SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 16
Downloaden Sie, um offline zu lesen
© 2002 Program Pasca Sarjana IPB
 Makalah Kelompok 3                                           Posted 7 November, 2002
 Falsafah Sains (PPs 702)
 Program Pasca Sarjana
 Institut Pertanian Bogor
 November 2002

 Dosen:
 Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
 Prof Dr Zahrial Coto
 Dr Bambang Purwantara




            SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN:
     TINJAUAN TERHADAP PERAN ILMU, PENDIDIKAN,
            KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL

                                            Oleh:

                      U. Maman Kh. (mamankh2002@yahoo.com),
                     Tjahja Muhandri (tjahjamuhandri@yahoo.com),
                         Dwi Hastuti (tutimartianto@yahoo.com),
                          Meda Wahini (mwhanini@yahoo.com),
                           N.L. Soeida S. (ironida@yahoo.com),
                            Lisnawita (itamuis@eudoramil.com),
                        Eliza S. Rusli (elizarusli2002@yahoo.com),
                       Yunik Istikorini (yunik2002@hotmail.com),
                          Susi Astuti (sussi_astuti@yahoo.com) ,
                           Medikasari (medikasari@yahoo.com),
                       Rifda Naufalin(rifda_naufalin@yahoo.com)



                                    I. PENDAHULUAN

       Salah satu fenomena yang menonjol di Indonesia belakangan ini ialah banyaknya
kejahatan, terutama korupsi, yang dilakukan kaum terpelajar (white collar crime)          yang
kebetulan menduduki posisi tertentu, baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif,
bahkan di kalangan pengelola perusahaan milik negara.          Tingginya angka koprupsi di
Indonesia dalam berbagai lini kehidupan telah menempatkan Indonesia sebagai negara tingkat
korupsi paling tinggi dengan skor 9,92, sedangkan skor tertinggi untuk negara paling korup
sebanyak 10. Demikian hasil survai PERC (Political and Economic Risk Consultancy) --


                                                                                             1
sebuah lembaga survai yang berpusat di Hong Kong -- tahun 2002 dengan melakukan
wawancara terhadap 1000 orang ekspatriat dari berbagai Negara Asia. 1
        Suatu sumber front nasional2 tentang kasus korupsi masa orde baru juga menyebutkan
angka korupsi yang amat fantastis yang tersebar di berbagai lembaga pemerintahan. Meskipun
belum dapat dibuktikan secara hukum dan belum dapat dimajukan ke persidangan, namun
fakta bahwa telah terjadi korupsi di berbagai lembaga negara dirasakan semua pihak. Survey
yang dilakukan oleh suatu lembaga independen di Jakarta menyebutkan bahwa bentuk korupsi
oleh berbagai penyelenggara negara di Indonesia telah dirasakan dalam bentuk pembayaran
tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh rumahtangga maupun perusahaan-perusahaan yang
ada di Indonesia. Disebutkan dalam survey itu bahwa Badan Pertanahan Nasional merupakan
lembaga publik yang paling rawan korupsi.
        Lebih menyedihkan lagi bahwa jumlah suap yang dibayar berbagai perusahaan ketika
melakukan berbagai kepentingan dengan lembaga publik sangat beragam, dan menunjukkan
betapa lembaga publik yang selayaknya menjadi lembaga pelayanan masyarakat telah berubah
menjadi lembaga yang melakukan “pemerasan terselubung” terhadap semua pihak yang
memerlukan jasanya.

                        Tabel 1. Lembaga Publik Tempat Korupsi Paling Lazim

                                       LEMBAGA                                              %
 Badan Petanahaan Nasional                                                                 24,0
 Departemen Perindustrian dan Perdagangan                                                  22,9
 Departemen Kehutanan                                                                      20,0
 Departemen Dalam Negeri                                                                   18,5
        Sumber: Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan (2002)

        Tim Bank Dunia yang dipimpin Katherine Marshall – Direktur Bank Dunia untuk
wilayah Asia dan Fasifik – dalam kunjungan ke Indonesia, menggambarkan bahwa korupsi
         1
           Indonesia berada pada urutan pertama negara paling korup dengan skor 9,92, disusul India (9,17),
Vietnam (8,25), Filipina (8,0), Cina (7,00), Taiwan (5,83), Korea Selatan (5,75), Malaysia (5,71), Hong Kong
(3,33), Jepang (3,25) dan Singapura (0,90). Lebih jelasnya lihat Anonim, “Indonesia Negara Paling Korup di
Asia’” Angin Surga dalam http://www.surga.org/korup.html dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002. Lihta juga Eriko
Uchida, “Corruption in Indonesia Sustained by Political Ties” dalam http://www.geocities.com dikunjungi Senin,
30 September 2002.
        2
            Lihat dalam htttp : // www.geocities.com/frontnasional/kasusorba.htm




                                                                                                            2
terjadi baik di sektor publik maupun sektor swasta, telah menyebar secara sistemik dan susah
dibuktikan. Masyarakat akan berhadapan dengan praktek-praktek korupsi ketika mereka
membutuhkan pelayanan publik. Di masa-masa mendatang, lanjut Marshall, praktek korupsi di
Indonesia akan semakin buruk, yang akan berpengaruh terhadap setiap proyek pembangunan,
termasuk investasi Bank Dunia dan donor lain.3              Lebih menyedihkan lagi bahwa pelaku
korupsi bukan hanya dilakukan oleh eksekutif, birokrat atau petugas pelayanan publik, tetapi
justru masuk ke lembaga legislative seperti DPR dan DPRD, setidaknya begitulah laporan
Tempo Interaktif, 16 September 2001.


                 Tabel 2. Rata-rata Jumlah Suap yang Dibayar oleh Perusahaan

  Lembaga Publik            Rata-rata       Jumlah                Jumlah           Rata-rata
                           jumlah suap      Minimun (Rp)         Maksimum            (Rp)
                                                                   (Rp)

Bea cukai                             9.6              5,000      30,000,000        1,184,571
Perdagangan dan                       3.3              7,000       5,000,000          475,634
Industri (perizinan)
Pajak                                 3.8              2,500     500,000,000        9,726,949
Polisi Lalu Lintas                    4,6              5,000       2,000,000           63,860
Sumber : Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan, 2002

         Meski korupsi hanyalah salah satu bentuk kejahatan dari beragam bentuk kejahatan
yang ada di dunia, namun paling tidak ini merupakan ukuran yang paling konkret tentang
rusaknya suatu sistem normatif yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang memang
berfungsi untuk mengatur (to govern).          Kehancuran suatu bangsa tentu dapat dilihat dari
hancurnya sistem ketatanegaraan, sebagaimana kehancuran kekaisaran Yunani dan Romawi di
Eropa.
         Lebih lanjut dilaporkan bahwa meski tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
korupsi4 dengan tingkat pendidikan, namun terdapat kecenderungan bahwa indeks korupsi
paling tinggi dilakukan oleh mereka yang bergelar Master atau lebih tinggi.


         3
          Lihat Kartherine Marshal, “Combating Coruption in Indonesia: Aide Memoire of The World Bank
Team, September 13-20, 1998” dalam http://www.worldbank.org dikunjungi Senin, 30 September 2002.
        4
          Diukur dari index korupsi, ditanyakan terhadap 1200 sampel rumahtangga, 400 sampel pengusaha dan
620 sampel lembaga publik, lihat : http// www.geocities.com.



                                                                                                        3
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan, mengingat individu yang berpendidikan tinggi
diharapkan memberikan teladan moral paling tinggi. Pertanyaannya adalah: 1) apa yang
seharusnya dilakukan agar kejahatan dan demoralisasi tidak semakin meluas?; 2) bagaimana
sistem pendidikan dan keilmuan itu sendiri seharusnya berkembang?; 3) bagaimana peran
keluarga dan sistem social kemasyarakatan dalam membentuk individu dan masyarakat yang
berkarakter mulia?



                                     Hubungan Antara Korupsi dengan Tingkat Pendidikan

                              0.7
                                                                                             0.57
   Indeks Rata-rata Korupsi




                              0.6
                              0.5
                              0.4
                              0.3
                              0.2       0.14
                              0.1                   -0.04          -0.12         -0.02

                                0
                                        SD-SMP




                                                    SMA




                                                                    Diploma




                                                                                 Sarjana




                                                                                              Master
                              -0.1
                              -0.2

                                                            Tingkat Pendidikan




                               Berdasarkan permasalahan itu maka paper ini disusun untuk menjawab beberapa tujuan
1) Menguraikan kelemahan dan peran ilmu pengetahuan dan institusi                                          pendidikan yang
       seharusnya terhadap sosialisasi nilai kebaikan.
2) Menguraikan kelemahan dan peran institusi keluarga dan sistem sosial kemayarakatan yang
       seharusnya bagi sosialisasi nilai kebaikan.

                                      II. PERAN ILMU DALAM PEMAHAMAN NILAI KEBAIKAN

                               Mengapa manusia berpendidikan (tinggi) di dunia tidak memiliki budaya malu? “Ilmu
berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond.                                           Paul Bond mengakui kehebatan ilmu dan
teknologi yang berkembang belakangan ini, khususnya industrialisasi Amerika Serikat. “Kita
dapat menikmati kebebasan dan kepuasan akibat revolusi sekularisme,” tulisnya. Namun ia
menyesali bahwa materialis telah menolak Tuhan, sekularis telah mengesampingkan Tuhan.
Dalam bukunya yang terdiri dari 14 bab, ia mengusulkan perlunya internalisasi nilai ke dalam



                                                                                                                        4
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menegaskan: “The complete secularization of science,
education, industry, and society in the West and East will lead to ultimate disaster.” 5
       Kehampaan nilai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi juga dirasakan Francis
Saunderaraj. Penulis yang aktivis gereja itu mengemukakan sejumlah isu yang dirasakan
manusia abad ke-20. Semangat pencerahan (enlightenment) yang muncul di Eropa sejak abad
ke-18, menurut Saunderaraj, telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan masyarakat hampa
nilai. Sebagai akibatnya, Sunderaraj menyesali terjadinya erosi nilai-nilai moral masyarakat,
termasuk di kalangan ilmuwan. Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatannya, karena
tiga alasan utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk
memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala
cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi
lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi
pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess
oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan
kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral.6 Karena itu, Saunderaraj dan
Bond menghendaki adanya proses internalisasi nilai pada sains dan teknologi.
       Teori-teori ilmiah hanya semata-mata hasil pengamatan manusia secara sistematis
terhadap realitas empiris tanpa ada pengaruh nilai. Itulah pandangan epistemologis yang
cenderung “antropo-sentrisme.” Epistemologi “antropo-sentrisme” Barat yang hampa nilai
telah gagal memanusiakan manusia, seperti dikritik Bond dan Saunderaraj. Rumusan-rumusan
empiris dalam bentuk teori, hukum, norma, dan etika yang semata-mata didasarkan pada
manusia menimbulkan berbagai kontradiksi, seperti kebebasan tanpa batas, kesenjangan
ekonomi, hedonistik dan yang semacamnya. Asumsi yang melahirkan teori bahwa manusia
merupakan makhluk ekonomi yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil mungkin melahirkan pola hidup hedonistik, mencari keuntungan dengan
menghalalkan segala cara.
       Berbeda dengan pola pikir sains yang bebas nilai, pola pikir rasional justru sarat nilai.
MM Ismail, seorang guru besar Universitas Mesir menyebutkan:



       5
            Paul Bond,     “Introduction” dalam Knowledge Without Wisdom, http://www.inspiredbooks.
net/kww.htm, visited October 1, 2002.
        6
          ibid


                                                                                                 5
“Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang
      sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra
      yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indra
      menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan
      menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut
      dinamakan pemikiran atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara
      langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindra maupun
      yang abstrak yang berkaiatan dengan pemikiran.”7

        Berbagai teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini, sebenarnya merupakan
pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau
pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki seseorang.                    Demikian halnya teori-teori yang
terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan
penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal
usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu.
Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail menegaskan, pola pikir
rasional terdiri dari: fakta empiris, benak manusia, panca indra, dan pengetahuan atau
informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional merupakan proses
pemindahan fakta empiris dan pengambilan keputusan atau sikap atas fakta berdasarkan
informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki.
        Epistemologi ilmu yang dibangun atas landasan nilai-nilai moral diharapkan akan
melahirkan perilaku yang sarat moral. Mereka memiliki profesionalisme yang tinggi dalam
bidang ilmu yang menjadi kajiannya, memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi dan
sangat malu melakukan pelanggaran moral. Mereka juga memiliki tanggung jawab sosial
dalam arti berusaha menghilangkan kejahatan dam ketidakadilan.8


                     III. PENDIDIKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
        Di Amerika aliran positivism telah merubah paradigma pendidikan yang mulai
menghilangkan pengajaran nilai moral kepada anak-anak, sehinga melahirkan budaya baru


        7
            MM Ismail, Al-Fikru el Islamy (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958) hal. 57
        8
          Yang perlu didiskusikan lebih lanjut ialah bagaimana rumusan nilai akan diinternalisasi terhadap proses
epistemologis. Paul Bond dan Suderaraj mengusulkan agar dilakukan internalisasi nilai-nilai religi terhadap proses
perumusan ilmu pengetahuan.        Jika kita sepakat akan melakukan internalisasi nilai religi, kita perlu
mendiskusikan lebih jauh mengenai bentuk dan pola nilai religi yang akan diinternalisasi.



                                                                                                                6
yang anti kemapanan, budaya materialism dan hedonistik yang tinggi.9 Kebingungan untuk
mengajarkan nilai-nilai siapa yang akan diajarkan (whose values should be taught?) juga
menjadi pertimbangan mereka mengingat masyarakat yang sangat heterogen
       Benson dan Engeman dalam bukunya Amoral America10 menjelaskan bahwa metode
pendidikan bangsa Amerika pada tahun 1960-an, saat aliran positivism dan kemajuan ilmu dan
teknologi demikan pesat, justru telah melahirkan tingkat demoralisasi yang demikian tinggi
yang diukur dari tingginya tingkat perceraian, angka aborsi, angka penderita penyakit akibat
hubungan seksual, tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum remaja, berkali-kali lipat
selama 3 dekade hingga tahun 1990-an. Kemerdekaan pendapat dan kebebasan hak asasi
manusia yang begitu tinggi juga telah membentuk struktur masyarakat Amerika baru, karena
saat dinyatakan dewasa (berdasarkan usia), individu bebas menentukan hidupnya sendiri.
       Namun kesadaran akan pentingnya sosialisasi nilai pada bangsa Amerika saat ini
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka kriminalitas dan demoralisasi bangsa
Amerika.11 Pada masa pemerintahan Presiden Clinton pada tahun 1997 State of the Union
Address menekankan pentingnya pendidikan moral sebagai point utama dalam reformasi
pendidikan di Amerika.12 Kesadaran bangsa Amerika tentang pentingnya pendidikan moral
dan perlunya sosialisasi nilai mematahkan teori tentang nilai kebaikan yang sebelumnya
dianggap merupakan pelanggaran dan pemaksaan terhadap hak asasi manusia Amerika yang
sangat mengedepankan kebebasan dan kemerdekaan berpendapat. .
       Sejak tahun 1990-an dimulailah apa yang disebut pengajaran nilai kebaikan universal
(the golden rule) di Amerika yaitu nilai-nilai kebaikan dan kebajikan manusia yang melewati
batas budaya, etnik dan agama, yang dijadikan acuan dalam mendidik anak-anak dan kaum
remaja sebagai warga negara dan individu yang baik (be a good citizens). Terdapat enam nilai
yang dijadikan acuan dan dianggap universally valid yaitu (1) kepercayaan (trustworthiness),
(2) saling menghargai (respect), (3) bertanggungjawab (responsibility), (4) adil (fairness), (5)
kasih sayang (caring) dan (6) kewarganegaraan (citizenship).13        Hal ini memperlihatkan

       9
           Lihat Lickona, Raising Good Children…. (1984)



       10
          Lihat Kilpatrick
       11
          lihat Kilpatrick dan Lickona
       12
          Berkowitz (1997)
       13
          lihat Lickona (1992), Berkowitz (1997)


                                                                                              7
kepercayaan bangsa Amerika yang tinggi terhadap pentingnya tata nilai yang bersifat abstrak
dan tidak nyata yang sekaligus menunjukkan pula bahwa dalam pemahaman terhadap esensi
manusia dan harkat manusia, maka budaya, agama dan ras merupakan simbol yang mewarnai
manusia, namun intinya adalah pada kemanusiaan manusia (humanity) itu sendiri.
       Sekolah adalah institusi sosial -- selain keluarga -- yang mempunyai pengaruh kuat
untuk menanamkan dan menumbuhkan kekuatan moral manusia (Lickona, 1992) mulai masa
usia sekolah hingga usia dewasa. Jarrett (dalam Syamsuhidajat 1998) menjelaskan bahwa
pendidikan tata nilai di sekolah seharusnya lebih ditekankan pada pentingnya latihan, sikap dan
praktek sejalan dengan kewajiban untuk terus menerus mengembangkan diri ke tingkat
kesadaran diri yang lebih tinggi. Hidayat (2001) menyatakan bahwa pola pendidikan yang ideal
harus menyesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan psikologi anak (psikososial, kognitif
dan moral), serta memperhatikan pengembangan kecerdasan emosional (EQ) dan moral di
samping pengembangan kecerdasan kognitif. Kecerdasan emosional merupakan landasan
perkembangan kepribadian seseorang, dimana kemampuan mengelola dan mengendalikan
emosi dilatih untuk dikuasai oleh setiap individu.
       Dalam praktek pendidikan di Indonesia, kecerdasan emosional lebih besar porsinya
(dalam kurikulum) pada jenjang pendidikan TK dan SD, dan berkurang pada SLTP dan SMU,
serta mencapai porsi minimal pada pendidikan di Perguruan Tinggi.           Selama ini sistem
pendidikan kita terlanjur lebih menekankan keberhasilan penguasaan intelektual (Intelligence
Quotient atau IQ) tanpa diimbangi keseimbangan emotional quotient (EQ),                padahal
keberhasilan IQ tanpa EQ menyebabkan individu mengalami kekurangan, antara lain, dalam
pengelolaan dan pengendalian emosi, pembinaan hubungan sosial, empati, dan ketekunan.
Faktor-faktor tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan karir kelak ketika dewasa.
Beberapa literatur menyebutkan kualitas emosi yang penting dikembangkan dalam
menanamkan nilai-nilai kebaikan ialah: 1) kemampuan empati; 2) memahami perasaan sendiri;
3) mengungkapkan perasaan; 4) mengendalikan amarah; 5) kemandirian; 6) kemampuan
menyesuaikan diri; 7) memecahkan masalah antar pribadi; 8) kesetiakawanan; 9) keramahan;
10) kejujuran; 11) menghormati orang lain; dan 12) menumbuhkan rasa tanggung jawab.
       Dengan pola pendidikan yang menyelaraskan perkembangan IQ dan EQ diharapkan
dapat menghasilkan manusia-manusia yang berilmu pengetahuan, beretika moral, berahlak,




                                                                                             8
menjunjung tinggi martabat manusia dan berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah
dan pendidikan umumnya harus menjadi wahana agar individu mengetahui kebaikan,
merasakan kebaikan dan menjalankan kebaikan, melalui latihan yang terus menerus sepanjang
rentang pendidikan itu berlangsung. Jika tidak, maka sekolah (betapapun tingginya) hanya
menjadi tempat untuk mengetahui (to achieve knowledge, not wisdom).
       IV. KELUARGA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER INDIVIDU
       Menurut Patrick Fagan, dan Dana Mack14 kehancuran moral bangsa Amerika saat ini
berhubungan dengan lemahnya institusi keluarga Amerika dalam menanamkan nilai-nilai
kebaikan. Munculnya fenomena single parent family, unmarried family, cohabitation family,
dan lain-lain di Amerika telah melemahkan fungsi orangtua dalam mendidik dan mengajarkan
nilai kebaikan.      Nilai penghormatan hak asasi manusia yang demikian tinggi pada bangsa
Amerika secara langsung maupun tidak langsung telah memperlemah otoritas orangtua
terhadap anak-anaknya. Bahkan Dana Mack mengulas peran media massa dalam merubah
tatanan nilai-nilai dalam keluarga.
       Apa yang terjadi pada bangsa Indonesia?               Apakah keluarga telah menjadi lemah
perannya dalam sosialisasi nilai kebaikan sehingga tidak dapat menciptakan individu
bermoral? Keluarga Indonesia mulai periode tahun 70-an berada pada tahap transisi dari
keluarga tradisional (traditional directed) menjadi keluarga modern (inner directed), dimana
terdapat perbedaan sangat besar dalam hal penghormatan terhadap hak otoritas orangtua, nilai
anak, sistem kekerabatan, kepatuhan (obedience) terhadap kerabat, kesesuaian dan keserasian
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta kebebasan individual. Pada keluarga
modern yang berlaku adalah kebebasan individual dan kemerdekaan untuk berpendapat dimana
hak-hak individu, termasuk hak anak, amat dihargai.
       Ciri keluarga modern lainnya adalah tingginya partisipasi wanita pada dunia kerja yang
sekaligus menggeser fungsi ibu dalam mengasuh anak-anak (parenting). Angka partisipasi
perempuan Indonesia di dunia publik saat ini telah mencapai sekitar 30-40 persen, dan
mungkin akan meningkat lagi seiring meningkatnya pendidikan kaum perempuan. Jika 40
persen saja dari jumlah tersebut merupakan ibu maka dapat dibayangkan jumlah ibu yang juga
bekerja di luar rumah. Dimasukkannya anak ke sekolah secara dini juga menjadi pemicu
melemahnya ikatan emosi (emotional bonding) ibu dan anak, yang merupakan masa penting

       14
            Dana Mack: The Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the Family?


                                                                                              9
bagi terbentuknya kualitas diri manusia.
       Meski kelemahan institusi keluarga bukan hanya terletak pada ibu, namun pengetahuan
tentang bagaimana pengasuhan yang tepat menjadi amat penting bagi ibu dan keluarga pada
era globalisasi saat ini. Karena penelitian di Amerika dan beberapa negara di Afrika seperti
dibuktikan oleh Ainsworth15 menunjukkan adanya kaitan antara pengasuhan yang tepat
(securely attached) dengan tumbuhnya anak-anak yang otonom dan mandiri.
       Penelitian longitudinal Conger juga memperlihatkan bahwa anak-anak yang anti sosial,
yaitu anak remaja yang terlibat pada kecanduan narkoba, alkohol dan perkelahian antar geng,
adalah anak-anak yang diasuh secara kasar (harsh and strict parenting atau disebut juga inept
parenting), dan faktor pengasuhan ini amat dominan melebihi faktor perceraian (divorce) dan
ketidakstabilan ekonomi keluarga (economic hardship atau poverty).
      Keluarga juga merupakan institusi dasar (fundamental unit of society) yang dapat
menjalankan peran fungsional dan ekspresif-nya dalam membentuk individu melalui proses
sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya16, yang telah terbukti dapat melahirkan anak-
anak yang lebih bertanggungjawab (responsible), mandiri, kreatif, hormat (respect to others).
Menurut Berger dan Berger hanya dalam keluargalah dapat                  diciptakan moral demokrasi
pada individu yang saling menghargai (respect to others)17 yaitu keluarga yang penuh cinta,
kasih sayang dan kehangatan pada anak-anak sepanjang rentang kehidupannya hingga dewasa.
       Dengan demikian keluarga amat berperanan dalam mensosialisasi nilai-nilai kebaikan
kepada individu muda (young generations) dalam membentuk karakter yang mulia pada masa
depan kelak. Secara jelas McCleland18 menulis bahwa praktek pengasuhan anak dalam
keluarga merupakan masa penting yang dapat membentuk kematangan dan kedewasaan
seorang individu melalui proses pengasuhan yang penuh cinta:
       "So parents also need faith-faith that loving and believing in their children will
       promote maturity in the long run, even though in the short run the children may
       show less moral, decent behavior than they might like"

       Bahkan Erich Neuman dalam bukunya The Child menulis dengan indahnya tentang
peran ibu mulai masa pre natal (intra uterine phase) hingga tahun pertama kehidupan anak,
dalam menjadikan anak-anak yang dapat membentuk diri sebagai manusia sempurna dengan
       15
          Lihat Robert Karen, Becoming Attached
       16
          lihat Berger and Berger (1984), Dana Mack (1990), Schikendanz (1995)
       17
          Berger and Berger, (1984) The War over the Family, (New York: Anchor Book, 1984)
       18
          McCleland, D., Motives, Personality and Society (New York: PRAEGER, 1984)


                                                                                                10
human dignity, yaitu manusia yang mampu mencapai dirinya (the self) dan meninggalkan
egonya (the ego).     Bagi Sachiko Murata,19 individu yang paling tinggi moralnya adalah
mereka yang telah sampai pada cahaya (the self) dan meninggalkan kegelapan (darkness),
dimana tidak terjadi perbedaan (undifferentiated) antara diri manusia dengan sinar ilahiah.



                V. PERAN SISTEM SOSIAL KEMASYARAKATAN
       Ketika berbicara tentang peran sosial kemasyarakatan maka perlu dicermati bahwa
manusia adalah sebuah sistem yang kompleks yang hidup sebagai bagian dari keluarga dan
masyarakat dimana ia berada (socially living being). Sebagai salah satu makhluk Tuhan
manusia diberikan keunggulan pada kemampuan akal dan conscience yang tidak dimiliki
makhluk hidup lain di bumi. Menurut Plato,20            manusia terdiri atas 3 bagian yaitu kepala
(akal), dada (emosi dan semangat), perut (nafsu) yang memperlihatkan hierarki dan struktur
dalam tubuh organik manusia. Bagi Plato ketiga aspek ini harus diseimbangkan sehingga
terjadi harmoni dan terbentuk manusia yang sempurna. Dalam tataran negara maka struktur
juga harus terdiri atas tiga bagian yaitu penguasa (rulers), para asistennya (auxiliaries) dan
para pekerja (laborers). Struktur ini selanjutnya menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya
dengan baik melalui pembagian kerja (division of labor), dan kepercayaan (common beliefs)
yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan.
       Menurut Megawangi (2000) masyarakat dengan sistem yang mengimplementasikan
tataran struktural fungsional adalah suatu sistem yang dipandang paling ideal dan selaras
dengan nilai dasar kemanusian, yang seperti dikatakan Plato terdiri atas 3 bagian yang saling
berinteraksi.   Menurutnya, teori ini merupakan cikal bakal dari sistem kapitalisme dalam
sebuah negara, seperti yang dipraktekkan Amerika atau Singapura sebagai contoh.21 Namun
sekali lagi warna sistem tata negara ini untuk meraih kemajuan merupakan bagian dari budaya
masyarakat, sehingga sistem yang sama akan dilaksanakan berbeda misalnya antara di
Amerika dengan di Singapura. Seperti dikatakan Parsons, terdapat hubungan antar sistem
sosial yang memberikan warna yaitu budaya, struktur sosial, karakter dan organisme, yang
melalui interaksinya dengan subsistem-subsistem tersebut maka keluarga berfungsi untuk

       19
          Sachiko Murata: The Tao of Islam dalam Megawangi: Membiarkan Berbeda?
       20
          Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda (Jakarta: Mizan, 1999) hal.57.
       21
          lihat Lu Ding


                                                                                               11
memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state).22
       Ketika melakukan internalisasi nilai-nilai moral terhadap proses perumusan teori-teori
sosial ekonomi dan pembangunan, misalnya, hal ini akan membentuk individu-individu
terpelajar memiliki tanggung          jawab moral. Konsep “homo-economicus” barangkali akan
berubah menjadi ekonomi yang berkeadilan. Manusia tidak akan menghalalkan segala cara
demi alasan ekonomi. Ukuran keberhasilan bukan hanya mencapai posisi tertentu yang diukur
dengan perolehan materi melainkan kemampuan melakukan aktualisasi diri dalam bentuk
usaha-usaha yang didasarkan pada tanggung jawab sosial.
       Hanya saja, setiap individu yang memiliki tanggung jawab moral akan berhadapan
dengan realitas "ketidakadilan." Ia harus hidup sederhana di tengah-tengah kemewahan para
birokrat korup, ia pun harus menyaksikan kekayaan alam yang dimiliki negerinya jatuh ke
pihak lain tanpa dapat melakukan tindakan apa pun, dan ketika berhadapan dengan public
service, ia pun harus melakukan perbuatan “curang” melayani birokrat korup. Ketika
melakukan transaksi – dalam dunia akademis sekalipun – ia terpaksa harus melakukan
kecurangan dengan membayar komisi kepada birokrat yang kebetulan memegang posisi
tertentu. Hal ini akan memaksa individu untuk hidup pada dua dimensi, yakni dimensi
kejujuran dan tanggung jawab moral dengan dimensi realitas yang penuh ketidakadilan.
       Karena itu, pengembangan teori-teori sosial, ekonomi, dan pembangunan harus
didukung oleh sebuah sistem yang kondusif. Pengelolaan sumber daya alam harus
memungkinkan tercapainya keadilan distributif. Pertumbuhan ekonomi harus didesain
sedemikian rupa agar mencapai pemerataan. Hasrat seseorang untuk memiliki dan
mengembangkan harta melalui dunia usaha harus diaktualisasikan agar memungkinkan bagi
seseorang memperoleh kekayaan sebanyak mungkin dengan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan tanggung jawab moral. Laju inflasi harus terkontrol agar kehidupan masyarakat tidak
selalu tertekan. Harga-harga kebutuhan pokok harus terkendali agar dapat dicapai dengan
mudah dan dengan harga murah, dan disinilah pemerintah (the true clean and good
government) berperan. Sementara dunia pendidikan diharapkan tidak menjadi komoditas yang
semakin mahal dan menisbikan nilai moral dan karakter dalam membentuk anak didiknya.
Demikian pula keluarga harus didukung sedemikian rupa agar memahami benar bahwa
keluarga dan terutama ibu merupakan individu paling bertanggungjawab dalam menciptakan

       22
            Talcott Parsons (1902-1979) dalam Megawangi, hal 61-69


                                                                                          12
anak-anak bermoral saat ini dan individu dewasa bermoral di masa depan.
       Dalam kondisi demikian, hukum harus dirumuskan menjadi sesuatu yang pasti dan
berlaku bagi siapa pun tanpa kecuali (law enforcement). Masyarakat harus memungkinkan
melakukan kontrol sosial terhadap mekanisme kekuasaan. Penguasa pun tidak alergi terhadap
kritik. Setiap individu dalam masyarakat harus mendapat penghargaan tertentu. Mereka harus
hidup dalam suasana yang diwarnai semangat equal opportunity untuk menikmati sumber daya
alam. Ilmuan dan kaum terpelajar harus dihargai sedemikian rupa ketika mereka melakukan
proses-proses ilmu pengetahuan, sehingga akan terangsang melakukan penelitian ilmiah.
       Secara lebih kongkrit, Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia
(2002) mengusulkan beberapa pembaharuan untuk mengatasi korupsi. Pertama, pembaharuan
lembaga pegawai negeri, meliputi: mengurangi sistem patronase pejabat pemerintahan,
perbaikan pelayanan umum yang rawan korupsi, audit operasional, perekrutan profesional,
sistem evaluasi kinerja, tata pemerintahan yang transparan dan akuntabilitas. Kedua,
Pembaharuan bidang hukum, meliputi: peundang-undangan, kualitas para profesional,
pembentukan komisi keadilan, serta informasi dan publikasi berbagai kasus kriminalitas.
Ketiga, pengembangan pendidikan bagi warga negara, meliputi hak dan kewajiban warga
negara dan sistem nilai dan moral yang perlu dikembangkan. Keempat, pembaharuan lain,
meliputi: sektor keuangan (UU perbankan dan bank sentral), politik (khusus mengenai
pencegahan politik uang), dan otonomi daerah.
       Lalu, yang menjadi persoalan: siapakah yang akan memulai, terutama ketika suasana
sosial, politik dan ekonomi tidak berada dalam kondisi ideal? Seperti dikatakan Harefa (2001),
guru (termasuk ilmuwan) adalah individu paling tinggi derajatnya, dan ia harus memiliki
semangat untuk memberikan teladan dan        melakukan perubahan, walaupun hal ini tidak
mudah. Mereka harus mampu menjadi perintis dalam merumuskan kondisi ideal yang bersifat
praktis dan memberikan kontribusi bagi terciptanya individu berkarakter mulia, sehinga pada
akhirnya dapat membentuk keluarga bermutu, dan masyarakat yang maju.


                                       VI. PENUTUP

       Tulisan ini merupakan hasil tinjauan atau pendapat teoritis dari beberapa ilmuwan dan
ahli tentang bagaimana masing-masing elemen: keilmuan, keluarga, pendidikan dan sosial




                                                                                           13
kemasyarakatan dapat saling berkontibusi terhadap terbentuknya moral dan kebajikan dalam
masyarakat.
       Peran ilmu dalam pemahaman nilai-nilai kebaikan tentu tidak terlalu ampuh jika tidak
ada sistem yang mendukung. Sinergi antara pertahanan internal individu yang mengedepankan
human dignity dan nilai kebaikan universal, dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi dan
hukum akan menjadi pertahanan yang ampuh untuk tidak melakukan berbagai bentuk
kejahatan. Setiap individu akan merasa sangat malu terhadap dirinya untuk menyalahgunakan
wewenang atau melakukan kejahatan sekecil apapun, karena individu yang paling tinggi moral
dan derajatnya adalah individu yang telah mampu menaklukkan egonya dan menuju kepada
kedirian (the self) sebagai manusia sejati, yaitu manusia yang berbuat kebaikan (atau tidak
berbuat kejahatan) karena keberadaan orang lain semata, tetapi manusia sejati adalah manusia
yang telah menjadi dirinya sendiri: you are what you are when no body else see you, ia berbuat
kebaikan demi kebaikan semata.



                                   DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqyuddin. At-Tafkir (Beirut: Darul Ummat, 1973)

Anonim, “Ramai-Ramai Menambang Hibah di Senayan,” Tempo Interaktif No. 28/XXX/10 –
    16 Septemebr 2001 dalam http://www.tempo.co.id dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002.

Anonim, “Indonesia Negara Paling Korup di Asia,” Angin                          Surga   dalam
    http://www.surga.org/korup.html dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002.

Berkowitz, M.W., The Education of the Complete Moral Person (1998).

Berger and Berger, The war over The Family ( New York: Anchor Books, 1984)

Bond, Paul. “Introduction” dalam Knowledge Without                    Wisdom,     http://www.
     inspiredbooks.net/kww.htm, visited October 1, 2002.

Fagan, P.F., The Real Root Causes of Violent Crime; the Breakdown of Mariage, Family and
     Community (1995).

Harefa, A., Menjadi Manusia Pembelajar (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002)

Husein Abdullah, Muhamamd, Ad-Dirosah fi fikril Islamy (Aman: Darul Bayariq, 1995).

Ismail, Muhammad-Muhammad, Al-Fikrul Islami (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958);


                                                                                           14
Karen, R., “Becoming Attached,” The Atlantic Monthly, February, 1990.

Katherine Marshall, “Combating Corruption in Indonesia: Aide Memoire of The Wolrd Bank
     Team, September 13-20, 1998 dalam http://www.worldbank.org visited September 30,
     2002.

Kilpatrick, W., Why Johny can't Tell Right from Wrong (New York: Simon and Schuster Inc.,
     1992)

Kunczik, M., Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986)

Lickona, T., Educating for Character: How Our School can Teach Respect and Responsibility
     (New York Bantam Books.,1992)

________. Raising Good Children: From Birth through the Teenage Years            (New York:
     Bantam books., 1994)

Lu Ding., Public Policies and Social Harmony; the Case of Singapore. (1992)

Megawangi, R., Membiarkan Berbeda?          Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.
    (Bandung: Pustaka Mizan, 1999).

Mutidjo, M. “Poverty and Corruption in Indonesia”                       dalam    http://www.
     stolaf.edu/cis/wp/mutidjo dikunjungi Senin, 30 September 2002.

Saunderaraj, Francis. “Girding up For Mission in Asia in the 21st Century,” Evangelical
     Mission Quarterly dalam http://www.wheaton.edu/bgc/1999/girding.html visited October 1,
     2002.

Schikendanz, J., Family Socialization and Academic Achievement (Boston University Press,
     1995)

Sjamsuhidayat, R., “Beberapa Aspek Pendidikan Sikap dan Tingkah Laku pada Program
     Pendidikan Dokter Indonesia.” (Jakarta: Modul Kuliah Fakultas Kedokteran Universitas
     Indonesia, 1998)

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: UI Press, 1999).

Suriasumantri J.S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988)

Tjokronegoro, A., “Prilaku Ilmiah dalam Kedokteran dan Etika-Moral Kesarjanaan,”
     Lokakarya dan Pelatihan Modul Empathy in Communication Related to Patient Care
     (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002)




                                                                                             15
Uchida, Eriko. “Corruption in Indonesia Sustained by Political       Ties”   dalam
     http://www.geocities.com dikunjungi Senin, 30 September 2002.




                                                                               16

Weitere ähnliche Inhalte

Ähnlich wie Group3 123

FAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.ppt
FAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.pptFAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.ppt
FAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.pptAnggaWinata5
 
sosiologi agama
sosiologi agamasosiologi agama
sosiologi agamabycycle
 
Paper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdf
Paper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdfPaper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdf
Paper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdfMUSAWAL MAJID
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiYuni Sist
 
Membangun Budaya Anti Korupsi
Membangun Budaya Anti KorupsiMembangun Budaya Anti Korupsi
Membangun Budaya Anti KorupsiElviaHakim
 
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Eccky Eccky
 
Analisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi V
Analisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi VAnalisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi V
Analisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi VFiqri Fadilah
 
Kewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit Politik
Kewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit PolitikKewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit Politik
Kewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit Politiknoussevarenna
 
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaMakalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaARY SETIADI
 
Mengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan Karakter
Mengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan KarakterMengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan Karakter
Mengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan KarakterAfrils
 
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya MutuTransformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya MutuTri Widodo W. UTOMO
 
MAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINAN
MAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINANMAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINAN
MAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINANPandawa Sheet
 
Kb 2 penyebab-orang-korupsi
Kb 2 penyebab-orang-korupsiKb 2 penyebab-orang-korupsi
Kb 2 penyebab-orang-korupsiImam Sarwo Edi
 
Tugas Akuntansi Pemerintah - Analisis Berita
Tugas Akuntansi Pemerintah - Analisis BeritaTugas Akuntansi Pemerintah - Analisis Berita
Tugas Akuntansi Pemerintah - Analisis BeritaRobyRenaldi
 
Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...
Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...
Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...Rizky Faisal
 

Ähnlich wie Group3 123 (20)

FAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.ppt
FAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.pptFAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.ppt
FAKTOR_PENYEBAB_KORUPSI.ppt
 
sosiologi agama
sosiologi agamasosiologi agama
sosiologi agama
 
Makalah sosiologi korupsi
Makalah sosiologi korupsiMakalah sosiologi korupsi
Makalah sosiologi korupsi
 
Paper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdf
Paper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdfPaper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdf
Paper Keuangan Negara_Musawal Majid Mustafa.pdf
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
 
Membangun Budaya Anti Korupsi
Membangun Budaya Anti KorupsiMembangun Budaya Anti Korupsi
Membangun Budaya Anti Korupsi
 
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
 
Analisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi V
Analisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi VAnalisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi V
Analisis Kasus Penyimpangan Korupsi Anggota DPR Komisi V
 
Kewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit Politik
Kewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit PolitikKewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit Politik
Kewarganegaraan_Makalah Korupsi Dikalangan Elit Politik
 
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaMakalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
 
Pengidentifikasian Masalah Sosial
Pengidentifikasian Masalah SosialPengidentifikasian Masalah Sosial
Pengidentifikasian Masalah Sosial
 
Mengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan Karakter
Mengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan KarakterMengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan Karakter
Mengatasi Fenomena Korupsi Melalui Pendidikan Karakter
 
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya MutuTransformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
 
MAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINAN
MAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINANMAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINAN
MAKALAH UPAYA MENGENTAS KEMISKINAN
 
Kb 2 penyebab-orang-korupsi
Kb 2 penyebab-orang-korupsiKb 2 penyebab-orang-korupsi
Kb 2 penyebab-orang-korupsi
 
Tugas Akuntansi Pemerintah - Analisis Berita
Tugas Akuntansi Pemerintah - Analisis BeritaTugas Akuntansi Pemerintah - Analisis Berita
Tugas Akuntansi Pemerintah - Analisis Berita
 
Panca no 1
Panca no 1Panca no 1
Panca no 1
 
Anti korupsi
Anti korupsiAnti korupsi
Anti korupsi
 
kenakalan remaja
kenakalan remaja kenakalan remaja
kenakalan remaja
 
Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...
Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...
Catatan akhir tahun 2013 “kapitalisme liberalisme pembunuh rakyat, sekularism...
 

Mehr von Ahmad Wahyudin Rock'n Roll

Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-nJiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-nAhmad Wahyudin Rock'n Roll
 
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...Ahmad Wahyudin Rock'n Roll
 
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinahAhmad Wahyudin Rock'n Roll
 

Mehr von Ahmad Wahyudin Rock'n Roll (20)

Uugd
UugdUugd
Uugd
 
Pennas
PennasPennas
Pennas
 
Karakteristik sekolah efektif
Karakteristik sekolah efektifKarakteristik sekolah efektif
Karakteristik sekolah efektif
 
Panduan evaluasi pembelajaran
Panduan evaluasi pembelajaranPanduan evaluasi pembelajaran
Panduan evaluasi pembelajaran
 
Pakem
PakemPakem
Pakem
 
Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
 
Media pembelajaran
Media pembelajaranMedia pembelajaran
Media pembelajaran
 
Katalog
KatalogKatalog
Katalog
 
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-nJiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
 
Gapura basa smp ix
Gapura basa smp ixGapura basa smp ix
Gapura basa smp ix
 
Dkv02040102
Dkv02040102Dkv02040102
Dkv02040102
 
Dgggfg
DgggfgDgggfg
Dgggfg
 
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
 
Artikel
ArtikelArtikel
Artikel
 
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
 
4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd
4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd
4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd
 
4.perencanaan desain pembelajaranff
4.perencanaan desain pembelajaranff4.perencanaan desain pembelajaranff
4.perencanaan desain pembelajaranff
 
3.konsep dasar desain_pembelajaranfff
3.konsep dasar desain_pembelajaranfff3.konsep dasar desain_pembelajaranfff
3.konsep dasar desain_pembelajaranfff
 
3.konsep dasar desain_pembelajarandffs
3.konsep dasar desain_pembelajarandffs3.konsep dasar desain_pembelajarandffs
3.konsep dasar desain_pembelajarandffs
 
Model pembelajaran
Model pembelajaranModel pembelajaran
Model pembelajaran
 

Kürzlich hochgeladen

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdf
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdfPETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdf
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdflucyanarahmi88
 
ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7
ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7
ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7vickrygaluh59
 
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptx
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptxPAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptx
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptxBintangDemarta1
 
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023BintangDemarta1
 
AMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketing
AMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketingAMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketing
AMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketingLhalNhiez1
 
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023woronotes
 
Info-perancangan-dan-pengembangan-produk
Info-perancangan-dan-pengembangan-produkInfo-perancangan-dan-pengembangan-produk
Info-perancangan-dan-pengembangan-produkKresnaSuputra1
 
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024woronotes
 
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptx
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptxANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptx
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptxrahmatraju03
 
PPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptx
PPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptxPPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptx
PPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptxAbdulGalib4
 

Kürzlich hochgeladen (10)

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdf
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdfPETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdf
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PESANTREN RAMADHAN 1445 H.pdf
 
ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7
ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7
ppt manajer pengelola bangunan gedung jenjang 7
 
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptx
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptxPAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptx
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI.pptx
 
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
 
AMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketing
AMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketingAMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketing
AMSI-Modul-Pelatihan-Daring -digital-marketing
 
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
Paparan Penyelenggaraan Program PT ASABRI (Persero) Tahun 2023
 
Info-perancangan-dan-pengembangan-produk
Info-perancangan-dan-pengembangan-produkInfo-perancangan-dan-pengembangan-produk
Info-perancangan-dan-pengembangan-produk
 
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024
PAPARAN MATERI PROGRAM ASABRI AI 20032024
 
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptx
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptxANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptx
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN Swasta dan BUMN.pptx
 
PPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptx
PPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptxPPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptx
PPT AKL 2-Pelaporan Segmen & Interim.pptx
 

Group3 123

  • 1. © 2002 Program Pasca Sarjana IPB Makalah Kelompok 3 Posted 7 November, 2002 Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor November 2002 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof Dr Zahrial Coto Dr Bambang Purwantara SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN: TINJAUAN TERHADAP PERAN ILMU, PENDIDIKAN, KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL Oleh: U. Maman Kh. (mamankh2002@yahoo.com), Tjahja Muhandri (tjahjamuhandri@yahoo.com), Dwi Hastuti (tutimartianto@yahoo.com), Meda Wahini (mwhanini@yahoo.com), N.L. Soeida S. (ironida@yahoo.com), Lisnawita (itamuis@eudoramil.com), Eliza S. Rusli (elizarusli2002@yahoo.com), Yunik Istikorini (yunik2002@hotmail.com), Susi Astuti (sussi_astuti@yahoo.com) , Medikasari (medikasari@yahoo.com), Rifda Naufalin(rifda_naufalin@yahoo.com) I. PENDAHULUAN Salah satu fenomena yang menonjol di Indonesia belakangan ini ialah banyaknya kejahatan, terutama korupsi, yang dilakukan kaum terpelajar (white collar crime) yang kebetulan menduduki posisi tertentu, baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan di kalangan pengelola perusahaan milik negara. Tingginya angka koprupsi di Indonesia dalam berbagai lini kehidupan telah menempatkan Indonesia sebagai negara tingkat korupsi paling tinggi dengan skor 9,92, sedangkan skor tertinggi untuk negara paling korup sebanyak 10. Demikian hasil survai PERC (Political and Economic Risk Consultancy) -- 1
  • 2. sebuah lembaga survai yang berpusat di Hong Kong -- tahun 2002 dengan melakukan wawancara terhadap 1000 orang ekspatriat dari berbagai Negara Asia. 1 Suatu sumber front nasional2 tentang kasus korupsi masa orde baru juga menyebutkan angka korupsi yang amat fantastis yang tersebar di berbagai lembaga pemerintahan. Meskipun belum dapat dibuktikan secara hukum dan belum dapat dimajukan ke persidangan, namun fakta bahwa telah terjadi korupsi di berbagai lembaga negara dirasakan semua pihak. Survey yang dilakukan oleh suatu lembaga independen di Jakarta menyebutkan bahwa bentuk korupsi oleh berbagai penyelenggara negara di Indonesia telah dirasakan dalam bentuk pembayaran tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh rumahtangga maupun perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Disebutkan dalam survey itu bahwa Badan Pertanahan Nasional merupakan lembaga publik yang paling rawan korupsi. Lebih menyedihkan lagi bahwa jumlah suap yang dibayar berbagai perusahaan ketika melakukan berbagai kepentingan dengan lembaga publik sangat beragam, dan menunjukkan betapa lembaga publik yang selayaknya menjadi lembaga pelayanan masyarakat telah berubah menjadi lembaga yang melakukan “pemerasan terselubung” terhadap semua pihak yang memerlukan jasanya. Tabel 1. Lembaga Publik Tempat Korupsi Paling Lazim LEMBAGA % Badan Petanahaan Nasional 24,0 Departemen Perindustrian dan Perdagangan 22,9 Departemen Kehutanan 20,0 Departemen Dalam Negeri 18,5 Sumber: Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan (2002) Tim Bank Dunia yang dipimpin Katherine Marshall – Direktur Bank Dunia untuk wilayah Asia dan Fasifik – dalam kunjungan ke Indonesia, menggambarkan bahwa korupsi 1 Indonesia berada pada urutan pertama negara paling korup dengan skor 9,92, disusul India (9,17), Vietnam (8,25), Filipina (8,0), Cina (7,00), Taiwan (5,83), Korea Selatan (5,75), Malaysia (5,71), Hong Kong (3,33), Jepang (3,25) dan Singapura (0,90). Lebih jelasnya lihat Anonim, “Indonesia Negara Paling Korup di Asia’” Angin Surga dalam http://www.surga.org/korup.html dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002. Lihta juga Eriko Uchida, “Corruption in Indonesia Sustained by Political Ties” dalam http://www.geocities.com dikunjungi Senin, 30 September 2002. 2 Lihat dalam htttp : // www.geocities.com/frontnasional/kasusorba.htm 2
  • 3. terjadi baik di sektor publik maupun sektor swasta, telah menyebar secara sistemik dan susah dibuktikan. Masyarakat akan berhadapan dengan praktek-praktek korupsi ketika mereka membutuhkan pelayanan publik. Di masa-masa mendatang, lanjut Marshall, praktek korupsi di Indonesia akan semakin buruk, yang akan berpengaruh terhadap setiap proyek pembangunan, termasuk investasi Bank Dunia dan donor lain.3 Lebih menyedihkan lagi bahwa pelaku korupsi bukan hanya dilakukan oleh eksekutif, birokrat atau petugas pelayanan publik, tetapi justru masuk ke lembaga legislative seperti DPR dan DPRD, setidaknya begitulah laporan Tempo Interaktif, 16 September 2001. Tabel 2. Rata-rata Jumlah Suap yang Dibayar oleh Perusahaan Lembaga Publik Rata-rata Jumlah Jumlah Rata-rata jumlah suap Minimun (Rp) Maksimum (Rp) (Rp) Bea cukai 9.6 5,000 30,000,000 1,184,571 Perdagangan dan 3.3 7,000 5,000,000 475,634 Industri (perizinan) Pajak 3.8 2,500 500,000,000 9,726,949 Polisi Lalu Lintas 4,6 5,000 2,000,000 63,860 Sumber : Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan, 2002 Meski korupsi hanyalah salah satu bentuk kejahatan dari beragam bentuk kejahatan yang ada di dunia, namun paling tidak ini merupakan ukuran yang paling konkret tentang rusaknya suatu sistem normatif yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang memang berfungsi untuk mengatur (to govern). Kehancuran suatu bangsa tentu dapat dilihat dari hancurnya sistem ketatanegaraan, sebagaimana kehancuran kekaisaran Yunani dan Romawi di Eropa. Lebih lanjut dilaporkan bahwa meski tidak terdapat hubungan yang signifikan antara korupsi4 dengan tingkat pendidikan, namun terdapat kecenderungan bahwa indeks korupsi paling tinggi dilakukan oleh mereka yang bergelar Master atau lebih tinggi. 3 Lihat Kartherine Marshal, “Combating Coruption in Indonesia: Aide Memoire of The World Bank Team, September 13-20, 1998” dalam http://www.worldbank.org dikunjungi Senin, 30 September 2002. 4 Diukur dari index korupsi, ditanyakan terhadap 1200 sampel rumahtangga, 400 sampel pengusaha dan 620 sampel lembaga publik, lihat : http// www.geocities.com. 3
  • 4. Kondisi ini tentu amat memprihatinkan, mengingat individu yang berpendidikan tinggi diharapkan memberikan teladan moral paling tinggi. Pertanyaannya adalah: 1) apa yang seharusnya dilakukan agar kejahatan dan demoralisasi tidak semakin meluas?; 2) bagaimana sistem pendidikan dan keilmuan itu sendiri seharusnya berkembang?; 3) bagaimana peran keluarga dan sistem social kemasyarakatan dalam membentuk individu dan masyarakat yang berkarakter mulia? Hubungan Antara Korupsi dengan Tingkat Pendidikan 0.7 0.57 Indeks Rata-rata Korupsi 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.14 0.1 -0.04 -0.12 -0.02 0 SD-SMP SMA Diploma Sarjana Master -0.1 -0.2 Tingkat Pendidikan Berdasarkan permasalahan itu maka paper ini disusun untuk menjawab beberapa tujuan 1) Menguraikan kelemahan dan peran ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan yang seharusnya terhadap sosialisasi nilai kebaikan. 2) Menguraikan kelemahan dan peran institusi keluarga dan sistem sosial kemayarakatan yang seharusnya bagi sosialisasi nilai kebaikan. II. PERAN ILMU DALAM PEMAHAMAN NILAI KEBAIKAN Mengapa manusia berpendidikan (tinggi) di dunia tidak memiliki budaya malu? “Ilmu berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond. Paul Bond mengakui kehebatan ilmu dan teknologi yang berkembang belakangan ini, khususnya industrialisasi Amerika Serikat. “Kita dapat menikmati kebebasan dan kepuasan akibat revolusi sekularisme,” tulisnya. Namun ia menyesali bahwa materialis telah menolak Tuhan, sekularis telah mengesampingkan Tuhan. Dalam bukunya yang terdiri dari 14 bab, ia mengusulkan perlunya internalisasi nilai ke dalam 4
  • 5. ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menegaskan: “The complete secularization of science, education, industry, and society in the West and East will lead to ultimate disaster.” 5 Kehampaan nilai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi juga dirasakan Francis Saunderaraj. Penulis yang aktivis gereja itu mengemukakan sejumlah isu yang dirasakan manusia abad ke-20. Semangat pencerahan (enlightenment) yang muncul di Eropa sejak abad ke-18, menurut Saunderaraj, telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan masyarakat hampa nilai. Sebagai akibatnya, Sunderaraj menyesali terjadinya erosi nilai-nilai moral masyarakat, termasuk di kalangan ilmuwan. Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatannya, karena tiga alasan utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral.6 Karena itu, Saunderaraj dan Bond menghendaki adanya proses internalisasi nilai pada sains dan teknologi. Teori-teori ilmiah hanya semata-mata hasil pengamatan manusia secara sistematis terhadap realitas empiris tanpa ada pengaruh nilai. Itulah pandangan epistemologis yang cenderung “antropo-sentrisme.” Epistemologi “antropo-sentrisme” Barat yang hampa nilai telah gagal memanusiakan manusia, seperti dikritik Bond dan Saunderaraj. Rumusan-rumusan empiris dalam bentuk teori, hukum, norma, dan etika yang semata-mata didasarkan pada manusia menimbulkan berbagai kontradiksi, seperti kebebasan tanpa batas, kesenjangan ekonomi, hedonistik dan yang semacamnya. Asumsi yang melahirkan teori bahwa manusia merupakan makhluk ekonomi yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin melahirkan pola hidup hedonistik, mencari keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Berbeda dengan pola pikir sains yang bebas nilai, pola pikir rasional justru sarat nilai. MM Ismail, seorang guru besar Universitas Mesir menyebutkan: 5 Paul Bond, “Introduction” dalam Knowledge Without Wisdom, http://www.inspiredbooks. net/kww.htm, visited October 1, 2002. 6 ibid 5
  • 6. “Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indra menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindra maupun yang abstrak yang berkaiatan dengan pemikiran.”7 Berbagai teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini, sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki seseorang. Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail menegaskan, pola pikir rasional terdiri dari: fakta empiris, benak manusia, panca indra, dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional merupakan proses pemindahan fakta empiris dan pengambilan keputusan atau sikap atas fakta berdasarkan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki. Epistemologi ilmu yang dibangun atas landasan nilai-nilai moral diharapkan akan melahirkan perilaku yang sarat moral. Mereka memiliki profesionalisme yang tinggi dalam bidang ilmu yang menjadi kajiannya, memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi dan sangat malu melakukan pelanggaran moral. Mereka juga memiliki tanggung jawab sosial dalam arti berusaha menghilangkan kejahatan dam ketidakadilan.8 III. PENDIDIKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER Di Amerika aliran positivism telah merubah paradigma pendidikan yang mulai menghilangkan pengajaran nilai moral kepada anak-anak, sehinga melahirkan budaya baru 7 MM Ismail, Al-Fikru el Islamy (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958) hal. 57 8 Yang perlu didiskusikan lebih lanjut ialah bagaimana rumusan nilai akan diinternalisasi terhadap proses epistemologis. Paul Bond dan Suderaraj mengusulkan agar dilakukan internalisasi nilai-nilai religi terhadap proses perumusan ilmu pengetahuan. Jika kita sepakat akan melakukan internalisasi nilai religi, kita perlu mendiskusikan lebih jauh mengenai bentuk dan pola nilai religi yang akan diinternalisasi. 6
  • 7. yang anti kemapanan, budaya materialism dan hedonistik yang tinggi.9 Kebingungan untuk mengajarkan nilai-nilai siapa yang akan diajarkan (whose values should be taught?) juga menjadi pertimbangan mereka mengingat masyarakat yang sangat heterogen Benson dan Engeman dalam bukunya Amoral America10 menjelaskan bahwa metode pendidikan bangsa Amerika pada tahun 1960-an, saat aliran positivism dan kemajuan ilmu dan teknologi demikan pesat, justru telah melahirkan tingkat demoralisasi yang demikian tinggi yang diukur dari tingginya tingkat perceraian, angka aborsi, angka penderita penyakit akibat hubungan seksual, tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum remaja, berkali-kali lipat selama 3 dekade hingga tahun 1990-an. Kemerdekaan pendapat dan kebebasan hak asasi manusia yang begitu tinggi juga telah membentuk struktur masyarakat Amerika baru, karena saat dinyatakan dewasa (berdasarkan usia), individu bebas menentukan hidupnya sendiri. Namun kesadaran akan pentingnya sosialisasi nilai pada bangsa Amerika saat ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka kriminalitas dan demoralisasi bangsa Amerika.11 Pada masa pemerintahan Presiden Clinton pada tahun 1997 State of the Union Address menekankan pentingnya pendidikan moral sebagai point utama dalam reformasi pendidikan di Amerika.12 Kesadaran bangsa Amerika tentang pentingnya pendidikan moral dan perlunya sosialisasi nilai mematahkan teori tentang nilai kebaikan yang sebelumnya dianggap merupakan pelanggaran dan pemaksaan terhadap hak asasi manusia Amerika yang sangat mengedepankan kebebasan dan kemerdekaan berpendapat. . Sejak tahun 1990-an dimulailah apa yang disebut pengajaran nilai kebaikan universal (the golden rule) di Amerika yaitu nilai-nilai kebaikan dan kebajikan manusia yang melewati batas budaya, etnik dan agama, yang dijadikan acuan dalam mendidik anak-anak dan kaum remaja sebagai warga negara dan individu yang baik (be a good citizens). Terdapat enam nilai yang dijadikan acuan dan dianggap universally valid yaitu (1) kepercayaan (trustworthiness), (2) saling menghargai (respect), (3) bertanggungjawab (responsibility), (4) adil (fairness), (5) kasih sayang (caring) dan (6) kewarganegaraan (citizenship).13 Hal ini memperlihatkan 9 Lihat Lickona, Raising Good Children…. (1984) 10 Lihat Kilpatrick 11 lihat Kilpatrick dan Lickona 12 Berkowitz (1997) 13 lihat Lickona (1992), Berkowitz (1997) 7
  • 8. kepercayaan bangsa Amerika yang tinggi terhadap pentingnya tata nilai yang bersifat abstrak dan tidak nyata yang sekaligus menunjukkan pula bahwa dalam pemahaman terhadap esensi manusia dan harkat manusia, maka budaya, agama dan ras merupakan simbol yang mewarnai manusia, namun intinya adalah pada kemanusiaan manusia (humanity) itu sendiri. Sekolah adalah institusi sosial -- selain keluarga -- yang mempunyai pengaruh kuat untuk menanamkan dan menumbuhkan kekuatan moral manusia (Lickona, 1992) mulai masa usia sekolah hingga usia dewasa. Jarrett (dalam Syamsuhidajat 1998) menjelaskan bahwa pendidikan tata nilai di sekolah seharusnya lebih ditekankan pada pentingnya latihan, sikap dan praktek sejalan dengan kewajiban untuk terus menerus mengembangkan diri ke tingkat kesadaran diri yang lebih tinggi. Hidayat (2001) menyatakan bahwa pola pendidikan yang ideal harus menyesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan psikologi anak (psikososial, kognitif dan moral), serta memperhatikan pengembangan kecerdasan emosional (EQ) dan moral di samping pengembangan kecerdasan kognitif. Kecerdasan emosional merupakan landasan perkembangan kepribadian seseorang, dimana kemampuan mengelola dan mengendalikan emosi dilatih untuk dikuasai oleh setiap individu. Dalam praktek pendidikan di Indonesia, kecerdasan emosional lebih besar porsinya (dalam kurikulum) pada jenjang pendidikan TK dan SD, dan berkurang pada SLTP dan SMU, serta mencapai porsi minimal pada pendidikan di Perguruan Tinggi. Selama ini sistem pendidikan kita terlanjur lebih menekankan keberhasilan penguasaan intelektual (Intelligence Quotient atau IQ) tanpa diimbangi keseimbangan emotional quotient (EQ), padahal keberhasilan IQ tanpa EQ menyebabkan individu mengalami kekurangan, antara lain, dalam pengelolaan dan pengendalian emosi, pembinaan hubungan sosial, empati, dan ketekunan. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan karir kelak ketika dewasa. Beberapa literatur menyebutkan kualitas emosi yang penting dikembangkan dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan ialah: 1) kemampuan empati; 2) memahami perasaan sendiri; 3) mengungkapkan perasaan; 4) mengendalikan amarah; 5) kemandirian; 6) kemampuan menyesuaikan diri; 7) memecahkan masalah antar pribadi; 8) kesetiakawanan; 9) keramahan; 10) kejujuran; 11) menghormati orang lain; dan 12) menumbuhkan rasa tanggung jawab. Dengan pola pendidikan yang menyelaraskan perkembangan IQ dan EQ diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berilmu pengetahuan, beretika moral, berahlak, 8
  • 9. menjunjung tinggi martabat manusia dan berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah dan pendidikan umumnya harus menjadi wahana agar individu mengetahui kebaikan, merasakan kebaikan dan menjalankan kebaikan, melalui latihan yang terus menerus sepanjang rentang pendidikan itu berlangsung. Jika tidak, maka sekolah (betapapun tingginya) hanya menjadi tempat untuk mengetahui (to achieve knowledge, not wisdom). IV. KELUARGA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER INDIVIDU Menurut Patrick Fagan, dan Dana Mack14 kehancuran moral bangsa Amerika saat ini berhubungan dengan lemahnya institusi keluarga Amerika dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan. Munculnya fenomena single parent family, unmarried family, cohabitation family, dan lain-lain di Amerika telah melemahkan fungsi orangtua dalam mendidik dan mengajarkan nilai kebaikan. Nilai penghormatan hak asasi manusia yang demikian tinggi pada bangsa Amerika secara langsung maupun tidak langsung telah memperlemah otoritas orangtua terhadap anak-anaknya. Bahkan Dana Mack mengulas peran media massa dalam merubah tatanan nilai-nilai dalam keluarga. Apa yang terjadi pada bangsa Indonesia? Apakah keluarga telah menjadi lemah perannya dalam sosialisasi nilai kebaikan sehingga tidak dapat menciptakan individu bermoral? Keluarga Indonesia mulai periode tahun 70-an berada pada tahap transisi dari keluarga tradisional (traditional directed) menjadi keluarga modern (inner directed), dimana terdapat perbedaan sangat besar dalam hal penghormatan terhadap hak otoritas orangtua, nilai anak, sistem kekerabatan, kepatuhan (obedience) terhadap kerabat, kesesuaian dan keserasian dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta kebebasan individual. Pada keluarga modern yang berlaku adalah kebebasan individual dan kemerdekaan untuk berpendapat dimana hak-hak individu, termasuk hak anak, amat dihargai. Ciri keluarga modern lainnya adalah tingginya partisipasi wanita pada dunia kerja yang sekaligus menggeser fungsi ibu dalam mengasuh anak-anak (parenting). Angka partisipasi perempuan Indonesia di dunia publik saat ini telah mencapai sekitar 30-40 persen, dan mungkin akan meningkat lagi seiring meningkatnya pendidikan kaum perempuan. Jika 40 persen saja dari jumlah tersebut merupakan ibu maka dapat dibayangkan jumlah ibu yang juga bekerja di luar rumah. Dimasukkannya anak ke sekolah secara dini juga menjadi pemicu melemahnya ikatan emosi (emotional bonding) ibu dan anak, yang merupakan masa penting 14 Dana Mack: The Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the Family? 9
  • 10. bagi terbentuknya kualitas diri manusia. Meski kelemahan institusi keluarga bukan hanya terletak pada ibu, namun pengetahuan tentang bagaimana pengasuhan yang tepat menjadi amat penting bagi ibu dan keluarga pada era globalisasi saat ini. Karena penelitian di Amerika dan beberapa negara di Afrika seperti dibuktikan oleh Ainsworth15 menunjukkan adanya kaitan antara pengasuhan yang tepat (securely attached) dengan tumbuhnya anak-anak yang otonom dan mandiri. Penelitian longitudinal Conger juga memperlihatkan bahwa anak-anak yang anti sosial, yaitu anak remaja yang terlibat pada kecanduan narkoba, alkohol dan perkelahian antar geng, adalah anak-anak yang diasuh secara kasar (harsh and strict parenting atau disebut juga inept parenting), dan faktor pengasuhan ini amat dominan melebihi faktor perceraian (divorce) dan ketidakstabilan ekonomi keluarga (economic hardship atau poverty). Keluarga juga merupakan institusi dasar (fundamental unit of society) yang dapat menjalankan peran fungsional dan ekspresif-nya dalam membentuk individu melalui proses sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya16, yang telah terbukti dapat melahirkan anak- anak yang lebih bertanggungjawab (responsible), mandiri, kreatif, hormat (respect to others). Menurut Berger dan Berger hanya dalam keluargalah dapat diciptakan moral demokrasi pada individu yang saling menghargai (respect to others)17 yaitu keluarga yang penuh cinta, kasih sayang dan kehangatan pada anak-anak sepanjang rentang kehidupannya hingga dewasa. Dengan demikian keluarga amat berperanan dalam mensosialisasi nilai-nilai kebaikan kepada individu muda (young generations) dalam membentuk karakter yang mulia pada masa depan kelak. Secara jelas McCleland18 menulis bahwa praktek pengasuhan anak dalam keluarga merupakan masa penting yang dapat membentuk kematangan dan kedewasaan seorang individu melalui proses pengasuhan yang penuh cinta: "So parents also need faith-faith that loving and believing in their children will promote maturity in the long run, even though in the short run the children may show less moral, decent behavior than they might like" Bahkan Erich Neuman dalam bukunya The Child menulis dengan indahnya tentang peran ibu mulai masa pre natal (intra uterine phase) hingga tahun pertama kehidupan anak, dalam menjadikan anak-anak yang dapat membentuk diri sebagai manusia sempurna dengan 15 Lihat Robert Karen, Becoming Attached 16 lihat Berger and Berger (1984), Dana Mack (1990), Schikendanz (1995) 17 Berger and Berger, (1984) The War over the Family, (New York: Anchor Book, 1984) 18 McCleland, D., Motives, Personality and Society (New York: PRAEGER, 1984) 10
  • 11. human dignity, yaitu manusia yang mampu mencapai dirinya (the self) dan meninggalkan egonya (the ego). Bagi Sachiko Murata,19 individu yang paling tinggi moralnya adalah mereka yang telah sampai pada cahaya (the self) dan meninggalkan kegelapan (darkness), dimana tidak terjadi perbedaan (undifferentiated) antara diri manusia dengan sinar ilahiah. V. PERAN SISTEM SOSIAL KEMASYARAKATAN Ketika berbicara tentang peran sosial kemasyarakatan maka perlu dicermati bahwa manusia adalah sebuah sistem yang kompleks yang hidup sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat dimana ia berada (socially living being). Sebagai salah satu makhluk Tuhan manusia diberikan keunggulan pada kemampuan akal dan conscience yang tidak dimiliki makhluk hidup lain di bumi. Menurut Plato,20 manusia terdiri atas 3 bagian yaitu kepala (akal), dada (emosi dan semangat), perut (nafsu) yang memperlihatkan hierarki dan struktur dalam tubuh organik manusia. Bagi Plato ketiga aspek ini harus diseimbangkan sehingga terjadi harmoni dan terbentuk manusia yang sempurna. Dalam tataran negara maka struktur juga harus terdiri atas tiga bagian yaitu penguasa (rulers), para asistennya (auxiliaries) dan para pekerja (laborers). Struktur ini selanjutnya menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya dengan baik melalui pembagian kerja (division of labor), dan kepercayaan (common beliefs) yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan. Menurut Megawangi (2000) masyarakat dengan sistem yang mengimplementasikan tataran struktural fungsional adalah suatu sistem yang dipandang paling ideal dan selaras dengan nilai dasar kemanusian, yang seperti dikatakan Plato terdiri atas 3 bagian yang saling berinteraksi. Menurutnya, teori ini merupakan cikal bakal dari sistem kapitalisme dalam sebuah negara, seperti yang dipraktekkan Amerika atau Singapura sebagai contoh.21 Namun sekali lagi warna sistem tata negara ini untuk meraih kemajuan merupakan bagian dari budaya masyarakat, sehingga sistem yang sama akan dilaksanakan berbeda misalnya antara di Amerika dengan di Singapura. Seperti dikatakan Parsons, terdapat hubungan antar sistem sosial yang memberikan warna yaitu budaya, struktur sosial, karakter dan organisme, yang melalui interaksinya dengan subsistem-subsistem tersebut maka keluarga berfungsi untuk 19 Sachiko Murata: The Tao of Islam dalam Megawangi: Membiarkan Berbeda? 20 Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda (Jakarta: Mizan, 1999) hal.57. 21 lihat Lu Ding 11
  • 12. memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state).22 Ketika melakukan internalisasi nilai-nilai moral terhadap proses perumusan teori-teori sosial ekonomi dan pembangunan, misalnya, hal ini akan membentuk individu-individu terpelajar memiliki tanggung jawab moral. Konsep “homo-economicus” barangkali akan berubah menjadi ekonomi yang berkeadilan. Manusia tidak akan menghalalkan segala cara demi alasan ekonomi. Ukuran keberhasilan bukan hanya mencapai posisi tertentu yang diukur dengan perolehan materi melainkan kemampuan melakukan aktualisasi diri dalam bentuk usaha-usaha yang didasarkan pada tanggung jawab sosial. Hanya saja, setiap individu yang memiliki tanggung jawab moral akan berhadapan dengan realitas "ketidakadilan." Ia harus hidup sederhana di tengah-tengah kemewahan para birokrat korup, ia pun harus menyaksikan kekayaan alam yang dimiliki negerinya jatuh ke pihak lain tanpa dapat melakukan tindakan apa pun, dan ketika berhadapan dengan public service, ia pun harus melakukan perbuatan “curang” melayani birokrat korup. Ketika melakukan transaksi – dalam dunia akademis sekalipun – ia terpaksa harus melakukan kecurangan dengan membayar komisi kepada birokrat yang kebetulan memegang posisi tertentu. Hal ini akan memaksa individu untuk hidup pada dua dimensi, yakni dimensi kejujuran dan tanggung jawab moral dengan dimensi realitas yang penuh ketidakadilan. Karena itu, pengembangan teori-teori sosial, ekonomi, dan pembangunan harus didukung oleh sebuah sistem yang kondusif. Pengelolaan sumber daya alam harus memungkinkan tercapainya keadilan distributif. Pertumbuhan ekonomi harus didesain sedemikian rupa agar mencapai pemerataan. Hasrat seseorang untuk memiliki dan mengembangkan harta melalui dunia usaha harus diaktualisasikan agar memungkinkan bagi seseorang memperoleh kekayaan sebanyak mungkin dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan tanggung jawab moral. Laju inflasi harus terkontrol agar kehidupan masyarakat tidak selalu tertekan. Harga-harga kebutuhan pokok harus terkendali agar dapat dicapai dengan mudah dan dengan harga murah, dan disinilah pemerintah (the true clean and good government) berperan. Sementara dunia pendidikan diharapkan tidak menjadi komoditas yang semakin mahal dan menisbikan nilai moral dan karakter dalam membentuk anak didiknya. Demikian pula keluarga harus didukung sedemikian rupa agar memahami benar bahwa keluarga dan terutama ibu merupakan individu paling bertanggungjawab dalam menciptakan 22 Talcott Parsons (1902-1979) dalam Megawangi, hal 61-69 12
  • 13. anak-anak bermoral saat ini dan individu dewasa bermoral di masa depan. Dalam kondisi demikian, hukum harus dirumuskan menjadi sesuatu yang pasti dan berlaku bagi siapa pun tanpa kecuali (law enforcement). Masyarakat harus memungkinkan melakukan kontrol sosial terhadap mekanisme kekuasaan. Penguasa pun tidak alergi terhadap kritik. Setiap individu dalam masyarakat harus mendapat penghargaan tertentu. Mereka harus hidup dalam suasana yang diwarnai semangat equal opportunity untuk menikmati sumber daya alam. Ilmuan dan kaum terpelajar harus dihargai sedemikian rupa ketika mereka melakukan proses-proses ilmu pengetahuan, sehingga akan terangsang melakukan penelitian ilmiah. Secara lebih kongkrit, Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (2002) mengusulkan beberapa pembaharuan untuk mengatasi korupsi. Pertama, pembaharuan lembaga pegawai negeri, meliputi: mengurangi sistem patronase pejabat pemerintahan, perbaikan pelayanan umum yang rawan korupsi, audit operasional, perekrutan profesional, sistem evaluasi kinerja, tata pemerintahan yang transparan dan akuntabilitas. Kedua, Pembaharuan bidang hukum, meliputi: peundang-undangan, kualitas para profesional, pembentukan komisi keadilan, serta informasi dan publikasi berbagai kasus kriminalitas. Ketiga, pengembangan pendidikan bagi warga negara, meliputi hak dan kewajiban warga negara dan sistem nilai dan moral yang perlu dikembangkan. Keempat, pembaharuan lain, meliputi: sektor keuangan (UU perbankan dan bank sentral), politik (khusus mengenai pencegahan politik uang), dan otonomi daerah. Lalu, yang menjadi persoalan: siapakah yang akan memulai, terutama ketika suasana sosial, politik dan ekonomi tidak berada dalam kondisi ideal? Seperti dikatakan Harefa (2001), guru (termasuk ilmuwan) adalah individu paling tinggi derajatnya, dan ia harus memiliki semangat untuk memberikan teladan dan melakukan perubahan, walaupun hal ini tidak mudah. Mereka harus mampu menjadi perintis dalam merumuskan kondisi ideal yang bersifat praktis dan memberikan kontribusi bagi terciptanya individu berkarakter mulia, sehinga pada akhirnya dapat membentuk keluarga bermutu, dan masyarakat yang maju. VI. PENUTUP Tulisan ini merupakan hasil tinjauan atau pendapat teoritis dari beberapa ilmuwan dan ahli tentang bagaimana masing-masing elemen: keilmuan, keluarga, pendidikan dan sosial 13
  • 14. kemasyarakatan dapat saling berkontibusi terhadap terbentuknya moral dan kebajikan dalam masyarakat. Peran ilmu dalam pemahaman nilai-nilai kebaikan tentu tidak terlalu ampuh jika tidak ada sistem yang mendukung. Sinergi antara pertahanan internal individu yang mengedepankan human dignity dan nilai kebaikan universal, dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi dan hukum akan menjadi pertahanan yang ampuh untuk tidak melakukan berbagai bentuk kejahatan. Setiap individu akan merasa sangat malu terhadap dirinya untuk menyalahgunakan wewenang atau melakukan kejahatan sekecil apapun, karena individu yang paling tinggi moral dan derajatnya adalah individu yang telah mampu menaklukkan egonya dan menuju kepada kedirian (the self) sebagai manusia sejati, yaitu manusia yang berbuat kebaikan (atau tidak berbuat kejahatan) karena keberadaan orang lain semata, tetapi manusia sejati adalah manusia yang telah menjadi dirinya sendiri: you are what you are when no body else see you, ia berbuat kebaikan demi kebaikan semata. DAFTAR PUSTAKA An-Nabhani, Taqyuddin. At-Tafkir (Beirut: Darul Ummat, 1973) Anonim, “Ramai-Ramai Menambang Hibah di Senayan,” Tempo Interaktif No. 28/XXX/10 – 16 Septemebr 2001 dalam http://www.tempo.co.id dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002. Anonim, “Indonesia Negara Paling Korup di Asia,” Angin Surga dalam http://www.surga.org/korup.html dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002. Berkowitz, M.W., The Education of the Complete Moral Person (1998). Berger and Berger, The war over The Family ( New York: Anchor Books, 1984) Bond, Paul. “Introduction” dalam Knowledge Without Wisdom, http://www. inspiredbooks.net/kww.htm, visited October 1, 2002. Fagan, P.F., The Real Root Causes of Violent Crime; the Breakdown of Mariage, Family and Community (1995). Harefa, A., Menjadi Manusia Pembelajar (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002) Husein Abdullah, Muhamamd, Ad-Dirosah fi fikril Islamy (Aman: Darul Bayariq, 1995). Ismail, Muhammad-Muhammad, Al-Fikrul Islami (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958); 14
  • 15. Karen, R., “Becoming Attached,” The Atlantic Monthly, February, 1990. Katherine Marshall, “Combating Corruption in Indonesia: Aide Memoire of The Wolrd Bank Team, September 13-20, 1998 dalam http://www.worldbank.org visited September 30, 2002. Kilpatrick, W., Why Johny can't Tell Right from Wrong (New York: Simon and Schuster Inc., 1992) Kunczik, M., Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986) Lickona, T., Educating for Character: How Our School can Teach Respect and Responsibility (New York Bantam Books.,1992) ________. Raising Good Children: From Birth through the Teenage Years (New York: Bantam books., 1994) Lu Ding., Public Policies and Social Harmony; the Case of Singapore. (1992) Megawangi, R., Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. (Bandung: Pustaka Mizan, 1999). Mutidjo, M. “Poverty and Corruption in Indonesia” dalam http://www. stolaf.edu/cis/wp/mutidjo dikunjungi Senin, 30 September 2002. Saunderaraj, Francis. “Girding up For Mission in Asia in the 21st Century,” Evangelical Mission Quarterly dalam http://www.wheaton.edu/bgc/1999/girding.html visited October 1, 2002. Schikendanz, J., Family Socialization and Academic Achievement (Boston University Press, 1995) Sjamsuhidayat, R., “Beberapa Aspek Pendidikan Sikap dan Tingkah Laku pada Program Pendidikan Dokter Indonesia.” (Jakarta: Modul Kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998) Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: UI Press, 1999). Suriasumantri J.S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988) Tjokronegoro, A., “Prilaku Ilmiah dalam Kedokteran dan Etika-Moral Kesarjanaan,” Lokakarya dan Pelatihan Modul Empathy in Communication Related to Patient Care (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002) 15
  • 16. Uchida, Eriko. “Corruption in Indonesia Sustained by Political Ties” dalam http://www.geocities.com dikunjungi Senin, 30 September 2002. 16