Perdarahan antepartum merupakan perdarahan yang terjadi sebelum persalinan dan dapat mengancam nyawa ibu dan janin. Penyebab utamanya adalah kelainan plasenta seperti plasenta previa dan solusio plasenta. Diagnosis dini dan tatalaksana darurat sangat penting untuk mengurangi risiko.
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
Referat obgyn antepartum (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, spOG)
1. REFERAT
DIAGNOSIS, PREVENTION, AND MANAGEMENT OF
ANTEPARTUM HEMORRHAGE
Disusun oleh :
Helvin Eka Putra
07120120023
Pembimbing :
Dr. Arie Widiyasa, Sp. OG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDIBIDANAN & KANDUNGAN
RUMKITAL MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE MEI - JULI 2016
4. BAB I. PENDAHULUAN
Perdarahan sebelum, sewaktu dan setelah persalinan adalah suatu kelainan
emergensi yang berbahaya dan memiliki resiko tinggi mengancam ibu dan janin. Sampai
sekarang perdarahan dalam obstetrik masih memegang peran penting sebagai penyebab
utama kematian maternal di dunia, diikuti oleh hipertensi dan infeksi pada kehamilan.
Setiap tahunnya, terestimasi sekitar 500.000 angka kematian pada ibu hamil dan
perdarahan adalah 30.8% sebagai penyebabnya. Perdarahan pada kehamilan juga 99%
terjadi di negara berkembang dan hanya 1% terjadi di negara maju.1 Indonesia adalah
salah satu negara berkembang tersebut dan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi indikator
penting untuk menggambarkan tingkat kesehatan ibu dan salah satu hal yang penting
untuk diperhatikan.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun
2012, AKI di Indonesia masih tinggi, yakni sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Sayangnya, angka tersebut jauh dibanding target AKI MDGs pada tahun 2015, yakni 102
kematian per 100.000 kelahiran hidup.2 Kondisi sosial budaya masing-masing daerah dan
tingkat pendidikan turut memberikan kontribusi, masih banyak daerah yang masih
menggunakan dukun sebagai penolong persalinan, khususnya di desa-desa. Berbagai
faktor tersebut menyebabkan ibu hamil yang mengalami perdarahan terlambat menerima
bantuan medis.
Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang
berbahaya. Terdapat beberapa pembagian perdarahan sesuai dengan usia kehamilan.
Perdarahan pada kehamilan muda disebut sebagai abortus, sedangkan pada kehamilan
lanjut disebut sebagai perdarahan antepartum. Perdarahan antepertum lebih berbahaya
karena seringkali mengancam nyawa ibu dan janin. Pada prakteknya, karena gejala yang
seringkali tidak khas dan dianggap tidak berbahaya menyebabkan banyaknya penundaan
diagnosis dan pengobatan. Padahal, kasus perdarahan perlu didiagnosa sesegera mungkin
dan diberikan tatalaksana awal untuk mengurangi resiko pada ibu dan janin. Referat ini
bertujuan untuk memberi informasi mengenai perdarahan antepartum, diagnosa,
pencegahan dan tatalaksana agar pada prakteknya, perdarahan antepartum dapat diketahui
dan diobati sesegera mungkin.
5. BAB II. PEMBAHASAN
2.1 HEMORAGIA ANTEPARTUM
2.1.1 Definisi
Perdarahan kehamilan lanjut atau yang sering dikenal sebagai Hemoragia
Antepartum (HAP) adalah perdarahan dari saluran genitalia yang terjadi
setelah kehamilan 24 minggu dan sebelum persalinan janin. Namun, masih
terdapat teori yang berbeda mengenai batas minggu kehamilan lanjut jika
dilihat dari berat janin dan kemungkinan hidupnya janin diluar uterus. Pada
umumnya perdarahan pada kehamilan lanjut jauh lebih berbahaya dibanding
perdarahan pada kehamilan muda atau abortus. Perdarahan antepartum yang
berbahaya umumnya disebabkan oleh kelainan plasenta (plasenta previa,
solusio plasenta), sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan
plasenta (pada umumnya kelainan serviks) cenderung tidak berbahaya. Oleh
karena itu, pada perdarahan antepartum perlu dipikirkan terlebih dahulu
apakah kemungkinan perdarahan bersumber dari kelainan plasenta.3
Tidak ada definisi yang konsisten mengenai tingkat keparahan dari
perdarahan antepartum, namun Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists (RCOG) mengklasifikasikan tingkat keparahan HAP
menjadi3 :
1. Spotting – noda, bercak darah yang ditemukan pada celana dalam atau
pembalut
2. Minor Haemorrhage – perdarahan kurang dari 50mL
3. Major Haemorrhage – perdarahan 50-1000 mL, dengan tidak adanya
tanda-tanda syok
4. Massive Haemorrhage – perdarahan lebih dari 1000 mL dan/atau
tanda-tanda syok
2.1.2 Epidemiologi
6. Beberapa kejadian dilaporkan perdarahan pada pertengahan sampai awal
trimester ketiga. Lipitz dan kawan-kawan melaporkan bahwa 4 dari 65 wanita
dengan perdarahan diantara 14 minggu sampai 26 minggu disebabkan oleh
plasenta previa atau solusio plasenta dan 3 dari 65 janin meninggal. The
Canadia Perinatal Network mengatakan 806 wanita dengan perdarahan
diantara kehamilan 22 minggu dan 28 minggu. Solusio plasenta 32%,
plasenta previa 21% dan perdarahan servikal 6.6%. Dinyatakan secara jelas
bahwa perdarahan pada trimester kedua dan ketiga disebabkan oleh
kurangnya diagnosis saat kehamilan. Frekuensi perdarahan antepartum kira-
kira 3% dari seluruh persalinan. Di RS Tjipto Mangunkusumo dilaporkan
14.3% dari seluruh persalinan.4
2.1.3 Penyebab
Perdarahan antepartum yang berbahaya dan paling sering ditemui
umumnya bersumber pada kelainan plasenta (70%), lesi lokal pada saluran
kelamin (25%), dan sisanya penyebab yang tidak diketahui (5%).3
Kelainan pada
plasenta
Lesi lokal pada saluran
kelamin
Kelainan
pemasukan tali
pusat
Plasenta Previa Show darah Vasa Previa
Solusio plasenta Lesi pada serviks,
servisitis, polyp serviks
Trauma
Vulvovaginal Varicosities
Tumor saluran genital
Infeksi genital
Hematuria
Tabel 1. Penyebab perdarahan antepartum
Pada kasus perdarahan antepartum, perlu dipikirkan kemungkinan
penyebab yang lebih bahaya terlebih dahulu, yaitu perdarahan dari plasenta
7. seperti plasenta previa dan solusio plasenta, karena merupakan kemungkinan
dengan prognosis terburuk dan terberat yang memerlukan penatalaksanaan
gawat darurat segera.
2.1.4 Pencegahan
Pada kasus perdarahan antepartum, pencegahan dapat dilakukan bersama
oleh ibu hamil dan tenaga kesehatan. Ibu hamil disarankan untuk menjalani
pola hidup sehat yang baik dan menjauhi merokok dan penggunaan obat-obat
narkotika karena meningkatkan resikonya perdarahan. Asuhan antenatal yang
teratur juga perlu dijalani agar kondisi baik dari ibu dan janin dapat
diobservasi dengan baik dan ditangani segera jika ditemukan kelainan.
Peran tenaga kesehatan seperti bidan dan dokter juga sangat penting untuk
menilai apakah butuh penanganan segera pada ibu dan janin yang mengalami
perdarahan antepartum. Riwayat yang perlu ditanyakan secara detail pada
kasus perdarahan antepartum adalah, perdarahannya, nyeri perut dan faktor-
faktor resiko dari perdarahan antepartum.
2.1.5 Diagnosis
1. Anamnesis :
a. Perdarahan. Perlu diketahui banyak, warna, konsistensi, dan
karakteristik perdarahan.
b. Nyeri perut. Perlu diketahui letak, waktu terjadinya, frekuensi, berat
dan durasi nyeri. Jika terdapat kontraksi juga perlu dibedakan.
c. Tonus uterus. Uterus yang lunak, dan tidak nyeri menunjukkan kesan
sebagai perdarahan dari saluran kelamin dan vasa previa. Jika timbul
uterus yang keras seperti papan menunjukkan solusio plasenta.
d. Faktor pencetus. Perlu ditanyakan faktor pencetus seperti aktivitas
seksual sebelumnya dan trauma.
2. Pemeriksaan fisik. Tekanan darah, nadi, pernafasan, temperatur, saturasi
oksigen dan tingkat kesadaran perlu diobservasi. Pada palpasi dan
Leopold, dicari letak posisi bayi dan tonus uterus.
8. 3. Pemeriksaan dalam. Pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan jika
diagnosis plasenta previa telah disingkirkan karena dapat mencetus
perdarahan yang lebih parah. Pemeriksaan dalam berfungsi untuk
mencara letak perdarahan, pembukaan dan kematangan serviks.
4. Pemeriksaan laboratorium. Pada kasus perdaharan, perlu dilakukan tes
laboratorium Full Blood Count, koagulasi, 4 unti Cross-matched, Apt test,
golongan darah dan rhesus. Jika pada wanita dengan rhesus negatif,
disarankan untuk dilanjuti dengan pemeriksaan tes Kleihauer.
Apt Test berfungsi untuk membedakan apakah perdarahan berasal dari
ibu atau janin. Cara Apt test :
Siapkan 2 tabung
Masukkan 5 mL air ke setiap tabung
Pada tabung pertama masukkan 5 tetes darah dari perdarahan,
sedangkan tabung kedua dimasukkan darah ibu.
Masukkan 6 tetes 10% NaOH ke setiap tabung dan tunggu selama 2
menit.
Tabung yang berasal dari darah ibu akan berubah warna menjadi
kecoklatan, sedangkan jika perdarahan berasal dari janin maka warna
akan tetap sama.
Kleihauer-Betke test, berfungsi sebagai test untuk menghitung
banyaknya hemoglobin janin yang masuk ke perdaran ibu dan berfungsi
untuk menghitung banyaknya immunoglobulin RhD yang perlu diberikan
pada ibu dengan rhesus negatif.
5. Pemeriksaan Ultrasound. Ultrasonografi sangat membantu untukk
mengecek letak posisi plasenta pada kasus dengan curiga plasenta previa.
Selain itu USG juga dapat mengecek kondisi, berat janin sesuai dengan
usia kehamilan.
9. Gambar 1. Pemeriksaan Apt Test dan Kleihauer-Betke Test.
2.1.6 Tatalaksana
Tatalaksana Inisial :
1. Periksa Airway, Breathing, Circulation (ABC), tatalaksana emergensi.
2. Tanda-tanda vital dan skala nyeri.
3. Estimasi banyaknya kehilangan darah.
4. Periksa kondisi janin dengan kardiotokograf dan doppler untuk
menghitung denyut jantung janin.
Tatalaksana resusitasi jika ibu diindikasikan mengalami tanda-tanda vital
yang tidak stabil karena perdarahan :
1. Pasang akses IV ukuran besar 16 gauge.
2. Monitoring saturasi O2 dan beri oksigen sesuai kondisi.
3. Mengambil darah dan lakukan pemeriksaan darah rutin, koagulasi, cross-
match, Apt test, golongan darah dan rhesus, serta Kleihauer Test jika
rhesus negatif pada ibu.
4. Pemberian cairan untuk mengganti total perdarahan.
5. Pemberian analgesik jika terdapat keluhan nyeri yang hebat.
6. Pemasangan kateter urin untuk memonitor urin output.
7. Persiapan ruang operasi jika diperlukan segera.
8. Memberitahu dokter anastesia, hamatologis dan anak.
10. Gambar 2. Algoritma penanganan awal keluar darah pervaginam
pada kehamilan lanjut
2.2 PLASENTA PREVIA
2.2.1 Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang ada didepan jalan lahir sebagaimana
kata “previa” berasal dari kata prae yang artinya didepan dan vias yang
artinya jalan. Secara definisi, plasenta previa adalah plasenta yang
berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikian rupa sehingga menutupi
seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. Implantasi plasenta yang
normal adalah plasenta yang berimplantasi pada dinding depan atau belakang
uterus di daerah fundus uteri. Plasenta previa cukup sering dijumpai dan pada
tiap perdarahan antepartum kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan.4
11. Plasenta
Letak Rendah
Plasenta Previa
Marginalis
Plasenta
Previa
Parsialis
Plasenta
Previa Totalis
2.2.2 Klasifikasi
Menurut letak plasenta melekat, plasenta previa dapat dibagi menjadi 4 tipe,
yaitu5 :
1. Plasenta previa totalis/komplit : adalah plasenta yang menutupi seluruh
ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis : adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium
uteri internum
3. Plasenta previa marginalis : adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium uteri internum
4. Plasenta letak rendah : adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah uterus demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak <
2cm dari ostium uteri internum. Jarak yang >2 cm dianggap plasenta letak
normal.
Gambar 3. Tipe-tipe plasenta previa
Dari klasifikasi plasenta previa tersebut, perlu diketahui bahwa hanya
plasenta previa totalis yang sama sekali tidak dapat melahirkan pervaginam.
2.2.3 Epidemiologi
Menurut data kelahiran pada tahun 2003 di Amerika Serikat, plasenta
previa ditemukan sebesar 1 dari 300 persalinan dan lebih banyak ditemukan
pada kehamilan dengan paritas tinggi dan usia di atas 30 tahun. Di Parkland
12. Hospital, insiden plasenta previa ditemukan sebesar 1 di antara 390 pada
lebih dari 280.000 persalinan yang terjadi antara tahun 1998 hingga 2006.
Sedangkan di Indonesia, plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 di antara 200
presalinan. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan
insidennya berkisar 1,7% hingga dengan 2,9%. Tingkat insiden plasenta
previa yang jauh lebih tinggi dibanding negara maju disebabkan oleh karena
masih banyaknya angka perempuan hamil dengan paritas tinggi.6
2.2.4 Etiologi
Belum diketahui secara pasti penyebab blastokista berimplantasi pada
segmen bawah uterus, mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa
desidua di daerah segmen bawah uterus tanpa latar belakang lain yang
mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah
vaskularisasi desidua yang tidak memadai, akibat dari proses radang atau
atrofi.7
Berikut beberapa faktor resiko pada plasenta previa :
1. Tingginya usia ibu : Semakin lanjut usia ibu semakin meningkatkan
resiko terjadinya plasenta previa. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun
memiliki resiko 1,1% untuk mengalami plasenta previa, dibandingkan
dengan wanita berusia kurang dari 35 tahun yang memiliki resiko 0,5%.
2. Multiparitas : Kemungkinan terjadinya plasenta previa meningkat lebih
dari 8x lipat pada perempuan dengan angka paritas lebih dari empat kali.
Semakin jarak antar kehamilan pendek atau singkat, akan meningkatkan
resiko terjadinya plasenta previa karena plasenta yang baru berusaha
mencari tempat untuk mengimplantasi selain dari bekas plasenta
sebelumnya.
3. Kehamilan ganda : Terdapat studi yang melaporkan angka kejadian
plasenta previa 40% lebih tinggi pada kehamilan ganda dibandingkan
dengan kehamilan janin tunggal. Plasenta yang terlalu besar seperti pada
kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan
13. pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah uterus sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
4. Riwayat kelahiran Caesar : Riwayat kelahiran Caesar meningkatkan
resiko terjadinya plasenta previa. Pada penelitian tahun 2006 terhadap
30.132 perempuan, insiden terjadinya plasenta previa ditemukan sebesar
1,3% pada populasi yang memiliki riwayat satu kali kelahiran Caesar, dan
3,4% pada mereka yang pernah menjalani dua kali atau lebih kelahiran
Caesar.
5. Merokok : Perempuan perokok memiliki resiko yang tinggi untuk
mengalami plasenta previa. Resikonya terjadinya plasenta previa
meningkat 2x lipat pada perempuan yang merokok. Hipoksemia akibat
karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta
menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Yang mungkin terkait,
terganggunya vaskularisasi desidua, akibat perubahan atropik atau
peradangan.
2.2.5 Gambaran Klinis
Gejala yang paling menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan
uterus yang keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri. Selain itu darah
yang keluarh melalui vagina umumnya berwarna merah segar. Perdarahan
biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama
berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri, perdarahan akan kembali
berulang tanpa sesuatu yang jelasdan bertambah leih banyak dibanding
pertama. Pada plasenta letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu
mulai persalinan.
Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah uterus, maka pada palpasi
abdomen sering ditemui bagian terbawah janin yang masih tinggi di atas
simfisis. Bagian terendah janin yang tinggi disebabkan oleh tidak dapat nya
bagian janin yang dapat masuk ke pintu atas panggul karena plasenta yang
menutupi ostium uteri internum.
14. Pada perempuan dengan plasenta previa, sering dapat ditemukan kelainan
letak janin. Pada pemeriksaan lepolod, umumnya ditemukan letak janin tidak
dalam letak memanjang dikarenakan janin yang tidak dapat berotasi leluasa
karena adanya hambatan oleh plasenta yang terletak di bagian bawah uterus.
Selain itu pada plasenta previa, palpasi abdomen tidak akan membuat ibu
merasa nyeri dan tidak tegang yang membedakan plasenta previa dengan
solusio plasenta.6
2.2.6 Diagnosis
1. Anamnesis. Terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada ibu
mengenai perdarahan, seperti sejak kapan, banyak, warna, konsistensi,
dan karakteristik dari perdarahan. Informasi mengenai nyeri seperti letak,
sejak kapan, frekuensi, dan keparahan nyeri juga dapat memperkuat
diagnosis. Beberapa pertanyaan seperti faktor pencetus, misalnya aktivitas
seksual sebelumnya dan trauma juga dapat membantu menyingkirkan
diagnosis yang lain.
2. Pemeriksaan luar. Biasa dapat ditemukan posisi terendah janin yang
masih tinggi dan kelainan letak janin melalui pemeriksaan Leopold.
Selain itu, pada palpasi perut perlu diinterpretasikan apakah perut terasa
lunak atau tegang dan keras yang sering ditemukan pada solusio plasenta.
3. Pemeriksaan dalam. Pada ibu janin dengan curiga plasenta previa tidak
boleh dilakukan pemeriksaan dalam karena akan mencetus perdarahan
yang lebih banyak. Oleh karena itu, pemeriksaan dalam hanya boleh
dilakukan di kamar operasi dengan segala persiapan rencana Caesar jika
diindikasikan untuk Sectio Secarea pada plasenta previa totalis.
Pemeriksaan dalam berfungsi untuk mengetahui sumber dari perdarahan
dan juga tipe dari plasenta previa.
4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG). USG telah menjadi diagnosa gold
standard pada diagnosa plasenta previa. Transabdominal USG
memberikan kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan tinggi
hingga 96-98%. Transvaginal USG juga memiliki tingkat ketepatan
15. diagnosis yang tinggi hingga mencapai 98-100%. Selain kedua jenis USG
tersebut, terdapat transperineal USG yang juga dapat membantu
menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan 90%.
5. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI juga dapat
dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta termasu plasenta
previa. Namun MRI kalah praktis jika dibandingkan dengan USG,
terlebih dalam suasana yang mendesak. Selain itu, karena masalah harga
dan tidak banyak pusat kesehatan yang memiliki MRI, USG tetap menjadi
alat diagnosa yang dipilih.8
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi pada ibu :
1. Anemia
Oleh karena pembentukan segmen rahim yang terjadi secara ritmik, maka
pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan
semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah
sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.
2. Kelainan pada perlekatan plasenta
Plasenta previa sering diasosiasikan dengan kelainan pada perlekatan
plasenta, seperti plasenta akreta, inkreta dan perkreta. Oleh karena
plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim yang bersifat tipis
menyebabkan jaringan trofoblas menjadi lebih mudah untuk invasi
menerobos ke dalam miometrium bahkan perimetrium. Komplikasi ini
lebih sering terjadi pada uterus yang pernah seksio sesarea.
3. Perdarahan
Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah
sangat potensial untuk robek dan disertai oleh perdarahan yang banyak.
Oleh karena itu, harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual.
Komplikasi pada janin :
16. 1. Kelainan letak
Pada plasenta previa lebih sering terjadi kelainan letak janin, hal ini
memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala
konsekuensinya.
2. Kelahiran prematur dan gawat janin
Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian
oleh karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam
kehamilan belum aterm. Pada kehamilan <37 minggu dapat dilakukan
amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian
kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya
antisipasi. Asfiksia yang bisa disebabkan oleh plasenta yang terlepas
terlalu awal dan adanya kompresi dari tali pusat. Kematian janin di dalam
rahim disebabkan oleh hipovolemia maternal dan syok.
2.2.8 Tatalaksana
1. Tatalaksana Umum :
Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena
(NaCL 0,9% atau Ringer Laktat).
Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea
tanpa memperhitungkan usia kehamilan.
Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur,
pertimbangkan terapi ekspektatif.
2. Tatalaksana Khusus
Terapi Konservatif, agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis
dilakukan secara non-invasif.
Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.
Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.
17. Berikan tokolitik bila ada kontraksi : MgSO4 4g IV dosis awal
dilanjutkan 4g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3x20mg/hari. Pemberian
tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis
tunggal untuk pematangan paru janin.
Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral
60mg selama 1 bulan.
Pastikan tersedianya sarana transfusi.
Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu
masih lama, ibu dapat dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke
rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Syarat terapi ekspektatif :
a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian
berhenti dengan atau tanpa pengobatan tokolitik.
b. Belum ada tanda impartu
c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam kadar normal)
d. Janin masih hidup dan kondisi janin baik
Terapi Aktif
Rencanakan terminasi kehamilan jika :
a. Usia kehamilan cukup bulan
b. Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang
mengurangi kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)
c. Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif
tanpa memandang usia kehamilan
Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan
presentasi kepala, maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban
dan persalinan pervaginam masih dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan
engan seksio sesarea.
Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi
perdarahan dari tempat plasenta :
a. Jahit lokasi perdarahan dengan benang.
18. b. Pasang infus oksitosin 10 unit pada 500 mL cairan IV (NaCL
0,9% atau Ringer Laktat) dengan kecepatan 60 tetes/menit.
c. Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan
yang sesuai, seperti ligasi arteri dan histerektomi.
Gambar 4. Guideline tatalaksana plasenta previa.
2.3 SOLUSIO PLASENTA
2.3.1 Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan
19. desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir. Terdapat
beberapa istilah untuk penyakit ini yaitu abruptio placentae, ablatio
placentae, dan accidental hemorrhage. Beberapa studi menyebutkan solusio
plasenta ditegakkan bila terdapat perdarahan pada usia kehamilan di atas 24
minggu dan sebelum kelahiran, namun secara definitif diagnosisnya baru bisa
ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal
plasenta. Solusio plasenta jauh lebih berbahaya dibanding plasenta previa
bagi ibu hamil dan janinnya.6
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta4 :
1. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
2. Solusio plasenta parsialis, plasenta terlepas sebagian.
3. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
Klasifikasi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan6 :
1. Solusio plaseta dengan perdarahan keluar (revealed hemorrhage).
Biasanya perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan
miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan
akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikaslis dan keluar melalu
vagina.
2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi (concealed
hemorrhage). Ada kalanya, perdarahan tersebut tidak akan keluar melalui
vagina dan tersembunyi di dalam uterus jika, bagian plasenta sekitar
perdarahan masih melekat pada dinding rahim, selaput ketuban masih
melekat pada dinding rahim, perdarahan masuk ke dalam kanton gketuban
setelah selaput ketuban pecah karenanya, dan bagian terbawah janin
umumnya kepala menempel ketat pada segmen bawah rahim.
20. Gambar 5. Tipe-tipe solusio plasenta
2.3.3 Epidemiologi
Frekuensi diagnosis solusio plasenta bervariasi karena perbedaan kriteria
tetapi frekuensi rata-rata yang dilaporkan adalah 1 dalam 200 kelahiran.
Dalam basis data mengenai 15 juta kelahiran miliki National Centre For
Health Statistic melaprokan insiden solusio plasenta dalam kelahiran bayi
tunggal sebanyak 1 diantara 160 kelahiran. Namun, seiring ddengan
berkurangnya jumlah perempuan dengan paritas tinggi yang melahirkan dan
semakin baniknya transportasi darurat serta tersedianya asuhan antenatal,
frekuensi solusio plasenta menurun hingga mencapai sekitar 1 diantara 830
kelahiran.9
2.3.4 Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian, beberapa hal tersebut dibawah ini diduga merupakan
faktor-faktor yang berpengaruh pada kejadiannya, antara lain10 :
1. Riwayat solusio plasenta sebelumnya. Hal yang sangat penting dan
menentukan prognosis ibu dnegan riwayat solusio plasenta adalah resiko
berulangnya lebih tinggi dibanding yang tidak memiliki riwayat tersebut.
Resiko relatif 10-25%.
2. Faktor kardio-reno-vaskuler. Glomerulonefritis kronik, hipertensi
essensial, sindroma preeklampsia dan eklampsia meningkatkan resiko ibu
mengalami solusio plasenta. Sebuah studi, menemukan bahwa pada
setengah kasus solusio plasenta berat, seluruh wanita tersebut menderita
hipertensi kronik.
21. 3. Faktor usia ibu. Peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan
peningkatan umur ibu, hal ini karena semakin tua umur ibu, semakin
tinggi juga frekuensi hipertensi kronik.
4. Faktor trauma. Trauma yang dapat terjadi antara lain karena dekompresi
uterus pada hidramnion dan gemeli. Selain itu, juga dapat dicetus dengan
tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin, versi luar
atau tindakan pertolongan. Trauma langsung juga dapat mencetuskan
terjadinya solusio plasenta.
5. Leiomioma uteri. Dapat menyebabkan resiko solusio plasenta apabila
plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.
6. Faktor merokok dan penggunaan kokain. Kedua zat tersebut dapat
meningkatkan tekanan darah ibu, menyebabkan dinding plasenta menjadi
tipis, dan vasospasme pembuluh darah uterus yang dapat berakibat
terlepasnya plasenta.
2.3.5 Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat
ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan
tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan
yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa nyeri perut dan uterus tegang
terus menerus mirip his partus prematurus.9
1. Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
<250 mL. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid
bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejala-
gejala perdarahan sulit dibedakan dari plasenta previa kecuali warna
darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
2. Solusio plasenta sedang
22. Luas plasenta yag terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai
separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar 250-1000mL. Umumnya
perdarahan darah terjadi keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-gejala
dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus
menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
3. Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang
keluar telah mencapai 1000mL atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi
keluar dan kedalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinik
jelas, keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang
ditandai pada oliguria biasanya telah ada.
2.3.6 Diagnosis
1. Anamnesis. Pada anamnesis, umumnya dapat ditemukan nyeri perut yang
bersifat tiba-tiba dan diikuti dengan perdarahan pervaginam yang bersifat
banyak, terdapat gumpalan darah dan berwarna kehitaman. Pergerakan
anak mulai hebat awalnya kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti,
selain itu pasien sering merasa pusing, lemas, pucat. Riwayat trauma juga
perlu diperhatikan.
2. Pemeriksaan luar. Pasien dapat terlihat tanda-tanda syok, seperti pucat,
sianosis, gelisahh dan berkeringat dingin. Pada saat palpasi TFU
terkadang tidak sesuai dengan usia kehamilan, uterus tegang dan keras
seperti papan, nyeri tekan dan sulit mengenali bagian janin.
3. Pemeriksaan dalam. Pada saat pemeriksaan dalam, serviks dapat telah
terbuka atau masih tertutup, sedangkan plasenta juga dapat teraba
menonjol dan tegang pada pemeriksaan.
4. Pemeriksaan laboratorium. Pada cek lab darah rutin, biasa dapat
ditemukan Hb yang menurun. Periksa golongan darah dan lakukan cross-
match test karena sering terjadi kealinan pembekuan darah
hipofibrinogenemia.
23. 5. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG). Pada USG dapat ditemukan seperti
daerah terlepasnya plasenta, darah, tepian plasenta dan posisi janin.
2.3.7 Komplikasi
1. Syok perdarahan. Perdarahan pada solusio plasenta hampir tidak dapat
dicegah, kecuali dengan dilakukan persalinan segera. Umumnya,
perdarahan yang terjadi sangat banyak dan hebat menyebabkan ibu
mengalami syok perdarahan yang hebat.
2. Gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan
hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Hipovolemi akan
menyebabkan perfusi ginjal terganggu dan membuat terjadinya nekrosis
tubuli ginjal. Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat dari nekrosis
tubuli dan korteks ginjal.
3. Kelainan pembekuan darah. Biasa hal ini disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Kadar fibrinogen plasma akan menurun akibat dari
terjadinya perdarahan yang hebat sehingga fungsi pembekuan darah akan
terganggu.
4. Apople uteroplacenta. Biasa disebut sebagai Uterus Couvelaire. Hal ini
dapat terjadi akibat dari perdarahan yang terjadi hingga ke dalam otot-otot
uterus, ligamentum latum yang menyebabkan gangguan kontraktilitas
uterus dan wana uterus akan berubah menjadi biru keunguan.
2.3.8 Tatalaksana
Pada kasus solusio plasenta tidak boleh ditatalaksana pada fasilitas
kesehatan dasar, harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
Jika terjadi perdarahan hebat dengan tanda-tanda syok pada ibu, lakukan
persalinan segera :
a. Jika pembukaan serviks lengkap, lakukan persalinan dengan ekstraksi
vakum
24. b. Jika pembukaan serviks belum lengkap, lakukan persalinan dengan
seksio sesarea.
Waspadalah terhadap kemungkinan perdarahan pascasalin.
Jika perdarahan ringan atau sedang dan belum tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ) :
a. DJJ normal, lakukan seksio sesarea
b. DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal,
pertimbangkan persalinan pervaginam
c. DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah,
pecahkan ketuban dengann kokher :
Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
Jika serviks kenyal, tebal dan tertutup, lakukan seksio sesarea.
d. DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180x/menit), lakukan
persalinan pervaginam segera, atau seksio sesarea bila persalinan
pervaginam tidak memungkinkan.
Beri transfusi darah sesuai kebutuhan ibu, bila terjadi perdarahan
hebat dengan tanda-tanda syok dan kelainan pembekuan darah.
2.4 RUPTUR UTERI
2.4.1 Definisi
Ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 2, komplit dan inkomplit. Yang
dimaksud dengan ruptura uteri komplit ialah keadaan robekan pada uterus
dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga
peritoneum. Peritonemum viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur
dengan demikian janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar kontraksi
terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen. Pada
ruptur uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh
peritonemum viserale. Pada keadaan yang dmeikian janin belum masuk
kedalam rongga peritoneum. Ruptura uteri baik yang terjadi dalam masa
hamil atau dalam persalinan merupakan suatu kasus emergensi bagi ibu
maupun janin. Dalam keadaan ruptur uteri, sejumlah besar janin atau hampir
25. tidak ada janin yang dapat diselamatkan, dan sebagian besar dari ibu tersebut
meninggal akibat perdarahan atau infeksi.4
Gambar 6. Ruptur Uterus
2.4.2 Klasifikasi
Klasifikasi ruptur uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut4 :
1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil :
Pembedahan pada miometrium: seksio sesarea atau histerektomi,
histerorafia, miomektomi yang sampai menebus seluruh ketebalan
otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial,
metroplesti.
Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau sonde
pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau
atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya.
Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian uterus yang tidak
berkembang.
2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan :
Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat dan terus-menerus,
pemakaian kantong gestasi atau ruang amnion seperti lartuan garam
fisiologik atau prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur
tekanan intrauterin, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar,
26. pembesaran uterus yang berlebih misalnya hidramnion dan
kehamilan ganda.
Dalam periode intrapartum: versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang
sukar, ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi
berlebihan pada segmen bawah uterus, tekanan kuat pada uterus
dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta.
Cacat rahim yagn didapat: plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia
trofoblas gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidarus
inkarserata.
2.4.3 Epidemiologi
Pada suatu studi dari India, ruptur uteri adalah penyebab dari 9,3 % dari
kematian ibu hamil. Ruptur uteri sering ditemukan pada wanita dengan
riwayat operasi seksio sesarea sebelumnya. Studi dari Kanada menemukan
terdapat kenaikan resiko untuk terjadinya ruptur uteri pada wanita dengan
riwayat seksio sesarea sebelumnya sebesar 0,56%. Namun, ruptur uterus
sangat jarang terjadi pada bekas seksio sesarea dengan metode Low Segment
Cesarean Sectio dan terjadi kurang dari 1% pada wanita yang melahirkan
pervaginam dengan bekas seksio sesarea.6
2.4.4 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab dari ruptur uteri, yakni 11 :
1. Ruptur nya jaringan parut bekas seksio sesarea, miomektomi, riwayat
kuretase.
2. Disfungsi persalinan (partus lama, distosia)
3. Induksi atau akselerasi persalinan yang distimulasi berlebihan
4. Grande multipara
27. 2.4.5 Gambaran Klinis
Pada ibu hamil yang mengalami ruptur uteri, karena perdarahan yang
hebat, biasa ditemukan tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat, pucat
anemis, tanda-tanda hipovolemia. Perdarahan intraabdominal, dengan atau
tanpa perdarahan pervaginam. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
nyeri perut hebat yang dapat berkurang setelah ruptur terjadi. Pada palpasi
juga ditemukan bentuk uterus yang abnormal dengan kontur tidak jelas,
selain itu terdapat nyeri tekan dinding perut. Pada pemeriksaan Leopold,
bagian-bagian janin mudah dipalpasi. Selain itu, tanda khas seperti lingkaran
konstriksi patologis (Bandl’s Ring) sering ditemukan.6
Gambar 7. Bandl’s ring
2.4.6 Diagnosis
1. Anamnesis, pada anamnesis akan ditemukan riwayat nyeri perut yang
hebat pada awal kontraksi uterus dan semakin menurun diikuti dengan
menghilangnya kontraksi uterus. Perdarahan bisa atau tidak terjadi.
Tanda-tanda gelisah, pucat, keringat dingin, dan muntah-muntah sering
ditemukan.
2. Pemeriksaan luar, akan ditemukan tekanan darah yang menurun, nadi
yang lemah dan cepat. Pada pemeriksaan abdomen, akan ditemukan
28. gambaran Bandl’s Ring, dan nyeri tekan pada perut yang hebat. Bila
janin sudah keluar dari kavum uteri, maka teraba bagian-bagian janin
langsung di bawah kulit perut. Selain itu, akan ditemukannya tanda-tanda
janiin dari kardiotokograf dan DJJ yang semakin menurun atau
meningkat.
3. Pemeriksaan dalam, kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah
dapat dengan mudah didorong ke atas, dan disertai keluarnya darah
pervaginam. Jika rongga uterus sudah kosong, dapat diraba robekan pada
dinding rahim dan teraba usus, omentum dan bagian-bagian janin.
Dinding perut dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari-jari tangan
dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar mudah untuk teraba.
2.4.7 Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang sering ditemukan pada ruptur uteri :
1. Kematian maternal
Terdapat beberapa penyebab dari ruptur uteri yang mengancam nyawa ibu
hamil, yang paling sering adalah perdarahan hebat dan terjadi secara
cepat. Perdarahan yang hebat akan menurunkan sirkulasi darah kepada
ibu hamil dan menybabkan syok perdarahan. Selain itu, ibu yang
mengalami ruptur uteri juga memiliki resiko tinggi terjadinya emboli
cairan amniom dan infeksi karena ruptur uteri.
2. Kematian janin
Pada kasus ruptur uteri menyebabkan hampir pastinya kematian janin.
Ruptur uteri yang terjadi secara tiba-tiba dan perdarahan hebat,
menyebabkan sirkulasi darah dan oksigen ke janin akan menurun secara
cepat dan terjadi gawat janin dan meninggal sebelum dapat diberian
penanganan.
2.4.8 Tatalaksana
1. Tatalaksana umum :
Berikan oksigen
29. Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan
intravena (NaCL 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan
pembedahan
Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi
dan plasenta
2. Tatalaksana khusus :
Jika uterus dapat diperbaiki dengan resiko operasi lebih rendah
daripada histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan
reparasi uterus (histerorafi). Tindakan ini membutuhkan waktu yang
lebih singkat dan menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit
dibanding histerektomi.
Jika uterus tidak dapat diperbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika
robekan memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total
mungkin diperlukan.
2.5 VASA PREVIA
2.5.1 Definisi
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam
selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai
ke dalam insersinya tali pusat. Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang
melewati pembukaan serviks robek atau pecah dan vaskular janin itupun ikut
terputus.4
Gambar 8. Vasa Previa
30. 2.5.2 Epidemiologi
Keadaan seperti vasa previa sangat jarang ditemukan, dilaporkan kira-kira
1 dalam 5.000 kehamilan. Perdarahan antepartum pada vasa previa
menyebabkan angka kematian janin yang tinggi (33 hingga 100%).12
2.5.3 Etiologi
Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban
yang berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut berasal
dari insersio velamentosa dari tali pusat atau bagian dari lobus suksenteriata
(lobus aksesorius).
Insersio velamentosa adalah insersi tali pusat pada selaput janin, dan
sering terjadi pada kehamilan ganda. Pada insersi velamentosa, tali pusat
dihubungkan dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan
kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan
perkembangan plasenta.
Faktor resiko antara lain pada plasenta bilobata, plasenta suksenturiata,
plasenta letak rendah, kehamilan pada fertilisasi in vitro, dan kehamilan
ganda terutama triplet. Semua keadaan ini berpeluang lebih besar bahwa
vaskular janin dalam selaput ketuban melewati ostium uteri. Secara teknis
keadaan ini dimungkinkan pada dua situasi yaitu pada insersio velamentosa
dan plasenta suksenturiata.11
2.5.4 Gambaran Klinis
1. Perdarahan dapat timbul mulai pada usia kehamilan di atas 24 minggu
2. Darah yang keluar berwarna merah segar
3. Tidak disertai atau dapat disertai nyeri perut dan kontraksi uterus
4. Perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini
berasal dari anak maka dengan cepat bunya DJJ janin akan menjadi buruk
2.5.5 Diagnosis
31. Pada kasus vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun
dapat diduga jika pada saat antenatal dilakukan USG dengan Color Doppler
yang dapat memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput ketuban di
depan ostium uteri internum. Selain itu juga dpaati dilakukan tes APT
(Kleihauser-Betke) yang adalah uji pelarutan basa hemoglobin. Karena darah
janin yang tahan terhadap suasana alkali maka jika darah tersebut berasal dari
janin, maka eritrosis tersebut tidak akan pecah dan campuran akan tetap
berwarna merah, namun jika darah tersebut berasal dari ibu, maka eritrosit
akan pecah dan campuran berubah wrna menjadi coklat. Pemeriksaan yang
terbaik adalah dengan elektroforesis.
Diagnosis dapat dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput
ketuban dan plasenta, namun seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa
ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah
berdampak fatal bagi janin.12
2.5.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan vasa previa sangat bergantung pada status janin. Bila ada
keraguan tentang viabilitas janin, perlu ditentukan terlebih dahulu umur
kehamilan, berat janin, maturitas paru dan pemantauan kondisi janin dengan
USG dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan cukup matur, dapat dilakukan
seksio sesarea segera namun bila janin sudah meninggal atau imatur,
dilakukan persalinan pervaginam.
32. BAB III. KESIMPULAN
Sampai sekarang perdarahan dalam obstetrik masih sebagai penyebab utama
kematian maternal di dunia, diikuti oleh hipertensi dan infeksi pada kehamilan.
Perdarahan pada kehamilan lanjut atau yang sering dikenal sebagai perdarahan
antepartum adalah salah satu dari penyebab perdarahan pada ibu hamil. Perdarahan
antepartum adalah perdarah dari saluran genitalia yang terjadi setelah kehamilan 24
minggu dan sebelum persalinan janin. Pada umumnya, perdarahan pada kehamilan lanjut
lebih berbahaya dibanding perdarahan pada kehamilan muda atau abortus. Perdarahan
antepartum lebih berbahaya karena seringkali mengancam nyawa ibu dan janin.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya disebabkan oleh kelainan plasenta
(plasenta previa, solusio previa), ruptur uteri dan vasa previa.
Pada prakteknya, karena gejala yang seringkali tidak khas dan dianggap tidak
berbahaya menyebabkan banyaknya penundaan diagnosis dan pengobatan. Padahal,
kasus perdarahan perlu didiagnosa sesegera mungkin dan diberikan tatalaksana awal
untuk mengurangi resiko pada ibu dan janin. Melakukan deteksi dini dan asuhan
antenatal yang teratur serta pentalaksanaan secara dini dapat mengurangi angka
mortalitas pada ibu hamil. Penggunaan Ultrasonografi (USG) pada kasus kelainan
plasenta (plasenta previa, solusio plasenta) sangat akurat dan membantu mendiagnosis
kelainan letak plasenta segera. Jika terjadi perdarahan antepartum, perlu ditentukan
apakah kehamilan tersebut bisa diterminasi atau tidak. Menentukan keputusan untuk
dilakukan persalinan perlu diputuskan segera mungkin, namun jika tidak, terdapat
33. berbagai hal yang perlu dipersiapkan untuk menunjang kehamilan agar ibu dan janin
dapat diselematkan.
Perdarahan antepartum tidak boleh dianggap sebagai kasus yang remeh dan prelu
dilakukan penanganan yang segera karen amenyangkut nyawa ibu maupun janin. Oleh
karena itu diagnosis yang dini dan akurat beserta penanganan/tatalaksana yang baik dapat
sangat membantu menurunkan angka mortalitas ibu dan anak yang banyak disebabkan
oleh perdarahan antepartum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Khan KS,Wojdyla D, Say L, Gülmezoglu AM,Van Look PF.WHO analysis of
causes of maternal death: a systematic review. Lancet 2006;367:1066–74.
2. Kementerian Kesehatan RI. Mother’s Day, Situasi Kesehatan Ibu. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014
3. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Antepartum Haemorrhage.
Green-top Guideline No 63. 2011.
4. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP. 2013.
5. Bauer ST, Bonanno C. Abnormal placentation. Semin Perinatol 2009. 33:88-95.
6. Cunningham G, Leveno JK, Bloom LS, Hauth CJ, Gilstrap L, et al. Williams
Obstetrics. 23rd Edition. The McGraw Hill Companies. United States of America.
2009.
7. Faiz AS,Ananth CV. Etiology and risk factors for placenta previa: an overview
and meta-analysis of observational studies. J Matern Fetal Neonatal Med
2003;13:175–90.
8. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Placenta Praevia, Placenta
Praevia Accreta and Vasa Praevia: Diagnosis and Management. Green-top
Guideline No. 27. London: RCOG; 2011.
9. Calleja-Agius J, Custo R, Brincat M, et al. Placental abruption and placenta
praevia. Eur Clin Obstet Gynaecol 2006;2:121-7.
34. 10. Yang Q,Wen SW, Phillips K, Oppenheimer L, Black D,Walker MC. Comparison
of maternal risk factors between placental abruption and placenta previa. Am J
Perinatol 2009;26:279–86.
11. Walfish M, Neuman A, Wlody D. Maternal haemorrhage. British Journal of
Anaesthesia. 2009. 103:47-56.
12. Sinha P, Kuruba N. Ante-partum haemorrhage: An update. Journal of Obstetrics
and Gynaecology. 2008;28(4):377- 81.