Dokumen tersebut membahas perjalanan desentralisasi di Indonesia sejak era reformasi, mulai dari latar belakang, pendekatan yang digunakan (big bang atau zig-zag), dan reformasi struktur pemerintahan menurut UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah.
2. Istilah pemerintah daerah dalam UU No. 22/1999 digunakan untuk merujuk pada Badan Eksekutif Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah Otonom. Hal ini berbeda dengan UU No. 5/1974 yang menggunakan istilah pemerintah daerah yang meliputi DPRD dan menempatkan DPRD sebagai mitra eksekutif. Perubahan pengertian yang dilakukan UU No.22/1999 ini membawa implikasi pada keterpisahan secara tegas antara badan eksekutif dan legislatif, serta penempatan fungsi control DPRD terhadap eksekutif daerah.
3. Pemerintahan di tingkat propinsi hampir tidak berubah. Gubernur tetap menjadi wakil pusat dan sekaligus Kepala Daerah, dan Kanwil (instrument Menteri) tetap ada.
13. Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menbarik investor.Dari ketiga pilihan kebijakan ini, tampaknya skim menarik investor merupakan pilihan yang paling bersifat sustainable dan mempunyai multiplier effect yang bermanfaat, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan. Pilihan intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah, baik secara langsung maupu secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya high cost economy yang mengarah pada tekanan inflasi, sedangkan pilihan kedua, terutama jika sumber daya yang tersedia bersifat tak-terbarukan (non-renewable), akan terbentur pada persoalan keberlanjutan (sustainability).<br />Isu Sentral dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah<br />Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berjalan sejak tahun anggaran 2001 merupakan proses transformasi menuju terbentuknya keseimbangan, yakni antara dampak positif dan negatif yang muncul akibat dari proses tersebut. Implikasi positif yang dapat dikemukakan adalah semakin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya. Salah satunya adalah terjadinya perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah (bottom-up planning), peningkatan peluang sharing kekuatan antara stakeholders dan pelaksanaan program-program pembangunan yang ternyata memperoleh respons positif, yakni dalam bentuk meningkatnya kegairahan masyarakat untuk turut berpatisipasi dalam mensukseskan pelaksanaan program-program pembangunan tersebut.<br />Beberapa daerah menunjukkan perkembangan perekonomian yang signifikan dengan pemberlakuan otonomi dan desentralisasi, ditandai dengan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Income Per Capita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin membaiknya fungsi intermediasi bank umum. Meskipun secara makro kebijakan desentralisasi fiskal menunjukkan dampak yang positif, namun secara regional ada sebagian propinsi justru memperoleh dampak negatif dari kebijakan tersebut. Penurunan atau peningkatan kinerja perekonomian di masing-masing propinsi akibat desentralisasi fiskal disebabkan oleh beberapa variabel internal di masing-masing propinsi, seperti potensi fiskal, variabel sumber daya manusia, ketersediaan modal, infrasturktur ekonomi, potensi sumber daya alam dan energi, dan tingkat kegiatan ekonomi di daerah tersebut sebelum diberlakukan kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal.<br />Selain implikasi positif, masyarakat menilai implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut juga mengakibatkan beberapa dampak negatif. Jika ditinjau dari sisi menimbulkan banyak kebocoran (korupsi) dan tidak mengarah pada alokasi pembangunan daerah. Jika ada belanja pemerintah, hal itu hanya kepada pengeluaran rutin.<br />Problem lain yang melekat dalam desentralisasi adalah terbukanya potensi kegaduhan yang disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk mengimplementasikan proses desentralisasi. Kegaduhan tersebut bisa dibaca dari dua fenomena berikut: desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Kasus di Indonesia memperlihatkan hal itu, di mana desentralisasi sampai kini bukannya mengurangi watak sentralisasi, tetapi malah menyuburkan tabiat tersebut dalam area-area yang lebih kecil, sehingga penyakit-penyakit semacam korupsi dan kolusi justru semakin parah. Jika pada masa sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertical dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daera) mengambil bagian yang sama.<br />Contoh lain yang memprihatinkan, Pemda dengan segala jalan mencoba meningkatkan penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah, peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya. Sebagai contoh, Menteri Keuangan pada tahun 2003 telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencabut 206 Perda di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sebagian besar Perda-perda tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi) sehingga tidak mendukung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun non-pungutan. Perda yang bermasalah pada level kabupaten pada tahun 2006 bahkan mencapai 65,63% dari seluruh total Perda yang diproduksi, sedangkan pada level propinsi dan kota di bawah 22%. Faktor inilah yang menjadi penyebab lesunya dunia usaha di daerah dalam beberapa tahun terakhir dan bukan semata akibat belum pulihnya krisis ekonomi. Dengan begitu, Perda-perda “ekonomi” yang men-sabotase geliat bisnis itu menunjukkan bahwa pemerintah daerah mencoba memungut sebanyak mungkin uang dari rakyat untuk dimasukkan ke sakunya sendiri. Pada kasus ini tentu saja pemerintah daerah telah berperan sebagai pencari rente (Rent-Seeker).<br />Tabel 1<br />Peraturan Bermasalah Berdasarkan Jenis Pungutan<br />KeteranganPropinsiKabupatenKotaTotalPajak2010955184Retribusi987122061.016Non-pungutan626826156Sumbangan Pihak Ketiga416323Total1849052901.379% terhadap totalperaturan13,3465,6321,03100,00<br />Sumber: Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 2005<br />Di luar itu, optimism terhadap pilihan otonomi daerah sejatinya dipicu oleh harapan bahwa strategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Sentralisasi manajemen pembangunan yang diterapkan sebelum ini terbukti menimbulkan banyak penyimpangan akibat panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati, di samping realitas bahwa sentralisasi selalu berhadapan dengan keterbatasan informasi yang akurat. Tentu saja, dengan otonomi daerah, anggaran daerah (APBD) menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamisasi kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat. Dengan asumsi kepala daerah tahu persis tentang kondisi wilayahnya, maka detail pengeluaran anggaran daerah dipastikan akan mengalir menuju kepada sektor atau masyarakat yang memang sangat membutuhkannya. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata harapan tersebut tidak mesti sejajar dengan kenyataan di lapangan.<br />Faktanya, hampir terdapat penyeragaman pola pengeluaran anggaran daerah di setiap wilayah (propinsi/kabupaten/kota) di Indonesia, di mana konfigurasi pengeluaran anggaran daerah sebagian besar justru dialokasikan untuk kepentikan Pemda (seperti belanja pegawai atau fasilitas pejabat), sementara porsi untuk pengeluaran publik sangat rendah. Di Jawa Timur, misalnya, terdapat sebuah kabupaten yang anggarannya tersita untuk membangun kantor bupati yang megah, sementara pada saat yang bersamaan sebagian wilayahnya berkutat dengan masalah kelangkaan air bersih. Contoh lainnya yang memprihatinkan, kepala daerah di sebuah kabupaten melakukan ikhtiar habis-habisan untuk mengganti mobil dinasnya dengan alas an agar citra (prestige) kabupaten tersebut dapat terangkat. Dua kasus tersebut secara telanjang menunjukkan bahwa anggaran daerah Cuma dijadikan instrument untuk menggemukkan para penyelenggaranya dan bukan sebagai laporan neraca komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Akhirnya, tidak heran apabila dalam banyak kasus negara dirugikan triliunan rupiah akibat praktik tata kelola yang buruk dari penyelenggara pemerintahan (baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN).<br />Dalam sisi pandang ekonomi, mestinya alokasi anggaran daerah tersebut menjadi pantulan dari pantulan dari persoalan yang mengemuka di wilayah yang bersangkutan. Jika di sebuah daerah masalah yang muncul adalah kekeringan hebat dan kelangkaan bahan pangan, maka wajah anggaran daerah seharusnya berisi neraca pos-pos pengeluaran untuk mengatasi persoalan tersebut. Tentu saja pos pengeluaran anggaran untuk renovasi kantor kepala daerah, penggantian mobil dinas, atau studi banding ke luar negeri bukan saja tidak relevan dengan persoalan riil tersebut, tetapi sekaligus menggambarkan sikap tidak etis pemangku negara. Para penyelenggara pemerintahan seharusnya sadar bahwa anggaran daerah merupakan satu-satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk memungut uang dari rakyat (dalam bentuk pajak, retribusi, maupun yang lainnya). Jika anggaran daerah tersebut tidak dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar, tentu saja kewajiban rakyat untuk membayar “upeti” (pajak/retrubusi) kepada pemerintah (daerah) menjadi batal. Hal yang sama juga berlaku untuk bidang perizinan usaha, misalnya, yang mestinya tidak dibebani dengan biaya yang sangat tinggi di mana ongkos perizinan di Indonesia mencapai lebih dari 130% dari pendapatan/kapita. Tabel 2 menunjukkan indeks korupsi untuk perizinan masih cukup tinggi, meskipun masih lebih baik daripada partai politik, legislatif, polisi, bea cukai, peradilan dan pajak.<br />Tabel 2<br />Global Corruption Barrometer Indonesia<br />2005<br />Instansi/DepartemenIndeks/Nilai*Partai Politik4,2Parlemen/Legislatif4,0Polisi4,0Bea Cukai4,0Peradilan3,8Pajak3,8Registrasi dan Perizinan3,5Sektor Bisnis3,5Lembaga Pendidikan3,0Peralatan3,0Militer2,9Pelayanan Kesehatan2,7Media2,4LSM2,4Lembaga Keagamaan2,1<br /> Sumber: Tranparency Interntional Indonesia, 2005<br />Keterangan: *) Kisaran 1-5 (semakin tinggi nilai semakin korup)<br />Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa isu sentral utama dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah misalokasi anggaran, kultur birokrasi yang masih koruptif dan orientasi pemerintah daerah untuk memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan segala cara. Salah satu implikasinya adalah banyak Perda yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah.<br />Di sini yang dibutuhkan adalah aturan-aturan yang member batasan tentang pembuatan sebuha Perda sehingga tidak mengganggu kepentingan yang lebih luas. Sedangkan untuk kasus misalokasi anggaran, harus segera disusun sebuah kriteria bagaimana sebuah anggaran daerah itu mesti dibuat. Misalnya aturan yang member batasan maksimal persentase anggaran daerah yang boleh digunakan untuk belanja pegawai atau fasilitas pejabat daerah. Atau sebaliknya, member batas minimal persentase anggaran daerah yang harus dibelanjakan untuk kepentingan publik. Dengan cara inilah wajah otonomi daerah yang terlanjur kusam bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih bermartabat.<br />Daftar Pustaka<br />Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta<br />Yustika, Ahmad Erani. 2008. Desentralisasi Ekonomi, Pengembangan Kapasitas, dan Misalokasi Anggaran. Penerbit Bayumedia. Malang<br />Rahmawati, Farida. 2008. Desentralisasi Fiskal: Konsep, Hambatan dan Prospek. Penerbit Bayumedia. Malang<br />Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. www.google.com<br />Undang-Undang RI No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. www.google.com<br />Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. www.google.com<br />Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentantg Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. www.google.com<br />TUGAS PERENCANAAN DAN <br />ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN<br />Format Baru Otonomi Daerah:<br />Menuju Daerah Membangun?<br />Oleh<br />Agung Jatmiko<br />Magister Ekonomika Pembangunan<br />Fakultas Ekonomika dan Bisnis<br />Universitas Gadjah Mada<br />2010<br />