Teks tersebut membahas tentang nasionalisme dan penolakan Islam terhadap ideologi tersebut. Islam menolak nasionalisme karena ideologi tersebut bertentangan dengan prinsip kesatuan umat Islam dan telah memecah belah umat. Nasionalisme juga dianggap sebagai ide kosong yang dipromosikan oleh penjajah untuk menghancurkan kesatuan umat di bawah kekhalifahan Islam.
Paket Substansi_Pengelolaan Kinerja Guru dan KS [19 Dec].pptx
Nasionalisme itu Sampah
1. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=14 1/4
search...
Home Tentang Kami Kontak kami Guestbook Search Sunday, 28 April 2013
Menu Utama
HOME
REDAKTUR
Editorial
Flashnews / Dari kami
BERITA
Terbaru
Politik
Lain Lain
ARTIKEL
Siyasah
Ekonomi
Pemikiran
Nafsiyyah
Aqidah
Tsaqofah
Seluruh Katagori
Search
Links
News Feeds
TENTANG KAMI
KALENDER ACARA
KEGIATAN
Konsultasi
Ma'had
Liputan Kegiatan
Hubungi Kami
Anggota / Member
23495 registered
14 today
14 this week
2083 this month
Last: anhvfrp
Statistics
Members: 23495
News: 810
Web Links: 2
MEMBUANG NASIONALISME KE TEMPAT
SAMPAH
Written by Redaksi
Thursday, 13 October 2005
Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang
jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi 57 negara
berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa
(nation-state). Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah,
seiring dengan upaya dan rekayasa licik dari penjajah Barat
pimpinan AS untuk semakin mencerai-beraikan berbagai
negara di dunia, dengan gerakan separatisme dan prinsip â
€œmenentukan nasib sendiriâ€(right of self determinism)
melalui legitimasi PBB yang disetir AS. Kasus lepasnya Timor
Timur dari Indonesia adalah contoh yang amat telanjang di
hadapan mata kita.
Kondisi cerai-berai ini dengan sendirinya membuat umat
menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk
dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara imperialis.
Prinsip “devide et imperaâ€(Arab : farriq tasud) ternyata
belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara
langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa
menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih.
Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar
negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal,
dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor
liberalisme melalui film, lagu, novel, radio, musik, dan lain-
lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat
madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia (HAM),
pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya
baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang
terpecah-belah tadi.
Nasionalisme, dengan demikian, dapat ditunjuk sebagai
salah satu biang keladi atau biang kerok perpecahan dan
keterpurukan umat yang dahsyat di bawah tindasan
imperialisme Barat gaya baru tersebut.
Maka dari itu, salah besar kalau umat Islam terus
mengagung-agungkan ide kafir itu, atau menganggapnya
sebagai ide sakral yang tidak boleh dibantah. Padahal,
faktanya, nasionalisme telah menghancur-leburkan
persatuan umat Islam. Maka, Umat Islam harus segera
mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan
menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika
tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan
umat pun akan tetap terseok-seok menjalani pinggir-pinggir
peradaban secara nista di bawah telapak kaki para penjajah
yang kafir.
Absurditas Nasionalisme
Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan
sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas
sebagai sebuah “bangsaâ€. Pengertian “bangsaâ€ini,
pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat
imajiner. Kesamaan “bangsaâ€kadang bisa berarti
kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya.
Dalam wacana ilmu politik mutakhir, pengertian “bangsaâ
€lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999).
Penduduk pesisir timur Sumatera (yang berâ€bangsaâ€
Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik
Flash News
Assalamu'alaikum wr wb
Untuk memberi komentar,
tanggapan, atau ingin
berkonsultasi, silakan kirim
e-mail ke :
shiddiq_aljawi@yahoo.com.
Atau ke nomor hp : 081-
3287-44133.
Popular
BAITUL MAL
TINJAUAN HISTORIS
DAN KONSEP
IDEALNYA
DASAR-DASAR
INTELIJEN (BAGIAN
1)
DASAR-DASAR
INTELIJEN OLEH :
LETJEND (PURN) ZA
MAULANI (MANTAN
KEPALA BAKIN)
MEMAHAMI
KARAKTER SALAFI
KITAB BARU HIZBUT
TAHRIR:
2. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=14 2/4
dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat
(yang berâ€bangsaâ€Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh
Selat Malaka. Mereka pun satu suku, sehingga mereka bisa
saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi,
mereka “mengimajinasiâ€sebagai bangsa yang berbeda,
dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya
penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki
kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon,
ternyata telah “mengimajinasi†sebagai satu â
€œbangsa†dengan orang Ambon. Di sinilah letak
absurdnya nasionalisme. Yang “samaâ€bisa menjadi â
€œbangsaâ€yang berbeda, sementara yang “tidak
samaâ€bisa menjadi satu “bangsaâ€.
Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide
absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang
pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-
makna yang konkret. Nasionalisme lebih mengandalkan
sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan
sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan
sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang
lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk
membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu
kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh
(fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan
manusia; serta pemikiran tentang pengaturan kehidupan
yang lahir dari pemikiran menyeluruh itu untuk memecahkan
problem-problem manusia (Taqiyuddin An-Nabhani, 1953).
Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan
manusia. Sebab dia memiliki konsep-konsep yang
menerangkan makna keberadaan manusia dalam
kehidupan, menjelaskan pandangan hidup serta jenis
peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini
semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya,
tidak dimiliki oleh nasionalisme (Abdus Sami’ Hamid,
1998)
Masuknya Nasionalisme di Dunia Islam
Umat Islam tak pernah mengenal paham nasionalisme
dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad, hingga
adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara
Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan
pemikiran melalui para misionaris dan merekayasa partai-
partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham
nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris â
€“sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika--
didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk
menjalankan misi tersebut. Namun hingga saat itu upaya
mereka belum berhasil.
Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik
kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian
Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab.
Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-
Madrasah Al-Wataniyah-- didirikan di Syiria oleh Butros Al-
Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini
menyimbolkan esensi misi Al-Bustani, yakni paham
patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan). Langkah
serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At
Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan
sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik
yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki
Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk
mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris
kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai
politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk
menghancurkan Khilafah (Syaikh Afif Az-Zain, 1993).
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum
kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian
Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis
3. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=14 3/4
merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara
Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles
dan Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan.
Dari sinilah lahir negara-negara Irak, Syria, Palestina,
Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat
Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah
Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris
untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-
bangsa ini tiada lain adalah hasil rekayasa Barat yang ada di
bawah mandat mereka (Taqiyuddin An-Nabhani, 1994; Ali
Muhammad Jarisyah & Muhammad Syarif, 1992)
Lahirnya Indonesia juga tak lepas dari rekayasa penjajah
menyebarkan nasionalisme di Dunia Islam. Hal itu dapat
dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa
pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya
persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan kolonialis
Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19,
menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara
jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda. Dampak
monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada
tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka
kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan
Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme
dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia
Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai
lahirnya berbagai pergerakan nasional di Indonesia, Boedi
Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond,
Jong Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan
sejenisnya (Hasyim Wahid dkk, 2000).
Menyikapi Nasionalisme
Berdasarkan tinjauan filosofis dan historis di atas, dapat kita
pahami mengapa Islam menentang dan menolak ide
nasionalisme itu. Sebab nasionalisme sebenarnya adalah ide
kosong dan tidak layak untuk membangkitkan manusia.
Nasionalisme dalam sejarahnya dan konteks kekinian juga
terbukti telah membawa kemudharatan, penderitaan, dan
kesengsaraan umat manusia. Apakah masuk akal ide
destruktif dan berbahaya seperti itu kita terima tanpa
reserve ?
Secara syar’i, umat Islam diharamkan mengadopsi
nasionalisme karena nasionalisme bertentangan dengan
prinsip kesatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Kesatuan
umat Islam wajib didasarkan pada ikatan aqidah, bukan
ikatan kebangsaan, seperti nasionalisme. Allah SWT
berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah
bersaudara.â€(QS Al Hujurat : 13)
Ayat di atas menunjukan bahwa Umat Islam adalah
bersaudara (ibarat satu tubuh), yang diikat oleh kesamaan
aqidah Islamiyah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa.
Rasulullah SAW bahkan mengharamkan ikatan ‘ashabiyah
(fanatisme golongan), yaitu setiap ikatan pemersatu yang
bertentangan dengan Islam, termasuk nasionalisme :
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan
ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR.
Abu Dawud)
Jelaslah, ikatan yang layak di antara umat Islam hanyalah
ikatan keimanan. Bukan ikatan kebangsaan. Sebagai
perwujudannya dalam realitas, Islam mewajibkan umatnya
untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah
Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai-berai di bawah
pimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah SAW bersabda :
“Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah
yang terakhir dari keduanya.â€(HR. Muslim).