAFIK VI.4 menargetkan pembiayaan dari PENERIMAAN PRIVATISASI BUMN, 2005 - 2010 (triliun rupiah) privatisasi. Hal tersebut terkait dengan 5,0 kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan BUMN dan faktor-faktor eksternal, antara 4,0 lain krisis keuangan global yang belum 3,0 mengalami perbaikan, fluktuasi harga komoditi yang sulit diperkirakan, dan 2,0 faktor geopolitik yang tidak pasti. 1,0 Sementara itu, pada tahun 2010 0,0 Pemerintah menargetkan penerimaan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 dari privatisasi BUMN sebesar APBN-P Realisasi Rp1,2 triliun. Setoran privatisasi dalam Sumbe r: Kementerian Keuangan APBN-P tersebut direncanakan berasal dari hasil penjualan saham greenshoe Bank BNI sebesar 3,1 persen atau setara dengan 473.895.270 lembar saham. Penjualan saham greenshoe Bank BNI tersebut dimaksudkan untuk menstabilkan harga saham di secondary market pasca pelaksanaan privatisasi 26,9 persen saham Bank BNI yang telah dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007. Perkembangan penerimaan privatisasi pada periode 2005-2010 dapat dilihat dalam Grafik VI.4. C. Hasil Pengelolaan Aset Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), Hasil Pengelolaan Aset (HPA) adalah setiap penerimaan tunai yang berasal dari restrukturisasi, kerjasama dengan pihak lain, penagihan piutang, penjualan, penyewaan, dividen, kupon/bunga dan/atau penerimaan lain yang berasal dari aset yang dikelola dari transaksi yang sudah selesai. Oleh karena itu, di samping pembiayaan dari penggunaan dana tunai yang ada di rekening Pemerintah, pembiayaan tunai non-utang dalam APBN juga dibiayai dari HPA milik Pemerintah. Dalam periode 2005–2010 aset yang dikelola Pemerintah dan dapat digunakan untuk pembiayaan APBN adalah aset yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dan aset yang dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Aset yang dikelola DJKN meliputi aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks kelolaan PT PPA dan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset yang dikelola DJKN tersebut dapat berupa aset kredit, aset properti, dan aset saham, yang dikelola dengan cara: (1) penagihan, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (terhadap aset kredit), (2) penjualan (terhadap aset properti dan saham), (3) pemanfaatan (terhadap aset properti), (4) penetapan status penggunaan (terhadap aset properti) kepada K/L, dan (5) pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi terhadap aset properti yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Sementara itu, PT PPA melaksanakan pengelolaan aset berdasarkan penugasan yang diterima dari Kementerian Keuangan. Aset yang dikelola oleh PT PPA meliputi aset saham bank, aset saham nonbank, aset kredit/hak tagih, serta aset saham dan kredit. Hasil pengelolaan aset oleh PT PPA setiap tahun akan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan, dan selanjutnya Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-9
  • 10. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal GRAFIK VI.5 akan dilakukan perjanjian pengelolaan HASIL PENGELOLAAN ASET 2005-2010 aset setiap tahunnya antara Kementerian (triliun Rupiah) Keuangan dan PT PPA untuk 7,0 menentukan jenis dan jumlah aset yang 6,0 akan dikelola oleh PT PPA. Pada tahun 5,0 2005 dan 2006, kontribusi pengelolaan 4,0 aset dalam penerimaan pembiayaan 3,0 adalah masing-masing sebesar Rp6,6 triliun dan Rp2,7 triliun. 2,0 Sementara itu, pada kurun waktu tahun 1,0 2007-2009, pengelolaan aset 0,0 memberikan kontibusi masing-masing 2005 2006 2007 2008 2009 2010 sebesar Rp2,4 triliun, Rp2,8 triliun, dan Sumbe r: Ke menterian Ke uangan APBN-P Realisasi sebesar negatif Rp309,7 miliar. HPA pada tahun 2009 yang bernilai negatif Rp309,7 miliar tersebut terdiri dari hasil penjualan aset sebesar Rp690,3 miliar dikurangi dengan PMN untuk restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,0 triliun. Sedangkan pada APBN-P tahun 2010, hasil pengelolaan aset diharapkan memberikan kontribusi sebesar Rp1,2 triliun. Kontribusi pengelolaan aset yang cenderung menurun tersebut sejalan dengan makin berkurangnya jumlah aset yang dikelola, baik oleh DJKN maupun oleh PT PPA (persero). Perkembangan hasil pengelolaan aset pada periode 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.5. D. Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara GRAFIK VI.6 REALISASI DANA INVESTASI PEMERINTAH DAN PMN, 2005-2010 (triliun rupiah) Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara (PMN) terdiri atas berbagai 14,0 12,0 komponen, yaitu: (1) Investasi Pemerintah, (2) 10,0 PMN, dan (3) dana bergulir. Pada setiap tahun 8,0 6,0 anggaran, tidak semua jenis alokasi ini ada 4,0 pada dana investasi Pemerintah dan PMN. 2,0 Dana Investasi Pemerintah dan PMN 0,0 2005 2006 2007 2008 2009 2010* merupakan pengeluaran pembiayaan yang Investasi Pemerintah * APBN-P 2010 PMN Dana Bergulir tidak dilakukan secara reguler, namun Sumber: Ke menterian Ke uangan merupakan kebijakan yang bersifat ad-hoc tergantung kepada kebutuhan atau kebijakan Pemerintah dalam satu tahun anggaran seperti dukungan Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dan pendirian sebuah BUMN untuk menjalankan kebijakan Pemerintah. Perkembangan dana Investasi Pemerintah dan PMN selama periode 2005- 2010 dapat dilihat pada Grafik VI.6. Investasi Pemerintah Dana Investasi Pemerintah merupakan dana yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam APBN yang peruntukannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan nilai tambah dan memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembelian saham, surat utang maupun investasi langsung. Dalam mencapai tujuan investasi Pemerintah dimaksud, arah kebijakan dana investasi Pemerintah VI-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 11. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI dititikberatkan pada bidang infrastruktur. Pemerintah pada tahun 2005 belum menganggarkan dana investasi Pemerintah. Alokasi dana investasi Pemerintah pada tahun anggaran 2006 dan 2007 masing-masing sebesar Rp2,0 triliun. Pada tahun anggaran 2008, Pemerintah tidak menganggarkan Dana Investasi Pemerintah. Namun pada tahun anggaran 2009 Pemerintah telah mengalokasikan kembali Dana Investasi Pemerintah sebesar Rp500 miliar. Sementara itu, pada tahun 2010 Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk investasi Pemerintah sebesar Rp3,6 triliun, yang terdiri dari: (1) Dana Investasi Pemerintah (reguler) Rp927,5 miliar, dan (2) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Rp2,7 triliun. Alokasi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada APBN-P 2010 tersebut berasal dari realokasi dana subsidi kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) yang direncanakan untuk menjalankan kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Hal tersebut berkenaan dengan perubahan skema subsidi untuk KPRSh menjadi kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, yang menyediakan dana murah jangka panjang untuk dipadukan dengan dana bank pelaksana pemberi KPRSh. Penyertaan Modal Negara (PMN) Pengertian PMN menurut PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT) adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. Dalam upaya mewujudkan salah satu tujuan bernegara, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum, maka Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian negara, antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban tersebut dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah, baik melalui instansi Pemerintah maupun badan usaha yang dibentuk oleh Pemerintah, dan dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, maka Pemerintah dapat melakukan PMN untuk mendirikan BUMN. Sementara itu, untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan PMN ke dalam perusahaan yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan PMN. Besarnya alokasi dana PMN dalam periode 2005-2010 adalah sebagai berikut: (1) Tahun 2005 sebesar Rp5,2 triliun antara lain untuk PT Sarana Multigriya Financial dan Lembaga Penjaminan Simpanan, (2) Tahun 2006 sebesar Rp2,0 triliun antara lain untuk PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Kertas Kraft Aceh, (3) Tahun 2007 sebesar Rp2,7 triliun antara lain untuk PT Sarana Pengembangan Usaha, PT Asuransi Kredit Indonesia, dan PT Pusri, (4) Tahun 2008 sebesar Rp2,5 triliun untuk PT PPA dalam rangka restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,5 triliun, dan perusahaan perseroan di bidang pembiayaan infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI) sebesar Rp1,0 triliun, (5) Tahun 2009 sebesar Rp10,7 triliun antara lain untuk PT Perkebunan Nusantara II, PT Penjaminan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-11
  • 12. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan PT Pertamina, (6) Tahun 2010 sebesar Rp6,0 triliun antara lain untuk LPEI, PT PII, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, PT SMI, Perusahaan Penerbit SBSN II dan III, PT Askrindo dan PT BPUI yang berasal dari hibah saham Bank Indonesia. Tidak semua PMN yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 2005-2010 berupa fresh money. Beberapa PMN kepada BUMN dialokasikan sebagai bentuk konversi utang pokok (utang RDI dan PNBP), maupun hibah saham dari pihak lain (bersifat in-out). Sebagai contoh adalah PMN kepada PT Pertamina tahun 2009 yang terkait dengan hasil rekonsiliasi utang piutang (PNBP) Pertamina dan Pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awal Pertamina tahun 2003. Selain itu, PMN kepada PT Askrindo dan PT BPUI pada tahun 2010 berasal dari hibah saham Bank Indonesia. Sementara itu, sejak tahun 2009 Pemerintah tidak lagi mengalokasikan PMN kepada BUMN tertentu yang bertujuan untuk merestrukturisasi BUMN. Hal tersebut terkait dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset, yang memberikan penugasan kepada PT PPA untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Dengan demikian, PMN diberikan kepada PT PPA, dan selanjutnya BUMN dapat mengajukan permintaan restrukturisasi/revitalisasi kepada PT PPA. PMN yang berupa fresh money saat ini lebih banyak ditujukan untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam bidang tertentu, seperti PMN kepada PT PII dan PT SMI yang ditujukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, serta PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo yang ditujukan untuk mendukung perluasan program KUR. Dana Bergulir Dana bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada masyarakat oleh pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran yang bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Jenis dana bergulir yang dialokasikan Pemerintah dalam setiap tahun anggaran tidak sama, tergantung pada kebutuhan penyediaan dana yang akan digulirkan kepada masyarakat. Suatu dana dikategorikan sebagai dana bergulir jika memenuhi karakteristik (1) merupakan bagian dari keuangan negara, (2) dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan negara, (3) dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), (4) disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund), (5) ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya, dan (6) dapat ditarik kembali pada suatu saat. Sebelum tahun 2009, dana bergulir diklasifikasikan ke dalam belanja negara, baik belanja bantuan sosial (bansos), subsidi, belanja hibah, maupun belanja modal nonfisik lainnya. Dalam perkembangannya Pemerintah memandang dana bergulir tidak tepat diklasifikasikan ke dalam belanja negara karena tidak sesuai dengan karakteristik dan sifat dana bergulir. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun VI-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 13. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI 2008-2009, Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 99 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga tanggal 7 Juli 2008. Baru kemudian dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan dana bergulir ke dalam pembiayaan anggaran. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (1) PMK Nomor 99 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pengeluaran dana bergulir yang bersumber dari rupiah murni dialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam APBN. Dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir sebesar Rp915,0 miliar yang digunakan untuk membiayai dana bergulir di bidang koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) sebesar Rp290,0 miliar dan bidang kehutanan sebesar Rp625,0 miliar. Realisasinya sampai dengan akhir tahun mencapai Rp911,0 miliar atau 99,6 persen dibandingkan dengan alokasi anggarannya, yang terdiri dari realisasi dana bergulir KUMKM sebesar Rp290,0 miliar (100,0 persen) dan realisasi dana bergulir kehutanan sebesar Rp621,0 miliar (99,4 persen). Dana bergulir di bidang koperasi dikelola oleh Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM (BLU LPDB KUMKM) yang merupakan satker di bawah Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pengalokasian anggaran dana bergulir KUMKM ditujukan untuk (1) membantu perkuatan modal usaha guna mengembangkan koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pengembangan ekonomi nasional, (2) mengembangkan dan menyediakan akses pembiayaan bagi usaha KUMKM melalui pola dana bergulir, dan (3) memperkuat pendanaan lembaga keuangan dalam rangka memberdayakan lembaga keuangan dimaksud agar dapat memberikan layanan pembiayaan secara mandiri bagi KUMKM yang belum memenuhi kriteria kelayakan perbankan umum (not bankable). Mekanisme penyaluran dana bergulir KUMKM dapat dilaksanakan melalui perantara atau tanpa perantara. Mekanisme penyaluran dengan perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir memberikan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) melalui lembaga perantara. Lembaga perantara dimaksud dapat berupa lembaga keuangan bank (LKB) atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) seperti koperasi primer, koperasi sekunder, perusahaan modal ventura, dan lain-lain. Sedangkan mekanisme penyaluran dana bergulir tanpa perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir menyalurkan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) secara langsung tanpa melalui lembaga perantara. Realisasi anggaran dana bergulir KUMKM tahun 2009 mencapai 100,0 persen. Penyalurannya dilaksanakan melalui 6 koperasi sekunder, 33 koperasi primer, 22 perusahaan modal ventura, dan 6 perbankan. Beberapa kendala dalam penyaluran dana bergulir KUMKM tahun 2009 yaitu, (1) terbatasnya jumlah tenaga account officer (AO) yang dimiliki BLU LPDB KUMKM, (2) tarif skim pinjaman/pembiayaan masih dalam proses persetujuan Menteri Keuangan sehingga dana bergulir yang ada belum bisa disalurkan sesuai dengan kelayakan dan kebutuhan KUMKM, (3) informasi tentang keberadaan BLU LPDB KUMKM belum tersebar luas, (4) ketidaksiapan lembaga perantara sebagai penyalur pinjaman kepada koperasi-koperasi, (5) pemberian persetujuan pinjaman/pembiayaan dilakukan secara koligial direksi pada rapat komite pinjaman, dan (6) kelemahan database koperasi yang layak untuk mendapatkan pinjaman. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-13
  • 14. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Sementara itu, dana bergulir kehutanan merupakan dana yang bersumber dari alokasi APBN dan sumber dana lainnya, yang dipinjamkan kepada pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) dan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk pembangunan hutan tanaman dengan suku bunga tertentu, yang harus digulirkan ke pemegang IUPHHK-HTR dan IUPHHK-HTI lainnya jika jangka waktu pinjamannya berakhir atau diberhentikan. Dana bergulir di bidang kehutanan dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU P3H) yang merupakan satker di bawah Kementerian Kehutanan. Pengalokasian anggaran dana bergulir kehutanan ditujukan untuk menyediakan dana bagi membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan melalui skema pinjaman dan bergulir kepada badan usaha berbadan hukum, koperasi, dan kelompok tani hutan. Sumber pembiayaan dana bergulir kehutanan bersumber dari RPH, yang merupakan rekening penampungan dana reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan menggunakan sistem pinjaman dan dikelola dengan sistem dana bergulir. Sedangkan sumber dana RPH berasal dari (1) dana reboisasi, (2) sisa dana reboisasi setiap tahun dari bagian Pemerintah Pusat setelah dikurangi alokasi ke Kementerian Kehutanan, (3) dana reboisasi dari penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit beserta bunganya dari para debitur, hasil divestasi, dividen, dan pungutan kayu sitaan, (4) dana reboisasi yang berada di pihak ketiga, (5) bunga dan/atau jasa giro yang berasal dari RPH, dan (6) surplus (return) bagian Pemerintah yang berasal dari BLU P3H. Dalam APBN-P 2010, alokasi dana bergulir meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau 259,5 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2009. Peningkatan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kenaikan alokasi dana bergulir KUMKM dari semula Rp290,0 miliar dalam tahun 2009 menjadi Rp350,0 miliar dan adanya alokasi dana bergulir baru untuk pengadaan tanah sebesar Rp2,3 triliun. Sedangkan dana bergulir kehutanan dalam APBN-P 2010, alokasi anggarannya tetap sama seperti yang dialokasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp625,0 miliar. Tujuan pengalokasian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 sama dengan tahun sebelumnya karena pada prinsipnya kebijakan pemberian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 merupakan kelanjutan dari tahun 2009. Sedangkan alokasi dana bergulir GRAFIK VI.7 pengadaan tanah ditujukan DANA BERGULIR 2009 - 2010 (triliun rupiah) untuk dana talangan dalam 3,5 rangka mempercepat proses KUMKM 3,0 Kehutanan penyelesaian pengadaan tanah 2,5 Pengadaan Tanah untuk pembangunan 22 ruas Total jalan tol. Dana bergulir ini dikelola 2,0 oleh Badan Layanan Umum 1,5 Badan Pengatur Jalan Tol (BLU 1,0 BPJT) yang merupakan satker di 0,5 bawah Kementerian Pekerjaan - Umum. 2009 2010 * * APBN-P 2010 Sumber: Ke menterian Ke uangan VI-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 15. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Sebagian anggaran yang digunakan untuk dana bergulir pengadaan tanah berasal dari realokasi cadangan pembiayaan 2010 yang telah dianggarkan dalam APBN 2010 sebesar Rp914,3 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp1,4 triliun merupakan tambahan anggaran baru. Pemerintah memroyeksikan pembangunan 22 ruas jalan tol akan dapat diselesaikan paling lambat tahun 2013 dalam upaya memenuhi target pembangunan infrastruktur jalan berdasarkan program prioritas Pemerintah. Perkembangan realisasi dana bergulir tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Grafik VI.7. E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanisme dana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Pemerintah baru mengalokasikan dana pengembangan pendidikan nasional melalui pembiayaan anggaran sebesar Rp1,0 triliun dalam APBN-P 2010. Sedangkan dalam tahun- tahun sebelumnya, Pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk keperluan ini. F. Kewajiban Penjaminan Untuk PT PLN (Persero) dan PDAM Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (Persero) dalam memperoleh kredit yang diharapkan dapat menurunkan biaya modal proyek. Dengan penjaminan tersebut diharapkan dapat membantu mempercepat penyelesaian Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan listrik nasional. Sebagai konsekuensi pemberian jaminan ini, ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, maka Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah kepada kreditor ini akan diperhitungkan sebagai utang PT PLN (Persero) kepada Pemerintah. Terhadap utang ini, PT PLN (Persero) wajib melakukan pelunasan pada kesempatan pertama setelah dilakukan penagihan atau langsung dilakukan pemotongan dari hak PLN atas subsidi harga listrik yang dibayar Pemerintah. Dana kewajiban penjaminan mulai dianggarkan pada APBN tahun 2007, tetapi sampai dengan akhir tahun 2009, realisasi dana kontijensi untuk PT PLN (Persero) masih nihil. Hal ini dikarenakan PT PLN (Persero) masih mampu membayar kewajibannya kepada kreditur dengan baik. Selanjutnya pada APBN-P 2010, dana kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) kembali dialokasikan sebesar Rp1,0 triliun. Sementara itu, Pemerintah juga melakukan penjaminan terhadap kemungkinan gagal bayar dari proyek PDAM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-15
  • 16. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Selain itu, kewajiban penjaminan untuk PDAM dialokasikan dalam rangka percepatan penyediaan air minum yang merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk yang perlu diupayakan agar senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup merata dan mutu yang baik dalam rangka pencapaian millenium development goals (MDG’s), sehingga perlu diberikan akses pembiayaan bagi PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional. Dana kewajiban penjaminan untuk PDAM mulai dianggarkan pada tahun 2010. Pada APBN-P 2010, Pemerintah mengalokasikan dana kewajiban penjaminan untuk PDAM sebesar Rp50,0 miliar. G. Pinjaman kepada PT PLN (Persero) Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan, selain memberikan penjaminan kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp7,5 triliun dalam APBN-P 2010. Dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah tidak mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero). Pinjaman ini merupakan pinjaman lunak dengan masa pengembalian antara 10 sampai dengan 15 tahun dengan masa tenggang maksimal 5 tahun, jika dibayarkan secara amortisasi. Selain itu, tingkat suku bunga yang dikenakan atas pinjaman ini juga rendah guna mempertimbangkan pemenuhan covenant utang-utang PT PLN (Persero). Rencana pemberian pinjaman tersebut akan digunakan PT PLN (Persero) untuk menutup financing gap PT PLN (Persero) sebagai akibat dari pengadaan dan penggantian trafo, penguatan instalasi transmisi dan distribusi serta investasi lainnya. Untuk penyalurannya, Pemerintah memberikan penugasan kepada Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) untuk melaksanakan pemberian pinjaman dengan penerbitan Peraturan Presiden. Pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) juga mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. 6.2.2.2 Pembiayaan Utang Utang merupakan instrumen pembiayaan yang hampir selalu digunakan oleh berbagai negara di dunia untuk menutup defisit pembiayaannya. Hal ini disebabkan karena sumber ini relatif tersedia baik dalam bentuk pinjaman maupun surat berharga. Pinjaman tersebut dapat diberikan oleh lembaga pemberi pinjaman sebagai perantara (intermediaries) seperti Bank Dunia atau bank pembangunan kawasan misalnya Asian Development Bank untuk kawasan Asia Pasifik, African Development Bank untuk kawasan Afrika, European Development Bank untuk kawasan Eropa, atau Inter American Development Bank untuk kawasan Amerika Selatan, maupun diberikan oleh negara atau lembaga keuangan yang mewakili sebuah negara. Di negara-negara yang telah maju industri keuangan dan pasar modalnya, pembiayaan utang lebih banyak bersumber dari pasar atau investor pasar keuangan melalui penerbitan surat berharga. Pemerintah Indonesia menggunakan dua instrumen utang tersebut dalam memenuhi pembiayaannya baik instrumen pinjaman maupun instrumen surat berharga. Secara bruto pembiayaan utang meningkat dari Rp76,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp249,8 triliun pada tahun 2010 atau meningkat lebih dari 3 kali. Seiring dengan peningkatan pembiayaan utang¸ penarikan pinjaman juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Penarikan VI-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 17. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI GRAFIK VI.8 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN UTANG TAHUN 2005-2010 300,0  250,0  triliun rupiah 200,0  150,0  100,0  50,0  ‐ 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Total Utang 76,5  123,9  150,9  182,9  207,2  249,8  Penerbitan SBN 47,4  94,2  116,9  132,7  148,5  178,0  Penarikan PLN 29,1  29,7  34,1  50,2  58,7  70,8  Penarikan PDN ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1,0  Sumbe r: Kementerian Ke uangan pinjaman pada tahun 2005 sebesar Rp29,1 triliun meningkat menjadi Rp70,8 triliun pada tahun 2010 untuk memanfaatkan pinjaman program dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan utang tunai. Hal ini dilakukan karena penggunaan dana pinjaman program tidak terikat pada kegiatan tertentu atau lebih fleksibel, sehingga pemanfaatannya akan lebih optimal sesuai dengan kebutuhan belanja Pemerintah. Namun demikian, kenaikan penarikan pinjaman ini tidak sebanding dengan meningkatnya penerbitan SBN. Penerbitan SBN pada tahun 2010 meningkat lebih dari 4 kali lipat dibandingkan tahun 2005, yaitu dari Rp47,4 triliun ke Rp178,0 triliun. Peningkatan yang cukup besar tersebut lebih banyak dipenuhi melalui penerbitan SBN domestik, hal ini dilakukan karena untuk meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar dalam negeri serta untuk mengurangi risiko perubahan mata uang. Perkembangan pembiayaan utang tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik.VI.8. A. Penerbitan SBN neto Sepanjang periode 2005–2009, perkembangan realisasi pembiayaan khususnya yang bersumber dari penerbitan SBN cenderung semakin meningkat. Faktor utama yang berkontribusi bagi peningkatan penerbitan SBN ini adalah (i) adanya kebijakan untuk memprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestik dan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri, (ii) adanya kebutuhan pembiayaan kembali dan reprofiling utang. Dalam upaya memenuhi target pembiayaan yang terus meningkat tersebut, penerbitan SBN menghadapi berbagai tantangan yang cukup berat mengingat kondisi pasar SBN masih perlu untuk terus dikembangkan dan masih cukup rentan apabila terjadi krisis. Pada tahun 2005, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P ditetapkan sebesar Rp22,1 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-17
  • 18. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal GRAFIK VI.9 REALISASI PEMBIAYAAN MELALUI PENERBITAN SBN (triliun rupiah) 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 2005 2006 2007 2008 2009 2010* -50,0 -100,0 * APBN-P 2010 SBN (neto) Penerbitan Pokok Jatuh Tempo Sumbe r: KementerianKe uangan triliun atau secara gross sebesar Rp43,3 triliun. Pada tahun ini kondisi pasar keuangan kurang mendukung program penerbitan SBN akibat adanya krisis reksa dana. Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2005 adalah sebesar Rp47,4 triliun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp22,6 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp24,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp22,5 triliun dengan tenor rata-rata 9,2 tahun dan ON valas sebesar Rp24,8 triliun dengan tenor rata- rata 15,0 tahun Walaupun kondisi pasar keuangan kurang mendukung, minat investor untuk berinvestasi pada SBN masih cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bid to cover ratio sebesar 2,16 kali. Pada tahun 2006 dan 2007, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat cukup signifikan menjadi sebesar Rp35,8 triliun dan Rp58,5 triliun atau secara gross Rp90,5 triliun dan Rp99,3 triliun. Peningkatan target penerbitan tersebut dapat dipenuhi dengan biaya yang relatif rendah karena adanya upaya pengembangan instrumen SUN dan perluasan basis investor yang didukung kondisi pasar keuangan yang sudah pulih dari krisis reksadana dan kondisi makro ekonomi yang stabil. Hal ini terlihat dari tingginya likuiditas di pasar keuangan yang tercermin pada indikator bid to cover ratio sebesar 2,32 kali di tahun 2006 dan 2,22 kali di tahun 2007. Realisasi penerbitan gross SBN pada tahun 2006 adalah sebesar Rp94,2 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp42,6 triliun dengan tenor rata-rata 11,6 tahun dan ON valas sebesar Rp20,0 triliun dengan tenor rata-rata 20,3 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp36,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp58,3 triliun. Sedangkan pada tahun 2007, realisasi penerbitan gross SBN adalah sebesar Rp116,9 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp71,7 triliun dengan tenor 14,1 tahun, ON seri SPN sebesar Rp4,2 triliun dengan tenor rata-rata 1,0 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp10,5 triliun dengan tenor rata-rata 2 tahun dan ON valas sebesar Rp13,6 triliun dengan tenor 30 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp57, 2 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp59,7 triliun. Pada paruh kedua tahun 2007, pasar keuangan global diguncang oleh krisis keuangan yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika, namun dampak dari krisis global ini belum secara signifikan mempengaruhi pasar SBN dalam negeri. Pada tahun 2008, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat menjadi sebesar Rp117,8 triliun atau secara gross sebesar Rp157,0 triliun. Pada tahun ini, dampak krisis subprime morgage yang melanda Amerika Serikat mulai dirasakan oleh pasar keuangan VI-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 19. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI domestik dan mencapai puncaknya pada paruh kedua tahun 2008. Dalam kondisi pasar keuangan yang memburuk tersebut, mengingat pasar obligasi tidak dapat dipisahkan dengan kondisi pasar keuangan pada umumnya, maka Pemerintah mengambil tindakan antara lain dengan (i) menghentikan penerbitan SUN untuk menjaga kepercayaan investor dan mengurangi kekhawatiran atas oversupply SUN dan (ii) melakukan program debt switch dan buyback. Dengan demikian, realisasi penerbitan gross SBN hanya sebesar Rp132,7 triliun yang diarahkan untuk membiayai defisit anggaran sebesar Rp86,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp46,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp62,4 triliun dengan tenor rata-rata 9,6 tahun, ON seri VR sebesar Rp5,0 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun, ON seri SPN sebesar Rp10,0 triliun dengan tenor rata-rata 0,9 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp9,6 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun dan ON valas sebesar Rp39,3 triliun dengan tenor rata-rata 18,1 tahun. Dalam rangka mengatasi dampak krisis yang semakin memburuk pada perekonomian nasional, Pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan stimulus fiskal dalam APBN 2009. Hal ini berimplikasi kepada kenaikan target penerbitan SBN neto dari semula Rp54,7 triliun dalam APBN 2009 menjadi Rp99,3 triliun dalam APBN-P 2009 atau secara gross sebesar Rp99,6 triliun menjadi Rp144,8 triliun. Menyadari bahwa kondisi pasar keuangan dunia masih belum kondusif, pemenuhan target pembiayaan melalui penerbitan SBN tersebut dikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara optimal. Beberapa faktor yang dinilai dapat mempengaruhi tidak optimalnya penerbitan SBN pada saat itu antara lain adalah (i) terbatasnya permintaan dari investor akibat perlambatan ekonomi yang berimbas pada penurunan kapasitas investasi dan keterbatasan likuiditas, (ii) semakin banyaknya negara- negara di dunia yang melakukan penambahan utang untuk menutup kebutuhan penyelamatan perekonomian dan fiskal stimulus, dan (iii) potensi terjadinya crowding out effect, yang dapat berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makin mahalnya biaya yang harus ditanggung. Sebagai respon terhadap tingginya target pembiayaan tahun 2009 di tengah kondisi pasar yang kurang kondusif, Pemerintah melakukan pembicaraan secara intensif dengan pemberi pinjaman konvensional baik multilateral maupun bilateral, mengenai kemungkinan untuk memberikan fasilitas pinjaman siaga (contingency loan) dalam hal penerbitan SBN tidak dapat dilakukan secara optimal. Tindak lanjut dari inisiatif ini, Pemerintah melakukan penandatanganan perjanjian dengan empat development partners yaitu Bank Dunia, ADB, Pemerintah Jepang melalui JBIC, dan Pemerintah Australia. Adapun masa laku dari pinjaman siaga ini adalah selama 2 (dua) tahun, terhitung dari tahun 2009–2010. Pinjaman ini bukan merupakan pinjaman yang bersifat stand-by sebagaimana halnya commited credit line, yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam hal diperlukan dan dapat menjadi substitusi dari alternatif pembiayaan yang telah ada. Bentuk dukungan pinjaman siaga dapat berupa pemberian pinjaman, yang hanya dapat ditarik dalam hal 2 (dua) kondisi yang disepakati antara Pemerintah dengan development partners secara simultan terpenuhi yaitu (i) target pembiayaan Pemerintah dalam satu triwulan tertentu tidak dapat dipenuhi dan (ii) yield obligasi Pemerintah yang diterbitkan melampaui threshold tertentu yang disepakati. Untuk fasilitas dalam bentuk pinjaman ini tercakup dalam kerangka Public Expenditure Support Facility (PESF) yang dalam pelaksanaannya memperoleh dukungan dari Bank Dunia, ADB, dan Pemerintah Australia. Selain itu, pinjaman siaga dapat berupa pemberian jaminan (guarantee) melalui kerangka Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh Pemerintah Jepang. Dalam skema ini Pemerintah dapat melakukan penerbitan surat Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-19
  • 20. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal berharga di pasar internasional, terutama pasar keuangan Jepang dengan mendapatkan jaminan dari Pemerintah Jepang melalui JBIC. Sampai dengan pertengahan tahun 2009, pinjaman siaga tersebut baru dimanfaatkan sebesar JPY35 miliar melalui penerbitan JBIC guaranteed samurai bonds (shibosai) di pasar keuangan Jepang. Sedangkan pinjaman siaga dalam kerangka PESF sampai saat ini belum dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena kondisi pasar keuangan yang cenderung mengalami perbaikan sejak awal tahun 2009 sampai dengan saat ini, sehingga 2 (dua) syarat dalam rangka penarikan pinjaman ini belum terlampaui. Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2009 adalah sebesar Rp148,5 triliun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp99,5 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp 49,1 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp66,1 triliun dengan tenor rata-rata 10,7 tahun, ON seri VR sebesar Rp6,5 triliun dengan tenor rata-rata 4,5 tahun ON seri SPN sebesar Rp25,2 triliun dengan tenor rata-rata 0,5 tahun dan ON valas sebesar Rp46,8 triliun dengan tenor rata-rata 8 tahun. Sebagai salah satu respon terhadap kecenderungan meningkatnya target penerbitan SBN, dan mempertimbangkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada awal tahun, Pemerintah dalam melakukan penerbitan SBN menerapkan kebijakan front loading. Melalui kebijakan ini, porsi jumlah penerbitan diatur sedemikian rupa sehingga jumlah penerbitan pada semester I relatif lebih besar dari pada jumlah penerbitan semester II. Pertimbangan dilaksanakannya kebijakan front loading ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan kondisi pasar yang relatif bullish pada awal tahun. 2. Memberikan rasa aman bagi para pelaku pasar bahwa target penerbitan SBN Pemerintah relatif akan dapat dicapai. 3. Tambahan biaya yang harus ditanggung Pemerintah untuk setiap peningkatan bid yang diterima pada saat lelang pada semester I umumnya lebih kecil daripada semester II. 4. Praktik front loading merupakan praktik yang umum dilakukan oleh Debt Management Office (DMO) di banyak negara. 5. Penerapan strategi front loading dalam pengelolaan utang yang prudent cenderung memberikan kontribusi positif pada stabilitas fiskal dan pasar keuangan dan diapresiasi oleh rating agencies. Namun, pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara hati-hati dan terukur dengan mempertimbangkan kondisi kas negara, kondisi pasar keuangan, dan rencana kebijakan fiskal yang ditempuh sehingga kebijakan front loading yang dilakukan dapat mendorong pengembangan pasar obligasi domestik. Dalam periode 2005-2009 gambaran hasil pelaksanaan kebijakan ini dapat dilihat dalam Tabel VI.3. Seiring dengan meningkatnya target pembiayaan defisit anggaran melalui penerbitan SBN, diperlukan kondisi pasar SBN yang aktif, dalam, dan likuid. Dalam rangka meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar SBN, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah melalui pengembangan instrumen SBN, baik SBN domestik maupun SBN Valas. Pengembangan instrumen SBN domestik yang telah dilakukan sepanjang tahun 2005-2010 diantaranya adalah pengembangan obligasi ritel, pengembangan SBSN, sukuk ritel, SPN, obligasi tanpa kupon (zero coupon bond–esZCB), dan sukuk dana haji Indonesia (SDHI). Produk obligasi negara ritel yang lebih dikenal ORI diperkenalkan pada tahun 2006, yang ditujukan bagi VI-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 21. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.3 REKAPITULASI PENERBITAN SBN PER SEMESTER, 2005-2009 (juta rupiah) Tahun Semester I Semester II Total 29.072.000,0 18.225.000,0 47.297.000,0 2005 61,5% 38,5% 44.054.000,0 18.533.650,0 62.587.650,0 2006 70,4% 29,6% 57.508.200,0 42.446.495,0 99.954.695,0 2007 57,5% 42,5% 95.668.565,0 25.876.875,0 121.545.440,0 2008 78,7% 21,3% 84.925.000,0 43.082.156,0 128.007.156,0 2009 66,3% 33,7% Catatan: Penerbitan SBN termasuk dengan lelang dan private placement , tetapi belum termasuk SBSN Sumber: Kementerian Keuangan investor individu. Untuk itu, terms and condition produk obligasi ritel ini disesuaikan dengan kebutuhan investor individu, diantaranya tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat bunga tabungan, maupun deposito dan pembayaran bunga yang dilakukan secara bulanan. Selanjutnya pada tahun 2007, Pemerintah memperkenalkan instrumen ZCB yang diarahkan untuk menyesuaikan pola investasi dari perusahaan asuransi dan dana pensiun. Selanjutnya untuk mengisi kebutuhan pasar akan instrumen jangka pendek, Pemerintah menerbitkan surat perbendaharaan negara (SPN) yang terutama ditujukan bagi kalangan perbankan sebagai instrumen untuk menyelaraskan durasi. Pada awalnya SPN dan ZCB kurang diminati oleh pasar karena adanya perlakuan pajak yang dinilai memberatkan investor. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah mengkaji kembali perlakuan pajak atas kedua instrumen tersebut dan melakukan penyesuaian sehingga instrumen tersebut menjadi lebih menarik. Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan secara nyata dengan tingginya minat investor setelah perlakuan pajak yang baru terhadap kedua instrumen tersebut terutama SPN ditetapkan. Memasuki tahun 2008, setelah ditetapkannya UU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Pemerintah melakukan penerbitan SBSN dengan tenor 7 dan 10 tahun di pasar domestik dan internasional. Penerbitan ini mendapat sambutan yang cukup baik dengan terpenuhinya target penerbitan SBSN bahkan penawaran yang masuk lebih tinggi dari target yang ditetapkan. Berkenaan dengan mata uang SBN yang diterbitkan, sejak tahun 2004 Pemerintah mulai menerbitkan SBN dalam denominasi valas dalam mata uang USD, sedangkan dalam mata uang JPY baru dimulai pada tahun 2009. Tujuan penerbitan SBN valas adalah untuk memenuhi pembiayaan dan untuk mengelola portofolio utang Pemerintah. Penerbitan SBN dalam mata uang USD pada awalnya menggunakan program stand alone dengan format reg S/144A, namun sejak tahun 2009 Pemerintah menerbitkan SBN Valas dengan format GMTN (Global Medium Term Note). Penerbitan dengan format Reg S/144A memerlukan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-21
  • 22. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal waktu yang cukup panjang sehingga terbuka peluang untuk diprediksi oleh pasar yang pada akhirnya cenderung mendorong yield ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan format GMTN Pemerintah dapat melakukan penerbitan sampai dengan jumlah yang didaftarkan pada program GMTN tersebut dan realisasi penerbitan dapat dilaksanakan setiap saat dalam periode yang telah ditentukan, sesuai dengan kebutuhan pembiayaan. Dengan demikian Pemerintah memiliki fleksibilitas dalam memilih waktu yang tepat untuk penerbitan yang pada akhirnya dapat mengurangi noise di pasar keuangan. Pada tahun 2009 Pemerintah mencoba menjajaki pasar Jepang dengan menerbitkan shibosai sebesar JPY 35 miliar yang memanfaatkan fasilitas Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh Pemerintah Jepang melalui JBIC. Penerbitan shibosai ini menggunakan mekanisme private placement kepada investor Jepang yang potensial. Pada tahun 2010 direncanakan untuk melakukan penerbitan shibosai pada semester II 2010, penerbitan ini ditujukan untuk menambah likuiditas shibosai dengan menambah jumlah outstanding. SBN valas juga diterbitkan dengan basis syariah (sukuk valas). Penerbitan pertama kali dilakukan pada bulan April 2009 sebesar USD650 juta dengan akad Ijarah sale and lease back. Penerbitan tersebut merupakan penerbitan straight sukuk terbesar di luar negara teluk dan merupakan benchmark pertama kali sukuk valas di Asia sejak tahun 2007. Minat investor terhadap instrumen ini cukup tinggi tercermin dari tingginya jumlah penawaran yang masuk (over subscription) sebanyak 7,3 kali dari jumlah penerbitan. Selain itu, Pemerintah berupaya untuk terus melakukan pengembangan pasar perdana melalui peningkatan kualitas pengelolaan SBN salah satunya dengan meningkatkan aspek certainty dan predictability bagi para investor. Melalui kedua aspek ini maka diharapkan kualitas pengelolaan SBN dapat ditingkatkan. Salah satu initiatif yang telah dilakukan pada tahun 2007, Pemerintah mengimplementasikan primary dealership system yang memungkinkan terjadinya market making dalam pasar SBN. Kemudian tahun 2010, pengembangan pasar antara lain dilakukan dengan menyusun jadwal pelaksanaan lelang per triwulan yang meliputi indikasi waktu, jenis instrumen per tenor, dan rencana penerbitan triwulanan. Meskipun jadwal ini sifatnya masih tentative, namun setidaknya dapat memberikan gambaran bagi investor terhadap penyusunan rencana investasi di SBN sepanjang tahun. Sedangkan dalam pengembangan pasar sekunder, telah ditetapkan crisis management protocol sebagai mekanisme early warning dan prosedur dalama pengelolaan jika terjadi krisis di pasar sekunder. Kemudian diperkenalkan metode securities lending and borrowing bagi primary dealers, dan Pemerintah dapat melakukan stabilisasi pasar dengan transaksi langsung melalui dealing room. Dalam pengelolaan portofolio dan risiko utang, Pemerintah juga telah mengembangkan berbagai operasi untuk memperbaiki struktur portofolio dan mengendalikan risiko yang terkandung dalam utang. Sebagai salah satu contoh dalam pengendalian risiko refinancing, Pemerintah telah melakukan operasi pasar melalui program cash buyback dan program penukaran utang (debt switching). Konsep dasar kedua program tersebut adalah sama, yaitu menukar utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek dengan utang yang memiliki jangka waktu yang lebih panjang, atau dapat dilakukan dengan menerbitkan obligasi yang dapat menjadi benchmark dan aktif ditransaksikan (on the run) untuk menggantikan obligasi yang tidak aktif (off the run). B. Penarikan Pinjaman Meskipun secara neto besaran penarikan pinjaman luar negeri ditetapkan negatif dan VI-22 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 23. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI perannya sebagai sumber pembiayaan sejak tahun 2004 sudah tidak lagi dominan, namun pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri masih dipertahankan sampai saat ini. Hal tersebut didasari oleh masih adanya kebutuhan untuk mendukung pembiayaan kegiatan yang terkait langsung dengan belanja negara dan penerusan pinjaman, maupun dalam bentuk pinjaman luar negeri tunai yang berfungsi sebagai budget support. Dalam upaya mengurangi risiko nilai tukar yang melekat pada instrumen pinjaman luar negeri serta mempertimbangkan ketersediaan sumber dalam negeri, Pemerintah mengembangkan instrumen pembiayaan dari pinjaman yang bersumber dari dalam negeri. Seiring dengan telah dipenuhinya kerangka infrastruktur peraturan perundangan maupun peraturan operasional, pinjaman dalam negeri mulai digunakan sebagai instrumen pembiayaan pada tahun 2010. Sesuai dengan peruntukkannya, GRAFIK VI.10 pinjaman dalam negeri hanya PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI, 2005-2010 (triliun rupiah) diarahkan untuk pembiayaan kegiatan. Dengan demikian, 45,0 41,4 40,0 terhitung mulai tahun 2010 dalam 35,0 28,9 29,7 29,4 rangka pembiayaan defisit 30,0 30,1 anggaran, Pemerintah mempunyai 25,0 19,6 20,1 dua instrumen pinjaman yaitu 20,0 16,8 13,6 16,1 14,5 15,0 12,3 pinjaman luar negeri dan pinjaman 10,0 dalam negeri. 5,0 0,0 Pinjaman Luar Negeri 2005 2006 2007 2008 2009 2010* * APBN-P 2010 Dalam periode 2005-2010, Sumber: KementerianKeuangan Pinjaman Program Pinjaman Proyek penarikan pinjaman luar negeri dilakukan atas pinjaman proyek dan pinjaman tunai. Pinjaman proyek merupakan pinjaman yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh K/ L sehingga tercakup dalam belanja K/L atau yang diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau BUMN. Sedangkan pinjaman tunai yang lebih dikenal dengan sebutan pinjaman program merupakan pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan defisit (budget support) yang syarat pencairannya adalah melalui pemenuhan policy matrix atau terlaksananya sebuah kegiatan tertentu. Pada tahun 2005 – 2009, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah total penarikan pinjaman. Apabila dilihat secara rinci, perkembangan penarikan pinjaman program mulai meningkat sejak tahun 2007 seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan utang tunai. Sedangkan penarikan pinjaman proyek dari tahun 2005- 2007 cenderung menurun, namun kembali meningkat pada tahun 2008 dan 2009. Perkembangan pinjaman luar negeri tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.10. Sebagaimana disebutkan di atas, realisasi penarikan pinjaman proyek dalam periode 2005- 2007 cenderung menurun, dan kemudian cenderung meningkat pada tahun 2008-2009. Namun, apabila dibandingkan antara besaran realisasi dengan target yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P, realisasi penarikan pinjaman proyek pada periode 2005-2009 masih berada di bawah target yaitu rata-rata hanya mencapai angka 72,9 persen. Relatif rendahnya realisasi penarikan pinjaman proyek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain (1) adanya kendala permasalahan di lapangan, misalnya kesulitan dalam pembebasan tanah dan/atau tidak diperolehnya perijinan penggunaan lahan, (2) belum siapnya pelaksanaan kegiatan di tahun pertama yang ditunjukkan dengan belum disediakannya dana pendamping/uang muka, atau belum lengkapnya organ pelaksana kegiatan, (3) penyelesaian pengadaan yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-23
  • 24. Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal GRAFIK VI.11 tertunda akibat adanya persyaratan PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROYEK, 2005-2010 (triliun rupiah) tertentu dari pemberi pinjaman 40,0 (lender) atau karena barang yang 30,0 diadakan memiliki karakteristik sangat spesifik, (4) penyusunan 20,0 besaran rencana penarikan yang terlalu optimis, (5) adanya 10,0 persyaratan administratif yang 0,0 belum dipenuhi oleh pelaksana kegiatan sehingga mengakibatkan Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN-P APBN-P APBN-P APBN-P APBN-P dana diblokir, dan lain-lain. 2005 2006 2007 2008 2009 Perkembangan target dan realisasi penarikan pinjaman proyek tahun Sumbe r: KementerianKeuangan 2005-2009 dapat dilihat pada Grafik VI.11. Dalam kurun waktu tahun 2005-2009, khususnya mulai tahun 2007 terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhan pemenuhan pembiayaan dari pinjaman tunai. Besaran realisasi penarikan pinjaman tunai tersebut meningkat dua kali lipat yaitu pada tahun 2005-2006 dibandingkan dengan 2008-2009. Hal ini dapat dipahami, mengingat sumber pembiayaan dari pinjaman tunai luar negeri yang merupakan non market base instrument diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada saat terjadi krisis global. Salah satu pertimbangan dimanfaatkannya pinjaman tunai ini adalah sifat penarikannya yang single disbursement dan tidak earmark dengan belanja tertentu (khususnya bagi pinjaman tunai di luar mekanisme refinancing modality), sehingga relatif fleksibel dalam pemanfaatannya. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa pinjaman tunai memiliki syarat pencairan yaitu policy matrix (untuk pinjaman program reguler) atau terlaksananya sebuah kegiatan (dalam konteks refinancing modality). Selain itu, mengingat sifatnya yang single disbursement, pinjaman tunai berpotensi mengurangi country limit/ single country ceiling yang diterapkan oleh masing-masing lender. Hal ini akan mengurangi ruang dan kapasitas negara peminjam untuk melakukan pinjaman baru, ataupun jika batasan ini dapat dilampaui maka biaya pinjaman dapat berpotensi naik. Sepanjang tahun 2005-2010, tidak semua pemberi pinjaman bersedia atau memiliki produk yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai ini. Selama periode tersebut hanya empat pemberi pinjaman yang secara konsisten menyediakan fasilitasnya yaitu Bank Dunia, ADB, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Agence Française de Développement (AFD, Perancis). Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan adanya lender lain yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai, namun terdapat potensi bahwa dana tunai yang disediakan memiliki konsekuensi biaya yang relatif mahal. Adapun dari sisi fokus program yang akan diterjemahkan dalam matriks kebijakan (policy matrix) sebagai syarat penarikan, terdapat beberapa program yang secara generik dapat menggambarkan pinjaman tunai dimaksud, antara lain kebijakan di bidang program pembangunan, infrastruktur, dan climate change. Dalam pemenuhan policy matrix tersebut, diperlukan upaya penyusunan berbagai kebijakan, baik yang berbentuk penetapan aturan perundangan maupun aturan operasional, serta studi-studi yang mengarah pada reformasi VI-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 25. Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI kebijakan. Mengingat reformasi kebijakan tersebut dilakukan di segala bidang, maka dalam pemenuhan syarat penarikan tersebut sangat diperlukan keterlibatan aktif setiap K/L yang terkait langsung dengan masing-masing fokus area tersebut. Kebijakan di bidang program pembangunan tercakup dalam Development Policy Loan (DPL) yang merupakan produk pinjaman tunai dari Bank Dunia dan Development Policy Support Program (DPSP), dengan ADB sebagai lender. JICA melakukan cofinancing dengan Bank Dunia untuk program ini. Terdapat 3 area kebijakan publik yang menjadi perhatian Pemerintah untuk pelaksanaan program ini yaitu perbaikan iklim investasi, penguatan pengelolaan keuangan publik, dan pengentasan kemiskinan. Trigger Policy sesuai karakteristik masing-masing area kebijakan publik tersebut, yaitu (i) perbaikan iklim investasi, fokus kebijakan Pemerintah pada penyelesaian studi dalam pengurangan beban pajak bagi wajib pajak tertentu, operasionalisasi sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) beserta regulasi teknisnya dan pembenahan daftar negatif investasi (DNI), yang diikuti dengan mendirikan sistem lisensi operasional investasi online (SPIPISE) dan pembentukan staf help- desk untuk Indonesia National Single Window (INSW), (ii) penguatan pengelolaan keuangan publik, diwujudkan dengan melakukan pengembangan kapasitas SDM untuk meningkatkan fungsi procurement dalam Pemerintahan sehingga dapat meningkatkan kecepatan dan efektifitas dalam melakukan procurement, kemudian menyempurnakan mekanisme untuk meningkatkan kualitas K/L dalam melakukan cash and budget forecasting agar efisiensi pengelolaan uang negara meningkat, dan pembentukan komite teknologi dan informasi serta pemberlakuan pemakaian standar kebijakan dalam penggunaan teknologi informasi Pemerintah; dan (iii) pengentasan kemiskinan, antara lain melalui pelaksanaan sensus secara nasional untuk melakukan pemetaan terhadap kemiskinan yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan pengentasan kemiskinan di tahun 2011. Sejak tahun 2005–2009, total penarikan pinjaman program di bidang program pembangunan yang telah dilakukan adalah sebesar USD4.693 juta yang terdiri dari Bank Dunia sebesar USD3.100 juta, ADB sebesar USD1.000 juta dan JICA sebesar equivalen USD593 juta. Program pembangunan infrastruktur melalui Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) dengan lender dari Bank Dunia dan Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) dengan ADB yang melakukan cofinancing dengan JICA sebagai lender. Dalam program ini area utama kebijakan infrastruktur berfokus pada kebijakan untuk mempertahankan alokasi dana APBN 2010 di bidang infrastruktur dan penyediaan listrik yang stabil, efektif, dan berkesinambungan. Fokus kebijakan infrastruktur lainnya adalah Public Private Partnership (PPP), yaitu upaya untuk mengutamakan peningkatan kerjasama antara Pemerintah dan pihak swasta. Pinjaman program untuk program pembangunan infrastruktur baru dimulai pada tahun 2006 dengan penarikan pinjaman dari ADB sebesar USD400 juta. Sepanjang tahun 2006–2009, jumlah penarikan pinjaman program untuk program pembangunan infrastruktur yang telah ditarik dari 3 lender ini adalah USD1,530 juta. Program perubahan iklim melalui Climate Change Program Loan (CCPL) didukung pembiayaannya oleh JICA dan AFD, Perancis. Program loan ini dimulai pada tahun 2008 dengan fokus sektor meliputi sektor kehutanan dengan target outcome mencegah pengurangan luas hutan dan meningkatkan tingkat penyerapan CO2, sektor energi dengan target outcome mengurangi emisi CO2 dan mendorong penggunaan energi terbarukan, sektor sumber daya dan energi dan beberapa sektor lainnya. Untuk sektor kehutanan yang menjadi perhatian utama adalah program Reducing Emissions from Deforestation and Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-25